PENGGUNAAN MASALAH KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI PECAHAN
DENGAN PENDEKATAN PMRI DI KELAS V SDK
GANJURAN
BANTULSKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
Avi Yanti Ratna Kartikasari
NIM: 101134094
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
PENGGUNAAN MASALAH KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI PECAHAN
DENGAN PENDEKATAN PMRI DI KELAS V SDK
GANJURAN
BANTULSKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
Avi Yanti Ratna Kartikasari
NIM: 101134094
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan untuk :
Tuhan YME yang senantiasa memberikan
rahmat dan karunia-Nya.
Kedua orang tua terhebat Bapak Suratno dan
Ibu Suyanti yang selalu memberi doa, kasih
sayang, semangat dan dukungan baik moril
maupun materiil.
Adikku Djarot Dwi Seto Afriantoro yang selalu
memberi doa dan semangat.
Sahabat dan teman-teman PGSD ‘10 kelas E.
Sahabat dan teman-teman PGSD maupun diluar
PGSD.
MOTTO
“Surga itu di bawah telapak kaki ibu”
(H.R. Ahmad)
Tuhan kamu (Allah) berfirman, “berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku
perkenankan bagimu”
(Q.S. al-Mu’min/40: 60)
Pemenang berkata, “saya harus melakukan sesuatu”
Pecundang berkata, “harus ada yang dilakukan”
(anonim)
“Teman sejati adalah ia yang meraih tangan Anda dan
menyentuh hati Anda”
(Mahatma Ghandi)
“berjanjilah di setiap hari jika lusa akan selalu melakukan yang terbaik”
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 10 Juni 2014
Peneliti,
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Avi Yanti Ratna Kartikasari
Nomor Mahasiswa : 101134094
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“PENGGUNAAN MASALAH KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI PECAHAN DENGAN
PENDEKATAN PMRI DI KELAS V SDK GANJURAN BANTUL”
Demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan atau mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian ini pernyataan yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada Tanggal: 10 Juni 2014
Yang menyatakan
ABSTRAK
Avi Yanti Ratna Kartikasari. 2014. Penggunaan Masalah Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Pecahan dengan Pendekatan PMRI di Kelas V SDK Ganjuran Bantul. Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini merupakan jenis Penelitian Tindakan Kelas yang dirancang dalam dua siklus. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan masalah kontekstual dapat meningkatkan kemampuan memahami penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk pecahan dengan pendekatan PMRI di kelas V SD Kanisius Ganjuran Bantul. Subjek penelitian adalah siswa kelas V B SDK Ganuran tahun pelajaran 2013/2014 terdiri dari 22 siswa. Metode pengumpulan data melalui tes kemampuan memahami, lembar observasi, pedoman wawancara, dan lembar kuesioner.
Hasil instrumen observasi dan wawancara menunjukkan bahwa karakteristik masalah kontekstual dalam PMRI sudah terlaksana dengan ditandai (1) guru memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah nyata, (2) masalah nyata yang diceritakan guru membantu siswa mengenali materi dan hubungannya dengan masalah dalam kehidupan nyata, (3) penggunaan media pembelajaran untuk menyelesaikan masalah matematika, (4) masalah nyata dijadikan guru perantara dalam memimbimbing siswa untuk menyimpulkan materi pembelajaran. Data instrumen kuesioner menunjukkan 86% siswa memberikan respon yang baik terhadap pelaksanaan karakteristik masalah kontekstual selama pembelajaran siklus I dan 95, 23% siswa memberikan respon yang baik terhadap pelaksanaan karakteristik masalah kontekstual selama pembelajaran siklus II. Peningkatan kemampuan memahami siswa dilihat dengan mencari persentase siswa yang mencapai skor tuntas pada masing-masing indikator kemampuan memahami. Data penelitian menunjukkan indikator (1) memberikan contoh dari suatu konsep mengalami peningkatan dari kondisi awal 50% menjadi 76% pada akhir siklus. Indikator (2) menyatakan ulang sebuah konsep mengalami peningkatan dari kondisi awal 45% menjadi 80% di akhir siklus. Indikator (3) mengubah suatu bentuk ke bentuk lain mengalami peningkatan dari kondisi awal 40% menjadi 80% diakhir siklus. Indikator (4) melakukan operasi hitung dalam berbagai bentuk mengalami peningkatan dari kondisi awal 40% menjadi 76% diakhir siklus. Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan kemampuan memahami yang signifikan antara kondisi awal dan akhir siklus.
ABSTRACT
Avi Yanti Ratna Kartikasari. 2014. The use of realistic problem to improve understanding ability of fractions by PMRI approach in 5th grade Kanisius Ganjuran Bantul primary school. Thesis. Yogyakarta: Primary School Teacher Education Study Program, Sanata Dharma University.
This research employed class action research what planned be two cycles. The purpose of this research was described the use of realistic problem can improve understanding ability of addition and subtraction various type of fractions by PMRI approach in 5th grade Kanisius Ganjuran Bantul primary school. The subject of this research were 22 students in 5th B grade Kanisius Ganjuran Bantul primary school in the academic year 2013/ 2014. Data collected by understanding ability tes, observation, interview, and kuesioner.
Data form observation and interview showed that realistic problem characteristic of PMRI was carried out by (1) lesson started with story about realistic problem in daily by teacher, (2) realistic problem story told by teacher help students to know about lesson and his relations with realistic problem in daily, (3) the used of media to finished problems in mathematics lessons, (4) realistic problem be intermediatery to conclude the lessons by teacher. Data of kuesioner show that 86% students give good responses for realistic problem by PMRI in first cycle and 95, 23% students give good responses for realistic
problem by PMRI in second cycle. Increase of student’s understanding ability in
sight by search persentase of students who achieve thoroughness score in every indicator of understanding ability. Data of test show that indicator (1) give example form a concept increase from first conditions was 50% to 76% in cycles end. Indicator (2) repeatedly a concept increase from first condition was 45% to 80% in cycles end. Indicator (3) change a type o the other type increase form first condition was 40% to 80% in cycles end. Indicator (4) count arithmetic in various type of fractions increase form first condition was 40% to 76% in cycles end. The data show if understanding ability increase form first condition to end condition.
