• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tanggal 20 November 2001, BPPN dan PT Holdiko Perkasa mengumumkan tender penjualan 72,63 persen saham milik Pemerintah di PT. Indomobil Sukses Internasional Tbk. (IMSI). Tiga peserta memasukkan penawaran akhir pada tanggal 4 Desember 2001, yaitu PT Alpha Sekuritas Indonesia, PT Bhakti Asset Management dan PT Cipta Sarana Duta Perkasa (CSDP). Tanggal 5 Desember 2001, PT CSDP dinyatakan sebagai pemenang dalam tender divestasi tersebut, dengan penawaran total senilai Rp. 625 milyar. padahal sewaktu diambil alih Pemerintah, nilai saham dan convertible bond yang dijual tersebut adalah sekitar Rp. 2,5 trilyun.

Tetapi pelaksanaan dan hasil tender mengandung sejumlah kejanggalan, seperti harga penjualan saham yang rendah, waktu pelaksanaan tender yang sing kat, peserta tender yang terbatas dan indikasi pelanggaran prosedur tender. Kejanggalan ini diperkuat oleh data dan informasi yang mengarah pada indikasi awal yang kuat tentang adanya pelanggaran UU No.5/1999. KPPU kemudian memutuskan melakukan pemeriksaan berdasarkan inisiatif.

Pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan atas perkara dilakukan oleh KPPU dengan memanggil dan mendengarkan keterangan dari BBPN dan beberapa pelaku usaha seperti PT Holdiko Perkasa, PT Trimegah Securities, PT Cipta Sarana Duta Perkasa, PT Bhakti Asset Management, PT Alpha Sekuritas Indonesia, PT. Multi Megah Internasional, PT. Deloitte & Touche FAS, Bank Danamon, Pranata Hajadi dan saksi-saksi lainnya. Dari pemeriksaan, KPPU mendapatkan bukti-bukti adanya persekongkolan antara panitia tender dalam hal ini adalah BPPN dan PT Holdiko Perkasa dengan peserta -peserta tender, serta persekongkolan yang dilakukan antara peserta -peserta tender. Bukti-bukti tersebut antara lain panitia tender masih menerima dokumen tender dari peserta tender walaupun telah melampaui batas waktu penyerahan dokumen tender, sekitar 20 usulan mark-up Conditional Share Purchase Loan and Transfer Agreement yang sarna yang diajukan oleh masing-masing peserta tender, penyesuaian harga antara ketiga peserta tender yang bertujuan untuk memenangkan salah satu peserta tender dan sejumlah bukti -bukti lainnya. Berdasarkan bukti -bukti yang ada, Majelis Komisi mengambil keputusan yang intinya adalah sebagai berikut:

a. Menyatakan PT. Holdiko Perkasa (Terlapor I) dan PT Deloitte & Touche FAS (Tertapor X), secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena melakukan tindakan persekongkolan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha peserta tender, yaitu PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III), PT Bhakti Asset\Management (Terlapor VIII) dan PT Alpha Sekuritas Indonesia (Terlapor IX), yang secara terang-terangan dan/atau diam-diam berupa tidak menolak keikutsertaan ketiga peserta tender tersebut dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT Indomobil Sukses International walaupun mengetahui ketiga peserta tender tersebut tidak memenuhi persyaratan dan/atau melanggar prosedur sebagaimana ditentukan dalam Procedures for The Submission of Bid.

b. Menyatakan PT Trimegah Securities (Terlapor II), PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III), Pranata Hajadi (Terlapor IV), Jimmy Masrin (Terlapor V), PT Bhakti Asset Management (Terlapor VIII) dan PT Alpha Sekuritas Indonesia (Terlapor IX) secara bersama-sama dengan sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 UU No.5/1999 karena melakukan tindakan persekongkolan di antara mereka yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat berupa tindakan saling menyesuaikan dan atau membandingkan dokumen tender dan atau menciptakan persaingan semu dan atau memfasilitasi suatu

tindakan untuk memenangkan PT Cipta Sarana Duta Perkasa dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT Indomobil Sukses International.

