• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV WAKTU KERJA, WAKTU LEMBUR DAN UPAH KERJA

C. Upah Kerja

Ubah Kerja Menurut UU NO. 13 TAHUN 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan menyatakan bahwa:

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat meliputi :

a. upah minimum b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

28 d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Perhitungan jam kerja lembur dan tarif upah lembur mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-72/MEN/1984, dengan rumusan:

1. Tarif upah lembur: 1/173 x Gaji Pokok

2. Perhitungan lembur dilakukan pada hari kerja biasa:

 Untuk jam pertama adalah 1,5 kali TUL (Tunjangan Upah Lembur).

 Untuk jam-jam berikutnya adalah sebesar 2 kali TUL.

 Lebih dari jam 19.30 WIB akan mendapatkan 1 kali tunjangan makan.

 Lebih dari jam 22.30 WIB akan mendapatkan 1 kali tunjangan transport.

3. Perhitungan lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan atau hari raya resmi:

- Untuk setiap jam dalam batas waktu 7 (tujuh) jam pertama adalah sebesar dua kali TUL.

- Untuk jam ke 8 (delapan) sebesar 3 kali TUL.

- Untuk jam ke 9 (sembilan) dan seterusnya adalah sebesar empat kali TUL.

4. Pekerjaan lembur kurang dari ½ (setengah) jam sehari tidak diperhitungkan dengan upah lembur.

5. Ketentuan upah lembur hanya berlaku untuk karyawan dengan golongan I-III atau dinyatakan lain dalam perjanjian kerja.

6. Untuk karyawan shift, bilamana hari tugasnya jatuh pada hari libur resmi (raya), maka jam kerja pada hari tersebut dihitung sebagai kerja lembur, dan perhitungan upah lemburnya mempergunakan perhitungan jam lembur hari raya.

29 Berkaitan dengan hari raya, ketentuannya adalah sebagai berikut:

1. Hari Kerja Biasa

Bila pekerjaan lembur dilakukan melewati jam 19.30 WIB, bila tidak disediakan makan oleh Perusahaan akan diberikan tunjangan makan yang besarnya ditetapkan oleh Perusahaan.

2. Hari Libur / Raya

Karyawan yang melakukan pekerjaan lembur pada hari istirahat minguan atau hari libur resm i/hari raya akan mendapat tunjangan transport sesuai dengan ketentuan hari kerja biasa ditambah tunjangan makan jika lembur yang dijalani telah melewati 3 (tiga) jam kerja.

Tunjangan transport tidak berlaku bagi karyawan yang mendapat fasilitas kendaraan, sebagai kebijakan Perusahaan dapat mempertimbangkan mengganti biaya transport (mis: tol, uang parkir dll) sesuai dengan biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh karyawan untuk keperluan lembur tersebut. Bila pekerjaan lembur dilakukan melewati jam 19.30 WIB, bila tidak disediakan makan oleh Perusahaan akan mendapat tunjangan makan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Perusahaan.

Banyak orang yang tidak mengetahui cara menghitung Upah Lembur (Uang Lembur/Over Time). Upah Lembur ini mengacu pada Keputusan Menteri No.

Kep.102/MEN/VI/2004, Pasal 10 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

Contoh kasus #1 Pasal 10 ayat (1)

Kita mulai membahas Pasal 10 ayat (1): Dalam hal upah terdiri dari upah po¬kok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100% (seratus perseratus) dari upah. Makna pasal 10 ayat (1) sangat jelas, bahwa di¬dalam komponen upahnya hanya terdiri dari gaji pokok dan tunjangan tetap.

Seperti apakah upah pokok dan tunjangan tetap?

Misalnya pengusaha menetapkan upah sebesar Rp 1.500.000 yang terdiri dari komponen sebagai berikut:

- Gaji pokok Rp 1.200.000 -Tunjangan Jabatan Rp 300.000 Total Upah Rp 1.500.000

Diatas telah kita ketemukan total upah yang komponennya terdiri dari gaji/upah pokok dan tunjangan tetap sebesar Rp 1.500.000.

Bagaimana perhitungannya?

Tarif upah sejam adalah Rp 1.500.000 x 1/173 = Rp 8.670,51

30 Contoh kasus #2 Pasal 10 ayat (2)

Sedangkan ayat (2) menyatakan: Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tun¬jangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabilah upah pokok tambah tunja¬ngan tetap lebih kecil 75% (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Seperti apakah upah pokok dan ‘tunjangan tetap’ ditambah ‘tidak tetap’?

