• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (RUTAN) KELAS II B TANJUNG PURA DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN NEGARA (RUTAN) KELAS II B TANJUNG PURA DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SKRIPSI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AGINTA LIVIA GINTING NIM : 160200232

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2020

(2)
(3)

ABSTRAK Aginta Livia Ginting*) Liza Erwina, S.H.,M.Hum**) Dr. Wessy Trisna, S.H.,M.H***)

Pembinaan Narapidana merupakan sebuah sistem. Sistem pembinaan Narapidana berhasrat untuk mendidik, membina, dan membimbing narapidana dengan memperbaiki pola pikir dan perilaku serta mental setiap narapidana selama menjalani masa pidananya. Pembinaan narapidana dilakukan di LAPAS, namun karena beberapa hal, pembinaan narapidana harus dilakukan di dalam RUTAN. Hal ini menjadi suatu yang harus diperhatikan, mengingat RUTAN bukan sebagai tempat pembinaan narapidana yang seharusnya. Jumlah narapidana yang ditempatkan diRUTAN bertolak belakang dengan fungsinya, yaitu tempat penahanan bagi tersangka atau terdakwa selama masa penyelidikan dan masa di sidang pengadilan. Berdasarkan hal ini penulis mengangkat judul skripsi:

Efektivitas Pembinaan Narapidana di RUTAN Kelas II B Tanjung Pura Ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini ialah tentang pengaturan hukum yang mengatur tentang pembinaan narapidana, kedudukan narapidana di RUTAN Kelas II B Tanjung Pura, dan efektivitas pembinaan narapidana di RUTAN Kelas II B Tanjung Pura.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris, yaitu suatu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses efektivitasnya pembinaan di Rumah Tahanan Negara Kelas II B Tanjung Pura.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembinaan narapidana di RUTAN Kelas II B Tanjung Pura ditemukan kurang efektif karena tidak sesuai dengan tahapan yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

hambatan-hambatan yang ditemukan jauh lebih banyak dibandingkan upaya pembinaan yang dilakukan. Namun, disamping hal itu, petugas RUTAN tetap mencari solusi agar terjalankannya upaya pembinaan yang efektif bagi narapidana.

Kata Kunci: RUTAN, Narapidana, Pembinaan

*)Mahasiswa

**)Dosen Pembimbing I

***)Dosen Pembimbing II

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah, kasih karunia, hikmat dan sukacita sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tingkat Efektivitas Pembinaan Narapidana Di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas II B Tanjung Pura Di Tinjau Dari Segi Tujuan Pemidanaan” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelas Sarjana Hukum (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr.Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Liza Erwina, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku

(5)

Dosen Pembimbing I saya, yang telah membimbing saya dengan sabar dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Terima kasih kepada ibu Dr. Wessy Trisna, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II saya, yang telah membimbing saya dengan sabar dalam membuat dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Terima kasih kepada segenap kantor RUTAN Kelas II B Tanjung Pura, Karutan Bapak Parlindungan Siregar, A.Md.I.P.,S.H, KPR Bapak Ronny Steven Hutapea, A.Md.I.P.,S.H, Kasubsi Pelayanan Bapak Iriadi, S.H, Kasubsi Pengelolaan Bapak Tahan Raja Oloan Pandiangan,S.H dan seluruh anggota RUTAN lainnya, yang menyambut saya dengan baik dalam penyelesaian penelitian skripsi ini.

9. Terima kasih kepada kedua orang tua saya, abg dan kakak saya: Boy Masceltra Ginting dan istrinya Nike Sinulingga, Viensa Florena Ginting dan suaminya Ravi Pramudya, Winda Gissella Ginting, dan adik saya Octaviela Claudisia Finanta Ginting, serta keluarga saya bik tua, bik uda, dan bg dika yang mendoakan dan tiada henti memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Terima kasih kepada sahabat saya tercinta Team Baper, Salitha Christiani Ginting, Cindy Simanjuntak dan Liyoni Purba yang selalu memberikan dukungan dan doanya kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Terima kasih kepada sahabat saya Rizky Aulia Sembiring, Hesti Anggarani dan Fathia Ruminta yang selama penyelesaian skripsi ini selalu memberikan informasi dan menemani saya dalam penyelesaian skripsi ini.

(6)

12. Terima kasih kepada sahabat saya Anugrah Kaban dan Ferry Fernando yang telah menemani dan menghibur saya selama penyelesaian ini.

13. Terima kasih kepada Monica Angelia dan Cindy Panjaitan yang sudah memberi dukungan dan canda tawa selama penyusunan skripsi ini.

14. Terima kasih kepada para responden narapidana yang ada di RUTAN Kelas II B Tanjung Pura yang sudah bersedia membantu saya memberikan jawaban dalam penelitian skripsi ini.

15. Terimakasih kepada rekan-rekan saya di Fakultas Hukum USU yang sudah membantu saya menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi pembaca serta masyarakat.

Medan, Juni 2020

Penulis

(7)

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR BAGAN ...ix

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 3

1.4 Keaslian Penulisan ... 4

1.5 Tinjauan Kepustakaan ... 5

1. Efektivitas Hukum ... 5

2. Narapidana ... 8

3. Pembinaan Narapidana ... 10

4. Rumah Tahanan Negara ... 15

1.6 Metode Penelitian ... 17

1.7 Sistematika Penulisan ... 19

BAB II :PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMBINAAN NARAPIDANA 2.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ... 21

(8)

2.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan ...36 2.3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan ... 47 BAB III : KEDUDUKAN NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN

NEGARA (RUTAN) KELAS IIB TANJUNG PURA 3.1 Pengertian dan Macam-Macam Warga Binaan

Pemasyarakatan ... 64 3.2 Kedudukan Narapidana di Rumah Tahanan Negara

(RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura ... 68 3.3 Hak dan Kewajiban Narapidana di Rumah Tahanan

Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura ... 73 BAB IV : EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA DI RUMAH

TAHANAN NEGARA (RUTAN) KELAS II B TANJUNG PURA

4.1 Penerapan Upaya Pembinaan Narapida yang dilakukan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN)

Kelas II B Tanjung Pura ... 78 4.2 Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan

Pembinaan Narapidana yang Dilakukan di Rumah

Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura... 84

(9)

4.3 Keefektifan Upaya Pembinaan Narapidana yang Dilakukan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN)

Kelas IIB Tanjung Pura ... 88 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 95 5.2 Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 98

(10)

Daftar Bagan

Bagan 1

Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Kelas II B Tanjung Pura ... 70

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembinaan adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada 14 (empat belas) komponen, yaitu:

falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem, klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan kepada narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan narapidana, keluarga narapidana, dan pembina/pemerintah.1 Jadi, pada hakikatnya sistem pembinaan pemasyarakatan berhasrat untuk mendidik, membina, dan membimbing para narapidana dengan memperbaiki pola pikir, dan perilaku serta mental setiap narapidana selama menjalani masa pidananya.

Para tahanan yang kemudian diputuskan bersalah oleh pengadilan dan berganti status menjadi Narapidana, kemudian akan menjalankan masa pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut LAPAS). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) Pasal 1 angka 3, menjelaskan bahwa:

1 C.I Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta, Djambatan, 1995, hlm.5

(12)

“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.”2

Di dalam menjalankan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia, terkandung suatu cita-cita besar di dalamnya. Pembinaan yang diberikan diharapkan bukan saja mempermudah reintegrasi narapidana terhadap lingkungan mereka, tetapi juga menjadikan narapidana menjadi warga masyarakat yang mendukung keterbatasan dan kebaikan dalam masyarakat mereka masing-masing menjadi manusia seutuhnya. Dalam sistem pemasyarakatan ini, pada dasarnya narapidana dianggap bukan sekedar penjahat yang akan melakukan kejahatan lainnya jika sudah dibebaskan, melainkan merupakan subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak seharusnya diberantas.

Yang seharusnya diberantas adalah faktor penyebab tindakan itu dilakukannya.

Oleh karenanya, upaya yang dilakukan adalah melakukan pembinaan terhadap narapidana selama ia di tempatkan di dalam LAPAS/RUTAN untuk menjalani masa pidananya.

LAPAS sejatinya mempunyai beberapa fungsi, yang salah satunya untuk menimbulkan rasa menderita dengan menyadari kesalahan pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergeraknya. Selain itu, tujuan lain juga untuk membimbing terpidana agar mau bertobat memperbaiki diri, serta mendidik supaya menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sehingga segala

2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 3

(13)

sesuatu tetap berdasar kepada perikemanusiaan dan sesuai dengan tujuan pembimbingan dan pendidikan kepada Narapidana.

Pada dasarnya Narapidana ditempatkan di dalam LAPAS untuk menjalani masa pembinaannya, akan tetapi pada fakta lapangannya dapat dilihat bahwa banyak Narapidana yang akhirnya ditempatkan di dalam Rumah Tahanan Negara (yang selanjutnya disebut RUTAN) untuk menjalani masa pidananya. Tentu saja dalam hal pengalihfungsian ini sudah diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.04-UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan Dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara yang menyatakan secara umum bahwa penetapan Lembaga Pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, LAPAS dapat beralih fungsi menjadi RUTAN, dan begitu pula sebaliknya.3 Hal seperti ini terjadi dikarenakan kondisi beberapa kota/kabupaten yang tidak memiliki LAPAS, serta kondisi LAPAS yang telah melebihi kapasitas (over capacity).

Penetapan RUTAN sebagai alihfungsi dari LAPAS dilaksanakan oleh salah satu RUTAN yang berada di Kabupaten Langkat, yaitu Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura. Tentunya hal ini menyebabkan fungsi RUTAN ini menjadi bertambah mengingat saat ini jumlah penghuni yang berstatus Narapidana berjumlah lebih dari 100 (seratus) orang. Selain merawat tahanan, RUTAN ini juga menjadi tempat pembinaan bagi narapidana yang ditempatkan di RUTAN tersebut. pembinaan dan pembimbingan Narapidana diselenggarakan oleh Menteri dan Petugas Pemasyarakatan.

3 https://download.portalgaruda.org/article.php?article=75019&val=4724, diakses pada Hari Sabtu, 5 September 2020, Pukul 16:41 WIB

(14)

Namun, pada realitasnya pembinaan yang dilakukan di RUTAN ini terhadap Narapidana tampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembinaan Narapidana. Hal ini didasari oleh fungsi dasar RUTAN itu sendiri yang berfungsi sebagai tempat perawatan tersangka ataupun terdakwa selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan saja.

Fungsi RUTAN sendiri secara umum dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa:

“Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Oleh karenanya, pembinaan yang dilakukan di dalam RUTAN sudah pasti berbeda dengan pembinaan yang dilakukan di dalam LAPAS. Narapidana yang ditempatkan di dalam RUTAN untuk menjalani pembinaan dan masa pidananya, disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya adalah bahwa tidak setiap kota atau kabupaten memiliki LAPAS, maka sebagian Narapidana harus ditempatkan di RUTAN untuk menjalani masa pidananya. Terkhusus untuk Narapidana dengan pidana dibawah satu tahun atau yang sisa pidananya tinggal beberapa bulan, dipindahkan dari LAPAS ke RUTAN tempat asal Narapidana itu sendiri.

Tentunya hal ini menjadi sebuah permasalahan yang akan mengganggu efektivitas dari pembinaan yang dilakukan terhadap Narapidana di RUTAN.

Sudah pasti akan banyak timbul faktor-faktor yang menghambat jalannya pembinaan. Baik faktor secara internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut

(15)

akan sangat menghalangi jalannya proses pembinaan yang baik di dalam RUTAN tersebut.

