• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan"

Copied!
583
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

MODEL PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

DI PERAIRAN KALIMANTAN SELATAN

RUSMILYANSARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul: Model

Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan merupakan gagasan atau atau karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 2 Februari 2011

(4)
(5)

iii

ABSTRACT

RUSMILYANSARI. Conflict Management Model of Capture Fisheries in South Kalimantan Waters. Under guidance of BUDY WIRYAWAN, JOHN HALUAN and DOMU SIMBOLON.

This study aims to map the problems, develops institutional and creates a model of conflict management. The research was conducted in South Kalimantan through a survey method, that consists of PISCES survey and perception survey. Descriptive analysis was done descriptively using Structural Equation Modeling. The results showed: (1) The problem of conflict in terms of conflict typology that includes conflict jurisdiction, management mechanism and internal allocation. Viewing from the source of conflicts that includes relationship of issues, structural problems, differences in values and interests. (2) Developing institutional role by establishing the institutional facilitator or mediator as not being an ad hoc institution using the alternative of dispute resolution (ADR) in every village, district and provincial levels. Formulation of the agreement obtained through the forum agreement all related institutionals (3) Setting up a model for the process of fishing conflict management of that can be done effectively after the causes of conflict and conflict resolution techniques are identified. The model can be contributed as an input to the management of fishing conflict which is supported by the participation of stakeholders, and to change community attitudes towards the achievement of fisheries resources sustainability.

(6)
(7)

v

RINGKASAN

RUSMILYANSARI. Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Perairan Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN, JOHN HALUAN dan DOMU SIMBOLON.

Konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan merupakan salah satu isu yang berkembang dan membutuhkan perhatian serius. Pemerintah telah berupaya untuk menyelesaikan konfik, namun hasilnya masih belum efektif. Pendekatan yang baik dalam mewujudkan pengelolaan konflik perikanan tangkap yang bertanggung jawab adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap konflik, dinamikanya dan pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada. Penelitian ini bertujuan (1) memetakan permasalahan (2) mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik perikanan tangkap (3) membuat model pengelolaan konflik perikanan tangkap. Penelitian dilaksanakan pada 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Kotabaru, Tanah Laut dan Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan.

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survei yang terdiri dari dua tahap yaitu survei PISCES (participatory institutional survei and conflict

evaluated exercise) dan survei persepsi. Pada tahap pertama data primer yang

dikumpulkan melalui indepth interview terhadap key informan dengan menggunakan interview guide yang ditujukan untuk mengidentifikasi konflik, posisi konflik (Participatory Geographic Information Exercise), runtutan waktu terjadinya konflik (time lines), hubungan antar aktor dan institusi (institutional

wheels), sumber konflik dan tipologi konflik. Kemudian pada tahap kedua

menggunakan kuesioner terstruktur yang ditujukan untuk merumuskan model pengelolaan konflik yang terdiri dari hubungan faktor penyebab, teknik resolusi konflik dan pengelolaan perikanan bertanggung jawab. Pengumpulan data dilakukan secara purposive terhadap beberapa orang responden. Survei PISCES dianalisis secara deskriptif dan survei persepsi menggunakan analisis SEM

(Structural Equation Modeling).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap/pengkavlingan laut dan kasus purse seine/klaim jalur penangkapan (2) mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine/mekanisme perizinan, lampara dasar dan gillnet/pelanggaran jalur penangkapan, penggunaan bom/pelanggaran undang-undang (3) alokasi internal terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, bagan apung, seser modern dan cantrang/perbedaan kualitas dan kapasitas teknologi penangkapan. Ditinjau dari sumber konflik terdiri dari (1) perbedaan nilai terjadi pada kasus purse seine, lampara dasar, bagan apung, seser modern dan cantrang (2) masalah hubungan terjadi pada kasus purse seine dan daerah tangkap (3) faktor struktural terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, gillnet dan penggunaan bom (4) perbedaan kepentingan terjadi pada kasus pengambilan teripang dan cantrang.

(8)

vi

sukarela yang terdiri dari masyarakat pesisir dan LSM. Kelembagaan Pokmaswas ini bersinergi dengan kelembagaan lokal dan kelembagaan lainya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi antar kelompok masyarakat. Sejauh ini kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan konflik telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang yang salah satunya adalah membentuk kelompok kerja (POKJA) penanganan konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat pusat, provinsi sampai dengan kabupaten dan menyusun pedoman umum penanganan konflik nelayan antar daerah melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution/ADR. Peran kelembagaan tersebut akan dikembangkan dan mendapat legitimasi, sehingga kesepakatan dapat diperoleh melalui forum yang dapat dipertanggung jawabkan, bersifat mengikat dan memiliki kekuatan hukum

Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan secara efektif setelah penyebab konflik dan teknik resolusi konflik teridentifikasi, sehingga jika ternyata dalam proses resolusi tersebut tidak terjadi kesepakatan maka ada dua kemungkinan yang dapat menjadi yaitu: (1) apakah pemahaman

stakeholder terhadap faktor penyebab konfliknya sudah memadai (2) apakah

teknik resolusi yang digunakan sudah tepat. Model dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap yang didukung oleh partisipasi

stakeholders, karena jika prinsip-prinsip pengelolaan perikanan tangkap

berkelanjutan dipahami dengan baik, maka upaya-upaya untuk merubah perilaku pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak bertanggung jawab seperti: (1) perilaku dalam melakukan kompetisi penangkapan ikan melalui cara illegal

fishing, pelanggaran terhadap undang-undang dan pemanfaataan sumberdaya

dengan teknologi yang dapat menyebabkan over fishing (2) perilaku yang menyebabkan munculnya pihak oposisi karena perbedaan nilai dan perbedaan kepentingan (3) perilaku ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya yang menyebabkan kesenjangan ekonomi (4) perilaku aktor yang tidak bertanggung jawab terhadap keberlanjutan perikanan tangkap dapat dirubah.

(9)

vii

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik

atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

MODEL PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

DI PERAIRAN KALIMANTAN SELATAN

RUSMILYANSARI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PELAKSANAAN UJIAN

Ujian Tertutup Tanggal 30 Nopember 2010

Penguji Luar Komisi 1 Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro M.Sc 2 Dr. Ir. Mohammad Imron M.Si

Ujian Terbuka Tanggal 2 Pebruari 2011

(13)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan

Nama : Rusmilyansari

NRP Mayor

: C462070021

: Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap (SPT)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Mayor Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(14)
(15)

xiii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 ini adalah konflik perikanan tangkap, dengan judul Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan.