PRAKATA
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat melaksanakan penelitian serta
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Penggunaan Masalah Kontekstual
untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Pecahan dengan Pendekatan PMRI
di Kelas V SDK Ganjuran Bantul”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Peneliti menyadari penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa arahan,
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Rohandi, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan;
2. Gregorius Ari Nugrahanta, S. J., S. S., BST., M. A., selaku Kepala
Program Studi PGSD;
3. Dra. Haniek Sri Pratini, M. Pd., selaku pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dorongan, tenaga, dan pikiran sehingga
penulisan skripsi dapat berjalan lancar;
4. Christiyanti Aprinastuti, S. Si., M. Pd., selaku pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran;
5. HY. Budisantoso. S, Sos selaku kepala sekolah SD Kanisius Ganjuran
Bantul atas ijin melaksankan penelitian di SD Kanisius Ganjuran Bantul
6. Katarina Dwi Indarti, S. Pd selaku guru mata pelajaran Matematika kelas
V B SD Kanisius Ganjuran atas kesediaannya menjadi guru mitra dalam
penelitian ini;
7. Siswa kelas V B SD Kanisius Ganjuran yang telah bersedia menjadi
subjek penelitian ini;
8. Orangtuaku (Bapak Suratno dan Ibu Suyanti) dan adikku (Djarot Dwi
Seto Afriantoro) yang telah memberikan dukungan, semangat, doa, dan
kasih sayang kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
9. Teman-teman PPL (Astri, Sita dan Rudi) SD Kanisius Ganjuran 2010 atas
bantuannya dalam pelaksanaan penelitian;
10. Sahabat-sahabatku (Yogi, Anisa, Fitria, Sasa) dan teman seperjuangan
satu payung (Ida, Sintia, Lidia, dan Wulan) yang telah membantu dalam
karya dan doa untuk menyelesaikan skripsi ini;
11. Teman-teman PGSD’10 Kelas E atas kebersamaan dan keceriannya.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan dan bantuan selama penelitian dan penyusunan
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu dengan rendah hati peneliti mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, 10 Juni 2014
Peneliti,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
PRAKATA ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah ... 7
C. Perumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Manfaat Penelitian ... 8
F. Definisi Operasional ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
A. Kajian Pustaka ... 12
1. Teori-teori yang mendukung ... 12
2. Penelitian yang relevan ... 25
B. Kerangka Berpikir ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
A. Jenis Penelitian ... 34
B. Setting Penelitian ... 35
C. Rencana Tindakan ... 36
D. Teknik Pengumpulan Data ... 45
E. Instrumen Penelitian ... 46
F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 51
G. Teknik Analisis Data ... 63
H. Indikator Keberhasilan dan Pengukuran ... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70
A. Hasil Penelitian ... 70
1. Pra Siklus Penelitian... 70
2. Siklus I... 74
3. Siklus II ... 110
B. Pembahasan ... 140
1. Kemampuan Memahami ... 140
2. PMRI karakter masalah kontekstual ... 144
C. Keterbatasan Penelitian ... 152
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 153
A. Kesimpulan ... 153
B. Saran ... 154
Daftar Referensi ... 156
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 2.1 Diagram Penelitian yang Relevan ... 30
DATAR TABEL
Halaman
Tabel E.1 Kisi-kisi Tes Kemampuan Memahami Siklus I dan II ... 47
Tabel E.2 Kisi-kisi Wawancara Keterlaksanaan Karakter Masalah Kontekstual dalam PMRI ... 49
Tabel E.3 Kisi-kisi Kuesioner Respon Siswa Terhadap Keterlaksanaan Karakter Masalah Kontekstual dalam PMRI... 50
Tabel F.1.1 Hasil Skor Penilaian RPP ... 53
Tabel F.1.2 Hasil Validasi Tes Kemampuan Memahami Siklus I ... 54
Tabel F.1.3 Hasil Validasi Tes Kemampuan Memahami Siklus II... 55
Tabel F.1.4 Hasil Validasi Lembar Kuesioner ... 55
Tabel F.1.5 Hasil Validasi Pedoman Wawancara ... 56
Tabel F.1.6 Penghitungan SPSS 16.0 Tes Kemampuan Memahami siklus I ... 57
Tabel F.1.7 Penghitungan SPSS 16.0 Tes Kemampuan Memahami Siklus II ... 58
Tabel F.2.1 Kriteria Koefisien Reliabilitas ... 59
Tabel F.2.2 Hasil Uji Reliabilitas Tes Kemampuan Memahami Siklus I dan II ... 60
Tabel F.3.1 Indeks Kesukaran ... 60
Tabel F.3.2 Hasil Penghitungan IK per Soal Tes Kemampuan Memahami Siklus I ... 61
Tabel F.3.3 Hasil Penghitungan IK per Soal Tes Kemampuan Memahami Siklus II ... 62
Tabel G.1.1 Skor Tuntas Masing-masing Indikator dalam Tes Kemampuan Memahami Siklus I dan II ... 63
Tabel G.4.1 PAP Tipe I ... 66
Tabel G.4.2 Penskoran Data Kuesioner ... 67
Tabel H.1 Target Capaian per Indikator Kemampuan Memahami ... 68
Tabel 1.1 Daftar Nilai Kelas V B SD Kanisius Ganjuran Materi Pecahan Tahun Ajaran 2012/ 2013... 73
Tabel a.1 Jadwal Pelaksanaan Siklus I ... 75
Tabel 1.1 Skor Tuntas Tes Kemampuan Memahami Siklus I ... 74
Tabel 2.2 Persentase Ketercapaian Indikator 1
Tes Kemampuan Memahami Siklus I ... 83
Tabel 2.3 Hasil Tes Kemampuan Memahami Indikator 2 Siklus I ... 84
Tabel 2.4 Persentase Ketercapaian Indikator 2 Tes Kemampuan Memahami Siklus I ... 85
Tabel 2.5 Hasil Tes Kemampuan Memahami Indikator 3 Siklus I ... 85
Tabel 2.6Persentase Ketercapaian Indikator 3 Tes Kemampuan Memahami Siklus I ... 86
Tabel 2.7 Hasil Tes Kemampuan Memahami Indikator 4 Siklus I ... 86
Tabel 2.8 Persentase Ketercapaian Indikator 4 Tes Kemampuan Memahami Siklus I ... 87
Tabel 2.9 Data Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Masalah Kontekstual Siklus I ... 88
Tabel 2.10 Data Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Kontribusi Siswa Siklus I ... 91
Tabel 2.11 Data Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Interaktivitas Siklus I ... 93
Tabel 2.12 Data Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Pemodelan Siklus I... 96
Tabel 2.13 Data Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Intertwining Siklus I ... 98
Tabel 2.14 Hasil Wawancara Siklus I ... 100
Tabel 2.15 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Masalah Kontekstual Siklus I ... 102
Tabel 2.16 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Kontribusi Siswa Siklus I ... 103
Tabel 2.17 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Masalah Interaktivitas Siklus I ... 104
Tabel 2.18 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Pemodelan Siklus I ... 106
Tabel 2.19 Data Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Intertwining Siklus I ... 107
Tabel a.1 Jadwal Pelaksanaan Siklus II ... 110
Tabel a.2 Skor Tuntas per Indikator Tes Kemampuan Memahami Siklus II ... 111
Tabel 2.2 Persentase Ketercapaian Indikator 1
Tes Kemampuan Memahami Siklus II ... 117
Tabel 2.3 Hasil Tes Kemampuan Memahami Indikator 2 Siklus II ... 118
Tabel 2.4 Persentase Ketercapian Indikator 2 Tes Kemampuan Memahami Siklus II ... 119
Tabel 2.5 Hasil Tes Kemampuan Memahami Indikator 3 Siklus II ... 119
Tabel 2.6 Persentase Ketercapaian Indikator 3 Tes Kemampuan Memahami Siklus II ... 120
Tabel 2.7 Hasil Tes Kemampuan Memahami Indikator 4 Siklus II ... 120
Tabel 2.8 Persentase Ketercapiaan Indikator 4 Tes Kemampuan Memahami Siklus II ... 121
Tabel 2.9 Hasil Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Masalah Kontekstual Siklus II ... 122
Tabel 2.10 Hasil Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Kontribusi Siswa Siklus II ... 124
Tabel 2.11 Hasil Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Interaktivitas Siklus II ... 126
Tabel 2.12 Hasil Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Pemodelan Siklus II ... 128
Tabel 2.13 Hasil Observasi Keterlaksanaan PMRI Karakter Intertwining Siklus II ... 129
Tabel 2.14 Hasil Wawancara Siklus II ... 131
Tabel 2.15 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Masalah Kontekstual Siklus II ... 133
Tabel 2.16 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Kontribusi Siswa Siklus II ... 134
Tabel 2.17 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakteristik Interaktivitas Siklus II ... 136
Tabel 2.18 Tabel Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakter Pemodelan Siklus II... 137
Tabel 2.19 Hasil Kuesioner Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Karakter Intertwining Siklus II... 138
Tabel 1.1 Peningkatan Kemampuan Memahami Akhir Siklus ... 142
Daftar Lampiran
Halaman
Lampiran 1. Silabus dan RPP ... 159
Lampiran 2. Hasil Expert Judgment... 235
Lampiran 3. Tes Siklus I ... 246
Lampiran 4. Tes Siklus II ... 261
Lampiran 5. Observasi ... 282
Lempira 6. Pedoman Wawancara ... 202
Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian ... 311
Lampiran 8. Surat Keterangan Melakukan Penelitian ... 321
Lampiran 9. Datar Nilai Materi Terkait Kelas V B SD Ganjuran Tahun Ajaran 2012/2013 ... 325
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengajaran matematika di Indonesia dimulai sejak tahun 1973 bersamaan
dengan pergantian pengajaran berhitung di sekolah dasar menjadi
pembelajaran matematika (Hadi, 2005: 1). Penetapan kebijakan tersebut
tentunya disertai dengan tujuan yang diharapkan oleh pemerintah. Seperti
yang diungkapkan oleh Farah (2009) bahwa pelajaran matematika perlu
diberikan kepada semua siswa, hal ini berguna membekali siswa agar dapat
berpikir logis, matematis, sistematis, kritis, dan kreatif serta mampu bekerja
sama. Selain tujuan pembelajaran matematika tersebut, Niss (1996) dalam
Hadi (2005: 3) mengungkapkan tujuan utama pembelajaran matematika di
sekolah dasar yaitu untuk membantu setiap individu dalam mengatasi
berbagai hal dalam kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, kehidupan
pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan sebagai warga negara melalui
sebuah pengetahuan.
