• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN SUKU ANAK DALAM PASCA MENGIKUTI

PROGRAM TRANS SOSIAL DI BUKIT SUBAN KABUPATEN

MERANGIN PROVINSI JAMBI

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Sosiologi

OLEH

LESTARI NOVA MARBUN

070901009

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

ABSTRAKSI

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat, rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

” Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi”

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dari semua pihak, maka skripsi ini

tidak terselesaikan dengan baik. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

membantu, baik dari penulisan proposal saat penelitian dan sampai selesainya skripsi

ini, yaitu :

1. Teristimewa kepada kedua orang tuaku tercinta, “Papa dan Mama” yang

selalu memberikan do’a, semangat, nasehat dan masukan yang tidak ternilai

harganya dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada Papa dan

Mama yang telah membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang

serta selalu memberikan didikan dan disiplin sejak penulis masih kecil. Tiada

kata yang mewakili ucapan Terimakasih anakmu ini atas pengorbanan yang

Papa dan Mama selama ini berikan.

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

Bapak Prof. Dr .Badaruddin, M.Si

3. Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas

(5)

ujian komperhensif skripsi ini dan memberikan apresiasi dan dukungan dalam

penyelesaian skripsi saya.

4. Sekretaris jurusan bapak Drs. T. Ilham Saladin, M. SP.

5. Teristimewa buat bapak Prof. Riza Buana,M,Phil selaku dosen pembimbing

yang telah banyak memberi masukan, meluangkan waktu, memberikan

pengetahuan dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi ini serta sabar

membimbing saya. Beliau yang telah memberikan pengajaran yang sangat

berarti bagi saya.

6. Kepada seluruh staf pengajar di departemen sosiologi dan tak lupa buat kak

Feny, kak Beti yang selalu sabar mendengarkan keluhan – keluhan dan sabar

mendenganr cerita saya serta seluruh pegawai di FISIP USU terima kasih atas

bantuannya dan pengetahuannya selama menjalani studi di FISIP USU

7. Kepada Temenggung Tarib dan Informan terima kasih atas kerjasamanya

memberikan masukan informasi yang menunjang penulisan ini.

8. Buat Adik – adikku. Terima kasih atas masukannya dan kritikannya selama

ini. Semoga tujuan mulia kita untuk membahagiakan kedua orang tua tercapai.

Penulis sangat menyayangi kalian semua.

9. Buat temen-teman baikku di kampus untuk kebersamaannya selama ini,

khususnya setambuk 07 sosiologi FISIP USU, atas semangat dan pengorbanan

kita selama ini. Semoga kita selalu dipertemukan di lain kesempatan dan jauh

lebih baik dari saat ini.

10.Terima kasih kepada para abang, kakak, dan adek-adek selaku Mahasiswa di

(6)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan

dan belum sempurna. Oleh karena itu dengan rendah hati, penulis menerima segala

saran, masukan dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak. Untuk itu penulis

berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi setiap pihak yang

memerlukannya, baik langsung maupaun tidak langsung

Medan, Januari 2013

Penulis

(Lestari Nova Marbun)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... ...vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Definisi Konsep ... 8

1.6. Jenis Penelitian ... 9

1.7. Lokasi Penelitian ... 9

1.8. Unit Analisis ... 10

1.9. Informan ... 10

1.10. Teknik Pengumpulan Data ... 11

1.11. Interpretasi Data ... 12

(8)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL

2.1. Kearifan Suku Anak Dalam ... 15

2.2. Suku Anak Dalam Masih Melestarikan Budaya Leluhur ... 17

2.3. Kebudayaan Suku Anak Dalam ... 19

2.4. SAD Pertahankan Hutan Dengan Hompongan ... 22

2.5. Program Trans Sosial ... 23

BAB III MENGENAL SAD SEBELUM MENGIKUTI PROGRAM TRANS SOSIAL 3.1. Mengenal Suku Anak Dalam ... 30

3.1.1.Berbagai Versi Tentang Asal – usul SAD ... 34

3.1.2.Ciri – ciri Fisik dan Non Fisik ... 37

BAB IV KEHIDUPAN SAD DI LOKASI TRANS SOSIAL 4.1. Deskripsi Lokasi……….… 27

4.1.1.Sejarah Singkat Mengenai Kab. Merangin Prov. Jambi……. 29

4.1.2.Letak Lokasi dan Keadaan Alam……….. 39

4.1.3.Pola Pemukiman……… 41

4.1.4.Mata Pencaharian SAD di Lokasi Trans Sosial………. 42

4.1.5.Sarana dan Prasarana………. 52

4.1.6.Pendidikan Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial……… 52

4.1.6.1.Sarana Ibadah..………..………….. 62

4.1.6.2.Sarana Kesehatan……….…………. 66

4.1.6.3.Sarana Transportasi dan Isi Rumah SAD yang Bermukim di Lokasi Trans Sosial…………... 72

4.1.7.Latar Belakang Sosial Budaya………... 76

(9)

4.1.7.2. Seni……… 77

4.1.7.3. Religi……….. 83

4.1.7.4. Sistem Kekerabatan………... 85

4.1.8.Organisasi dan Kelompok Masyarakat Pada SAD……….. 86

4.2. Perubahan Kehidupan SAD Pasca Mengikuti Program Trans Sosial.……… 89

4.2.1.Lingkungan Daerah Tempat Tinggal SAD……… 94

4.2.2.Lingkungan Tempat Bekerja SAD……… 97

4.3. Masalah Yang Ditemui Oleh SAD…………...………... 99

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 104

5.2 . Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan “ Berapakah Pendapatan

Keluarga Anda Perbulan” ... 42

Tabel 2 Harga Jual Rotan ... 49

Tabel 3 Jumlah Sekolah di Lokasi Trans Sosial ... 53

Tabel 4 Jumlah Murid Berdasarkan Tingkat Pendidikan SAD di Sekitar Bukit

Suban ... 54

Tabel 5 Pandangan Orang Tua SAD yang Telah Bermukim di Lokasi Trans

Sosial Tentang Pendidikan Anak – anak Mereka ... 55

Tabel 6 Agama Yang Dianut Oleh Suku Anak Dalam ... 64

Tabel 7 Penggunaan Bahasa Suku Anak Dalam ... 76

Tabel 8 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ”Bagaimanakah Kehadiran

SAD Setelah Mengikuti Program Trans Sosial” ... 93

Tabel 9 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ”Bagaimanakah

Tanggapan Masyarakat Terang Ketika SAD Hidup Berdampingan

Dengan Mereka” ... 96

Tabel 10 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ” Dengan Siapakah Anda

(11)

Tabel 11 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ” Jika Anda Kesulitan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sasudungan

Gambar 2 Pondok di Ladang

Gambar 3 Suku Anak Dalam Memakai Cawat

Gambar 4 Suku Anak Dalam Memakai Baju

Gambar 5 Perumahan Suku Anak Dalam Pasca Trans Sosial

(13)

ABSTRAKSI

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki

keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki lebih

dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang

berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Suku bangsa merupakan bagian dari

suatu Negara. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus penduduk 2010 mendata

ada 10.030 orang suku terasing di Indonesia. Diantaranya di Provinsi Sumatera Barat

terdapat sebanyak 70 orang, di provinsi Jambi 3.198 orang, Kalimantan Timur 15

orang, Sulawesi Tengah 4.516 orang, Maluku 1.087 orang, Maluku Utara 27 orang,

Papua 865 orang dan Papua Barat 252 orang.

