• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN SERTA LATAR DALAM NOVEL

2.2 Tokoh dan Penokohan Tokoh Utama

Jones menyatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1995:166).

Penokohan dibagi ke dalam dua jenis, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis atau biasa disebut sebagai tokoh utama atau sentral adalah jenis tokoh yang mendukung jalannya cerita, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berpotensi memicu konflik dengan tokoh protagonis (Waluyo, 1994:168).

Tokoh Ava dalam novel Di Tanah Lada memegang peranan sebagai tokoh yang paling banyak diceritakan oleh pengarang. Oleh karena itu, tokoh protagonis atau tokoh sentral dalam novel ini adalah tokoh Ava. Sebagai tokoh sentral, tokoh Ava bertindak sebagai pelaku kejadian di sepanjang alur cerita dan juga mengalami berbagai konflik. Berikut adalah beberapa kutipan yang mendukung tokoh Ava sebagai tokoh sentral dalam novel Di Tanah Lada.

Pada bagian awal cerita, pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai tokoh Ava. Secara eksplisit dapat disimpulkan bahwa tokoh sentral dalam novel Di Tanah Lada adalah tokoh Ava. Di sisi lain, kutipan ini menunjukkan betapa sukanya Ava terhadap kehidupan di sekolah. Salah satu dari alasan sukanya tersebut adalah ketiadaan sang ayah di sekolah. Berikut kutipannya.

(1) Hari ini, aku bangun pagi-pagi sekali. Biasanya, aku bangun pagi karena harus pergi ke sekolah. Tapi hari ini aku bangun pagi meskipun aku tidak harus sekolah. Karena, aku suka sekolah. Kata Bu Guru, aku anak baik. Dan kata Bu Guru, aku anak pintar. Aku punya banyak teman di sekolah. Dan, di sekolah, tidak ada Papa. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:9)

Pertentangan batin pada tokoh Ava juga mula-mula diperkenalkan oleh pengarang pada awal cerita. Pengarang menggambarkan bagaimana penggambaran sosok ayah dalam imajinasi Ava. Perlu dilihat bahwa imajinasinya tentang sosok ayahnya sangat menyeramkan sehingga hal itu menjadi sebuah konflik batin tersendiri bagi Ava. Berikut kutipannya.

Kurasa Mama tidak akan senang kalau aku bilang Papa mirip hantu. Tapi kurasa Mama tidak akan senang kalau aku bicara bohong. Jadi, kurasa lebih baik aku jujur.

Menurutku, Papa mirip hantu. Papa mirip hantu karena aku takut hantu, dan aku tahu Mama takut hantu. Dan aku takut Papa. Dan aku tahu kalau Mama juga takut Papa. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:2)

Pada bagian tengah cerita, peneliti melihat bahwa tokoh Ava semakin ditonjolkan keberadaannya sebagai pusat pelaku kejadian yang membuktikan bahwa tokoh Ava memanglah tokoh yang berperan sebagai tokoh sentral. Keberadaan tokoh Ava sebagai tokoh sentral dibuktikan dari kutipan berikut yang menceritakan Ava yang sudah cukup mengenal P atau Pepper. Ava melakukan percakapan di telepon bersama Pepper yang sudah ia miliki nomornya. Berikut kutipannya.

(3) Kubuka mataku dan membaca layar ponsel. Cuma ada dua nama yang kusimpan dalam ponselku: Mama, dan P Si Anak Pengamen. Aku dihubungi P Si Anak Pengamen.

“Halo,” sapaku, lewat telepon. “Halo,” balasnya. “Kamu di mana?”

“Tidak tahu,” kataku pelan. Aku mengusap mata. “Di atas tempat tidur. Hei, kamu benar. Aku dapat kasur baru hari ini.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:76)

(4) Kukeluarkan ponsel dari sakuku. Kuputuskan untuk menghubungi P Si Anak Pengamen. Aku kan selalu bersama dia kalau aku ditinggal Mama-Papa di rusun. Jadi, karena sekarang aku sedang sendirian lagi, lebih baik aku hubungi dia.

“Halo,” sapa P Si Anak Pengamen di ponselku. “Halo,” aku menyapa balik. “Ini Ava.”

