• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak sekolah dasar adalah mereka yang berusia antara 6-12 tahun atau biasa disebut dengan periode intelektual. Pada masa ini anak mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologis. Anak akan belajar untuk mengenal lingkungannya baik lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun sekolah. Pengetahuan anak akan bertambah pesat seiring dengan bertambahnya usia , keterampilan yang dikuasaipun semakin beragam. Minat anak pada periode ini terutama terfokus pada segala sesuatu yang bersifat dinamis bergerak. Implikasinya adalah anak cenderung untuk melakukan beragam aktivitas yang akan berguna pada proses perkembangannya kelak (Jatmika 2005).

Menurut Hurlock (1980), anak usia sekolah termasuk ke dalam fase akhir masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Dengan masuk sekolah, dunia dan minat anak-anak bertambah luas dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang manusia dan benda-benda. Anak-anak sekarang memasuki apa yang oleh Piaget disebut sebagai “tahap

operasi konkret” dalam berpikir, suatu masa dimana konsep yang pada awal masa anak-anak merupakan konsep yang samar-samar dan tidak jelas sekarang menjadi konkret dan tertentu.

Pertumbuhan anak sekolah relatif lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pada waktu bayi dan prasekolah. Masa sekolah merupakan masa persiapan untuk pertumbuhan pesat pada usia remaja (Papila & Olds 1979 dalam Khapipah 2000). Meskipun laju pertumbuhan anak sekolah dasar lebih lambat dibandingkan sebelumnya, namun anak sekolah dasar membutuhan makanan dengan jumlah dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Kenaikan jumlah zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik anak sekolah. Selain itu juga untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi dan menular (Harper, Deaton & Driskel 1986). Masa sekolah merupakan saat yang tepat untuk memberikan pengetahuan tentang makanan yang sehat dan bergizi serta untuk mendorong tumbuhnya kebiasaan makan yang baik (Khapipah 2000).

Anak-anak pada usia sekolah dasar secara relatif lebih mudah dididik dari masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini dapat dirinci dalam dua fase, yaitu

masa kelas-kelas rendah SD (umur 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun), dan masa anak-anak kelas tinggi SD (umur 9 atau 10 tahun sampai kira- kira umur 13 tahun). Sifat khas anak-anak pada masa kelas-kelas rendah antara lain adalah apabila tidak dapat mengerjakan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting. Pada masa kelas-kelas tinggi anak-anak bersifat ingin tahu, ingin belajar, cermat, realistik, dan menjelang akhir masa ini telah tumbuh minat kepada hal-hal tertentu dan mata pelajaran khusus. Setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya sendiri (Hurlock 1980). Untuk itu, contoh dalam penelitian ini menggunakan siswa pada masa kelas-kelas tinggi dengan pertimbangan pada masa tersebut anak-anak bersifat ingin tahu, ingin belajar, cermat dan realistik.

Pendidikan Gizi

Di negara maju, sejak kecil anak-anak telah mendapatkan pendidikan gizi secara teratur. Melalui pembelajaran di kelas dan program makan siang di sekolah (school lunch), anak-anak dididik supaya memahami dan mempraktikkan pedoman gizi seimbang. Dengan pedoman tersebut, hampir setiap hari mereka diingatkan agar menyukai beragam jenis makanan, terutama jenis sayur dan buah-buahan. Mereka juga diajarkan menjaga kebersihan dan memperhatikan label pembungkus atau kaleng makanan untuk menghindari makanan tercemar ataupun kadaluwarsa (Nuryati 2010).

Menurut (Soekirman 2000) dalam (Nuryati 2010), pada umumnya sikap kritis dan hati-hati dalam soal makan belum dimiliki anak Indonesia. Kurikulum pendidikan dasar di Indonesia belum mengajarkan ilmu gizi secara profesional. Di samping itu, tidak banyak sekolah yang mengenalkan acara makan siang di sekolah yang diprogramkan dengan baik. Sejak 1950-an, satu-satunya alat peraga pendidikan gizi yang dikenal masyarakat adalah poster ”Empat Sehat Lima Sempurna”. Kini, kedudukan poster tersebut menjadi tidak jelas karena sejak 1990-an dalam acara-acara pendidikan gizi, poster ”Empat Sehat Lima Sempurna” tidak digunakan lagi. Namun, poster tersebut masih ditemukan di sekolah-sekolah dasar bahkan digunakan sebagai bahan pengajaran di sebagian sekolah.