Menyadari tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar tersebut,
dapat dipahami pentingnya pembelajaran matematika di sekolah. Melalui
pembelajaran matematika peserta didik didorong dan dibiasakan untuk
melakukan penalaran logis, rasional, dan kritis sehingga mereka dapat
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Membiasakan kemampuan-kemampuan tersebut kepada siswa bukan perkara
mudah, oleh karena itu pelatihan berbagai kemampuan tersebut dibungkus
peserta didik, yaitu pada masa sekolah dasar. Piaget menyatakan bahwa anak
usia sekolah dasar (6-12 tahun) berada pada masa operasi konkret dimana
anak dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka
miliki sehingga memungkinkan mereka untuk memecahkan masalah secara
logis (Dahlan, 2010).
Menyadari hal tersebut alangkah baiknya jika sekolah-sekolah dasar
mengoptimalkan pembelajaran matematika untuk peserta didiknya. Tidak
cukup hanya memberikan porsi jam pelajaran lebih banyak untuk mata
pelajaran matematika saja, tetapi juga harus disertai dengan pengoptimalan
proses pembelajaran. Seperti yang diungkapkan Ullya (2010) dalam jurnalnya
bahwa pembelajaran matematika juga dituntut lebih mengacu kepada apakah
matematika itu, bagaimana cara siswa mempelajari dan kegunaannya serta
bagaimana guru mengajarkannya.
Berdasarkan hasil observasi hari Kamis tanggal 16 Januari 2014 di kelas
V B SD Kanisius Ganjuran pada mata pelajaran matematika materi mengubah
pecahan dalam berbagai bentuk, peneliti melihat peserta didik kesulitan
untuk memahami penjelasan yang disampaikan guru. Terbukti ketika guru
memberikan latihan soal di papan tulis setelah menjelaskan materi kemudian
meminta siswa untuk mengerjakan soal tersebut tetapi tidak ada siswa yang
maju mengerjakan. Karena tidak ada siswa yang maju, akhirnya guru
menunjuk tiga siswa untuk mengerjakan soal-soal di papan tulis tersebut.
Ketiga siswa tersebut tidak ada yang maju mengerjakan dan akhirnya guru
Berdasarkan kegiatan observasi tersebut, peneliti melihat guru tidak
memberikan apersepsi di awal pembelajaran. Guru tiba di kelas kemudian
dilanjutkan do’a dan segera meminta siswa untuk membuka buku paket
sesuai dengan materi yang akan dipelajari. Dalam penyampaian materi
pembelajaran, guru menggunakan metode ceramah biasa, dengan harapan
siswa duduk, mendengarkan serta mencatat hal penting yang disampaikan
oleh guru. Terlihat dari guru yang sering mengingatkan siswa untuk duduk,
diam, mendengarkan dan mencatat hal-hal penting serta tidak ragu mengecek
catatan siswa dengan berkeliling kelas. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya,
peserta didik sibuk dengan kegiatannya sendiri di luar topik pembahasan
seperti bermain mobil-mobilan dengan tempat pensil, mengganggu teman
yang duduk di sebelahnya atau di depannya, melamun serta tidak
memperhatikan ataupun mencatat penjelasan guru. Meskipun guru sering
mengingatkan siswa untuk duduk, diam, mendengarkan dan mencatat hal
penting, siswa tetap tidak menghiraukan peringatan tersebut. Justru 60%
siswa menertawakan teman yang ditegur oleh guru karena ramai sendiri. Guru
juga tidak ragu mengancam siswa akan dikeluarkan dari kelas jika masih
sibuk dengan kegiatannya sendiri. Ancaman tersebut hanya berlaku kurang
dari 15 menit, setelah itu beberapa siswa mulai ramai lagi. Selama
pembelajaran berlangsung hanya 45% siswa yang terlihat mengikuti pelajaran
dengan baik.
Hasil wawancara dengan guru pengampu Matematika kelas V B SD
Kanisius Ganjuran tanggal 16 Januari 2014 menggambarkan bahwa
Beliau mengatakan, “meskipun sudah dijelaskan berkali-kali, tetapi hanya 6 dari 22 siswa saja yang dapat mengerti apa yang saya jelaskan”. Guru juga menyertakan alasan tidak menggunakan media dalam pembelajaran karena
siswa lebih tertarik untuk bermain dengan media tersebut di luar kegunaannya
sebagai media belajar dan semakin tidak mau mendengarkan penjelasan guru.
Terlebih lagi pembelajaran formal di sekolah memiliki batasan waktu untuk
setiap materinya. Guru beranggapan jika harus menggunakan model
pembelajaran lain yang lebih inovatif akan memakan waktu lebih lama.
Mengingat tujuan awal pembelajaran matematika adalah untuk
membekali siswa agar dapat berpikir logis, matematis, sistematis, kritis, dan
kreatif serta mampu bekerjasama dalam mengatasi berbagai persoalan dalam
kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, kehidupan pribadi, kehidupan
sosial, dan kehidupan sebagai warga negara, maka sangat disayangkan jika
mata pelajaran matematika di sekolah dasar tidak dimanfaatkan sebaik
mungkin. Terlebih banyak fenomena atau kejadian di sekitar siswa yang
sangat dekat dengan dunia matematika, seperti berhitung, mengukur,
menaksir, dll.
Berdasarkan wawancara dengan guru pengampu mata pelajaran
matematika, guru tersebut mengakui bahwa materi pecahan selalu menjadi
masalah besar bagi peserta didik, dan dirinya sendiri dalam menyampaikan
materi tersebut. Hal ini dirasakan guru sejak awal beliau mengajar
matematika di SD Kanisius Ganjuran. Padahal pecahan banyak dijumpai
siswa dikehidupan sehari-hari, misalnya ketika berbelanja kemudian
Jalal (2010: 5) menyatakan, “Pendididikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) is movement to reform school mathematics education in Indonesia. PMRI reflects the awareness the whole process of developing, designing, and changing in teaching and learning
mathematics must be built up”.
Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa PMRI merupakan
gerakan perubahan di sekolah Indonesia untuk bidang pendidikan
matematika. PMRI menunjukkan kesadaran pada proses pengembangan,
perancangan, dan perubahan dalam pembelajaran matematika menjadi lebih
baik.
Hadi (2005) menjelaskan bahwa PMRI merupakan pendekatan
pembelajaran yang diadaptasi dari RME (Realistic Matnematics Educations)
khusus untuk mata pelajaran matematika dalam rangka mengembangkan daya
nalar peserta didik dengan melibatkan mereka dalam proses pembelajaran
yang bermakna dengan berangkat dari masalah riil. PMRI berorientai pada siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus
dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa ke
pengalaman belajar yang berorientasi pada hal-hal yang riil (Susanto, 2013:
205).
Peneliti meyakini dengan pendekatan PMRI dan berangkat dari masalah
kontekstual atau nyata di kehidupan siswa, mampu membantu meningkatkan
kemampuan memahami siswa. Hasil observasi dan wawancara dengan guru
pengampu mata pelajaran matematika di kelas V SD Kanisius Ganjuran
pelaksanaan PMRI. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diketahui
bahwa guru pengampu pelajaran matematika di kelas tersebut tidak
memperhatikan masalah kontekstual yang terjadi disekitar siswa. Terlihat
bahwa guru tidak memberikan apersepsi diawal pembelajaran, guru tidak
menggunakan alat peraga dan media pembelajaran, serta guru menjadi
sumber belajar yang utama bagi siswa. Effie (2012) menjelaskan bahwa
banyak masalah yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks) yang
dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Kemampuan memahami menjadi obyek penelitian didasarkan pada hasil
wawancara guru dan dokumentasi nilai siswa kelas V dalam mata pelajaran
matematika tahun 2012/ 2013. Guru menyatakan bahwa kemampuan
memahami siswa rendah, terlihat ketika siswa mempelajari suatu materi
pembelajaran siswa tahu langkah yang harus dilakukan. Tetapi setelah
beberapa bulan kedepan ketika guru mengulang kembali materi tersebut siswa
sudah lupa langkah yang harus dilakukan, bahkan 35% siswa lupa pernah
mempelajari materi tersebut. Berdasarkan wawancara tersebut peneliti
menyimpulkan bahwa siswa hanya menghafal langkah penyelesaian suatu
soal, bukan memahami materi yang disampaikan. Besarkan dokumentasi nilai
terlihat bahwa nilai yang dicapai siswa tidak merata, maksudnya beberapa
siswa mencapai nilai yang sangat tinggi tetapi banyak siswa yang nilainya
sangat rendah. Selain itu terlihat 57, 14% siswa memiliki nilai yang tidak
konsisten, nilaiPR dan latihan harian siswa tinggi dan mencapai kkm etapi
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka peneliti
berasumsi bahwa kemampuan memahami matematika materi pecahan siswa
perlu dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu, peneliti melakukan
penelitian yang berjudul : “Peggunaan Masalah Kontekstual Untuk
Meningkatkan Kemampuan Memahami Pecahan dengan Pendekatan PMRI di
SDK Ganjuran Bantul”.
Penelitian tindakan ini dilaksanakan di kelas V B SD Kanisius Ganjuran
pada materi penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk pecahan.
Pemilihan materi pecahan ini berdasarkan hasil wawancara dengan guru
pengampu yang menyatakan jika mereka belum pernah menggunakan
pendekatan PMRI atau pendekatan pembelajaran lain yang lebih inovatif
untuk materi pecahan.
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada penggunaan masalah kontekstual dalam
meningkatan kemampuan memahami penjumlahan dan pengurangan berbagai
bentuk pecahan untuk standar kompetensi “Menggunakan pecahan dalam
memecahkan masalah” dan kompetensi dasar “Menjumlahkan dan
mengurangkan berbagai bentuk pecahan” kelas V B SD Kanisius Ganjuran
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang dan pembatasan masalah diatas,
maka peneliti merumuskan masalah “Bagaimana penggunaan masalah
kontekstual untuk meningkatkan kemampuan memahami penjumlahan dan
pengurangan berbagai bentuk pecahan dengan pendekatan PMRI di kelas V B
SD Kanisius Ganjuran Bantul tahun ajaran 2013/ 2014?”
D. Tujan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disusun
diatas, maka penelitian memiliki tujuan penelitian, yaitu untuk
mendeskripsikan penggunaan masalah kontekstual dapat meningkatkan
kemampuan memahami penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk
pecahan dengan pendekatan PMRI di kelas V SD Kanisius Ganjuran Bantul
Yogyakarta tahun ajaran 2013/ 2014.
E. Manfaat Penelitian
Sub bab ini memaparkan manfaat yang diharapkan oleh peneliti setelah
pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini. Manfaat yang
diharapkan adalah:
1. Manfaat Secara Teoritis
Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan tentang penerapan
PMRI karakteristik masalah kontekstual dalam meningkatkan
kemampuan memahami penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk
2. Manfaat Secara Praktis
a. Bagi Responden
1) Bagi guru
Sebagai refleksi dalam proses belajar mengajar khususnya
pada mata pelajaran matematika.
2) Bagi sekolah
Sebagai sumber pengajaran baru untuk meningkatkan
kemampuan memahami siswa khususnya konsep pecahan pada
pembelajaran matematika.
b. Bagi Pembaca
Pembaca lebih mengenal PMRI karakteristik masalah
kontekstual serta aplikasinya dalam proses pembelajaran di
lapangan.
c. Bagi Universitas
Menambah wawasan atau informasi berupa tulisan yang dapat
dijadikan tambahan informasi dalam materi terkait.
d. Bagi Peneliti Lain
Menambah wawasan atau informasi berupa tulisan yang dapat
dijadikan tambahan informasi dengan materi terkait.
F. Definisi Operasional
Sub bab ini memaparkan batasan pengertian untuk masing-masing teori
yang terkait dengan penelitian ini. Peneliti mencantumkan lima teori yaitu
kontekstal dan pecahan. Adapun penjelasan untuk masing-masing teori
sebagai berikut.
1. Kemampuan memahami adalah hasil dari proses pembelajaran dimana
pembelajar dapat menerima dan menguasai informasi yang diperoleh
sebagai materi pembelajaran. Indikator kemampuan memahami, yaitu:
memberi contoh dari suatu konsep, menyatakan ulang sebuah konsep,
mengubah suatu bentuk ke bentuk lain, dan melakukan operasi hitung
dalam berbagai bentuk.
2. Pembelajaran matematika adalah interaksi dua arah antara guru dan
siswa yang sengaja diciptakan oleh guru sebagai pendidik dalam sebuah
kegiatan terprogram guna mendorong siswa sebagai pembelajar untuk
melakukan penalaran baik secara deduktif maupun induktif sehingga
siswa mencapai satu pemikiran untuk menyelesaikan masalah abstrak
melalui pola pemikiran logis, analitis, sistematis, dan kritis serta sebagai
dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lain.
3. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia adalah pendekatan
pembelajaran yang diadaptasi oleh Indonesia dari Realistic Mathematics Educations (RME) dimana proses belajar matematika berangkat dari masalah-masalah nyata disekitar siswa agar siswa dapat telibat aktif
selama pembelajaran demi mendorong siswa membangun
pengetahuannya sendiri dari informasi-informasi yang diperolehnya
selama proses belajar.
4. Masalah kontekstual adalah fenomena atau kejadian nyata yang terjadi di
fenomena tersebut dapat menjembatani sesuatu yang abstrak menjadi
lebih konkret.
