• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. SABDA BAHAGIA YESUS MENURUT MATIUS 5 : 1-12

4. Tafsir Sabda Bahagia Yesus dalam Matius 5:1-12

a. Matius 5:1-2 “Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka.”

Yesus naik ke atas bukit atau dalam bahasa Yunani oros yang

menunjukkan suatu daerah perbukitan. Daerah perbukitan adalah tempat strategis yang memudahkan Yesus untuk mengajar banyak orang dan semua orang pun dapat memusatkan perhatiannya pada Yesus. Posisi Yesus mengajar adalah dengan duduk. Posisi ini dilakukan oleh para pengajar di Sinagoga ataupun oleh seorang rabi dalam mengajar murid-muridnya. Kata “murid-murid” yang dimaksudkan menunjukkan suatu relasi khas yang memiliki adanya keakraban dan kedekatan. Murid-murid bukan hanya sekelompok orang yang hanya mau mendengarkan ajaran-Nya, tetapi kelompok orang yang telah memilih dan memutuskan untuk mengikuti Yesus, termasuk keduabelas rasul. Namun ajaran

18

Yesus tidak hanya ditujukan kepada murid-murid-Nya, tetapi juga kepada segenap khalayak atau kepada banyak orang (Stefan Leks, 2003: 117).

b. Matius 5:3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.“

Kemiskinan identik dengan suatu keadaan di mana orang tidak memiliki harta benda, serba kekurangan dan hidup dari belaskasihan orang lain. Arti miskin dalam bahasa Yunani ptokoi yakni kata benda yang menunjuk kekurangan secara

materi, kemelaratan duniawi sedangkan ptokoi to pneunati artinya miskin dalam

roh. Miskin dalam roh yang dimaksudkan di sini adalah sikap sederhana dan penuh hormat terhadap hal-hal rohani, rendah hati karena sadar bahwa hidup spiritual mereka bukan apa-apa. Mereka mengandalkan Allah sepenuhnya, mereka ibarat manusia yang kosong dan ingin diisi oleh Allah (Stefan Leks, 2003:118).

Pengertian kemiskinan dalam Perjanjian Lama memiliki dua dimensi yang bertolak belakang. Pertama, miskin diartikan sebagai akibat dari kemalasan (Ams. 6:6-11), juga dipandang sebagai suatu kutukan atau hukuman Allah (Ul. 28:15-46). Para nabi bernubuat bahwa kemiskinan akan menjadi nasib orang-orang jahat (Yes. 3:16-24). Kutukan juga dinyatakan dalam Mazmur 109:10-12. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukan kehendak Tuhan bagi manusia. Kemiskinan adalah kutukan dan hukuman bahkan dianggap sebagai suatu kejahatan, sedangkan kekayaan dianggap sebagai berkat.

Arti yang kedua: para nabi melihat dan menemukan adanya ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang yang tidak

19

berdaya dan tidak memiliki kekayaan (miskin). Para nabi mengutuk orang kaya yang karena kekayaannya bertindak sewenang-wenang, menindas dan berlaku tidak adil terhadap orang yang lemah. Nabi Amos dengan keras dan tegas mengutuk orang kaya yang mendapatkan kekayaannya dari pemerasan dan menginjak-injak kepala orang lemah (Am. 2:6-7). Amos mengecam orang-orang kaya yang berkuasa, yang berlaku curang dalam niaga, mengambil pajak gandum orang lemah dan menjual orang miskin sebagai budak.

Kitab Mikha juga berbicara mengenai orang miskin yang dirampas haknya dan diperas (Mi. 2:1-3). Mikha juga mengecam orang yang menindas orang miskin. Nabi Yesaya mengecam bahkan menganggap bahwa kekayaan dan kekuasaan merupakan penghalang manusia untuk dekat dengan Allah. Kekayaan dan kekuasaan membuat manusia lupa diri, merasa diri paling hebat dan tidak memerlukan Allah lagi. Begitu pula nabi Zefanya tidak merelakan orang miskin diperas dan diperalat. Zefanya juga mengungkapkan harapannya terhadap kemiskinan rohani. Kemiskinan rohani dapat membawa orang untuk setia dan percaya kepada Allah. Selain itu kemiskinan rohani memiliki ciri yang khas, yakni sikap rendah hati (Peter Riga,1974:16-19).

