• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Teori Struktur

1.6.1.1 Teori Tokoh dan Penokohan

Menurut Nurgiyantoro, watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan sering juga disamakan artinya dengan perwatakan karena menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Seperti yang dijelaskan oleh Jones yang dikutip

oleh Nurgiyantoro (1995:165) bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Karakter menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh yang cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995:165).

Tokoh cerita (character) menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:165-166) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan pembaca. Dalam hal ini, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya.

Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1995:166).

Masalah penokohan sebuah karya tak hanya berhubungan dengan perwatakan para tokoh, namun juga cara pelukisan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan. Teknik

pelukisan tokoh dibedakan ke dalam dua teknik, yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 1995:194).

a. Teknik Ekspositori

Menurut Nurgiyantoro (1995:195), teknik ekspositori sering disebut sebagai teknik analitis, yang merupakan teknik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita dihadirkan secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.

b. Teknik Dramatik

Sedangkan teknik dramatik mirip dengan yang ditampilkan dalam drama, yaitu dilakukan secara tak langsung. Pengarang tak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa (Nurgiyantoro, 1995:198).

Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Biasanya pengarang menggunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling

mengisi, walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berikut penjabarannya.

1) Teknik Cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan mampu mencerminkan kedirian tokoh. Namun, percakapan yang baik, efektif, dan lebih fungsional mampu menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.

2) Teknik Tingkah Laku

Teknik ini menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam tingkah laku dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan kediriannya.

3) Teknik Pikiran dan Perasaan

Keadaan pikiran dan perasaan yang dirasakan oleh tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. Bahkan, tingkah laku pikiran dan perasaan yang kemudian diejawentahkan menjadi tingkah laku verbal dan non-verbal itu. Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan tingkah laku pikiran dan perasaan. Di samping itu, dalam bertingkah laku secara fisik atau verbal, orang dapat

berpura-pura. Namun, orang tak mungkin dapat berlaku pura-pura terhadap pikiran dan hatinya sendiri.

4) Teknik Arus Kesadaran

Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dalam fiksi modern, arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:206). Arus kesadaran sering disamakan dengan monolog batin, yaitu percakapan yang hanya terjadi pada diri sendiri. Penggunaan teknik arus kesadaran atau monolog batin ini dianggap sebagai usaha untuk mengungkapkan informasi yang “sebenarnya” tentang kedirian tokoh karena tak sekedar menunjukkan tingkah laku di indra saja.

5) Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh adalah reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Reaksi tokoh terhadap hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

6) Teknik Reaksi Tokoh Lain

Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama berupa pandangan, pendapat, sikap, dan lain-lain. Penilaian kedirian tokoh utama oleh tokoh-tokoh lain. Tokoh lain pada hakekatnya melakukan penilaian atas tokoh utama untuk pembaca.

7) Teknik Pelukisan Latar

Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh. Keadaan latar tertentu dapat menentukan kesan tertentu pula di pihak pembaca.

8) Teknik Pelukisan Fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Pelukisan keadaan fisik tokoh terasa penting terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif. Di samping itu, ia juga dibutuhkan untuk mengefektifkan dan mengkonkretkan ciri-ciri kedirian tokoh yang telah dilukiskan dengan teknik lain (Meredith & Fitzgerald dalam Nugiyantoro, 1995:210). Jadi, pelukisan wujud fisik tokoh berfungsi untuk lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh (Nurgiyantoro, 1995:201-210).

1.6.1.2 Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216). Stanton yang juga dikutip dalam Nurgiyantoro (1995:216) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan, pelukisan, atau penunjukkan latar agar pijakan cerita dapat semakin konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Pembaca dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya (Nurgiyantoro, 1995:217).

Unsur latar menurut Nurgiyantoro (1995:227-237) dibagi kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Berikut penjabarannya.

a. Latar Tempat

Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan

realistis penting untuk memberi kesan pembaca seolah-olah hal yang diceritakan sungguh-sungguh ada dan terjadi. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan.

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa dalam karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Unsur waktu dapat mempengaruhi perkembangan plot dan cerita. Dengan demikian, latar aktu bersifat fungsional.

c. Latar Sosial

Latar sosial merujuk pada perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat yang kompleks dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, padangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Latar sosial memiliki peranan yang cukup menonjol. Latar sosial menentukan apakah sebuah latar tempat menjadi khas dan tipikal atau bersifat netral. Dengan kata lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi latar

tempat harus disertai deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan.

Dokumen terkait