Pendidikan gizi diartikan sebagai upaya membuat seseorang atau sekelompok masyarakat sadar akan pentingnya gizi bagi kehidupan. Pendidikan gizi adalah proses belajar-mengajar tentang apa itu gizi, bagaimana memilih

makanan bergizi, manfaat gizi bagi kehidupan, dan sebagainya. Pendidikan gizi mempunyai tujuan akhir mengubah sikap dan tindakan ke arah kesadaran untuk melakukan pemenuhan kebutuhan gizi agar hidupnya sehat.

Pendidikan gizi semestinya ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini (TK/SD) baik oleh orang tua maupun guru. Materi pelajaran gizi mestinya menjadi bagian dari kurikulum di sekolah. Upaya pendidikan gizi di sekolah berpeluang besar untuk berhasil meningkatkan pengetahuan tentang gizi di kalangan masyarakat karena siswa sekolah diharapkan dapat menjadi jembatan bagi guru dalam menjangkau orang tuanya. Guru sebagai tenaga pendidik dalam proses belajar-mengajar mempunyai pengaruh terhadap anak-anak didiknya yang kadang-kadang lebih dituruti daripada orang tua.

Materi pelajaran tentang gizi yang diberikan harus menyajikan kenyataan/masalah yang dibutuhkan murid. Informasi gizi perlu dinyatakan dalam istilah-istilah yang sederhana dan mudah dikenal pula sehingga murid mudah menerimanya dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut secara efektif. Dalam menyampaikan materi gizi, guru/pendidik dapat memilih metode yang akan digunakan, apakah metode ceramah, diskusi, demonstrasi, eksperimen, atau pemberian tugas (Nuryati 2010).

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Menurut (Madrie 1981) dalam (Fatima dan Yuliati 2002), pengetahuan dan pengalaman akan membentuk sikap seseorang. Pengetahuan merupakan fase awal dari keputusan dimana akhirnya seseorang akan bertindak seperti pengetahuan yang diperolehnya.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Sukandar 2009).

Menurut (Cicely William dalam Sukandar 2009) melaporkan studi di Afrika Barat bahwa gizi kurang tidak terjadi karena kemiskinan harta, akan tetapi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gizi keluarga khususnya gizi pada anak-anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrition Assesment Educational Project di Washington 1999 menyatakan bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagain besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan atau pemahaman tentang gizi yang baik.

Penelitian yang telah dilakukan terhadap siswa SD di Bogor tahun 2010 tentang pengetahuan gizi, sebanyak 63% siswa SD di kota maupun di kabupaten, memiliki pengetahuan gizi yang masih rendah meskipun masih ada yang tergolong baik hanya sebanyak 3.0% siswa dan sisanya tergolong sedang 34.0% (Adriani 2010). Hasil penelitian yang dilakukan Andarwulan et al. (2008) tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan secara nasional pada siswa SD, rata-rata skor pengetahuan gizi sekitar 63 atau termasuk cukup. Siswa di SD yang berakreditasi A memiliki tingkat pengetahuan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan siswa di SD yang berakreditasi B, C, dan tidak terakreditasi. Sedangkan siswa di luar Jawa memiliki tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan lebih baik dibandingkan dengan siswa di Jawa.

Pengetahuan gizi merupakan landasan yang penting dalam menentukan konsumsi makanan. Seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan mampu menerapkan pengetahun gizinya di dalam pemilihan bahan makanan, sehingga konsumsi makanan dapat tercukupi (Khomsan 2000). Menurut Suhardjo (1989), pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Pendidikan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Selain itu juga dapat diperoleh dengan melihat dan mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi, seperti membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio, dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan dan gizi.

Menurut Khomsan (2000), tingkat pengetahuan gizi siswa dapat diperoleh melalui skor dari beberapa pertanyaan yang berbentuk multiple choice. Selanjutnya tingkat pengetahuan gizi siswa dikategorikan dengan menetapkan

cutt of point dari skor yang telah dijadikan persen. Kategori untuk tingkat pengetahuan gizi dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu baik (> 80%), sedang (60% - 80%), dan kurang (<60%).

Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)

Di negara Indonesia yang telah memasuki era globalisasi, ternyata masih menghadapi masalah gizi ganda yaitu masalah gizi kurang dan gizi lebih dengan berbagai resiko penyakit yang ditimbulkan. Masalah gizi ganda ini terdapat di pedesaan dan juga perkotaan (Depkes 2003).

Masalah gizi ganda ini pada hakekatnya merupakan masalah perilaku. Untuk mengoreksi masalah tersebut maka dilakukan berbagai pendekatan melalui pemberian informasi tentang perilaku gizi yang baik dan benar, salah

satunya dengan penyuluhan. Untuk itu diperlukan suatu acuan edukasi atau pendidikan tentang perilaku gizi yang baik dan benar, yakni PUGS atau Pedoman Umum Gizi Seimbang ini. PUGS ini terdiri dari 13 pesan dasar gizi seimbang yang bertujuan agar setiap orang berperilaku gizi yang baik dan benar sehingga memiliki gizi yang baik (Depkes 2003).

Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak beberapa tahun yang lalu, tetapi masih belum cukup diketahui masyarakat keberadaannya. PUGS adalah dietary guidelines yang berisi petunjuk-petunjuk terperinci tentang cara memperbaiki pola konsumsi pangan. Pola itu akan membuat seseorang terhindar dari masalah gizi lebih atau kurang. Sementara itu, 4 Sehat 5 Sempurna adalah petunjuk umum tentang ragam makanan yang sebaiknya kita konsumsi (Khomsan & Anwar 2008).

Adapun 13 pesan PUGS antara lain : 1. Makanlah Aneka Ragam Makanan

2. Makanlah Makanan untuk Memenuhi Kecukupan Energi

3. Makanlah Makanan Sumber Karbohidrat setengah dari kebutuhan energi 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan

energi

5. Gunakan garam beryodium

6. Makanlah makanan sumber zat besi

7. Berikan ASI saja pada bayi sampai umur 6 bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya

8. Biasakan makan pagi

9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya 10. Lakukan aktivitas fisik secara teratur

11. Hindari minuman yang beralkohol

12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan

13. Bacalah label pada makanan yang dikemas (Depkes 2003).

Pesan-pesan tersebut disusun oleh pakar-pakar gizi Indonesia dibantu oleh seorang konsultan dari Cornell University (Prof.Latham). Dengan memerhatikan jenis dan besaran masalah gizi di Indonesia dan memperhatikan

dietary guidelines di berbagai negara, lahirlah konsep PUGS. Dibandingkan dengan dietary guidelines di 10 negara Asia, konsep PUGS memuat pesan- pesan yang lebih banyak (13 butir). Jepang dan Filipina hanya menekankan lima butir pesan. Akan tetapi, berapa pun pesan yang akan disampaikan tidak menjadi

masalah karena yang lebih penting adalah bagaimana pesan-pesan tersebut dapat dimasyarakatkan (Khomsan & Anwar 2008).

Tidak semua pesan dalam PUGS mudah dipahami oleh masyarakat awam. Sosialisasi PUGS dapat dianggap sebagai satu upaya mengisi program pendidikan gizi masyarakat. Penggunaan media massa cetak dan elektronik sangat perlu. Semakin meningkatnya kemampuan baca tulis masyarakat, maka kedua media tersebut bisa berperan penting dalam penyampaian pesan PUGS. Selain itu, PUGS hendaknya menjadi salah satu materi kurikulum pendidikan dasar. Hal itu akan membuat sejak dini siswa-siswa sudah menyadari pentingnya menata pola makan yang sehat agar terhindar dari segala macam penyakit, khususnya penyakit non-infeksi (Khomsan & Anwar 2008).

PUGS dibuat untuk memperbaiki pola konsumsi pangan masyarakat. Perubahan perilaku menuntut rentang waktu yang panjang. Di samping itu, perubahan perilaku pangan tidak dapat diklaim sebagai dampak satu program saja karena masalah gizi adalah masalah yang kompleks. Jadi, pemasyarakatan PUGS lebih baik dilaksanakan melalui penyebaran informasi dengan memanfaatkan beragam media. Keberhasilan pemasyarakatan PUGS adalah apabila dalam jangka panjang kita dapat menekan masalah gizi di Indonesia (Khomsan & Anwar 2008).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Di Sekolah

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil dari pembelajaran yang menjadikan seseorang dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya (Depkes 2007). Sedangkan, menurut Sinaga et al. (2005) dalam Pusat Promosi Kesehatan (2007), program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan bentuk perwujudan paradigma sehat, terutama pada aspek budaya perorangan, keluarga dan masyarakat. Program PHBS adalah tindakan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, masyarakat yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, meenolong dirinya dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan untuk memperoleh derajat kesehatan yang tinggi. PHBS dapat diterapkan diberbagai tempat antara lain di rumah tangga, di sekolah, di institusi kesehatan, di tempat kerja serta di tempat-tempat umum.

Munculnya berbagai penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (6 – 10 tahun), yang ternyata umumnya berkaitan dengan PHBS. PHBS di

sekolah merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru, dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat (Pusat Promosi Kesehatan 2007). Penerapan PHBS ini dapat dilakukan salah satunya melalui pendidikan gizi pada peserta didik.