Pada jaman Yesus yang termasuk golongan orang miskin ada tiga yakni orang yang sakit dan cacat, orang berdosa serta anak-anak. Mereka yang sakit dan orang cacat adalah orang buta, tuli, bisu, kusta, lumpuh, dsb. Mereka menyambung hidupnya dari belaskasihan orang lain dengan meminta-minta atau dengan pekerjaan lain yang tidak layak. Mereka dijauhi, disingkirkan, tidak ada yang peduli dan keadaan mereka sangat menyedihkan. Yesus sangat dekat dengan mereka dibandingkan dengan kelompok lain. Hati Yesus senantiasa tergerak oleh

20

belaskasihan terhadap penderitaan mereka. Yesus banyak membuat mukjijat sebagai tindakan cinta kasih dan kepedulian-Nya kepada orang miskin. Hal ini sekaligus juga menjadi suatu harapan dan bukti hadirnya Kerajaan Allah.

Anak-anak kecil termasuk golongan kedua. Mereka tidak mempunyai hak untuk membuat keputusan. Orang lain atau orangtuanya membuat keputusan untuk mereka dan mereka hanya bisa menurut perintah dan keputusan tersebut. Yesus menjadikan anak kecil sebagai teladan kerendahan hati, ketulusan dan orang yang senantiasa memiliki pengharapan di hadapan Allah. Dan golongan ketiga adalah para pendosa atau orang-orang yang diremehkan oleh masyarakat. Mereka ini adalah para pemungut cukai, penggembala, tuna susila dan pekerjaan tertentu yang dianggap berdosa menurut hukum. Siapa pun yang bergaul dengan orang miskin dianggap mencemarkan dirinya atau najis. Yesus sendiri sering mendapat kecaman karena Dia dekat dengan orang-orang dari golongan ini.

Misi Yesus sebagaimana dikutip dalam Lukas 4: 18-19 adalah sebagai berikut:

4:18 "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku

4:19 untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."

Sabda Yesus ini membangkitkan pengharapan bagi orang-orang miskin dan sekaligus penjamin bagi mereka.

Warta Sabda Bahagia “berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” adalah suatu tindakan yang telah lebih dahulu dihayati dan dilakukan oleh Yesus. Yesus sendiri telah menjadi

21

miskin dan mengosongkan diri-Nya. Pengosongan diri Yesus adalah bentuk inkarnasi yang paling sempurna, kerendahan hati yang paling luhur (Flp. 2: 6-8)

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Sabda Bahagia Injil miskin dalam roh mengandung arti miskin dari dalam, suatu sikap batin yang mengandung unsur lepas bebas, suatu kemerdekaan dari segala ikatan dan dari belenggu yang mencemarkan. Sikap siap sedia terhadap tuntutan yang datang dari Allah, besikap solider atau berbagi nasib dengan orang lain dan membiarkan orang lain mengambil bagian dari apa yang dimilikinya. Ia memiliki semangat orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Hal ini mengandung makna bebas dari segala ikatan pada barang-barang materiil. Orang yang memiliki kemerdekaan atau kebebasan batiniah adalah orang yang paling terbuka akan Allah dan mampu mempergunakan segala barang yang dimilikinya dengan hati bebas dan jiwa yang merdeka, serta tidak menyesali masa lampau yang telah memberikan kesenangan. Dengan demikian ia menjadi orang yang senantiasa bersyukur, menaruh harapan dan mengandalkan Allah sebagai satu-satunya penolong. Orang seperti inilah yang dimaksudkan orang yang berbahagia dan memiliki Kerajaan Surga, di mana damai dan sukacita senantiasa meliputi jiwanya dan oleh karena ia sungguh mengalami Allah yang penuh kasih (Peter Riga, 1974:18-19).

22

c. Matius 5:4 “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”.