Pada umumnya, mereka tersebar di pedalaman hutan Indonesia dengan hidup

dari memanfaatkan hasil hutan, seperti berburu hewan dan tumbuh – tumbuhan yang

dapat dimakan dan dapat dijadikan obat. Salah satu Suku Primitif atau terasing di

Indonesia adalah Suku Anak Dalam (SAD) yang berada di provinsi Jambi dan

bermukim di sekitar Bukit Dua Belas Jambi. Pada umumnya, orang – orang di luar

Suku Anak Dalam menyebut mereka sebagai Orang Rimba atau Orang Kubu.

Namun, Suku Anak Dalam tidak menyenangi sebutan diri mereka Orang Kubu atau

Orang Rimba di mana sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Hasil survei

Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah

(15)

dinyatakan sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBD). Kawasan ini

terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan

Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang

Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa

sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum

adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga

wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Provinsi Sumatera Selatan,

sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat

(lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan

Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai

Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya

sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh,

di mana sekitar 500 orang.

Kehidupan Suku Anak Dalam pada awalnya hanya untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya (Subsitensi). Namun, dengan pengaruh perkembang ilmu

pengetahuan teknologi dan adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini

mereka telah mengenal pengetahuan tentang pertanian dan perkebunan dengan

mengolah ladang padi, perkebunan sawit dan karet sebagai mata pencahariannya.

Walaupun demikian kegiatan berburu binatang seperti babi, kera, beruang, monyet,

ular, labi – labi, rusa, kijang dan berbagai jenis unggas lainnya masih merupakan

salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara

(16)

Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan

sistem perangkap dan jerat.

Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam hutan,

yaitu mengambil buah-buahan, dedaunan, akar-akaran dan tumbuh -tumbuhan

sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang

diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti

cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar

dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau,

dan rumbia. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata

pencaharian lainnya.

Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam

proses pemenuhan kebutuhan hidupnya sangat sederhana. Bangunan tempat

tinggalnya berupa bangunan pondok yang dikenal dengan sebutan Sasudungan

terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya. Konstruksi bangunannya

dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk

panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung

(bilik) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4

x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat

tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai

(17)

Gambar 1. Sasudungan Gambar 2. Pondok di ladang

Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam. Pertama

yang bermukim di dalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Kedua kelompok yang

hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya

bergandengan dengan pemukiman orang luar (orang kebiasaan atau masyarakat

umum) atau disebut dengan Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial.

Cara mudah membedakan ketiga kategori kelompok pemukiman SAD ini

adalah dengan melihat :

1. Bagi yang tinggal di hutan dan berpindah – pindah mereka dapat di tandai dengan,

Pakaiannya yang sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja dengan

menggunakan cawat.

2. Sedangkan yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai

dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum

lainnya yaitu menggunakan baju, sarung atau celana.

3. Bagi yang tinggal berdekatan dengan pemukimana masyarakat luar atau yang

(18)

kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah

pemukimannya.

Gambar 3. SAD Memakai Cawat Gambar 4. SAD Memakai Baju

Suku Anak Dalam yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat

luar umumnya telah mengikuti program yang telah diperkenalkan oleh pemerintah

yaitu Program Trans Sosial. Program tersebut bertujuan untuk mengubah kehidupan

Suku Anak Dalam. Mereka yang tadinya hidup didalam hutan, terisolasi dari

perkembangan zaman, dan sekarang tinggal di dekat daerah pemukiman masyarakat

luar, telah diikutkan ke dalam Program Trans Sosial Sehingga Suku Anak Dalam

tersebut berinteraksi secara langsung dengan masyarakat luar yang sebelumnya

mereka takuti, untuk berhubungan dengan orang luar selain lingkungan mereka dan

mau hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya. Adapun yang menjadi

faktor penyebab Suku Anak Dalam mengikuti Program Trans Sosial yaitu:

1. Kondisi Hutan yang semakin sempit dikarenakan penebangan hutan yang

kemudian dijadikan sebagai konservasi lahan tanaman perkebunan.

2. Semakin meningkatnya kebutuhan Suku Anak Dalam tetapi mata pencaharian

(19)

3. Salah satu anggota keluarga dari Suku Anak Dalam ada yang meninggal

dunia, sehingga keluarga tersebut harus meninggalkan hutan untuk beberapa

waktu lamanya.

4. Motif mencari dunia baru yang lebih baik dari sebelumnya.

Kehidupan Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial telah

mengalami perubahan, dimana pada awalnya mereka tinggal di sasudungan berubah

menempati rumah yang dibangunkan atau didirikan oleh pemerintah. Perubahan

dapat dilihat juga dari pakaian yang digunakan oleh Suku Anak Dalam, pada awalnya

Suku Anak Dalam menggunakan Cawat berubah menggunakan pakaian sebagaimana

masyarakat biasanya.

Dari uraian diatas terlihat bahwa Suku Anak Dalam yang mengikuti Program

Trans Sosial mengalami perubahan yang sangat cepat. Suku Anak Dalam dipaksa

untuk berubah walaupun Suku Anak Dalam tersebut tidak mampu, namun mereka

harus mampu mengikuti segala perubahan yang ada di depannya. Perubahan yang

dapat kita lihat dari tempat tinggal mereka yang sudah berubah yang tadinya berada

di dalam hutan, kini keluar hutan dan hidup berdampingan dengan masyarakat

sekitar. Cara hidup mereka juga ikut berubah terutama bagi Suku Anak Dalam yang

mengikuti Program Trans Sosial.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah ingin melihat, mengkaji dan menganalisis kehidupan Suku Anak

Dalam (SAD) di desa bukit suban kabupaten merangin provinsi jambi setelah

(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penelitian, yang menguraikan

apa yang akan dicapai dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak

lain yang berhubungan dengan peneliti tersebut. Adapun yang menjadi tujuan

penelitian adalah Memperoleh gambaran rinci mengenai kondisi Suku Anak Dalam

yang mampu dan yang tidak mampu mengikuti perubahan pasca Program Trans

Sosial di desa Bukit Suban Kabupaten Merangin.

1.4 Manfaat Penelitian

Setelah mengadakan penelitian ini, diharapkan manfaat penelitian ini berupa:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melatih dan mengembangkan

kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian di bidang ilmu sosial khususnya

dalam ilmu sosiologi serta diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada

pembaca mengenai Kehidupan Suku Anak Dalam di Desa Bukit Suban Pasca

Mengikuti Program Trans Sosial, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan teori pembaca.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan membantu memberikan masukan, data dan

informasi yang berguna bagi semua kalangan terutama mereka yang secara serius

mengamati masyarakat Suku Anak Dalam serta dapat memberikan masukan bagi

pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi

(21)

1.5 Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu

sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan

pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang

berkaitan satu dengan lainnya.

1. Trans Sosial merupakan sebuah program pemerintah yang dikhususkan

bagi Suku Anak Dalam. Trans Sosial ini bertujuan agar Suku Anak Dalam yang

tadinya berada di dalam hutan dan terisolasi dari peradaban dunia kemudian dapat

keluar dari hutan dan mencoba mengikuti perkembangan zaman serta dapat berbaur

dengan masyarakat lainnya. Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial

ini juga dapat mengikuti pendidikan bagi anak – anak mereka.