Pada akhir cerita, Ava sebagai tokoh sentral pelaku kejadian semakin diperkuat dari kutipan berikut. Di mana Ava dan Pepper sudah berenang-renang di laut dan terbawa oleh arus. Berikut kutipannya.

(5) Badanku terbawa arus, terapung ke atas. Tapi aku tidak mau ke atas. Kupandang P di sampingku. Dia juga memandangiku. Kami sama-sama tidak mau ke atas. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:237)

Dari penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Ava merupakan tokoh utama dalam novel Di Tanah Lada karya Ziggy Z ini. Sebagai seorang tokoh utama, Ava mengambil banyak peranan sebagai pelaku kejadian dalam cerita maupun peran yang dikenai banyak kejadian. Tokoh Ava mengalami berbagai konflik batin dari awal hingga akhir cerita.

Selain itu, teknik pelukisan tokoh Ava oleh pengarang dibagi ke dalam dua teknik, yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung (Nurgiyantoro, 1995:195). Sedangkan teknik dramatik adalah teknik penggambaran tokoh secara tidak langsung mengenai sifat dan sikap para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya (Nurgiyantoro, 1995:198). Terkadang, pengarang mendeskripsikan tokoh Ava secara langsung dengan teknik ekspositori, namun terkadang juga menggunakan teknik dramatik. Oleh karena itu, peneliti akan mendeskripsikan kedirian tokoh utama yang dibagi ke dalam kedua teknik tersebut.

Sebagai seorang anak kecil, Ava digambarkan kediriannya sebagai anak yang sering berpikiran meracau. Kegiatan meracau tersebut biasanya disebabkan karena banyaknya ide-ide atau gagasan yang bermunculan di kepalanya. Hal ini dapat dibuktikan pada halaman 1-2. Di mana pertama-tama, Ava membicarakan cuaca di dunia, suhu di rumahnya, boneka penguin yang dimilikinya selama 6 tahun, serta wujud hantu berbadan besar yang disebutnya sebagai Papa. Pengarang juga menggunakan teknik ekspositori untuk menggambarkan penokohan tersebut dalam kutipan berikut.

(6) Aku harus bertanya berkali-kali pada Mama kenapa dia menyiksa tanaman-tanaman tertentu dengan cairan yang baunya seperti tahi kerbau. Aku tahu bau tahi kerbau karena Mama pernah membawaku ke tempat Nenek Isma, dan Nenek Isma tinggal di dekat kandang kerbau. Kerbau dalam kandang kerbau itu milik Nenek Isma. Nenek Isma punya kerbau.

Aku meracau lagi. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:4)

Pengarang juga menggambarkan tokoh Ava sebagai seorang anak yang sangat suka berbahasa Indonesia. Bentuk cintanya pada Bahasa Indonesia dibuktikan dari perbuatannya yang selalu membawa kamusnya kemana pun ia pergi di dalam tas ranselnya. Ava akan membolak-balikkan setiap lembaran dalam kamus jika ada kosakata yang tidak dimengerti. Selain mencintai Bahasa Indonesia, peneliti menyimpulkan bahwa Ava adalah anak yang teliti. Ia tidak ingin keliru dalam menafsirkan sebuah kata. Sehingga setiap ada kata yang tak dimengerti, ia akan langsung mencari definisinya di dalam kamus. Hal ini dibuktikan pada kutipan dengan teknik ekspositori dan dramatik berikut. (Pada kutipan no 8, definisi dalam

kamus yang ditulis dengan font Courier New tetap dipertahankan seperti yang tertulis dalam novel).

(7) Aku diam saja. Aku memang membawa kamus di dalam tasku. Makanya tasku berat. Tapi, kamus itu selalu ada bersamaku. Itu hadiah dari kakek Kia. Katanya, karena aku anak baik yang bertutur kata manis, dia mau aku belajar bahasa dengan baik. Kakek Kia suka mengajariku bahasa yang baik. Aku jadi suka belajar bahasa. Makanya, aku selalu membawa kamus dan selalu mencari kata di dalam kamus. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:44)

(8) Aku tidak mengerti kenapa Papa bilang Mama berbuat tolol. Aku mencari dua kata itu di buku kamus punya Mama dan menemukan ini :

1. Berbuat (kk.): mengerjakan (melakukan) sesuatu. 2. Buat (kk.): (1) kerjakan, lakukan; (2) bikin. 3. Tolol (ks.): sangat bodoh; bebal.

