• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi tindakan operatif pada pasien tumor orbita RS HAM tahun 2011-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi tindakan operatif pada pasien tumor orbita RS HAM tahun 2011-2013"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

Prevalensi Tindakan Operatif Pada Pasien Tumor Orbita

RS HAM

Tahun 2011

2013

TESIS

Oleh:

Dr. Selly Azmeila SpM

Pembimbing

Dr.dr.Masitha Dewi Sari, M-Ked(OpH), SpM

Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni,Mkes

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIS ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBARAN PERSETUJUAN TESIS

Nama : dr. Selly Azmeila SpM

Nomor Mahasiswa : 137041038

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik

Judul Tesis : Prevalensi tindakan operatif pada pasien tumor orbita RS HAM

tahun 2011-2013

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Dr.dr.Masitha Dewi Sari, M-Ked(OpH), SpM Dr.dr. Arlinda Sari Wahyuni,Mkes

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(3)

Saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya,

saya dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dalam bentuk tesis yang saya beri judul Pasien

Tumor Orbita Yang Dilakukan Tindakan Operatif Di Kamar Operasi RSUP H. Adam Malik

Periode Tahun 2011-2013 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah

Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.

Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program

Pendidikan Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara Medan dan memberikan izin penelitian.

Yang terhormat dr. Delfi, M-Ked(OpH), SpM(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu

Kesehatan Mata, dr. Aryani A. Amra, M-Ked(OpH),SpM sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Kesehtan Mata yang telah memberikan dorongan semangat. Juga terima kasih saya untuk

Dr.dr.Masitha Dewi Sari, M-Ked(OpH),SpM dan Dr.dr.Arlinda Sari Wahyuni,Mkes sebagai

pembimbing tesis saya ini.

Untuk suami tercinta Dr.dr.Muhammad Fidel Ganis Siregar M-Ked(OG), SpOG(K) yang

memberikan motivasi yang sangat besar, serta doa dan pengertiannya sehingga penelitian ini

selesai. Juga untuk “The Two Lion∙s”, Muhammad Ernesto Azguevara Ganis Siregar (Neto) dan

Muhammad Alessandro Azcesare Ganis Siregar (Sandro) terimakasih atas pengertiannya dan

doanya. Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga untuk kedua orang tua saya yang

sangat saya sayangi, H. Hasan Asly Chan dan Hj. Zulhizwar S-psi atas motivasinya dan doanya

kepada penulis. Juga terima kasih kepada mertua saya dr. H. Marah Ganti Siregar SpPA dan Hj.

Fatimah Hasibuan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya saya berharap

mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua. Akhirnya izinkan saya mohon

maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini,

(4)

Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amiin, Amiin Ya Robbal’alamin.

Medan, Januari 2014

(5)

Halaman

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rumusan Masalah 3 1.3. Tujuan Penelitian 3

1.3.1.Tujuan Umum 3

1.3.2.Tujuan Khusus 4

1.4. Manfaat Penelitian 4 BAB 2. KERANGKA TEORI 5 2.1.Orbita 5 2.2.Tumor Orbita 5 2.3.Palpebra 6

2.4. Protrusi Bola Mata 10

2.4.1. Proptosis 10 2.4.2. Pengukuran Nilai Protrusi Bola Mata 11

2.5. Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Protrusi Bola Mata 12

2.5.1.Usia 13 2.5.2.Jenis Kelamin 14

2.5.3.Antropometri 14

2.5.4. Parameter Orbita 15

2.5.5.Ras dan Etnis 15

2.5.6.Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata 15

(6)

2.7.Eksenterasi Orbita 17

2.7.1.Teknik Operasi Eksenterasi Orbita 17

2.8.Kornea 18

2.9.Retina 20

BAB 3. KERANGKA KONSEPSIONAL 23

3.1. Rancangan Penelitian 23

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 23

3.3. Populasi, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 23

3.3.1 Populasi 23

3.3.2 Sampel Penelitian 23

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 23

3.5. Desain Penelitian 23

3.6. Identifikasi Variabel 24

3.7. Defenisi Operasional 24

3.8. Alur Penelitian 25

3.9. Analisis Data 25

4. Hasil Penelitian 26

4.1.Analisis Data Univariat 26

4.2.Analisis Data Bivariat 28

5. Diskusi 31

6. Kesimpulan Dan Saran 33

7. Daftar Kepustakaan 34

(7)

LAMPIRAN 1:- Dummy Tabel 38

LAMPIRAN 2. Lembaran Penjelasan Pada Calon Subjek Penelitian 41

LAMPIRAN 3. Daftar Riwayat Hidup 42

LAMPIRAN 4: Keterangan Lolos Kaji Etik

Crosstabs

Master Tabel

(8)

Pendahuluan: Tumor orbita merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi tumor orbita di Negara-negara berkembang cukup tinggi.

Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita tumor orbita di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2013

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita tumor orbita sebanyak 68 kasus.

Hasil Penelitian: Proporsi penderita tumor orbita menurut kelompok umur paling banyak pada range umur 41-50 tahun 20,6% atau umur >13 tahun 82,4%, dari segi jenis kelamin maka laki-laki lebih banyak dari perempua 53%, sedangkan dari lateralisasi maka mata kiri 54,4% lebih banyak dari mata kanan 45,6%. Pada pemilihan jenis operasi yang paling banyak dilakukan pada pasien tumor orbita adalah rekonstruksi palpebra (32,4%), diikutin rekonstruksi palpebra dan ektraksi/pengangkatan tumor orbita (26,5%) pada usia anak-anak 0-19 tahun maupun pada usia dewasa >19-70 tahun. Pada data bivariat setelah diuji korelasi hubungan antar jenis kelamin dengan umur adalah tidak bermakna yang artinya tidak ada hubungannya antar jenis kelamin dengan umur.

Kesimpulan:Penderita tumor orbita yang paling banyak dilakukan tindakan operatif jenis kelamin laki-laki pada usia >40 tahun, dan penatalaksanaannya yaitu operatif adalah tindakan rekonstruksi palpebra. Penderita tumor orbita tidak ada huungannya antara jenis kelamin dengan umur penderita

(9)

ABSTRACT

Purpose: Orbital tumors are quitc common and have high morbidity and mortality rates. The prevalence in developing countries is qurte high. This study aimed to know the characteristics of orbital tumors patients at Adam Malik Hospital on January 2011 until December 31, 2013.

Material and Methods: This is a descriptive study with case series. The study's population comprised of 68 orbital tumor cases.

Results and Analysis: The age range of orbital tumors is highest in 41-50 age groups (20,6%), or the >13 old group (82,4%). The male group suffered more orbital tumors (52%) than female

group. The left eye is more commonly involved (54,4%) than the right eye. The most common surgeries performed in both age groups were eyelid reconstruction (32.4%) and orbital tumor excision (26.5%) In bivariate analysis, there is no significance between sex and age group.

Conclusion: Patients with tumors of the orbit of the most widely performed operative action sex men at age> 40 years, and its management which are operative action lid reconstruction. Patients with orbital tumors no sex with his relation between patient age

(10)

Pendahuluan: Tumor orbita merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi tumor orbita di Negara-negara berkembang cukup tinggi.

Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita tumor orbita di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2013

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita tumor orbita sebanyak 68 kasus.

Hasil Penelitian: Proporsi penderita tumor orbita menurut kelompok umur paling banyak pada range umur 41-50 tahun 20,6% atau umur >13 tahun 82,4%, dari segi jenis kelamin maka laki-laki lebih banyak dari perempua 53%, sedangkan dari lateralisasi maka mata kiri 54,4% lebih banyak dari mata kanan 45,6%. Pada pemilihan jenis operasi yang paling banyak dilakukan pada pasien tumor orbita adalah rekonstruksi palpebra (32,4%), diikutin rekonstruksi palpebra dan ektraksi/pengangkatan tumor orbita (26,5%) pada usia anak-anak 0-19 tahun maupun pada usia dewasa >19-70 tahun. Pada data bivariat setelah diuji korelasi hubungan antar jenis kelamin dengan umur adalah tidak bermakna yang artinya tidak ada hubungannya antar jenis kelamin dengan umur.

