PESANTREN SALAFIYAH DAN KEARIFAN LOKAL
3. Strategi Kearifan Lokal Ponpes Salafiyah Dalam Pembangunan
Lemahnya penempatan kearifan lokal pembangunan yang berlangsung antara pesantren salafiyah dengan pemerintah dengan berbagai kendalanya menyebabkan pesantren salafiyah menjalin komunikasi dengan pilihan strateginya sendiri. Kyai menjadi sentral dalam aspek budaya pada pengelolaan pesantren Salafiyah dilingkungannya. Kehidupan pesantren Salafiyah memilih menjadi tradisional, yakni yang dianggap sebagai bagian dari salah satu ibadah sunnah. Bentuk tradisional yang dilakukan oleh pesantren Salafiyah dikategorikan sebagai eksistensi kelompok oleh Olmsted (1966) yang dicirikan dengan adanya kesadaran atas kepercayaan. Sedangkan menurut Devito (1998), kelompok kecil (small group) diartikan sekumpulan
perorangan yang relatif kecil yang dihubungkan oleh tujuan yang sama. Adapun menurut Hare (1962), kelompok kecil ditandai dengan jumlah keanggotaan 2 - 20 orang atau bisa saja lebih namun selalu berinteraksi tatap muka diantara para anggota kelompok.
Kearifan lokal pesantren Salafiyah adalah bangunan kehidupan sosial yang besar dan kompleks, sering disebut sebagai konfigurasi-konfigurasi hubungan sosial yang mengikat organisasi- organisasi sosial yang ada di masyarakat, di mana organisasi- organisasi sosial itu sendiri juga merupakan sebuah jaringan hubungan yang dibangun melalui interaksi dan hubungan sosial manusia yang satu dengan yang lain. Konfigurasi sosial membentuk sebuah masyarakat (sederhana atau bersahaja mau pun yang kompleks; pedesaan atau pun perkotaan) terdiri dari berbagai "satuan-satuan sosial" yang lebih kecil seperti keluarga, asosiasi-asosiasi atau organisasi sosial yang di dalamnya terdapat pula pengelompokan- pengelompokan sosial yang anggota- anggotanya intim satu sama lain yang terikat melalui pesan-pesan komunikasi yang konstan dan berkomitmen.
Selanjutnya,bangunan kehidupan sosial tadimembentuk lingkungan sosial yang menyebar melalui gagasan, praktek, atau objek yang ditiru sebagai sebuah fungsi dari transmisi interpersonal di sepanjang ikatan-ikatan pertemanan atau arus pengaruh(influence flow)dalam sebuah jaringan sosial, melalui ikatan-ikatan yangmulti people ataumulti network akan menghasilkan jaringan-jaringan sosial yang serupa. Dalam hal ini, jaringan komunikasi pesantren Salafiyah adalah lingkungan jaringan-jaringan sosial yang serupa yang tak lain adalah hasil dari proses "tranmisinya"
Jaringan Sosial dan Proses Transmisi Kearifan lokal
Feedback
Keterangan :
TM/A (Tokoh Masyarakat atau Aparat ), M (Masyarakat), KS (Keluarga santri) P (Pemerintah), EM (Elit Masyarakat), MDIA (Media)
Kearifan lokal pesantren Salafiyah membentuk pola atau model interaksi tertentu, dimana Kyai menjadi pemuka, yaitu orang yang mempengaruhi orang-orang lain secara teratur dengan pesan tertentu secara konsisten. Proses komunikasinya dua arah dan interaktif diantara partisipan yang terlibat. Berlo (1960) menganggap partisipan ini sebagai transciever, karena keduanya mengirim dan menerima pesan-pesan. Jadi tidak hanya menjalankan satu fungsi sebagai penerima atau pengirim pesan belaka.Terciptanya kesamaan makna akan suatu informasi antara komunikator dan komunikan merupakan tujuan utama berkomunikasi.Hubungan interaktif antara komunikator dengan komunikan menggunakan saluran jaringan komunikasi, yaitu saluran untuk menyampaikan pesan dari satu orang
K
S
U TM/A
kepada orang lain.Pesantren Salafiyah melihat komunikasi sebagai suatu proses reproduksidanrekonstruksi sosial yang tidak boleh lepas dari nilai-nilai Ilahiah.
