Prevalensi Tindakan Operatif Pada Pasien Tumor Orbita
RS HAM
Tahun 2011
–
2013
TESIS
Oleh:
Dr. Selly Azmeila SpM
Pembimbing
Dr.dr.Masitha Dewi Sari, M-Ked(OpH), SpM
Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni,Mkes
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIS ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBARAN PERSETUJUAN TESIS
Nama : dr. Selly Azmeila SpM
Nomor Mahasiswa : 137041038
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik
Judul Tesis : Prevalensi tindakan operatif pada pasien tumor orbita RS HAM
tahun 2011-2013
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Dr.dr.Masitha Dewi Sari, M-Ked(OpH), SpM Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni,Mkes
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya,
saya dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dalam bentuk tesis yang saya beri judul Pasien
Tumor Orbita Yang Dilakukan Tindakan Operatif Di Kamar Operasi RSUP H. Adam Malik
Periode Tahun 2011-2013 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.
Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan dan memberikan izin penelitian.
Yang terhormat dr. Delfi, M-Ked(OpH), SpM(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu
Kesehatan Mata, dr. Aryani A. Amra, M-Ked(OpH),SpM sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Kesehtan Mata yang telah memberikan dorongan semangat. Juga terima kasih saya untuk
Dr.dr.Masitha Dewi Sari, M-Ked(OpH),SpM dan Dr.dr.Arlinda Sari Wahyuni,Mkes sebagai
pembimbing tesis saya ini.
Untuk suami tercinta Dr.dr.Muhammad Fidel Ganis Siregar M-Ked(OG), SpOG(K) yang
memberikan motivasi yang sangat besar, serta doa dan pengertiannya sehingga penelitian ini
selesai. Juga untuk “The Two Lion∙s”, Muhammad Ernesto Azguevara Ganis Siregar (Neto) dan
Muhammad Alessandro Azcesare Ganis Siregar (Sandro) terimakasih atas pengertiannya dan
doanya. Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga untuk kedua orang tua saya yang
sangat saya sayangi, H. Hasan Asly Chan dan Hj. Zulhizwar S-psi atas motivasinya dan doanya
kepada penulis. Juga terima kasih kepada mertua saya dr. H. Marah Ganti Siregar SpPA dan Hj.
Fatimah Hasibuan.
Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya saya berharap
mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua. Akhirnya izinkan saya mohon
maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini,
Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amiin, Amiin Ya Robbal’alamin.
Medan, Januari 2014
Halaman
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rumusan Masalah 3 1.3. Tujuan Penelitian 3
1.3.1.Tujuan Umum 3
1.3.2.Tujuan Khusus 4
1.4. Manfaat Penelitian 4 BAB 2. KERANGKA TEORI 5 2.1.Orbita 5 2.2.Tumor Orbita 5 2.3.Palpebra 6
2.4. Protrusi Bola Mata 10
2.4.1. Proptosis 10 2.4.2. Pengukuran Nilai Protrusi Bola Mata 11
2.5. Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Protrusi Bola Mata 12
2.5.1.Usia 13 2.5.2.Jenis Kelamin 14
2.5.3.Antropometri 14
2.5.4. Parameter Orbita 15
2.5.5.Ras dan Etnis 15
2.5.6.Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata 15
2.7.Eksenterasi Orbita 17
2.7.1.Teknik Operasi Eksenterasi Orbita 17
2.8.Kornea 18
2.9.Retina 20
BAB 3. KERANGKA KONSEPSIONAL 23
3.1. Rancangan Penelitian 23
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 23
3.3. Populasi, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 23
3.3.1 Populasi 23
3.3.2 Sampel Penelitian 23
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 23
3.5. Desain Penelitian 23
3.6. Identifikasi Variabel 24
3.7. Defenisi Operasional 24
3.8. Alur Penelitian 25
3.9. Analisis Data 25
4. Hasil Penelitian 26
4.1.Analisis Data Univariat 26
4.2.Analisis Data Bivariat 28
5. Diskusi 31
6. Kesimpulan Dan Saran 33
7. Daftar Kepustakaan 34
LAMPIRAN 1:- Dummy Tabel 38
LAMPIRAN 2. Lembaran Penjelasan Pada Calon Subjek Penelitian 41
LAMPIRAN 3. Daftar Riwayat Hidup 42
LAMPIRAN 4: Keterangan Lolos Kaji Etik
Crosstabs
Master Tabel
Pendahuluan: Tumor orbita merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi tumor orbita di Negara-negara berkembang cukup tinggi.
Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita tumor orbita di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2013
Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita tumor orbita sebanyak 68 kasus.
Hasil Penelitian: Proporsi penderita tumor orbita menurut kelompok umur paling banyak pada range umur 41-50 tahun 20,6% atau umur >13 tahun 82,4%, dari segi jenis kelamin maka laki-laki lebih banyak dari perempua 53%, sedangkan dari lateralisasi maka mata kiri 54,4% lebih banyak dari mata kanan 45,6%. Pada pemilihan jenis operasi yang paling banyak dilakukan pada pasien tumor orbita adalah rekonstruksi palpebra (32,4%), diikutin rekonstruksi palpebra dan ektraksi/pengangkatan tumor orbita (26,5%) pada usia anak-anak 0-19 tahun maupun pada usia dewasa >19-70 tahun. Pada data bivariat setelah diuji korelasi hubungan antar jenis kelamin dengan umur adalah tidak bermakna yang artinya tidak ada hubungannya antar jenis kelamin dengan umur.
Kesimpulan:Penderita tumor orbita yang paling banyak dilakukan tindakan operatif jenis kelamin laki-laki pada usia >40 tahun, dan penatalaksanaannya yaitu operatif adalah tindakan rekonstruksi palpebra. Penderita tumor orbita tidak ada huungannya antara jenis kelamin dengan umur penderita
ABSTRACT
Purpose: Orbital tumors are quitc common and have high morbidity and mortality rates. The prevalence in developing countries is qurte high. This study aimed to know the characteristics of orbital tumors patients at Adam Malik Hospital on January 2011 until December 31, 2013.
Material and Methods: This is a descriptive study with case series. The study's population comprised of 68 orbital tumor cases.
Results and Analysis: The age range of orbital tumors is highest in 41-50 age groups (20,6%), or the >13 old group (82,4%). The male group suffered more orbital tumors (52%) than female
group. The left eye is more commonly involved (54,4%) than the right eye. The most common surgeries performed in both age groups were eyelid reconstruction (32.4%) and orbital tumor excision (26.5%) In bivariate analysis, there is no significance between sex and age group.
Conclusion: Patients with tumors of the orbit of the most widely performed operative action sex men at age> 40 years, and its management which are operative action lid reconstruction. Patients with orbital tumors no sex with his relation between patient age
Pendahuluan: Tumor orbita merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi tumor orbita di Negara-negara berkembang cukup tinggi.
Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita tumor orbita di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2013
Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita tumor orbita sebanyak 68 kasus.
Hasil Penelitian: Proporsi penderita tumor orbita menurut kelompok umur paling banyak pada range umur 41-50 tahun 20,6% atau umur >13 tahun 82,4%, dari segi jenis kelamin maka laki-laki lebih banyak dari perempua 53%, sedangkan dari lateralisasi maka mata kiri 54,4% lebih banyak dari mata kanan 45,6%. Pada pemilihan jenis operasi yang paling banyak dilakukan pada pasien tumor orbita adalah rekonstruksi palpebra (32,4%), diikutin rekonstruksi palpebra dan ektraksi/pengangkatan tumor orbita (26,5%) pada usia anak-anak 0-19 tahun maupun pada usia dewasa >19-70 tahun. Pada data bivariat setelah diuji korelasi hubungan antar jenis kelamin dengan umur adalah tidak bermakna yang artinya tidak ada hubungannya antar jenis kelamin dengan umur.