Kesimpulan:Penderita tumor orbita yang paling banyak dilakukan tindakan operatif jenis kelamin laki-laki pada usia >40 tahun, dan penatalaksanaannya yaitu operatif adalah tindakan rekonstruksi palpebra. Penderita tumor orbita tidak ada huungannya antara jenis kelamin dengan umur penderita

(11)

ABSTRACT

Purpose: Orbital tumors are quitc common and have high morbidity and mortality rates. The prevalence in developing countries is qurte high. This study aimed to know the characteristics of orbital tumors patients at Adam Malik Hospital on January 2011 until December 31, 2013.

Material and Methods: This is a descriptive study with case series. The study's population comprised of 68 orbital tumor cases.

Results and Analysis: The age range of orbital tumors is highest in 41-50 age groups (20,6%), or the >13 old group (82,4%). The male group suffered more orbital tumors (52%) than female

group. The left eye is more commonly involved (54,4%) than the right eye. The most common surgeries performed in both age groups were eyelid reconstruction (32.4%) and orbital tumor excision (26.5%) In bivariate analysis, there is no significance between sex and age group.

Conclusion: Patients with tumors of the orbit of the most widely performed operative action sex men at age> 40 years, and its management which are operative action lid reconstruction. Patients with orbital tumors no sex with his relation between patient age

(12)

BAB 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia masalah kesehatan mata saat ini adalah masih tingginya angka kebutaan. Katarak merupakan penyebab kebutaan terbanyak saat ini, sedangkan masalah kesehatan mata

yang lain termasuk penyakit tumor orbita.1 Tujuan upaya kesehatan mata di Indonesia antara

lain adalah menurunkan angka kebutaan, kesakitan mata dan gangguan penglihatan. Salah satu

ancaman dan kesakitan mata disebabkan oleh penyakit tumor mata. Angka kejadian tumor mata

dibandingkan dengan penyakit mata lainnya terhitung kecil, hanya 1% diantara penyakit

keganasan lainnya. Namun dampak yang ditimbulkan oleh tumor mata pada penderita cukup

besar, karena mengakibatkan kebutaan bahkan kematian karena sifat metastasisnya.2,3

Tumor orbita adalah tumor yang menyerang orbita. Sehingga merusak jaringan lunak

mata, seperti otot mata, syaraf mata, dan kelenjar air mata. Rongga orbita di batasi sebelah

medial oleh tulang yang membentuk dinding luar, sinus ethmoid, dan sphenoid. Sebelah

superior oleh dasar fossa anterior, dan sebelah lateral oleh zigoma, tulang frontal, dan sayap

sphenoid besar. Sebelah inferior oleh atas sinus maksilaris.1

Tumor orbita dapat berupa tumor primer maupun tumor sekunder dan dapat bersifat jinak

maupun ganas. Semua jaringan pada orbita dapat mengalami neoplasia. Perluasan dari struktur

anatomi yang berdekatan, seperti kelainan limfoproliferatif dan metastasis hematogen dapat

menyebabkan invasi sekuder pada orbita.2 Beberapa studi mengajukan pembagian tumor orbita

berdasarkan lokasinya sebagai berikut; tumor lakrimal, limfoma, tumor syaraf optik, keganasan

infiltratif karena berbeda pendekatan pengobatan.3-5

Pemeriksaan awal penderita adalah bertujuan membuat diagnosis. Diagnosis tumor orbita

bergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis

terpenting dari tumor orbita adalah proptosis, namun proptosis tidak selalu menjadi keluhan

utama. Keluhan utama pasien dapat pula berupa gangguan tajam penglihatan, diplopia, kelopak

mata sulit dibuka, atau nyeri.6,7 Pada pemeriksaan fisik, perhatian khusus perlu diberikan pada

pemeriksaan tajam penglihatan, lapang pandang, respon pupil, gerakan bola mata dan inspeksi

(13)

tersering tumor orbita, yang terjadi pada 90% tumor orbita primer.7 Moeloek mendapatkan

model diagnostik tumor orbita dengan gejala klinis, usia, penurunan visus, penglihatan ganda,

pelebaran fisura, proptosis dan terabanya massa. Nilai skoring tertinggi didapat pada gejala

proptosis.8

Pemeriksaan penunjang pada tumor orbita mencakup pemeriksaan darah lengkap jika perlu

termasuk penanda ganas, tes fungsi tiroid, ultrasonografi, computerizedtomographyscan (CT scan), magnetic resonance imaging (MRI) dan arteriografi). Saat ini8 CT scan adalah teknik terbaik untuk deteksi dan lokalisasi lesi orbita.7,9 Pemeriksaan satandar baku untuk penentuan

jenis tumor orbita adalah pemeriksaan patologi anatomi (PA).9

Diagnostik penunjang merupakan pemeriksaan yang diperlukan dalam penatalaksanaan

penderita tumor orbita setelah pemeriksaan klinis. Berbagai macam tumor orbita baik jinak

maupun ganas memberikan gambaran CT scan orbita yang berbeda-beda. Jenis tumor orbita

berbagai ragamnya dan pada tindakan perlu diketahui ketepatan diagnosis, minimal mengetahui

sifat jinak atau ganas dari hasil pemeriksaan patologi anatomi. Sebagai ilustrasi 50% massa yang

melibatkan kelenjar lakrimal adalah tumor epitel. Lesi lainnya mencakup kelainan

limfo-inflamsi. Diperkirakan separuh dari tumor epitel kelenjar lakrimal adalah neoplasma jinak.

Adenoma pleomorfik adalah neoplasma jinak tersering yang ditemukan. Karsinoma kistik

adenoid dan karsinoma mukoepidermoid adalah bentuk keganasan tersering yang berasal dari

kelenjar lakrimal.3,7 Tindakan pada adenoma pleomorfik adalah pengangkatan intoto tanpa

didahului tindakan biopsi sebagai ketepatan diagnosis. Oleh karena itu ketepatan diagnosis pada

seluruh tumor orbita sangat diharapkan dari pemeriksaan penunjang, salah satunya adalah CT

scan.

Salah satu pengobatan pada penderita tumor orbita adalah tindakan radikal berupa

tindakan eksenterasi yang jelas mengakibatkan kebutaan. Tindakan ini merupakan hal yang

kontradiktif bagi dokter ahli mata. Di satu pihak dokter mata bekerja seteliti mungkin untuk

mempertahankan penglihatan dan bola mata, di lain pihak terpaksa melakukan tindakan operasi

radikal untuk mempertahankan nyawa penderita.4,5

Penderita tumor orbita yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan umumnya berada

(14)

radikal, yaitu eksenterasi orbita. Eksenterasi orbita yaitu tindakan pengangkatan bola mata,

jaringan lunak orbita, beserta kelopak mata dan di ikutin dengan rekonstruksi kelopak mata.

Indikasi eksenterasi orbita umumnya adalah untuk penderita tumor ganas orbita, dalam upaya

penyelamatan kehidupan penderita dan tumor jinak orbita dengan indikasi tertentu. Upaya hidup

dari penderita tumor tidak semata-mata oleh karena tindakan orbital, tetapi juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor lain.7

Stadium tumor memang berpengaruh terhadap prognosis kehidupan penderita. Tindakan

eksenterasi orbita dilakukan pada stadium lanjut. Akan tetapi pada tumor epitel seringkali bukan

hanya stadium yang menentukan, tetapi besar dan lokasi tumor juga berperan. Tindakan eksisi

pada palpebra, harus diikutin dengan rekonstruksi yang memadai sehingga fungsi palpebra

kembali sebagai organ yang dapat memproteksi bola mata.7,8

1.2.Rumusan Permasalahan

Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik (RSUP HAM) di Medan merupakan rumah

sakit pelayanan tersier di pulau Sumatera. Maka berbagai macam pasien tumor yang dirujuk ke

RSUP HAM dengan berbagai jenis tumor, baik yang stadium awal maupun sudah stadium lanjut.

Di Poliklinik Mata RSUP HAM belum ada data tertulis mengenai karakteristik klinis pasien

tumor. Bagaimana karakteristik klinis pasien tumor orbita yang datang ke Poliklinik Mata RSUP

HAM? Bagaimana jenis tindakan operatif/terapi yang diberikan.

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi tindakan operatif pada penderita tumor orbita di

(15)

1.3.2.Tujuan Khusus

1. Mengetahui penderita tumor orbita berdasarkan usia

2. Mengetahui penderita tumor orbita berdasarkan jenis kelamin

3. Mengetahui penderita tumor orbita berdasarkan lateralisasi

4. Mengetahui penatalaksanaan pada penderita tumor orbita

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prevalensi dan tindakan pada

tumor orbita pada pasien RSUP HAM sehingga dapat memberikan sumbangan data epidemiologi

bagi angka kebutaan di Sumatera Utara.