Lalu karena aku tidak yakin apa arti ‘bebal’, aku cari lagi, dan menemukan ini:

4. Bebal (ks.): sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu; bodoh.

Dan supaya lebih yakin, aku mencari arti kata ini :

5. Bodoh (ks.): (1) tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dsb); (2) tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman).

Jadi, kurasa ‘berbuat tolol’ berarti: mengerjakan sesuatu yang sangat tidak

mudah dimengerti. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:3)

Dengan teknik ekspositori, pengarang juga menggambarkan tokoh Ava sebagai anak yang sangat takut menyuarakan keinginannya. Ketakutannya itu disebabkan oleh sang ayah yang selalu memarahi atau memaki Ava sesudah memberi tahu apa pun keinginannya. Berikut kutipannya.

(9) Aku, sebenarnya, mau makan sate. Tapi itu tidak ditawarkan. Jadi, aku tidak berani bilang. Soalnya, kalau aku bilang aku mau sesuatu ke Papa, Papa akan

mulai marah-marah dan bilang kalau ‘si cecodot culun itu harus diajari supaya berhenti kurang ajar’. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:159)

Karena apapun yang dilakukan Ava selalu salah di mata sang ayah, ia pun menjadi anak yang sangat tidak menyukai ayahnya sendiri. Dengan teknik ekspositori, pengarang menggambarkan penokohan tersebut pada halaman 6. Keluarga Ava yang baru saja menerima warisan dari Kakek Kia. Hal itu membuat Ava berpikir betapa menyenangkannya setelah mempunyai banyak uang. Uang tersebut bisa ia pakai untuk bersenang-senang, seperti membeli banyak permen dan es krim. Ia juga akan senang untuk memiliki banyak ibu meskipun tidak akan senang sama sekali jika memiliki banyak ayah.

Dari teknik ekspositori yang telah digunakan pengarang, peneliti dapat menyimpulkan beberapa sifat atau pun penokohan yang dimiliki oleh tokoh Ava pada novel Di Tanah Lada. Ava adalah anak kecil yang sangat suka berpikiran meracau. Segala ide-ide atau gagasan yang menarik banyak bermunculan di dalam kepalanya. Ava juga digambarkan sebagai anak kecil yang sangat suka berbahasa Indonesia. Bentuk rasa sukanya itu ditunjukkan dari buku kamus yang selalu dibawanya kemana-mana. Ava juga adalah seorang anak yang sangat takut menyuarakan keinginannya. Ketakutannya sebagian besar disebabkan oleh sang ayah yang selalu memarahinya setiap kali Ava meminta sesuatu. Terakhir, Ava pun menjadi seorang anak yang sangat tidak menyukai ayahnya. Ketidaksukaannya pada sang ayah terjadi karena tindakan atau keberadaan Ava selalu salah di mata ayahnya.

Selain teknik ekspositori, peneliti menemukan bahwa pengarang juga menggunakan teknik dramatik untuk menggambarkan kedirian tokoh Ava. Teknik dramatik yang digunakan Ziggy Z mencakup teknik pikiran dan perasaan, teknik tingkah laku, dan teknik cakapan. Menurut Nurgiyantoro (1995:198), teknik tingkah laku adalah tindakan nonverbal atau fisik yang dapat dipandang sebagai cerminan kediriannya. Sedangkan teknik cakapan adalah percakapan yang dilakukan oleh tokoh untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.

Ziggy Z melukiskan tokoh Ava sebagai anak yang masih berumur enam tahun. Penggambaran ini oleh penulis dibuat dengan teknik dramatik berupa teknik cakapan. Berikut kutipannya. (Pada kutipan no 10, kutipan langsung yang ditulis dengan huruf kapital tetap dipertahankan seperti yang tertulis dalam novel).

(10) Mama langsung melompat berdiri dan balik berteriak, “MASIH INGAT KAU

PUNYA ANAK!? MASIH INGAT?!”

Papa balik berteriak lagi, “MASIH INGAT! KARENA KERJAAN DIA CUMA

MALAS-MALASAN MENGHABISKAN UANGKU! COBA KAU DIDIK DIA UNTUK BEKERJA! BUKAN UNTUK JADI PEMALAS SEPERTIMU!” “KAU MAU MENYURUH ANAK KITA BEKERJA!? DIA ENAM TAHUN!”

(Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:16)

Selayaknya anak berumur enam tahun, kedirian Ava digambarkan sebagai anak yang penuh rasa ingin tahu. Apa pun yang tidak dimengerti, akan langsung ditanyakan pada orang dewasa atau siapa pun yang berada di sekitarnya. Penggambaran ini juga dibuat dengan teknik dramatik berupa teknik cakapan. Berikut kutipannya.

Aku mengangguk. “Mas juga bukan pengamen, kan?” tanyaku, sambil menunjuk gitarnya. “Itu dibawa untuk main saja, ya? Bukan untuk cari uang?” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:95)

(12) Mas Alri sudah meninggalkan kami. Jadi, aku dan Pepper diam saja di pintu masuk. Berpegangan tangan. Bengong.

“Kenapa, sih, Mas Alri bilang kamu nggak pernah ketemu orang normal?” tanyaku kepada Pepper. “Kamu kan ketemu aku dan Mama. Kamu juga ketemu Papa. Orang jahat itu normal, kan? Kan, ada banyak orang jahat.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:101)

(13) “Kenapa kamu cuma main lagu itu?” tanyaku.

Pepper menjawab tanpa menghentikan permainannya. “Soalnya, aku cuma tahu lagu ini.”

“Memangnya, nggak diajari yang lain sama Mas Alri?” Pepper menggeleng. “Baru yang ini.”

“Kamu sudah belajar gitar berapa lama?”

“Lama. Dari Mas Alri pindah. Tapi, karena Mas Alri suka pergi, aku belajarnya jarang.”

“Oh. Mas Alri pindahnya kapan?”

Pepper berpikir lagi, agak lama. “Tahun lalu,” katanya. “Akhir tahun.” “Oh.”

Lalu aku memanggil namanya lagi; “Pepper?” “Hmm?”

“Kalau kamu bereinkarnasi jadi hewan, kamu mau jadi hewan apa?”

“Hmm,” gumamnya. “Badak bercula satu.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:215-216).

Selain penuh rasa ingin tahu, pikiran khas anak umur enam tahun yang masih murni membuat Ava selalu berkata jujur dan apa adanya. Apa pun yang terlintas dalam benaknya maupun bentuk kekaguman apa pun yang dirasakannya akan selalu ia utarakan. Penggambaran tokoh Ava ini sekali lagi menggunakan teknik dramatik berupa teknik cakapan. Penokohan ini dapat dibuktikan pada halaman 97-98 di mana Ava sedang berbincang-bincang dengan Mas Alri yang baru saja dikenalnya. Apapun

pertanyaan yang diutarakan oleh Mas Alri akan dijawab secara jujur dan apa adanya oleh Ava. Kedirian penokohan ini juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

(14) “Oh” kata Pepper. “Berarti Papa nggak elok.” Aku mengangguk setuju. “Papaku juga nggak elok.” “Tapi Mama kamu elok.”

Aku mengangguk setuju lagi. “Kamu juga elok.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:120)

Teknik dramatik juga digunakan penulis untuk melukiskan sifat kedirian tokoh Ava yang lain, yaitu penurut akan segala nasihat dari orang tua. Tokoh Ava digambarkan dengan kedirian yang sangat menuruti nasihat atau pun perintah dari sang ibu dan kakeknya. Nasihat-nasihat kecil apapun yang diucapkan tak pernah ia lupakan. Penokohan ini digambarkan dengan menggunakan teknik tingkah laku oleh pengarang. Berikut kutipannya.

(15) Aku agak kesal lagi. Tapi karena dia baru menghidupkan lampu, jadi tidak apa-apa. Aku menutup pintu, karena kata Mama, kalau sedang tidak ada dia, aku harus selalu menutup pintu. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:42-43) (16) “Terima kasih,” aku mengoreksinya. “Kata Kakek Kia, harus bilang begitu.