Kesimpulan:Penderita tumor orbita yang paling banyak dilakukan tindakan operatif jenis kelamin laki-laki pada usia >40 tahun, dan penatalaksanaannya yaitu operatif adalah tindakan rekonstruksi palpebra. Penderita tumor orbita tidak ada huungannya antara jenis kelamin dengan umur penderita
ABSTRACT
Purpose: Orbital tumors are quitc common and have high morbidity and mortality rates. The prevalence in developing countries is qurte high. This study aimed to know the characteristics of orbital tumors patients at Adam Malik Hospital on January 2011 until December 31, 2013.
Material and Methods: This is a descriptive study with case series. The study's population comprised of 68 orbital tumor cases.
Results and Analysis: The age range of orbital tumors is highest in 41-50 age groups (20,6%), or the >13 old group (82,4%). The male group suffered more orbital tumors (52%) than female
group. The left eye is more commonly involved (54,4%) than the right eye. The most common surgeries performed in both age groups were eyelid reconstruction (32.4%) and orbital tumor excision (26.5%) In bivariate analysis, there is no significance between sex and age group.
Conclusion: Patients with tumors of the orbit of the most widely performed operative action sex men at age> 40 years, and its management which are operative action lid reconstruction. Patients with orbital tumors no sex with his relation between patient age
BAB 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Di Indonesia masalah kesehatan mata saat ini adalah masih tingginya angka kebutaan. Katarak merupakan penyebab kebutaan terbanyak saat ini, sedangkan masalah kesehatan mata
yang lain termasuk penyakit tumor orbita.1 Tujuan upaya kesehatan mata di Indonesia antara
lain adalah menurunkan angka kebutaan, kesakitan mata dan gangguan penglihatan. Salah satu
ancaman dan kesakitan mata disebabkan oleh penyakit tumor mata. Angka kejadian tumor mata
dibandingkan dengan penyakit mata lainnya terhitung kecil, hanya 1% diantara penyakit
keganasan lainnya. Namun dampak yang ditimbulkan oleh tumor mata pada penderita cukup
besar, karena mengakibatkan kebutaan bahkan kematian karena sifat metastasisnya.2,3
Tumor orbita adalah tumor yang menyerang orbita. Sehingga merusak jaringan lunak
mata, seperti otot mata, syaraf mata, dan kelenjar air mata. Rongga orbita di batasi sebelah
medial oleh tulang yang membentuk dinding luar, sinus ethmoid, dan sphenoid. Sebelah
superior oleh dasar fossa anterior, dan sebelah lateral oleh zigoma, tulang frontal, dan sayap
sphenoid besar. Sebelah inferior oleh atas sinus maksilaris.1
Tumor orbita dapat berupa tumor primer maupun tumor sekunder dan dapat bersifat jinak
maupun ganas. Semua jaringan pada orbita dapat mengalami neoplasia. Perluasan dari struktur
anatomi yang berdekatan, seperti kelainan limfoproliferatif dan metastasis hematogen dapat
menyebabkan invasi sekuder pada orbita.2 Beberapa studi mengajukan pembagian tumor orbita
berdasarkan lokasinya sebagai berikut; tumor lakrimal, limfoma, tumor syaraf optik, keganasan
infiltratif karena berbeda pendekatan pengobatan.3-5
Pemeriksaan awal penderita adalah bertujuan membuat diagnosis. Diagnosis tumor orbita
bergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis
terpenting dari tumor orbita adalah proptosis, namun proptosis tidak selalu menjadi keluhan
utama. Keluhan utama pasien dapat pula berupa gangguan tajam penglihatan, diplopia, kelopak
mata sulit dibuka, atau nyeri.6,7 Pada pemeriksaan fisik, perhatian khusus perlu diberikan pada
pemeriksaan tajam penglihatan, lapang pandang, respon pupil, gerakan bola mata dan inspeksi
tersering tumor orbita, yang terjadi pada 90% tumor orbita primer.7 Moeloek mendapatkan
model diagnostik tumor orbita dengan gejala klinis, usia, penurunan visus, penglihatan ganda,
pelebaran fisura, proptosis dan terabanya massa. Nilai skoring tertinggi didapat pada gejala
proptosis.8
Pemeriksaan penunjang pada tumor orbita mencakup pemeriksaan darah lengkap jika perlu
termasuk penanda ganas, tes fungsi tiroid, ultrasonografi, computerizedtomographyscan (CT scan), magnetic resonance imaging (MRI) dan arteriografi). Saat ini8 CT scan adalah teknik terbaik untuk deteksi dan lokalisasi lesi orbita.7,9 Pemeriksaan satandar baku untuk penentuan
jenis tumor orbita adalah pemeriksaan patologi anatomi (PA).9
Diagnostik penunjang merupakan pemeriksaan yang diperlukan dalam penatalaksanaan
penderita tumor orbita setelah pemeriksaan klinis. Berbagai macam tumor orbita baik jinak
maupun ganas memberikan gambaran CT scan orbita yang berbeda-beda. Jenis tumor orbita
berbagai ragamnya dan pada tindakan perlu diketahui ketepatan diagnosis, minimal mengetahui
sifat jinak atau ganas dari hasil pemeriksaan patologi anatomi. Sebagai ilustrasi 50% massa yang
melibatkan kelenjar lakrimal adalah tumor epitel. Lesi lainnya mencakup kelainan
limfo-inflamsi. Diperkirakan separuh dari tumor epitel kelenjar lakrimal adalah neoplasma jinak.
Adenoma pleomorfik adalah neoplasma jinak tersering yang ditemukan. Karsinoma kistik
adenoid dan karsinoma mukoepidermoid adalah bentuk keganasan tersering yang berasal dari
kelenjar lakrimal.3,7 Tindakan pada adenoma pleomorfik adalah pengangkatan intoto tanpa
didahului tindakan biopsi sebagai ketepatan diagnosis. Oleh karena itu ketepatan diagnosis pada
seluruh tumor orbita sangat diharapkan dari pemeriksaan penunjang, salah satunya adalah CT
scan.
Salah satu pengobatan pada penderita tumor orbita adalah tindakan radikal berupa
tindakan eksenterasi yang jelas mengakibatkan kebutaan. Tindakan ini merupakan hal yang
kontradiktif bagi dokter ahli mata. Di satu pihak dokter mata bekerja seteliti mungkin untuk
mempertahankan penglihatan dan bola mata, di lain pihak terpaksa melakukan tindakan operasi
radikal untuk mempertahankan nyawa penderita.4,5
Penderita tumor orbita yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan umumnya berada
radikal, yaitu eksenterasi orbita. Eksenterasi orbita yaitu tindakan pengangkatan bola mata,
jaringan lunak orbita, beserta kelopak mata dan di ikutin dengan rekonstruksi kelopak mata.
Indikasi eksenterasi orbita umumnya adalah untuk penderita tumor ganas orbita, dalam upaya
penyelamatan kehidupan penderita dan tumor jinak orbita dengan indikasi tertentu. Upaya hidup
dari penderita tumor tidak semata-mata oleh karena tindakan orbital, tetapi juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain.7
Stadium tumor memang berpengaruh terhadap prognosis kehidupan penderita. Tindakan
eksenterasi orbita dilakukan pada stadium lanjut. Akan tetapi pada tumor epitel seringkali bukan
hanya stadium yang menentukan, tetapi besar dan lokasi tumor juga berperan. Tindakan eksisi
pada palpebra, harus diikutin dengan rekonstruksi yang memadai sehingga fungsi palpebra
kembali sebagai organ yang dapat memproteksi bola mata.7,8
1.2.Rumusan Permasalahan
Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik (RSUP HAM) di Medan merupakan rumah
sakit pelayanan tersier di pulau Sumatera. Maka berbagai macam pasien tumor yang dirujuk ke
RSUP HAM dengan berbagai jenis tumor, baik yang stadium awal maupun sudah stadium lanjut.
Di Poliklinik Mata RSUP HAM belum ada data tertulis mengenai karakteristik klinis pasien
tumor. Bagaimana karakteristik klinis pasien tumor orbita yang datang ke Poliklinik Mata RSUP
HAM? Bagaimana jenis tindakan operatif/terapi yang diberikan.
