• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN SERTA LATAR DALAM NOVEL

2.3 Tokoh dan Penokohan Tokoh Tambahan

2.3.1 Tokoh dan Penokohan Si Anak Pengamen/ P/ Pepper

Tokoh Pepper digambarkan kediriannya dengan menggunakan teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik dramatik yang digunakan juga mencakup kedua teknik, yaitu teknik cakapan dan teknik tingkah laku.

Dengan teknik ekspositori, fisik Pepper dideskripsikan dengan rambut dan mata yang berwarna coklat. Pepper juga berperawakan kurus dan membawa-bawa gitar. Fisik Pepper memiliki kemiripan dengan fisik Mas Alri. Berikut kutipannya.

(20) Sebenarnya, kalau dilihat-lihat, Mas Alri dan Pepper mirip sekali. Soalnya, rambut dan mata mereka sama-sama agak berwarna cokelat. Terus, mereka juga sama-sama kurus dan membawa gitar. Mungkin, kalau Pepper sudah besar, dia akan kelihatan seperti Mas Alri. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:95)

Melalui teknik ekspositori, peneliti menyimpulkan sifat atau pun penokohan yang dimiliki oleh tokoh Pepper pada novel Di Tanah Lada. Pepper memiliki bentuk fisik yang hampir-hampir mirip dengan Mas Alri. Pepper berambut dan bermata cokelat, berperawakan kurus dan membawa gitar kemana-mana.

Selain itu, pengarang juga menggunakan teknik dramatik untuk menggambarkan kedirian lain dari tokoh Pepper. Pepper memiliki nama asli dengan satu abjad saja, yaitu P. Dengan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan, pengarang menggambarkan hal tersebut seperti pada halaman 60-61. Pada halaman tersebut, Ava menanyakan nama asli Pepper yang kemudian dijawab olehnya bahwa namanya hanyalah berabjad “P”.

Pepper jugalah anak kecil yang masih berumur 10 tahun. Penokohan ini juga digambarkan dengan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan. Berikut kutipannya.

(21) “Kamu berapa tahun?” Aku bertanya kepada anak itu. “10 tahun.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:23)

Meski masih kecil, Pepper adalah anak yang terkadang berprasangka buruk kepada orang lain maupun dirinya yang di masa depan. Ia dilukis dengan sikap yang skeptis dan pesimis. Dengan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan, penulis menggambarkan kedirian tersebut seperti pada kutipan berikut.

(22) “Nggak akan ketahuan,” katanya. “Kalau sudah main judi, orang nggak ingat apa-apa lagi. Tadi juga, Mama kamu pergi dari Papa kamu, tapi Papa kamu nggak sadar. Berarti, dia bisa pergi dari Papa kamu dari tadi. Kalau kata aku sih, Mama kamu aja yang lupa sama kamu.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:37)

(23) “Aku nggak tahu kenapa, kalau begitu.” Dia berpikir-pikir sebentar. “Mungkin karena nanti aku juga akan jadi papa. Kalau aku jadi papa, kan, aku juga jadi jahat. Tapi, kalau sudah jadi papa, nggak ada yang bisa menghukum aku. Makanya, Papa menghukum aku dari sekarang. Mumpung masih bisa.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:160)

Di sisi lain, Pepper adalah anak yang cukup di kenal di Rusun Nero. Banyak orang-orang dewasa yang menyukainya dan senang akan kehadirannya. Keadaan ini digambarkan dengan teknik dramatik yang mencakup teknik tingkah laku dan teknik cakapan. Pada halaman 25, Pepper dikenal oleh Mbak-mbak Penjaga Rumah Makan pada halaman 25. Dikenal oleh salah seorang ibu di Rusun Nero pada halaman 30.

Dikenal oleh beberapa orang di tempat perjudian dekat Rusun Nero pada halaman 35. Juga dikenal oleh Bapak dan Ibu Penjaga Rusun pada halaman 40

Sama seperti Ava, Pepper juga tumbuh menjadi anak yang tidak pernah merasakan cinta kasih sang ayah. Hal itu digambarkan pengarang dengan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan. Berikut kutipannya.

(24) “Kenapa kamu tidak boleh masuk ke kamar kalau ada Papa kamu?” “Soalnya, nanti dia marah.”

“Kenapa? Kamu berisik, ya?”