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran usia, jenis kelamin, diagnosis klinis

dan penatalaksanaan penderita tumor orbita di RSUP H. Adam Malik dan sebagai bahan

(16)

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1. Orbita

Orbita adalah suatu rongga yang berisikan bola mata dengan jaringan lunak sebagai

bantalan bola mata. Rongga tersebut berbentuk piramid, yang memiliki dasar berbentuk

kuardrangular terbuka disebelah anterior, berukuran 4 cm horizontal dan 3,5 cm vertikal. Atap

orbita memiliki bentuk triangular. Dinding medial orbita berjarak 2,5 cm satu sama lainnya, dan

dinding lateralnya saling membentuk sudut dengan fossa lakrimal yang terletak pada kedalaman

2 cm. dinding orbita terdiri 7 macam tulang, yaitu tulang etmoid, frontal, lakrimal, maksila,

palatum, sphenoid dan zigomatik. Para ahli membagi rongga orbita menjadi 4 bagian, yaitu atap

orbita, dinding lateral, dinding medial dan dasar orbita.9-11

2.2. Tumor Orbita

Jenis tumor orbita: 9,12 1. Tumor orbita primer

Tumor orbita primer adalah tumor orbita yang berasal dari jaringan orbita sendiri. Tumor

orbita ini dapat bersifat jinak maupun ganas.

2. Tumor orbita sekunder

Tumor orbita sekunder adalah tumor orbita yang berasal dari berbagai organ lain di

tubuh. Sifat tumor ini biasanya ganas. Proptosis yang terjadi biasanya biasanya disertai

destruksi tulang orbita dan dapat terjadi oftalmoplegi.

3. Tumor epitel

Tumor orbita yang berasal dari jaringan epitel, yang termasuk jenis ini adalah karsinoma

sel basal atau basalioma, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna, adenokarsinoma.

(17)

Berdasarkan asal jaringan dan sifat tumor, dapat dibagi 4 kelompok yaitu tumor primer

jinak orbita, tumor primer ganas orbita, tumor epitel sekunder orbita, dan tumor invasi atau

metastasis.

2.3. Palpebra

Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungin

struktur-struktur mata yang rentan. Palpebra sangat mudah digerakkan karena kulit disini paling

tipis diantara kulit di bagian lain. Muskulus orbikularis oculi melekat pada kulit. Permukaan

dalamnya disyarafi nervus facialis (nervus VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra.

Otot disini terbagi dalam bagian orbital, preseptal, dan paratarsal. Bagian orbital, yang terutama

berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertion temporal. Otot

praseptal dan paratarsal memiliki kaput medial superfisial dan profundus, yang turut serta dalam

pemompaan air mata.10

Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah digerakkan daripada palpebra inferior.

Sebuah alur yang dalam, biasanya diposisi tengah palpebra superior pada orang Caucasian,

merupakan tempat perlekatan serat-serat otot levator. Alur ini jauh lebih dangkal atau bahkan

tidak ada pada palpebra orang Asia. Dengan meningkatnya usia, kulit tipis palpebra superior

cenderung mengantung diatas alur palpebra itu sampai menyentuh bulu mata. Penuaan juga

menipiskan septum orbital sehingga terlihat bantalan lemak di bawahnya.11-13

Tumor pada mata dapat dibagi dua, tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak palpebra

sangat umum dan frekwensinya dengan bertambah semakin meningkatnya usia. Kebanyakan

mudah dikenali di klinik, dan eksisi dilakukan dengan alasan kosmetik. Meskipiun begitu

seringkali lesi ganas sulit dikenalin secara klinik, dan biopsi harus selalu dilakukan jika ada

kecurigaan keganasan.11-13

Tumor ganas palpebra, karsinoma sel basal dan sel skuamosa palpebra adalah tumor mata

ganas paling umum. Tumor-tumor ini paling sering terdapat pada orang bercorak kulit terang

(18)

karsinoma palpebra adalah dari jenis sel basal. Sisa 5% terdiri atas karsinoma sel skuamosa dan

karsinoma kelenjar meibom.14

Karsinoma sel basal, umumnya tumbuh lambat dan tanpa sakit, berupa nodul yang tidak

atau dapat berulkus. Karsinoma ini secara perlahan menyusupin ke jaringan sekitar namun tidak

bermetastasis. Studi potong-beku tepian irisan terutama penting untuk karsinoma sel basal

bersklerosis, karena tepian tumor secara klinis tidak nyata. Eksisi yang dikontrol secara

mikroskopik (teknik Mohs yang dimodifikasi), dipakai sejumlah ahli penyakit kulit untuk

mendapatkan eksisi total. Kasus tertentu dapat diobatin dengan cara seperti radioterapi dengan

nitrogen cair 14,15

Karsinoma sel skuamosa juga tumbuh lambat dan tanpa rasa sakit, seringkali berawal

sebagai sebuah nodul hiperkeratotik, yang dapat berulkus. Tumor radang jinak seperti

keratokanthoma sangat mirip karsinoma. Diagnosis tepat tergantung pada biopsi. Seperti

karsinoma sel basal, tumor ini dapat menyisip dan mengkikis jaringan sekitarnya, mereka dapat

pula menyebar ke limfonodus regional melalui sistim limfatik.17

(19)

Karsinoma kelenjar sebasea, paling sering muncul dari kelenjar meibom dan kelnjar Zeis,

namun dapat pula muncul dalam kelenjar sebasea alis mata atau karunkulum. Separuhnya mirip

lesi dan kelainan radang jinak seperti chalazion dan blepharitis menahun. Karsinoma ini lebih

agresif dari karsinoma sel skuamosa, sering meluas kedalam orbita, memasuki pembuluh limfe,

dan bermetastasis.17,18

Sarkoma jaringan lunak pada orbita jarang dan biasanya berupa perluasan ke anterior

tumor-tumor orbita. Rhabdomiosarkoma palpebra dan orbita adalah tumor ganas primer paling

umum di temukan dijaringan ini dalam dekade pertama kehidupan. Tumor palpebra adalah tanda

pertama. Kombinasi radioterapi biasanya efektif untuk mempertahankan fungsi mata dan

menghindari kematian.18

Melanoma ganas palpebra serupa dengan melanoma kulit dibagian lain dan terdiri atas tiga

golongan berbeda: melanoma yang menyebar superfisial, melanoma ganas lentigo, dan

melanoma nodular. Tidak semua melanoma ganas berpigmen. Kebanyakan lesi yang berpigmen

pada kulit palpebra bukan melanoma. Karenanya harus di biopsi untuk menegakkan diagnosis.

Prognosis melanoma kulit tergantung kedalaman invasi atau kedalaman lesi. Tumor dengan

kedalaman kurang dari 0,76 mm jarang bermetastase.18

Tumor dan pseudotumor (non-spesific orbital inflamtion, idiopathic orbital inflammation

atau orbital inflammatory syndrome) kadang kala sangat sulit dibedakan. Pseudotumor adalah lesi inflamasi yang menyerupai lesi neoplastik terdiri dari respon sel pleomorfis dan reaksi

jaringan fibrovaskular tanpa diketahui penyebabnya, baik local maupun sistemik.19-22

Pseudotumor pertama sekali dideskripsikan oleh Birch-Hirscfield pada tahun 1905

terhadap sindrom dengan gambaran klinis jinak atau neoplasma ganas yang pada saat dilakukan

eksplorasi bedah dan biopsy didapatkan jaringan inflamasi. Diagnosis ini kemudian meluas

menjadi “keranjang sampah” penyakit lain yang sulit di diagnosis pada saat itu. Dengan

berkembangnya metode diagnosis tumor mata, spectrum pseudotumor semakin menyempit.

Defenisi pseudotumor pada literature terkini adalah inflamasi orbita non spesifik tanpa

ditemukannya penyebab spesifik baik local maupun sistemik.20,21

Pseudotumor merupakan lesi jinak yang sering ditemukan di orbita. Pada sebuah seri

(20)

mencapai 4,6% dari total tumor orbita. Insiden yang sebenarnya di perkirakan lebih tinggi karena

sejumlah besar kasus tidak dibiopsi.22 Shields dkk23 yang melakukan survey terhadap 1264

pasien dalam periode 30 tahun di Wills Eye Hospital mendapat pseudotumor pada 98 kasus (8%)

Patogenesis pseudotumor dipahami bersamaan dengan ditelitinya mekanisme inflamasi.

