• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Teori-teori yang mendukung

Berikut merupakan enam teori yang mendukung penelitian yaitu

karakteristik siswa SD, kemampuan memahami, pembelajaran

matematika, PMRI, masalah kontekstual dalam PMRI, penjumlahan dan

pengurangan berbagai bentuk pecahan.

a. Karakteristik Siswa SD

Anak memasuki dunia sekolah dasar biasanya ketika usia 6-12

tahun dan berdasarkan tahapan perkembangan kognitif menurut

Piaget anak berada pada periode operasi konkret, yaitu masa

berakhirnya berfikir khayal (imajinatif) dan mulai berfikir konkret

dengan beberapa karakteristik yang ditunjukkan anak seperti sudah

dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang

mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi, dan

mengubah. Operasi ini memungkinkan mereka untuk dapat

memecahkan masalah secara logis.

Djawad Dahlan dalam buku “Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja” (2010: 24-26) membagi anak usia sekolah dasar (6-12

tahun) dalam dua tahapan, yaitu masa kelas rendah sekolah dasar (6 -

9 atau 10 tahun) dan masa kelas atas sekolah dasar (9 - 12 tahun).

Masa kelas rendah di sekolah dasar ditandai dengan beberapa

sifat anak, yaitu (a) adanya hubungan yang positif antara keadaan

jasmani dengan prestasi belajar, apabila keadaan jasmaninya baik

maka banyak prestasi belajar yang dicapai (2) tunduk pada

peraturan-peraturan permainan tradisional (3) suka

membanding-bandingkan dirinya dengan teman lain serta cenderungan memuji

diri sendiri (4) apabila tidak berhasil menyelesaikan suatu soal, maka

soal itu dianggap tidak penting (5) anak menghendaki rapornya

mendapatkan nilai baik, tanpa mengingat apakah prestasinya

memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

Masa kelas atas juga menunjukkan beberapa sifat khas,

diantaranya yaiu (1) adanya minat terhadap kehidupan praktis

sehari-hari yang konkret (2) amat realistic, ingin mengetahui dan belajar (3)

sudah terlihat anak lebih tertarik pada mata pelajaran apa (4) anak

memandang nilai rapor sebagai satu-satunya nilai yang tepat untuk

melihat prestasi sekolah (5) anak suka membentuk kelompok sebaya.

Djawad Dahlan juga menjelaskan bahwa anak usia 6-12 tahun

ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu

mengklasifikasikan (menglompokkan), menyusun, dan

mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka

atau bilangan. Di samping itu pada akhir masa ini anak sudah

b. Kemampuan Memahami

Istilah pemahaman berasal dari akar kata paham, yang menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengetahuan

banyak, pendapat, aliran, mengerti benar. Adapun istilah pemahaman

ini sendiri diartikan dengan proses, cara, perbuatan memahami atau

memahamkan. Dalam pembelajaran, pemahaman dimaksudkan

sebagai kemampuan siswa untuk dapat mengerti apa yang telah

diajarkan oleh guru. Dengan kata lain, pemahaman merupakan hasil

dari proses pembelajaran. Serta dapat dipahami pula bahwa

pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan

transformasi ilmu pengetahuan (Ahmad Susanto, 2013: 208).

Kemampuan ini umumnya mendapat penekanan dalam proses

belajar mengajar. Siswa dituntut mengerti apa yang diajarkan,

mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat

memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkan dengan

hal-hal lain. Bentuk soal yang sering digunakan untuk mengukur

kemampuan ini adalah pilihan ganda dan uraian (Daryanto,

1997:106).

Daryanto juga menjabarkan kemampuan memahami menjadi

tiga indikator, yaitu yang pertama menerjemahkan (translation).

Menerjemahkan bukan saja pengalihan arti dari bahasa yang satu ke

bahasa yang lain. Tetapi juga dari konsepsi abstrak menjadi suatu

model, yaitu model simbolik untuk mempermudah orang dalam

menerjemahkan. Ini adalah kemampuan untuk mengenal dan

mengerti. Atau sering disebut dengan ide utama suatu komunikasi.

Mengekstrapolasi (ekstrapolation) sifatnya lebih tinggi dari

menjabarkan dan menginterpretasi. Kata kerja operasional yang

dapat dipakai untuk mengukur kemampuan ini adalah

memperhitungkan, memprakirakan, menduga, menyimpulkan,

meramalkan, membedakan, menentukan, mengisi, dan menarik

kesimpulan.

