• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN HUKUM MENGENAI PEMBINAAN NARAPIDANA

2.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Pada hakikatnya Narapidana ataupun yang disebut juga sebagai bagian dari Warga Binaan Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut WBP) adalah insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan dengan penuh rasa manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu dan berkekuatan hukum. Narapidana tetap harus diperhatikan, diperlakukan, dan dibimbing layaknya masyarakat merdeka, walaupun mereka sebelumnya telah melakukan suatu kejahatan baik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan telah melakukan hal yang melanggar aturan hukum yang berlaku. Narapidana wajib dihargai hak-hak dasarnya sebagai manusia yang merdeka.

Seperti tujuan pemidanaan itu sendiri yang diatur didalam Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Tahun 2000, dalam Pasal 50 yang menyebutkan tujuan pemidanaan adalah untuk:

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mencegah norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang baik dan berguna

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.26

26 Marlina, Hukum Penitensier, Bandung, Refika Aditama, 2011, hlm.26-27

Jadi, tujuan dari pemidanaan tersebut dapat disimpulkan, bahwa pemidanaan yang dijatuhkan kepada seseorang yang bersalah bukan untuk melepaskan mereka dari kemerdekaan, melainkan untuk memberikan tuntutan serta pembinaan diri untuk dapat mengembalikan mereka menjadi dirinya seperti sebelum melakukan kejahatan, mengembalikan hubungan mereka kepada Tuhannya, mengembalikan hubungan mereka kepada masyarakat, dan mengembalikan hubungan mereka kepada lingkungannya.

Menurut Roeslan Saleh, ada beberapa alasan perlunya pidana dan penjatuhan pidana bagi orang yang bersalah, antara lain ialah:

1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terlepas pada persoalan tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu, boleh menggunakan paksaan. Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dan hasil dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga masyarakat agar mentaati norma-norma dalam masyarakat.27

27 Ibid, hlm.29

Oleh karena banyaknya alasan mengapa pentingnya penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan, maka diperlukan juga solusi agar pelaku kejahatan yang sudah dijatuhi sanksi pidana tidak mengulangi kejahatan yang serupa ataupun kejahatan yang berbeda lainnya. Oleh karenanya dilakukanlah pembinaan Narapidana yang ditahan didalam suatu LAPAS/RUTAN. Atas alasan-alasan tersebut, dibentuklah suatu aturan hukum yang mengatur dan berkekuatan hukum tetap mengenai sistem pembinaan pemasyarakatan. Aturan perundang-undangan ini lahir dari beberapa periodisasi. Pada mulanya hukuman berupa penderitaan kepada mereka yang melakukan kejahatan yang dikenal dengan sistem penjara baru dikenal pada zaman penjajahan yang dimulai dengan sistem diskriminatif.28

Sejak dikeluarkannya peraturan umum untuk Golongan Indonesia yang dipidana dengan kerja paksa (Staatsblad 1826 No.16), sedangkan untuk Golongan Eropa Belanda berlaku penjara. Pada tahun 1917 lahirlah Reglemen Penjara (Gestichken Reglement) yang tercantum dalam Staatblad 1919 No.708, tanggal 1 Januari 1918. Reglemen Penjara ini menjadi dasar peraturan perlakuan Narapidana dan cara pengelolaan penjara. Sejak tahun 1964, Indonesia melahirkan apa yang disebut sebagai Sistem Pemasyarakatan.29 Sistem pemasyarakatan di Indonesia memiliki tujuan dan cita-cita yang besar. Pembinaan yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan diharapkan bukan saja mempermudah reintegrasi mereka dengan masyarakat, melainkan juga menjadikan Narapidana menjadi warga masyarakat yang mendukung keterbatasan dan kebaikan dalam masyarakat mereka masing-masing menjadi manusia

28 Ibid, hlm.123

29 Ibid

seutuhnya. Dalam melaksanakan pembinaan pemasyarakatan, ada beberapa hal penting yang harus terlebih dahulu di pahami, yaitu:

1. Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan, bukan pembalasan dan penjaraan.

2. Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan Narapidana di dalam dan diluar lembaga.

3. Proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari para petugas pemasyarakatan pada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan serta anggota masyarakat umum.30

Maka dari itu, pada tanggal 30 Desember 1995 dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan mengenai sistem pemasyarakatan, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Terbitnya peraturan perundang-undangan ini menjadi dasar yang mengubah seluruhnya mengenai sitem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula dengan institusinya, yang semula disebut Rumah Penjara dan Rumah Pendidikan Negara menjadi Lembaga Pemasyarakatan, berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.31

Sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Dalam sistem ini, dipahami bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga sebagai subyek

30 Ibid, hlm.124

31 Ibid

yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, ataupun kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana.

Pemidanaan dalam undang-undang ini dianggap sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan atas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan, maka Petugas Pemasyarakatan adalah sebagai petugas yang melaksanakan pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan atau Narapidana.32 Dibentuknya peraturan perundang-undangan mengenai pemasyarakatan ini, disamping bertujuan untuk mengembalikan pelaku tindak pidana menjadi warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh narapidana tesebut, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.

32 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995, Bagian Umum.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 Angka 2, menyatakan bahwa:

“ Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.”

Maka, dapat kita tarik unsur-unsur sistem pemasyarakatan melalui definisi sistem pemasyarakatan menurut undang-undang pemasyarakatan ini adalah:

1. Pembina (personil/staf lembaga pemasyarakatan)

2. Yang dibina (narapidana, anak pidana, anak negara, anak sipil, klien pemasyarakatan)

3. Masyarakat.

Fungsi dari sistem pemasyarakatan ini diatur dalam Pasal 3 UU Pemasyarakatan, yaitu menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Dijalankannya pembinaan dalam sistem pemasyarakatan ini terlepas dari asas-asasnya.

Dalam Pasal 5 UU Pemasyarakatan ini membahas tentang Pembinaan, yang menyebutkan bahwa: “Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

1. Pengayoman

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan 3. Pendidikan

4. Pembimbingan

5. Penghormatan harkat dan martabat manusia

6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan

7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Pembinaan dan pembimbingan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan. Petugas pembinaan pemasyakaratan merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan narapidana.

Mengenai pembinaan pemasyarakatan, anggota warga binaan pemasyarakatan dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya ialah:

1. Narapidana

2. Anak Didik Pemasyarakatan (Anak Pidana, Anak Negara, Anak Sipil) 3. Klien33

Pada Pasal 12 ayat (1) UU Pemasyarakatan juga mengatur mengenai penggolongan pembinaan atas dasar beberapa faktor, diantaranya:

1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Lama pidana yang dijatuhkan 4. Jenis kejahatan

5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Prosedur mengenai pembinaan narapidana pertama kali dilakukan pendaftaran. Pendaftaran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Pemasyarakatan, berupa:

a. Pencatatan:

1. Putusan pengadilan;

2. Jati diri, dan;

3. Barang dan uang yang dibawa b. Pemeriksaan kesehatan

c. Pembuatan pasfoto

d. Pengambilan sidik jari, dan

33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

e. Pembuatan berita acara serah terima Terpidana.

Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana tetap dianggap sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar untuk hidup sama seperti masyarakat lainnya. Hak-hak narapidana tersebut dijamin, diakui serta di atur di dalam undang-undang ini pada Pasal 14 UU Pemasyarakatan. Hak-hak narapidana yang diatur, berupa:

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5. Menyampaikan keluhan

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

11. Mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas

13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai huruf a sampai dengan huruf d, hak ini dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai narapidana, dengan demikian pelaksanaannya dalam batas-batas yang diizinkan. Huruf e menjelaskan maksud dari menyampaikan keluhan adalah apabila terhadap narapidana yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh aparat Lapas atau sesama penghuni Lapas, yang bersangkutan dapat menyampaikan keluhannya kepada Kepala Lapas. Huruf i dan j menjelaskan bahwa diberikannya hak tersebut setelah narapidana yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Mengenai pembebasan bersyarat yang disebutkan pada huruf k, memiliki pengertian bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Cuti menjelang bebas yang disebutkan pada huruf l memiliki arti cuti yang diberikan setelah narapidana menjalani lebih dari dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan. Dan yang dimaksud dengan hak-hak lain dalam huruf m adalah hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya. Selain dari narapidana memiliki hak-hak dasar mereka, mereka juga memilki kewajiban selaku warga binaan pemasyarakatan dalam suatu Lembaga pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara.34

Kewajiban-kewajiban dari narapidana tersebut, tertuang dalam Pasal 15 UU Pemasyarakatan, yang menyebutkan bahwa:

1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17 UU Pemasyarakatan juga mengatur mengenai bagaimana sistematik penyidikan yang dapat dilakukan terhadap narapidana yang dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara dan untuk kepentingan apa saja seorang narapidana dapat dibawa keluar dari Lapas ataupun Rutan. Yang berbunyi demikian:

1. Penyidikan terhadap Narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di LAPAS tempat Narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan setelah

34 Penjelasan UU Pemasyarakatan, Pasal 14

penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan menyerahkan tembusannya kepada Kepala LAPAS.