Hal ini tentunya akan menimbulkan berbagai hal terhadap Narapidana itu sendiri maupun terhadap lingkungan setelah ia selesai menjalani masa pidananya.

Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana dan apa saja upaya pembinaan yang diterima oleh Narapidana yang ditempatkan di dalam RUTAN tersebut, dan bagaimana keefektifan upaya pembinaan Narapidana tersebut jika dilihat dari fungsi dasar RUTAN dan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembinaan Narapidana. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk membahas skripsi dengan judul “Efektivitas Pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas II B Tanjung Pura Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan.”

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Setelah dilihat dari latar belakang penelitian ini, maka rumusan masalah yang disusun di penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai pembinaan narapidana di Indonesia saat ini?

2. Bagaimana kedudukan Narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura?

3. Bagaimana efektivitas pembinaan Narapidana yang dilakukan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura jika ditinjau dari peraturan perundang-undangan?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disusun diatas, maka tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui upaya pengaturan hukum yang diatur oleh pemerintah mengenai pembinaan Narapidana di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan serta posisi Narapidana yang ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura.

3. Untuk mengetahui keefektifan upaya pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pembina terhadap Narapidana yang ditempatkan di RUTAN yang dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(17)

1.4 Manfaat Penulisan

Dengan tercapainya tujuan penulisan diatas, maka diharapkan penelitian ini akan memperoleh manfaat dan kegunaan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memberikan wawasan, konsep, serta ilmu pengetahuan secara umum maupun secara khusus melalui sudut pandang ilmu hukum yang dapat berguna bagi semua orang, terkhusus bagi pembaca, agar dapat memahami pesoalan-persoalan di bidang hukum yang berkaitan dengan upaya pembinaan Narapidana yang dilakukan di dalam RUTAN sebagai lembaga pembinaan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan pemikiran terhadap pemecahan masalah-masalah umum dan hukum yang berkaitan dengan pembinaan Narapidana di dalam lembaga pembinaan, yaitu RUTAN.

b. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan bahan pengetahuan untuk program-program yang berkaitan dengan pembinaan Narapidana.

1.5 Keaslian Penulisan

Sejalan dengan upaya meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah penulis peroleh, maka penulis menuangkan dalam sebuah

(18)

tugas akhir berupa skripsi dengan judul “Efektivitas Pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan.”

Setelah dilakukan penelusuran dan pemeriksaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) pada saat pengajuan judul skripsi, dinyatakan bahwa belum terdapat tulisan yang sama yang pernah diangkat dan dibahas oleh pihak lain.

Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan pemikiran penulis secara pribadi, peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta referensi buku-buku yang berkaitan dengan media elektronik, yaitu internet dan merangkainya sendiri dalam suatu karya tulis. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat di pertanggung jawabkan.

1.6 Tinjauan Kepustakaan 1. Efektivitas Hukum

Efektivitas Hukum merupakan keselarasan antara apa yang diatur dalam hukum serta bagaimana pelaksanaannya. Hukum itu sendiri dibuat dan dibentuk oleh otoritas yang berwenang adakalanya bukan abstraksi nilai dalam masyarakat.4 Jika demikian, maka akan terjadilah hukum yang tidak efektif, tidak bisa dijalankan, atau bahkan atas hal tertentu terbit pembangkangan sipil. Dalam realita kehidupan di masyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif, sehingga menyebabkan wacana ini

4 Septi Wahyu Sandiyoga, Efektivitas Peraturan Walikota Makassar Nomor 64 Tahun 2011 tentang Kawasan Bebas Parkir di Lima Ruas Bahu Jalan Kota Makassar, Skripsi Universitas Hasanuddin Makasar, 2015, hlm.11

(19)

menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam perspektif efektivitas hukum.5

Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa efektivitas hukum itu berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Usaha menanamkan hukum didalam masyarakat, yaitu penggunaan tenaga manusia, alat-alat organisasi, mengakui dan menaati hukum.

b. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya, masyarakat mungkin menolak atau menentang hukum karena takut pada petugas atau polisi, menaati suatu hukum hanya karena a.takut kepada terhadap sesama teman, menaati hukum karena cocok dengan nilai-nilai yang dianutnya.

c. Jangka waktu penanaman hukum, yaitu panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.6

Menurut Achmad Ali, kesadaran akan hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah 3 (tiga) unsur yang saling berhubungan erat. Seiring masyarakat mencampuradukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu sangat erat hubungannya, namun tidak persis sama. Kedua unsur itu menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam

5 Ibid.

6 Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosial Yuridis Masyarakat, Bandung, Alumni, 1985, hlm.45

(20)

masyarakat.7 Efektivitas Hukum dapat dinilai dari sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya.

Namun, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi masih dapat diukur sejauh mana derajat efektivitasnya, karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.8

Achmad Ali mengemukakan beberapa faktor dalam mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum, sebagai berikut:

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.

b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.

c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.

d. Jika hukum yang dimaksud merupakan undang-undang, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan.

e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.

f. Berat ringannya sanksi yang diancam aturan hukum itu harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

g. Kemungkinan bagi penegak hukum yang memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman).

h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target berlakunya aturan tersebut.

i. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum juga tergantung pada optimal dan profesional atau tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum tersebut.

7 Achamd Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008, hlm.191

8 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Penerbit Kencana, 2009, hlm.376

(21)

j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum juga mensyratkan adanya standar hidup sosial-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.9

1. Narapidana

Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian Narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan suatu tindak pidana.10 menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 32:

“Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”11

Sedangkan, jika dikutip dari UU Pemasyarakatan Pasal 1 angka 7, menyatakan bahwa:

“Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.”12

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Narapidana adalah seseorang atau terpidana yang sebagian kemerdekaannya hilang sementara dan sedang menjalani suatu hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.

