• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

5. Tindak Tutur (Speech Act)

Teori tindak tutur adalah pandangan yang memusatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam mengkomunikasikan maksud dan tujuan pembicaraan. Dalam berkomunikasi, penutur maupun mitra tutur harus saling memahami kaidah- kaidah bahasa yang mengatur hal tersebut, agar kegiatan tindak tutur dapat berjalan dengan baik. Pada dasarnya, tindak tutur merupakan sesuatu yang sebenarnya acap kali kita lakukan ketika berbicara seperti melaporkan, menyatakan, memperingati,

menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, mengkritik, meminta, menasehati, dan

lain- lain. Dengan kata lain, tindak tutur merupakan salah satu pendekatan analisis fungsi bahasa dalam komunikasi.

Dalam berkomunikasi tidak selamanya berkaitan dengan masalah- masalah yang bersifat tekstual, tetapi juga interpersonal sehingga komunikasi verbal bentuk apapun perlu disikapi sebagai sebuah fenomena pragmatik. Tindak tutur (speech act) commit to user

adalah subkajian pragmatik yang berkaitan erat dengan kegiatan komunikasi manusia. Istilah ini merupakan entitas penting yang bersifat sentral dalam pragmatik. Penting dan sentralnya itu tampak dalam perannya dalam analisis topik pragmatik. Untuk mencapai tujuannya, seorang penutur dalam bertindak tutur selalu berusaha agar hal yang disampaikannya dapat dipahami dan tidak merugikan mitra tutur dan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan.

Menurut Rustono (1999: 31) tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Dengan kata lain, Mengujarkan sebuah tuturan tertentu bisa dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh) di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu. Pengertian ini disederhanakan oleh Yule (1996) yaitu tindakan yang dilakukan melalui ujaran. Seorang ahli bahasa yang bernama J.L. Austin menelusuri hakikat tindak tutur. Austin mengemukakan konsep mengenai Act of Utterance (tindak ujar). Pidato kuliah Austin dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul How to Do Things with

Words (1962). Melalui buku itu, Austin mengemukakan pandangan bahwa bahasa

tidak hanya berfungsi untuk mengatakan sesuatu. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan tuturan yang dipengaruhi oleh kemampuan bahasa penutur yang mengandung tindakan dalam komunikasi dengan mempertimbangkan konteks.

Searle (1969: 24- 25) berpendapat bahwa semua komunikasi linguistik mengandung tindak tutur. Artinya, komunikasi bukan sekedar lambang, kata atau kalimat, tetapi lebih tepat sebagai produk atau hasil lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Perilaku tindak tutur dalam suatu komunikasi perlu mempertimbangkan dua bagian (pasangan) yang saling bergantian, misalnya

perintah-jawaban, pernyataan-jawaban, pertanyaan-jawaban,

permohonan-penolakan, dan sebagainya. Hal ini dapat diketahui melalui ujaran (tuturan) yang

dihasilkan baik oleh penutur maupun mitra tutur. Seorang penutur harus mengetahui apakah pesannya telah diterima dan dimengerti dan mitra tutur harus menunjukkan bahwa ia telah menerima dan mengerti pesan tersebut.

Baik penutur maupun mitra tutur bertanggung jawab dalam setiap interaksi lingual dimana sebuah konteks memiliki peranan dalam membentuk suatu tindak tutur. Searle (1969) dan Austin (1962:100-102) memandang tindak tutur yang commit to user

dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung, yang diwujudkan oleh penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary acts), ilokusi (illocutionary acts), dan perlokusi (perlocutionary

acts). Berikut pembahasan ketiganya.

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu atau disebut juga the act of saying something. Fokus konsep lokusi adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu. Rahardi (2005) menyebutkan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandungnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan. Contoh tindak tutur lokusi misalnya ketika seorang ibu berkata kepada anaknya, “Kamarmu berantakan sekali.” Tuturan tidak merujuk pada maksud tertentu, melainkan si penutur (ibu) menginformasikan bahwa kondisi kamar si anak berantakan tanpa disertai dengan tendesi mempengaruhi mitra tuturnya (anak) untuk melakukan sesuatu.

