• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Gambar Ekspesi Wajah

2.2.4 Teori Kepuasan Kerja

Sopiah (2008) mengutip 7 (tujuh) teori tentang kepuasan kerja dari beberapa ahli, yaitu sebagai berikut :

1. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory). Teori ini dipelopori oleh Porter (1961) dimana kepuasan ini diukur dengan menghitung selisih dari apa yang seharusnya dengan kenyataan yang ada (dirasakan) . dalam teori ini seorang karyawan akan merasa puas bila ada kondisi aktual (sesungguhnya) sesuai dengan harapan atau yang diinginkannya. Semakin sesuai antara harapan seseorang dengan kenyataan yang ia hadapi maka orang tersebut akan semakin puas.

2. Equity Theory. Pendahulu teori ini adalah Zeleznik (1958) dan dikembangkan oleh Adams (1963) dalam Gibson (1997). Dalam teori ini dikemukakan bahwa puas atau tidaknya seseorang itu tergantung pada apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Kelemahan teori ini bila perbandingan itu dianggap tidak seimbang tetapi menguntungkan, bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan maka akan menimbulkan ketidakpuasan.

3. Opponent-Process Theory. Teori ini dikemukakan oleh Landy (1978) dalam Gibson (1997) yang menekankan pada upaya seseorang dalam mempertahankan keseimbangan emosionalnya. Maksudnya, perasaan puas atau tidak puas adalah masalah emosonal, dan sangat ditentukan oleh sejauh mana penghayatan emosional orang tersebut terhadap situasi yang dihadapi.

4. Teori Maslow. Teori ini dikembangkan oleh Maslow (1954) dalam Gibson (1997). Teori ini menyebutkan bahwa kebutuhan manusia berjenjang atau bertingkat, mulai dari yang paling rendah sampai tinggi, yaitu : (a) Kebutuhan Fisiologis, (2) Kebutuhan keamanan dan keselamatan, (c). Kebutuhan akan rasa memiliki, sosial dan kasih sayang, (d) Kebutuhan untuk dihargai, (e) Kebutuhan akan aktualisasi diri.

5. Teori Existency, Relatedness, Growth (ERG) Aldelfer. Teori ini dikembangkan oleh Alderfer (1972) dalam Gibson (1997), yang membagi kebutuhan hidup manusia menjadi tiga tingkatan yaitu : (1) Existency atau eksistensi yaitu : makanan, udara, gaji, kondisi kerja, (2) Relatedness atau hubungan keterkaitan yaitu : hubungan sosial dan interpersonal yang baik, (3) Growth atau pertumbuhan yaitu : kebutuhan individu yang membrikan konstribusi pada orang lain.

6. Two Factor Theory. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Frederick Herzberg (1969), teori ini memandang kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bahwa ketidakpuasan kerja berasalah dari ketidakadaan faktor-faktor ekstrinsik. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah : (1) Ada sekelompok kondisi ekstrinsik (konteks pekerjaan) meliputi ; gaji/upah, keamanan kerja, kondisi pekerjaan, status, kebijakan organisasi, supervisi dan hubungan interpersonal. Apabila faktor ini tidak ada maka karyawan akan merasa tidak puas.

(2) Ada sekelompok kondisi intrinsik yang meliputi ; prestasi kerja, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan pertumbuhan. Apabila kondisi intrinsik dipenuhi maka karyawan akan merasa puas.

26

7. Teori Mc Cleland, yang dikembang oleh David Mc Cleland, dimana teori ini menyatakan bahwa seseorang dengan suatu kebutuhan yang kuat akan termotivasi untuk menggunakan tingkah laku yang sesuai guna memuaskan kebutuhannya.

Tiga kebutuhan yang dimaksud adalah : (1) Kebutuhan berprestasi (n Ach), (2) Kebutuhan berafiliasi (n Aff), dan (3) Kebutuhan akan kekuasaan (n Pow)

Sopiah (2008) berpendapat bahwa dari beberapa teori yang membahas tentang kepuasan kerja yang dipaparkan diatas, maka teori Herzberg sebagai Grand Theory yang sampai saat ini masih relevan untuk dibahas lebih lanjut. Untuk itu penulis menggunakan faktor – faktor kepuasan kerja yang dikemukan oleh Herzberg sebagai

landasan dalam mengukur kepuasan kerja karyawan dalam penelitian ini yaitu : (1) Faktor ekstrinsik (konteks pekerjaan) meliputi ; gaji/upah, keamanan kerja,

kondisi pekerjaan, status, kebijakan organisasi, supervisi dan hubungan interpersonal.