Narapidana yang ditempatkan di dalam LAPAS/RUTAN memiliki kewajibannya yang diatur di dalam Pasal 23 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, yang menentukan bahwa:

9 Marcus Priyo Gunarto, Kriminalisasi dan Penalisasi dalam Rangka Fungsionalisasi Perda dan Retribusi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2011, hlm.71

10 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses dari

https://kbbi.web.id/narapidana.html , Pada Senin, 13 Juli 2020, Pukul 18:35 WIB.

11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 1 angka 32

12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 7

(22)

a. Mengikuti program pembinaan yang meliputi kegiatan perawatan jasmani dan rohani, serta kegiatan tertentu lainnya dengan tertib.

b. Mengikuti bimbingan dan pendidikan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

c. Mengikuti kegiatan latihan kerja yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) jam dalam sehari.

d. Mematuhi peraturan tata tertib LAPAS selama mengikuti program kegiatan.

e. Memelihara sopan santun, bersikap hormat dan berlaku jujur dalam segala perilakunya, baik terhadap sesama penghuni dan lebih khusus terhadap seluruh petugas.

f. Menjaga keamanan dan ketertiban dalam hubungan interaksi sesama penghuni.

g. Melaporkan kepada petugas segala permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pembinaan Narapidana, lebih khusus terhadap masalah yang dapat memicu terjadinya gangguan kamtib.

h. Menghindari segala bentuk permusuhan, pertikaian, perkelahian, pencurian, dan pembentukan kelompok-kelompok solidaritas di antara penghuni di dalam LAPAS.

i. Menjaga dan memelihara segala barang inventaris yang diterima dan seluruh sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pembinaan Narapidana.

j. Menjaga kebersihan badan dan lingkungan dalam LAPAS.13

Disamping kewajiban yang harus ditaati oleh Narapidana yang dibina di dalam LAPAS/RUTAN, Narapidana juga mendapatkan hak- haknya yang diatur dengan jelas dan rinci di dalam UU Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1), yaitu:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak e. Menyampaikan keluhan

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang

tertentu lainnya

13 B Mardjono Reksodiputro, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Lembaga Pemasyarakatan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009, hlm.90

(23)

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat l. Mendapatkan cuti menjelang bebas

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.14

2. Pembinaan Narapidana

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menjelaskan bahwa:

“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani, dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”15

Dalam melaksanakan pembinaan pemasyarakatan, perlu di dasarkan pada suatu asas yang merupakan pegangan atau pedoman bagi para pembina agar tujuan pembinaan yang dilakukan dapat sampai dengan baik. Untuk itu, berdasarkan Pasal 2 UU Pemasyarakatan, asas-asas pembinaan pemasyarakatan melingkupi:

a. Asas Pengayoman

Yang dimaksud dengan asas pengayoman adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup

14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 14 ayat (1).

15 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 angka 1

(24)

kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar mereka menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat nantinya.

b. Asas Persamaan Perlakuan dan Pelayanan

Asas ini dimaksudkan agar terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) mendapat persamaan perlakuan dan pelayanan di dalam LAPAS/RUTAN, tanpa membeda-bedakan orang.

c. Asas Pendidikan

Asas ini memenuhi kebutuhan WBP untuk mendapatkan haknya, yaitu hak mendapat pendidikan. Di dalam LAPAS/RUTAN, WBP mendapat pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila.

Pendidikan yang didapatkan antara lain pendidikan jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan menunaikan ibadah sesuai dengan agamanya masing- masing.

d. Asas Pembimbingan

Di dalam LAPAS/RUTAN, WBP mendapat pembimbingan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Dengan dilakukan pendidikan dan pembimbingan keterampilan, diharapkan untuk menghilangkan rasa jenuh hidup dalam LAPAS/RUTAN, yang tujuan pokoknya adalah memberikan bekal pengetahuan kepada Narapidana supaya mereka terampil dalam melakukan pekerjaan. Sehingga, setelah

(25)

selesai menjalani pidananya, mereka tidak akan menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan kembali.

e. Asas Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia

Asas ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan pembimbingan tetap harus memperlakukan WBP sebagaimana layaknya seorang manusia. meskipun seorang Narapidana adalah orang yang telah melakukan kesalahan sebesar dan seberat apapun, mereka tetap manusia yang harus dihormati harkat dan martabatnya.

f. Asas Kehilangan Kemerdekaan Merupakan Satu-satunya Penderitaan

WBP harus berada di dalam LAPAS/RUTAN untuk jangka waktu yang telah ditentukan melalui putusan hakim. Maksud penempatan itu adalah untuk memberikan kesempatan pada negara untuk memperbaiki mereka melalui pendidikan dan pembinaan.

Seseorang yang dihukum pidana penjara atau kurungan harus menjalani pidananya di LAPAS/RUTAN. Selama menjalani pidananya inilah mereka menjadi hilang kemerdekaan. Artinya, ia tidak bebas untuk berpergian kemanapun atau melakukan aktivitas diluar. Hilangnya kebebasan untuk melakukan kegiatan diluar tersebut sebagai satu-satunya penderitaan yang dialami selama menjadi penghuni di dalam LAPAS/RUTAN, walaupun selama dalam LAPAS/RUTAN Narapidana tetap mempunyai hak-hak lainnya sebagai layaknya manusia.

(26)

g. Asas Terjaminnya Hak Untuk Tetap Berhubungan dengan Keluarga dan Orang-Orang Tertentu

Selama Narapidana mendapat pembinaan di LAPAS/RUTAN mereka tetap dijamin haknya untuk berhubungan dengan keluarga atau orang-orang tertentu. Karena, pada prinsipnya untuk melakukan pembinaan, Narapidana tidak boleh diasingkan sama sekali dengan masyarakat. Mereka tetap dapat berhubungan dengan keluarganya, mereka diperbolehkan menemui keluarganya yang berkunjung ke LAPAS/RUTAN.16

Pembinaan Narapidana yang saat ini dilakukan, pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat hidup yang tumbuh dimasyarakat.