Secara khusus, penulis menyampaikan penghargaan dan ungkapan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si selaku pembimbing. Ucapan terimakasih pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Imron M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Bapak Dr. Ir. Husni Mangga Barani, M.Sc dan Bapak Prof Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc selaku pengiji luar komisi pada ujian terbuka.

Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bupati Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. Kepada Bapak-bapak staf Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten serta para sahabat serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan telah membantu selama pengumpulan data serta mendukung penyelesaian naskah disertasi ini.

Pada akhirnya, penghargaan dan ungkapan terimakasih disampaikan kepada ayahanda (H. Ridoeansyah) dan ibunda terkasih (Hj. Zaleha) atas dorongan dan doa. Semangat belajar tidak lain adalah dukungan seluruh keluarga, khususnya pengertian dari suami tercinta Drs. Apriansyah, M.Si dalam menempuh studi dan keberhasilan penulisan disertasi ini. Kedua buah hati tercinta Muhammad Akbar Arsya dan Muhammad Alghiffari Fateha atas segala doa, pengorbanan yang luar biasa yang telah menjadikan inspirasi dan semangat hidup serta atas pengertian waktu yang banyak tersita selama melakukan studi.

Penulis menyadari disertasi ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu segala saran maupun kritik disertasi ini masih diperlukan untuk penyempurnaan. Akhirnya semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan semoga Allah selalu memberkahi kita semua. Amin.

Bogor, 2 Februari 2011

(16)
(17)
(18)

xvi 4.2 Konflik Perikanan Tangkap... 4.2.1 Peta wilayah konflik... 4.4 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Konflik... 4.4.1 Resolusi konflik...

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan... 19

2 Kategori tipologi konflik perikanan sebagai permasalahan terjadinya

konflik (Charles)………. 31

3 Perbandingan kelemahan resolusi konflik dengan metode litigasi dan

Alternatif Dispute Resolution (ADR)... 36

4 Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik……….... 40

5 Pembagian peran dalam ko-manajemen antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan Hartono (2004)...

6 Goodness of fit statistics... 45

77

7 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Kotabaru... 83

8 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut Kabupaten Kotabaru tahun 2006...

84

9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Laut... 85

10 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut kabupaten Tanah Laut tahun 2006... 86

11 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Bumbu…………. 86

12 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan laut di kabupaten Tanah Bumbu tahun 2006...

87

13 Jenis dan volume produksi perikanan laut di Kabupaten Kotabaru,

Tanah Laut dan Tanah Bumbu tahun 2006... 88

14 Jenis kasus konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan selama periode 1979–2009... 93

15 Pola musim udang di Kabupaten Kotabaru...

16 Tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan...

17 Sumber konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan...

101

109

130

(20)

xviii

kerang mutiara... 141

21 Status penyelesaian konflik pada kasus lampara dasar... 144

22 Status penyelesaian konflik pada kasus bagan apung... 145

23 Status penyelesaian konflik pada kasus seser modern... 146

24 Status penyelesaian konflik pada kasus gillnet... 146

25 Status penyelesaian konflik pada kasus penggunaan bom... 147

26 Status penyelesaian konflik pada kasus cantrang... 148

27 Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas... 161

28 Evaluasi goodness of fit Index untuk pengukuran interaksi konstruk laten dengan confirmatory factor analysis... 169

29 Hubungan antar variabel pada model confirmatory factor konstruk unidimensional variabel konflik perikanan tangkap... 171

30 Komponen penting dari faktor penyebab konflik yang berpengaruh terhadap konflik... 174

(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian……….. 11

2 Keseimbangan kebijakan terhadap konflik perikanan tidak

mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut... 21

3 Metode pengelolaan konflik... 37

4 Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi... 38

5 Peta tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yang

menjadi lokasi penelitian... 62

6 Langkah-langkah pendekatan SEM... 73

7 Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan

terhadap resolusi konflik dan outcome... 74

8 Bagan alir proses penelitian model pengelolaan konflik perikanan

tangkap di Kalimantan Selatan... 81

9 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten

Kotabaru pada periode 1998-2008... 89

10 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah

Laut pada periode 1998-2008... 91

11 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah

Bumbu pada periode 1998-2008... 91

12 Peta wilayah konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan

Selatan... 92

13 Interaksi berbagai konflik di perairan Kalimantan Selatan... 95

14 Grafik penahapan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan... 98

15 Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru... 102

16 Konflik yang menggambarkan perbedaan

”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus purse seine... 112

17 Konflik yang menggambarkan perbedaan

(22)

xx 19 Konflik yang menggambarkan perbedaan

”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus lampara dasar... 115

20 Konflik yang menggambarkan perbedaan

”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus gillnet... 116

21 Konflik yang menggambarkan perbedaan

”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus penggunaan bom... 117

22 Konflik yang menggambarkan perbedaan

”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus bagan apung... 118

23 Konflik yang menggambarkan perbedaan

”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus seser modern... 119

24 Konflik yang menggambarkan perbedaan

”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus cantrang... 120

25 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan mini purse seine

terhadap nelayan purse seine... 121

26 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan yang melakukan

pengkavlingan daerah penangkapan... 122

27 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Tanah Laut

terhadap nelayan andon pencari teripang dan kerang... 123

28 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan tradisional terhadap

nelayan lampara dasar... 124

29 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan gillnet (Tanah Laut

terhadap nelayan gillnet (andon)... 125

30 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan terhadap nelayan

pengguna bom... 126

31 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan bagan tancap terhadap

nelayan bagan apung... 127

32 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan seser terhadap nelayan

seser modern...

33 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan seser terhadap nelayan

cantrang...

128

(23)

xxi

34 Upaya penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan

Kalimantan Selatan... 133

35 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada

kasus purse seine... 151

36 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada kasus daerah penangkapan ikan... 152

37 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara... 154

38 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada kasus lampara dasar... 155

39 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada pada kasus gillnet... 156

40 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada kasus bagan apung... 157

41 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada pada kasus seser modern... 158

42 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada kasus penggunaan bom... 159

43 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya

pada pada kasus cantrang...

44 Struktur organissasi dan koordinasi pembinaan SISWASMAS...

45 Jaringan dan mekanisme Pokmaswas...

46 Structural equation modeling yang menunjukan nilai estimasi...

47 Structural equation modeling yang menunjukan nilai t-hitung...

48 Kelembagaan pengelolaan konflik……….

49 Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik...

50 Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan...