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi tindakan operatif pada penderita tumor orbita di
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Mengetahui penderita tumor orbita berdasarkan usia
2. Mengetahui penderita tumor orbita berdasarkan jenis kelamin
3. Mengetahui penderita tumor orbita berdasarkan lateralisasi
4. Mengetahui penatalaksanaan pada penderita tumor orbita
1.4.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prevalensi dan tindakan pada
tumor orbita pada pasien RSUP HAM sehingga dapat memberikan sumbangan data epidemiologi
bagi angka kebutaan di Sumatera Utara.
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran usia, jenis kelamin, diagnosis klinis
dan penatalaksanaan penderita tumor orbita di RSUP H. Adam Malik dan sebagai bahan
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1. Orbita
Orbita adalah suatu rongga yang berisikan bola mata dengan jaringan lunak sebagai
bantalan bola mata. Rongga tersebut berbentuk piramid, yang memiliki dasar berbentuk
kuardrangular terbuka disebelah anterior, berukuran 4 cm horizontal dan 3,5 cm vertikal. Atap
orbita memiliki bentuk triangular. Dinding medial orbita berjarak 2,5 cm satu sama lainnya, dan
dinding lateralnya saling membentuk sudut dengan fossa lakrimal yang terletak pada kedalaman
2 cm. dinding orbita terdiri 7 macam tulang, yaitu tulang etmoid, frontal, lakrimal, maksila,
palatum, sphenoid dan zigomatik. Para ahli membagi rongga orbita menjadi 4 bagian, yaitu atap
orbita, dinding lateral, dinding medial dan dasar orbita.9-11
2.2. Tumor Orbita
Jenis tumor orbita: 9,12 1. Tumor orbita primer
Tumor orbita primer adalah tumor orbita yang berasal dari jaringan orbita sendiri. Tumor
orbita ini dapat bersifat jinak maupun ganas.
2. Tumor orbita sekunder
Tumor orbita sekunder adalah tumor orbita yang berasal dari berbagai organ lain di
tubuh. Sifat tumor ini biasanya ganas. Proptosis yang terjadi biasanya biasanya disertai
destruksi tulang orbita dan dapat terjadi oftalmoplegi.
3. Tumor epitel
Tumor orbita yang berasal dari jaringan epitel, yang termasuk jenis ini adalah karsinoma
sel basal atau basalioma, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna, adenokarsinoma.
Berdasarkan asal jaringan dan sifat tumor, dapat dibagi 4 kelompok yaitu tumor primer
jinak orbita, tumor primer ganas orbita, tumor epitel sekunder orbita, dan tumor invasi atau
metastasis.
2.3. Palpebra
Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungin
struktur-struktur mata yang rentan. Palpebra sangat mudah digerakkan karena kulit disini paling
tipis diantara kulit di bagian lain. Muskulus orbikularis oculi melekat pada kulit. Permukaan
dalamnya disyarafi nervus facialis (nervus VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra.
Otot disini terbagi dalam bagian orbital, preseptal, dan paratarsal. Bagian orbital, yang terutama
berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertion temporal. Otot
praseptal dan paratarsal memiliki kaput medial superfisial dan profundus, yang turut serta dalam
pemompaan air mata.10
Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah digerakkan daripada palpebra inferior.
Sebuah alur yang dalam, biasanya diposisi tengah palpebra superior pada orang Caucasian,
merupakan tempat perlekatan serat-serat otot levator. Alur ini jauh lebih dangkal atau bahkan
tidak ada pada palpebra orang Asia. Dengan meningkatnya usia, kulit tipis palpebra superior
cenderung mengantung diatas alur palpebra itu sampai menyentuh bulu mata. Penuaan juga
menipiskan septum orbital sehingga terlihat bantalan lemak di bawahnya.11-13
Tumor pada mata dapat dibagi dua, tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak palpebra
sangat umum dan frekwensinya dengan bertambah semakin meningkatnya usia. Kebanyakan
mudah dikenali di klinik, dan eksisi dilakukan dengan alasan kosmetik. Meskipiun begitu
seringkali lesi ganas sulit dikenalin secara klinik, dan biopsi harus selalu dilakukan jika ada
kecurigaan keganasan.11-13
Tumor ganas palpebra, karsinoma sel basal dan sel skuamosa palpebra adalah tumor mata
ganas paling umum. Tumor-tumor ini paling sering terdapat pada orang bercorak kulit terang
karsinoma palpebra adalah dari jenis sel basal. Sisa 5% terdiri atas karsinoma sel skuamosa dan
karsinoma kelenjar meibom.14
Karsinoma sel basal, umumnya tumbuh lambat dan tanpa sakit, berupa nodul yang tidak
atau dapat berulkus. Karsinoma ini secara perlahan menyusupin ke jaringan sekitar namun tidak
bermetastasis. Studi potong-beku tepian irisan terutama penting untuk karsinoma sel basal
bersklerosis, karena tepian tumor secara klinis tidak nyata. Eksisi yang dikontrol secara
mikroskopik (teknik Mohs yang dimodifikasi), dipakai sejumlah ahli penyakit kulit untuk
mendapatkan eksisi total. Kasus tertentu dapat diobatin dengan cara seperti radioterapi dengan
nitrogen cair 14,15
Karsinoma sel skuamosa juga tumbuh lambat dan tanpa rasa sakit, seringkali berawal
sebagai sebuah nodul hiperkeratotik, yang dapat berulkus. Tumor radang jinak seperti
keratokanthoma sangat mirip karsinoma. Diagnosis tepat tergantung pada biopsi. Seperti
karsinoma sel basal, tumor ini dapat menyisip dan mengkikis jaringan sekitarnya, mereka dapat
pula menyebar ke limfonodus regional melalui sistim limfatik.17
Karsinoma kelenjar sebasea, paling sering muncul dari kelenjar meibom dan kelnjar Zeis,
namun dapat pula muncul dalam kelenjar sebasea alis mata atau karunkulum. Separuhnya mirip
lesi dan kelainan radang jinak seperti chalazion dan blepharitis menahun. Karsinoma ini lebih
agresif dari karsinoma sel skuamosa, sering meluas kedalam orbita, memasuki pembuluh limfe,
dan bermetastasis.17,18
Sarkoma jaringan lunak pada orbita jarang dan biasanya berupa perluasan ke anterior
tumor-tumor orbita. Rhabdomiosarkoma palpebra dan orbita adalah tumor ganas primer paling
umum di temukan dijaringan ini dalam dekade pertama kehidupan. Tumor palpebra adalah tanda
pertama. Kombinasi radioterapi biasanya efektif untuk mempertahankan fungsi mata dan
menghindari kematian.18
Melanoma ganas palpebra serupa dengan melanoma kulit dibagian lain dan terdiri atas tiga
golongan berbeda: melanoma yang menyebar superfisial, melanoma ganas lentigo, dan
melanoma nodular. Tidak semua melanoma ganas berpigmen. Kebanyakan lesi yang berpigmen
pada kulit palpebra bukan melanoma. Karenanya harus di biopsi untuk menegakkan diagnosis.
Prognosis melanoma kulit tergantung kedalaman invasi atau kedalaman lesi. Tumor dengan
kedalaman kurang dari 0,76 mm jarang bermetastase.18
Tumor dan pseudotumor (non-spesific orbital inflamtion, idiopathic orbital inflammation
atau orbital inflammatory syndrome) kadang kala sangat sulit dibedakan. Pseudotumor adalah lesi inflamasi yang menyerupai lesi neoplastik terdiri dari respon sel pleomorfis dan reaksi
jaringan fibrovaskular tanpa diketahui penyebabnya, baik local maupun sistemik.19-22
Pseudotumor pertama sekali dideskripsikan oleh Birch-Hirscfield pada tahun 1905
terhadap sindrom dengan gambaran klinis jinak atau neoplasma ganas yang pada saat dilakukan
eksplorasi bedah dan biopsy didapatkan jaringan inflamasi. Diagnosis ini kemudian meluas
menjadi “keranjang sampah” penyakit lain yang sulit di diagnosis pada saat itu. Dengan
berkembangnya metode diagnosis tumor mata, spectrum pseudotumor semakin menyempit.