c. Menyatakan PT Multi Megah Internasional (Terlapor VI) dan Parallax Capital Management (Terlapor VII) kedua-duanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. d. Melarang PT Trimegah Securities (Terlapor II), PT Clpta Sarana Duta Perkasa

(Terlapor III), dan PT Deloitte & Touche FAS (Terlapor X) untuk mengikuti transaksi baru dalam bentuk apapun di lingkungan dan atau dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan atau dengan pihak lain yang ditunjuk oleh atau atas kuasa BPPN berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas BPPN baik dalam penyehatan perbankan, penyelesaian aset bank maupun dalam pengembalian uang negara dalam jangka waktu dua tahun terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda atas pelangaran sebesar 30% dari nilai setiap transaksi. e. Menghukum PT Trimegah Securities (Terlapor II) untuk membayar denda sebesar

Rp10.500.000.000,00 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat di Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17% dari nilai denda yang dikenakan (Rp 10.500.000.000,-) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini.

f. Menghukum Pranata Hajadi (Terlapor IV) dan Jimmy Masrin (Terlapor V) secara bersama-sama untuk membayar denda sebesar Rp 10.500.000.000,- (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerin.tah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar tunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp 10.500.000.000,-) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini.

g. Menghukum PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III) untuk membayar denda kepada negara sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran KantorPerbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17% dari nilai denda yang dikenakan (Rp5.000.000.000,-) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini.

h. Menghukum PT Holdiko Perkasa (Terlapor I), untuk membayar denda sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17% dari nilai denda yang dikenakan (Rp 5.000.000.000,-) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini.

Ringkasan Keputusan KPPU

i. Menghukum PT Deloitte & Touche FAS (Terlapor X) untuk membayar denda sebesar Rpl0.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17 % dari nilai denda yang dikenakan (Rp l0.000.000.000,00) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini.

j. Menghukum PT Alpha Sekuritas Indonesia (Terlapor IX) untuk membayar denda sebesar Rpl.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah,dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17% dari nilai denda yang dikenakan (Rp l.500.000.000,-) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini.

k. Menghukum PT Bhakti Asset Management (Terlapor VIII) untuk membayar denda sebesar Rp l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yang beralamatJalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 45 hari kerja, terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17% dari nilai I denda yang dikenakan (Rp l.000.000.000,-) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini.

l. Menghukum PT Cipta Sarana Duta Perkasa (Terlapor III) untuk membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 228.000.000.000,- (dua ratus dua puluh delapan miliar rupiah) dan disetorkan ke kas negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Dirjen Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) Jakarta I yangberalamat Jalan Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 75 hari kerja terhitung sejak tanggal dibacakannya putusan ini dengan denda keterlambatan 0,17% dari nilai ganti rugi yang dikenakan (Rp 228..000.000.000,-) untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan putusan ini. m. Menyatakan bahwa denda keterlambatan pelaksanaan putusan tetap dihitung

meskipun ada upaya hukum.

Kasus Indomobil dapat dikatakan sangat menarik perhatian dunia hukum baik dari segi hukum acara maupun dari pihak KPPU sendiri. Inilah pertama sekali didalam Majelis Komisi mengajukan dissenting opinion (perbedaan pendapat) terhadap putusan yang dijatuhkan Komisi kepada Terlapor. Dari segi hukum acara karena pada waktu itulah pihak Terlapor menggunakan upaya hukum keberatan ke berbagai Pengadilan Negeri di Jakarta tempat domisili terlapor berada. Bahkan ada Terlapor yang menggugat kewenangan KPPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Saat itu dari keseluruhan keberatan yang diajukan, maka Pengadilan Negeri membatalkan putusan KPPU di berbagaik Pengadilan Negeri termasuk penolakan atas kewenangan KPPU sebagai lembaga penegak UU No. 5/ 1999 di PTUN Jakarta. Saat terlihat bahwa ada kelemahan substansi proses hukum acara dari UU No. 5/ 1999. Sesudahnya KPPU kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dimana dalam putusan kasasi tersebut maka dapat dikatakan bahkan membatalkan baik putusan KPPU dan

Pengadilan Negeri. Keadaan inilah yang kemudian menginspirasikan Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/ 2003 mengenai Mengenai Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.