2. Kepala LAPAS dalam keadaan tertentu dapat menolak pelaksanaan penyidikan di LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

3. Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar LAPAS setelah mendapat izin Kepala LAPAS.

4. Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar LAPAS untuk kepentingan:

a. Penyerahan berkas perkara;

b. Rekonstruksi, atau;

c. Pemeriksaan di sidang pengadilan.

5. Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Narapidana hanya dapat dibawa ke luar LAPAS setelah mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

6. Jangka waktu Narapidana dapat dibawa ke luar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) setiap kali paling lama 1 (satu) hari.

7. Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, Narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke LAPAS tempat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Selanjutnya, mengenai prosedur pendaftaran serta pembinaan yang dilakukan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan, di atur dan dijelaskan dalam undang-undang yang sama pada Pasal 18 UU Pemasyarakatan. Anak Didik Pemasyarakatan teridir dari Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil. Anak Pidana merupakan anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.35 Tata cara pendaftaran dan hal-hal apa saja yang perlu didaftarkan diatur pada Pasal 19 UU Pemasyarakatan yang isinya serupa dan semakna dengan Pasal 11 undang-undang yang sama yang mengatur tata cara pendaftaran narapidana umum. Pembinaan terhadap Anak Pidana juga dilakukan berdasarkan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya

35 Sovia Hasanah, Arti Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil, diakses dari https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5b5e86f3e466d/arti-anak-pidana-anak-negara,-dan-anak-sipil/ pada Hari Minggu, 27 September 2020, Pukul 20:31

sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.36 Secara umum, tidak ada perbedaan aturan mengenai pembinaan terhadap narapidana umum dengan Anak Pidana, hanya saja beberapa perbedaannya adalah Anak Pidana ditempatkan di Lapas Anak sesuai yang tertulis pada

Mengenai Anak Negara, di atur dalam Paragraf 2 UU Pemasyarakatan.

Yang dimaksud dengan Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk di didik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.37 Sama halnya dengan Anak Pidana, Anak Negara juga ditempatkan di Lapas Anak. Secara umum, aturan mengenai pembinaan Anak Negara serupa dengan aturan yang mengatur pembinaan terhadap Anak Pidana. Perbedaan dapat dilihat dari Pasal 29 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa Anak Negara memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU Pemasyarakatan, kecuali huruf g dan i. Yang mana bermaksud bahwa tidak diberikannya hak kepada Anak Negara untuk mendapatkan upah atau premi karena anak tersebut tidak dipekerjakan baik di dalam maupun di luar Lapas dan tidak diberikannya hak kepada Anak Negara untuk mendapatkan pengurangan pidana (remisi), karena Anak Negara tidak dijatuhi pidana.38

Selanjutnya, pada Paragraf 3 UU Pemasyarakatan, diatur mengenai Anak Sipil. Anak Sipil merupakan anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama

36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 20

37 Sovia Hasanah, Op.Cit.

38 Penjelasan UU Pemasyarakatan, Pasal 29 ayat (1)

sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Pengaturan mengenai Anak Sipil memiliki beberapa perbedaan dengan pengaturan terhadap Anak Pidana ataupun Anak Negara.39 Perbedaan yang pertama, dapat dilihat dalam Pasal 32 ayat (3) UU Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa

“Penempatan Anak Sipil di Lapas Anak paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1 (satu) tahun dengan ketentuan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.”

Perbedaan selanjutnya dan terakhir dapat dilihat dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa

“Anak Sipil memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kecuali huruf g, i, k dan huruf l.”

Yang artinya Anak Sipil tidak memperoleh hak berupa mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), mendapatkan pembebasan bersyarat, dan mendapatkan cuti menjelang bebas.