Defenisi pseudotumor pada literature terkini adalah inflamasi orbita non spesifik tanpa
ditemukannya penyebab spesifik baik local maupun sistemik.20,21
Pseudotumor merupakan lesi jinak yang sering ditemukan di orbita. Pada sebuah seri
mencapai 4,6% dari total tumor orbita. Insiden yang sebenarnya di perkirakan lebih tinggi karena
sejumlah besar kasus tidak dibiopsi.22 Shields dkk23 yang melakukan survey terhadap 1264
pasien dalam periode 30 tahun di Wills Eye Hospital mendapat pseudotumor pada 98 kasus (8%)
Patogenesis pseudotumor dipahami bersamaan dengan ditelitinya mekanisme inflamasi.
Makrofag memproses dan mempersentasekan antigen untuk limfosit T helper untuk mengawalin respon imun seluler. Pada T helper berproliferasi dan memproduksi sitokinin dan mengakibatkan sel T efektor bertambah banyak dan mengakibatkan lisis sel. Sitokinin yang dihasilkan akan
menarik dan mengaktifkan makrofag. Sitokini selain mengakibatkan lisis sel yang mengandung
antigen, juga mengakibatkan kerusakan jaringan dan fibrosis secara klinis didapatkan sebagai
nyeri orbita, pembengkakan dan menurunkan fungsi. Pada saat yang bersamaan, respon humoral
diawalin dimana sel B berproduksi, sebagian membentuk folikel, sebagian lagi berubah menjadi
sel plasma yang membentuk antibodi. Apabila jaringan mengalami perbaikan, maka akan tampak
gambaran peradangan kronis.23
2.4. Protrusi Bola Mata
Protrusi bola mata diukur dari puncak kornea menuju garis sejajar yang dilalui oleh kedua
titik margin rima orbita lateral.
2.4.1. Proptosis
Proptosis adalah peningkatan yang abnormal dari nilai protrusi bola mata. Eksoftalmus adalah proptosis yang biasanya disertai dengan kelainan kelenjar tiroid, sedangkan enoftalmus
adalah penurunan abnormal nilai protursi bola mata.2 Pseudoproptosis disebabkan akibat
penonjolan bola mata yang bukan disebabkan peningkatan isi bola mata. Penyebab dari
pesudoproptosis adalah antara lain membesarnya bola mata akibat myopia tinggi, kelemahan
atau parese otot ekstra ocular, enoftalmos mata sebelahnya, ukuran orbita yang tidak simetris,
fisura palpebra yang tidak simetris (umumnya akibat kelopak mata ipsilateral atau parese saraf
wajah atau ptosis kontralateral).26
Ada studi biopsi terhadap kasus proptosis pada anak-anak yang dilakukan oleh Shields
dkk, mendapatkan bahwa 85% kasus proptosis disebabkan oleh lesi jinak seperti kista, lesi
inflamasi, atau hamartoma. Rabdomiosarkoma, retinoblastoma, dan leukemia terdapat pada
sisanya 25% kasus proptosis.27
Tabel 1.1 jumlah dan persentase lesi penyebab proptosis pada anak28
Abnormalitas kraniofasial akibat trauma wajah atau kelainan congenital dapat menyebabkan
proptosis
2.4.2. Pengukuran Nilai Protrusi Bola Mata
Tindakan pengukuran protrusi mata disebut eksoftalmometri. Teknik eksoftalmometri ini
merupakan teknik pemeriksaan yang penting dalam evaluasi pasien dengan kelainan orbita.
Terdapat 3 jenis pengukuran eksoftalmometri, yaitu:2
a. Eksoftalmometri absolut, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan nilai
rerata standar yang ada. Eksoftalmometri absolut sangat penting dalam diagnosis
proptosis bilateral, karena pada keadaan ini protrusi kedua mata.
b. Eksoftalmometri relatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan mata
sebelahnya pada individu yang sama. Eksoftalmometri relative penting dalam diagnosis
proptosis unilateral. Sebagian besar penelitian yang telah ada mendapatkan nilai relatif
protrusi bola mata yang tidak lebih dari 2 mm
c. Eksoftalmometri komparatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan
mata yang sama dalam periode waktu tertentu. Eksoftalmometri komparatif penting
dalam memonitor perubahan besar protrusi seiring waktu yang berjalan, sehingga dapat
mengikutin progresifitas proptosis tersebut.
Pada beberapa studi, pengukuran luar daerah orbita atau fotografi teleh dilakukan
untuk mengukur anatomi mata dan daerah sekitar wajah. Namun, teknik ini tidak dapat
menggambarka tulang dan jaringan lunak secara akurat.29
Alat eksoftalmometri hingga saat ini yang paling sering digunakan adalah “Hertel
eksoftalmometri”, namun alat ini sulit dipakai apabila terdapat kelainan pada rim orbita
lateral, seperti pada pasien dengan riwayat pengambilan tulang rima orbita lateral pada
Gambar3.1. Cara pemeriksaan Hertel Eksoftalmometri pada Pasien31
Bogren dkk22 membandingkan Hertel eksoftalmometri dengan teknik pengukuran
secara radiografik. Mengukur dengan teknik radiografik pada protrusi bola mata secara
akurat dan sensitif. Namun, pengukuran ini sangat rumit dan mahal. Hertel eksoftalmometri
yang digunakan sebagai pembanding teknik radiografik tersebut dinyatakan lebih mudah
digunakan dan lebih siap sedia untuk kepentingan klinis. Hertel eksoftalmometri telah
banyak digunakan oleh para klinisi untuk menentukan protrusi bola mata pasien.22 Pada
tahun 2001, Kim dan Choi25 membandingkan pengukuran oleh CT Scan orbita dengan
Hertel eksoftalmometri di Korea dan menentukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
antara kedua alat ukur tersebut.
2.5. Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Protrusi Bola Mata
Sebagian besar peneliti menyatakan bahwa parameter orbita seperti jarak rima orbita
lateral dan jarak antara pupil memiliki korelasi positif dengan nilai protrusi bola mata.2,9,21,25
Namun usia, jenis kelamin, antropometri tinggi badan dan indeks massa tubuh, dan status
refraksi masih memberikan variasi terhadap nilai protrusi bola mata. Panjang sumbu bola mata
2.5.1. Usia
Fledelius dkk9 pada tahun 1986 meneliti perubahan posisi bola mata seiring pertumbuhan
dan saat dewasa pada subjek dengan rentang usia 5-80 tahun. Pada penelitiannya ditemukan
bahwa terdapat hubungan liniar antara nilai protrusi bola mata dengan usia hingga usia 20 tahun,
selanjutnya nilai protrusi bola mata menjadi stabil.
linier meningkat kemudian menurun pada dekade kedua dan meningkat lagi pada dekade ketiga.
Nilai protrusi bola mata stabil setelah dekade ketiga dan keempat. Peningkatan nilai protrusi bola
mata pada dekade kedua hingga dekade ketiga diduga akibat peningkatan deposit lemak.
Ghozi dkk8 tahun 1984 meneliti nilai protrusi bola mata pada subyek di Jogyakarta. Pada
kelompok usia 6-12 tahun memiliki nilai protrusi bola mata sebesar 16,42±1,77 mm pada
laki-laki dan 16,64±1,96 mm pada perempuian. Pada penelitian ini tidak terlihst adanya hubungtan
antara nilai protrusi bola mata dengan usia. Namun di Indonesia maupun di luar negeri ada
beberapa studi yang btelah dilakukan maka terdapat perbedaan pola hubungtan antara nilai
protrusi bola mata dengan usia yang dapat disebabkan pertumbuhan orbita dan ras.
2.5.2. Jenis Kelamin
Waever dkk29 menemukan bahwa parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral, protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior,
perimetri rima orbita memiliki ukuran yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita. Chan
dkk4 dan Quant dkk22 menemukan bahwa laki-laki memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih
tinggi secara signifikan dibandingkan wanita. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki postur
tahun 1984 ditemukan nilai protrusi bola mata secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki
daripada wanita.8
Kaye dkk32 meneliti 462 pasien dengan rentang usia 9-82 tahun dan menemukan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan wanita.