Orang berdukacita berarti orang yang sedang mengalami kesedihan entah karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, mengalami kekecewaan, penderitaan ataupun kesusahan dalam hidup. Kitab Suci Perjanjian Lama

menerangkan kata “dukacita” yang dalam bahasa Yunani disebut penthountes

yang berarti mereka berdukacita karena kematian orang yang dicintai maupun karena dosa. St. Paulus dalam suratnya kepada umat di Roma menyebutkan sumber atau penyebab dukacita adalah penindasan, kesesakan, penganiyaan, ketelanjangan (kemiskinan), bahaya atau pedang (Rm 8:35), bahkan semua struktur kejahatan atau kematian.

Penderitaan dialami oleh banyak orang. Yesus sendiri dalam hidup-Nya berhadapan langsung dengan dukacita. Dukacita menjadi ciri yang mencolok dari ucapan Sabda Bahagia Yesus. Istilah Yunani dalam Matius 5:4 ini adalah Petheo

yang mencakup orang-orang yang berdukacita bukan karena dosa mereka sendiri tetapi karena kuasa kejahatan yang menindas kebenaran. Orang yang berdukacita sangat membutuhkan penghiburan. Kehadiran seorang penghibur sangat membantu mereka yang berdukacita. Yesus adalah Penghibur bagi orang yang berdukacita (1Yoh 2:1). Ia selalu berdoa kepada Bapa-Nya untuk mengirim penghibur yang lain yaitu Roh Kudus. Allah Tritunggal adalah Sang Penghibur. Dialah yang mengundang dan menyambut orang-orang yang berdukacita agar Ia dapat memberikan bantuan, sehingga mereka yang berdukacita mengalami kegembiraan dan penghiburan.

23

Allah sendiri menghapus keadaan dan penyebab dari dukacita, sehingga penghiburan yang sejati itu dapat benar-benar terwujud. St. Paulus dalam suratnya kepada umat di Roma meyakinkan bahwa Allah satu-satunya sumber penghiburan datang memberikan sukacita sejati yakni dengan menyatakan “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita” (Rm. 8:31). Allah mengundang dan menyambut orang yang berdukacita agar Ia dapat memberikan bantuan, menggembirakan hati dan menghibur mereka.

Sabda Bahagia “berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur” mengandung arti dukacita yang dikaitkan dengan miskin dalam roh. Artinya adalah bahwa mereka mengalami ketidakberdayaan, sehingga membutuhkan uluran tangan Allah. Mereka dengan sabar menanggung penderitaan, kesengsaraan dan kepahitan dalam hidup. Bagi mereka penderitaan adalah sumber penyucian, suatu ganjaran bagi dosa-dosanya. Aspek utama dari penderitaannya adalah membersihkan jiwa dari dosa, sehingga penderitaannya adalah kesuburan yang menghasilkan kekudusan. Mereka senantiasa menaruh harapan pada Allah, Allah yang menjadi pegangan sekaligus Allah yang akan memulihkan sukacita mereka. Allah sendiri yang memberikan karunia keselamatan dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus yang menjadikan diri-Nya Penghibur dan menjanjikan Penghibur yang lain (Stefan Leks, 2003:121). Kehadiran Penghibur adalah kehadiran Allah sendiri yang menghalau dukacita menjadi sukacita, yang senantiasa merindukan umat yang dikasihi-Nya mengalami sukacita dan kebahagiaan (Peter Riga, 1974:20-21).

24

d. Matius 5:5 “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”.

Kelemahlembutan adalah lanjutan dari kemiskinan di hadapan Allah. Pengertian lemah lembut sering dihubungkan dengan sifat keibuan, yakni suatu ungkapan yang menyatakan sifat bersahaja, halus namun tegas, sederhana, tidak pemarah, tidak suka melakukan kekerasan dan penuh belaskasih. Lemah lembut

dalam bahasa Yunani disebut praeis yang searti dengan tidak mengandalkan

kuasa sendiri, sehingga sifat lemah lembut sangat berkaitan erat dengan sifat rendah hati. Kata praeis dalam bahasa Indonesia searti dengan kata bersahaja.