2.10 Putusan Perkara No. 05/KPPU-L/2002

Cineplex 21

Kasus ini berawal dari laporan sebuah LSM di Jakarta tentang adanya dugaan pelanggaran UU Anti Monopoli. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti KPPU dengan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pelaku usaha bidang perbioskopan maupun pelaku usaha bidang importir/distributor film. Dari proses pemeriksaan dan penyelidikan tersebut, KPPU mendapatkan 3 (tiga) pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran UU No. 5/ 1999, mereka adalah:

— PT. Camila Internusa Film (PT. CIF), importir/ distributor film.

— PT. Satrya Perkasa Esthetika Film (PT.SPEF), importir/distributor film. — PT. Nusantara Sejahtera Raya (PT.NSR), pemilik bioskop Cineplex 21.

Data dan informasi lain yang didapatkan dari proses pemeriksaan dan penyelidikan tersebut adalah sebagai berikut :

a. PT. CIF dan PT. SPEF terintegrasi secara vertikal dengan PT. NSR dalam rangkaian jasa pendistribusian dan penayangan film impor MPA (Motion Picture Association, sebuah assosiasi produsen film-film yg dikenal sebagai Major Companies, antara lain: Columbia Picture, 21th Century Fox, Buena Vista International, Metro

Goldwin Meyer, dll), namun penguasaan tersebut di bawah 50% dari keseluruhan film impor sehingga bukan merupakan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999.

b. Perjanjian yang dibuat oleh PT. CIF atau PT. SPEF dengan beberapa anggota MPA tidak memuat persyaratan-persyaratan mengenai keharusan untuk memasok kembali film kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu, atau mengenai keharusan PT. CIF dan PT. SPEF untuk bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pihak MPA, atau mengenai harga atau potongan-potongan tertentu dengan syarat membeli barang dan atau jasa lain atau tidak akan membeli film dari produsen lain, sehingga perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian tertutup sebagaimana dimaksud Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999.

c. PT. CIF dan PT. SPEF telah menguasai distribusi film impor MPA, namun penguasaan tersebut kurang dari 50 % keseluruhan film impor pada tahun 2001 dan 2002, sehingga kegiatan yang dilakukan PT. CIF dan PT. SPEF bukan merupakan kegiatan monopoli sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999.

d. Jumlah film yang diimpor oleh PT. CIF dan PT. SPEF tidak lebih 50% dari keseluruhan film impor, sehingga bukan merupakan kegiatan monopsoni sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999.

e. Film-film impor yang ditayangkan di bioskop-bioskop milik PT. NSR tidak bersifat sama sama eksklusif artinya film-film tersebut bisa juga ditayangkan di bioskop non-21 pada saat bersamaan dan tidak ada paksaan bagi importir film untuk memasok filmnya ke bioskop Group 21, sehingga bukan merupakan kegiatan monopsoni sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999.

f. PT. CIF dan PT. SPEF mendistribusikan film impor kepada bioskop Group 21 dan kepada bioskop non-21 berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis, sehingga bukan merupakan praktek diskriminasi sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf d UU No. 5 Tahun 1999.

Ringkasan Keputusan KPPU

g. Penguasaan film impor oleh PT. CIF dan PT. SPEF adalah kurang dari 50%, sehingga PT. CIF dan PT. SPEF tidak berada pada posisi monopoli dan karena itu tidak berada pada posisi dominan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999.

h. Meskipun PT. NSR berada dalam posisi dominan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) di sebagian besar kota, namun tidak ditemukan bukti adanya penetapan syarat-syarat perdagangan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh jasa penayangan film yang bersaing atau membatasi pasar atau menghambat pelaku usaha bioskop lain yang berpotensi menjadi pesaingnya sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999.