Tindak ilokusi adalah tindakan yang dipergunakan untuk menginformasikan dan sekaligus untuk melakukan sesuatu atau the act of doing something (Wijana dalam Nugraheni, 2011). Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan, dengan kata lain, “untuk apa ujaran itu

dilakukan?”. Disini, ucapan atau ujaran dianggap sebagai suatu bentuk tindakan.

Contoh tindak ilokusi dari ujaran sebelumnya ketika seorang ibu berkata kepada anaknya, “Kamarmu berantakan sekali.”. Tuturan ini mengandung maksud bahwa si penutur (ibu) menyuruh mitra tutur (anak) untuk merapikan kamarnya. Jadi, jelas bahwa tuturan ini memiliki maksud tertentu terhadap mitra tuturnya, yakni tidak hanya menginformasikan, tetapi juga menyuruh.

Tuturan yang diucapkan penutur seringkali memiliki efek atau daya pengaruh terhadap mitra tuturnya (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (162: 101) dinamakan tindak perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan tindak perlokusi. Hal ini disebut tindak perlokusi atau the act of affecting someone. Pendeknya, tindak perlokusi commit to user

berhubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik. Efek ini bisa secara sengaja maupun tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Berdasarkan contoh ujaran di atas, dimana seorang ibu berkata kepada anaknya, “Kamarmu berantakan sekali.” Tuturan ini mengadung efek perlokusi agar anaknya bersedia membersihkan kamarnya yang berantakan.

Dari ketiga tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin dan Searle di atas, Searle (1969) selanjutnya mengembangkan teori tindak tutur yang terpusat pada tindak ilokusi tersebut berdasarkan pada tujuan dari tindakan pandangan penutur menjadi lima sub bagian, yakni asertif (assertives), direktif (directives), komisif

(commisives), ekspresif (expressives), dan deklaratif (declaratives):

a. Asertif

Asertif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran

atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur asertif meliputi mempertahankan,

meminta, mengatakan, menyatakan, melaporkan, berspekulasi dan lain- lain.

Contoh jenis tuturan ini adalah, “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan ini termasuk asertif karena berisi informasi yang penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang diucapkannya adalah fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. b. Direktif

Tindak tutur direktif dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ujarannya. Tindak tutur

direktif disebut juga dengan tindak tutur imposif. Yang termasuk tindak tutur direktif antara lain meminta, menyarankan, memerintah, menagih, membujuk, menantang, memohon, dan lain- lain. Contohnya, “Bantu aku memperbaiki tugas ini.” Ujaran ini termasuk direktif karena dimaksudkan penuturnya agar

melakukan tindakan yang sesuai yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.

c. Komisif

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya. Dengan kata lain, commit to user

penutur akan melakukan sesuatu, misalnya berjanji, mengancam, bersumpah,

menyatakan kesanggupan, dan lain- lain. Contoh tindak tutur komisif

kesanggupan adalah “Saya sanggup menjadi pemimpin yang baik.” Tuturan ini mengikat penuturnya untuk melaksanakan tugas sebagai pemimpin dengan sebaik- baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya.

d. Ekspresif

Tindak tutur ekspresif disebut juga sebagai tindak tutur evaluatif . Ini dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartika sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Selain itu, ekspresif juga berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan dan evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Tuturan ini meliputi

permintaan maaf, memaafkan, menyesal, mengeluh, ungkapan terimakasih, menyanjung, memuji, mengkritik, dan lain- lain. Tuturan “Sudah kerja keras cari uang, tetap saja hasilnya tidak mencukupi kebutuhan keluarga”. Tuturan

ini termasuk ekspresif mengeluh sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