5. Pecahan adalah bilangan rasional yang merupakan bagian dari satu
bilangan utuh yang dinyatakan dengan dengan syarat a dan b adalah
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
Sub bab ini memaparkan berbagai teori dan penelitan sebelumnya yang
relevan dan mendukung pelaksanaan penelitian ini. Teori dan penelitian
relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Teori-teori yang Mendukung
Berikut merupakan enam teori yang mendukung penelitian yaitu
karakteristik siswa SD, kemampuan memahami, pembelajaran
matematika, PMRI, masalah kontekstual dalam PMRI, penjumlahan dan
pengurangan berbagai bentuk pecahan.
a. Karakteristik Siswa SD
Anak memasuki dunia sekolah dasar biasanya ketika usia 6-12
tahun dan berdasarkan tahapan perkembangan kognitif menurut
Piaget anak berada pada periode operasi konkret, yaitu masa
berakhirnya berfikir khayal (imajinatif) dan mulai berfikir konkret
dengan beberapa karakteristik yang ditunjukkan anak seperti sudah
dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang
mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi, dan
mengubah. Operasi ini memungkinkan mereka untuk dapat
memecahkan masalah secara logis.
Djawad Dahlan dalam buku “Psikologi Perkembangan Anak dan
tahun) dalam dua tahapan, yaitu masa kelas rendah sekolah dasar (6 -
9 atau 10 tahun) dan masa kelas atas sekolah dasar (9 - 12 tahun).
Masa kelas rendah di sekolah dasar ditandai dengan beberapa
sifat anak, yaitu (a) adanya hubungan yang positif antara keadaan
jasmani dengan prestasi belajar, apabila keadaan jasmaninya baik
maka banyak prestasi belajar yang dicapai (2) tunduk pada
peraturan-peraturan permainan tradisional (3) suka
membanding-bandingkan dirinya dengan teman lain serta cenderungan memuji
diri sendiri (4) apabila tidak berhasil menyelesaikan suatu soal, maka
soal itu dianggap tidak penting (5) anak menghendaki rapornya
mendapatkan nilai baik, tanpa mengingat apakah prestasinya
memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
Masa kelas atas juga menunjukkan beberapa sifat khas,
diantaranya yaiu (1) adanya minat terhadap kehidupan praktis
sehari-hari yang konkret (2) amat realistic, ingin mengetahui dan belajar (3)
sudah terlihat anak lebih tertarik pada mata pelajaran apa (4) anak
memandang nilai rapor sebagai satu-satunya nilai yang tepat untuk
melihat prestasi sekolah (5) anak suka membentuk kelompok sebaya.
Djawad Dahlan juga menjelaskan bahwa anak usia 6-12 tahun
ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu
mengklasifikasikan (menglompokkan), menyusun, dan
mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka
atau bilangan. Di samping itu pada akhir masa ini anak sudah
b. Kemampuan Memahami
Istilah pemahaman berasal dari akar kata paham, yang menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengetahuan
banyak, pendapat, aliran, mengerti benar. Adapun istilah pemahaman
ini sendiri diartikan dengan proses, cara, perbuatan memahami atau
memahamkan. Dalam pembelajaran, pemahaman dimaksudkan
sebagai kemampuan siswa untuk dapat mengerti apa yang telah
diajarkan oleh guru. Dengan kata lain, pemahaman merupakan hasil
dari proses pembelajaran. Serta dapat dipahami pula bahwa
pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan
transformasi ilmu pengetahuan (Ahmad Susanto, 2013: 208).
Kemampuan ini umumnya mendapat penekanan dalam proses
belajar mengajar. Siswa dituntut mengerti apa yang diajarkan,
mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat
memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkan dengan
hal-hal lain. Bentuk soal yang sering digunakan untuk mengukur
kemampuan ini adalah pilihan ganda dan uraian (Daryanto,
1997:106).
Daryanto juga menjabarkan kemampuan memahami menjadi
tiga indikator, yaitu yang pertama menerjemahkan (translation).
Menerjemahkan bukan saja pengalihan arti dari bahasa yang satu ke
bahasa yang lain. Tetapi juga dari konsepsi abstrak menjadi suatu
model, yaitu model simbolik untuk mempermudah orang dalam
menerjemahkan. Ini adalah kemampuan untuk mengenal dan
mengerti. Atau sering disebut dengan ide utama suatu komunikasi.
Mengekstrapolasi (ekstrapolation) sifatnya lebih tinggi dari menjabarkan dan menginterpretasi. Kata kerja operasional yang
dapat dipakai untuk mengukur kemampuan ini adalah
memperhitungkan, memprakirakan, menduga, menyimpulkan,
meramalkan, membedakan, menentukan, mengisi, dan menarik
kesimpulan.
Menurut bloom (Tea, 2009) dalam Ahmad Susanto (2013),
siswa harus melakukan lima tahapan berikut, yaitu receiving
(menerima), responding (menbanding-bandingkan), valuing
(menilai), organizing (diatur), dan characterization (penataan nilai). Salami (2010) juga memberikan beberapa indikator siswa dapat
dikatakan memahami konsep matematika, yaitu (1) mendefinisikan
konsep secara verbal dan tulisan, (2) membuat contoh dan noncontoh
penyangkal, (3) mempresentasikan suatu konsep dengan model, (4)
mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lain, (5) mengenal
berbagai makna dan interpretasi konsep, (6) mengidentifikasi
sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat-syarat yang menentukan
suatu konsep, serta (7) membandingkan dan membedakan
konsep-konsep.
Berdasarkan penjabaran kemampuan memahami oleh para ahli,
peneliti merumuskan pengertian kemampuan memahami sebagai
dan menguasai informasi yang diperoleh sebagai materi
pembelajaran. Peneliti juga menentukan beberapa indikator untuk
kemampuan memahami, diantaranya yaitu memberi contoh dari
suatu konsep, menyatakan ulang sebuah konsep, mengubah suatu
bentuk ke bentuk lain, dan melakukan operasi hitung dalam berbagai
bentuk.
c. Pembelajaran Matematika
Susanto (2013) menjelaskan pembelajaran merupakan
komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai
pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik. Belajar
tertuju pada kepada apa yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai
subjek yang menerima pelajaran, sedangkan mengajar berorientasi
pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran.
Adapun menurut Dimyanti (2006), pembelajaran adalah kegiatan
guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat
siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan
sumber belajar. Pembelajaran adalah suatu kondisi yang dengan
sengaja diciptakan oleh guru guna membelajarkan siswa (Djamarah,
2002: 43). Berdasarkan penjelasan tentang pembelajaran oleh
beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
kegiatan atau program yang sengaja diciptakan secara dua arah yang
pendidik harus menciptakan kondisi yang mengaktifkan siswa
sebagai pembelajar.
Matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau
mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari,” sedangkan
dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas, 2001:7).
Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang
bekerja atas dasar asumsi (kebenaran konsistensi). Selain itu,
matematika juga bekerja melalui penalaran induktif yang didasarkan
fakta dan gejala yang muncul untuk sampai pada pemikiran tertentu.