Kalau kita perhatikan rasio dari upah (gaji pokok dan tunjangan tetap) sebesar 79%

(seperti tabel 10.2), maka acuan perkalian tidak bisa menggunakan rumus 75% dari total upah keseluruhan.

Mengapa?

Kalau 75% dari total upah keseluruhan berarti Rp 1.900.000 x 75% = Rp 1.425.000.

Sedangkan nilai komponen upah saja sebesar Rp 1.500.000. Artinya yang digunakan adalah angka Rp 1.500.000 yaitu angka yang tertinggi dan lebih baik bagi kepentingan karyawan, de-ngan perhitungan Rp 1.500.000 x 1/173 = Rp 8.670,51 per-jamnya.

Apakah boleh boleh dari nilai upah keseluruhan?

Prinsipnya, bila nilainya lebih baik dari ketentuan yang dimaksud Kepmen sangat dibenarkan.

Bagaimana perhitungannya?

Jika menggunakan dari keseluruhan akan lebih baik, dan tarif sejam¬nya adalah Rp 1.900.000 x 1/173 = Rp 10.983,-

31 BAB V

PSIKOLOGI INDUSTRI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

(PHK) A. Pengertian Phk

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja yang terjadi karena berbagai sebab.Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha. (Husni, 2003).

Sedangkan menurut Halim (1990: 136) bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.Menurut Pasal 1 ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15A/MEN/1994, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.(Khakim,2003)

B. Ketentuan Phk Menurut Undang-Undang No.13 Tahub 2003

Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :

1) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus,

2) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

3) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, 4) Pekerja/buruh menikah,

5) Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya,

6) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,

7) Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam

32 kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau bedasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,

8) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan,

9) Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan,

10) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

11) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.(Husni, 2010).

C. Jenis-Jenis Phk

Dalam literatur Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK yaitu:

1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c) Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f) Menbujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbukan kerugian bagi perusahaan;

33 h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam

keadaan bahaya di tempat kerja;

i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

Kesalahan berat dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut:

a) Pekerja/buruh tertangkap tangan;

b) Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;

c) Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang diperusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

2. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja

Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1) Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;

2) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3) Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

4) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;

5) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau

6) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja (Pasal 169 ayat 1).

Pekerja /buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi syarat:

a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

34 b) Tidak terikat dalam ikatan dinas;

c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

3. Hubungan kerja putus demi hukum

Selain pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja, hubungan kerja juga dapat putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja, pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:

a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;

c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam peerjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau

d) Pekerja/buruh meninggal dunia.

4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan

Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting.Alasan yang penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.(Husni, 2010).

D. Mekanisme Pelaksanaan Phk

Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang pemberhentian terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar (2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:

1) Musyawarah karyawan dengan pemimpin perusahaan.

2) Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.

3) Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D.

35 4) Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P.

5) Pemutusan hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri. (Rahardjo, 2013) Berikut adalah prosedur PHK menurut UU No 13 Th 2003:

1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 151 Ayat 1).

2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (Pasal 151 Ayat 1) Jika perundingan berhasil, buat persetujuan bersama.

3) Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan- alasannya kepada pengadilan hubungan industrial (Pasal 151 ayat 3 dan Pasal 152 Ayat 1).

4) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat 2).

5) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsingkepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 ayat 3). ( Zurnali, 2011)

Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan.

Adapun prosedur untuk Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :

a) Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja/buruh dengan ketentuan skorsing telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

b) Dalam hal pengusaha melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha wajib membayar upah selama skorsing paling sedikit sebesar 75%

(tujuh puluh lima perseratus) dari upah yang diterima pekerja/buruh.

36 c) Skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan yang jelas, dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela diri.

d) Pemberian upah selama skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan.

e) Setelah masa skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban membayar upah, kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat.

Pasal 17A Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 menyatakan :

a) Dalam hal pengusaha mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), maka selama ijin pemutusan hubungan kerja belum diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pekerja/buruh harus tetap melakukan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama proses 100% (seratus perseratus).

b) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja tetapi pengusaha tidak mengajukan permohonan ijin, pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi perselisihan, maka sebelum ada putusan Panitia Daerah atau Panitia Pusat, upah pekerja/buruh selama proses dibayar 100% (seratus persen). (anonim, 2009).

E. Kompensasi Bagi Pekerja Yang Di Phk

Bila seorang pekerja di PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai kompensasi PHK yaitu :

a) Uang Pesangon, yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja.

b) Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), adalah pemberian uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penghargaanberdasarkan masa kerja akibat adanya PHK.

c) Uang Ganti Kerugian, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai ganti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, dan fasilitas perumahan.