Makrofag memproses dan mempersentasekan antigen untuk limfosit T helper untuk mengawalin respon imun seluler. Pada T helper berproliferasi dan memproduksi sitokinin dan mengakibatkan sel T efektor bertambah banyak dan mengakibatkan lisis sel. Sitokinin yang dihasilkan akan

menarik dan mengaktifkan makrofag. Sitokini selain mengakibatkan lisis sel yang mengandung

antigen, juga mengakibatkan kerusakan jaringan dan fibrosis secara klinis didapatkan sebagai

nyeri orbita, pembengkakan dan menurunkan fungsi. Pada saat yang bersamaan, respon humoral

diawalin dimana sel B berproduksi, sebagian membentuk folikel, sebagian lagi berubah menjadi

sel plasma yang membentuk antibodi. Apabila jaringan mengalami perbaikan, maka akan tampak

gambaran peradangan kronis.23

(21)

2.4. Protrusi Bola Mata

Protrusi bola mata diukur dari puncak kornea menuju garis sejajar yang dilalui oleh kedua

titik margin rima orbita lateral.

2.4.1. Proptosis

Proptosis adalah peningkatan yang abnormal dari nilai protrusi bola mata. Eksoftalmus adalah proptosis yang biasanya disertai dengan kelainan kelenjar tiroid, sedangkan enoftalmus

adalah penurunan abnormal nilai protursi bola mata.2 Pseudoproptosis disebabkan akibat

penonjolan bola mata yang bukan disebabkan peningkatan isi bola mata. Penyebab dari

pesudoproptosis adalah antara lain membesarnya bola mata akibat myopia tinggi, kelemahan

atau parese otot ekstra ocular, enoftalmos mata sebelahnya, ukuran orbita yang tidak simetris,

fisura palpebra yang tidak simetris (umumnya akibat kelopak mata ipsilateral atau parese saraf

wajah atau ptosis kontralateral).26

Ada studi biopsi terhadap kasus proptosis pada anak-anak yang dilakukan oleh Shields

dkk, mendapatkan bahwa 85% kasus proptosis disebabkan oleh lesi jinak seperti kista, lesi

inflamasi, atau hamartoma. Rabdomiosarkoma, retinoblastoma, dan leukemia terdapat pada

sisanya 25% kasus proptosis.27

Tabel 1.1 jumlah dan persentase lesi penyebab proptosis pada anak28

(22)

Abnormalitas kraniofasial akibat trauma wajah atau kelainan congenital dapat menyebabkan

proptosis

2.4.2. Pengukuran Nilai Protrusi Bola Mata

Tindakan pengukuran protrusi mata disebut eksoftalmometri. Teknik eksoftalmometri ini

merupakan teknik pemeriksaan yang penting dalam evaluasi pasien dengan kelainan orbita.

Terdapat 3 jenis pengukuran eksoftalmometri, yaitu:2

a. Eksoftalmometri absolut, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan nilai

rerata standar yang ada. Eksoftalmometri absolut sangat penting dalam diagnosis

proptosis bilateral, karena pada keadaan ini protrusi kedua mata.

b. Eksoftalmometri relatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan mata

sebelahnya pada individu yang sama. Eksoftalmometri relative penting dalam diagnosis

proptosis unilateral. Sebagian besar penelitian yang telah ada mendapatkan nilai relatif

protrusi bola mata yang tidak lebih dari 2 mm

c. Eksoftalmometri komparatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan

mata yang sama dalam periode waktu tertentu. Eksoftalmometri komparatif penting

dalam memonitor perubahan besar protrusi seiring waktu yang berjalan, sehingga dapat

mengikutin progresifitas proptosis tersebut.

Pada beberapa studi, pengukuran luar daerah orbita atau fotografi teleh dilakukan

untuk mengukur anatomi mata dan daerah sekitar wajah. Namun, teknik ini tidak dapat

menggambarka tulang dan jaringan lunak secara akurat.29

Alat eksoftalmometri hingga saat ini yang paling sering digunakan adalah “Hertel

eksoftalmometri”, namun alat ini sulit dipakai apabila terdapat kelainan pada rim orbita

lateral, seperti pada pasien dengan riwayat pengambilan tulang rima orbita lateral pada

(23)

Gambar3.1. Cara pemeriksaan Hertel Eksoftalmometri pada Pasien31

Bogren dkk22 membandingkan Hertel eksoftalmometri dengan teknik pengukuran

secara radiografik. Mengukur dengan teknik radiografik pada protrusi bola mata secara

akurat dan sensitif. Namun, pengukuran ini sangat rumit dan mahal. Hertel eksoftalmometri

yang digunakan sebagai pembanding teknik radiografik tersebut dinyatakan lebih mudah

digunakan dan lebih siap sedia untuk kepentingan klinis. Hertel eksoftalmometri telah

banyak digunakan oleh para klinisi untuk menentukan protrusi bola mata pasien.22 Pada

tahun 2001, Kim dan Choi25 membandingkan pengukuran oleh CT Scan orbita dengan

Hertel eksoftalmometri di Korea dan menentukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

antara kedua alat ukur tersebut.

2.5. Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Protrusi Bola Mata

Sebagian besar peneliti menyatakan bahwa parameter orbita seperti jarak rima orbita

lateral dan jarak antara pupil memiliki korelasi positif dengan nilai protrusi bola mata.2,9,21,25

Namun usia, jenis kelamin, antropometri tinggi badan dan indeks massa tubuh, dan status

refraksi masih memberikan variasi terhadap nilai protrusi bola mata. Panjang sumbu bola mata

(24)

2.5.1. Usia

Fledelius dkk9 pada tahun 1986 meneliti perubahan posisi bola mata seiring pertumbuhan

dan saat dewasa pada subjek dengan rentang usia 5-80 tahun. Pada penelitiannya ditemukan

bahwa terdapat hubungan liniar antara nilai protrusi bola mata dengan usia hingga usia 20 tahun,

selanjutnya nilai protrusi bola mata menjadi stabil.

linier meningkat kemudian menurun pada dekade kedua dan meningkat lagi pada dekade ketiga.

Nilai protrusi bola mata stabil setelah dekade ketiga dan keempat. Peningkatan nilai protrusi bola

mata pada dekade kedua hingga dekade ketiga diduga akibat peningkatan deposit lemak.

Ghozi dkk8 tahun 1984 meneliti nilai protrusi bola mata pada subyek di Jogyakarta. Pada

kelompok usia 6-12 tahun memiliki nilai protrusi bola mata sebesar 16,42±1,77 mm pada

laki-laki dan 16,64±1,96 mm pada perempuian. Pada penelitian ini tidak terlihst adanya hubungtan

antara nilai protrusi bola mata dengan usia. Namun di Indonesia maupun di luar negeri ada

beberapa studi yang btelah dilakukan maka terdapat perbedaan pola hubungtan antara nilai

protrusi bola mata dengan usia yang dapat disebabkan pertumbuhan orbita dan ras.

2.5.2. Jenis Kelamin

Waever dkk29 menemukan bahwa parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral, protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior,

perimetri rima orbita memiliki ukuran yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita. Chan

dkk4 dan Quant dkk22 menemukan bahwa laki-laki memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih

tinggi secara signifikan dibandingkan wanita. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki postur

(25)

tahun 1984 ditemukan nilai protrusi bola mata secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki

daripada wanita.8

Kaye dkk32 meneliti 462 pasien dengan rentang usia 9-82 tahun dan menemukan bahwa

tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan wanita.

Tsai dkk33 mendapatkan perbedaan signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan

wanita.

Pengaruh jenis kelamin terhadap nilai protrusi bola mata masih kontroversi. Hal ini diduga

terjadi karena pengaruh ras.

2.5.3 Antropometri

Peyster dkk34 menemukan bahwa pada pasien dengan obesitas, terdapat peningkatan lemak

orbita dibandingkan pasien normal. Wear dkk29 meneliti antropometri orbita dan mata pada 39

subjek dengan ras Kaukasia. Mereka melakukan analisis korelasi multivariat antara tinggi badan

dengan parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral,

protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior, perimetri rima orbita) dan menemukan

bahwa tinggi badan merupakan faktor utama yang mempengaruhi adanya variasi antropometri

orbita.