PENUTUP
1. Pesantren Al-Fathaniyah sebagai identifikasi dari Pesantren Salafiyah adalah lembaga pendidikan yang memiliki karakter dan pembelajaran kuat pada kompetensi ilmu agama dan pembentukkan perilaku sholeh yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Karakteristik salafiyah telah menjadi identitas dan budaya Banten yang dibutuhkan dalam pengimplementasian visi dan pelaksanaan pembangunan di Banten.
2. Strategi kearifan lokal yang dilakukan Ponpes Al-Fathaniyah dalam pembangunan di Banten adalah menjalin dan memperkuat jaringan kearifan lokal dan sosial kemasyarakatan dengan pesan-pesan keagamaan dan pembangunan melalui internalisasi komunikasi yang solid dan berakar pada anggota-anggota didalamnya (santri, ustad, keluarga mereka dan lingkungan terdekat dari keluarga ustad dan santri). Interaksi kearifan lokal yang dilakukan Kyai Matin pimpin Ponpes Al-Fathaniyah terbilang massif mengingat sang kyai pertahun hadir dalam acara keagamaan rata-rata 1.080 tempat berkomunikasi tatap muka langsung dengan masyarakat sejumlah 72.000 orang. Adapun sifat serta karakteristik komunikasi yang dilakukan lebih banyak mengedepankan sisi hakikat sehingga tidak mempersoalkan fomalitas dan legalitas didalamnya. Bagi kalangan awam hal ini justu menjadi gambaran konvensional atau tradisional.
3. Kearifan lokal pesantren salafiyah Al-Fathaniyah belum termanfaatkan menjadi suatu komunikasi efektif dalam pembangunan oleh pemerintah karena ketidakmampuan pemerintah mengidentifikasi potensi kearifan lokal ponpes salafiyah. Disamping pemerintah belum bisa mengidentifikasi kebutuhan pembangunan budaya yang didalamnya dibutuhkan nilai-nilai ajeg yang berakar pada budaya Banten sendiri.
4. Pemerintah belum melihat lingkup budaya, pembelajaran pesantren salafiyah dan outputnya sebagai bagian dari nilai-nilai yang dibutuhkan untuk mengangkat nilai-nilai budaya Banten itu sendiri serta nilai-nilai yang ada dalam pesantren salafiyah sebagai karakter building Banten – seperti halnya dulu Kesultanan menggunakannya pada masa keemasan Banten.
Pemerintah Provinsi Banten perlu membuka diri pada suatu penilaian yang konfrehensif dan pemenuhan standarisasi yang dibutuhkan agar dapat melampaui aspek teknis pada upaya penumbuhan, pengembangan, pelestarian budaya Banten, salah satunya adalah Pesantren Salafiyah – sebagai budaya lokal yang dominan sebagai bagian dari upaya mengisi nilai-nilai pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Berlo, David K., 1960. The Process of Communication An Intriduction to Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston Inc.
Cholisin, M.Si & Nasiwan, M.Si. 2012. Dasar Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak. Devito, Joseph A., 1998, Komunikasi Antar Manusia. Kuliah Dasar. Edisi Kelima. (Judul
Asli : Human Communication). Jakarta: Professional Books.
Husein Adnan, 2011. Mix Methodoogy Dalam Penelitian Komunikasi, Litera dan PERHUMAS, BPC Yogyakarta
Hare, A.P., 1962. Handbook of Small Group Research. New York: The Free Press.
Husein, Adnan, 2011. Mix Methodoogy Dalam Penelitian Komunikasi. Litera dan PERHUMAS (ID). BPC Yogyakarta
Muin A M. 2007. Pondok Pesantren dan Pelayanan Masyarakat. Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan. Departemen Agama Islam. 5 (4) 17
Nasution, Z. 1996, Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya, Raja Grafika Persada, Jakarta.
Olmsted, Michael S., 1966. Getting Agriculture Moving. New York: The Agricultural Development Councill.
Rosidi, Ajip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Permana, Cecep Eka. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mengatasi Bencana. Jakarta: Wedatama Widia Sastra.
NILAI-NILAIPENDIDIKANKARAKTERPADA NOVEL EDENSOR KARYA