Tsai dkk33 mendapatkan perbedaan signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan
wanita.
Pengaruh jenis kelamin terhadap nilai protrusi bola mata masih kontroversi. Hal ini diduga
terjadi karena pengaruh ras.
2.5.3 Antropometri
Peyster dkk34 menemukan bahwa pada pasien dengan obesitas, terdapat peningkatan lemak
orbita dibandingkan pasien normal. Wear dkk29 meneliti antropometri orbita dan mata pada 39
subjek dengan ras Kaukasia. Mereka melakukan analisis korelasi multivariat antara tinggi badan
dengan parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral,
protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior, perimetri rima orbita) dan menemukan
bahwa tinggi badan merupakan faktor utama yang mempengaruhi adanya variasi antropometri
orbita.
Smoldrers dkk4 penelitiannya berupa nilai protrusi bola mata pada subjek dengan
IMT 30kg/m2 dan dibandingkan dengan control 26>IMT 20 kg/m2. Mereka menemukan
bahwa pasien obesitas memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih tinggi serta diameter otot
rektus medial yang lebih besar. Hal ini diduga akibat meningkatnya ukuran leak retro orbita dan
otot intraorbita pada subjek dengan IMT 30kg/m2
Kaskouli dkk21 pada penelitiannya ditemukan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara
protrusi bola mata dengan tinggi badan dan berat badan pada kelompok anak-anak, sedang pada
kelompok remaja ditemukan korelasi yang signifikan dengan tinggi badan dan berat badan.
Inkonsistensi hubungan nilai protrusi bola mata dengan antropometri (tinggi badan, IMT)
2.5.4. Parameter Orbita
Beberapa penelitian menemukan korelasi linear yang positif antar nilai protrusi bola mata
dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil.21,22,32 Hal ini diduga akibat lebih landainya
rongga orbita pada jarak rima orbita lateral yang lebih besar. Meskipun nilai protrusi bola mata
dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil memiliki korelasi yang positif, keadaan
tersebut bukan sesuatu proses sebab akibat, namun merupakan hal yang terjadi bersamaan.21
2.5.5. Ras dan Etnis
Penelitian di berbagai negara telah dilakukan dalam upaya pencarian nilai normal protrusi
bola mata. Kashkauli dkk21 meneliti nilai proetrusi bola mata di Iran dan menemukan rerata nilai
protrusi bola mata sebesar 14,2±1,8 mm pada kelompok anak-anak. Quant dkk22 mendapat nilai
protrusi bola mata pada anak di Hongkong sebesar 15-17mm. Fledelius dkk9 meneliti nilai
protrusi bola mata pada ras Kaukasia pada tahun 1986. Mereka mendapatkan nilai protrusi bola
mata pada kelompok usia 5-10 tahun sebesar 13,6±1,75 mm untuk perempuan dan 13,7±1,4 mm
untuk laki-laki. Sodhi dkk15 meneliti nilai protrusi bola mata pada populasi India, mereka
menemukan rerata nilai normal protrusi bola mata kelompok usia 3-10 tahun pada jenis kelamin
laki-laki adalah 13,02 mm (mata kanan) dan 13,09 mm (mata kiri), sedangkan pada jenis kelamin
perempuan adalah 13,06 mm (mata kanan) dan 13,03 mm (mata kiri).
Berdasarkan berbagai ;penelitian yang telah dilakukan, tampak variasi nilai normal
protrusi bola mata menurut ras atau etnis dilokasi geografis tertentu. Nilai normal protrusi bola
mata yang sesuai dengan ras atau etnis setempat dibutuhkan sebagai evaluasi adanya kelainan di
orbita juga untuk menilai keberhasilan pengobatan kelainan di orbita.
2.5.6. Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata
Status refraksi menyatakan status bayangan yang terbentuk pada posisi tertentu dari retina.
Status refraksi terdiri dari emetropia dan ametropia. Emetropia adalah status refraksi dimana
cahaya sejajar dengan datang dari objek jauh tak terhingga sampai tepat di retina pada mata yang
tidak berakomodasi. Ametropia adalah keadaan selain emetropia. Ametropia dibagi menjadi
aksial dan refraktif. Pada ametropia aksial, bola mata cenderung lebih panjang pada myopia, dan
normal, namun kekuatan refraksi bola mata yang asbnormal. Pada myopia refraktif kekuatan
refraksi tinggi sedangkan pada hipermetropia kekuatan refraksi rendah.
Faktor biometri yang mempengaruhi status refraksi yaitu kurvatura kornea, kedalaman bilik
mata depan, ketebalan lensa, panjang vitreus, dan panjang sumbu bola mata.35 Faktor genetik
memiliki korelasi yang signifikan terhadap kejadian myopia. Faktor lingkungan seperti aktifitas
lihat dekat, status antropometri, tingkat pendidikan diduga memiliki hubungan dengan kejadian
myopia. Saw dkk36 pada penelitian terlihat bahwa tinggi badan berhubungan dengan refraksi
yang lebih negative/myopia. Berat badan yang lebih besar dan anak yang lebih obesitas
cenderung memiliki refraksi kearah hiperopia. Penemuan tersebut bervariasi berdasarkan jenis
kelamin. Nora dkk35 menemukan bahwa obesitas juga memperlihatkan hubungan dengan
kejadian myopia walaupun kekuatan hubungan lemah. Penelitian ini tidak mendapatkan
hubungan tinggi badan terhadap kejadian myopia.36
Quant dkk22 pada penelitiannya memasukkan subjek dengan semua status refraksi dan
menemukan bahwa status refraksi memiliki korelasi negatif lemah dengan nilai protrusi bola
mata. Hal ini diduga karena sedikitnya jumlah subjek dengan myopia tinggi. Penelitian ini juga
menemukan bahwa panjang bola mata dan status refraksi memiliki korelasi yang kuat pada
subjek anak-anak di Hongkong. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai protrusi bola mata
pada myopia tinggi. Sehingga dalam menilai protrusi bola mata, perlu mempertimbangkan status
refraksi juga.