37 d) Uang Pisah, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh atas pengunduran diri secara baik-baik dan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yaitu ditujukan secara tertulis 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.(Adisu, 2008) Perhitungan uang pesangon diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:

1) Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

2) Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2(dua) tahun, 2 (bulan) upah;

3) Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

4) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

5) Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

6) Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

7) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

8) Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

9) Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:

1) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

2) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

3) Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

4) Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

5) Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

38 6) Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)

tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

7) Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

8) Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 27 (dua puluh tujuh) tahun, 9 (sembilan) bulan upah;

Sedangkan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh buruh/pekerja meliputi:

1) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

2) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;

3) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 154 ayat 4). Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:

1) Upah pokok;

2) Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157 ayat 2).

Sedangkan untuk upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. Bagi pekerjaan yang tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.

39 BAB VI

BULLYING DAN PELECEHAN SEX DITEMPAT KERJA A. Bullying

Kata bullying berasal dari Bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang merunduk kesana kemari. Dalam Bahasa Indonesia, secara etimologi kata bullyberarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah. Sedangkan secara terminology menurut Definisi bullying menurut Ken Rigby dalam Astuti (2008 ; 3, dalam Ariesto, 2009) adalah “sebuah hasrat untuk menyakiti.Kekerasan di tempat kerja (workplace bullying) merupakan permasalahan yang hingga kini terus terjadi (Meek, 2004 dalam Gunawan, dkk, 2009). Dalam hal fenomena kekerasan di tempat kerja, istilah “bullying”

dipergunakan karena dianggap lebih mewakili dan lebih lengkap dibandingkan istilah-istilah lain yang sejenis untuk menggambarkan fenomena yang sama. Sering pula bullying disinonimkan dengan “harassment”. Harassment sendiri berasal dari kata “to harass” yang berakar dari kata dalam Bahasa Perancis kuno ‘harer’ yang artinya melakukan upaya penyerangan, dan juga memiliki akar kata dalam Bahasa Inggris kuno ‘hergian’ yang artinya

‘to ravage’ atau ‘despoil’ (mengganggu, mengusik, merusak).

Dalam penggunaannya saat ini, seorang yang melakukan bullying yakni seseorang yang mempunyai kebiasaan berperilaku kejam dan mendominasi, terutama terhadap orang yang lebih kecil atau orang yang lebih lemah. Definisi yang dikemukakan Randall (1997a, dalam Randall, 2002) bahwa Bullying merupakan perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain.Dalam Matthiensen (dikutip oleh Gunawan, dkk, 2009), kekerasan di tempat kerja (workplace bullying) diartikan sebagai tindakan negatif yang dilakukan di tempat kerja secara berulang-ulang oleh pihak-pihak tertentu yang melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan, dan mewujud dalam bentuk: pelecehan, kekerasan, dan perbuatan yang tidak menyenangkan yang mengakibatkan korban bullying merasa inferior dan tidak mampu membela diri mereka.

Apabila ditinjau dari bentuknya, Bullying yang banyak dipahami masyarakat adalah bentuk direct bullying, yakni ketika seseorang diolok-olok, diganggu, ataupun dipukul oleh orang (sekelompok orang) lainnya. Bullying yang bersifat langsung ini dapat bersifat verbal maupun bersifat fisik.

Indirect bullying merupakan jenis bullying yang lebih tidak kasat mata namun dampaknya sama buruknya bagi korban. Bullying jenis ini juga dikenal dengan istilah relational bullying atau bullying sosial (social bullying). Jenis bullying lain merupakan

40 bullying yang bersifat sosial yang terkait dengan penggunaan media internet yang lebih kita kenal dengan sebutan cyberbullying. Ketika seseorang mengalami kekerasan, dipermalukan, memperoleh ancaman oleh orang lain melalui media internet ataupun melalui berbagai media teknologi interaktif semisal telepon seluler. Termasuk di antaranya mengirimkan pesan teks singkat (short message service/sms) atau e-mail ancaman, membuat web page berisikan informasi-informasi (baik informasi yang benar ataupun tidak benar) yang mempermalukan seseorang, atau misalkan aktivitas membagikan/menceritakan rahasia pribadi seseorang dalam ruang publik di internet (Murphy, 2009).

Bullying di tempat kerja merupakan salah satu permasalahan organisasi yang masih sering terjadi hingga saat ini.Fenomena bullying tidak hanya terjadi di negara-negara maju saja, namun juga terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia. Sebagaimana hasil

Bullying di tempat kerja merupakan salah satu permasalahan organisasi yang masih sering terjadi hingga saat ini.Fenomena bullying tidak hanya terjadi di negara-negara maju saja, namun juga terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia. Sebagaimana hasil