• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2.1. Tinjauan Pustaka

Sistem Pembinaan.

Sistem pembinaan dalam kajian ini, yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, adalah suatu sistem atau mekanisme yang dilaksanakan sejak narapidana memasuki Lembaga Pemasyarakatan, masa pengenalan lingkungan, proses pembinaan dan pengakhiran masa hukuman (bebas). Sebagaimana menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan adalah sistem pemasyarakatan yang melaksanakan tata perlakuan yang lebih manusiawi dan normatif terhadap narapidana berasaskan Pancasila yang bercirikan ; rehabilitatif, korektif, edukatif dan integratif. Sistem kepenjaraan bercirikan ; balas dendam, penjeraan dan munculnya institusi rumah penjara, hal ini sudah tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan yang berlandaskan Pancasila.

Sistem pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan melalui tahap-tahap proses pemasyarakatan, meliputi ; tahap awal (tahap pertama), tahap lanjutan (tahap kedua dan ketiga) dan tahap akhir (tahap keempat).

Tahap Pertama.

Terhadap setiap narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk : sebab-sebabnya ia melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya. Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan tahap ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum (maksimum security).

Tahap Kedua.

Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 (sepertiga) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan melalui pengawasan medium- security.

Tahap Ketiga.

Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ (setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik maupun mental dan juga segi keterampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan assimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian, yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidananya.

Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap assimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum security.

Tahap Keempat.

Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

Dalam hal ini, sistem pembinaan yang akan dikaji dibatasi pada tahap lanjutan pembinaan, yaitu yang menekankan kepada pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian (keterampilan).

Sistem pembinaan adalah sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, disebutkan bahwa sistem pembinaan atau sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang bertanggung jawab.

Dalam rangka melaksanakan sistem pemasyarakatan yang utuh, maka sistem pembinaan pemasyarakatan itu menerapkan 6 (enam) azas, yaitu ; (1) pengayoman; (2) persamaan perlakuan dan pelayanan; (3) pendidikan dan pembimbingan; (4) penghormatan harkat dan martabat manusia; (5) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan (6) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Pengayoman dalam hal ini dimaksudkan sebagai perlakuan terhadap narapidana dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinaan diulanginya tindak pidana oleh narapidana, juga memberikan bekal hidup kepada narapidana agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada narapidana tanpa membeda-bedakan orang. Sedangkan yang dimaksud ”pendidikan dan pembimbingan” adalah kegiatan berupa penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

Penjelasan azas ”penghormatan harkat dan martabat manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat, harus tetap diperlakukan sebagai manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan ”kehilangan kemerdekaan merupakan satu- satunya penderitaan” disini adalah narapidana harus berada dalam lembaga pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di lembaga pemasyarakatan, narapidana tetap memperoleh hak-haknya yang lain, seperti layaknya manusia, dengan kata lain, hak perdatanya tetap dilindungi, seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga dan rekreasi.

Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang- orang tertentu dalam azas ke 6 dijelaskan bahwa walaupun narapidana berada di lembaga pemasyarakatan tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat serta tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga melalui program cuti mengunjungi keluarga.

Kegiatan dalam sistem pembinaan pada garis besarnya meliputi ; (1) rehabilitasi; (2) pembinaan dan (3) pembimbingan. Rehabiliasi dilaksanakan dan diberikan kepada narapidana dengan kasus penyalahgunaan narkotika dan obat- obatan terlarang. Upaya yang dilakukan berupa perawatan/perlakuan guna menghilangkan ketergantungannya terhadap narkoba, setelah itu kemudian baru diberikan pembinaan dan pembimbingan. Penanganan narapidana dengan kasus Narkoba akan berbeda dengan penanganan narapidana kasus lain (pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya).

Kemiskinan dan Narapidana Miskin.

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya dalam hal pendapatan dan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan- keuntungan non material yang diterima oleh seseorang. Namun demikian, makna secara luas, kemiskinan juga sering didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan, baik kekurangan pendidikan, penghasilan, pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari, keadaan kesehatan yang buruk serta keterbatasan akses dalam memperoleh kondisi atau keadaan yang diinginkan. (Suharto, 2004)

Kemiskinan adalah menunjuk pada suatu kondisi keterbatasan dan ketidakcukupan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Sumodiningrat (1999), beranggapan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Fakktor internal berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor di luar jangkauan individu yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Dengan perkataan lain, bukan karena seseorang tidak mau bekerja, tetapi struktur yang ada menjadi hambatan.

