• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Struktur Sosial dan Anomie Robert K Merton

TINJAUAN PUSTAKA DAN TEOR

II.1 Studi Terdahulu

II.2.2 Teori Struktur Sosial dan Anomie Robert K Merton

Merton menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kultur. Ia menyatakan bahwa setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural fungsional tentu mencerminkan hal yang standar (artinya terpola dan berulang) (Merton, 1949/1968:104). Di dalam pikiran Merton, sasaran studi struktural fungsional antara lain adalah: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya (Merton, 1949/1968:104)

Fungsionalis struktural awal memusatkan perhatian pada fungsi satu struktur sosial atau pada fungsi satu institusi sosial tertentu saja. Menurut pengamatan Merton, para analis cenderung mencampuradukkan motif subjektif individual dengan fungsi struktur atau institusi. Perhatian analisis struktur fungsional mestinya lebih dipusatkan pada fungsi sosial ketimbang pada motif individual. Menurut Merton, fungsi didefinisikan sebagai “konsekuensi- konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu” (1949/1968:105). Tetapi, jelas ada bias ideologis apabila orang hanya memusatkan perhatian pada adaptasi atau penyesuaian diri, karena adaptasi dan penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif. Perlu diperhatikan bahwa satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negative terhadap fakta sosial

lain. Untuk meralat kelalaian serius dalam fungsionalisme struktural awal ini, Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi. Sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negative terhadap sistem sosial.

Merton juga mengemukakan konsep nonfunctions yang didefinisikannya sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan. Dalam hal ini termasuk bentuk-bentuk sosial yang “bertahan hidup” sejak zaman sejarah kuno. Meski mempunyai akibat positif atau negative di masa lalu, namun bentuk sosial itu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat kini. Apakah fungsi positif lebih banyak daripada disfungsi atau sebaliknya? Untuk membantu menjawab pertanyaan itu, Merton mengembangkan konsep “keseimbangan bersih” (net balance).

Dalam sumbangannya terhadap teori struktural fungsional, Merton tertarik untuk menganalisis mengenai hubungan antara kultur, struktur, dan anomie. Kultur menurut Merton didefinisikan sebagai seperangkat nilai normative yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok. Sedangkan struktur sosial didefinisikan sebagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya. Anomie diartikan sebagai keadaan yang terjadi apabila terdapat ketidaksesuaian antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural (Ritzer, 2004:142).

Dalam sebuah keluarga terdapat seperangkat nilai normative yang dapat dilihat melalui konsep peranan. Peranan dalam keluarga dapat diinternalisasi oleh seluruh anggota keluarga melalui proses yang disebut dengan sosialisasi. Sosialisasi atau disebut dengan proses belajar merupakan proses yang membantu individu melalui proses belajar dan adaptasi/penyesuaian diri mengenai cara hidup dan cara berpikir dari kelompok. Definisi lain mengenai apa itu sosialisasi adalah proses yang harus dilalui manusia untuk memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 2002:20).

Proses sosialisasi terhadap seorang anak dapat dimulai dengan proses imitasi atau peniruan, dimana anak akan meniru segala hal tingkah laku yang dilihatnya dari ayah dan juga ibunya. Proses ini merupakan tahap awal seorang anak menerima nilai-nilai normative yang ada dalam keluarga. Tetapi karena keluarga merupakan institusi yang pertama kali memberikan sosialisasi kepada individu maka keluarga secara tidak langsung juga mempunyai andil terhadap penyimpangan atau perilaku negative yang mungkin diadopsi oleh anak ke dalam masyarakat. Dalam tingkatan yang lebih jauh, setiap anggota keluarga kemudian akan memperoleh pengetahuan mengenai keluarganya secara utuh, diantaranya yakni tentang cara pemenuhan kebutuhan dan menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan sekitar. Keluarga diharapkan dapat menurunkan pengetahuan- pengetahuan mengenai peranan setiap anggota keluarga dan bagaimana setiap anggota keluarga dapat menjalankan peranannya sesuai dengan kedudukannya di dalam keluarga. Sebuah kewajiban yang mutlak harus dipahami oleh sebuah

keluarga adalah dengan adanya kemampuan keluarga untuk menjadi media yang berperan aktif dalam proses sosialisasi terhadap anggotanya sehingga dapat selaras dengan nila-nilai kultural yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, keluarga tidak akan menjadi suatu institusi yang nonfunctions bagi anggotanya.

Analisis struktur fungsional dari Merton lebih bisa dipusatkan kepada fungsi sosial, dimana fungsi di sini diartikan sebagai segala konsekuensi yang dapat diamati dan menimbulkan adaptasi dari suatu sistem. Misalnya dalam struktur keluarga dimana terkadang mempunyai akibat yang negative terhadap eksistensi dari sistem (keluarga) secara keseluruhan. Dalam keluarga besar yang terdiri dari suami, istri, anak-anak, dan juga saudara lain akan dimungkinkan mempunyai ketidakcocokan diri bagi keluarga sangat diharapkan bisa menjembatani terhadap akibat negative yang muncul.