e. Deklaratif

Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru. Tindak tutur ini disebut juga denga istilah

isbati. Deklaratif juga merupakan tindak tutur yang menggambarkan

perubahan dalam suatu keadaan hubungan. Yang termasuk dalam jenis tindak tutur deklaratif antara lain mengampuni, menikahkan, membaptis,

mengumumkan, mengizinkan, mambatalkan, dan lain-lain. Sebagai contoh,

seseorang ingi berhenti bekerja dengan mengatakan, “Saya mengundurkan diri.” Atau ketika seorang direktur memberhentikan salah satu karyawannya dengan mengatakan, “Anda dipecat.” dsb.

Tindak tutur tidak akan lepas dari situasi tuturan (speech situation). Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan dan mempunyai pengaruh kuat pada penafsiran makna kata (Rustono 1999: 25). Ada dua pihak penting dalam situasi tutur, yaitu penutur dan mitra tutur. Suatu komunikasi dikatakan komunikatif apabila commit to user

tercipta dasar tuturan (situasi tutur/ konteks). Penutur harus mengambil perhatian pihak yang akan dan sedang diajak berkomunikasi melihat fungsi tindak tutur dari suatu bentuk tuturan melebihi satu fungsi.

Menurut Rustono (dalam Nugraheni, 2011) konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas maksud suatu pertuturan. Sarana tersebut mencakup dua hal yakni ekspresi untuk mendukung kejelasan maksud dan situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Selanjutnya, Hymes dalam Brown dan Yule (dalam Nugraheni, 2011) menyebutkan beberapa ciri konteks, yaitu saluran atau media, kode, misi, kejadian, topik waktu, dan tempat tuturan. Dalam bahasa tutur, fungsi konteks adalah membantu penutur dan mitra tutur untuk saling memahami maksud suatu tuturan tersebut.

Pemahaman konteks sangat diperlukan dalam memahami dan menafsirkan teks/ wacana. Misalnya saja, seorang penutur berkata, “Enak, ya!”. Tuturan ini bisa mempunyai banyak penafsiran yang berbeda dari sejumlah orang yang mendengarnya. Pemahaman pendengar bisa saja penutur mengatakan bahwa yang ‘enak’ itu kue yang dimakannya dengan tujuan sekedar memberi tahu pendengar dalam situasi pesta, atau mungkin pendengar menafsirkan penutur sedang mengejekrnya saat dimarahi ibu kos dalam situasi pondok pesantren. Bahkan ratusan penafsiran lain bisa muncul dalam ujaran ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya konteks dalam memahami sebuah wacana. Konteks tidak bisa diabaikan begitu saja ketika seseorang berusaha memperoleh makna yang sesungguhnya dari informasi yang didengar atau dibacanya.

Konsep konteks dipelopori oleh antropolog Inggris Bronislow Malinowski pada tahun 1923 (Yule, 2006). Malinowski menyebutkan bahwa ada dua macam konteks, yaitu konteks situasi dan konteks budaya. Keduanya memiliki peranan yan penting dalam mengartikan sebuah makna. Selanjutnya, Malinowski mengemukakan bahwa konteks situasi adalah lingkungan verbal yang termasuk juga di dalamnya situasi dimana suatu teks diujarkan. Sedangkan konteks budaya yakni lingkungan yang dekat dimana teks tersebut biasanya difungsikan. Menurutnya, untuk memahami ujaran harus memperhatikan konteks situasinya.

Leech (1993: 19- 21) mengklasifikasikan aspek situasi tutur menjadi lima bagian, antara lain: (1) penutur dan mitra tutur; (2) konteks tutur; (3) tindak tutur sebagai tindakan; (4) tujuan tuturan; (5) tuturan sebagai produk verbal.

 Penutur dan Mitra Tutur

Penutur adalah orang bertutur, sedangkan mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus lawan tutur. Konsep ini juga mencakup penulis dan pembaca bila suatu tuturan dikomunikasikan melalui media tulisan. Aspek- aspek yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur ini meliputi usia, jenis kelamin, latar belakang social, ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat keakraban, dan sebagainya.

