• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOKSIKOLOGI FORENSIK Definisi

Dalam dokumen 67839673 Buku Roman Forensik Second Edition (Halaman 156-167)

Tingkat II yaitu luas dry heat 30%  membahayakan jiwa

TOKSIKOLOGI FORENSIK Definisi

Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber, karakteristik dan kandungan racun, gejala dan tanda yang

disebabkan racun, dosis fatal, periode fatal,dan penatalaksanaan kasus keracunan. Periode fatal merupakan selang waktu antara masuknya racun dalam dosis fatal rata-rata sampai menyebabkan kematian pada rata-rata orang sehat.

Dalam berbagai kepustakaan, terdapat berbagai pengertian tentang keracunan (poisoning) dan intoksikasi. Beberapa kepustakaan menyatakan pengertian keracunan dan intoksikasi berbeda, dimana keracunan dinyatakan sebagai over dosis yang mempunyai efek sentral sedangkan intoksikasi merupakan over dosis yang bersifat umum baik sentral maupun perifer. Namun kepustakaan lain menyatakan keracunan dan intoksikasi memiliki pengertian yang sama.

Berbagai definisi racun telah dipublikasikan berdasarkan sudut pandang yang berbeda dari berbagai ahli. Semua definisi memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri dalam interpretasi dan banyak definisi yang tumpang tindih satu dengan lainnya. Paracelcus (1493-1541) yang lebih dikenal sebagai Theopraksis Bombastus Von Honhenheim, orang yang pertama mendefinisikan racun, menyatakan semua substansi di alam adalah racun hanya dosis yang membedakan substansi tersebut racun atau bukan (sola dosis facit venenum). Tosksikologist Seinen (1989) menyatakan racun adalah substansi yang diberikan secara berlebihan sehingga toksikologi dianggap sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang berlebihan (toxicology is the knowledge of too much). 5

Sangster secara lebih rinci menyatakan tentang sumber substansi yang dianggap racun. Keracunan dianggap sebagai cidera yang diakibatkan konsentrasi berlebihan dari substansi eksogenous (dari luar tubuh manusia).

Toksisitas Racun

Dalam pemeriksaan keracunan harus diperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi fatalitas racun pada korban, baik pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Banyak substansi yang hanya bersifat toksik dalam jumlah yang besar tetapi ada yang bersifat toksik meskipun jumlahnya kecil. Demikian juga adanya substansi tertentu secara tersendiri tidak bersifat toksik atau toksisitasnya rendah tetapi dengan adanya substansi lain, menyebabkan substansi tersebut menjadi toksik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan korban hidup, antara lain :

1.Toksisitas intrinsik

Ikatan kimia (struktur kimia) suatu zat secara intrinsik membentuk sifat racun zat tersebut,misalnya unsur sodium.

2.Dosis dan bioavailabilitas

Farmakokinetik untuk substansi yang bersifat sistemik sangat tergantung dosis zat yang masuk ke dalam tubuh dan kecepatan metabolisme zat terutama di organ detoksifikasi (hati). Metabolisme zat di dalam hati sebelum beredar ke dalam sirkulasi sistemik (first pass

effect) sangat menentukan toksisitas zat yang

masuk ke dalam tubuh secara oral. 3.Konsentrasi

Fatalitas beberapa zat tergantung konsentrasi seperti halnya gas karbon monoksida (CO), asam kuat dan basa kuat.

4.Frekuensi dan waktu paruh

Seringnya kontak, lama kontak (durasi) dan waktu paruh zat yang kontak juga mempengaruhi toksisitas racun.

Cara masuk zat ke dalam tubuh sangat menentukan kecepatan kecepatan absorbsi dan beredarnya zat secara sistemik. Pemekaian zat per oral relatif lebih lambat dibandingkan secara injeksi dan inhalasi.

6.Ko-medikasi

Adanya zat lain (ko-medikasi) dapat meningkatkan toksisitas zat dengan toksisitas rendah atau mengubah zat yang tidak toksik menjadi toksik. Alkohol merupakan ko-medikasi yang paling sering digunakan, yang dapat meningkatkan efek depresan dari obat-obat yang menekan sistem saraf pusat..

7.Kondisi pemakai

Kondisi korban harus diperiksa dengan teliti terhadap adanya penyakit-penyakit yang melibatkan sistem metabolisme dan detoksifikasi, dimana penyakit tersebut dapat meningkatkan toksisitas suatu zat. Demikian juga halnya faktor umur, jenis kelamin, status gizi, reaksi alergi, dan idiosinkrasi.