Ada beberapa indikator yang dipakai sebagai ukuran untuk menilai PHBS di sekolah yaitu :

1. Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun 2. Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah

3. Menggunakan air dan jamban yang bersih dan sehat 4. Olahraga yang teratur dan terukur

5. Memberantas jentik nyamuk 6. Tidak merokok di sekolah

7. Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan 8. Membuang sampah pada tempatnya (Pusat Promosi Kesehatan 2007).

Jumlah anak yang besar yakni 30% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 73 Juta orang dan usia sekolah merupakan masa keemasan untuk menanamkan nilai-nilai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga anak- anak berpotensi sebagai agen perubahaan untuk mempromosikan PHBS, salah satunya di lingkungan sekolah (Depkes 2006). Namun, pada masa kanak-kanak, masalah kesehatan dan kebersihan menjadi masalah yang dinomorduakan, akibat anak lebih memperhatikan waktu yang menyenangkan untuk bermain daripada memperhatikan keadaan dirinya (Hurlock 1996). Maka dari itu, penerapan, pendidikan serta pengawasan PHBS di sekolah mutlak diperlukan untuk terciptanya pribadi dan sekolah yang sehat.

Media Pendidikan Gizi

Media pendidikan memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu suatu benda yang dapat dilihat, didengar atau diraba dengan pancaindera. Media pendidikan memiliki pengertian nonfisik yang dikenal sebagai software (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa. Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio (Arsyad 2009).

Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media pembelajaran.Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai, meskipun masih ada aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media (Arsyad 2009). Haryoko (2009), mengemukakan media pembelajaran sebagai media yang digunakan untuk memperlancar proses komunikasi dalam pembelajaran. Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh- pengaruh psikologi terhadap siswa.

Media pembelajaran menurut Kemp & Dayton (1985: 28), dapat memenuhi tiga fungsi utama apabila media itu digunakan utnuk perorangan, kelompok, atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya, yaitu (1) memotivasi minat atau tindakan, (2) menyajikan informasi, dan (3) memberi instruksi. Secara garis besar manfaat penggunaan media pembelajaran antara lain (1) media pembelajaran dapat memperjelas penyajian dan pesan informasi (2) media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar serta interaksi lebih langsung antara siswa dengan lingkungannya (3) media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu. (4) media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka (Arsyad 2009).

Media dalam pendidikan gizi merupakan alat bantu yang memiliki fungsi untuk mempermudah penyampaian pesan-pesan gizi dan kesehatan dalam kegiatan pendidikan gizi. Khomsan (2000) menggolongkan tiga jenis media atau alat peraga menjadi tiga golongan yaitu (1) Audio aids, yaitu alat peraga yang didengar (2) Visual aids, yaitu alat peraga yang dilihat dan (3) Audio Visual aids, yaitu alat peraga yang bisa dilihat sekaligus didengar. Penelitian penggunaan media dalam pendidikan gizi masih tergolong jarang. Salah satu penelitian yang dilakukan terkait penggunaan media dalam pendidikan gizi adalah penelitian Ikada (2010), yang melakukan penelitian terhadap pengaruh buku cerita bergambar terhadap pengetahuan gizi siswa SD Ciriung 02 Cibinong, memberikan hasil yang positif. Pengetahuan gizi siswa secara signifikan

bertambah setelah dilakukan pendidikan gizi menggunakan media buku cerita bergambar.

Media Audio(Media Lagu Anak-Anak)

Media Audio (media dengar) adalah media yang isi pesannya hanya diterima melalui indera pendengaran. Dengan kata lain, media jenis ini hanya melibatkan indera dengar dan memanipulasi unsur bunyi atau suara semata (Setyosari, Punaji & Sihkabuden, 2005: 148; Munadi, 2008).

Suara adalah fenomena fisik yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang berupa sinyal analog dengan amplitude yang berubah secara kontinyu terhadap waktu. Suara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 966) di antaranya berarti bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, bunyi binatang, ucapan (perkataan), dan bunyi bahasa (bunyi ujar). Berdasarkan hal tersebut, dilihat dari sifat pesan yang diterima, media audio ini bisa menyampaikan pesan verbal maupun non verbal. Pesan verbal berupa bahasa lisan atau kata-kata, sedangkan pesan non verbal berwujud bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti gerutuan, gumam, musik, dan lain-lain.