160

163

164

171

173

198

206

(24)
(25)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar informan/responden... 229

2 Data hasil tangkapan (c), upaya penangkapan (f) dan catch per unit

effort (CPUE)……….. 231

3 Daftar istilah………...

4 Dokumentasi kegiatan pengumpulan data...

234

238

5 Kondisi sosial masyarakat nelayan... 240

6 Situasi konflik nelayan...

7 Teknologi penangkapan ikan yang menjadi sumber konflik...

8 Alat ukur indikator variabel konflik, resolusi dan outcome………….....

241

242

244

9 Output analisis data penelitian menggunakan LISREL 8.30...

10 Surat pernyataan...

11 Surat perihal nelayan andon...

12 Hasil resolusi konflik antar daerah………...

256

265

269

(26)
(27)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihak-pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumber daya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Sifat pemanfaatan sumber daya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumber daya, khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987).

Pembangunan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya dilaksanakan dalam rangka mendayagunakan sumber daya perikanan secara menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Kedudukan dan nilai sumber daya perikanan sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar penduduk di sekitar pantai.

Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumber daya milik

(28)

Eksploitasi perikanan di perairan Kalsel dilakukan oleh nelayan dalam daerah maupun antar daerah (nelayan dari Sulsel, Sulbar, Jatim, Jateng, Kalteng dan Kaltim). Perikanan tangkap di Kalsel merupakan kegiatan usaha perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting. Eksploitasi sumber daya ikan oleh armada perikanan tangkap laut di Kalsel dilakukan di perairan Selat Makasar, Laut Jawa, Selat Laut dan Selat Sebuku, Teluk Pamanukan, Tanjung Tatan, Pulau Sambar Gelap, Sekapung, dan sekitar pesisir Pagatan. Wilayah tersebut merupakan basis migrasi musiman nelayan. Jika musim ikan tiba, penduduk pendatang yang melakukan migrasi musiman di Desa Kerayaan Kotabaru bahkan melebihi jumlah penduduk setempat, sedangkan di Desa Swarangan ditemukan lebih kurang 200 orang dan di Desa Muara Asam-asam mencapai 1000 orang yang tidak terdata sebagai penduduk setempat. Nelayan andon yang dominan

berasal dari suku Bugis dan sebagian berasal dari Jawa, Bali dan Kaltim. Sesuatu hal yang pasti adalah adanya interaksi antar dua kelompok yang berbeda dalam kehidupan bersama.

Imbas dari interaksi antar nelayan tersebut tidak sedikit mengakibatkan konflik di antara nelayan. Konflik sosial masyarakat pesisir di Kalsel merupakan suatu kenyataan yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Cukup banyak fakta kekerasan fisik akibat dari konflik yang telah terjadi. Kejadian-kejadian dimasa lalu yang mempunyai kaitan atau berkontribusi terhadap terjadinya konflik nelayan. Konflik dapat terwujud dalam bentuk ketidaksukaan, ketidaksepakatan, ketidaksetujuan, perseteruan, persaingan, permusuhan, kontak fisik dan bahkan perang terbuka.

Priscoli (2002) menyatakan bahwa konflik sumber daya alam dapat disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan ego, perbedaan personalitas, perbedaan pandangan tentang baik dan buruk (konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar waktu. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah aktor, ketersediaan sumber daya dan

(29)

3

Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumber daya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hunting di mana nelayan harus selalu memburu ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama (Budiono 2005).

Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia di antaranya adalah konflik yang timbul karena pemahaman

(30)

Di Indonesia, konflik kenelayanan sudah lama terjadi dan nampaknya semakin meningkat pada akhir-akhir ini. Pada tahun 1970 telah terjadi konflik besar-besaran antara nelayan “tradisional” dengan nelayan pengguna pukat harimau (trawl). Konflik ini telah menelan banyak korban jiwa dan juga harta (alat tangkap dan perahu). Karena seriusnya konflik tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan trawl pada tahun 1980. Pada tahun 70-an terjadi pula konflik yang melibatkan nelayan skala kecil dengan purse

seine. Konflik tersebut dikenal sebagai “malapetaka muncar” (malamun) yang

berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik bergeser tidak hanya melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine, tetapi juga antar nelayan skala kecil/tradisional.

Di daerah Lampung, Bangka-Belitung dan NTB terjadi conflicting claim

dalam hubungan antara teknologi, wilayah tangkap dan jenis resources tertentu.

Conflicting claim ini terjadi, pada satu sisi karena adanya asosiasi-asosiasi khusus

yang dikembangkan masyarakat. Beroperasinya teknologi tidak hanya melanggar hak-hak khusus mereka tetapi juga mengancam keberadaan sumber daya ikan.

Transborder fishing terjadi di wilayah Kaltim (fishing in) oleh nelayan asing dan

NTT (fishing out) di wilayah AFZ, sedangkan di daerah perairan yang terkait dengan suatu perbatasan yakni Selat Malaka, perairan Laut Cina Selatan dan perbatasan lainnya menunjukkan penangkapan pelintas batas merupakan salah satu masalah yang lahir di perairan-perairan tersebut. Dengan demikian, dalam konteks konflik, kondisi geografis perairan membuka kemungkinan terjadinya konflik antar nelayan dari Negara berbeda (Indarwasih et al. 2007).

(31)

5

pakar ilmiah atau pengamat politik dapat digunakan sebagai bagian dari suatu argumentasi untuk menerima suatu rekomendasi kebijakan.

Lebih lanjut Dunn (2003) memberikan gambaran mengenai berberapa bidang analisis kebijakan yaitu (1) Operasionisme berganda; penggunaan berbagai ukuran secara bersama-sama untuk konstrak dan variable kebijakan. Contoh dari operasionisme berganda adalah penggunaan secara serempak perbandingan berpasangan dan skala pilihan paksa dan penyusunan skala atribut berganda (2) Penelitian multimetode; penggunaan berbagai metode secara bersama-sama untuk mengamati proses dan hasil kebijakan misalnya penggunaan secara bersama-sama catatan-catatan organisasi, angket lewat pos dan wawancara etnografis, meningkatkan plausibilitas klaim pengetahuan (3) Sintesis analisis berganda; juga dikenal sebagai sintesis penelitian, review penelitian yang integratif, melawan

kecendrungan analisis tunggal yang otoritatif dengan menekankan sifat-sifat kolektif dari pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (4) Analisis multivariat; memasukan banyak variabel dalam model kebijakan, contohnya pada analisis path atau analisis studi kasus berdasarkan pada banyak sumber kejadian, meningkatkan plausabilitas klaim kebijakan dengan secara sistematis menguji dan mengeluarkan atau memadukan, jika mungkin pengaruh variabel-variabel bukan kebijakan pada hasil kebijakan (5) Analisis pelaku berganda; investigasi kerangka kerja interatif dan perspektif banyak pelaku penentu kebijakan. Memusatkan perhatian pada individu-individu atau kelompok-kelompok yang berpartisipasi dalam formulasi dan implementasi kebijakan (6) Analisis perspektif berganda; disertakannya berbagai perspektif etis, politis, organisasional, ekonomis, sosial, kultural, psikologis, teknologis dalam analisis kebijakan meningkatkan plausabilitas dengan triagulasi antar berbagai representasi masalah dan solusi (7) Komunikasi multimedia; pengguna banyak media berkomunikasi, oleh analis sangat penting untuk meyakinkan bahwa pengetahuan (yang dikaji) relevan dengan kebijakan, sehingga digunakan oleh para prnentu kebijakan dan penerima dampak yang diinginkan. Media komunikasi tunggal yang sering digunakan oleh para analis dari kebanyakan disiplin ilmiah adalah arikel ilmiah dan buku.