Chan dkk4 pada tahun 2009 melakukan penelitian yang merupakan studi berbasis populasi
pertama yang menilai hubungan protrusi bola mata dengan biometri. Penilaian biometri dan
status refraksi yang dilakukan oleh Chan dkk dapat menganalisa peran panjang sumbu bola mata
terhadap pseudoproptosis. Mereka menemukan bahwa meskipun terdapat korelasi positif antara
derajat miopia dengan panjang bola mata, namun spherical equivalent tidak berhubungan dengan protrusi bola mata. Pada analisis regresi mereka menemukan bahwa panjang sumbu bola mata
merupakan faktor prediktor bebas terhadap nilai protrusi bola mata, sedangkan status refraksi
tidak mempengaruhi nilai protrusi bola mata secara signifikan.4
2.6. Pengobatan Tumor Orbita
Pengobatan yang diberikan pada penderita tumor orbita tidaklah sama, tergantung dari
jenis tumor dan stadium pada saat tumor ditemukan. Pada tumor jinak, tindakan pembedahan
mudah dilakukan tanpa mengganggu bola mata, sehingga penglihatan dan kosmetik wajah tidak
terganggu. Namun bila pada pemeriksaan mikroskopik dan patologi anatomi (PA) menunjukkan
tanda-tanda keganasan, maka harus segera dilakukan pengangkatan secara radikal dan
eksenterasi, yaitu membuang tumor beserta seluruh isi dan jaringan yang ada di dalam rongga
orbita, termasuk bola mata dan periosteum dinding orbita. Pada tumor yang sudah stadium lanjut
dan sudah terdapat metastatasis sistemik atau intrakranial, tidak lagi dilakukan tindakan operatif,
melainkan dengan tindakan radioterapi atau kemoterapi.7,13
2.7. Eksenterasi Orbita
Eksenterasi orbita adalah tindakan pengangkatan seluruh isi bola mata, jaringan lunak orbita, periosteum dinding orbita, beserta kelopak mata.7,14-16
2.7.1. Teknik operasi eksenterasi orbita
Operasi eksenterasi orbita ada 2 jenis, yaitu: 1. Eksenterasi orbita total
Sesuai dengan defenisi pembedahan diatas pada eksenterasi total, kelopak mata tidak
ditinggalkan. Teknik operasi eksenterasi orbita total: dengan melakukan insisi
sepanjang rima orbita, pada perbatasan periosteum dan periorbita, yang dilanjutkan
dengan pengelupasan periorbita untuk dapat segera mengeluarkan isi orbita, lalu
dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin di daerah apeks. Insisi
permulaan dapat dilakukan di kuadran mana saja, tetapi lebih sering di lakukan
didaerah yang kurang vaskularisasinya. Daerah yang kurang vaskularisasinya berada di
kuadran temporal. Pada saat insisi, perdarahan yang terjadi cukup banyak dan dapat
disukai adalah operasi dengan menggunakan CO2 laser. Insisi dapat dilakukan
sekaligus dengan cepat dapat memperhatikan perdarahan yang terjadi, kecuali yang
berasal dari arteri. Perdarahan akan segera berhenti pada saat periorbita dan periosteum
telah diangkat dan setelah amputasi dilakukan didaerah apeks. Tetapi perdarahan masih
dapat terjadi setelah pengelupasan periosteum, karena darah berasal dari pembuluh
darah infra orbita superior dank anal optik. Perdarahan dari sumber ini dapat diligasi
atau dikauterisasi. 7,14,15
2. Eksenterasi orbita subtotal
Eksenterasi subtotal merupakan modifikasi dari eksenterasi total (klasik), dengan tidak
mengangkat kelopak mata. Eksentersi subtotal biasanya dilakukan pada tumor orbita
yang terlokalisir, berbatas tegas, satu nodul dan belum berinvasike kelopak mata.
Sebagai contoh, tumor epibulbar yang belum bereksistensi ke palpebra dapat di batasi
dengan mengangkat isi orbita saja. Umumnya para penderita lebih memilih
pembedahan eksenterasi subtotal daripada eksenterasi total. Tetapi pada beberapa
tumor ganas tindakan eksenterasi subtotal tidak dibenarkan, walaupun tumor masih
dalam stadium dini. Teknik operasi eksenterasi orbita subtotal, bola mata dan jaringan
orbita atau tumor epibulbar diangkat sekaligus. Insisi dilakukan mengelilingin daerah
forniks, dilanjutkan dengan melakukan pengelupasan periorbita untuk dapat
mengeluarkan isi orbita, lalu dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin
di daerah apeks. Untuk mengatasi perdarahan, dilakukan ligasi dan kauterisasi sama
seperti teknik operasi eksenterasi total.7,14,15
2.8. Kornea
Kornea adalah jaringan yang bersifat transparan dan avaskular, berfungsi membiaskan
dan meneruskan cahaya kedalam bola mata serta melindungi bagian dalam bola mata dari
lingkungan luar. Kornea memiliki diameter horizontal 11-12 mm dan vertikal 9-11 mm.10/24
Kornea mempunyai bentuk kurvatura yang prolate.25 Bentuk prolate dari kurvatura kornea akan mengakibatkan bagian sentralnya lebih steep dan kekuatan refraksi lebih besar daripada bagian
yang melalui kornea bagian perifer akan direfraksikan tidak sekuat sinar yang melalui bagian
sentral kornea.26
Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa, dan juga modifikasi dari kulit25
Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa nonkeratin yang menyerupai
epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di antara susunan
epitel kornea. Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan lapisan germinativum dan
melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel wing. Lapisan sel basal juga melekat
ke membran basal melalui bantuan hemidesmosom.25
Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV, proteoglikan
heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin). Membran basal
merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma kornea.25,26
Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein
pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.
2.9. Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks dimata. Untuk melihat, mata harus berfungsi
sebagai suatu alat optik, sebagai suatu reseptor kompleks dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu merubah rancangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus
dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan
yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut, sel
ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam.
Diretina perifer banyak fotoreaseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan
sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti ini adalah bahwa makula
terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian
retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama
penglihatan perifer dan malam (skotopik).7
Gambar 3. Retina
Retinoblastoma adalah tumor masa anak-anak yang jarang tetapi dapat fatal. Dua pertiga
kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, walaupun jarang dilaporkan. Retinoblastoma dapat
tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik). Retinoblastoma endofitik kemudian meluas
melalui saraf optikus ke otak dan disepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emirasi di sklera ke
jaringan orbita lainnya. Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma besar. Mata dengan
tumor yang berukuran lebih kecil pada anak dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi
plaque atau external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi. Kadang-kadang diperlukan kemoterapi untuk penanganan kasus rekuren, terutama untuk menyelamatkan mata kedua pada kasus
bilateral apabila mata pertama telah dienukleasi, dan untuk penyakit metastatik. 7
Pada retina sering juga terjadi tumor, misalnya retinoblastoma yang terjadi pada anak.
Gambar 4. Retinoblastoma dan Gambaran CT Scan 2
merasa sakit, juga orangtuanya tidak menyadarinya kalau retinoblastoma sudah menyerang
anaknya, Gejala akan terlihat bila retinoblastoma ini sudah stadium lanjut. Maka perlunya
BAB 3
KERANGKA KONSEPSIONAL 3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif, dengan mengambil data sampel
dari rekam medik kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2013
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan
3.3 Populasi, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh data penderita dengan diagnosis tumor orbita yang
dilakukan operasi di kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan sejak 2011 sampai
dengan 2013.
3.3.2 Sampel Penelitian
Besar sampel ditentukan dengan metode total sampling, yaitu semua subjek yang di diagnosa tumor orbita yang memenuhi kriteria inklusi di rekam medik kamar operasi
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2013
3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Kriteria Inklusi: adalah semua pasien yang didiagnosa sebagai tumor orbita 2011 sampai 2013
Kriteria Ekslusi: adalah data pasien di rekam medik yang tidak lengkap
3.5. Desain Penelitian
3.6. Identifikasi Variabel
Variabel Independen
Usia
Jenis Kelamin
Diagnosa Klinis
Variabel Dependen
- Penatalaksanaan Operatif Tumor
Orbita
Data sampel yang memenuhi kriteria inklusi diambil data mengenai nama, nomer rekam
medik, usia, jenis kelamin, lama keluhan, tanggal pertama dan terakhir dating ( waktu
follow-up). Komplikasi yang dicatat adalah metastase ketempat lain.
3.7. Definisi Operasional
1. Tumor orbita adalah pasien yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan ke
bagian poliklinik Mata dengan keluhan tumor di mata.
2. Usia adalah usia pasien saat pertama kali datang berobat ke RSUP HAM Medan.
3. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien tumor yang menjadi sampel pada
penelitian ini dan tercatat pada rekam medis dan dikategorikan menjadi pria atau
wanita.
4. Penatalaksanaan operatif adalah pengobatan yang diberikan kepada penderita
3.8. Alur Penelitian
Rekam Medis
Tumor Orbita
Lateralisasi
Umur
Jenis Kelamin
3.9. Analisis Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh
dianalisis secara statistik untuk menilai persentase tumor orbita berdasarkan umur, jenis
kelamin, diagnosis klinis dan penatalaksanaan. Data yang diambil dari data Rekam
Medik kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan. Data akan dilakukan uji statistik
secara uji regresi.
Penatalaksanaan:
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain case series
dimana pengambilan data dari data klinis dibagian rekam medik kamar operasi RSUP H. Adam
Malik Medan. Data penelitian adalah seluruh kasus tumor orbita yang dilakukan operasi di
kamar operasi RSUP H. Adama Malik sejak Januari 2011 samapai Desember 2013
4.1. Analisis Data Univariat
4.1,1. Penderita tumor orbita menurut kelompok umur yang tercatat di kamar operasi RSUP H.