Tetapi perkiraan ini, tetap harus dibuktikan secara deduktif, dengan
argumen yang konsisten (Susanto, 2013: 184-185). Matematika
menurut Erman Suherman (2003: 253) adalah disiplin ilmu tentang
tata cara berfikir dan mengolah logika, baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif. Sedangkan Tutik (2008) menjelaskan
bahwa matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak
dengan struktur-struktur deduktif, mempunyai peran yang penting
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan
penjelasan beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah salah satu cabang ilmu pasti yang berisi
kumpulan ide abstrak dan berkaitan dengan penalaran baik secara
deduktif (berasumsi) maupun induktif (berdasarkan fakta dan gejala
yang muncul) untuk mencapai satu pemikiran serta dasar
Berdasarkan beberapa teori yang sudah dikemukakan
sebelumnya maka dapat diartikan, pembelajaran matematika adalah
interaksi dua arah antara guru dan siswa yang sengaja diciptakan
oleh guru sebagai pendidik dalam sebuah kegiatan terprogram guna
mendorong siswa sebagai pembelajar untuk melakukan penalaran
baik secara deduktif maupun induktif sehingga siswa mencapai
satu pemikiran untuk menyelesaikan masalah abstrak melalui pola
pemikiran logis, analitis, sistematis, dan kritis serta sebagai dasar
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lain.
d. PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat
dipisahkan dari institut Freudenthal. Sebuah intitut yang didirikan
pada tahun 1971, berada dibawah Utrecht University, Belanda.
Nama intitut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor Hans
Freudenthal (1950-1990), seorang penulis, pendidik, dan
matematikawan berkebangsaan Jerman Belanda (Hadi, 2005:7). Hadi (2005) juga menjelaskan sejak tahun 1971, institut
Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap
pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realictic Mathematics Eucations). Realistic Mathematics Educations
menggabungkan pandangan-pandangan tentang apa itu matematika,
harus diajarkan. Kemudian RME diadaptasi oleh Indonesia dan
dikenal dengan PMRI.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia merupakan salah
satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada
siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika
harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan
sehari-hari siswa ke pengalaman belajar yang berorientasi pada hal-hal
yang real. Prinsip utama PMRI adalah siswa harus berpartisipasi
secara aktif dalam proses pembelajaran karena pengetahuan dan
pemahaman siswa harus dibentuk oleh siswa sendiri melalui
pengalaman-pengalaman belajar yang mereka alami (Susanto, 2013:
205). Hadi (2005) menegaskan bahwa PMRI merupakan pendekatan
pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika dalam
rangka mengembangkan daya nalar peserta didik dengan melibatkan
mereka dalam proses pembelajaran yang bermakna dengan
berangkat dari masalah riil.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dapat diartikan
sebagai pedekatan pembelajaran yang diadaptasi oleh Indonesia dari
RME dalam rangka meningkatkan kamampuan memahami materi
matematika peserta didik. Pendekatan PMRI menekankan proses
belajar matematika untuk berangkat dari masalah-masalah nyata
disekitar siswa agar siswa dapat telibat aktif selama pembelajaran.
pengetahuannya sendiri dari informasi-informasi yang diperolehnya
selama proses belajar.
Suherman (2003) menjelaskan prinsip-prinsip PMRI, yaitu (1)
didominasi oleh masalah-masalah konteks, (2) perhatian diberikan
kepada pengembangan model-model, situasi, skema, dan
symbol-simbol, (3) sumbangan dari para siswa sehingga dapat membuat
pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif; (4) interaktif
sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika; dan (5)
intertwining (membuat jalinan antar topik atau antar pokok bahasan).
e. Masalah Kontekstual dalam PMRI
Hadi (2005) menyatakan jika dalam PMRI harus dimulai dari
sesuatu yang riil sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan
konsep matematika sehingga siswa dapat terlibat dalam proses
pembelajaran secara bermakna. Pengembangan ide dan konsep
matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut “matematisasi
konseptual” (de Lange, 1996 dalam Sutarto Hadi, 2005:20).
Masalah matematika tidak secara otomatis menjadi kontekstual
hanya dengan menyusunnya dalam bentuk cerita situasi (roth, 1996)
atau menyajikannya sebagai soal terapan dalam pendekatan
mekanistis (Van den heuvel –panhuizen). Hal yang paling penting
dari suatu konteks adalah bahwa konteks harus memunculkan proses
matematisasi (Van den Heuvel-panhuizen) serta mendukung
untuk mentransfer pengetahuan ke situasi baru yang relevan
(finkelstein, 2001). Jadi masalah kontekstual adalah fenomena atau
kejadian nyata yang terjadi disekitar siswa dan dekat dengan mereka
sehingga dari kejadian atau fenomena tersebut dapat menjembatani
sesuatu yang abstrak menjadi lebih konkret.
Beberapa hal berikut bisa kita gunakan untuk mengembangkan
konteks untuk pembelajaran suatu konsep matematika, yaitu konteks
menarik perhatian siswa dan mampu mengembangkan motivasi
siswa untuk belajar matematika (de lange 1978), penggunaan
konteks dalam PMRI bukan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep,
melainkan sebagai titik awal pembangunan suatu konsep, konteks
tidak melibatkan emosi, memperhatikan pengetahuan awal yang
dimiliki oleh siswa, konteks tidak memihak gender.
Jalal dalam A Decade Of PMRI In Indonesia, 2010:46 menyebutkan “In fact, we may discern two goalsof context
problem: one is to offer the students a motive, the other is to
offer them footholds for a solutions strategy”.
Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa dengan pemanfaatan
masalah kontekstual sebagai titik awal pembelajaran maka dapat
mencapai dua tujuan, yang pertama sebagai motivasi untuk siswa.
Penggunaan masalah kontekstual dapat mendorong rasa ingin tahu
siswa akan suatu hal karena anak merasa dekat dengan masalah
tersebut. Kedua sebagai bantuan untuk menemukan strategi
f. Penjumlahan dan Pengurangan Berbagai Bentuk Pecahan
Pecahan adalah suatu bilangan rasional yang menyatakan bagian
dari suatu benda yang utuh (Heruman, 2007: 43). Sedangkan
Sa’dijah (1998: 148) mendefinisikan bilangan pecahan, yaitu
bilangan yang dapat dinyatakan sebagai perbandingan dua bilangan
bulat a dan b, ditulis dengan syarat b ≠ 0. Dalam hal ini a disebut
pembilang dan b disebut penyebut. Dari dua pengertian tersebut,
maka dapat disimpulkan jika pecahan termasuk dalam bilangan
rasional yang merupakan bagian dari satu bilangan utuh yang
dinyatakan dalam dengan syarat a dan b adalah bilangan bulat, b
≠ 0, dan b bukan faktor dari a.
Kismiantini (2008: 33) menjelaskan penjumlahan berhubungan
dengan jumlah yang bertambah banyak dan disimbolkan dengan
tanda (+). Kismiantini juga menjelaskan bahwa pengurangan
berhubungan dengan jumlah yang semakin sedikit dan disimbolkan
dengan tanda (-). Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa penjumlahan dan pengurangan merupakan
bagian dari operasi hitung dalam matematika yang berhubungan
dengan jumlah, jika penjumlahan berarti jumlah semakin banyak
sedangkan pengurangan berarti jumlah semakin sedikit.
Penjumlahan pecahan dapat diartikan dengan operasi hitung
matematika yang melibatkan bilangan bulat yang dinyatakan dengan
dengan ditandai bertambahnya jumlah bilangan tersebut.
hitung matematika yang melibatkan bilangan bulat yang dinyatakan
dengan dengan ditandai dengan semakin berkurang atau sedikitnya
jumlah bilangan tersebut.