Sudjana dan Rivai (1990:130) mengemukakan hubungan media audio dengan pengembangan keterampilan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan mendengarkan. Keterampilan yang dapat dicapai dengan penggunaan media audio meliputi :

1. Pemusatan dan perhatian 2. Mengikuti pengarahan 3. Melatih daya analisis

4. Menentukan arti dari konteks

5. Memilah-milah informasi yang relevan dan tidak relevan

6. Merangkum, mengemukakan kembali, atau mengingat kembali informasi. Media audio dalam pembelajaran dapat menggunakan radio, lagu,

phonograph dan lain-lain. Menurut Puspito (2006), lagu adalah gabungan antara teori dan ilmu harmoni dan ilmu bentuk musik, khususnya untuk nyanyian ditambah dengan teknik syair. Lagu yang digunakan sebagai media pendidikan gizi dalam penelitian ini adalah lagu anak-anak, dengan mempertimbangkan sasaran penelitian yaitu AUS.

Media Visual (Kartu Bergambar)

Penerapan belajar visual (visual learning) di dalam kelas membutuhkan media dan metode tertentu untuk mengoptimalkan visualisasi yang diterapkan

oleh pelajar. Media yang dapat digunakan antara lain dalam bentuk komputer, kartun, televisi, video dan kartu bergambar (Campbell 1990).

Media berbasis visual (image atau perumpamaan) memegang peran yang sangat penting dalam proses belajar. Media visual dapat memperlancar pemahaman (misalnya melalui elaborasi struktur dan organisasi) dan memperkuat ingatan. Visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata (Arsyad 2009). Penggunaan gambar merupakan salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan retensi (methods for enhancing retention) siswa (Engel 1990). Mc Kim (1980) menyatakan bahwa kemampuan visual sesorang ditentukan oleh tiga wilayah, yaitu : persepsi imageri eksternal (fakta atau realitas yang dikenal individu dari indera penglihatannya), persepsi imageri internal (persepsi seseorang terhadap sesuatu yang dirupakan dalam bentuk mimpi dan imajinasi), imageri ciptaan (imageri yang dihasilkan oleh aktivitas sesorang dalam bentuk gambar atau lukisan).

Manfaat yang dapat diambil dari penggunaan media menurut Oemar Hamalik (1994:18) adalah media dapat membangkitkan motivasi dan pengaruh psikologis bagi peserta didik. Efektifitas proses pembelajaran juga akan terlaksana bila memanfaatkan media pembelajaran. Lebih lanjut (Levie dan Lentz 1982) dalam (Arsyad 2009:16) mengemukakan empat fungsi dari pemanfaatan media pembelajaran visual. Pertama, fungsi atensi. Media visual dipergunakan sebagai alat sentral dalam proses pembelajaran. Tampilan atau bentuk media visual yang menarik akan mengarahkan peserta didik untuk berkonsentrasi pada materi yang disampaikan. Kedua, fungsi afektif. Media visual mampu membangkitkan minat peserta didik untuk memperhatikan materi yang disampaikan. Ketiga, fungsi kognitif. Media visual akan mempermudah dalam memahami dan mengingat terhadap pesan yang terkandung dalam gambar. Keempat, fungsi kompensatoris. Media visual yang dipergunakan dapat mengakomodir kelemahan peserta didik dalam menerima dan memahami materi yang ditampilkan dalam gambar . Peserta didik yang lemah dalam memahami materi yang disampaikan dalam bentuk verbal akan terbantu dengan penggunaan media visual.

Media visual yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu bergambar. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Depdikbud Balai Pustaka (1991: 448) dalam Prapita D (2009), kartu adalah kertas tebal yang

berbentuk persegi panjang. Gambar yang digunakan dalam kartu bergambar adalah gambar bitmap dan gambar vektor. Gambar Bitmap sering disebut juga dengan gambar raster. Gambar Bitmap adalah gambar yang terbentuk dari pixel, dengan setiap pixelnya mempunyai warna tertentu. Format gambar bitmap sering dipakai dalam foto dan gambar. Dua istilah yang perlu dipahami ketika bekerja dengan gambar bitmap adalah resolusi dan kedalaman warna. Gambar bitmap biasanya diperoleh dengan cara : Scanner, Camera Digital, Video Capture dan lain-lain. Gambar Vektor dihasilkan dari perhitungan matematis dan tidak berdasarkan pixel. Jika gambar di perbesar atau diperkecil, kualitas gambar relatif tetap baik dan tidak berubah. Gambar vektor biasanya dibuat menggunakan aplikasi-aplikasi gambar vektor misalkan : Corel Draw, Adobe Illustrator, Macromedia Freehand, Autocad dan lain-lain. Media kartu bergambar ini dibuat dengan ukuran 9 x 7 cm.

Media visual berupa gambar atau foto memiliki beberapa keuntungan, diantaranya ; (1) bersifat konkret. Gambar atau foto dapat dilihat oleh peserta

Dokumen terkait