Smoldrers dkk4 penelitiannya berupa nilai protrusi bola mata pada subjek dengan

IMT 30kg/m2 dan dibandingkan dengan control 26>IMT 20 kg/m2. Mereka menemukan

bahwa pasien obesitas memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih tinggi serta diameter otot

rektus medial yang lebih besar. Hal ini diduga akibat meningkatnya ukuran leak retro orbita dan

otot intraorbita pada subjek dengan IMT 30kg/m2

Kaskouli dkk21 pada penelitiannya ditemukan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara

protrusi bola mata dengan tinggi badan dan berat badan pada kelompok anak-anak, sedang pada

kelompok remaja ditemukan korelasi yang signifikan dengan tinggi badan dan berat badan.

Inkonsistensi hubungan nilai protrusi bola mata dengan antropometri (tinggi badan, IMT)

(26)

2.5.4. Parameter Orbita

Beberapa penelitian menemukan korelasi linear yang positif antar nilai protrusi bola mata

dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil.21,22,32 Hal ini diduga akibat lebih landainya

rongga orbita pada jarak rima orbita lateral yang lebih besar. Meskipun nilai protrusi bola mata

dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil memiliki korelasi yang positif, keadaan

tersebut bukan sesuatu proses sebab akibat, namun merupakan hal yang terjadi bersamaan.21

2.5.5. Ras dan Etnis

Penelitian di berbagai negara telah dilakukan dalam upaya pencarian nilai normal protrusi

bola mata. Kashkauli dkk21 meneliti nilai proetrusi bola mata di Iran dan menemukan rerata nilai

protrusi bola mata sebesar 14,2±1,8 mm pada kelompok anak-anak. Quant dkk22 mendapat nilai

protrusi bola mata pada anak di Hongkong sebesar 15-17mm. Fledelius dkk9 meneliti nilai

protrusi bola mata pada ras Kaukasia pada tahun 1986. Mereka mendapatkan nilai protrusi bola

mata pada kelompok usia 5-10 tahun sebesar 13,6±1,75 mm untuk perempuan dan 13,7±1,4 mm

untuk laki-laki. Sodhi dkk15 meneliti nilai protrusi bola mata pada populasi India, mereka

menemukan rerata nilai normal protrusi bola mata kelompok usia 3-10 tahun pada jenis kelamin

laki-laki adalah 13,02 mm (mata kanan) dan 13,09 mm (mata kiri), sedangkan pada jenis kelamin

perempuan adalah 13,06 mm (mata kanan) dan 13,03 mm (mata kiri).

Berdasarkan berbagai ;penelitian yang telah dilakukan, tampak variasi nilai normal

protrusi bola mata menurut ras atau etnis dilokasi geografis tertentu. Nilai normal protrusi bola

mata yang sesuai dengan ras atau etnis setempat dibutuhkan sebagai evaluasi adanya kelainan di

orbita juga untuk menilai keberhasilan pengobatan kelainan di orbita.

2.5.6. Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata

Status refraksi menyatakan status bayangan yang terbentuk pada posisi tertentu dari retina.

Status refraksi terdiri dari emetropia dan ametropia. Emetropia adalah status refraksi dimana

cahaya sejajar dengan datang dari objek jauh tak terhingga sampai tepat di retina pada mata yang

tidak berakomodasi. Ametropia adalah keadaan selain emetropia. Ametropia dibagi menjadi

aksial dan refraktif. Pada ametropia aksial, bola mata cenderung lebih panjang pada myopia, dan

(27)

normal, namun kekuatan refraksi bola mata yang asbnormal. Pada myopia refraktif kekuatan

refraksi tinggi sedangkan pada hipermetropia kekuatan refraksi rendah.

Faktor biometri yang mempengaruhi status refraksi yaitu kurvatura kornea, kedalaman bilik

mata depan, ketebalan lensa, panjang vitreus, dan panjang sumbu bola mata.35 Faktor genetik

memiliki korelasi yang signifikan terhadap kejadian myopia. Faktor lingkungan seperti aktifitas

lihat dekat, status antropometri, tingkat pendidikan diduga memiliki hubungan dengan kejadian

myopia. Saw dkk36 pada penelitian terlihat bahwa tinggi badan berhubungan dengan refraksi

yang lebih negative/myopia. Berat badan yang lebih besar dan anak yang lebih obesitas

cenderung memiliki refraksi kearah hiperopia. Penemuan tersebut bervariasi berdasarkan jenis

kelamin. Nora dkk35 menemukan bahwa obesitas juga memperlihatkan hubungan dengan

kejadian myopia walaupun kekuatan hubungan lemah. Penelitian ini tidak mendapatkan

hubungan tinggi badan terhadap kejadian myopia.36

Quant dkk22 pada penelitiannya memasukkan subjek dengan semua status refraksi dan

menemukan bahwa status refraksi memiliki korelasi negatif lemah dengan nilai protrusi bola

mata. Hal ini diduga karena sedikitnya jumlah subjek dengan myopia tinggi. Penelitian ini juga

menemukan bahwa panjang bola mata dan status refraksi memiliki korelasi yang kuat pada

subjek anak-anak di Hongkong. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai protrusi bola mata

pada myopia tinggi. Sehingga dalam menilai protrusi bola mata, perlu mempertimbangkan status

refraksi juga.

Chan dkk4 pada tahun 2009 melakukan penelitian yang merupakan studi berbasis populasi

pertama yang menilai hubungan protrusi bola mata dengan biometri. Penilaian biometri dan

status refraksi yang dilakukan oleh Chan dkk dapat menganalisa peran panjang sumbu bola mata

terhadap pseudoproptosis. Mereka menemukan bahwa meskipun terdapat korelasi positif antara

derajat miopia dengan panjang bola mata, namun spherical equivalent tidak berhubungan dengan protrusi bola mata. Pada analisis regresi mereka menemukan bahwa panjang sumbu bola mata

merupakan faktor prediktor bebas terhadap nilai protrusi bola mata, sedangkan status refraksi

tidak mempengaruhi nilai protrusi bola mata secara signifikan.4

(28)

2.6. Pengobatan Tumor Orbita

Pengobatan yang diberikan pada penderita tumor orbita tidaklah sama, tergantung dari

jenis tumor dan stadium pada saat tumor ditemukan. Pada tumor jinak, tindakan pembedahan

mudah dilakukan tanpa mengganggu bola mata, sehingga penglihatan dan kosmetik wajah tidak

terganggu. Namun bila pada pemeriksaan mikroskopik dan patologi anatomi (PA) menunjukkan

tanda-tanda keganasan, maka harus segera dilakukan pengangkatan secara radikal dan

eksenterasi, yaitu membuang tumor beserta seluruh isi dan jaringan yang ada di dalam rongga

orbita, termasuk bola mata dan periosteum dinding orbita. Pada tumor yang sudah stadium lanjut

dan sudah terdapat metastatasis sistemik atau intrakranial, tidak lagi dilakukan tindakan operatif,

melainkan dengan tindakan radioterapi atau kemoterapi.7,13

2.7. Eksenterasi Orbita

Eksenterasi orbita adalah tindakan pengangkatan seluruh isi bola mata, jaringan lunak orbita, periosteum dinding orbita, beserta kelopak mata.7,14-16

2.7.1. Teknik operasi eksenterasi orbita

Operasi eksenterasi orbita ada 2 jenis, yaitu: 1. Eksenterasi orbita total

Sesuai dengan defenisi pembedahan diatas pada eksenterasi total, kelopak mata tidak

ditinggalkan. Teknik operasi eksenterasi orbita total: dengan melakukan insisi

sepanjang rima orbita, pada perbatasan periosteum dan periorbita, yang dilanjutkan

dengan pengelupasan periorbita untuk dapat segera mengeluarkan isi orbita, lalu

dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin di daerah apeks. Insisi

permulaan dapat dilakukan di kuadran mana saja, tetapi lebih sering di lakukan

didaerah yang kurang vaskularisasinya. Daerah yang kurang vaskularisasinya berada di

kuadran temporal. Pada saat insisi, perdarahan yang terjadi cukup banyak dan dapat

(29)

disukai adalah operasi dengan menggunakan CO2 laser. Insisi dapat dilakukan

sekaligus dengan cepat dapat memperhatikan perdarahan yang terjadi, kecuali yang

berasal dari arteri. Perdarahan akan segera berhenti pada saat periorbita dan periosteum

telah diangkat dan setelah amputasi dilakukan didaerah apeks. Tetapi perdarahan masih

dapat terjadi setelah pengelupasan periosteum, karena darah berasal dari pembuluh

darah infra orbita superior dank anal optik. Perdarahan dari sumber ini dapat diligasi

atau dikauterisasi. 7,14,15

2. Eksenterasi orbita subtotal

Eksenterasi subtotal merupakan modifikasi dari eksenterasi total (klasik), dengan tidak

mengangkat kelopak mata. Eksentersi subtotal biasanya dilakukan pada tumor orbita

yang terlokalisir, berbatas tegas, satu nodul dan belum berinvasike kelopak mata.