Sa’dijah (1998) menyebutkan beberapa bentuk pecahan, yaitu
pecahan biasa, pecahan campuran, desimal, dan persen. Pecahan
biasa dituliskan dalam bentuk dengan a dan b bilangan cacah dan b
≠ 0. Pecahan biasa adalah bilangan yang terdiri dari pembilang dan
penyebut dengan penyebut sebagai bilangan terbagi dan pembilang
sebagai bilangan pembagi (Suriani, 2010). Pecahan biasa adalah
pecahan yang terdiri dari pembilang dan penyebut (Sukayati, 2003).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa
pecahan biasa merupakan bagian dari bilangan utuh yang dinyatakan
dalam bentuk dengan syarat a dan b bilangan cacah dan b ≠ 0, jika
b = 0 maka menjadi bilangan tak terdefinisikan serta sebagai
pembilang dan b sebagai penyebut. Contoh pecahan biasa
diantaranya adalah , , , dan .
Sa’dijah (1998: 151) menjelaskan jika pecahan campuran adalah
pecahan yang pembilangnya lebih besar dari penyebutnya, sehingga
jika disederhanakan akan menghasilkan bentuk bulat dan pecahan.
Pecahan campuran adalah salah satu bentuk pecahan yang terdiri dari
pembilang, penyebut, dan bilangan utuh (Suriani, 2010). Pecahan
campuran adalah pecahan yang terdiri dari bilangan utuh, pembilang
2003). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti
menyimpulkan bahwa pecahan campuran adalah pecahan yang
memiliki pembilang, penyebut, dan bilangan utuh dengan syarat
pembilang lebih besar dari pada penyebutnya, sehingga jika
disederhanakan menghasilkan bentuk bulat dan pecahan biasa serta
dituliskan dalam bentuk . Sebagai contoh pecahan campuran
adalah = 2 .
Sa’dijah (1998: 157) menjelaskan bahwa pecahan desimal dapat
dituliskan menggunkaan notasi (,) dengan memperhatikan sistem
nilai tempat. Pecahan desimal adalah bilangan yang didapat dari
hasil pembagian suatu bialangan dengan bilangan kelipatan 10 dan
dituliskan dengan notasi koma (Suriani, 2010). Pecahan desimal
merupakan pecahan yang penyebutya berbasis sepuluh dan
kelipatannya dengan menggunakan notasi koma (,) dalam
penulisannya (Sukayati, 2003). Berdasarkan penjelasan tersebut
peneliti menyimpulkan bahwa pecahan desimal adalah pecahan yang
memiliki penyebut kelipatan 10 serta dituliskan dengan notasi (,)
dengan memperhatikan sistem nilai tempatnya. Sebagai contoh
dapat ditulis 0,2 dengan memperhatikan sistem nilai tempatnya yaitu
(0 X 10) + (2 X
) =
Sa’dijah (1998: 161) menjelaskan bahwa persen artinya
perseratus dan dituliskan dengan notasi (%). Persen adalah bilangan
100 dan dituliskan dengan notasi %. Persen artiya perseratus,
sehingga nama pecahan biasa yang penyebutnya seratus dapat
diartikan dengan nama persen dengan lambing % (Sukayati, 2003).
Berdasarkan penjelasan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa
pecahan persen adalah pecahan yang memiliki penyebut 100 dan
dituliskan dengan notasi (%). Sebagai contoh 5% berarti
.
2. Penelitian yang Relevan
Peneliti menemukan tiga penelitian relevan yang telah dilakukan
sebelumnya oleh beberapa peneliti lain. Hasil-hasil penelitian tersebut
akan diuraikan di bawah ini.
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Farah Diba, Zulkardi, dan
Trimurti Saleh (2009) yang berjudul Pengembangan Materi Pembelajaran Bilangan Berdasarkan Pendidikan Matematika Realistik Untuk Siswa Kelas V Sekolah Dasar. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan materi pembelajaran matematika pada materi bilangan
yang berdasarkan PMR dalam bentuk buku siswa yang valid, praktis, dan
mempunyai potensial efek untuk siswa kelas V sekolah dasar. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pengembangan yang
terdiri dari analisis, desain, evaluasi, dan revisi. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara analisis dokumen, wawancara dan tes. Subjek
penelitian adalah siswa kelas 5 C SD Negeri 117 Palembang yang
berjumlah 41 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa
positif terhadap pembelajaran matematika yang dilihat dari komentar
mereka, serta tes kemampuan mereka yang menunjukkan hasil baik
dengan rata-rata 79, 79 dimana 34 siswa (82, 93%) memperoleh nilai ≥
66. Oleh karena itu, prototype ketiga buku siswa yang didisain
menghasilkan materi pembelajaran bilangan yang valid, praktis, dan
mempunyai potensial efek untuk siswa kelas V SD Negeri 117
Palembang dan dapat digunakan sebagai salah satu alternative
pembelajaran bilangan.
Dari penjabaraan di atas dapat dilihat persamaan dan perbedaan
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah desain materi
pembelajaran menggunakan pendekatan PMRI, subyek penelitian adalah
kelas V SD, teknik pengumpulan data menggunakan dokumentasi,
wawancara dan tes. Sedangkan perbedaannya terlihat dari tujuan
penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar yang
menggnakan pendekatan PMRI, sedangkan penelitian yang dilakukan
peneliti bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan
memahami materi pembelajaran melalui masalah kontekstual dalam
pendekatan PMRI.
Penelitian kedua berjudul Desain Bahan Ajar Penjumlahan Pecahan Berbasis Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Untuk Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 23 Indralaya oleh Ullya, Zulkardi, dan Ratu llma Indra Putri (2010). Penelitian ini bertujuan untuk
IV SD N 23 Indralaya dan menjembatani aktivitas berfikir informal ke
formal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian “design research”
dimana peneliti menyusun bahan ajar matematika berbentuk buku (buku
siswa dan buku guru). buku tersebut dirancang sesuai pendekatan PMRI
tentang penjumlahan pecahan sesuai dengan standar isi pada kurikulum
sekolah dasar. Setiap pembelajaran dalam buku dimulai dengan masalah
atau soal-soal kontekstual bagi siswa. Setelah diujikan kepada responden,
ternyata desain bahan ajar penjumlahan pecahan berbasis PMRI untuk
siswa kelas empat sudah dinyatakan baik, dilihat dari hasil ulangan
harian siswa dari empat soal yang diberikan untuk 49 responden, ternyata
untuk soal nomor satu yang dinyatakan barhasil sebanyak 48 orang
(97,96%), soal nomor dua yang dinyatakan berhasil 42 responden (85,
71%), soal nomor 3 yang dinyatakan berhasil sebanyak 32 responden
(65,31%), dan soal nomor 4 yang berhasil sebanyak 41 orang 83, 67%).
Jika dilihat dari tugas yang diberikan guru ternyata tugas pertama yang
tuntas sebanyak 33 orang (67,3%), dan pada pertemuan kedua siswa yang
tuntas sebanyak 38 orang (77, 66%), dan pada pertemuan ketiga siswa
yang tuntas sebanyak 40 orang (81, 63%), sedangkan untuk pertemuan
keempat siswa yang tuntas mencapai 41 orang (83, 67%), kalau dilihat
dari empat kali pemberian tugas ternyata ada penigkatan sebesar 20%.
Jika dilihat dari proses pembelajaran menggunakan bahan ajar tersebut
terlihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung dari 9
indikator yang diamati termasuk kategori baik ada 8 indikator, satu
yaitu perilaku yang tidak relevan dengan KBM seperti bermain,
mengganggu teman dan termenung.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan persamaan dan
perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan.
Persamaannya terletak pada penggunaan masalah kontekstual dalam
PMRI untuk menyusun bahan ajar. Persamaan selanjutnya adalah pada
materi yang digunakan yaitu materi pecahan. sedangkan perbedaannya
terlihat pada tujuan penelitian, tujuan penelitian ini untuk menghasilkan
bahan ajar berupa buku siswa dan buku guru sedangkan tujuan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti untuk mendeskripsikan peningkatan
kemampuan memahami materi pembelajaran. Selain itu perbedaan juga
terlihat pada subyek penelitian, subyek penelitian ini adalah siswa kelas
IV SD sedangkan subyek penelitian yang akan peneliti lakukan adalah
siswa kelas V SD.