Membiarkan seseorang dipidana, menjalani pidana tanpa memberikan pembinaan tidak akan merubah Narapidana tersebut. Bagaimana juga Narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke arah perkembangan yang positif, yang mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, dan untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjalani pidananya.17 Disamping itu tujuan pembinaan Narapidana dibagi menjadi 3 (tiga) hal, yaitu:

a. Setelah keluar dari LAPAS/RUTAN tidak lagi melakukan tindak pidana.

16 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2014, hlm.155

17 C.I.Harsono Hs, Op.cit, hlm.43

(27)

b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya.

c. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akherat.18

Kesadaran sebagai tujuan dari pembinaan Narapidana dapat dicapai dengan melakukan berbagai tahap sebagai berikut:

a. Mengenal diri sendiri

b. Memiliki kesadaran beragama c. Mengenal potensi diri

d. Mengenal cara memotivasi e. Mampu memotivasi orang lain

f. Mampu memiliki kesadaran yang tinggi g. Mampu berpikir dan bertindak

h. Memiliki kepercayaan diri yang kuat i. Memiliki tanggung jawab

j. Menjadi pribadi yang utuh.19

Dalam melakukan pembinaan dan pembimbingan terhadap Narapidana, haruslah dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya. Saharjo mengemukakan 10 (sepuluh) prinsipnya, yaitu:

a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.

b. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara.

c. Rasa tobat tidak dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan.

d. Negara tidak berhak membuat seseorang Narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.

e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, Narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

18 Ibid, hlm.47

19 Diah Gustiani.dkk, Hukum Penitensia dan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bandar Lampung, 2013, hlm.67

(28)

f. Pekerjaan yang diberikan kepada Narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu semata hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.

g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.

h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada Narapidana bahwa ia itu penjahat.

i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

j. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.20

Disamping itu, C.I. Harsono juga mengemukakan bahwa ada 4 (empat) komponen penting yang harus diperhatikan dalam pembinaan Narapidana, yaitu:

a. Diri sendiri, yaitu Narapidana itu sendiri.

b. Keluarga c. Masyarakat d. Petugas.21

3. Rumah Tahanan Negara

Rumah Tahanan Negara (RUTAN) adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.22 Keberadaan RUTAN juga diatur dalam ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan:

20 A. Josias Simon R-Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung, CV.Lubuk Agung, 2011, hlm.12

21 C.I Harsono Hs, Op.cit, hlm.51

22 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013, Pasal 1

(29)

1) Di setiap Ibukota Kabupaten atau Kotamadya dibentuk RUTAN oleh Menteri;

2) Apabila dipandang Menteri dapat membentuk atau menunjuk RUTAN di luar tempat sebagaimana dimaksud ayat (1) yang merupakan cabang dari RUTAN.

3) Kepala cabang RUTAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.23

Adapun fungsi umum RUTAN adalah melakukan pelayanan tahanan, melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib RUTAN, melakukan pengelolaan RUTAN, serta melakukan urusan tata usaha.

Bangunan RUTAN adalah sarana berupa bangunan dan lahan yang diperuntukkan sebagai penunjang kegiatan pembinaan yang terdiri dari RUTAN Kelas I dan RUTAN Kelas II. Tujuan dari RUTAN ini merupakan pembinaan tahanan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, hingga keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.

RUTAN dibagi menjadi beberapa bentuk yang didasarkan atas daya muat atau daya tampung dan juga kapasitasnya. Berikut adalah klasifikasi dari RUTAN:

a. Rumah Tahanan Negara Kelas I > 1500 orang b. Rumah Tahanan Negara Kelas II > 500-1500 orang c. Rumah Tahanan Negara Kelas IIB = 1-500 orang24

23 Ahmad Sanusi, Pelaksanaan Fungsi Cabang RUTAN Negara di Luar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol.20 No.2, 2016, diakses di https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/208, pada Hari Jumat, 26 Juni 2020, Pukul 13:47 WIB

24 Ibid

(30)

1.7 Metode Penelitian

Berkenaan dengan ruang lingkup karya tulis ini, Metode Penelitian yang digunakan untuk karya tulis ini adalah metode penelitian hukum, yaitu suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, maka diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum, kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris, yaitu suatu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat.25 sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis.

Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis, sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis, dan menyeluruh, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan efektivitas pembinaan narapidana di dalam RUTAN.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Objek penelitian ini adalah Rumah Tahanan Negara Kelas IIB

25 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm.43

(31)

Tanjung Pura. Dengan pertimbangan bahwa lembaga ini memenuhi kriteria untuk mendapatkan gambaran tentang pembinaan terhadap Narapidana berdasarkan atura Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Tanjung Pura yang masih dalam Lingkungan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Sumatera Utara yang berkenaan dengan bidang penegakan hukum, sub bidang pemasyarakatan.

3. Data dan Sumber Data Penelitian

Berdasarkan sudah pandang penelitian hukum, peneliti pada umumnya mengumpulkan data primer dan data sekunder. Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang didukung oleh data primer. Data sekunder yang dimaksud sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan yang meliputi wawancara survey di lapangan terhadap narasumber yang berada di Rumah Tahanan Negara Kelas II B Tanjung Pura, semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang berasal dari bahan-bahan pustaka yang isinya semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang Pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara.