Hampir tidak mungkin untuk melakukan semua pedoman di atas dalam satu

(32)

Selain itu kebanyakan kesalahan yang dapat dicegah dalam analisis kebijakan berasal dari perpektif analisis yang sempit, karena analis yang dilakukan bersifat menyederhanakan dan memangkas masalah agar supaya dapat berhasil walaupun ada, bagian-bagian penting dari konteks yang relevan terabaikan atau dilihat secara berlebihan. Analisis tersebut masih bersifat parsial sehingga belum menggambarkan bangunan teori yang membentuk model, berbeda dengan analisis SEM (Structural Equation Modeling) yang merupakan analisis bangunan teori sehingga dapat memberikan keluaran berupa model yang disebut dengan model persamaan struktural yang tidak ditemukan pada metode lain. Selain itu SEM memberikan representasi yang objektif terhadap hasil analisis.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang menggunakan cara statitistik berupa analisis kuantitatif (Structural Equation Modeling) merupakan kebaruan

dalam penelitian ini. Dalam cara statistik, pernyataan kebijakan didasarkan pada argumen yang diperoleh dari sampel. Melalui teknik purposive terhadap 200 orang informan yang representasi dari suatu populasi. Melalui SEM dapat memecahkan masalah yang rumit, memiliki keunggulan metodologis dibandingkan dengan lainnya. SEM bukan metode baru tetapi merupakan sintesis kreatif dari beragam riset dan praktis yang biasa dipakai oleh kalangan komunitas ilmu kebijakan.

Salah satu karakteritik SEM adalah dapat dikonfirmasi menjadi suatu model melalui data empirik sehingga mencakup variabel-variabel yang penting dan tepat bagi pengelolaan konflik perikanan tangkap. Wijanto (2007) menandaskan bahwa SEM mampu mengakses hubungan dan menguji suatu seri hubungan yg terdiri dari suatu model berskala besar, mempunyai kemampuan menggabungkan variabel yang tidak terlihat (laten) ke dalam analisis un observed

(33)

7

1.2. Rumusan Masalah

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kalimantan Selatan pada khususnya masih mengalami kelambanan yang disertai beberapa realitas kendala di antaranya adalah berkembangnya konflik perikanan tangkap yang bersifat destruktif dan dapat menghambat pembangunan perikanan. Terdapat beberapa

kasus konflik perikanan tangkap mulai dari pengkaplingan laut, berebut jalur tangkapan sampai pada tindakan anarkis seperti pembakaran kapal nelayan, aksi masa dan penyerbuan kantor DPR karena beroperasinya nelayan purse seine menggunakan lampu dengan kekuatan tinggi, tindakan sweeping terhadap nelayan pencari teripang dan adanya kegiatan illegal fishing dengan menggunakan bom. Konflik tersebut berakibat pada kerugian harta benda. Berdasarkan beberapa kasus konflik yang terjadi, belum nampak adaya upaya untuk memahami akar permasalahan konflik tersebut apalagi upaya pengelolaannya. Dalam hal ini diperlukan upaya yang sistematis untuk memahami dan melakukan pengelolaan dengan membuat suatu model pengelolaan konflik

Upaya untuk memahami akar permasalahan konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan memerlukan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan yang ditetapkan secara ilmiah. Beberapa pertanyaan penelitian yang harus di jawab yaitu; (1) bagaimana tipologi konflik yang terjadi; (2) apa teknik resolusi konflik yang digunakan; (3) bagaimana proses resolusi konflik dilakukan; (4) apakah kesepakatan yang dihasilkan sudah menyentuh akar masalah; (5) apakah upaya penyelesaian sudah mengikutsertakan segenap komponen stakeholder. Dengan diketahuinya akar permasalahan tersebut merupakan awal yang baik untuk dijadikan landasan untuk membuat model pengelolaan konflik dan

mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik.

Rumuskan indikator penyebab konflik diperoleh dengan cara melakukan

(34)

masyarakat nelayan. Dengan demikian rumusan model struktural dan pengukuran dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Memetakan permasalahan konflik perikanan tangkap

(2) Mengembangkan konsep peran kelembagaan pengelolaan konflik perikanan tangkap

(3) Membuat model pengelolaan konflik perikanan tangkap.

1.4 Manfaat Penelitian

(1) Bahan pertimbangan atau rekomendasi kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan dalam rangka mengelola konflik perikanan tangkap. (2) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada nelayan

untuk meningkatkan keterampilan penyelesaian konflik melalui proses resolusi yang tepat.

(3)Penelitian ini akan memperkaya pengetahuan dan teori tentang tipe konflik dan pendekatan yang dapat diaplikasikan dalam mengelola perikanan tangkap berbasis resolusi konflik.

1.5 Kerangka Pemikiran

Konflik perikanan tangkap bersifat sangat kompleks, oleh karena itu diperlukan identifikasi menyeluruh yang merupakan input dari penelitian yang terangkum kedalam identifikasi permasalahan konflik perikanan tangkap. Akar permasalahan penting untuk diketahui agar penyelesaian terhadap kesepakatan diharapkan benar-benar dapat meyelesaikan masalah. Identifikasi awal yang dilakukan secara sistematis merupakan landasan yang kuat dalam menjalankan proses penyelesaian konflik.

(35)

9

pendapat juga terjadi ketika masing-masing memiliki kepentingan yang saling tidak mendukung, atau ketika prioritas dari beberapa kelompok pengguna tidak terwakili dalam kebijakan dan program yang ada. Perbedaan tersebut tergambarkan dalam analogi bawang bombay, sedangkan motivasi dari masing-masing pihak yang berkonflik terlihat pada segitiga S-P-K (Sikap Perilaku Konteks). Untuk lebih memahami konflik secara lebih jelas perlu dilakukan pemetaan konflik yang menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak beserta masalahnya dan pihak lainnya yang terlibat dalam konflik yang bersangkutan.

Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Memahami tipologi

dimaksudkan untuk bisa menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili karekteristik suatu konflik (Obserchall 1973).