2. Suku Terasing, menurut Deputi Bidang Statistik Sosial adalah kelompok

atau komunitas masyarakat yang sifat kehidupannya terisolasi dibandingkan

masyarakat secara umum. Mereka teridentifikasi dalam satu kelompok berbeda –

beda dan memiliki batas wilayah dengan sifat sendiri – sendiri.

3. Budaya Melangun adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh Suku Anak

Dalam ketika salah satu anggota keluarga Suku Anak Dalam ada yang meninggal

dunia, sehingga anggota keluarga tersebut diharuskan meninggalkan tempat tinggal

mereka selama beberapa tahun.

4. Temenggung yaitu nama Kepala Suku Anak Dalam yang menangani,

mengawasi serta mensosialisasikan Program Trans Sosial kepada Suku Anak Dalam

(22)

5.Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat

membatalkan keputusan.

1.6 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini

adalah jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini

merupakan metode yang berusaha menggambarkan, memahami, dan menafsirkan

makna suatu peristiwa tingkah laku manusia dalam situasi tertentu serta

menginterpretasikan objek sesuai apa yang ada.

Pendekatan kualitatif sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tingkah

laku yang di dapat dari apa yang diamati oleh peneliti. Mengungkapkan sesuatu

dibalik fenomena, mendapatkan wawasan dari penelitian. Alasan menggunakan

penelitian kualitatif agar di dalam pencarian makna dibalik fenomena dapat dilakukan

pengkajian secara komperensif, mendalam, mendetail. Dimana di dalam penelitian

ini, penelitian kualiltatif dimaksudkan untuk mendiskripsikan persoalan Perubahan

Kehidupan yang Dialami oleh Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans

Sosial.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan Di Provinsi Jambi Kabupaten Merangin Desa Bukit

Suban. Lokasi penelitian ini berdekatan dengan Taman Nasional Bukit Dua Belas

(TNBD) dimana di Taman Nasional Bukit Dua Belas terdapat Suku Anak Dalam

yang tinggal di dalam hutan dan masih belum mengikuti Program Trans Sosial.

Alasan penulis memilih lokasi penelitian karena di desa bukit suban terdapat Suku

(23)

1.8 Unit Analisis

Salah satu cara atau karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan

apa yang disebut “unit of analysis”. Hal ini dimungkinkan, karena setiap objek

penelitian memiliki ciri dalam jumlah yang cukup luas seperti karakteristik individu

tentunya meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial dan tingkat

penghasilan. Ada sejumlah unit analisis yang lajim digunakan pada kebanyakan

penelitian sosial yaitu individu, kelompok, organisasi, sosial. Unit analisis data

adalah satuan tertentu yang di perhitungkan sebagai subjek penelitian.

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah kelompok

masyarakat Suku Anak Dalam yang berada di daerah Trans Sosial Desa Bukit Suban,

Kabupaten Merangin, provinsi Jambi.

1.9 Informan

Informan adalah orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian.

Adapun yang menjadi informan yang menjadi subjek penelitian ini adalah Suku Anak

Dalam yang terlibat atau yang menjadi pelaku langsung dalam masalah penelitian.

Masyarakat yang memiliki pengalaman dan yang lahir dan berada di daerah tersebut

dan orang-orang yang memahami Program Trans Sosial.

Adapun yang menjadi informan adalah:

1. Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial

2. Temenggung atau Pemimpin Adat Suku Anak Dalam

3. Pemerintah yang menjadi Panitia Program Trans Sosial

4.Masyarakat yang tinggal di daerah Trans Sosial

(24)

1.10 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai

berikut :

1.10.1 Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi

untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:

a. Observasi

Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung untuk

memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam penelitian ini peneliti

hanya berperan sebagai pengamat. Observasi dilakukan untuk mengamati objek di

lapangan. Seperti mengamati kehidupan Suku Anak Dalam yang tadinya mereka

hidup di dalam hutan dan tinggal di sasudungan berubah menjadi tinggal di luar hutan

dan menempati rumah yang diberikan oleh Pemerintah. Serta mmengamati perubahan

tingkah laku Suku Anak Dalam ketika berbaur dengan masyarakat terang.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam, bertujuan untuk memperoleh keterangan, pendapat

secara lisan dari seseorang dengan berbicara langsung ataupun tanya jawab dengan

informan. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data secara mendetail tentang Suku

Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial. Seperti memperoleh data

(25)

mengenai Jumlah Suku Anak Dalam yang ada di Provinsi Jambi, dampak yang

didapatkan ketika Suku Anak Dalam mengikuti Progran Trans Sosial.

1.10.2 Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber

skunder yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari beberapa

literatur diantaranya adalah buku – buku referensi, dokumen, majalah, jurnal ataupun

internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti . Oleh karena itu, sumber

data sekunder diharapkan dapat berperan membantu, mengungkapkan data yang

diharapkan, membantu memberi keterangan sebagai pelengkap dan bahan

pembanding (Bungin, 2001 : 129).

2.1 Interpretasi Data

Merupakan metode penganalisaan data dengan cara menyusun data,

mengelompokkannya dan menginterpretasikannya, sehingga diperoleh gambaran

bagaimana keadaan Suku Anak Dalam Setelah Mengikuti Trans Sosial tersebut.

Selain itu interpretasi data adalah sebuah tahap dalam upaya menyederhanakan data

yang sudah diperoleh dari hasil penelitian di lapangan maupun hasil studi

kepustakaan. Data-data yang diperoleh, ditelaah, dikelompokkan sesuai dengan

permasalahan dari peneliti yang dilakukan. Observasi akan diuraikan untuk

memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Berdasarkan data yang

diperoleh diinterpretasikan untuk menghasilkan data secara terperinci dan sistematis

(26)

2.2 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian mencakup uraian tentang keterbatasan dan hambatan

yang ditemui dalam penelitian, baik yang berkaitan dengan metode dan teknik

penulisan yang digunakan, maupun keterbatasan peneliti sendiri.

1. keterbatasan penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah tempat

penelitian yang sangat jauh dari kampus tempat peneliti mengikuti kuliah.

Daerah yang menjadi tempat penelitian yaitu di Desa Bukit Suban

Kabupaten Merangin Provinsi Jambi

2. Kendala yang dihadapai oleh peneliti yaitu sulitnya menjumpai temenggung

Suku Anak Dalam. Untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai

kehidupan Suku Anak Dalam yang masih berada di dalam hutan dan Suku

Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial.

3. Kendala yang dihadapi oleh peneliti selanjutnya adalah ketika menemui

Suku Anak Dalam yang menjadi informan. Karena kebanyakan dari Suku

Anak Dalam banyak yang tidak bisa ditemui.

4. Keterbatasan selanjutnya yaitu ketika peneliti melakukan wawancara

kepada Suku Anak Dalam. Karena keterbatasan bahasa dan kurangnya

pengetahuan Suku Anak Dalam tersebut, maka Suku Anak Dalam yang

menjadi informan harus didampingi oleh temenggung Tarib.