Dalam sejarah kehidupan manusia akan dikenal istilah dinamika hidup, yakni segala sesuatu hal dalam hidup manusia yang sifatnya selalu mengalami perubahan. Sebab-sebab terjadinya perubahan pada manusia tentu akan berbeda satu sama lain, oleh karena itu besaran perubahan dan lama perubahan yang dialami oleh seseorang juga akan berbeda satu sama lain. Dalam lingkup keluarga, perubahan atau dinamika juga dapat terjadi.besaran dan waktu perubahanpun juga akan berbeda untuk masing-masing keluarga.

Dinamika dalam hidup bisa dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dimana individu tesebut berada. Lingkungan fisik dalam hal ini adalah keluarga. Masing-masing anggota keluarga yang ada harus mampu saling menyesuaikan diri dengan anggota keluarga lain sehingga konflik yang terjadi

diantara anggota keluarga dapat diminimalisir sedemikian rupa. Sedangkan untuk lingkungan sosial, dapat disebut dengan masyarakat. Keluarga sebagai subsistem masyarakat diharapkan juga dapat menyesuaikan diri, yakni dengan berusaha menyelaraskan setiap nilai-nilai dan norma-norma dalam keluarga dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Proses penyesuaian diri merupakan reaksi terhadap tuntutan pada diri seseorang. Menurut Vembriarto, tuntutan-tuntutan dapat digolongkan menjadi tuntutan internal dan tuntutan eksternal (Khairuddin, 2002:68). Yang dimaksud dengan tuntutan internal adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam individu itu sendiri, misalnya karena adanya perasaan cinta maupun sayang. Seseorang yang mau menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena adanya tuntutan internal umumnya adalah karena rasa cinta atau rasa sayang mereka terhadap seseorang ataupun sekelompok orang (keluarga) sehingga dengan rasa sayang dan cinta tersebut menyebabkan mereka secara sukarela menyesuaikan diri, seperti pada pasangan suami istri yang menjalani pernikahan long distance. Sedangkan tuntutan eksternal merupakan tuntutan yang bukan berasal dari individu, melainkan dari lingkungan luar seperti masyarakat. Pada masyarakat yang modern sekalipun, seperti yang diungkapkan oleh Durkheim, masih memperlihatkan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan tumbuh berkembang di dalam lingkungan yang mereka tempati. Untuk itulah keluarga yang hidup di tengah-tengah masyarakat harus dapat menyesuaikan diri. Proses penyesuaian sendiri dapat dipandang dari dua sudut, yaitu:

1. Kualitas atau efisiensinya 2. Proses berlangsungnya

Proses penyesuaian yang dipandang berdasarkan kualitas, berarti yang menjadi kriteria penilaian adaptasi adalah berhasil tidaknya dan efisien atau tidaknya penyesuaian yang dilakukan. Untuk melihat berhasil tidaknya atau efisien tidaknya adaptasi, menurut Vembriarto terdapat empat kriteria yang dapat digunakan yaitu:

1. Kepuasaan psikis: penyesuaian diri yang berhasil akan menimbulkan kepuasan psikis, sedangkan yang gagal akan menimbulkan rasa tidak puas yang menjelma dalam perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi dan lain-lain sebagainya.

2. Efisiensi kerja: penyesuaian diri yang berhasil akan tampak dalam kerja/kegiatan yang tidak efisien.

3. Gejala-gejala fisik: penyesuaian diri yang gagal akan tampak dalam gejala- gejala fisik seperti: pusing kepala, sakit perut, gangguan pencernaan, diare, dan lain sebagainya.

4. Penerimaan sosial: penyesaian diri yang berhasil akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat, sedangkan yang gagal akan mendapatkan reaksi tidak setuju oleh masyarakat.

Robert K. Merton mencoba menjelaskan penyimpangan melalui struktur sosial. Menurut teori ini, struktur sosial bukan hanya menghasilkan perilaku yang konformis saja, tetapi juga menghasilkan perilaku menyimpang. Merton mengemukakan tipologi cara-cara adaptasi terhadap situasi, yaitu konformitas, inovasi, ritualisme, pengasingan diri, dan pemberontakan (keempat yang terakhir

merupakan perilaku menyimpang). Merton mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi, empat diantaranya merupakan perilaku menyimpang, yaitu:

1. Komformitas, ini merupakan perilaku yang mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut (cara konvensional dan melembaga).

2. Inovasi, merupakan perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat (termasuk tindak kriminal).

3. Ritualisme adalah perilaku seseorang yang telah meninggalkan tujuan budaya. Namun masih tetap berpegangan pada cara-cara yang telah digariskan masyarakat, dalam arti ritual atau upacara dan perayaan masih diselenggarakan tapi maknanya telah hilang.

4. Pengunduran/Pengasingan Diri, Meninggalkan, baik tujuan konvensional maupun cara pencapaiannya yang konvensional. Dalam pengasingan diri juga terdapat Retritsm. Orang yang menjalankan retritism adalah Anomi (tidak punya nilai).

5. Pemberontakan (Rebellion), Penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru.

II.2.3 Teori Komunikasi Interpersonal Joseph A. DeVito