Bennett and Neiland (2000) menyatakan bahwa metode resolusi konflik umumnya bersifat spesifik, walaupun dikenal berbagai metode untuk menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metode sesuai untuk dipakai. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai

alternative dispute resolution (ADR).

Untuk dapat melakukan proses resolusi konflik yang efektif tentu saja memerlukan wadah kelembagaan, melalui suatu forum dapat ditentukan teknik resolusi yang tepat, sehingga mekanisme penyelesaian konflik dapat mencapai kesepakatan yang disetujui oleh segenap stakeholder yang terkait sesuai dengan akar masalahnya. Dengan demikian implikasinya dapat diterapkan dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap baik yang ada di perairan Kalsel ataupun di lokasi lain.

(36)

negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan ke arah yang lebih baik.

Pendekatan yang baik dalam mewujudkan pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap konflik. Selain itu dengan terbangunnya partisipasi dapat mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan. Kerangka pemikiran penelitian ini diilustrasikan pada Gambar 1.

1.6 Ruang Lingkup dan Kebaruan

Ruang lingkup dan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Lingkup penelitian mencakup kegiatan perikanan tangkap di wilayah perairan Kalimantan Selatan, bidang kajian ilmu kelautan dan perikanan dengan tema pengelolaan konfik yang merupakan integrasi aspek perikanan tangkap, sumber daya, aktor, kelembagaan dan kebijakan.

(37)

KONFLIK DALAM

(38)
(39)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

2.1.1 Kabupaten Kotabaru

Gafuri (2007) menandaskan bahwa Kabupaten Kotabaru merupakan salah satu dari 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Kotabaru yang terletak di Pulau Laut Utara. Secara geografis Kabupaten Kotabaru terletak antara 2020’– 4056’LS dan 115029’– 16030’BT terbagi menjadi 18 Kecamatan dengan 195 Desa/Kelurahan menurut letak geografis, Kabupaten Kotabaru berbatasan :

Sebelah Utara : Provinsi Kalimantan Timur Sebelah Selatan : Laut Jawa

Sebelah Barat : Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tanah Bumbu Sebelah Timur : Selat Makasar

Kondisi lahan yang dimiliki Kabupaten Kotabaru mengandung potensi yang cukup besar untuk dikembangkan bagi kegiatan pertanian (terutama perkebunan dan peternakan), pertambangan dan industri, serta perikanan dan kelautan terutama penangkapan di laut dan pengembangan budidaya ikan. Lebih jauh lagi, letaknya yang relatif strategis menyebabkan kabupaten ini penting baik sebagai produsen maupun kawasan antara untuk distribusi berbagai komoditas keluar daerah, baik antar daerah maupun antar pulau dan antar provinsi (Gafuri 2007).

(40)

Kabupaten Kotabaru mempunyai luas laut sebesar 38.490 km2, dengan panjang pantai 825 km dan memiliki 109 buah pulau. Tipologi pantai daerah Utara, Barat dan Selatan di Kabupaten Kotabaru, menunjukkan keadaan pantai dengan tipe pantai berpasir, berkarang dan berlumpur. Pulau Laut Barat dengan tipe pasir berkarang dan berlumpur sedangkan pulau laut selatan tipe pantai berpasir berkarang. Tinggi gelombang berkisar antara 16-40 cm (Iriansyah dan Rusmilyansari 2006).

2.1.2 Kabupaten Tanah Laut

Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu kabupaten yang terletak paling selatan dari Provinsi Kalimantan Selatan, dengan ibukotanya Pelaihari. Kabupaten Tanah Laut terletak pada: 114030’20’’-115023’31’’ Bujur Timur dan antara

3030’33’’- 4010’30’’ Lintang Selatan, dengan batas-batas:

Sebelah Utara : Kabupaten Banjar Sebelah Timur : Kabupaten Kotabaru Sebelah Selatan : Laut Jawa

Sebelah Barat : Laut Jawa

Luas wilayah Kabupaten Tanah Laut 372.930 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan dari 128 Desa dan 5 kelurahan. Luas tersebut belum termasuk luas zona perairan laut, sepanjang 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tertinggi sepanjang 200 km. Jika luas daratan ditambah dengan luas zona perairan lautnya maka luas total Kabupaten Tanah Laut menjadi 449.730 Ha atau 44.974 Km2 (Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut 2008)

Tipologi pantai Tanah Laut mempunyai tipe berpasir seperti pada Kecamatan Jorong, Kintap dan Takisung sedangkan daerah Kurau bertipe pantai berlumpur. Tipe pantai di Kabupaten Tanah Laut umumnya berpasir, tinggi gelombang berkisar antara 35-80 cm (Iriansyah dan Rusmilyansari 2006).

2.1.3 Kabupaten Tanah Bumbu

(41)

15

Sebelah Utara : Kecamatan Kelumpang Hulu Kotabaru Sebelah Selatan : Laut Jawa

Sebelah Barat : Kecamatan Kintap Kabupaten tanah Laut dan Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar

Sebelah Timur : Kecamatan Pulau Laut Barat Kotabaru

Kabupaten Tanah Bumbu memiliki luas wilayah 5.006,96 Km2 atau 13,56% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Kusan Hulu merupakan kecamatan terluas (1.697,42 km2), sedangkan Kecamatan Sungai Loban (380,62 km2) merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil di Kabupaten Tanah Bumbu. Berdasarkan profil dan pembangunan 2 tahun di Kabupaten Tanah Bumbu juga terdapat lima (5) kecamatan pemekaran, yaitu : Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Karang Bintang, Kecamatan Mentewe, Kecamatan Giri Muya,

dan Kecamatan Angsana. Selain itu juga pemekaran desa di Kecamatan Batulicin meliputi Desa Tungkaran Pangeran, dan Desa Sungai Dua, sedangkan Desa Kusan Hulu meliputi Desa Karang Mulia. Luas potensi perairan laut sebesar 640,9 km2 dengan panjang garis pantai 158,7 km (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Bumbu 2009).

2.2 Model

2.2.1Konsep model

Definisi model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Manetsch and Park 1997). Eriyatno (2003) menyatakan bahwa dari teminologi penelitian operasional, model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau

abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Selanjutnya dinyatakan bahwa model memperhatikan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta

kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji.

(42)

alat untuk menjelaskan fakta karena belum ada teori, jika sudah ada teori maka model digunakan sebagai alat untuk mencari konfirmasi. Tujuan managerial model adalah sebagai alat pengambil keputusan, sebagai proses belajar atau sebagai alat komunikasi (Dunn 2003).