 Konteks Tuturan

Konteks tuturan adalah segala aspek fisik atau setting social yang relevan dari tuturan. Hal ini berperan membantu mitra tutur dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur. Pada dasarnya, di dalam ilmu pragmatik, konteks diartikan semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya.

 Tindak Tutur Sebagai Tindakan

Pragmatik membahas bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding tata bahasa karena berhubungan dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu. Dengan demikian, suatu tuturan merupakan entitas konkret penutur dan mitra tuturnya, waktu, dan tempat pengutaraannya.

 Tujuan Tuturan

Setiap tuturan pasti memiliki suatu tujuan. Sebaliknya setiap tuturan juga dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Di dalam pragmatic, bertutur merupakan kegiatan berorientasi pada tujuan.

 Tuturan Sebagai Produk Verbal

Tuturan merupakan hasil suatu tindakan. Ada dua jenis tindakan yang dilakukan manusia, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Bertutur adalah tindakan verbal. Dengan terciptanya tindakan inilah, tuturan dikatakan sebagai produk tindakan verbal yakni tindakan mengekspresikan bahasa.

6. Tindak Tutur Ekspresif a. Pengertian Tuturan Ekspresif

Tindak tutur Ekspresif dalam kategori Austin masuk ke dalam tindak tutur behabitif (behabitives utterances). Tindak tutur behabitif adalah reaksi- reaksi terhadap kebiasaan dan keberuntungan orang lain dan merupakan sikap serta ekspresi seseorang terhadap kebiasaan orang lain. Verba yang menandai tindak tutur ini misalnya meminta maaf, berterima kasih, bersimpati, menantang, mengucapkan

salam, mengucapkan selamat (1962:150-163). Pendapat ini dikuatkan oleh Leech

(1993) juga menjelaskan tindak tutur ekspresif dalam teori tindak tuturnya. Leech mendefinisikan tindak tutur ekspresif sebagai jenis tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur. Sebagai salah satu penciri tindak tutur ini adalah verba yang menandai tindak tutur ini misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa

ikut bersimpati, meminta maaf.

Tarigan (1986) memberikan definisi mengenai tindak tutur ekspresif adalah tuturan untuk mengekspresikan, mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis pembaca menuju suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi; misalnya berterima kasih, mengucapkan selamat, meminta maaf,

menyalahkan, membantah, memuji, dan sebagainya.

Sementara itu, Yule (2006: 93) berpendapat bahwa dalam tindak tutur ekspresif terdapat pernyataan yang menggambarkan apa yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan- pernyataan psikologis penutur terhadap suatu keadaan, meliputi berterima kasih, terkejut, mengucapkan selamat,

khawatir, dan sebagainya. Dari tiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

tuturan ekspresif adalah tuturan yang yang dimaksudkan untuk mengungkapkan ekspresi penutur kepada mitra tutur. Tindak tutur ini cenderung menyenangkan karena itu secara intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali ilokusi- ilokusi ekspresif

mengecam, menyesal dan menyalahkan.

b. Jenis Tuturan Ekspresif

Tuturan ekspresif merupakan bagian dari tindak ilokusi dimana dalam pengidentifikasiaannya harus mempertimbangkan konteks tuturan, siapan penutur commit to user

dan mitra tutur, kapan dan dimana tindak tutur terjadi, serta aspek lainnya yang mempengaruhi tuturan. Searle menjelaskan tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tuturan memuji, mengucapkan terima kasih,

meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh termasuk ke dalam

jenis tindak tutur ekspresif ini. Yule (2006) menambahkan, fungsi tindak tutur ekspresif mencakup meminta maaf, berterimakasih, mengharapkan, mengeluh,

mambantah, salam, memaafkan, menolak, memuji, menyindir, dan mengumpat.