Bersahaja searti dengan sederhana, hidup apa adanya dan tidak berlebih-lebihan. Orang yang bersahaja tidak pernah menonjolkan dirinya atau tidak menganggap dirinya lebih penting dari orang lain, tidak suka main kuasa atau menunjukkan kuasanya untuk memperalat orang lain (Stefan Leks, 2003:121-122).

Kata “lemah lembut” dalam Kitab Suci dipakai untuk menyebut orang yang rendah hati, yang tidak mengumpat atau mengancam orang lain, bila dilukai dan dihinakan dan dalam hidupnya tidak bersikap keras terhadap orang lain. Buku

normatif para bapa Gereja dan versi yang dianggap suci dari Gereja Ortodoks

Septuaginta menterjemahkan “sangat rendah hati” dengan istilah “sangat lemah

lembut”. Penafsir Yahudi mengartikan kelemahlembutan itu berkaitan dengan kerendahan hati. Kitab Zefanya 3:12 menegaskan bahwa “kelemahlembutan dalam kerendahan hati menjadi ciri dari mereka yang senantiasa mencari perlindungan dalam nama Tuhan”.

Paduan antara lemah lembut dan rendah hati terwujud dalam diri Yesus, yakni kelemahlembutan Allah dalam Kristus membawa keselamatan bagi

25

manusia. Kelemahlembutan menjadi ciri Kristus yang merupakan terang dan kesederhanaan yang luar biasa. Hal ini ditunjukkan pada saat Ia naik seekor keledai waktu dielu-elukan masuk ke kota Yerusalem. Ia seorang Raja yang kejayaan-Nya bukan karena Ia mempunyai kekuasaan atau kekuatan duniawi, melainkan karena cinta kasih-Nya, ketaatan-Nya dan kerendahan hati-Nya. Kelemahlembutan Yesus menjadi tempat atau penopang yang aman, terlebih bagi mereka yang tengah mengalami beban berat dalam hidupnya. Undangan untuk datang kepada-Nya untuk memperoleh kelegaan ditulis dalam Matius 1: 28-30 “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”. Undangan Yesus ditujukan kepada semua orang. Kita semua dipanggil untuk mencari kekuatan dan hiburan dalam Kristus, sebab Ia lemah lembut dan rendah hati. Segala beban berat ditanggung dalam Dia, sehingga kita memperoleh kelegaan (Peter Riga, 1974:20-21).

Kelemahlembutan juga merupakan ciri murid-murid Kristus dan gembala-gembala mereka baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam masa penyiksaan. Sabda Bahagia Yesus ”berbahagialah yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi” berarti bahwa Allah memberikan bumi kepada manusia sebagai tempat hidupnya. Akan tiba saatnya bahwa umat Allah akan menikmati karunia surga dan sukacita bumi yang diperbaharui. Memiliki bumi hampir searti dengan memiliki Kerajaan Allah sebab seluruh bumi adalah milik Allah (Stefan Leks, 2003:122). Orang yang lemah lembut memiliki atau akan memiliki Kerajaan Allah karena mereka telah berada dalam Kristus (Mat 11:29).

26

e. Matius 5:6 “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”.

Lapar dan haus dalam arti harafiah adalah mereka yang kekurangan makanan dan minuman atau tidak menemukan makanan atau minuman, sehingga mereka merasa lapar dan haus. Lapar dan haus adalah kenyataan utama yang seringkali dijumpai dalam kehidupan manusia dan menimpa mereka yang miskin. Kenyataan ini adalah kenyataan yang tragis dan menyedihkan, sebab beribu-ribu orang meninggal karena kelaparan dan kehausan. Lapar dan haus sering diaplikasikan sebagai kelemahan dan ketidakmampuan.

Kotbah Yesus mengingatkan kita pada sejarah pembebasan di Mesir yakni pembebasan dari perbudakan di Mesir. Dalam perjalanan menuju tanah Kanaan bangsa Israel beberapa kali mengalami kelaparan dan kehausan dan Allah sendiri bertindak untuk memuaskan rasa lapar dan haus mereka. Allah membebaskan umat-Nya sekaligus juga menopang hidup bangsa Israel.