Menurut bloom (Tea, 2009) dalam Ahmad Susanto (2013),

siswa harus melakukan lima tahapan berikut, yaitu receiving

(menerima), responding (menbanding-bandingkan), valuing

(menilai), organizing (diatur), dan characterization (penataan nilai).

Salami (2010) juga memberikan beberapa indikator siswa dapat

dikatakan memahami konsep matematika, yaitu (1) mendefinisikan

konsep secara verbal dan tulisan, (2) membuat contoh dan noncontoh

penyangkal, (3) mempresentasikan suatu konsep dengan model, (4)

mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lain, (5) mengenal

berbagai makna dan interpretasi konsep, (6) mengidentifikasi

sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat-syarat yang menentukan

suatu konsep, serta (7) membandingkan dan membedakan

konsep-konsep.

Berdasarkan penjabaran kemampuan memahami oleh para ahli,

peneliti merumuskan pengertian kemampuan memahami sebagai

dan menguasai informasi yang diperoleh sebagai materi

pembelajaran. Peneliti juga menentukan beberapa indikator untuk

kemampuan memahami, diantaranya yaitu memberi contoh dari

suatu konsep, menyatakan ulang sebuah konsep, mengubah suatu

bentuk ke bentuk lain, dan melakukan operasi hitung dalam berbagai

bentuk.

c. Pembelajaran Matematika

Susanto (2013) menjelaskan pembelajaran merupakan

komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai

pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik. Belajar

tertuju pada kepada apa yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai

subjek yang menerima pelajaran, sedangkan mengajar berorientasi

pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran.

Adapun menurut Dimyanti (2006), pembelajaran adalah kegiatan

guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat

siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan

sumber belajar. Pembelajaran adalah suatu kondisi yang dengan

sengaja diciptakan oleh guru guna membelajarkan siswa (Djamarah,

2002: 43). Berdasarkan penjelasan tentang pembelajaran oleh

beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah

kegiatan atau program yang sengaja diciptakan secara dua arah yang

pendidik harus menciptakan kondisi yang mengaktifkan siswa

sebagai pembelajar.

Matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau

mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari,” sedangkan

dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti,

yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas, 2001:7).

Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang

bekerja atas dasar asumsi (kebenaran konsistensi). Selain itu,

matematika juga bekerja melalui penalaran induktif yang didasarkan

fakta dan gejala yang muncul untuk sampai pada pemikiran tertentu.

Tetapi perkiraan ini, tetap harus dibuktikan secara deduktif, dengan

argumen yang konsisten (Susanto, 2013: 184-185). Matematika

menurut Erman Suherman (2003: 253) adalah disiplin ilmu tentang

tata cara berfikir dan mengolah logika, baik secara kuantitatif

maupun secara kualitatif. Sedangkan Tutik (2008) menjelaskan

bahwa matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak

dengan struktur-struktur deduktif, mempunyai peran yang penting

dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan

penjelasan beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

matematika adalah salah satu cabang ilmu pasti yang berisi

kumpulan ide abstrak dan berkaitan dengan penalaran baik secara

deduktif (berasumsi) maupun induktif (berdasarkan fakta dan gejala

yang muncul) untuk mencapai satu pemikiran serta dasar

Berdasarkan beberapa teori yang sudah dikemukakan

sebelumnya maka dapat diartikan, pembelajaran matematika adalah

interaksi dua arah antara guru dan siswa yang sengaja diciptakan

oleh guru sebagai pendidik dalam sebuah kegiatan terprogram guna

mendorong siswa sebagai pembelajar untuk melakukan penalaran

baik secara deduktif maupun induktif sehingga siswa mencapai

satu pemikiran untuk menyelesaikan masalah abstrak melalui pola

pemikiran logis, analitis, sistematis, dan kritis serta sebagai dasar

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lain.

d. PMRI

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat

dipisahkan dari institut Freudenthal. Sebuah intitut yang didirikan

pada tahun 1971, berada dibawah Utrecht University, Belanda.

Nama intitut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor Hans

Freudenthal (1950-1990), seorang penulis, pendidik, dan

matematikawan berkebangsaan Jerman Belanda (Hadi, 2005:7).

Hadi (2005) juga menjelaskan sejak tahun 1971, institut

Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap

pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realictic

Mathematics Eucations). Realistic Mathematics Educations

menggabungkan pandangan-pandangan tentang apa itu matematika,

harus diajarkan. Kemudian RME diadaptasi oleh Indonesia dan

dikenal dengan PMRI.