Keracunan dalam Bidang Medis

Pelayanan forensik klinis kasus keracunan pada prinsifnya adalah mengumpulkan bukti-bukti penggunaan racun dan menginterpretasikannya dalam bentuk sertifikasi yang dapat dijadikan bukti da dapat diterima di pengadilan. Informasi yang melatarbelakangi keracunan menjadi salah satu bukti yang perlu digali dan dikumpulkan. Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri. Yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya kematian karena keracunan morfin, sianida, keracunan karbonmonoksida serta keracunan insektisida dan lain sebagainya. Yang

kedua, dan ini sebenarnya yang terbanyak kasusnya akan tetapi belum banyak disadari, adalah untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi.

Dengan demikian tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi, sampai sejauh mana obat-obatan atau racun tersebut berperan sehingga kecelakaan pesawat udara misalnya, dapat terjadi.3

Bentuk Keracunan Berdasarkan Motif

Salah satu tujuan pelayanan forensik klinik adalah memberikan informasi atau fakta-fakta yang membuat terang kasus keracunan yang

mencurigakan termasuk motif yang

melatarbelakangi kasus tersebut. Dalam kasus tindak pidana harus dibuktikan adanya perbuatan yang salah (actua rheus) dan situasi batin yang melatarbelakangi tindakan tersebut (men rhea). Motif keracunan harus ditentukan sebagai unsur

men rhea, apakah timbul akibat kecerobohan

(recklessness), kealpaan (negligence) atau kesengajaan (intentional).

Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua bentuk (tipe) berdasarkan korban keracunan, yaitu:

1. Tipe S (spesific target)

Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang tertentu dan biasanya antara pelaku dan korban sudah saling kenal. Motivasi yang biasanya melatarbelakangi, antara lain: uang, membunuh, pembunuhan lawan politik dan balas dendam. Keracunan tipe S berdasarkan terjadinya dibagi ke dalam dua sub grup yaitu:

a.Sub grup S tipe S/S (spesific/slow) dimana keracunan terjadi secara perlahan dan direncanakan oleh pelaku.

b.Sub grup Q tipe S/Q (spesific/quick) dimana keracunan terjadi secara mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya.

Pemeriksaan terhadap korban keracunan tipe S/S perlu mendapat perhatian lebih sebab kegagalan pembuktian tanda-tanda keracunan oleh dokter sangat sering membuat kasus tersebut menjadi kasus tersebut menjadi kasus pembunuhan yang sempurna (the perfect

murder). Pembunuhan yang sempurna adalah

kematian korban yang sesungguhnya akibat tindaan pidana tetapi dokter menyatakan sebagai kematian wajar karena faktor penyakit. Kasus pembunuhan yang sempurna terjadi bukan karena keahlian si pembunuh, tetapi akibat kegagalan dokter mengenali tanda-tanda keracunan pada korban.

2. Tipe R (random target)

Terjadi pada korban yang acak. Motivasi bentuk keracunan ini biasanya ego, sadistik, dan teror. Berdasarkan kejadiannya keracunan tipe R dibagi:

a.Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan salah satu benuk keracunan tipe ini bila racun yang dipakai sebagai alat untuk menjalankan teror.

b.Sub tipe Q tipe R/Q

Pemeriksaan Forensik Klinik terhadap Korban Keracunan

Pemeriksaan korban keracunan pada prisifnya sama secara medis maupun secara forensik klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Perbedaan yang ada

adalah pada hasil akhir pemeriksaan, berupa sertifikasi yang memberi batuan pembuktian hukum terhadap korban. Sertifkasi yang dimaksud adalah diterbitkannya visum et repertum peracunan.

Dalam pemeriksaan forensik klinis, anamnesis dapat bersifat autoanamnesis bila korban kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga koban atau penyidik. Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam anamnesis :

- Jenis racun

- Cara masuk racun (route of administration) : melalui ditelan, terhisap bersama udara pernafasan, melalui penyuntikan, penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang sakit, melalui anus atau vagina.

- Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban

- Keadaan sikiatri korban

- Keadaan kesehatan fisik korban

- Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat alergi atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi)

Dalam pemeriksaan fisik, harus dicatat semua bukti-bukti medis meliputi tanda-tanda mencurigakan pada tubuh korban seperti bau tertentu yang keluar dari mulut atau saluran napas, warna muntahan dan cairan atau sekret yang keluar dari mulut atau saluran napas, adanya tanda suntikan, dan tanda fenomena drainage. Gejala-gejala dan perlukaan tertentu harus dicatat seperti kejang, pin point pupil atau tanda gagal napas. Demikian juga terhadap luka-luka lecet sekitar mulut, luka suntikan atau kekerasan lainnya. Bau-bau tertentu harus dikenali dalam pemeriksaan seperti bau amandel pada keracunan

sianida, bau pestisida atau bau minyak tanah yang dipakai sebagai pelarut.