Adam Malik tahun 2011-2013
Tabel 4.1.1. Penderita tumor orbita menurut kelompok umur tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2013
Kelompok Umur (Tahun)
f (%)
0-10 10 (14,6)
11-20 8 (11,8)
21-30 11 (16,2)
31-40 8 (11,8)
41-50 14 (20,6)
51-60 11 (16,2)
61-70 6(8,8)
Total 68 (100)
Penderita tumor orbita yang tertinggi terdapat pada kelompok umur 41-50 tahun sebanyak 14
penderita (20,6%) disusul dengan kelompok umur 21-30 tahun dan kelompok umur 51-60
4.1.2. Penderita tumor orbita berdasarkan umur tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik
tahun 2011-2013
Tabel 4.1.2. Penderita tumor orbita berdasarkan range umur anak-anak dan dewasa
Umur
4.1.3. Penderita tumor orbita berdasarkan jenis kelamin tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik
tahun 2011-2013
Jenis kelamin terbanyak penderita tumor orbita adalah laki-laki sebanyak 36 penderita (53%)
diikuti perempuan sebanyak 32 penderita (47%).
4.1.4. Lateralisasi penderita tumor mata yang tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik
tahun 2011-2013
Lateralisasi dari penderita tumor orbita yang tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik
adalah mata kiri yang paling banyak 37 penderita (54,4%), kemudian mata kanan 31 penderita
(45,4%).
4.2. Analisis Data Bivariat
Tabel 4.2.1. Penderita tumor orbita berdasarkan umur dan jenis kelamin yang tercatat di kamar
operasi RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2013
Pada tabel diatas terlihat persentase yang paling banyak penderita tumor orbita pada kelompok
umur 41-50 tahun dengan jenis kelamin perempuan, diikutin pada kelompok umur 0-10 tahun
perempuan, umur 11-20 tahun laki-laki, umur 21-30 tahun perempuan, dan kelompok umur
51-60 tahun perempua. Setelah di uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara umur
Tabel 4.2.2. Penderita tumor orbita berdasarkan range umur anak-anak, dan dewasa yang
dihubungkan dengan jenis kelamin yang tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik tahun
2011-2013
Pada tabel 4.2.2 terlihat penderita tumor orbita lebih banyak pada usia diatas 19 tahun (73,5%) dibandingkan dengan usia < 19 tahun., tetapi dilihat dari jenis kelamin antar laki-laki dengan perempuan jumlahnya sama banyak.
BAB 5 DISKUSI
Penelitian ini bertujuan untuk melihat prevalensi pasien tumor orbita yang berobat ke
RSUP H. Adam Malik Medan dengan jangka waktu 2011-2013. Data-data pasien diperoleh dari
rekam medik yang ada di kamar operasi RSUP H. Adam Malik yang dilakukan operasi oleh
dokter spesialis bedah mata.
Enam puluh delapan subjek dapat dikumpulkan dan dilakukan operasi pengangkatan tumor
orbita. Seluruh sampel ini tidak ada yang dikeluarkan dari penelitian karena data-data yang di
perlukan untuk penelitian ini sudah lengkap tercatat direkam medic kamar operasi RSUP H.
Adam Malik Medan.
Pada penelitian ini, sunjek (tabel 1) dibagi dalam 7 kelompok berdasarkan usia 0-10
tahnun, 11-20 tahun, 21-30 taahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, dan 61-70 tahun.
Berdasarkan penelitian Dermichi H, Shield CL dan kawan-kawan pada penelitiannya di temukan
paling banyak penderita tumor orbita di usia tahun (63%) dari jumlah sampel 950 pasien. Namun, tidak ada di jelaskan pada penelitian mengapa jumlah penderita tumor orbita meningkat
pada usia lanjut. Kemungkinan disebabkan makin bertambahnya usia pada seseorang maka
secara signifikan menurunkan daya tahan tubuh orang tersebut, apabila ada pertumbuhan sel-sel
dalam tubuh seseorang maka pertumbuhannya tidak terkontrol yang disebabkan daya tahan
tubuh yang semakin menurun37
Pada penelitian Bonan Volanta G, Strianese D, Grassi P dan kawan-kawan yang dilakukan
di Itali terlihat bahwa jumlah tumor orbita meningkat pada usia >60 tahun dibandingkan dengan
usia < 60 tahun38
Proporsi jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan (tabel 2) terdapat perbedaan jumlah
penderita tumor orbita, dimana laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Perbedaan
jumlah penderita tumor orbita ini tidak berbeda secara bermakna. Sampai saat ini belum ada
penelitian yang melaporkan mengenai perbedaan jumlah penderita tumor orbita antara laki-laki
Pada tabel yang menjelaskan lateralisasi dari penderita tumor orbita dimana mata kiri lebih
banyak dari mata kanan. Belum ada penelitian yang memberikan informasi mengenai proporsi
lateralisasi penderita tumor orbita, dan mengapa lebih banyak mata kiri daripada mata kanan.
Mengenai dari pemilihan jenis tindakan operasi yang dilakukan pada penderita tumor
orbita paling banyak adalah rekonstruksi palpebra (30,8%), dan diikuti dengan rekonstruksi
palpebra dengan ektraksi tumor (29,4%). Sampai saat ini belum ada studi yang menjelaskan
mengapa jenis operasi yang dilakukan pada penderita tumor orbita itu adalah rekonstruksi
palpebra. Ini kemungkinan karena mempertimbangkan dari segi kosmetik. Sedangkan jenis
operasi dengan ekstraksi tumor karena tujuan dari operasi yang dilakukan adalah untuk
menghilangkan tumor tersebut.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pada penelitian ini terlihat penderita tumor orbita yang paling banyak pada umur 41-50
tahun, dan pada jenis kelamin dimana laki-laki lebih banyak jumlah penderita tumor orbita
dibandingkan perempuan.
2. Pada penderita tumor orbita berdasarkan umur dan jenis kelamin terlihat jumlah penderita
tumor orbita pada usia 19 - 70 tahun yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki sama
banyak
3. Pada uji statistik dengan sistem regresi pada tabel karakteristik tumor orbita berdasarkan
umur dan jenis kelamin maka terlihat tidak ada hubungan antara meningginya umur dengan jenis
kelamin, terlihat dari p-value 0,290.
4. Pada tabel 4.2.3 mengenai jenis operasi yang dilakukaan pada penderita tumor orbita yang
dihubungkan dengan faktor usia terlihat paling banyak adalah rekonstruksi palpebra pada usia
>19-70 tahun 21 orang. Ini akibat kemungkinan dilihat dari segi kosmetiknya. Tindakan eksisi
pada palpebra, harus diikutin dengan rekonstruksi yang memadai sehingga fungsi palpebra
kembali sebagai organ yang dapat memproteksi bola mata
6.2. Saran
Pada pencatatan data-data dikamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan seharusnya
dicatat/dicantumkan juga data-data jenis pekerjaan pasien masing-masing, lamanya mulai adanya
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. American Academy of Ophthalmology: Epidemiology of cataracts. In: American
Academy of Ophthalmology, editor. Basic and clincal science course: Ophtalmic Pathology and Intra Ocular Tumors. Section 4. San Francisco: American Academy Of Ophthalmology 2009-2010. p.207-15.
2. American Academy of Ophthalmology; Orbital Neoplasma. In: Orbit, Eyelids, and
lacrimal system. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2008. p. 81-8
3. Smolders MH, Grniewski-Wijnands, Meinders AE, Fogteloo AJ, Pijl H, Keizer RJWD,
Exofthalmos in Obesity. Ophthalmic Res. 2004;36:78-81.
4. Chan W, Madge SN, Senaratne T, Senanayake S, Edusuriya K, Selva D, et al.
Exophthalmometric values and their biometriccorrelates: the kandy eye study. Clinical
and Experimental Ophthalmology, 2009; 37:496-502.
5. Demerci H, Shields CL, Karatza EC, Shield JA. Orbital limphoproliferative tumors:
analysis of clinical features and systemic involvement 160 cases. Ophthalmology. 2008
Sep; 115(9): 1626-31
6. Yan J, Wu Z, Li Y. The diferentiation of idiopathic inflamatory pesudotumor from
Lymphoid tumors of orbit: analysis of 319 caes. Orbit. 2004 Dec; 23(4):245.