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia merupakan salah

satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada

siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika

harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan

sehari-hari siswa ke pengalaman belajar yang berorientasi pada hal-hal

yang real. Prinsip utama PMRI adalah siswa harus berpartisipasi

secara aktif dalam proses pembelajaran karena pengetahuan dan

pemahaman siswa harus dibentuk oleh siswa sendiri melalui

pengalaman-pengalaman belajar yang mereka alami (Susanto, 2013:

205). Hadi (2005) menegaskan bahwa PMRI merupakan pendekatan

pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika dalam

rangka mengembangkan daya nalar peserta didik dengan melibatkan

mereka dalam proses pembelajaran yang bermakna dengan

berangkat dari masalah riil.

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dapat diartikan

sebagai pedekatan pembelajaran yang diadaptasi oleh Indonesia dari

RME dalam rangka meningkatkan kamampuan memahami materi

matematika peserta didik. Pendekatan PMRI menekankan proses

belajar matematika untuk berangkat dari masalah-masalah nyata

disekitar siswa agar siswa dapat telibat aktif selama pembelajaran.

pengetahuannya sendiri dari informasi-informasi yang diperolehnya

selama proses belajar.

Suherman (2003) menjelaskan prinsip-prinsip PMRI, yaitu (1)

didominasi oleh masalah-masalah konteks, (2) perhatian diberikan

kepada pengembangan model-model, situasi, skema, dan

symbol-simbol, (3) sumbangan dari para siswa sehingga dapat membuat

pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif; (4) interaktif

sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika; dan (5)

intertwining (membuat jalinan antar topik atau antar pokok bahasan).

e. Masalah Kontekstual dalam PMRI

Hadi (2005) menyatakan jika dalam PMRI harus dimulai dari

sesuatu yang riil sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan

konsep matematika sehingga siswa dapat terlibat dalam proses

pembelajaran secara bermakna. Pengembangan ide dan konsep

matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut “matematisasi

konseptual” (de Lange, 1996 dalam Sutarto Hadi, 2005:20).

Masalah matematika tidak secara otomatis menjadi kontekstual

hanya dengan menyusunnya dalam bentuk cerita situasi (roth, 1996)

atau menyajikannya sebagai soal terapan dalam pendekatan

mekanistis (Van den heuvel –panhuizen). Hal yang paling penting dari suatu konteks adalah bahwa konteks harus memunculkan proses

matematisasi (Van den Heuvel-panhuizen) serta mendukung

untuk mentransfer pengetahuan ke situasi baru yang relevan

(finkelstein, 2001). Jadi masalah kontekstual adalah fenomena atau

kejadian nyata yang terjadi disekitar siswa dan dekat dengan mereka

sehingga dari kejadian atau fenomena tersebut dapat menjembatani

sesuatu yang abstrak menjadi lebih konkret.

Beberapa hal berikut bisa kita gunakan untuk mengembangkan

konteks untuk pembelajaran suatu konsep matematika, yaitu konteks

menarik perhatian siswa dan mampu mengembangkan motivasi

siswa untuk belajar matematika (de lange 1978), penggunaan

konteks dalam PMRI bukan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep,

melainkan sebagai titik awal pembangunan suatu konsep, konteks

tidak melibatkan emosi, memperhatikan pengetahuan awal yang

dimiliki oleh siswa, konteks tidak memihak gender.

Jalal dalam A Decade Of PMRI In Indonesia, 2010:46

menyebutkan “In fact, we may discern two goalsof context

problem: one is to offer the students a motive, the other is to

offer them footholds for a solutions strategy”.

Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa dengan pemanfaatan

masalah kontekstual sebagai titik awal pembelajaran maka dapat

mencapai dua tujuan, yang pertama sebagai motivasi untuk siswa.

Penggunaan masalah kontekstual dapat mendorong rasa ingin tahu

siswa akan suatu hal karena anak merasa dekat dengan masalah

tersebut. Kedua sebagai bantuan untuk menemukan strategi

f. Penjumlahan dan Pengurangan Berbagai Bentuk Pecahan

Pecahan adalah suatu bilangan rasional yang menyatakan bagian

dari suatu benda yang utuh (Heruman, 2007: 43). Sedangkan

Sa’dijah (1998: 148) mendefinisikan bilangan pecahan, yaitu

bilangan yang dapat dinyatakan sebagai perbandingan dua bilangan

bulat a dan b, ditulis dengan syarat b ≠ 0. Dalam hal ini a disebut

pembilang dan b disebut penyebut. Dari dua pengertian tersebut,

maka dapat disimpulkan jika pecahan termasuk dalam bilangan

rasional yang merupakan bagian dari satu bilangan utuh yang

dinyatakan dalam dengan syarat a dan b adalah bilangan bulat, b

≠ 0, dan b bukan faktor dari a.