5. Kendala yang ditemukan oleh peneliti ketika di lapangan adalah disaat

peneliti menyebarkan Kuesioner kepada Suku Anak Dalam. Kesulitan

(27)

dikuesioner membuat peneliti harus mendampingi Suku Anak Dalam untuk

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL 2.1 Kearifan Suku Anak Dalam

Dwi Fitri (2011) menyebutkan dalam jurnal yang berjudul Kearifan Suku

Anak Dalam mengatakan bahwa manusia modern seperti kita sekarang ini merupakan

keturunan dari manusia pemburu dan peramu (cro magnon) yang sehari-harinya

mengumpulkan buah-buahan, akar-akaran, serta berburu hewan liar. Di Indonesia,

manusia pemburu dan peramu masih dapat ditemui di sepanjang aliran sungai

Provinsi Jambi. Mereka adalah Suku Anak Dalam yang merupakan salah satu

komunitas masyarakat asli yang hidup di Jambi. Suku Anak Dalam atau Orang

Rimba adalah masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan terutama di pulau

Sumatera. Pada umumnya, mereka menempati areal hutan atau daerah sepanjang

bantaran sungai yang terdapat di Provinsi Jambi. Di Provinsi Jambi Suku Anak

Dalam dapat ditemui di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas atau areal

bantaran Sungai Beruang di kabupaten Muarajambi dan Batanghari.

Kehidupan Suku Anak Dalam ketika berada di hutan sehari – hari bergantung

dengan alam. Kegiatan berburu menjadi aspek penting dilakukan karena dengan

itulah masyarakat Suku Anak Dalam mampu bertahan hidup.Pada umumnya mereka

mencari rotan, damar, buah jerenang (sejenis buah untuk pewarna pakaian), getah

jelutung untuk karet pohon, getah balam merah untuk karet sampai berburu binatang.

Hasil pencarian dan perburuan tersebut sebagian besar akan dijual oleh masyarakat

Suku Anak Dalam untuk memenuhi kebutuhan harian mereka dan sisanya

(29)

tinggal mereka. Suku Anak Dalam memenuhi kebutuhan mereka tidak hanya berburu

saja, sebagian dari Suku Anak Dalam biasanya melakukan cocok tanam seperti

ubi-ubian. Mereka juga menjual rotan, karet, serta jerenang kepada masyarakat luar

rimba. Dari hasil penjualan itu, mereka membeli bahan kebutuhan pokok seperti gula,

kopi, atau garam.

Adanya pertukaran barang antara masyarakat luar rimba dengan Suku Anak

Dalam membuktikan adanya keterbukaan dari Suku Anak Dalam terhadap dunia luar.

Beberapa Suku Anak Dalam bahkan menetap di luar rimba dan menyesuaikan diri

dengan kehidupan Masyarakat Melayu atau Transmigran di sana. Sebagian Suku

Anak Dalam juga telah mengenal teknologi (telepon genggam), pendidikan (sekolah),

dan alat transportasi (motor) yang memberikan jalan bagi mereka untuk belajar

banyak hal baru. Meski demikian, Suku Anak Dalam mengalami Culture Shock yang

disebabkan oleh ketidakterbatasan mereka berhadapan dengan hal – hal yang baru.

Mengenai pendidikan, warga Suku Anak Dalam yang enggan menyekolahkan

anaknya, biasanya bermuara karena persoalan jauhnya sekolah. Hal itu menyebabkan

sang orangtua tidak bisa mengajarkan tentang pengetahuan lokal mereka yang berupa

adat istiadat serta kemampuan bertahan hidup dengan berladang dan berburu di hutan

secara maksimal, karena pengaruh budaya yang ada di sekitar mereka sudah berubah.

Sekarang, para guru memiliki cara dengan metode jemput bola, yakni pengajar

datang langsung ke lokasi dan mendidik anak Suku Dalam untuk bisa menjadi

pengajar bagi masyarakatnya. Pengetahuan lokal Suku Anak Dalam sangat spesial,

yang paling menarik adalah pendidikan tentang seks serta pembelajaran tentang

(30)

Meski sering dianggap primitif serta terbelakang bagi masyarakat luar rimba

atau Masyarakat Terang, warga Suku Anak Dalam justru sangat terbuka dalam

membicarakan persoalan pendidikan seksualitas. Seks menjadi sesuatu hal yang biasa

untuk dibicarakan di sana, bukan hal yang tabu. Misalnya saja, ketika seorang

pengantin lelaki bercerita tentang pengalaman malam pertamanya, ia melakukan

tanpa malu-malu. Sementara di sampingnya, ada beberapa anak kecil yang juga

mendengarkan. Hal ini menjadi unik ketika mengetahui fakta tidak ada kasus

pemerkosaan yang dilakukan oleh warga Suku Anak Dalam di luar keterbukaan

mereka terhadap seksualitas.

Menurut Suku Anak Dalam semua persoalan seksualitas itu berasal dari

pikiran. Kalau Suku Anak Dalam memiliki pikiran jahat maka, ketika seorang

perempuan berpakaian tertutup pemerkosaan bisa saja terjadi. Namun, ketika Suku

Anak Dalam memiliki pikiran yang baik maka, ketika perempuan Suku Anak Dalam

bertelanjang dada akan biasa – biasa saja. Sementara itu, mengenai proses persalinan,

warga Suku Anak Dalam, biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk melihat

langsung proses persalinan dan perjuangan sang ibu dalam menyampaikan sang bayi

selamat sampai ke dunia. Dengan metode seperti itu, anak-anak Suku Anak Dalam itu

bisa lebih berempati terhadap perempuan serta menghormati kaum ibu melalui proses

persalinan secara alamiah.

2.2 Suku Anak Dalam Masih Melestarikan Budaya Leluhur

Dalam jurnal Humaniora Sosial Kemasyarakatan dituliskan bahwa Suku Anak

Dalam pria dan wanita nyaris bertelanjang tampak santai berjalan tanpa alas kaki

(31)

vital. Sebagian perempuan juga hanya memakai selembar kain penutup bagian bawah

tubuh saja dan membiarkan dada mereka kelihatan. Kulit mereka gelap dan tampak

kasar akibat terkena sinar matahari dan hawa dingin secara bergantian setiap hari.

Itulah gambaran orang rimba atau Suku Anak Dalam. Warga Suku Kubu yang

dikenal dengan Suku Anak Dalam sebagai Komunitas Adat Terpencil di Provinsi

Jambi dan salah satu Suku Terasing di Provinsi Jambi.

Sekitar 1.300 orang rimba atau Suku Anak Dalam masih hidup di tepi-tepi

aliran sungai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektar

itu mereka tinggal terpisah-pisah di tiga kabupaten, Batanghari, Sarolangun, dan

Tebo. Orang asing tidak bisa sembarangan masuk ke hutan tempat tinggal orang

rimba. Di depan gerbang ada tulisan pada papan, dilarang Memotret dan Syuting.

Aturan itu sangat ketat dan kaku. Terutama mengambil gambar perempuan dan

rumah godong (rumah terbuat dari kayu beratap rumbiyak). Pelanggar aturan itu akan

dikenai denda kain, mulai 10 lembar hingga 50 lembar, bergantung keputusan depati

(pejabat adat yang bertugas menyelesaikan sengketa).

Banyak aturan lain yang ketat yang diterapkan oleh Suku Anak Dalam. Pria

asing boleh masuk hutan kalau ditemani pria rimba atau pria Suku Anak Dalam.