Dunn (2003) mengemukakan tipe-tipe model kebijakan yaitu: (1) model deskriptif (2) model normatif (3) model verbal (4) model simbolis (5) model prosedural. Model deskriptif adalah menjelaskan dan/atau memprediksi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model deskriptif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari aksi-aksi kebijakan.

Model normatif bertujuan model normatif bukan hanya untuk menjelaskan dan/atau memprediksi tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Di antara beberapa jenis

model normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model antri). Masalah-masalah keputusan normatif biasanya dalam bentuk mencari nilai-nilai variabel yang terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai), sebagaimana terukur dalam variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan.

Model verbal, model normatif dan deskriptif dapat diekspresikan di dalam tiga bentuk utama, yaitu: verbal, simbol, dan prosedural. Model verbal diekspresikan dalam bahasa sehari-hari. Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti.

(43)

17

Model prosedural, menampilkan hubungan yang dinamis di antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-prediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang mungkin. Salah satu bentuk model prosedural yang paling sederhana adalah pohon keputusan.

2.2.2 Model deskriptif SEM

Model deskriptif dalam analisis SEM merupakan model yang ditunjukkan dengan mendeskripsikan sebuah keadaan atau sebuah konsep atau sebuah faktor. Model deskriptif ini digunakan untuk menjelaskan sebuah struktur dari suatu konsep, misalnya seorang peneliti ingin menggambarkan struktur loyalitas merek atau konsep suatu pemasaran (Bacon 1997).

Hayduk 1987 menjelaskan bahwa model deskriptif dalam SEM sering disebut measurement model karena digunakan untuk mengukur kekuatan struktur dari dimensi-dimensi yang membentuk sebuah faktor. Bentuk-bentuk

measurement model adalah (1) Measurement model untuk variabel laten

independen dan laten dependen. Peneliti dapat mengembangkan model dengan teknik confirmatory factor analysis terhadap variabel-variabel yang direncanakan akan diperlakukan sebagai indikator dari variabel latent independen. Variabel observasi ini yang juga disebut variabel indikator harus dibangun berdasarkan pijakan teoritis yang cukup, serta justifikasi teoritis sehingga secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan sebagai variabel laten independen. Seperti halnya untuk variabel latent independen, measurement model untuk variabel laten dependen juga harus dilakukan berdasarkan justifikasi teoritis yang cukup. Justifikasi ini perlu untuk memberikan perlakukan atas sebuah variabel sehingga hubungan kausalitas dapat dianalisis dengan benar. (2) Measurement model untuk beberapa variabel laten Confirmatory factor analysis dapat dikembangkan untuk analisis terhadap lebih dari satu variabel/faktor laten sekaligus. Analisis ini tidak hanya diperlukan untuk faktor-faktor yang diperlukan sebagai variabel laten independen maupun sebagai variabel latent dependen (3) Second-order confirmatory factor

analysis. Confirmatory factor analysis juga dapat dikembangkan untuk

(44)

Measurement model seperti ini biasanya digunakan pada bidang manajemen sumberdaya manusia, dimana peneliti misalnya mengajukan model yang terdiri dari job satisfaction dan supervisor satisfaction yang kemudian dikombinasikan untuk mendefinisikan sebuah variabel latent jenjang dua atau second-order latent

variable.

2.2.3 Pendekatan dua langkah dalam analisis dan pemodelan

Bacon (1997) menyatakan bahwa pemodelan SEM dapat dilakukan dengan pendekatan dua langkah (two step modelling approach), yaitu pertama mengembangkan model pengukuran dan kedua adalah model struktural. Model pengukuran penting untuk menghasilkan penilaian mengenai validitas konvergen

(convergen validity) dan validitas diskriminan (discriminant validity). Model

struktural penting untuk menyajikan penilaian mengenai validitas prediktif

(predictive validity).

Terkait dengan ini, maka setiap faktor latent perlu dikonfirmasikan sehingga mendapatkan faktor yang benar-benar sesuai dengan apa yang dijelaskan. Bila setiap faktor sudah dianalisis dan sesuai dengan apa yang ingin diukur, maka tahapan selanjutnya adalah mengembangkan sebuah analisis lanjutan yang secara simultan dapat dianalisis dalam sebuah model struktural (Saksono 2008).

Ferdinand (2002) menyatakan bahwa kesesuaian dan kecukupan model

(adequacy of the model) menjadi hal penting supaya model struktural dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, dalam operasi SEM, parameter (koefisien regresi, varians, dan kovarians) akan diestimasi untuk menghasilkan “estimated population covariance matrix”. Bila model yang dikembangkan baik, maka parameter estimasi akan menghasilkan sebuah

estimated covariance matrix yang dekat dengan sample covariance matrix.

2.3 Kerangka Teoritis Konflik

2.3.1 Paradigma perikanan

(45)

19

sumberdaya alam. Konflik ini seringkali timbul karena adanya perbedaan pemanfaatan sumberdaya atau perbedaan dalam cara pengelolaannya. Perbedaan pendapat juga terjadi ketika masing-masing memiliki kepentingan yang saling tidak mendukung, atau ketika prioritas dari beberapa kelompok pengguna tidak terwakili dalam kebijakan, program dan proyek yang ada. Bentuk dan intensitas konflik berbeda dalam tempat dan waktu. Konflik muncul dalam berbagai bentuk, dari mulai pelanggaran aturan hingga tindakan sabotase dan kekerasan. Kadangkala konflik tetap terselubung dan bersifat laten (Hart dan Castro 2000).

Sebagian besar masyarakat pesisir dan nelayan bergantung pada perikanan tangkap. Dengan demikian, permasalahan konflik yang dihadapi masyarakat pesisir dan nelayan dapat dikaji melalui kerangka analisis konflik dan paradigma perikanan. Akar konflik terjadi didasarkan pada perbedaan sistematis dalam hal

prioritas yang dilakukan oleh berbagai aktor perikanan. Secara umum, kompleksitas debat kebijakan perikanan muncul akibat perbedaan (world view) perikanan. Tiap paradigma menekankan pada satu dari tiga kelas utama dari sasaran kebijakan yaitu konservasi, rasionalisasi, atau paradigma sosial/komunitas (Charles 1992). Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan

Sasaran Kebijakan Paradigma

Konservasi/pengelolaan sumberdaya Konservasi Kinerja ekonomi/produktivitas Rasionalisasi Kesejahteraan masyarakat/keadilan Sosial/komunitas

Sumber : Charles (1992)

(46)

pemahaman bahwa penghidupan nelayan dan industri perikanan bergantung pada stok ikan.