Sebagai contoh, tumor epibulbar yang belum bereksistensi ke palpebra dapat di batasi

dengan mengangkat isi orbita saja. Umumnya para penderita lebih memilih

pembedahan eksenterasi subtotal daripada eksenterasi total. Tetapi pada beberapa

tumor ganas tindakan eksenterasi subtotal tidak dibenarkan, walaupun tumor masih

dalam stadium dini. Teknik operasi eksenterasi orbita subtotal, bola mata dan jaringan

orbita atau tumor epibulbar diangkat sekaligus. Insisi dilakukan mengelilingin daerah

forniks, dilanjutkan dengan melakukan pengelupasan periorbita untuk dapat

mengeluarkan isi orbita, lalu dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin

di daerah apeks. Untuk mengatasi perdarahan, dilakukan ligasi dan kauterisasi sama

seperti teknik operasi eksenterasi total.7,14,15

2.8. Kornea

Kornea adalah jaringan yang bersifat transparan dan avaskular, berfungsi membiaskan

dan meneruskan cahaya kedalam bola mata serta melindungi bagian dalam bola mata dari

lingkungan luar. Kornea memiliki diameter horizontal 11-12 mm dan vertikal 9-11 mm.10/24

Kornea mempunyai bentuk kurvatura yang prolate.25 Bentuk prolate dari kurvatura kornea akan mengakibatkan bagian sentralnya lebih steep dan kekuatan refraksi lebih besar daripada bagian

(30)

yang melalui kornea bagian perifer akan direfraksikan tidak sekuat sinar yang melalui bagian

sentral kornea.26

Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa, dan juga modifikasi dari kulit25

Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa nonkeratin yang menyerupai

epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di antara susunan

epitel kornea. Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan lapisan germinativum dan

melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel wing. Lapisan sel basal juga melekat

ke membran basal melalui bantuan hemidesmosom.25

Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV, proteoglikan

heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin). Membran basal

merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma kornea.25,26

Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein

pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.

(31)

2.9. Retina

Retina adalah jaringan paling kompleks dimata. Untuk melihat, mata harus berfungsi

sebagai suatu alat optik, sebagai suatu reseptor kompleks dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu merubah rancangan cahaya

menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus

dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan

yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut, sel

ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam.

Diretina perifer banyak fotoreaseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan

sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti ini adalah bahwa makula

terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian

retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama

penglihatan perifer dan malam (skotopik).7

Gambar 3. Retina

Retinoblastoma adalah tumor masa anak-anak yang jarang tetapi dapat fatal. Dua pertiga

kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, walaupun jarang dilaporkan. Retinoblastoma dapat

tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik). Retinoblastoma endofitik kemudian meluas

(32)

melalui saraf optikus ke otak dan disepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emirasi di sklera ke

jaringan orbita lainnya. Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma besar. Mata dengan

tumor yang berukuran lebih kecil pada anak dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi

plaque atau external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi. Kadang-kadang diperlukan kemoterapi untuk penanganan kasus rekuren, terutama untuk menyelamatkan mata kedua pada kasus

bilateral apabila mata pertama telah dienukleasi, dan untuk penyakit metastatik. 7

Pada retina sering juga terjadi tumor, misalnya retinoblastoma yang terjadi pada anak.

Gambar 4. Retinoblastoma dan Gambaran CT Scan 2

(33)

merasa sakit, juga orangtuanya tidak menyadarinya kalau retinoblastoma sudah menyerang

anaknya, Gejala akan terlihat bila retinoblastoma ini sudah stadium lanjut. Maka perlunya

(34)

BAB 3

KERANGKA KONSEPSIONAL 3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif, dengan mengambil data sampel

dari rekam medik kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2013

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan

3.3 Populasi, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh data penderita dengan diagnosis tumor orbita yang

dilakukan operasi di kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan sejak 2011 sampai

dengan 2013.

3.3.2 Sampel Penelitian

Besar sampel ditentukan dengan metode total sampling, yaitu semua subjek yang di diagnosa tumor orbita yang memenuhi kriteria inklusi di rekam medik kamar operasi

RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2013

3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

 Kriteria Inklusi: adalah semua pasien yang didiagnosa sebagai tumor orbita 2011 sampai 2013

 Kriteria Ekslusi: adalah data pasien di rekam medik yang tidak lengkap

3.5. Desain Penelitian

(35)

3.6. Identifikasi Variabel

Variabel Independen

Usia

Jenis Kelamin

Diagnosa Klinis

Variabel Dependen

- Penatalaksanaan Operatif Tumor

Orbita

Data sampel yang memenuhi kriteria inklusi diambil data mengenai nama, nomer rekam

medik, usia, jenis kelamin, lama keluhan, tanggal pertama dan terakhir dating ( waktu

follow-up). Komplikasi yang dicatat adalah metastase ketempat lain.

3.7. Definisi Operasional

1. Tumor orbita adalah pasien yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan ke

bagian poliklinik Mata dengan keluhan tumor di mata.

2. Usia adalah usia pasien saat pertama kali datang berobat ke RSUP HAM Medan.

3. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien tumor yang menjadi sampel pada

penelitian ini dan tercatat pada rekam medis dan dikategorikan menjadi pria atau

wanita.

4. Penatalaksanaan operatif adalah pengobatan yang diberikan kepada penderita

(36)

3.8. Alur Penelitian

Rekam Medis

Tumor Orbita

Lateralisasi

Umur

Jenis Kelamin

3.9. Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh

dianalisis secara statistik untuk menilai persentase tumor orbita berdasarkan umur, jenis

kelamin, diagnosis klinis dan penatalaksanaan. Data yang diambil dari data Rekam

Medik kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan. Data akan dilakukan uji statistik

secara uji regresi.

Penatalaksanaan:

(37)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain case series

dimana pengambilan data dari data klinis dibagian rekam medik kamar operasi RSUP H. Adam

Malik Medan. Data penelitian adalah seluruh kasus tumor orbita yang dilakukan operasi di

kamar operasi RSUP H. Adama Malik sejak Januari 2011 samapai Desember 2013

4.1. Analisis Data Univariat

4.1,1. Penderita tumor orbita menurut kelompok umur yang tercatat di kamar operasi RSUP H.

Adam Malik tahun 2011-2013

Tabel 4.1.1. Penderita tumor orbita menurut kelompok umur tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2013

Kelompok Umur (Tahun)

f (%)

0-10 10 (14,6)

11-20 8 (11,8)

21-30 11 (16,2)

31-40 8 (11,8)

41-50 14 (20,6)

51-60 11 (16,2)

61-70 6(8,8)

Total 68 (100)

Penderita tumor orbita yang tertinggi terdapat pada kelompok umur 41-50 tahun sebanyak 14

penderita (20,6%) disusul dengan kelompok umur 21-30 tahun dan kelompok umur 51-60

(38)

4.1.2. Penderita tumor orbita berdasarkan umur tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik

tahun 2011-2013

Tabel 4.1.2. Penderita tumor orbita berdasarkan range umur anak-anak dan dewasa

Umur

4.1.3. Penderita tumor orbita berdasarkan jenis kelamin tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik

tahun 2011-2013

Jenis kelamin terbanyak penderita tumor orbita adalah laki-laki sebanyak 36 penderita (53%)

diikuti perempuan sebanyak 32 penderita (47%).

4.1.4. Lateralisasi penderita tumor mata yang tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik

tahun 2011-2013

(39)

Lateralisasi dari penderita tumor orbita yang tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik

adalah mata kiri yang paling banyak 37 penderita (54,4%), kemudian mata kanan 31 penderita

(45,4%).