Setiap masuk harus berteriak terlebih dahulu. “Ado jentan kiuna” (Ada laki-laki di

sana?). Setelah mendapat jawaban, baru bisa masuk. Peraturan lainnya adalah Pria

yang harus tetap mengenakan penutup bawah. Jika melanggar, si pria juga akan

didenda membayar sejumlah kain. Ada juga peraturan yang mengatakan bahwa Pria

(32)

dikawinkan paksa. Tapi, sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan

sebagai hukuman karena telah mempermalukan orang tua.

Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4

meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk

menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa

menanam kelapa sawit. Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan

makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas

tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup

mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun.

Orang rimba atau Suku Anak Dalam memang sudah terbiasa dengan kehidupan

di dalam hutan. Mereka menolak tinggal di rumah. Rencananya Menteri PDT yaitu

Saifullah Yusuf memberikan bantuan rumah untuk Suku Anak Dalam, namun ditolak

oleh Suku Anak Dalam karena menurut mereka rumah tidak begitu penting bagi

mereka, hutan rimba adalah hal terpenting bagi Suku Anak Dalam. Menurut Tarib,

pernah mereka mendapat rumah beratap seng. Tapi, mereka meninggalkan rumah itu.

Karena Suku Anak Dalam meyakini bahwa ketika mereka tinggal di dalam rumah

yang beratapkan seng maka leluhur Suku Anak Dalam tidak bisa masuk.

2.3 Kebudayaan Suku Anak Dalam

Dalam jurnal Kebudayaan mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu

Negara yang memiliki ribuan suku bangsa ya ng beraneka ragam. Masing-masing

daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain atau

kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Suku Anak

(33)

Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak

Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh

dari jangkauan orang-orang.

Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu atau Orang Rimba. Menurut

tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Melayu sesat yang lari ke hutan

rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian

dinamakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka adalah hidup secara

nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu,

walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun

pertanian lainnya. Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka

mempercayai banyak dewa.

Suku Anak Dalam memiliki dewa dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada

dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka

juga percaya adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka.

Suku Anak Dalam juga Sangat antusias terhadap pendidikan. Mereka sangat

bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah

akan tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan

bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar atau

masyarakat biasa.

Kebudayaan Suku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat

Terpencil ( KAT ) yang ada di Propinsi Jambi yang mempunyai permasalahan

spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini

(34)

dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat

tergantung dengan hasil hutan / alam dan binatang buruan.

Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu,

karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda,

yaitu Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh

terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu

memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan

Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan

etnografer pada awal abad ini. Kedua SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan

oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang

terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah

mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan

dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT).

Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk

menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai

etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan

ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep

Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya. Suku Anak Dalam masih berpaham

animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang

melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak

merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Kekayaan alam bisa

(35)

berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika

khusus

2.4 Suku Anak Dalam Pertahankan Hutan Dengan Hompongan

Jurnal Kebudayaan mengatakan bahwa Kelompok Orang rimba dari Suku

Anak Dalam (SAD) yang menempati kawasan Air Hitam kabupaten Sarolangun,

Jambi mempunyai cara khas untuk menjaga kelestarian Taman Nasional Bukit Dua

Delas yang menjadi tempat hidup mereka dengan pola ’Hompongan’. Semenjak 1998

kita orang rimba SAD yang mendiami TNB12 di Air Hitam ini sudah merintis

terbentuknya ‘Hompongan’, yakni dengan menetapkan satu kawasan terluar hutan

TNBD untuk jadi kawasan mencari nafkah dan kehidupan bagi para orang rimba.

Hompongan yang dirintis oleh Suku Anak Dalam dan diperlihatkan oleh

Temenggung Tarib kepada Presiden pada tahun 2006 lalu membawa dia sebagai salah

seorang penerima Kalpataru kategori penyelamat lingkungan dari presiden,

sebenarnya selain sebagai lahan bagi SAD atau yang lebih populer disebut Suku

Kubu juga sekaligus jadi pagar atau penyangga bagi keberadaan TNBD. Hompongan

berasal dari kata Hempangan atau penghalang dalam bahasa melayu, jadi dengan

Hompongan kita kelompok SAD taat pada adat dan hukum jadi penjaga TNB12 dari

orang-orang yang berniat jahat seperti merambah hutan atau mencuri kayu karena,

Suku Anak Dalam Akan mencegah pencuri digerbang pembatas. Pola Hompongan

tersebut terbukti sangat efektif menjaga kelestarian TNB12 yang hingga kini semakin

lestari dan berkembang menjadi salah satu objek wisata andalan provinsi Jambi.

Pola Hompongan itu sendiri, awalnya hanyalah salah satu cara bagi kelompok

(36)

berladang berpindah-pindah yang bisa merusak banyak kawasan hutan. Dengan

Hompongan mereka membatasi sendiri ruang geraknya untuk melakukan nomaden,

kini Suku Anak Dalam mencari hidup hanya dari kawasan Hompongan ini, Suku

Anak Dalam bermukim di sini, jadi ketika ada orang dari luar yang masuk tanpa izin

sudah pasti akan tertahan di Hompongan yang selanjutnya mereka harus menjalani

proses interogasi sesuai peraturan adat SAD.

Karena dinilai berhasil dan efektif membantu melestarikan serta menjaga

alam, maka pola tersebut telah pula ditetapkan dan diujicobakan penerapannya

kepada kelompok-kelompok SAD lainnya di disisi lain hutan TNB12 tersebut yang

masih terus dilakukan hingga kini. Namun sayangnya upaya pemerinah mencoba

menerapkan pola ini di kelompok lain banyak mengalami kegagalan, semua itu

dikarenakan pola pikir dan penerimaan kelompok SAD tersebut tidak sama diantara

semua kelompok yang ada. Maka diantara mereka ada pula yang justru menjual

Hompongannya ke masyarakat dari luar bahkan kepada para toke atau tengkulak.

2.5 Program Trans Sosial (Transmigrasi Sosial)

Transmigrasi terdiri dari dua kata yaitu Trans yang artinya Seberang, dan

Migrace yang artinya Pindah. Transmigrasi adalah suatu program yang dibuat oleh

Pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat

penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Tujuan resmi

Program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk. Tujuan

lainnya yaitu Memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja dan memenuhi

(37)

Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi

dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai berikut :

1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan

3. Mendukung Pemerintah investasi ke seluruh wilayah Indonesia

4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan

5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan,

transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk melainkan upaya

untuk pengembangan wilayah.

Metodenya tidak lagi bersifat Sentralistik dan top down dari Jakarta,

melainkan berdasarkan kerja sama antar daerah pengirim transmigran dan dengan

daerah tujuan transmigrasi. Transmigrasi di Indonesia biasanya diatur dan didanai

oleh Pemerintah kepada warga yang umumnya golongan menengah kebawah.

Sesampainya ditempat transmigrasi para transmigran akan diberikan sebidang tanah,

rumah sederhana dan perangkat lain untuk penunjang hidup dilokasi tempat tinggal

yang baru.

Dasar Undang – undang yang digunakan untuk program ini adalah Undang –

undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian,

sebelumnya Undang – undang Nomor 3 Tahun 1972 dan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Transmigrasi,

sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973 ditambah beberapa KEPPRES dan INPRES

pendukung.