Katanya, ‘makasih’ itu bukan kata yang bagus.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:43)

(17) “Itu bintang, ya?” tanyaku pelan-pelan. Mama bilang, kalau sudah gelap, tidak boleh bicara keras-keras. (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:123)

Sejak kecil Ava didik oleh Kakek Kia untuk selalu berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik. Nasihat tersebut pun dituruti oleh Ava. Penokohan ini dapat dilihat pada halaman 24 ketika Pepper menganggap Ava seperti orang aneh karena terus-terusan berbicara dengan bahasa yang baik seperti orang dewasa. Ava justru

sebaliknya mengatakan bahwa ia harus berbicara seperti ini atas suruhan Kakek Kia dan sang ibu. Pada halaman 66, Ava kemudian bertemu dengan Kak Suri di Rusun Nero. Di sana, ia diajari untuk berbicara Bahasa Indonesia dengan tepat kepada orang-orang dalam kehidupan nyata. Maksudnya, Ava harus menyesuaikan cara bicara dengan lawan bicaranya. Penokohan ini diceritakan oleh pengarang dengan menggunakan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan.

Nama Ava adalah nama panggilan dari nama Salva. Ketika masih kecil, sang ayah ingin memberikan Ava dengan nama ‘saliva’ yang berarti ludah. Namun, sang ibu kemudian diam-diam menggantinya dengan nama ‘salva’. Dari sini peneliti melihat bahwa sedari kelahirannya, Ava memang tak pernah dicintai oleh ayahnya. Kelahirannya sangat tidak diharapkan, dianggap sampah dan tak berguna. Penokohan ini sekali lagi digambarkan dengan menggunakan teknik dramatik yang mencakup teknik cakapan. Berikut kutipannya. (Pada kutipan no 18, kutipan langsung yang ditulis dengan huruf kapital tetap dipertahankan seperti yang tertulis dalam novel).

(18) Aku mengangguk.”Nama lengkap aku Salva. Mama yang beri nama. Soalnya, kata Papa, tadinya Papa mau memberiku nama ‘saliva’ yang artinya ludah. Soalnya, waktu aku lahir, aku kelihatan seperti berlumuran ludah. Tapi, Mama bilang, Mama tidak mau anaknya diberi nama ‘ludah’. Jadi, waktu mendaftarkan namaku, dia diam-diam menggantinya. Mama dan Papa bertengkar soal namaku setidak-tidaknya satu kali setiap tahun. Kata Papa, ‘HARUSNYA BIAR SAJA KITA NAMAI DIA LUDAH! MEMANG BEGITU KAN DIA?! TIDAK BERGUNA SEPERTI LUDAH!’, dan Mama akan bilang, ‘HANYA ORANG SINTING TIDAK BERHATI YANG MENAMAI ANAKNYA LUDAH!’” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:64) (19) “.... Papa bukan orang tua yang baik, jadi dia mencoba menamaiku ‘ludah’.

Dia memperlakukan aku seperti ‘ludah’ karena menurut dia, namaku ‘ludah’ dan dia mendoakan agar aku hidup seperti ludah. Tapi Mama mencoba jadi

orang tua yang baik, makanya namaku ‘Salva’.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, 2015:232)

Dari teknik dramatik yang telah digunakan pengarang, peneliti dapat menyimpulkan beberapa sifat atau pun penokohan yang dimiliki oleh tokoh Ava pada novel Di Tanah Lada. Ava adalah anak kecil yang masih berumur enam tahun. Selain itu, kedirian Ava juga digambarkan sebagai anak yang penuh rasa ingin tahu. Apa pun yang tidak dimengerti, akan langsung ditanyakan pada orang dewasa atau siapa pun yang berada di sekitarnya. Kedirian Ava juga digambarkan dengan selalu berkata jujur dan apa adanya. Apa pun yang terlintas dalam benaknya maupun bentuk kekaguman apa pun yang dirasakannya akan selalu ia utarakan. Ava adalah anak yang penurut. Ia sangat menuruti nasihat atau pun perintah dari sang ibu dan kakeknya. Di sisi lain, Ava dididik untuk berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang baik oleh Kakek Kia. Lalu kemudian juga dididik untuk berbicara dengan Bahasa Indonesia yang tepat oleh Kak Suri. Terakhir, sejak dulu kelahiran Ava tidak diharapkan oleh sang ayah. Hal itu terlihat dari nama yang dulu ingin diberikan sang ayah kepada dirinya, yaitu ‘saliva’ yang berarti ludah. Ava dianggap seperti sampah dan tidak berguna.

Dokumen terkait