Kismiantini (2008: 33) menjelaskan penjumlahan berhubungan

dengan jumlah yang bertambah banyak dan disimbolkan dengan

tanda (+). Kismiantini juga menjelaskan bahwa pengurangan

berhubungan dengan jumlah yang semakin sedikit dan disimbolkan

dengan tanda (-). Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti

menyimpulkan bahwa penjumlahan dan pengurangan merupakan

bagian dari operasi hitung dalam matematika yang berhubungan

dengan jumlah, jika penjumlahan berarti jumlah semakin banyak

sedangkan pengurangan berarti jumlah semakin sedikit.

Penjumlahan pecahan dapat diartikan dengan operasi hitung

matematika yang melibatkan bilangan bulat yang dinyatakan dengan

dengan ditandai bertambahnya jumlah bilangan tersebut.

hitung matematika yang melibatkan bilangan bulat yang dinyatakan

dengan dengan ditandai dengan semakin berkurang atau sedikitnya

jumlah bilangan tersebut.

Sa’dijah (1998) menyebutkan beberapa bentuk pecahan, yaitu pecahan biasa, pecahan campuran, desimal, dan persen. Pecahan

biasa dituliskan dalam bentuk dengan a dan b bilangan cacah dan b

≠ 0. Pecahan biasa adalah bilangan yang terdiri dari pembilang dan penyebut dengan penyebut sebagai bilangan terbagi dan pembilang

sebagai bilangan pembagi (Suriani, 2010). Pecahan biasa adalah

pecahan yang terdiri dari pembilang dan penyebut (Sukayati, 2003).

Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa

pecahan biasa merupakan bagian dari bilangan utuh yang dinyatakan

dalam bentuk dengan syarat a dan b bilangan cacah dan b ≠ 0, jika b = 0 maka menjadi bilangan tak terdefinisikan serta sebagai

pembilang dan b sebagai penyebut. Contoh pecahan biasa

diantaranya adalah , , , dan .

Sa’dijah (1998: 151) menjelaskan jika pecahan campuran adalah pecahan yang pembilangnya lebih besar dari penyebutnya, sehingga

jika disederhanakan akan menghasilkan bentuk bulat dan pecahan.

Pecahan campuran adalah salah satu bentuk pecahan yang terdiri dari

pembilang, penyebut, dan bilangan utuh (Suriani, 2010). Pecahan

campuran adalah pecahan yang terdiri dari bilangan utuh, pembilang

2003). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti

menyimpulkan bahwa pecahan campuran adalah pecahan yang

memiliki pembilang, penyebut, dan bilangan utuh dengan syarat

pembilang lebih besar dari pada penyebutnya, sehingga jika

disederhanakan menghasilkan bentuk bulat dan pecahan biasa serta

dituliskan dalam bentuk . Sebagai contoh pecahan campuran

adalah

= 2 .

Sa’dijah (1998: 157) menjelaskan bahwa pecahan desimal dapat

dituliskan menggunkaan notasi (,) dengan memperhatikan sistem

nilai tempat. Pecahan desimal adalah bilangan yang didapat dari

hasil pembagian suatu bialangan dengan bilangan kelipatan 10 dan

dituliskan dengan notasi koma (Suriani, 2010). Pecahan desimal

merupakan pecahan yang penyebutya berbasis sepuluh dan

kelipatannya dengan menggunakan notasi koma (,) dalam

penulisannya (Sukayati, 2003). Berdasarkan penjelasan tersebut

peneliti menyimpulkan bahwa pecahan desimal adalah pecahan yang

memiliki penyebut kelipatan 10 serta dituliskan dengan notasi (,)

dengan memperhatikan sistem nilai tempatnya. Sebagai contoh

dapat ditulis 0,2 dengan memperhatikan sistem nilai tempatnya yaitu

(0 X 10) + (2 X

) =

Sa’dijah (1998: 161) menjelaskan bahwa persen artinya

perseratus dan dituliskan dengan notasi (%). Persen adalah bilangan

100 dan dituliskan dengan notasi %. Persen artiya perseratus,

sehingga nama pecahan biasa yang penyebutnya seratus dapat

diartikan dengan nama persen dengan lambing % (Sukayati, 2003).

Berdasarkan penjelasan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa

pecahan persen adalah pecahan yang memiliki penyebut 100 dan

dituliskan dengan notasi (%). Sebagai contoh 5% berarti

.

Dokumen terkait