Jenis – jenis atau Macam – macam Transmigrasi :

(38)

Adalah transmigrasi yang disponsori dan dibiayai secara keseluruhan oleh

pihak Pemerintah melalui DEPNAKERTRANS (Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi).

2. Transmigrasi Spontan atau Swakarsa

Adalah perpindahan penduduk dari daerah padat kepulau barusepi penduduk

yang didorong oleh keinginan diri sendiri namunmasih mendapatkan bimbingan serta

fasilitas penunjang dari Pemerintah.

3. Transmigrasi Bedol Desa

Adalah transmigrasi yang dilakukan secara masal dan kolektif terhadap satu

atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah kepulau yang jarang penduduk,

biasanya transmigrasi Bedol Desa terjadi karena bencanan alam yang merusak desa

tempat asalnya.

Kehidupan Suku Anak Dalam pada awalnya tinggal di dalam hutan terisolasi

dari perkembangan zaman dan tidak mengenal hukum. Suku Anak Dalam hanya

mengenal dan taat akan hukum adat mereka saja, dan buta akan hukum Negara

Indonesia. Kehidupan Suku Anak Dalam yang demikian maka Pemerintah

menerapkan Program Trans Sosial bagi Suku Anak Dalam yang bertujuan agar

kehidupan Suku Anak Dalam lebih baik daripada yang dulu.

Suku Anak Dalam hidup di dalam hutan, jadi pemerintah meminta bantuan

kepada Temenggung Tarib untuk melakukan pendekatan kepada Suku Anak Dalam

yang ada di dalam hutan agar mengikuti Program Trans Sosial. Tetapi, Suku Anak

Dalam yang berada di dalam hutan sangat susah untuk dibujuk agar mau mengikuti

(39)

kebutuhan mereka. Belum lagi Suku Anak Dalam takut untuk bertemu dengan

Masyarakat Terang (julukan yang di berikan Suku Anak Dalam bagi masyarakat

umum). Mereka berangggapan bahwa Masyarakat Terang itu pemakan manusia,

sehingga mereka tidak mau bertemu dengan Masyarakat Terang.

Temenggung Tarib melakukan pendekatan kepada Suku Anak Dalam di saat

mereka meninggalkan hutan (budaya melangun). Saat Suku Anak Dalam keluar dari

hutan, mereka membuka hutan dan menjadikan lahan untuk mereka. Tetapi, lahan

tersebut ditanami jagung dan singkong. Suku Anak Dalam tinggal di sekitar lahan

mereka tersebut dengan mendirikan sudung (sebutan untuk rumah panggung yang

didirikan oleh Suku Anak Dalam) untuk menjadi rumah mereka. Disaat Suku Anak

Dalam keluar dari hutan dan membuka lahan Tumenggung Tarib melakukan

pendekatan dan mengajak Suku Anak Dalam untuk mengikuti program Trans Sosial.

Pemerintah memberikan fasilitas bagi Suku Anak Dalam yang mengikuti Program

Trans Sosial yaitu membuatkan perumahan dan memberikan bibit sawit bagi mereka

yang mengikuti Program Trans Sosial. Segala kegiatan dan fasilitas yang telah

diberikan oleh Pemerintah berupa :

1. Tahun I, 2008 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan beberapa rangkaian

kegiatan antara lain :

a. Bimbingan sosial

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan peraltan kerja dan usaha

d. Bantuan peralatan rumah tangga

e. Bantuan bibit tanaman

2. Tahun II, 2009 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan kegiatan antara lain :

(40)

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan pembangunan rumah sederhan ukuran 6 x 6

3. Tahun III, 2010 ini dilaksanakan beberapa kegiatan, antara lain :

a. Bimbingan sosial

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan pembangunan Balai Sosial

d. Bantuan pembangunan Sarana Ibadah

e. Bantuan jalan lingkungan sepanjang 5 km

f. Sertifikasi rumah dan lahan usaha

g. Pembangunan tugu / monumen pemberdayaan KAT (Komunitas Adat

Terpencil)

Gambar 5 Perumahan SAD Pasca Trans Sosial

Perumahan yang didirikan oleh pemerintah di atas lahan Suku Anak Dalam

sendiri. Bibit yang diberikan oleh pemerintah tersebut mereka tanam dan rawat.

Pemerintah dengan sabar menuntun Suku Anak Dalam untuk merawat tanaman sawit

tersebut agar menghasilkan buah yang baik. Perawatan yang diberikan seperti

mengikir rumput dan ilalang yang ada disekitar batang sawit, memberikan pupuk

dengan teratur dan tidak lupa menjaga tanaman sawit agar tidak dimakan oleh hama

(41)

akhirnya menghasilkan buah yang baik. Suku Anak Dalam dengan semangat

memanen hasil perkebunan sawit mereka. Menjual buah sawit mereka kepada

tengkulak sawit. Suku Anak Dalam dengan didampingi oleh Temenggung Tarib

merawawat dan menjaga agar kebun sawit mereka menghasilkan buah yang baik lagi.

Belum sampai mereka menikmati hasil panen yang ketiga kalinya, Suku

Anak Dalam menjual kebun sawit mereka kepada orang dusun. Karena Suku Anak

Dalam yang tadinya hidup di dalam hutan dengan segala hasil hutan yang bisa

mereka makan, sedangkan ketika mereka hidup di luar hutan mereka harus menunggu

kebun sawit mereka berbuah dan panen. Serta harus merawat dan menjaga agar kebun

sawit mereka menghasilkan buah yang baik. Hal ini yang membuat Suku Anak

Dalam tersebut malas dan tidak mau berkebun lagi dan menjual kebun sawit mereka

dengan harga relatif murah.

Hasil penjualan kebun tersebut di gunakan mereka untuk senang – senang

yaitu membeli rokok, minuman keras dan buat makan sehari – hari. Setelah uang

mereka habis Suku Anak Dalam tidak memiliki mata pencharian lagi sehingga lahan

perkebunan yang tadi sudah dijual kembali dijual lagi kepada orang lain tanpa

sepengetahuan pembeli pertama dan pembeli yang kedua ini juga tidak mengetahui

kalau lahan perkebunan sawit yang dibeli sudah pernah dijual. Hal ini mengakibatkan

konflik bagi para pembeli lahan tersebut, pembeli tersebut bersikeras bahwa mereka

yang memiliki lahan perkebunan tersebut tanpa ada yang mengalah.

Hal ini tidak membuat Suku Anak Dalam jera, tetapi mereka tetap saja

menjual lahan perkebunan tersebut kepada pembeli yang tidak mengetahui bahwa

(42)

kasus lahan ini di bawa ke jalur hukum, Suku Anak Dalam tidak mau mengikuti

hukum yang berlaku, tetapi mereka tetap bersikeras menggunakan hukum adat

mereka. Mereka tidak mengerti akan hukum negara yang berlaku. Keadaan ini tentu

saja membuat masyarakat bingung. Dalam hal apapun Suku Anak Dalam memiliki

sifat yang memikirkan keuntungan. Seperti kejadian ini jika hukum negara dapat

menguntungkan mereka maka, mereka akan memakai jalur hukum negara. Namun,

jika hukum adat yang menguntungkan mereka maka hukum adatlah yang mereka

gunakan.