(32)

4. Metode Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) dan Field Research (Penelitian Lapangan).

a. Library Research atau Penelitian Kepustakaan, yaitu mengkaji secara kritis bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian. Bahan-bahan yang dikaji, kemudian dirinci secara sistematis dan dianalisis secara dedukatif. Penelitian kepustakaan ini mengumpulkan bahan-bahan yang didapat dari buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang berkaitan dengan Pembinaan Narapidana.

b. Field Research atau Penelitian Lapangan, yaitu penelusuran lapangan sebagai langkah awal dalam rangka untuk menyiapkan kerangka penelitian yang bertujuan memperoleh informasi penelitian sejenis, dan memperdalam kajian teoritis. Pengumpulan informasi dari penelitian lapangan ini didapatkan melalui wawancara serta kunjungan langsung yang dilakukan di Rumah Tahanan Negara Kelas II B Tanjung Pura.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisa secara kualitatif. Perolehan data dari analisis kualitatif ini diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam. Data kualitatif adalah data non-angka, yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan, dan dokumen.

(33)

Dalam penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses dilapangan bersamaan dengan pengumpulan data.

1.8 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap bab akan menguraikan:

BAB I: Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang penulisan yang diangkat, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, tinjauan kepustakaan, dan sistematika penulisan.

BAB II: Berisi tentang penerapan Peraturan Hukum Mengenai Pembinaan Narapidana, antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

BAB III: Berisi tentang Kedudukan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Tanjung Pura yang antara lain membahas: Pengertian dan Macam-Macam Warga Binaan Pemasyarakatan, Kedudukan Narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura, dan Hak dan Kewajiban Narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura.

BAB IV: Berisi tentang hasil penelitian, yang mengenai Efektivitas Pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura yang

(34)

antara lain membahas: Penerapan Upaya Pembinaan Narapidana yang Dilakukan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura, Hambatan- Hambatan Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana yang Dilakukan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura, dan Keefektifan Upaya Pembinaan yang Dilakukan Terhadap Pembinaan Narapidana di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kelas IIB Tanjung Pura Dilihat dari Peraturan Perundang- undangan.

BAB V: Berisikan kesimpulan dan juga saran dari penulisan dan penelitian skripsi ini.

(35)

BAB II

PERATURAN HUKUM MENGENAI PEMBINAAN NARAPIDANA

2.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Pada hakikatnya Narapidana ataupun yang disebut juga sebagai bagian dari Warga Binaan Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut WBP) adalah insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan dengan penuh rasa manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu dan berkekuatan hukum. Narapidana tetap harus diperhatikan, diperlakukan, dan dibimbing layaknya masyarakat merdeka, walaupun mereka sebelumnya telah melakukan suatu kejahatan baik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan telah melakukan hal yang melanggar aturan hukum yang berlaku. Narapidana wajib dihargai hak-hak dasarnya sebagai manusia yang merdeka.

Seperti tujuan pemidanaan itu sendiri yang diatur didalam Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Tahun 2000, dalam Pasal 50 yang menyebutkan tujuan pemidanaan adalah untuk:

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mencegah norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang baik dan berguna

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.26

26 Marlina, Hukum Penitensier, Bandung, Refika Aditama, 2011, hlm.26-27

(36)

Jadi, tujuan dari pemidanaan tersebut dapat disimpulkan, bahwa pemidanaan yang dijatuhkan kepada seseorang yang bersalah bukan untuk melepaskan mereka dari kemerdekaan, melainkan untuk memberikan tuntutan serta pembinaan diri untuk dapat mengembalikan mereka menjadi dirinya seperti sebelum melakukan kejahatan, mengembalikan hubungan mereka kepada Tuhannya, mengembalikan hubungan mereka kepada masyarakat, dan mengembalikan hubungan mereka kepada lingkungannya.

Menurut Roeslan Saleh, ada beberapa alasan perlunya pidana dan penjatuhan pidana bagi orang yang bersalah, antara lain ialah:

1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terlepas pada persoalan tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu, boleh menggunakan paksaan. Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dan hasil dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga masyarakat agar mentaati norma-norma dalam masyarakat.27

27 Ibid, hlm.29

(37)

Oleh karena banyaknya alasan mengapa pentingnya penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan, maka diperlukan juga solusi agar pelaku kejahatan yang sudah dijatuhi sanksi pidana tidak mengulangi kejahatan yang serupa ataupun kejahatan yang berbeda lainnya. Oleh karenanya dilakukanlah pembinaan Narapidana yang ditahan didalam suatu LAPAS/RUTAN. Atas alasan-alasan tersebut, dibentuklah suatu aturan hukum yang mengatur dan berkekuatan hukum tetap mengenai sistem pembinaan pemasyarakatan. Aturan perundang-undangan ini lahir dari beberapa periodisasi. Pada mulanya hukuman berupa penderitaan kepada mereka yang melakukan kejahatan yang dikenal dengan sistem penjara baru dikenal pada zaman penjajahan yang dimulai dengan sistem diskriminatif.28

Sejak dikeluarkannya peraturan umum untuk Golongan Indonesia yang dipidana dengan kerja paksa (Staatsblad 1826 No.16), sedangkan untuk Golongan Eropa Belanda berlaku penjara. Pada tahun 1917 lahirlah Reglemen Penjara (Gestichken Reglement) yang tercantum dalam Staatblad 1919 No.708, tanggal 1 Januari 1918. Reglemen Penjara ini menjadi dasar peraturan perlakuan Narapidana dan cara pengelolaan penjara. Sejak tahun 1964, Indonesia melahirkan apa yang disebut sebagai Sistem Pemasyarakatan.29 Sistem pemasyarakatan di Indonesia memiliki tujuan dan cita-cita yang besar. Pembinaan yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan diharapkan bukan saja mempermudah reintegrasi mereka dengan masyarakat, melainkan juga menjadikan Narapidana menjadi warga masyarakat yang mendukung keterbatasan dan kebaikan dalam masyarakat mereka masing-masing menjadi manusia

28 Ibid, hlm.123

29 Ibid

(38)

seutuhnya. Dalam melaksanakan pembinaan pemasyarakatan, ada beberapa hal penting yang harus terlebih dahulu di pahami, yaitu:

1. Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan, bukan pembalasan dan penjaraan.

2. Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan Narapidana di dalam dan diluar lembaga.

3. Proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari para petugas pemasyarakatan pada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan serta anggota masyarakat umum.30

Maka dari itu, pada tanggal 30 Desember 1995 dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan mengenai sistem pemasyarakatan, yaitu Undang- undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Terbitnya peraturan perundang-undangan ini menjadi dasar yang mengubah seluruhnya mengenai sitem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula dengan institusinya, yang semula disebut Rumah Penjara dan Rumah Pendidikan Negara menjadi Lembaga Pemasyarakatan, berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.31

Sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Dalam sistem ini, dipahami bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga sebagai subyek

30 Ibid, hlm.124

31 Ibid

(39)

yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, ataupun kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana.

Pemidanaan dalam undang-undang ini dianggap sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan atas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan, maka Petugas Pemasyarakatan adalah sebagai petugas yang melaksanakan pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan atau Narapidana.32 Dibentuknya peraturan perundang-undangan mengenai pemasyarakatan ini, disamping bertujuan untuk mengembalikan pelaku tindak pidana menjadi warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh narapidana tesebut, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.

32 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995, Bagian Umum.

(40)

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 Angka 2, menyatakan bahwa:

“ Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.”

Maka, dapat kita tarik unsur-unsur sistem pemasyarakatan melalui definisi sistem pemasyarakatan menurut undang-undang pemasyarakatan ini adalah:

1. Pembina (personil/staf lembaga pemasyarakatan)

2. Yang dibina (narapidana, anak pidana, anak negara, anak sipil, klien pemasyarakatan)

3. Masyarakat.

Fungsi dari sistem pemasyarakatan ini diatur dalam Pasal 3 UU Pemasyarakatan, yaitu menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Dijalankannya pembinaan dalam sistem pemasyarakatan ini terlepas dari asas-asasnya.

Dalam Pasal 5 UU Pemasyarakatan ini membahas tentang Pembinaan, yang menyebutkan bahwa: “Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

1. Pengayoman

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan 3. Pendidikan

4. Pembimbingan

5. Penghormatan harkat dan martabat manusia

6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan

7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

(41)

Pembinaan dan pembimbingan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan. Petugas pembinaan pemasyakaratan merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan narapidana.

Mengenai pembinaan pemasyarakatan, anggota warga binaan pemasyarakatan dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya ialah:

1. Narapidana

2. Anak Didik Pemasyarakatan (Anak Pidana, Anak Negara, Anak Sipil) 3. Klien33

Pada Pasal 12 ayat (1) UU Pemasyarakatan juga mengatur mengenai penggolongan pembinaan atas dasar beberapa faktor, diantaranya:

1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Lama pidana yang dijatuhkan 4. Jenis kejahatan

5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Prosedur mengenai pembinaan narapidana pertama kali dilakukan pendaftaran. Pendaftaran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Pemasyarakatan, berupa:

a. Pencatatan:

1. Putusan pengadilan;

2. Jati diri, dan;

3. Barang dan uang yang dibawa b. Pemeriksaan kesehatan

c. Pembuatan pasfoto

d. Pengambilan sidik jari, dan

33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

(42)

e. Pembuatan berita acara serah terima Terpidana.

Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana tetap dianggap sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar untuk hidup sama seperti masyarakat lainnya. Hak- hak narapidana tersebut dijamin, diakui serta di atur di dalam undang-undang ini pada Pasal 14 UU Pemasyarakatan. Hak-hak narapidana yang diatur, berupa:

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5. Menyampaikan keluhan

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

11. Mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas

13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai huruf a sampai dengan huruf d, hak ini dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai narapidana, dengan demikian pelaksanaannya dalam batas-batas yang diizinkan. Huruf e menjelaskan maksud dari menyampaikan keluhan adalah apabila terhadap narapidana yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh aparat Lapas atau sesama penghuni Lapas, yang bersangkutan dapat menyampaikan keluhannya kepada Kepala Lapas. Huruf i dan j menjelaskan bahwa diberikannya hak tersebut setelah narapidana yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

(43)

Mengenai pembebasan bersyarat yang disebutkan pada huruf k, memiliki pengertian bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Cuti menjelang bebas yang disebutkan pada huruf l memiliki arti cuti yang diberikan setelah narapidana menjalani lebih dari dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan. Dan yang dimaksud dengan hak-hak lain dalam huruf m adalah hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya. Selain dari narapidana memiliki hak-hak dasar mereka, mereka juga memilki kewajiban selaku warga binaan pemasyarakatan dalam suatu Lembaga pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara.34

Kewajiban-kewajiban dari narapidana tersebut, tertuang dalam Pasal 15 UU Pemasyarakatan, yang menyebutkan bahwa:

1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17 UU Pemasyarakatan juga mengatur mengenai bagaimana sistematik penyidikan yang dapat dilakukan terhadap narapidana yang dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara dan untuk kepentingan apa saja seorang narapidana dapat dibawa keluar dari Lapas ataupun Rutan. Yang berbunyi demikian:

1. Penyidikan terhadap Narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di LAPAS tempat Narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan setelah

34 Penjelasan UU Pemasyarakatan, Pasal 14

(44)

penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan menyerahkan tembusannya kepada Kepala LAPAS.

2. Kepala LAPAS dalam keadaan tertentu dapat menolak pelaksanaan penyidikan di LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

3. Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar LAPAS setelah mendapat izin Kepala LAPAS.

4. Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar LAPAS untuk kepentingan:

a. Penyerahan berkas perkara;

b. Rekonstruksi, atau;

c. Pemeriksaan di sidang pengadilan.

5. Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Narapidana hanya dapat dibawa ke luar LAPAS setelah mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

6. Jangka waktu Narapidana dapat dibawa ke luar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) setiap kali paling lama 1 (satu) hari.

7. Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, Narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke LAPAS tempat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Selanjutnya, mengenai prosedur pendaftaran serta pembinaan yang dilakukan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan, di atur dan dijelaskan dalam undang-undang yang sama pada Pasal 18 UU Pemasyarakatan. Anak Didik Pemasyarakatan teridir dari Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil. Anak Pidana merupakan anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.35 Tata cara pendaftaran dan hal-hal apa saja yang perlu didaftarkan diatur pada Pasal 19 UU Pemasyarakatan yang isinya serupa dan semakna dengan Pasal 11 undang-undang yang sama yang mengatur tata cara pendaftaran narapidana umum. Pembinaan terhadap Anak Pidana juga dilakukan berdasarkan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya

35 Sovia Hasanah, Arti Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil, diakses dari https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5b5e86f3e466d/arti-anak-pidana-anak-negara,-dan- anak-sipil/ pada Hari Minggu, 27 September 2020, Pukul 20:31

(45)

sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.36 Secara umum, tidak ada perbedaan aturan mengenai pembinaan terhadap narapidana umum dengan Anak Pidana, hanya saja beberapa perbedaannya adalah Anak Pidana ditempatkan di Lapas Anak sesuai yang tertulis pada

Mengenai Anak Negara, di atur dalam Paragraf 2 UU Pemasyarakatan.

Yang dimaksud dengan Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk di didik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.37 Sama halnya dengan Anak Pidana, Anak Negara juga ditempatkan di Lapas Anak. Secara umum, aturan mengenai pembinaan Anak Negara serupa dengan aturan yang mengatur pembinaan terhadap Anak Pidana. Perbedaan dapat dilihat dari Pasal 29 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa Anak Negara memperoleh hak- hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU Pemasyarakatan, kecuali huruf g dan i. Yang mana bermaksud bahwa tidak diberikannya hak kepada Anak Negara untuk mendapatkan upah atau premi karena anak tersebut tidak dipekerjakan baik di dalam maupun di luar Lapas dan tidak diberikannya hak kepada Anak Negara untuk mendapatkan pengurangan pidana (remisi), karena Anak Negara tidak dijatuhi pidana.38

Selanjutnya, pada Paragraf 3 UU Pemasyarakatan, diatur mengenai Anak Sipil. Anak Sipil merupakan anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama

36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 20

37 Sovia Hasanah, Op.Cit.

38 Penjelasan UU Pemasyarakatan, Pasal 29 ayat (1)

(46)

sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Pengaturan mengenai Anak Sipil memiliki beberapa perbedaan dengan pengaturan terhadap Anak Pidana ataupun Anak Negara.39 Perbedaan yang pertama, dapat dilihat dalam Pasal 32 ayat (3) UU Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa

“Penempatan Anak Sipil di Lapas Anak paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1 (satu) tahun dengan ketentuan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.”

Perbedaan selanjutnya dan terakhir dapat dilihat dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa

“Anak Sipil memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kecuali huruf g, i, k dan huruf l.”

Yang artinya Anak Sipil tidak memperoleh hak berupa mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), mendapatkan pembebasan bersyarat, dan mendapatkan cuti menjelang bebas.

Pengaturan penggolongan terakhir, diatur pada Bagian Ketiga tentang Klien. Klien atau Klien Pemasyarakatan pada Pasal 1 angka 9 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa

“Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan Lapas.”

Setiap Klien wajib mengikuti secara tertib program bimbingan yang diadakan dan dilaksanakan oleh Bapas. Klien sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39 UU Pemasyarakatan terdiri dari:

1. Terpidana bersyarat

2. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas.

39 Sovia Hasanah, Op.Cit.

(47)

3. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial

4. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial,

5. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Mengenai bimbingan atau pembinaan yang dilakukan oleh orang tua asuh atau badan sosial, selanjutnya diatur di dalam Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemasyarakatan yang secara ringkas menyebutkan bahwa baik orang tua asuh, badan sosial, orang tua, ataupun walinya wajib mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Jika, terjadi suatu kejadian bahwa mereka tidak mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan oleh Menteri, maka Anak Negara tersebut ditarik kembali dari pembimbingnya dan ditempatkan kembali di Lapas Anak.

Bab IV UU Pemasyarakatan ini membahas serta mengatur mengenai Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan merupakan suatu badan penasehat Menteri yang bersifat non struktural, sedangkan Tim Pengamat Pemasyarakatan merupakan tim yang bertugas memberikan saran, penilaian, dan panduan mengenai program pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara. Pasal 45 UU Pemasyarakatan menjelaskan, bahwa:

1. Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

2. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan/atau pertimbangan kepada Menteri.

3. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana persepsi narapidana terhadap pembinaan yang dilakukan oleh Rumah Tahanan negara klas II-B Sidikalang.. Untuk

Pola pembinaan yang dilakukan oleh pegawai Rumah Tahanan Negara terhadap. narapidana dalam rangka mengurangi residivis di RUTAN klas II B

Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pembinaan narapidana anak oleh Lembaga Pemasyarakatan anak Tanjung Gusta sudah dapat dikatakan efektif, dilihat dari

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah Bagaimana Pengaturan Desa menurut Hukum yang berlaku di Indonesia, Bagaimana sistem Hukum Perundang-undangan di Indonesia

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah Bagaimana Pengaturan Desa menurut Hukum yang berlaku di Indonesia, Bagaimana sistem Hukum Perundang-undangan di Indonesia

Peneliti berusaha mengumpulkan informasi dari berbagai pihak terutama dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) berkaitan dengan pola pembinaan narapidana dalam upaya

Berdasarkan dari data Informan di atas dapat dijelaskan bahwa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat strategi komunikasi petugas rutan dalam pembinaan

Permasalahan yang penulis temukan di Rutan Bangkalan mengenai perlakuan khusus terhadap tahanan dan narapidana lanjut usia yaitu belum adanya program pembinaan kemandirian khusus