i. Harris Lasmana dan Suryo Suherman menduduki jabatan rangkap pada jabatan-jabatan strategis di beberapa perusahaan importir film dan atau perusahaan bioskop yang hal ini berpotensi besar untuk timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi sampai dengan berakhirnya pemeriksaan Majelis Komisi belum menemukan cukup bukti untuk menyatakan perangkapan jabatan tersebut mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, sebagaimana dimaksud Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. j. PT. NSR terbukti memiliki saham mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak

dibidang perbioskopan yaitu PT. Intra Mandiri dan PT. Wedu Mitra di pasar

bersangkutan yang sama yaitu di Surabaya. Bioskop-bioskop yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, sehingga kepemilikan saham PT. NSR tersebut memenuhi ketentuan Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999. k. Tidak ditemukan bukti bahwa PT. NSR melakukan kegiatan pengambilalihan

saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU No. Tahun 1999. l. Ada upaya Pemerintah Kota Makassar untuk mengatur tata edar film di kota

Makassar.

m. Pengunduran diri Harris Lasmana dan Suryo Suherman dari jabatan direksi di beberapa perusahaan yang memiliki keterkaitan erat dalam bidang pendistribusian dan penayangan film patut dicatat sebagai suatu itikad baik untuk mengurangi potensi penyalahgunaan perangkapan jabatan.

Dari data dan informasi yang didapatkan, KPPU menjatuhkan putusan dengan Amar Putusan KPPU Perkara Nomor : 05/ KPPU-L/ 2003 sebagai berikut:

1. Menyatakan Terlapor I yaitu PT Camila Internusa Film dan Terlapor II yaitu PT Satrya Perkasa Esthetika Film tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999. 2. Menyatakan Terlapor III yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999.

3. Menyatakan Terlapor I yaitu PT Camila Internusa Film, Terlapor II yaitu PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan Terlapor III yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999. 4. Menyatakan Terlapor III yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999.

5. Memerintahkan kepada Terlapor III yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya untuk mengurangi kepemilikan sahamnya di PT. Intra Mandiri dan atau di PT Wedu Mitra

dalam bentuk menjual atau mengalihkan saham kepemilikannya kepada pihak lain atau mengambil tindakan lain sehingga tidak melanggar pasal 27 dalam waktu 48 (empat puluh delapan) hari terhitung sejak tanggal dibacakannya Putusan ini. 6. Menghukum Terlapor III yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya untuk membayar denda

Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) apabila Terlapor III tidak melaksanakan diktum 5 (lima) di atas.

7. Menghukum Terlapor III yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya untuk membayar denda keterlambatan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari nilai denda yang dikenakan untuk setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan diktum 6 (enam) hingga hari ke 30.

8. Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud dalam diktum 7 (tujuh) terlewati, maka Putusan ini akan diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. Menyarankan Walikota Makassar untuk mencabut SK Nomor 54/ 2002 atau mengambil tindakan lain, sehingga tidak terjadi pengaturan tata edar film.

TAHUN 2003

2.11 Putusan Perkara No. 01/KPPU-L/2003

Garuda Indonesia

Perkara ini berawal dari laporan salah satu pelaku usaha kepada KPPU tentang tindakan PT Garuda Indonesia yang dianggap bertindak menyalahgunakan posisi dominan. PT Garuda telah menekan agen untuk tidak melakukan investasi sendiri dalam sistem reservasi dan memaksa agen untuk menggunakan sistem reservasi berikut infrastrukturnya dari PT Abacus Indonesia.

Berdasarkan laporan tersebut, KPPU melakukan serangkaian pemeriksaan yaitu

Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan. Dari hasil pemeriksaan terhadap PT Garuda Indonesia, Pelapor, 17 (tujuh belas) saksi dan dokumen-dokumen yang diperoleh selama pemeriksaan, Majelis Komisi mengambil kesimpulan sebagaimana terpapar di bawah ini.