Di daerah Kabupaten Merangin tepatnya di Desa Muara Delang terdapat

sebuah PT. Sari Aditya Loka I yang kosentrasinya pada buah sawit. PT tersebut

mengadakan program bantuan bagi Suku Anak Dalam yang ada di Bukit Dua Belas,

yaitu memberikan mereka bantuan lahan perkebunan. Dengan tujuan agar Suku

Dalam memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun, tetap saja lahan tersebut

mereka jual kepada Masyarakat Terang. Sehingga, Suku Anak Dalam tidak memiliki

lahan perkebunan lagi. Suku Anak Dalam yang tidak memiliki lahan tidak bisa

bekerja karena mereka tidak memiliki izajah. Sehingga, Suku Anak Dalam banyak

yang mencuri sawit warga dan membuat warga resah, karena Suku Anak Dalam tidak

bisa di nasehati. Mereka beranggapan bahwa segala pohon dan tumbuhan maupun

hewan adalah milik nenek moyang mereka, sehingga mereka dapat memakan dan

(43)

BAB III

MENGENAL SUKU ANAK DALAM SEBELUM MENGIKUTI PROGRAM TRANS SOSIAL

3.1 Mengenal Suku Anak Dalam

Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini

tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari

mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka. Sejarah

lisan Orang Rimba selalu diturunkan oleh para leluhur. Tengganai Ngembar (80

tahun), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional

Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang

Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.

Pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga

dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan

Moyang Segayo.

Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung,

Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih

baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan

tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu. Versi kedua ini

lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara

bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba atau Suku Anak Dalam juga menganut

sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang

(44)

empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang. Empat hukum yang di buat

untuk manusia dengan Penciptanya dan Empat hukum yang ditujukan kepada

manusia dan sesamanya.

Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri,

terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan

bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat. Sedangkan perilaku Orang

Rimba terbelakang, disebabkan beratus tahun yang lalu moyang mereka hidup di

tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan

bergantung pada alam.

“…Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba..” 1

Mereka hidup semi nomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat

ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi karena “melangun” atau berpindah lokasi

perkampungan ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka

ladang baru.

Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak

di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.

Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Suku Anak Dalam.

Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa

sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum

adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

1.Wawancara dengan BapakTenggani. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi

(45)

Suku Anak Dalam memiliki hukum sendiri di dalam rimba. Mereka

menyebutnya seloka adat.

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:

Bertubuh onggok berpisang cangko beratap tikai berdinding baner melemak buah betatal

minum air dari bonggol kayu. Ada lagi:

berkambing kijang berkerbau tenu bersapi ruso

Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan.

Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan

buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil

dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam

hutan, dan rusa yang diperoleh dari berburu di hutan. Identitas Orang Rimba yang

tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang sebutan untuk masyarakat

di desa.

Mereka membuat seloka tentang orang terang:

berpinang gayur

berumah tanggo

berdusun beralaman

beternak angso

Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup

sosial di rimba. Aturan-aturan Suku Anak Dalam memang tidak jauh dari Pucuk

(46)

adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika

dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai

sangat berat, dan sangat sulit disanggupi. Namun demikian Orang Rimba berusaha

untuk mematuhi. Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga

Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain di sekitar TNBD. Tumenggung Tarib,

pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah

keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk

sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.

Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga

pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD),

menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan

dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola,

sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang

Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak

ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu,

membangun komunitas baru di daerah terpencil. Sebenarnya, masyarakat SAD tidak

jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya

lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun,

Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD. Salah satu

buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten

Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang,

dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang

(47)

3.1.1 Berbagai Versi Tentang Asal – usul SAD

Tentang asal usul Suku Anak Dalam beberapa sumber menyebutkan adanya

berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperi Cerita Buah

Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita

Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan

Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita

tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam

berasal dari tiga turunan yaitu:

1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten

Batanghari.

2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian

Mersam (Batanghari).

3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko

Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990)

menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika

Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun,

terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun

1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok Masyarakat Anak

Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda.

Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa

Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang

palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya

(48)

dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito ). Konon mereka

tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.

Versi lain adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir

pada tahun 1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin

oleh Raden Perang. Raden Perang adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam

perang gerilya Anak Dalam terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang

tak mau menyerah pada penjajahan Belanda. Orang belanda disebutnya orang Kayo

Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).

Lebih lanjut tentang asal usul Suku Anak Dalam ini juga dimuat pada seri

Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos, 1988 ) dengan kisah sebagai berikut:

Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di

pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim

oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar

oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Putri Selaras Pinang Masak. Untuk

menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit

yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras

Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan

Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum

menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan kerajaan Jambi sangat jauh,

harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki.

Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai

menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah

(49)

Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk

mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindarkan rasa malu, mereka

mencari tempat tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan

mereka makin lama makin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku

Anak Dalam.

Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat,

1993) bahwa asal mula adanya Masyarakat Terasing dapat di bagi dua yaitu pertama,

dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu

produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang.

Kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena

peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil

sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.

Menurut Van Dongen (1906), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang

primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam

hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan (Silent trade), mereka

melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter,

mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil

dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.

Demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu

(melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan

(50)

3.1.2 Ciri – ciri fisik dan non fisik

Suku Anak Dalam termasuk golongan ras Mongoloid yang termasuk dalam

migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit

sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang

dewasa banyak makan sirih. Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi

mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan

mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut

(51)

BAB IV

KEHIDUPAN SUKU ANAK DALAM DI LOKASI TRANS SOSIAL

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Mengenai Kab. Merangin Prov. Jambi

Berdasarkan Keputusan Sidang Komite Nasional Indonesia (K.N.I) Sumatera

di Bukit Tinggi pada tahun 1946 ditetapkan bahwa Pulau Sumatera dibagi menjadi

tiga sub Propinsi, yaitu Sub Propinsi Sumatera Utara, Sub Propinsi Sumatera Tengah,

Sub Propinsi Sumatera Selatan. Kemudian dengan UU Nomor 10 tahun 1946 sub

propinsi tersebut ditetapkan menjadi propinsi, dimana daerah Kepresidenan Jambi

yang terdiri dari Kabupaten Batang Hari, dan kabupaten Merangin tergabung dalam

Propinsi Sumatera Tengah. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957

yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 1958, dibentuklah

Propinsi Daerah Tingkat I Jambi yang terdiri dari Kabupaten Batang Hari,

Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci. Dalam perjalanan sejarah, dengan

dibentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, yang sekaligus juga dibentuknya

Kabupaten Merangin (pada saat ini adalah Kabupaten Merangin, Kabupaten

Sarolangun, Kabupaten Bungo Tebo) yang beribukota di Bangko. Kemudian ibukota

Kabupaten Merangin dipindahkan ke Muara Bungo yang diputuskan melalui sidang

DPRD.

Selanjutnya, dengan adanya gerakan PRRI tahun 1958 Kantor Bupati

Merangin di bakar dan dibangun kembali pada tahun 1965 sebagai persiapan Kantor

Bupati Sarolangun Bangko. Setelah berdirinya Kabupaten Sarolangun Bangko

(52)

juga menempati bangunan tersebut. Setelah itu pindah ke Kantor yang baru di jalan

Jendral Sudirman Km2, sedangkan kantor lama menjadi Kantor Dinas Pendapatan

Daerah Tingkat II.