Lapar dan haus terpuaskan oleh mereka yang mencari perdamaian, kesejahteraan, yang membawa dan menanamkan ketenangan dan kepercayaan sama seperti cara Allah bertindak terhadap umat-Nya. Hal demikianlah yang Allah harapkan dari umatNya. Umat berpegang teguh pada dasar keberadaan Allah Tuhan kita. Ia hadir dengan firman dan kuasa-Nya yang membebaskan. Kita membutuhkan lapar dan haus untuk mencapai hubungan yang benar. Lapar dan haus akan Allah merupakan alat untuk membebaskan kita dari kebebalan agar menjadi orang yang berbudi luhur. Pusat lapar dan haus terletak pada kebenaran. Kebenaran adalah melaksanakan kehendak Allah. Kebenaran berkaitan erat

27

dengan keadilan. Mereka berjuang untuk kebenaran dan hasilnya adalah keadilan. Rencana dan tujuan yang terkandung dalam kehendak Allah ditunjukkan oleh kenyataan bahwa Dia telah melaksanakan penyelamatan, pembebasan, dan kebenaran persekutuan masyarakat yang menghayatinya bersama-sama (Emidio, 1984:61-71).

Matius dalam Sabda Bahagia menyebutkan lapar dan haus dalam arti rohani yaitu orang yang lebih mengutamakan kebutuhan-kebutuhan hati dan jiwanya demi kepentingan kebenaran. Kebenaran dalam melaksanakan perintah Allah yang merupakan suatu tindakan kesucian dan kesempurnaan batin. Orang yang selalu bertindak dalam kebenaran dan orang yang selalu ingin hidup lebih sempurna dalam Kristus adalah orang yang berbahagia karena ia akan dipuaskan oleh Allah (Peter Riga, 1974: 21-22).

f. Matius 5:7 “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan”.

Murah hati atau belaskasihan akan memperoleh belaskasihan bukan berarti karena berbelaskasih terhadap orang lain, maka orang lain pun berbelaskasih terhadap kita. Murah hati atau belaskasihan memiliki makna yang dalam. Perjanjian Lama menyebut kata “murah hati” yang dipakai untuk menggambarkan sifat Allah sebanyak 236 kali dan 60 kali yang menggambarkan sifat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa sifat murah hati atau menaruh belaskasihan merupakan sifat Allah. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru yang memiliki persamaan dengan Perjanjian Lama, bahkan Perjanjian Baru mencapai puncaknya dalam diri Yesus. Yesus adalah perwujudan kasih Allah dan kehendak Allah untuk

28

menolong dan menyelamatkan umat manusia. Allah berbuat sesuatu bagi manusia bukan atas dasar keadilan tetapi sesuai dengan kasih dan belaskasihan-Nya. Terhadap kemurahan dan belaskasihan Allah manusia harus menanggapinya dengan kasih pula, yakni kasih kepada Allah dan kepada sesama yang terwujud dalam ucapan syukur, menaruh belaskasihan kepada orang lain dan kesediaan untuk mengampuni. Di sinilah Kerajaan Allah terwujud, yakni kerajaan yang penuh kasih, belaskasihan dan pengampunan. Salah satu ciri kehidupan warga kerajaan Allah adalah sifat “murah hati“ yang senantiasa bersyukur atas kasih karunia dan prakarsa Allah. Allah akan bermurah hati kepada mereka pada hari pengadilan terakhir seperti yang digambarkan dalam Matius 25:31-46.

Orang Kristen dipanggil untuk bermurah hati kepada semua. Sifat murah hati memungkinkan terwujudnya perdamaian dan persatuan dalam unit masyarakat yang kecil. Kemurahan hati memampukan kita untuk saling melayani dengan kemampuan dan bakat kita masing-masing (Emidio, 1984:74-85). Ajaran kemurahan hati, kebaikan dan cinta kasih diajarkan oleh Yesus melalui perumpaan orang Samaria yang baik hati. Cinta tak terbatas memberi maaf, memberikan diri-Nya sendiri dan memberikan kebahagiaan. Murah hati berarti cinta kepada Allah dan sesama, kesediaan untuk mencintai musuh dan menyerahkan diri bagi orang lain (Farano, 1975:73-89). Kemurahan memiliki pengertian yang menyatakan sikap khususnya terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang hina, orang-orang yang lemah untuk menolong mereka. Bagi Matius kemurahan adalah pusat dari penderitaan Yesus yang menyatakan apakah yang sebenarnya Ia maksudkan dengan penggenapan atau pemenuhan hukum