4.2. Analisis Data Bivariat

Tabel 4.2.1. Penderita tumor orbita berdasarkan umur dan jenis kelamin yang tercatat di kamar

operasi RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2013

Pada tabel diatas terlihat persentase yang paling banyak penderita tumor orbita pada kelompok

umur 41-50 tahun dengan jenis kelamin perempuan, diikutin pada kelompok umur 0-10 tahun

perempuan, umur 11-20 tahun laki-laki, umur 21-30 tahun perempuan, dan kelompok umur

51-60 tahun perempua. Setelah di uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara umur

(40)

Tabel 4.2.2. Penderita tumor orbita berdasarkan range umur anak-anak, dan dewasa yang

dihubungkan dengan jenis kelamin yang tercatat di kamar operasi RSUP H. Adam Malik tahun

2011-2013

Pada tabel 4.2.2 terlihat penderita tumor orbita lebih banyak pada usia diatas 19 tahun (73,5%) dibandingkan dengan usia < 19 tahun., tetapi dilihat dari jenis kelamin antar laki-laki dengan perempuan jumlahnya sama banyak.

(41)
(42)

BAB 5 DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk melihat prevalensi pasien tumor orbita yang berobat ke

RSUP H. Adam Malik Medan dengan jangka waktu 2011-2013. Data-data pasien diperoleh dari

rekam medik yang ada di kamar operasi RSUP H. Adam Malik yang dilakukan operasi oleh

dokter spesialis bedah mata.

Enam puluh delapan subjek dapat dikumpulkan dan dilakukan operasi pengangkatan tumor

orbita. Seluruh sampel ini tidak ada yang dikeluarkan dari penelitian karena data-data yang di

perlukan untuk penelitian ini sudah lengkap tercatat direkam medic kamar operasi RSUP H.

Adam Malik Medan.

Pada penelitian ini, sunjek (tabel 1) dibagi dalam 7 kelompok berdasarkan usia 0-10

tahnun, 11-20 tahun, 21-30 taahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, dan 61-70 tahun.

Berdasarkan penelitian Dermichi H, Shield CL dan kawan-kawan pada penelitiannya di temukan

paling banyak penderita tumor orbita di usia tahun (63%) dari jumlah sampel 950 pasien. Namun, tidak ada di jelaskan pada penelitian mengapa jumlah penderita tumor orbita meningkat

pada usia lanjut. Kemungkinan disebabkan makin bertambahnya usia pada seseorang maka

secara signifikan menurunkan daya tahan tubuh orang tersebut, apabila ada pertumbuhan sel-sel

dalam tubuh seseorang maka pertumbuhannya tidak terkontrol yang disebabkan daya tahan

tubuh yang semakin menurun37

Pada penelitian Bonan Volanta G, Strianese D, Grassi P dan kawan-kawan yang dilakukan

di Itali terlihat bahwa jumlah tumor orbita meningkat pada usia >60 tahun dibandingkan dengan

usia < 60 tahun38

Proporsi jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan (tabel 2) terdapat perbedaan jumlah

penderita tumor orbita, dimana laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Perbedaan

jumlah penderita tumor orbita ini tidak berbeda secara bermakna. Sampai saat ini belum ada

penelitian yang melaporkan mengenai perbedaan jumlah penderita tumor orbita antara laki-laki

(43)

Pada tabel yang menjelaskan lateralisasi dari penderita tumor orbita dimana mata kiri lebih

banyak dari mata kanan. Belum ada penelitian yang memberikan informasi mengenai proporsi

lateralisasi penderita tumor orbita, dan mengapa lebih banyak mata kiri daripada mata kanan.

Mengenai dari pemilihan jenis tindakan operasi yang dilakukan pada penderita tumor

orbita paling banyak adalah rekonstruksi palpebra (30,8%), dan diikuti dengan rekonstruksi

palpebra dengan ektraksi tumor (29,4%). Sampai saat ini belum ada studi yang menjelaskan

mengapa jenis operasi yang dilakukan pada penderita tumor orbita itu adalah rekonstruksi

palpebra. Ini kemungkinan karena mempertimbangkan dari segi kosmetik. Sedangkan jenis

operasi dengan ekstraksi tumor karena tujuan dari operasi yang dilakukan adalah untuk

menghilangkan tumor tersebut.

(44)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pada penelitian ini terlihat penderita tumor orbita yang paling banyak pada umur 41-50

tahun, dan pada jenis kelamin dimana laki-laki lebih banyak jumlah penderita tumor orbita

dibandingkan perempuan.

2. Pada penderita tumor orbita berdasarkan umur dan jenis kelamin terlihat jumlah penderita

tumor orbita pada usia 19 - 70 tahun yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki sama

banyak

3. Pada uji statistik dengan sistem regresi pada tabel karakteristik tumor orbita berdasarkan

umur dan jenis kelamin maka terlihat tidak ada hubungan antara meningginya umur dengan jenis

kelamin, terlihat dari p-value 0,290.

4. Pada tabel 4.2.3 mengenai jenis operasi yang dilakukaan pada penderita tumor orbita yang

dihubungkan dengan faktor usia terlihat paling banyak adalah rekonstruksi palpebra pada usia

>19-70 tahun 21 orang. Ini akibat kemungkinan dilihat dari segi kosmetiknya. Tindakan eksisi

pada palpebra, harus diikutin dengan rekonstruksi yang memadai sehingga fungsi palpebra

kembali sebagai organ yang dapat memproteksi bola mata

6.2. Saran

Pada pencatatan data-data dikamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan seharusnya

dicatat/dicantumkan juga data-data jenis pekerjaan pasien masing-masing, lamanya mulai adanya

(45)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. American Academy of Ophthalmology: Epidemiology of cataracts. In: American

Academy of Ophthalmology, editor. Basic and clincal science course: Ophtalmic Pathology and Intra Ocular Tumors. Section 4. San Francisco: American Academy Of Ophthalmology 2009-2010. p.207-15.

2. American Academy of Ophthalmology; Orbital Neoplasma. In: Orbit, Eyelids, and

lacrimal system. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2008. p. 81-8

3. Smolders MH, Grniewski-Wijnands, Meinders AE, Fogteloo AJ, Pijl H, Keizer RJWD,

Exofthalmos in Obesity. Ophthalmic Res. 2004;36:78-81.

4. Chan W, Madge SN, Senaratne T, Senanayake S, Edusuriya K, Selva D, et al.

Exophthalmometric values and their biometriccorrelates: the kandy eye study. Clinical

and Experimental Ophthalmology, 2009; 37:496-502.

5. Demerci H, Shields CL, Karatza EC, Shield JA. Orbital limphoproliferative tumors:

analysis of clinical features and systemic involvement 160 cases. Ophthalmology. 2008

Sep; 115(9): 1626-31

6. Yan J, Wu Z, Li Y. The diferentiation of idiopathic inflamatory pesudotumor from

Lymphoid tumors of orbit: analysis of 319 caes. Orbit. 2004 Dec; 23(4):245.

7. Char DH. Orbital lymphoid lesions and orbital tumor. In: Tumor of the eye and ocular

adnexa. Ontairo: BC Decker; 2001.p.438.

8. Ghozi MT, Eksofthalmometri penduduk daerah Istimewa Jogyakarta. Berkal Ilmu

Kedokteran. 1984;16:29-35

9. Fledelius HS, Stubgaard M. Changes in eye position during growth and adult life. Acta

Ophthalmologica. 1986;64:481-6

10. Shields JA, Shields CL, Scartozzi R. Survey of 1264 patients with orbital tumors and

simulating lessions: The 2002 Montgomery Lecture, part 1. Ophthalmology. 2004 May;

(46)

11. Harris GJ. Idiopathic orbital inflamation: a pathogenetic construct and treatmant strategy:

The 2005 ASOPRS Foundation Lecture. Ophthal Plast Reconstr Surg. 2006 Mar-Apr;

22(2):79-86.

12. Ahn Yuen SJ. Idiopathic orbital inflamation: distribution, clinical features, and treatment

outcome. Arch Ophthalmol. 2003 Mar;11(1):3-15.

13. Esmaeli B, Faustina M. Orbital lymphoma. In: orbital tumor: diagnosis and management.

China: Springerlink; 2005.p.137.

17. SJO LD. Ophthalmic lymphoma epidemiology and pathogenesis Acta Ophthalmol. 2009:

Thesis I:P.1-20

18. Kuppers R. Mechanisms of B-cell lymphoma pathogenesis. Nat Rev Cancer 2005

Apr;5(4):p.251-62.