Dengan demikian kemiskinan yang dialami oleh komunitas narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin bisa diketahui dari kondisi keterbatasan dan ketidakcukupan yang dialami narapidana keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari selama berada di Lembaga Pemasyarakatan.

Pengertian narapidana miskin yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin adalah sebagai berikut :

a. Narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, sebelum masuk Lapas, pada umumnya berpenghasilan rendah, karena pada umumnya banyak yang bekerja pada sektor non formal, seperti ; buruh, tukang ojek, serta pegawai rendahan, yang berpenghasilan dibawah Upah Minimun Regional (UMR), antara 500 ribu rupian sampai dengan 700 ribu rupiah perbulan.

b. Sebagian besar narapidana berpendidikan rendah, dari 485 orang narapidana, sebanyak 333 orang berpendidikan rendah (SD dan SMP) atau sebesar 66 %.

Lembaga Pemasyarakatan.

Kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan miniatur dari kehidupan nyata di dalam masyarakat pada umumnya. Keberadaan penjara adalah sebuah tuntutan masyarakat agar masyarakat luas bisa bebas dari

kejahatan. Karena itu, harus ada lembaga khusus untuk menampung para penjahat. (Greenberg, David J. Rothman dalam Hamid Awaludin, 2001).

Di dalam penjara atau Lembaga Pemasyarakatan terjadi interaksi sosial antara sesama narapidana dan narapidana dengan petugas Pemasyarakatan yang dilakukan secara terus menerus dan berlangsung lama, sehingga membentuk atau menjadi ”warga komunitas”, dan ini menghasilkan proses simbiosis mutualisme di dalam komunitas penjara itu sendiri.

Lembaga Pemasyarakatan, yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan pertama kali dinyatakan oleh Dr. Sahardjo, SH pada tahun 1963, dengan arti pemasyarakatan adalah kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang bersifat mengayomi para narapidana yang tersesat jalan dan memberikan bekal hidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat. Sedangkan Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. Dalam membina terpidana diperkembangkan hidup kejiwaannya, jasmaniahnya, pribadi serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat.

Di dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan azas Pancasila, bahwa narapidana dipandang sebagai warga negara yang memiliki nilai yang sama dengan warga negara yang lainnya dalam hal tanggung jawab terhadap tercapainya tujuan bangsa. Narapidana harus diikutsertakan dalam pembangunan bangsa sehingga ia dapat berkarya seperti halnya seorang kepala keluarga. Dengan demikian ia dapat menghidupi diri dan keluarganya tanpa memberatkan pemerintah (masyarakat umum), disamping itu dengan karyanya juga dapat menambah secara langsung kemakmuran masyarakat sebagai imbalan terhadap perbuatannya yang telah merugikan dan melatih diri dalam keterampilan bekerja.

Lembaga Pemasyarakatan yang melaksanakan sistem pemasyarakatan tidak memandang narapidana sebagai seorang penjahat dan seolah-olah bukan manusia lagi. Narapidana adalah manusia biasa, seperti manusia lainnya. Hanya karena melanggar hukum dan dipidana oleh Hakim untuk menjalani

hukuman pidana, maka narapidana tidak boleh diasingkan dari kehidupan masyarakat, tetapi seharusnya lebih diintegrasikan ke dalamnya.

Dalam usaha pembangunan sistem pemasyarakatan, narapidana harus berinteraksi dengan masyarakat. Interaksi dimaksud adalah interaksi untuk saling membantu antara narapidana, lembaga pemasyarakatan dan masyarakat yang menampung hasil pembinaan lembaga untuk bekerja dan belajar bekerja. Artinya lembaga dan masyarakat mengajarkan narapidana untuk bekerja sambil belajar dan bekerja sambil menghasilkan sesuatu yang diperdagangkan, seperti : usaha-usaha pertanian, peternakan, perikanan percetakan, dan pembuatan bahan-bahan bangunan serta kerajinan tangan. Hasil dari usaha tersebut dapat digunakan untuk menggantikan biaya kehidupan narapidana, dan keluarga serta masyarakat sekitarnya.

Usaha pembinaan narapidana dimulai sejak hari pertama ia masuk dalam lembaga hingga saat ia dilepas dari lembaga. Selanjutnya dilakukan pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah atau swasta bila masih diperlukan.