7. Char DH. Orbital lymphoid lesions and orbital tumor. In: Tumor of the eye and ocular
adnexa. Ontairo: BC Decker; 2001.p.438.
8. Ghozi MT, Eksofthalmometri penduduk daerah Istimewa Jogyakarta. Berkal Ilmu
Kedokteran. 1984;16:29-35
9. Fledelius HS, Stubgaard M. Changes in eye position during growth and adult life. Acta
Ophthalmologica. 1986;64:481-6
10. Shields JA, Shields CL, Scartozzi R. Survey of 1264 patients with orbital tumors and
simulating lessions: The 2002 Montgomery Lecture, part 1. Ophthalmology. 2004 May;
11. Harris GJ. Idiopathic orbital inflamation: a pathogenetic construct and treatmant strategy:
The 2005 ASOPRS Foundation Lecture. Ophthal Plast Reconstr Surg. 2006 Mar-Apr;
22(2):79-86.
12. Ahn Yuen SJ. Idiopathic orbital inflamation: distribution, clinical features, and treatment
outcome. Arch Ophthalmol. 2003 Mar;11(1):3-15.
13. Esmaeli B, Faustina M. Orbital lymphoma. In: orbital tumor: diagnosis and management.
China: Springerlink; 2005.p.137.
17. SJO LD. Ophthalmic lymphoma epidemiology and pathogenesis Acta Ophthalmol. 2009:
Thesis I:P.1-20
18. Kuppers R. Mechanisms of B-cell lymphoma pathogenesis. Nat Rev Cancer 2005
Apr;5(4):p.251-62.
19. Decaudin D, de Cremoux P, Vincent-Salomon A, Dendale R, Rouic LL. Ocular adnexal
lymphoma: a review of clinicopathologic features and treatment options. Blood. 2006
Sep I; 108(5):1451-60.
20. Jacobiec FA, Kowles DM. An overview of ocular adnexal lymphoid tumors. Trnas Am
Ophthalmol Soc.1989;87:p.420-44.
21. Kashkaoli MB, Nojomi M, Parvaresh MM, Sanjari MS, Moderred M, Noorani MM.
Normal values of Hertel Hexofthalmometry in Iran children, teenagers, and adults from
24. Artal P, Ferro M, Miranda I, Navarro R. Effects of aging in retinal image quality J Opt
Soc Am A. 1993;10:1656-62.
25. Beden U, OzarslanY, Ozturk HE, Sonmez B, Erkan D, Oge I. Exopthalmometry values
of Turkish adult population and the effet of age, sex, refractive status and Hertel
basevalues on Hertel reading. Eur. J. Ophthalmol. 2008;18(2):165-71
26. OpthalmologY AAO.Orbit, eyelidsand Lacrimal System. Ophthalmology AAO, editor.
San Fransisco: LEO;2006-2007
27. Ganessan K, Bakhsi S. Proptosis in children: Approach. Indian journal nof medical and
pediatric oncology. 2004; 25(2):33-4
28. Shindu K, Downie J, Ghabrial R, Martin F. Aetology of chilhood proptosis. J Paediatr
Child Health. 1998 Aug;34(4):374-6
29. Weaver AA, Loftis KL, Tan JC, Duma SM, Stitzel JD. CT based three-dimensional
measurment of orbit and eye anthropometry. Investigative Ophthalmology and Visual
Science.2010;51(10):1892-7
30. Cole HP, Couvillion JT, Fink AJU, Haik BG, Kastl PR. Exopthalmometry: A
comparative study of Naugle in Hertel Instrument. Ophthalmic Plastic and
Reconstructive Surgery. 1997;13(3):189-94.
31. Hertel E. A simple exophthalmometer. Strabismus.2008;16:89-91.
32. Keye SB, Green JR, Luck J. Lowe KJ. Depedence of ocular protrusion, asymetry of
protrusion and lateral interorbital withd on age. Acta Ophthalmologica. 1992;70:762-85.
33. Tsai C, Kau HC, Kao SC, Hsu WM. Exopthalmos of patients with Grave's disease in
Chinese of Taiwan. 2006;20:569-73.
34. Peyster RG, Ginsberg F, Silber JH, Adler LP. Exopthalmos caused by excessive fat: CT
volumetric analysis and differential diagnosis. American Journal of
Roentgenology.1986;3:459-64.
35. Ophthalmology AAO. Basic Clinical Science Course. Clinical Optics. Ophthalmology
AAO, editor. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology2006-2007.
36. Nora RLD, Sitorus L, Simangunsong L, Syarif D, Barliana JD, Riono P. Hubungan
parameter antropometri dengan miopia dan komponen biometri okular pada
37. Demirci H, Shield CL , Shield JA, Honavar SG, Mercado GJ, Tovilla JC. Orbital tumors in
the older adult population. Ophthalmology.2002;243-8.
38. Bonavolantar G, Strianese D, Grassi P, Comune C, Tranva F et all. Journal Ophthalmology
Lampiran 1.
Tabel 2.Proporsi penderita tumor orbita range umur anak-anak dan dewasa
Umur (tahun) f(%)
0 - ≤19 >19 - <70 Jumlah (%)
Tabel 3: Proporsi jenis kelamin penderita tumor orbita di RSUP H. Adam Malik 2011-2013
JENIS KELAMIN F
(%) Laki-laki
Perempuan Jumlah (%)
Tabel 4: Proporsi lateralisasi penderita tumor mata di RSUP H. Adam Malik 2011-2013
LATERALISASI F
(%) OD
Tabel 5: Proporsi penderita tumor orbita berdasarkan umur dan jenis kelamin tercatat pada rekam
LAMPIRAN 2
LEMBARAN PENJELASAN PADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Kepada Yth
Bapak/Ibu/Saudara/i.
Di Tempat
Nama saya dr. Selly Azmeila, SpM, saat ini saya sedang menjalanin program pendidikan magister klinik di Fakultas Kedokteran – Universitas Sumatera Utara.
Saya sedang meneliti tentang Pasien Tumor Orbita pada Kamar Operasi RSUP HAM periode 2011-2013.
Adapun tujuan umum penelitian ini, untuk mengetahui karakteristik penderita tumor orbita di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2013.
Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik dan tindakan pada tumor orbita pada pasien RSUP HAM sehingga dapat memberikan sumbangan data epidemiologi bagi angka kebutaan di Sumatera Utara.
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran usia, jenis kelamin, diagnosis klinis dan penatalaksanaan penderita tumor orbita di RSUP H. Adam Malik dan sebagai bahan pengembangan keilmuan maupun penelitian selanjutnya di bidang Ilmu Kesehatan Mata.
Pada penelitian ini, saya akan mengambil data-data pasien dari buku laporan di kamar operasi bagian mata RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2011- Desember 2013.
Penelitian ini sama sekali tidak melibatkan pasien maupun keluarga pasien karena data-data pasien dicatat dari rekam medis di kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan.
Terima Kasih.
Medan,
Hormat saya
Lampiran 3
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
RIWAYAT PRIBADI
1. Nama : dr. Selly Azmeila, SpM
2. Tempat/tgl lahir : Medan/ 23 Agustus 1969
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Status : Kawin
6. Alamat : Perumahan Royal Sumatera, Cluster Diamond P04 NO 29
Jalan Jamin Ginting, Medan
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. S1 (Univ/Thn) : Fakultas Kedokteran USU (1995)
2. Sp1(Univ/Thn) : Fakultas Kedokteran UI (2010)
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Dokter PTT: - Puskesmas Deli Tua Medan 1996-1998
- Puskesmas Remu Sorong- Papua 1999-2002
KARYA ILMIAH/PUBLIKASIH
1. INTERNAL LIMITING MEMBRANE DRY IN MACULAR HOLE SURGERY
2. DIAMETER FOTOPIK DAN MESOPIK PUPIL PADA PASIEN KATARAK