(2) Faktor intrinsik yang meliputi ; prestasi kerja, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan pertumbuhan.

2.3. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) 2.3.1. Konsep Penyelenggaraan Program JPK

JPK adalah cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dasar paripurna (komprehensif) berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilakukan secara praupaya. Pemeliharaan kesehatan berarti upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan

pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.

Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya penyembuhan penyakit (kuratif) (Kumpulan Peraturan Perundangan Program Jamsostek, PT. Jamsostek (Persero), 2006).

Program JPK diselenggarakan dengan berpedoman pada konsep managed care yang mengintegrasikasikan pembiayaan terkendali dengan kualitas pelayanan yang dapat diterima peserta. Dalam penerapannya, program JPK mengacu pada prinsip pemeliharaan kesehatan dasar paripurna dan pelayanan berjenjang.

Pemeliharaan kesehatan dasar paripurna adalah upaya kesehatan yang diberikan meliputi promotif/penyuluhan, preventif/pencegahan, kuratif/pengobatan, dan rehabilitatif/ perbaikan fungsi, untuk meningkatkan kualitas hidup peserta. Upaya kesehatan tersebut bersifat berjenjang dimana pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta disesuaikan dengan kemampuan sarana pelayanan kesehatan (PPK).

Pelayanan kesehatan dalam program JPK Jamsostek dimulai dari rawatan tingkat pertama dan apabila diperlukan sesuai indikasi medik dapat dilanjutkan kepada rawatan lanjutan. Rujukan pelayanan dapat berlangsung secara vertikal maupun horizontal yang memungkinkan pelayanan kesehatan berlangsung antar tingkat pelayanan sehingga terdapat koneksitas antar Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang terjadi melalui surat rujukan dan balasan rujukan. Dengan demikian, prognosis penyakit pasien dapat diikuti yang memungkinkan dilakukannya pengobatan yang efektif dan efisien (tidak tumpang tindih). Begitu juga, deteksi

28

penyakit dapat dilakukan sejak dini sehingga tidak menjadi kronis yang membutuhkan pengobatan dengan biaya besar.

Dalam menjalankan kegiatan pemeliharaan kesehatan, PT. Jamsostek (Persero) membentuk jaringan Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang dikontrak untuk memberikan pelayanan paripurna yang terjaga mutunya dan terkendali biayanya. Jaringan PPK bersifat berjenjang yang terdiri atas PPK tingkat pertama (PPK Tk I) untuk memberikan rawat jalan tingkat pertama dan PPK tingkat lanjutan (PPK Tk II) untuk pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialis), rawat inap, dan pelayanan khusus. PPK Tk I dapat berupa dokter umum/dokter keluarga, dokter gigi, puskesmas, balai pengobatan, dan rumah bersalin. PPK Tk II meliputi rumah sakit, apotek, optik, dan laboratorium klinik (PP 14 Tahun 1993).

Untuk menjadi peserta program JPK Jamsostek perusahaan peserta harus membayar iuran sebesar 3% dari upah tenaga kerja lajang dan 6% dari upah tenaga kerja berkeluarga dengan dasar perhitungan iuran program JPK dari upah sebulan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Hal ini berarti jika upah sebenarnya yang didapatkan oleh tenaga kerja dalam sebulan diatas satu juta rupiah, atau diatas Upah Minimum Propinsi (UMP) setempat maka yang menjadi dasar pembayran iuran program JPK adalah tetap Rp 1.000.000,-. Dengan pembayaran iuran ini, program JPK menanggung risiko sakit tenaga kerja beserta istri/suami dengan maksimum 3 orang anak dengan ketentuan usia maksimum 21 tahun, belum menikah, dan belum berumah tangga. (PP 14 Tahun 1993).

Dokumen terkait