Pengambilan dan analisis sampel dilakukan dengan mengambil sisa muntahan, sekret mulut dan hidung, darah serta urin. Bila racun per oral, analisis isi lambung harus dilakukan secara visual, bau dan secara kimia. Skrening racun diambil dari sampel urin dan darah.

Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et Repertum Peracunan yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan. Prosedur penerbitan Visum et Repertum Peracunan sesuai dengan prosedur mediko legal penerbitan visum dimana harus dibuat berdasarkan Surat Permintaan Visum resmi penyidik (pasal 133 KUHAP). Dalam Visum et Repertum peracunan ditentukan kualifikasi luka akibat peracunan, dimana penentuannya berdasarkan penilaian efek racun terhadap metabolisme dan gangguan fungsi organ yang diakibatkan oleh racun.

Pemeriksaan Forensik Kasus Keracunan terhadap Koban yang Sudah Meninggal

Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan keracunan pada korban yang sudah meninggal antara lain:

1. Pemeriksaan post mortem a. Pemeriksaan luar

Pada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan, kemungkinan didapatkan:

- Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya asam hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk menjaga keutuhan jenazah tidak boleh menggunakan cairan desinfektan yang mempunyai bau (aroma).

- Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan bercak-bercak yang berasal dari muntahan, feses dan kadang-kadang jenis racun itu sendiri.

- Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning pada keracunan fosfor dan keracunan akut akibat unsur tembaga sulfat.

- Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal.

- Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tanda-tanda bekas zat korosif atau benda asing.

- Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat (bila racunnya menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna lebam jenazah mengalami perubahan.

b. Pemeriksaan dalam

Pada umumnya tanda-tanda keracunan tampak pada traktus gastrointestinal, terutama jika keracunan akibat zat korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi adalah:

- Hiperemia

Warna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat pada bagian kardiak lambung dan pada bagian kurvatura mayor. Warnanya adalah merah gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau bercak, misalnya pada keracunan arsen hiperemia adalah merah merata.

Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti sari buah. Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia harus dibedakan dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi pda kematian akibat asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan

hiperemia yang disebabkan oleh penyakit adalah pada hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan terdapat pada seluruh permukaan serta tidak berupa bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih banyak terkena pada kasus keracunan.

- Perlunakan

Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada kardiak lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung. Juga harus dibedakan dengan perlunakan post mortem yang terdapat pada bagian yang lebih rendah dan mengenai seluruh lapisan dinding lambung. Pada bagian yang mengalami perlunakan tidak ada tanda-tanda inflamasi.

- Ulserasi

Paling sering ditemukan ditemukan pada kurvatura mayor lambung dan harus dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di kurvatura minor lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di sekitar tukak tersebut.

- Perforasi

Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi juga bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini biasannya lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan lambung menunjukkan tanda-tanda perlekatan dengan jaringan sekitar.

2. Pemeriksaan kimia/toksikologi pada organ tubuh bagian dalam

Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh merupakan bukti

yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan ginjal. Organ tubuh dan bahan yang diperiksa antara lain :

- Urin dan feses - Darah

- Lambung dan isinya

- Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum)

- Hati

- Setengah bagian dari masing-masing ginjal

- Otak dan korda spinalis, terutama pada keracunan striknin

- Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaan abortus kriminalis - Paru-paru terutama pada keracunan kloroform - Tulang, rambut, gigi dan kuku

- Organ tubuh lainnya yang dicurigai mengandung racun.

3. Pengumpulan bukti-bukti dari sekitar tempat kejadian

Kunci Pembuktian Kasus Keracunan

Dalam pembuktian kasus keracunan sebagai tindak pidana, banyak hal yang harus dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyak melibatkan dokter forensik klinis. Hal yang dibuktikan antara lain :

1. Bukti hukum (legally proving): bukti hukum yang dapat diterima di pengadilan (adminissible) sangat tergantung dari keaslian bukti tersebut sehingga penatalaksanaan terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan. Terlebih lagi pada kasus tindak pidana yang memerlukan standar pembuktian dengan tingkat kepercayaan

yang lebih tinggi yaitu sampai tidak ada keraguan yang beralasan.

2. Pembuktian motif keracunan

3. Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep, toko obat atau toko yang menyediakan substansi yang digunakan.

4. Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian, kondisi kesehatan, dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya racun.

5. Bukti kesengajaan (intentional)

6. Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban adalah racun dengan menyingkirkan sebab kematian yang lainnya.

7. Bukti peracunan adalah homicide.

Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan,

Dalam dokumen 67839673 Buku Roman Forensik Second Edition (Halaman 156-167)