Sistem Pemasyarakatan mulai dikenal sejak tanggal 27 April 1964, menurut Sahardjo, 1963, bahwa narapidana bukan orang hukuman, melainkan orang yang tersesat dan memiliki waktu serta kesempatan untuk bertobat, tobat dilaksanakan bukan melalui penyiksaaan, tetapi melalui metode dan proses pembinaan yang mengacu pada sistem pemasyarakatan, bentuk pembinaan yang dilaksanakan meliputi pemberian kegiatan pendidikan agama, pendidikan umum, kursus keterampilan, kegiatan olahraga, rekreasi, kesenian, pendidikan kepramukaan, kegiatan latihan kerja dan kegiatan asimilasi. Sedangkan pembinaan lanjut dilakukan di luar lembaga melalui bimbingan selama narapidana menjalani pidana bersyarat dan proses penelitian kemasyarakatan.

Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan terdapat 3 hal yang saling berhubungan, yaitu manusia, pembinaan dan peraturan hukum. Manusia disini adalah narapidana sebagai anggota masyarakat yang sementara waktu dipisahkan dari komunitasnya di dalam masyarakat. Selama periode tertentu dan dalam proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan, suatu saat narapidana tersebut akan kembali menjadi manusia dan anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum.

Pembinaan dan potensi ekonomi.

Pembinaan biasanya dikaitkan dengan proses untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas manusia, yaitu melalui pendidikan, latihan dan bimbingan yang berhubungan dengan penanaman pengetahuan, nilai dan keterampilan. Usaha peningkatan kualitas diri diperlukan apabila seseorang atau kelompok ingin meningkatkan penguasaannya terhadap sesuatu yang sebelumnya kurang atau belum dipahaminya secara mendalam.

Seiring perkembangan jaman, pembinaan dalam sistem pemasyarakatan mulai berubah sejak dikeluarkannya Piagam Pemasyarakatan di Indonesia pada tahun 1964 dan disempurnakan oleh Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965. Berdasarkan surat tersebut bahwa arti pembinaan narapidana adalah memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah budi pekerti narapidana seperti membangkitkan rasa berharga pada diri sendiri dan diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat. Selanjutnya mereka dapat mengembangkan potensinya sebagai manusia.

Pengertian pembinaan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “Membangun atau pembaharuan”. (hal. 14). Membangun atau pembaharuan ini dapat diartikan sebagai upaya yang bersifat positif untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi ke arah tujuan yang diinginkan.

Mangunhardjana, 1986, memberikan pengertian pembinaan yang diterjemahkan dari bahasa Inggris “Training” sebagai berikut :

Pembinaan adalah suatu proses belajar dengan melepas hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal yang belum dimiliki dengan tujuan membantu orang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada, serta mendapatkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang seedang dijalaninya secara efektif. (hal. 12)

Dalam pengertian tersebut terkandung makna adanya proses untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan atau potensi yang dimilikinya agar mampu mencapai tujuan hidup atau kerja secara lebih efisien dan efektif

dari sebelumnya. Pengembangan pengetahuan ini dilakukan dengan cara mempelajari pengetahuan dan keterampilan.

Potensi, adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan atau didayagunakan. Sedangkan ekonomi menurut Mubyarto (dalam Sajogyo dan Martowijoyo, 2005) adalah suatu kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Jadi, yang dimaksud dengan potensi ekonomi adalah unsur-unsur yang dapat memberi kekuatan bagi seseorang agar dapat beraktifitas ekonomi. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah pendidikan (formal dan informal), keterampilan dan waktu yang tersedia untuk melakukan sesuatu (bekerja). (Sadli dan Patmonodewo, dalam Ihromi 1995)

Potensi ekonomi narapidana adalah kemampuan yang dimiliki narapidana untuk menjalankan kegiatan ekonomi, sehingga dapat memberikan kontribusi secara ekonomi dalam keluarga. Tinggi rendahnya sangat tergantung pada tingkat pendidikan, serta keterampilan kerja yang dimiliki. Hal ini tergantung kepada sikap dan penerimaan masyarakat terhadap narapidana tersebut apabila bebas nanti, dan potensi peluang usaha dan bekerja yang akan dicapai.

Kepribadian.

Kepribadian memiliki banyak arti, bahkan sangat banyaknya boleh dikatakan jumlah definisi dan arti dari kepribadian adalah sejumlah orang yang menafsirkannya. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian dan pengukurannya.

Kepribadian secara umum

Personality atau kepribadian berasal dari kata persona, kata persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Zaman Romawi. Secara umum kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya. Pada dasarnya definisi dari kepribadian secara umum ini adalah lemah karena hanya menilai perilaku yang dapat diamati saja dan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa berubah tergantung pada situasi sekitarnya selain itu definisi ini disebut lemah karena sifatnya yang bersifat evaluatif (menilai), bagaimanapun pada

dasarnya kepribadian itu tidak dapat dinilai “baik” atau “buruk” karena bersifat netral.