19. Decaudin D, de Cremoux P, Vincent-Salomon A, Dendale R, Rouic LL. Ocular adnexal

lymphoma: a review of clinicopathologic features and treatment options. Blood. 2006

Sep I; 108(5):1451-60.

20. Jacobiec FA, Kowles DM. An overview of ocular adnexal lymphoid tumors. Trnas Am

Ophthalmol Soc.1989;87:p.420-44.

21. Kashkaoli MB, Nojomi M, Parvaresh MM, Sanjari MS, Moderred M, Noorani MM.

Normal values of Hertel Hexofthalmometry in Iran children, teenagers, and adults from

(47)

24. Artal P, Ferro M, Miranda I, Navarro R. Effects of aging in retinal image quality J Opt

Soc Am A. 1993;10:1656-62.

25. Beden U, OzarslanY, Ozturk HE, Sonmez B, Erkan D, Oge I. Exopthalmometry values

of Turkish adult population and the effet of age, sex, refractive status and Hertel

basevalues on Hertel reading. Eur. J. Ophthalmol. 2008;18(2):165-71

26. OpthalmologY AAO.Orbit, eyelidsand Lacrimal System. Ophthalmology AAO, editor.

San Fransisco: LEO;2006-2007

27. Ganessan K, Bakhsi S. Proptosis in children: Approach. Indian journal nof medical and

pediatric oncology. 2004; 25(2):33-4

28. Shindu K, Downie J, Ghabrial R, Martin F. Aetology of chilhood proptosis. J Paediatr

Child Health. 1998 Aug;34(4):374-6

29. Weaver AA, Loftis KL, Tan JC, Duma SM, Stitzel JD. CT based three-dimensional

measurment of orbit and eye anthropometry. Investigative Ophthalmology and Visual

Science.2010;51(10):1892-7

30. Cole HP, Couvillion JT, Fink AJU, Haik BG, Kastl PR. Exopthalmometry: A

comparative study of Naugle in Hertel Instrument. Ophthalmic Plastic and

Reconstructive Surgery. 1997;13(3):189-94.

31. Hertel E. A simple exophthalmometer. Strabismus.2008;16:89-91.

32. Keye SB, Green JR, Luck J. Lowe KJ. Depedence of ocular protrusion, asymetry of

protrusion and lateral interorbital withd on age. Acta Ophthalmologica. 1992;70:762-85.

33. Tsai C, Kau HC, Kao SC, Hsu WM. Exopthalmos of patients with Grave's disease in

Chinese of Taiwan. 2006;20:569-73.

34. Peyster RG, Ginsberg F, Silber JH, Adler LP. Exopthalmos caused by excessive fat: CT

volumetric analysis and differential diagnosis. American Journal of

Roentgenology.1986;3:459-64.

35. Ophthalmology AAO. Basic Clinical Science Course. Clinical Optics. Ophthalmology

AAO, editor. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology2006-2007.

36. Nora RLD, Sitorus L, Simangunsong L, Syarif D, Barliana JD, Riono P. Hubungan

parameter antropometri dengan miopia dan komponen biometri okular pada

(48)

37. Demirci H, Shield CL , Shield JA, Honavar SG, Mercado GJ, Tovilla JC. Orbital tumors in

the older adult population. Ophthalmology.2002;243-8.

38. Bonavolantar G, Strianese D, Grassi P, Comune C, Tranva F et all. Journal Ophthalmology

(49)

Lampiran 1.

Tabel 2.Proporsi penderita tumor orbita range umur anak-anak dan dewasa

Umur (tahun) f(%)

0 - ≤19 >19 - <70 Jumlah (%)

Tabel 3: Proporsi jenis kelamin penderita tumor orbita di RSUP H. Adam Malik 2011-2013

JENIS KELAMIN F

(%) Laki-laki

Perempuan Jumlah (%)

Tabel 4: Proporsi lateralisasi penderita tumor mata di RSUP H. Adam Malik 2011-2013

LATERALISASI F

(%) OD

(50)

Tabel 5: Proporsi penderita tumor orbita berdasarkan umur dan jenis kelamin tercatat pada rekam

(51)
(52)

LAMPIRAN 2

LEMBARAN PENJELASAN PADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Kepada Yth

Bapak/Ibu/Saudara/i.

Di Tempat

Nama saya dr. Selly Azmeila, SpM, saat ini saya sedang menjalanin program pendidikan magister klinik di Fakultas Kedokteran – Universitas Sumatera Utara.

Saya sedang meneliti tentang Pasien Tumor Orbita pada Kamar Operasi RSUP HAM periode 2011-2013.

Adapun tujuan umum penelitian ini, untuk mengetahui karakteristik penderita tumor orbita di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2013.

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik dan tindakan pada tumor orbita pada pasien RSUP HAM sehingga dapat memberikan sumbangan data epidemiologi bagi angka kebutaan di Sumatera Utara.

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran usia, jenis kelamin, diagnosis klinis dan penatalaksanaan penderita tumor orbita di RSUP H. Adam Malik dan sebagai bahan pengembangan keilmuan maupun penelitian selanjutnya di bidang Ilmu Kesehatan Mata.

Pada penelitian ini, saya akan mengambil data-data pasien dari buku laporan di kamar operasi bagian mata RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2011- Desember 2013.

Penelitian ini sama sekali tidak melibatkan pasien maupun keluarga pasien karena data-data pasien dicatat dari rekam medis di kamar operasi RSUP H. Adam Malik Medan.

Terima Kasih.

Medan,

Hormat saya

(53)

Lampiran 3

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

RIWAYAT PRIBADI

1. Nama : dr. Selly Azmeila, SpM

2. Tempat/tgl lahir : Medan/ 23 Agustus 1969

3. Jenis kelamin : Perempuan

4. Agama : Islam

5. Status : Kawin

6. Alamat : Perumahan Royal Sumatera, Cluster Diamond P04 NO 29

Jalan Jamin Ginting, Medan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. S1 (Univ/Thn) : Fakultas Kedokteran USU (1995)

2. Sp1(Univ/Thn) : Fakultas Kedokteran UI (2010)

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Dokter PTT: - Puskesmas Deli Tua Medan 1996-1998

- Puskesmas Remu Sorong- Papua 1999-2002

(54)

KARYA ILMIAH/PUBLIKASIH

1. INTERNAL LIMITING MEMBRANE DRY IN MACULAR HOLE SURGERY

2. DIAMETER FOTOPIK DAN MESOPIK PUPIL PADA PASIEN KATARAK

Gambar

Gambar 1.1 Karsinoma sel skuamosa 2
Gambar 2.1 Patogenesis pseudotumor5
Tabel 1.1 jumlah dan persentase lesi penyebab proptosis pada anak28
Gambar 3. Lapisan kornea2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: gambaran penderita hepatitis B di Rumah Sakit Santo Yusup Bandung pada tahun 2014 paling sering terjadi pada usia 41-50 tahun, jenis kelamin laki- laki,

Distribusi Penderita Tumor Tulang Berdasarkan Kelompok Usia Distribusi data penelitian yang menunjukkan kelompok usia penderita yang didiagnosis tumor tulang dari tahun 2011 -

Berdasarkan data demografi, usia paling sering penderita kusta adalah 30-50 tahun dengan cacat tingkat 1, pendidikan paling sering Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan

kemih yang menjalani terapi PCNL adalah berada pada usia lebih dari 40 tahun yaitu kelompok usia &gt;60 tahun sebesar 33,3%, mayoritas berjenis kelamin laki-laki dengan

Dari 56 kasus penelitian yang didapat sebagian besar penderita berjenis kelamin laki-laki sebanyak 31 orang (55,4%), berdasarkan umur kelompok balita merupakan yang paling

Kesimpulan. Lipoma paling banyak muncul pada usia 40 tahun ke atas. Berdasarkan jenis kelamin secara keseluruhan data pasien, lipoma paling banyak muncul pada

Kriteria penderita Tuberculosis dari penelitian ini didapatkan dari jenis kelamin menunjukkan laki-laki lebih banyak dari perempuan, dari segi umur paling banyak

Prevalensi fraktur mandibula berdasarkan usia yang paling banyak dan sering terjadi adalah pada kelompok usia dewasa (18-40 tahun) dengan prosentase 65,15%.. Penderita