Paradigma rasionalisasi menekankan pada sasaran pencapaian efisiensi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dalam perikanan. Paradigma ini memiliki asumsi bahwa masyarakat harus memaksimalkan rente perikanan, dalam arti manfaat ekonomi dari perikanan harus lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan untuk menangkap ikan. Perikanan yang belum mencapai efisiensi ekonomi dan memaksimumkan rente yang dirasionalisasi antara lain melalui pengurangan jumlah nelayan, karena nelayan dianggap sebagai suatu perusahaan yang memaksimumkan keuntungan tanpa memperdulikan keberlanjutan perikanan dilihat dari kinerja ekonomi.

Paradigma sosial/komunitas berfokus pada kesejahteraan masyarakat,

keadilan distribusi, dan manfaat sosial dan budaya perikanan lainnya. Perikanan diberikan pada nelayan sebagai komunitas pesisir. Pandangan sosial/komunitas biasa didiskusikan dalam ilmu sosial. Terdapat elemen advokasi yang kuat pada paradigma ini, yang berusaha melindungi nelayan kecil yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi. Paradigma ini biasanya didukung oleh serikat nelayan, koperasi nelayan dan orang-orang yang tinggal atau berhubungan dengan masyarakat nelayan.

Ketiga paradigma ini dapat digambarkan pada’segitiga paradigma’ (Gambar 2) yaitu sebuah kerangka terintegrasi dimana debat kebijakan perikanan dapat dianalisis. Konflik perikanan dapat dianalisis sebagai refleksi tarik-menarik antara tepi-tepi segitiga, dimana proposal kebijakan yang ’ekstrim’ berada relatif dekat dengan salah satu tepi, dan usaha resolusi konflik biasanya ditujukan untuk mencapai ’bagian dalam’ segitiga.

Studi kasus terhadap berbagai konflik perikanan yang terjadi di banyak negara menunjukkan bahwa perikanan yang bebas dari konflik adalah perikanan yang telah mencapai keseimbangan kebijakan, yang menjamin kondisi perikanan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi dan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut dari segitiga paradigma, namun lebih mengandung keseimbangan antara segitiga paradigma perikanan,

(47)

21

Paradigma konservasi

Kebijakan yang Ekstrim di sudut segitiga

Kebijakan seimbang

Paradigma (di dalam segitiga) Paradigma Rasionalisasi sosial/komunitas

Gambar 2 Keseimbangan kebijakan terhadap konflik perikanan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut

Sumber : Charles (1992)

2.3.2 Prinsip dasar konflik

Keadaan dimana keseimbangan hidup masyarakat terusik akibat terjadinya perebutan status sumberdaya alam atau perebutan kekuasaan, situasi dimana ada dua kelompok sosial atau lebih memiliki tujuan yang bertentangan, dan dua pihak tersebut juga memiliki sarana yang tidak sejalan, sehingga menyebabkan diantara mereka terjadi ketidaksesuaian, ketidakharmonisan, dan bahkan pertentangan yang menyebabkan pertengkaran. Itulah prinsip dasar konflik (Frank 2003).

Santoso (2002) menyebutkan bahwa konflik dalam pengertian kolektif kadang-kadang didefinisikan sebagai suatu kondisi, kadang-kadang sebagai suatu proses, dan kadang-kadang sebagai suatu peristiwa. Galtung mendefinisikannya sebagai suatu peristiwa: Suatu aksi-sistem dikatakan sedang mengalami konflik

bila sistem memiliki dua atau lebih tujuan yang tidak sama. “Coser mula-mula

mendefinisikannya sebagai suatu proses, “suatu perjuangan terhadap nilai dan

tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumberdaya dimana tujuan saingannya

adalah menawarkan, melukai dan menghilangkan rivalnya.” Dalam pemahaman

(48)

Malik et al. (2003) mengungkapkan bahwa secara psikologis, konflik merupakan refleksi dari kondisi psikis manusia dalam rangka interaksi manusia, maka manusia pasti berkonflik. Konflik selalu ada di alam maupun dalam kehidupan manusia sebagai individu. Walaupun demikian, konflik tidak selalu berakibat negatif. Secara positif konflik dapat mengubah, jika dikelola justru akan menciptakan perubahan. Konflik dapat pula mendorong manusia melakukan mobilisasi sumberdaya menggunakan cara-cara baru. Konflik juga membawa manusia pada klasifikasi pilihan-pilihan kekuatan untuk mencapai penyelesaian. Dari situ terlihat bahwa konflik selalu menyangkut dua sisi, yakni ancaman atau bahaya dan peluang atau kesempatan.

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak

sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif (Kartikasari et al. 2000). Konflik memiliki pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak (Golledge dan Stimson 1997) dan konflik sering terjadi ketika tujuan individu, kelompok atau masyarakat tidak sejalan. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu memiliki kepentingan melalui persepsi dunia yang diinginkannya, dimana pada saat yang bersamaan individu tadi berusaha memelihara stabilitas, ketahanan dan konsistensi dari gambaran dunia yang didapat dari persepsi tersebut. Kondisi lingkungan yang dibangun (build enviroment) merupakan ekspresi dan interpretasi ruang yang dilakukan oleh manusia. Keputusan tersebut biasanya sangat dipengaruhi oleh cara manusia memandang dan mengevaluasi sistem keruangan tersebut (Gunawan 2000).

Pruit dan Rubin (1986) menyatakan bahwa secara singkat istilah conflict

menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Dalam konteks selanjutnya makna konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived deivergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kepentingan dimaksud adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral, dalam pikiran

(49)

23

(intensi)-nya. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa konflik pemanfaatan sumberdaya alam merupakan refleksi dari perbedaan refleksi ruang yang diharapkan diantara satu pengguna dan pengguna lain. Di wilayah pesisir konflik yang terjadi dua kategori, yaitu : (1) Konflik pemakai dan (2) Konflik yuridiksi pengelolaan.

Selanjutnya Gunawan (2000) menyatakan bahwa konflik-konflik tersebut dapat terjadi dalam tingkat yang berlainan, yaitu : (1) Konflik dalam tahap laten, dicirikan oleh adanya ketegangan dan ketidak sepahaman antara pengguna pada tingkat awal sehingga belum terjadi perselisihan pendapat, atau bahkan pengguna yang belum menyadari adanya perbedaan pemahaman tersebut. Konflik laten ini sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif; (2) Konflik dalam tahap yang berkembang, dicirikan oleh adanya

pengakuan atau pengertian akan adanya perbedaan kepentingan dimana jalan keluarnya belum diperoleh. Konflik ini mempunyai akar masalah yang dangkal dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi; (3) Konflik terbuka, dimana dalam tahap ini perselisihan sedang dalam proses pencarian jalan keluar, baik dalam bentuk negosiasi ataupun dalam bentuk perselisihan fisik nyata. Konflik ini akar masalahnya sangat dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi berbagai penyebab serta efeknya.