Si Anak Pengamen menggeleng. “Nggak, kok. Papa kesal aja kalau lihat aku.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:39)

(25) “Kok, Papa kamu suka pukul, sih? Pakai setrikaan, lagi,” tanyaku. “Papa aku juga jahat. Tapi nggak pakai setrikaan pukulnya.”

“Soalnya, Papa nggak sayang aku.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:160)

Ketiadaan cinta kasih sang ayah kepada Pepper dibuktikan dari perlakuan kasar yang seringkali dirasakan Pepper. Kondisi ini digambarkan penulis menggunakan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan dan tingkah laku pada halaman 130-132. Di mana pada halaman tersebut, Ava menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ayah Pepper menyiksa anaknya sendiri. Dengan menggunakan setrika panas, ayah Pepper membakar lengan Pepper.

Selain tidak dicintai dan sering mendapat perlakuan kasar, Pepper yang masih kecil bahkan juga dipaksa untuk menjadi tulang punggung bagi dirinya dan ayahnya. Ia membeli sendiri sepeda dan ponselnya, bahkan membayar biaya sewa rusun yang seharusnya menjadi kewajiban ayahnya. Kedirian ini dilukis dengan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan seperti pada halaman 115-116.

Penderitaan yang dialami Pepper tidak hanya selesai sampai di situ. Sejak kecil, Pepper sudah ditinggalkan begitu saja oleh ibunya. Ibunya melarikan diri dari perlakuan kejam sang ayah dan meninggalkan Pepper yang masih kecil. Dengan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan, pengarang menggambarkan kedirian tokoh seperti kutipan berikut.

(26) “Soalnya, buku ini dari Mama aku,” kata Pepper. “Cuma ini yang dia kasih untuk aku sebelum dia pergi.”

“Mama kamu pergi? Ke mana?”

“Nggak tahu. Tapi dia nggak pernah balik lagi.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:128)

(27) P mengangkat kakinya dan duduk bersila menghadapku. Dia menunduk. “Kata Mas Alri, Kak Suri ngelahirin aku waktu dia 17 tahun,” katanya. “Terus, aku dibawa kakaknya Kak Suri yang sudah menikah sama Papa aku. Tapi, terus kakaknya Kak Suri kabur dari Papa aku.”

“Karena Papa kamu jahat, ya?”

P mengangguk. “Kayaknya begitu,” katanya. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:220)

Di atas segala yang pernah terjadi, Pepper tetap kuat dan tegar menghadapi segala cobaan dalam hidupnya. Ia tumbuh menjadi anak yang tahan banting terhadap berbagai masalah meskipun hal itu pedih bagi dirinya. Kedirian ini dilukiskan oleh pengarang dengan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan dan teknik tingkah laku. Berikut kutipannya.

(28) Mas Alri mengangkat bahu. “Di Belanda, ada dinding yang, di sana, tertulis puisi ini. Puisi ini secantik itu, sampai bangsa lain menuliskannya di tanah mereka,” katanya. “Sedih. Penuh penderitaan. Tapi, tegar. Persis seperti kamu.”

Dia menepuk bahu Pepper. “Baca,” katanya. “Nanti kamu paham, betapa kuatnya kamu selama ini.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:185)

Melalui teknik dramatik, peneliti menyimpulkan beberapa sifat atau pun penokohan yang dimiliki oleh tokoh Pepper pada novel Di Tanah Lada. Pepper memiliki nama asli dengan satu abjad saja, yaitu P. Selain itu, Pepper jugalah anak kecil yang masih berumur 10 tahun. Meskipun Pepper merupakan anak yang masih kecil, ia tumbuh menjadi anak yang berprasangka buruk. Di sisi lain, Pepper adalah anak yang cukup di kenal di Rusun Nero. Banyak orang-orang dewasa yang menyukainya dan senang akan kehadirannya. Sama seperti Ava, Pepper juga tidak pernah merasakan cinta kasih sang ayah. Bahkan, ketiadaan cinta kasih sang ayah kepada Pepper dibuktikan dari perlakuan kasar yang seringkali dirasakan Pepper. Selain tidak dicintai dan sering mendapat perlakuan kasar, Pepper yang masih kecil juga dipaksa untuk menjadi tulang punggung bagi dirinya dan ayahnya. Di sisi lain, Pepper sudah ditinggalkan begitu saja oleh ibunya sejak masih kecil. Di atas segala yang pernah terjadi, Pepper tetap kuat, tegar, dan tahan banting menghadapi segala cobaan dalam hidupnya.

Dokumen terkait