Pengaturan penggolongan terakhir, diatur pada Bagian Ketiga tentang Klien. Klien atau Klien Pemasyarakatan pada Pasal 1 angka 9 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa

“Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan Lapas.”

Setiap Klien wajib mengikuti secara tertib program bimbingan yang diadakan dan dilaksanakan oleh Bapas. Klien sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39 UU Pemasyarakatan terdiri dari:

1. Terpidana bersyarat

2. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas.

39 Sovia Hasanah, Op.Cit.

3. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial

4. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial,

5. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Mengenai bimbingan atau pembinaan yang dilakukan oleh orang tua asuh atau badan sosial, selanjutnya diatur di dalam Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemasyarakatan yang secara ringkas menyebutkan bahwa baik orang tua asuh, badan sosial, orang tua, ataupun walinya wajib mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Jika, terjadi suatu kejadian bahwa mereka tidak mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan oleh Menteri, maka Anak Negara tersebut ditarik kembali dari pembimbingnya dan ditempatkan kembali di Lapas Anak.

Bab IV UU Pemasyarakatan ini membahas serta mengatur mengenai Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan merupakan suatu badan penasehat Menteri yang bersifat non struktural, sedangkan Tim Pengamat Pemasyarakatan merupakan tim yang bertugas memberikan saran, penilaian, dan panduan mengenai program pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara. Pasal 45 UU Pemasyarakatan menjelaskan, bahwa:

1. Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

2. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan/atau pertimbangan kepada Menteri.

3. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil

instansi pemerintah terkait, badan non pemerintah, dan perorangan lainnya.

4. Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS, atau pejabat terkait lainnya bertugas:

a. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;

b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinan dan pembimbingan, atau;

c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.

5. Pembentukan, susunan, dan tata kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Saran atau pertimbangan yang diberikan Balai Pertimbangan Permasyarakatan ataupun Tim Pengamat Permasyarakatan kepada Menteri berdasarkan keluhan atau pengaduan Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam ayat (3), yang dimaksud dengan badan non pemerintahan lainnya, misalnya dari kalangan organisasi advokat/pengacara, dan lembaga swadaya masyarakat.

Selanjutnya, peraturan mengenai keamanan dan ketertiban di dalam Lapas ataupun Rutan di atur pada undang-undang yang sama, Bab V UU Pemasyarakatan. Pasal 46 UU Pemasyarakatan dengan tegas mengatakan bahwa Kepala Lapas bertanggung jawab penuh dengan segala kejadian, keamanan, dan ketertiban Lapas yang dipimpinnya. Dalam beberapa hal, Kepala Lapas juga dapat memberikan sanksi sesuai aturan kepada narapidana yang melakukan kesalahan atau melanggar aturan tata tertib Lapas tersebut. Seperti yang diatur dalam Pasal 47 UU Pemasyarakatan, yaitu:

1. Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya.

2. Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

a. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi narapidana atau Anak Pidana, dan/atau;

b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib:

a. Memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang, dan;

b. Mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib LAPAS.

4. Bagi Narapidana atau Anak Pidana yang pernah dijatuhi hukuman tutupan sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 (dua) kali 6 (enam) hari.

Melalui pembedahan isi undang-undang pemasyarakatan ini, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 ini dihadirkan untuk memberikan jaminan hukum yang bersifat memliki kekuatan hukum tetap untuk menjamin terselenggaranya sistem pemasyarakatan yang sesuai dengan cita-cita Pancasila serta Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Yang bertujuan untuk memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana tetapi tidak membiarkan mereka mendapatkan perlakuan yang tidak seimbang. Pemidanaan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana diseimbangkan dengan lahirnya sistem pemasyarakan yang bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana, tetapi tidak serta merta

Melalui pembedahan isi undang-undang pemasyarakatan ini, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 ini dihadirkan untuk memberikan jaminan hukum yang bersifat memliki kekuatan hukum tetap untuk menjamin terselenggaranya sistem pemasyarakatan yang sesuai dengan cita-cita Pancasila serta Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Yang bertujuan untuk memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana tetapi tidak membiarkan mereka mendapatkan perlakuan yang tidak seimbang. Pemidanaan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana diseimbangkan dengan lahirnya sistem pemasyarakan yang bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana, tetapi tidak serta merta