29

Taurat, yakni keadilan, belaskasih dan kesetiaan. Orang yang murah hati akan beroleh kemurahan (Abineno, 1986:21-22).

g. Matius 5:8 “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”.

Orang yang suci/berhati bersih/murni ialah manusia yang bermotivasi murni dan lurus tidak bercabang-cabang. Hati bersih itu tidak menyangkut bidang seks saja melainkan segala bidang kehidupan, terutama pengabdiannya kepada Allah. Orang yang berhati bersih ialah orang yang pikirannya sibuk dengan satu hal saja: aku mau menyenangkan Allah. Orang yang berhati bersih tidak pernah bertindak demi kepentingannya sendiri, namun memadukannya dengan kepentingan Allah. Melihat Allah adalah karunia semata-mata dan tidak mungkin dialami dalam hidup ini. Melihat Allah dapat pula diartikan sebagai pengalaman akan Allah dan merasakan kehadiran-Nya dan dipenuhi olehnya (Stefan Leks, 2003:124).

Dalam Kitab Suci orang yang suci hatinya adalah orang yang mengabdi Tuhan tanpa syarat. Orang yang suci hatinya menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, begitu pun dalam mengikuti Kristus. Penyerahan diri ini ditandai dengan meninggalkan segala-galanya dan mengikuti Dia dengan sepenuh hati, sebab seperti seorang yang menemukan mutiara kemudian menjual seluruh miliknya untuk mendapatkan mutiara itu (Peter Riga, 1974:23). Hati suci dalam agama Yahudi adalah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang mau menghadap Tuhan di tempat-Nya yang kudus (Kel 19:110; Im 1-16; Bil 6:3). Hati suci dalam arti ini sering menjadi kabur karena yang menjadi pokok hanya arti ritualnya saja

30

dan tidak memiliki arti yang lebih dalam. Dalam Perjanjian Baru terutama dalam Injil Matius hati suci berarti hati yang terang atau hati yang iklas yakni hati yang terpusat, tertuju dan percaya kepada Allah. Menurut Yesus orang yang demikian adalah orang yang akan melihat Allah. Ungkapan melihat Allah bukan sekedar percaya kepada-Nya, tetapi juga melihat-Nya dalam keadaan-Nya yang sebenar-Nya. Artinya, hidup dalam persekutuan sempurna dengan Allah dalam Kerajaan Allah. Inilah yang dijanjikan Yesus kepada murid-murid-Nya, janji yang mengandung harapan bagi para murid yakni keselamatan, hidup dan kemuliaan (Abineno,1986: 22-23).

h. Matius 5:9 “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.

Orang-orang yang membawa damai bukan hanya orang yang mampu mendamaikan tetapi juga orang yang mampu menciptakan perdamaian. Perdamaian dalam bahasa Ibrani disebut syalom yang memiliki arti luas yakni

kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan dan perdamaian. Para nabi dalam tulisannya memiliki perspektif syalom dari masa depan yang penuh harapan (Yesaya 29:11). Nabi Yesaya juga secara khusus menghubungkan syalom dengan Raja Syalom yang akan datang, yang kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan (Yes 9:5-6). Nubuat Yesaya dalam Perjanjian Baru digenapi dalam diri Yesus, Raja Syalom. Kedatangan-Nya disambut oleh para malaikat "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." (Luk. 2:14). Nyanyian para malaikat

31

sekaligus menyatakan bahwa damai diperuntukkan bagi semua orang dari semua bangsa.

Syalom harus diberitakan kepada segala bangsa bukan hanya dengan perkataan tetapi dengan perbuatan dan seluruh hidup manusia. Hal ini merupakan