Kepribadian menurut Psikologi

Untuk menjelaskan kepribadian menurut psikologi akan digunakan teori dari George Kelly (1963) yang memandang bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport (1955) merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah

kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan. (www : trescent.wordpress.com ; diakses, tanggal 13 Maret 2008)

Lebih detail tentang definisi kepribadian menurut Allport yaitu kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu secara khas.

Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan istilah khas dalam batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama, karena itu tidak ada dua orang yang berperilaku sama.

Dari sebagian besar teori kepribadian diatas, dapat kita ambil kesamaan sebagai berikut (E. Koswara, 1998):

1. Sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku kita.

2. Sebagian besar batasan menekankan perlunya memahami arti perbedaan - perbedaan individual. Dengan istilah kepribadian”, keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan melalui studi tentang kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Para teoris kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik

dan atau khas pada diri setiap orang.

3. Sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut “sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teoris kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subyek atau individu atas pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang mencakup faktor - faktor genetik atau biologis, pengalaman- pengalaman sosial, dan perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh faktor- faktor bawaan dan lingkungan.

(www : trescent.wordpress.com ; diakses, tanggal 13 Maret 2008)

Sedangkan dalam kajian ini, kepribadian dimaksud adalah kemampuan narapidana untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan, agar memiliki kepribadian yang lebih baik dari sebelumnya.

Indikator keberhasilan pembinaan kepribadian, antara lain seperti :

1. Adanya perubahan perilaku narapidana ke arah yang lebih baik, yaitu tumbuhnya sikap menghargai diri sendiri, toleransi sesama narapidana dan petugas.

2. Tidak adanya keinginan atau niat untuk mencoba melarikan diri, membuat kericuhan dan melanggar peraturan serta ketentuan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sehingga terciptanya suasana aman dan nyaman dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

3. Banyaknya narapidana yang mengikuti kegiatan keagamaan, seperti pesantren bagi yang beragama Islam, acara-acara Kebaktian bagi yang beragama Kristen, serta kegiatan keagamaan lainnya.

4. Berkurangnya penghuni atau kapasitas isi Lembaga Pemasyarakatan, karena banyaknya narapidana yang memperoleh pembebasan.

Kemandirian.

Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 UU No. 12 Th 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta mandiri.

Sebagaimana tujuan pembinaan yaitu menciptakan manusia mandiri, jadi kemandirian dalam kajian ini adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana) dengan masyarakat, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.

Indikator kemandirian dimaksud, antara lain :

1. Bagi narapidana yang telah memiliki keterampilan sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan :

a. Adanya peluang dan potensi ekonomi yang dapat diperoleh dengan menerapkan keterampilan yang dimiliki, dengan dipekerjakan pada bidang-bidang usaha ekonomi, seperti bidang percetakan, pertanian, peternakan dan sebagainya, sehingga mereka akan memperoleh premi atau pendapatan.

b. Dapat menularkan pengetahuan keterampilan yang dimiliki kepada sesama narapidana yang belum memiliki keterampilan tersebut, karena kegiatan ini merupakan salah satu unsur dalam upaya memperoleh pengurangan masa pidana (remisi), yaitu mengangkat mereka sebagai ”Pemuka Kerja”.

2. Bagi mereka yang belum / tidak memiliki pengetahuan keterampilan sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan :

a. Dapat memperoleh pengetahuan keterampilan, sehingga mereka pun diikutsertakan dalam kegiatan usaha ekonomi yang diselenggarakan Lembaga Pemasyarakatan, dan kepada mereka pun akan memperoleh premi atau pendapatan.

b. Meningkatnya motivasi dalam mengikuti kegiatan keterampilan kerja, sehingga mereka tidak menghabiskan waktunya di dalam Lembaga Pemasyarakatan secara sia-sia.

Motivasi

Motivasi manusia terdiri dari serangkaian ’motif’ yang melatarbelakangi, mendorong seseorang untuk bertindak, hal ini dapat dilihat dalam tingkah laku secara umum maupun secara khusus dalam interaksi sosial. Untuk mengetahui motivasi lebih jauh, banyak para ahli yang mengajukan pendapatnya, tetapi agar tidak terlalu beragam dan membingungkan, maka dalam kajian ini, konsep motivasi yang digunakan adalah sebagai berikut ; Motivasi adalah suatu dorongan dan usaha untuk memenuhi sesuatu atau memuaskan kebutuhan atau