Konflik pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial, hubungan antar kelas, atau perilaku individu dalam masyarakat. Konflik dapat terjadi dimana individu berupaya memperoleh hasil maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin, yang dalam prakteknya perilaku ini sering kali mengorbankan kepentingan pihak lain yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Konflik dapat diartikan dari sudut pandang positif atau negatif, serta dari perspektif konstruktif maupun destruktif (Powelson 1972) atau pelanggaran, pengasingan maupun bukan pelanggaran (Wallace 1993).

Definisi konflik berkembang dan tidak hanya berfokus pada tindakan antagonistik (antagonistic action) tetapi juga memasukan istilah ketidak setujuan yang tajam atau pertentangan atas kepentingan, ide dan lain-lain. Menurut Pruit

(50)

sangat berbeda sehingga keinginan para pihak yang tidak dapat dicapai secara bersamaan. Pengertian lain menurut (Hocker 1985) adalah interaksi antara orang-orang yang saling bergantung satu sama lain yang memiliki tujuan berbeda dimana mereka saling mengintervensi untuk mencapai tujuan masing-masing.

Powelson (1972) berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara agregasi kelompok tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik (

zero-sumgame) atau dimana terjadi deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat

dari argumen “guns vs butter”. (Neary 1997) konflik dapat dipandang sebagai hal

positif. Dalam hal ini konflik yang muncul jangan diredam atau dihilangkan sama sekali.

Edwar De Bono (1985) diacu dalam Firdaus (2005), bahwa konflik adalah suatu hal yang terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi dalam suatu peristiwa

atau keadaan yang sama namun mereka melihat peristiwa/keadaan ini secara berbeda. Fisher et al. (2000), menyatakan bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan, antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Konflik dapat terjadi pada semua bentuk hubungan manusia (sosial, ekonomi dan kekuasaan) dan mengalami pertumbuhan dan perubahan. Konflik dapat timbul berdasarkan perikatan ataupun di luar perikatan. Konfik yang berasal dari perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi/mengingkari isi perjanjian.

Menurut Lewicky et al. (2001) manfaat positif konflik antara lain:

(1) Konflik membuat anggota organisasi lebih menyadari adanya persoalan dan mampu menanganinya

(2) Konflik menjanjikan perubahan dan adaptasi

(3) Konflik memperkuat hubungan dan meningkatkan moral

(4) Konflik meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain, artinya melalui konflik orang belajar tentang apa yang membuat mereka marah, frustasi dan takut

(51)

25

(6) Konflik mendorong perkembangan psikologis, dalam hal ini orang menjadi realistis dan akurat dalam mengukur dirinya

(7) Konflik dapat memberikan rangsangan dan kesenangan karena orang merasa terpuji, terlibat dan hidup di dalam konflik menjadi istirahat dari hal-hal yang rutin dan mudah.

2.3.3 Faktor penyebab konflik

Menurut Satria (2004) terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya; (1) konflik kelas yaitu konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground) yang mirip dengan kategori gear war conflict-nya. Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan

tingkat penguasaan kapital, seperti konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya wilayah penangkapan tradisional; (2) konflik orientasi adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek); (3) konflik agraria merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata dan pertambangan, yang oleh Charles (1992) diistilahkan sebagai external allocation conflik; (4) konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik diatas menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan.

Warner (2000) mengidentifikasi empat hal yang dapat menjelaskan munculnya konflik atas sumber daya alam, yaitu: (1) perubahan demografis (masuknya pendatang baru mungkin didorong oleh menurunnya ekonomi atau ekologi kesejahteraan di sektor lain); (2) kompetisi sumberdaya alam (peningkatan ketergantungan pada sumber daya alam dapat meningkatkan

(52)

pemerintah); (4) ketidakadilan struktural (perubahan dalam perundang-undangan yang sangat membatasi akses sumber daya oleh kelompok masyarakat). Selain keempat alasan tersebut, kegagalan kelembagaan harus dipertimbangkan secara eksplisit. Dengan demikian kegagalan kelembagaan perlu dieksplorasi.

Bennet dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah (1) aktor, (2) ketersediaan sumberdaya dan (3) dimensi lingkungan.

Strategi pengelolaan perikanan tangkap yang cenderung tanpa batas dan lebih berorientasi pada kepentingan kepentingan ekonomi (economic based

fisheries resource management), telah terbukti berakibat buruk terhadap

kelangkaan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dalam situasi pemamanfaatan

sumberdaya ikan yang serba tak terkendali, kelangkaan (scarcity) atau penipisan sumberdaya ikan terjadi. Kompleksitas dari kondisi yang demikian itu dapat menjadi faktor pemicu konflik (Budiono 2005)

KKP (2002) menandaskan bahwa terdapat tujuh penyebab konflik yang dapat dijelaskan berikut ini:

(1) Konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya. Dengan persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan.

(53)

27

(3) Konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas perikanan tangkap yang lebih rendah.

(4) Konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap.

(5) Konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan. Misalnya perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi

nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap yang lebih canggih menangkap jenis ikan yang sama di perairan pantai

(6) Konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain. Tingkat kualitas peralatan tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada pada lokasi yang sama.

(7) Konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain.

Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuatan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan

Budhi (2006) menandaskan bahwa perbedaan status sosial ekonomi yang sangat tajam yang diasumsikan sebagai pemicu bagi berkembang suburnya

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Tabel  3  Perbandingan kelemahan resolusi konflik dengan metode litigasi dan
Gambar 3  Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennet Dalam kebanyakan sistem formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang  and Neiland 2000)
Tabel 4  Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

 Melakukan ulangan berisi materi yang berkaitan dengan pengertian dasar statistika (data (jenis-jenis data, ukuran data), statistika, statistik, populasi, sampel, data tunggal),

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di samping ada kuri- kulum yang berbasis pada madrasah, pesantren Roudhatul Khuffadz juga menerapkan konsep kurikulum kewirausahaan dalam

Deskripsi Singkat : Pada MK Visual Story Telling mahasiswa diarahkan untuk dapat menciptakan pesan komunikasi yang mampu bercerita dalam bentuk visual dari yang

decomposition of multi-component matrix images: the Branched Inverse Difference Pyramid (BIDP), based on the Inverse Difference Pyramid (IDP), the Hierarchical Singular

Analisis Pengaruh Struktur Modal, Pertumbuhan Perusahaan, Ukuran Perusahaan, dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di

[r]

Penelitian ini menggunakan prototipe sebagai media ajar pada pelajaran Menggambar Konstruksi Bangunan (MKB) di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 (SMKN 2)