Penelitian ketiga oleh Windha Kartika Kusumaningtyas, Wardono,
dan Sugiarto (2012) dengan judul Penerapan PMRI Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berbantuan Alat Peraga Materi Pecahan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil tes belajar peserta didik aspek kemampuan pemecahan masalah dengan
pembelajaran PMRI berbantuan alat peraga pada materi pecahan
mencapai skor tuntas individu sebesar 60 dan skor utas klasikal 75%
serta untuk mengetahui rata-rata hasil tes belajar peserta didik aspek
kemampuan pemecahan masalah dengan pembelajaran PMRI berbantua
ekspositori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tes belajar peserta
didik aspek kemampuan pemecahan masalah dengan pembelajaran PMRI
berbantuan alat peraga pada materi pecahan mencapai skor tuntas
individu sebesar 60 dan skor tuntas klasikal sebesar 75% serta rata-rata
hasil tes belajar peserta didik aspek kemampuan pemecahan masalah
dengan pembelajaran PMRI berbantuan alat peraga pada materi pecahan
lebih tinggi dari pada dengan pembelajaran ekspositori.
Berdasarkan penjabaran pada paragraf sebelumnya dapat dilihat
persamaan dan perbedaan antara tiga penelitian yang relevan dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan. Persamaannya terlihat pada
pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan PMRI dan materi yang
dipilih yaitu pecahan. Perbedaan kedua penelitian terlihat pada variabel
penelitian, penelitian ini menggunakan variabel kemampuan pemecahan
masalah sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan
variabel kemampuan memahami. Perbedaan selanjutnya terlihat pada
tujuan penelitian, penelitian ini bertujuan untuk melihat hasil belajar
sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan bertujuan untuk
Berdasarkan tiga penelitian yang relevan tersebut, peneliti menyusun
diagram penelitian yang relevan seperti berikut.
Gambar 2.1 Diagram Penelitian yang Relevan Farah Diba, Zulkardi, dan
Trimurti Saleh (2009)
Pengembangan Materi Pembelajaran Bilangan Berdasarkan Pendidikan Matematika Realistik Untuk Siswa Kelas V Sekolah Dasar. ( Jurnal Penelitian)
Penelitian yang dilakukan:
PENGGUNAAN MASALAH KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI PECAHAN KELAS V DENGAN PENDEKATAN PMRI SDK GANJURAN BANTUL
Windha Kartika Kusumaningtyas, Wardono, dan Sugiarto (2012)
Penerapan PMRI Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Berbantuan Alat Peraga Materi Pecahan
(Jurnal Penelitian)
Ullya, Zulkardi, dan Ratu llma Indra Putri (2010).
Desain Bahan Ajar
Penjumlahan Pecahan Berbasis Pendidikan Matematika
B. Kerangka Berfikir
Pembelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang penting bagi
siswa tingkat sekolah dasar dimana pada masa tersebut anak-anak berada
pada fase operasi konkret menurut tahap perkembangan kognitif Piaget. Pada
masa tersebut mereka mengalami masa perubahan dari tahap berfikir secara
konkret menjadi lebih abstrak serta mulai berfikir untuk memecahkan
masalah. Matematika menjadi penting karena melalui pembelajaran
matematika siswa dilatih untuk berfikir secara logis, sistematis, kritis, dan
kreatif serta bekerja sama. Peneliti beranggapan, jika
kemampuan-kemampuan tersebut dilatih pada masa yang tepat yaitu usia sekolah dasar
maka kemampuan yang diharapkan akan berkembang secara optimal.
Meyakini hal tersebut, maka peneliti beranggapan bahwa pemahaman
siswa terhadap mata pelajaran matematika sangatlah penting untuk
dikembangkan agar siswa dapat berfikir secara rasional, sistematis, kritis
sekaligus memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai tujuan tersebut bukan pekerjaan yang mudah, terlihat
dari kenyataan dilapangan bahwa matematika justru menjadi momok bagi
sebagian besar siswa khususnya siswa sekolah dasar. Jika kita bertanya
kepada siswa tentang mata pelajaran yang tidak disukai, sebagian besar akan
menjawab matematika dengan berbagai alasan seperti susah, membuat
pusing, gurunya galak, dll.
Kunci utama meningkatkan kemampuan memahami konsep matematika
peserta didik adalah dengan mengajak siswa untuk menyukai matematika
sekolah dari pikiran siswa. Untuk itu guru perlu memperhatikan pemilihan
materi, metode, media, bahan ajar serta komponen belajar lainnya.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat dipilih untuk
memperbaiki sistem pembelajaran matematika sekarang ini adalah PMRI.
PMRI merupakan pendekatan pembelajaran matematika realistik yang
berangkat dari masalah-masalah disekitar siswa, sehingga dapat dibayangkan
pembelajaran dengan pendekatan PMRI akan lebih menekankan pada proses
dimana siswa belajar. Pendekatan ini mengajak siswa untuk membangun
pengetahuannya sendiri dari informasi-informasi yang mereka peroleh setelah
mengalami pengalaman-pengalaman belajar nyata.
PMRI berangkat dari masalah nyata disekitar siswa, maka dirasa dengan
pendekatan ini siswa dapat terlibat secara langsung di dalam pembelajaran
sekaligus lebih nyaman bagi mereka. Kenyamanan belajar matematika bagi
siswa akan mendorong siswa untuk menyukai mata pelajaran yang selama ini
dianggap sebagai momok sekolah. Siswa yang menyukai matematika akan
bersemangat untuk belajar dan mencoba membangun pengetahuan mereka
tentang materi matematika yang dipelajari.
Pelajaran matematika yang ditekankan pada proses pembelajarannya,
diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih
mengasah kemampuan memahami yang dimiliki. Terlebih siswa sendiri lah
yang membangun pengetahuan dari pengalaman belajar mereka. Melalui
pengalaman siswa, maka pengetahuan yang dipahami oleh siswa lebih
mendalam sekaligus lebih tahan lama. Karena dengan memahami siswa tidak
Pemilihan materi pecahan didasarkan karena pecahan banyak sekali
dijumpai atau ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari mereka, misalnya
potongan harga saat membeli barang.
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan dan kerangka berfikir,
maka diajukan rumusan hipotesis tindakan yaitu: “Penggunaan masalah
kontekstual dapat meningkatkan kemampuan memahami penjumlahan dan
pengurangan berbagai bentuk pecahan dengan pendekatan PMRI di SD
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan penelitian tindakan kelas model Kemmis & Mc
Taggart. PTK model Kemmis & Mc Taggart merupakan pengembangan dari
konsep dasar yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin (Wijaya Kusumah,
2010:20). Untuk lebih tepatnya, berikut ini adalah bentuk desainnya:
Gambar A.1 Desain PTK Model Kemmis & Mc Taggart
Gambar A.1 menunjukkan model Kemmis & Mc Taggart menjelaskan
jika pada satu perangkat terdiri dari empat komponen, yaitu perencanaan,
tindakan dan pengamatan yang dilakukan secara bersamaan serta refleksi
diakhir perangkat. Wijaya Kusumah (2010:1) menjelaskan pengertian siklus
menurut model ini adalah putaran kegiatan yang teriri dari perencanaan,
tindakan, pengamatan dan refleksi. Dari gambar diatas terlihat bahwa di