Dengan adanya pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 54 tahun 1999

tentang pembentukan Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo

dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, maka wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko

dimekarkan menjadi dua yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.

Kabupaten Sarolangun beribukota di Sarolangun dan Kabupaten Merangin beribukota

di Bangko. Dasar pembentukan wilayah Kabupaten Merangin adalah Undang-undang

Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo,

Kabupaten Muara Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (LN tahun 1999

Nomor 182, TLN Nomor 39030). Kabupaten Merangin merupakan Pengembangan

dari Kabupaten Sarolangun Bangko dan hari jadinya tanggal 5 Agustus 1965.

4.1.2 Letak Lokasi Dan Keadaan Alam

Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0,45° Lintang Utara, 2,45°

Lintang Selatan dan antara 101,10°-104,55° Bujur Timur. Kabupaten Merangin

adalah salah sat

populasi penduduknya berjumlah 251.283 jiwa. Ibu kotanya iala

ini merupakan pemekaran dari

kecamatan yang terbagi lagi menjadi 141 desa. Luas dan batas wilayah Kabupaten

Merangin:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaen Bungo

(53)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kerinci

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo Tebo

Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi

sekitarnya membuat peran Provinsi ini cukup penting terlebih lagi dengan dukungan

sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan masyarakat di kota-kota

sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan kebutuhan dari provinsi ini.

Kabupaten Merangin terdiri dari areal pemukiman, ladang, perkebunan

sawit, hutan, jalan dan lain-lain. Jika dibandingkan kabupaten lain yang berada di

Provinsi Jambi, Kabupaten Merangin merupakan kabupaten yang paling luas. Jarak

antara kelurahan dan kecamatan berkisar 30 menit dengan lama tempuh sekitar 45

menit dengan jalan yang sudah diaspal dimana di sepanjang kiri dan kanan perjalanan

terdapat rumah penduduk dan perkebunan sawit dan karet.

Gambar 6 Peta Kabupaten Merangin

4.1.3 Pola Pemukiman

Suku Anak Dalam pada awalnya tingggal di dalam hutan. Namun pada saat

(54)

tinggal di lokasi Trans Sosial. Suku Anak Dalam yang tinggal di lokasi Trans Sosial

memiliki rumah dan lahan perkebunan. Rumah yang di miliki Suku Anak Dalam

didirikan oleh Pemerintah, rumah tersebut terbuat dari papan dan beratapkan seng.

Suku Anak Dalam juga mendapatkan bibit sawit dari pemerintah. Bibit sawit tersebut

ditanam di lahan milik Suku Anak Dalam, tujuannya agar mereka memiliki

matapencaharian dan dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Pemukiman atau tempat tinggal Suku Anak Dalam berada di Desa Bukit

Suban, Kabupaten Merangin. Daerah tersebut sangat dekat dengan Taman Nasional

Bukit Dua Belas tempat Suku Anak Dalam yang belum mengikuti Program Trans

Sosial berada. Lahan kebun sawit yang di miliki oleh Suku Anak Dalam luasnya

bervariasi, ada yang memiliki 10 Ha dan ada juga yang memiliki 2 Ha saja. Luas

lahan tersebut tergantung dengan luas lahan yang di miliki oleh setiap Suku Anak

Dalam. Suku Anak Dalam yang memiliki kebun karet juga memiliki perbedaan luas

lahan, karena tergantung berapa banyak lahan yang dapat di buka dan ditanami pohon

karet oleh mereka.

Suku Anak Dalam memiliki Petuah yang dijunjung tinggi yaitu “segala

tumbuh – tumbuhan yang ada serta hewan yang ada di bumi milik mereka”. Petuah

tersebut memiliki dampak yang negatif bagi Masyarakat Terang, karena Suku Anak

Dalam dapat tinggal di tempat yang mereka inginkan. Lahan kebun sawit Masyarakat

Terang menjadi sasaran utama mereka, karena disaat Suku Anak Dalam tinggal di

lahan tersebut mereka mengambil buah sawit Masyarakat Terang. Sehinggga Petuah

yang mereka junjung tersebut menjadikan masalah bagi masyarakat yang ada di

(55)

mereka berhak atas hasil kebun masyarakat lainnya dan dapat tinggal di perkebunan

sawit Masyarakat Terang. Ketika masyarakat melaporkan kepada pihak yang

berwajib, Suku Anak Dalam tersebut berkata “semuanyo milik nenek

moyang”(Nyeneh ,34 tahun, laki –laki). Dengan demikian kasus tersebut tidak akan

pernah selesai dikarenakan Suku Anak Dalam menggunakan hukum adat mereka

sendiri dan tidak mau menggunakan hukum Negara yang berlaku.

4.1.4 Mata Pencaharian Suku Anak Dalam Di Lokasi Trans Sosial A. Pendapatan Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam memiliki pendapatan dari perkebunan, seperti Perkebunan

sawit, perkebunan karet, sayur – sayuran, buah – buahan, rotan dan berburu. Setiap

keluarga Suku Anak Dalam memiliki pendapatan yang berbeda tergantung dari hasil

perkebunan atau pertanian yang mereka dapatkan. Pendapatan mereka berbeda jauh

dengan Suku Anak dalam yang sudah tidak memiliki lahan perkebunan, dan hanya

memiliki pekerjaan sebagai pemburu babi hutan dan pengambil rotan.berikut tabel

mengenai pendapatan Suku Anak Dalam.

Tabel. 1. Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan “Berapakah Pendapatan Keluarga Anda Perbulan.”

No Pendapatan Jumlah Persentase (%)

1 > 4.000.000 20 57,14 %

2 < 4.000.000 15 42,86 %

Total 35 100 %

Sumber : Data Penelitian Lapangan (Kuesioner) Agustus 2012

Hasil dari data di atas adalah tingkat pendapatan Suku Anak Dalam yang

dibagi menjadi dua tingkatan yaitu keluarga yang memiliki pendapatan > 4.000.000

Gambar

Gambar 1. Sasudungan
Gambar 3. SAD Memakai Cawat
Gambar 5 Perumahan SAD Pasca Trans Sosial
Gambar 6 Peta Kabupaten Merangin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian dapat diajukan sebagai berikut. Peng- hitungan persepsi masyarakat lokal

Data-data yang terkait dengan perilaku konsumen ini diperoleh dengan metode survey dengan memakai skala linkert 1-5 pada setiap pertanyaan pada masing-masing dimensi

Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. 15 Elemen-elemen yang menjadi indikator untuk mengukur reliability

Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat telah ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun sebelum masehi, tetapi perkerasan jenis ini

Simpulan: Input, proses dan tindak lanjut pelaksanaan sistem rujukan pada kasus perdarahan post partum primer oleh Bidan Desa di wilayah kerja Puskesmas Bayat

Sedangkan realisasi belanja daerah sampai dengan triwulan III-2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (y-o-y) turun sebesar 14,54 persen atau menjadi Rp59,70 triliun dari

Waktu Penerimaan Dokumen oleh Tender Admin/ Pihak yang Dapat Dihubungi selama Proses Prakualifikasi / Time for Document Received by Tender Admin/ Contact Person during

biaya terkecil pada periode x adalah nilai yang berhubungan dengan periode dari Masa Layanan Ekonomis (MLE), yaitu nilai yang paling rendah dari masa harapan layanan aset periode