Ringkasan Keputusan KPPU

PT Garuda Indonesia pada tanggal 28 Agustus 2000 melakukan kesepakatan dengan PT Abacus Indonesia bahwa distribusi tiket penerbangan PT Garuda Indonesia di wilayah Indonesia hanya dilakukan dengan dual access melalui terminal Abacus. Alasan hanya memberikan dual access kepada PT Abacus Indonesia sebagai penyedia sistem Abacus di Indonesia adalah karena biaya transaksi untuk reservasi dan booking penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacus lebih murah

dibandingkan menggunakan sistem yang lain.

Tujuan dual access hanya dengan sistem Abacus adalah agar PT Garuda Indonesia dapat mengontrol biro perjalanan wisata di Indonesia dalam melakukan reservasi dan pemesanan (booking) tiket penerbangan serta agar semakin banyak biro

perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacus untuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional terlapor yang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan internasional PT Garuda Indonesia.

Agar dual access dapat berjalan efektif, PT Garuda Indonesia membuat persyaratan bagi biro perjalanan wisata yang akan ditunjuk sebagai agen pasasi domestiknya, harus menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu sebelum memperoleh sambungan sistem ARGA. Sistem ARGA merupakan sistem yang dipergunakan untuk melakukan reservasi dan booking tiket domestik PT Garuda Indonesia, sedangkan sistem Abacus dipergunakan untuk melakukan reservasi dan booking tiket internasional.

PT Garuda Indonesia memiliki 95% saham di PT Abacus Indonesia. PT Garuda

Indonesia menempatkan dua orang Direksinya, yaitu Emirsyah Satar dan Wiradharma Bagus Oka sebagai Komisaris PT Abacus Indonesia. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan karena kegiatan usaha PT Garuda Indonesia dan PT Abacus Indonesia saling berkaitan. Hal ini terlihat pada setiap rapat sinergi antara PT Garuda Indonesia dan PT Abacus Indonesia, setidak-tidaknya mereka mengetahui dan menyetujui setiap kesepakatan rapat yang diambil termasuk di dalamnya tentang kebijakan dual access. Kebijakan ini menimbulkan hambatan bagi penyedia CRS lain dalam memasarkan sistemnya ke biro perjalanan wisata. Mayoritas biro perjalanan wisata memilih CRS Abacus yang disediakan oleh PT Abacus Indonesia. Hal ini karena sistem Abacus memberikan kemudahan untuk mendapatkan akses reservasi dan booking tiket domestik PT Garuda Indonesia. Sedangkan CRS selain Abacus kurang diminati oleh biro perjalanan wisata karena tidak terintegrasi dengan sistem ARGA. Ketiadaan sistem ARGA mengakibatkan biro perjalanan wisata tidak dapat melakukan booking (issued) tiket penawaran yang lebih baik dibandingkan tawaran dari penyedia sistem Abacus, namun tetap tidak diminati oleh biro perjalanan wisata. Persyaratan Abacus connection menyebabkan biro perjalanan wisata yang hanya menjadi agen pasasi domestik PT Garuda Indonesia menanggung beban biaya tambahan berupa biaya install sistem Abacus dan biaya sewa perangkat Abacus. Padahal sistem Abacus tidak digunakan untuk reservasi dan booking tiket domestik PT Garuda Indonesia. Untuk reservasi dan booking tiket domestik, PT Garuda Indonesia menggunakan Sistem ARGA.

Pada akhirnya, setelah melalui proses serangkaian putusan, Majelis Komisi KPPU menetapkan Putusan yang amar putusannya sebagai berikut: Berdasarkan kesimpulan tersebut, Komisi memutuskan berikut:

1. Menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 14 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

2. Menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

3. Menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia secara sah tidak melanggar Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

4. Menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia secara sah tidak melanggar Pasal 19 huruf a, b dan d. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

5. Menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

6. Memerintahkan PT Garuda Indonesia untuk menghentikan integrasi vertikal berupa pembatalan perjanjian eksklusif dual access dengan PT Abacus Indonesia. 7. Memerintahkan PT Garuda Indonesia untuk mencabut persyaratan abacus

connection dalam penunjukan keagenan pasar dalam negeri.

8. Menghukum PT Garuda Indonesia untuk membayar denda administratif sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN