• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]

DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI

TERHADAP KINERJA INDUSTRI KAKAO

INDONESIA

WELDA YUNITA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

(4)
(5)

ABSTRAK

WELDA YUNITA. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan NIA K. HIDAYAT.

Subsektor perkebunan mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia dan kakao adalah salah satu komoditas perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan. Indonesia memiliki produksi kakao yang besar, tetapi industri kakao di Indonesia belum berkembang dengan baik. Penelitian bertujuan untuk menganalisis (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan dan harga biji kakao di Indonesia, (2) dampak perubahan faktor ekonomi terhadap penawaran, permintaan, harga biji kakao dan produksi cocoa butter di Indonesia, dan (3) dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen biji kakao di Indonesia. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1990-2010, dianalisis secara kuantitatif menggunakan model ekonometrika dan diestimasi dengan metode 2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simulasi kebijakan pajak ekspor biji kakao sebesar 15 persen (Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010) berdampak terhadap penurunan volume ekspor biji kakao di Indonesia tetapi belum meningkatkan produksi cocoa butter di Indonesia, namun dapat meningkatkan kesejahteraan bersih. Kebijakan subsidi pupuk dan kuota ekspor meningkatkan produksi cocoa butter dan menurunkan volume ekspor biji kakao, tetapi kebijakan berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan bersih. Guna meningkatkan kesejahteraan nasional maka peraturan menteri keuangan No 67/PMK.011/2010 disarankan untuk diterapkan.

(6)

ABSTRACT

WELDA YUNITA. Impact of Economic Factor’s Change on the Performance of Indonesia’s Cocoa Industry. Supervised by BONAR M. SINAGA and NIA K. HIDAYAT.

Estate crop subsector plays an important role in Indonesia’s economy and cocoa is one of the commodities which has the potential for development. Indonesia has abundant production of cocoa beans, however the cocoa industry has not been developed well. The objectives of research are to analyze; (1) the factors which influence supply, demand and price of cocoa beans in Indonesia; (2) the impact of economic factor’s change on supply, demand, price of cocoa beans and cocoa butter production in Indonesia; and (3) the impact of economic factor’s change on the welfare of producers and consumers of cocoa beans. The research used time series data from 1990 to 2010, analyzed quantitatively using econometric model and estimated using 2SLS method. The results show that simulation of cocoa beans of 15 percent export tax (Regulation of the Minister of Finance Number 67/PMK.011/2010), was able to decrease export volume of cocoa beans but did not work for boosting cocoa butter production but resulted in increase net welfare. Provision of fertilizer subsidies by 15 percent and export quota could increase cocoa butter production and decrease the export rates of cocoa beans as well. However it could not increase net welfare. Thus, in order to increase national welfare, it is recommended to immediately put the minister of finance regulation into practice.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

WELDA YUNITA

DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI

TERHADAP KINERJA INDUSTRI KAKAO

(8)
(9)

Kakao Indonesia

Nama NIM

:Welda Yunita : H44080009

--Prof Dr Ir Bonar M MA

Pembimbing I

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Tanggal Lulus: 2 2 SEP 2014

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih ialah Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kinerja Industri Kakao Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA sebagai pembimbing pertama dan Ibu Nia K Hidayat, SP. MSi sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan arahan dan pembekalan ilmu serta wawasan selama penyusunan skripsi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP. MSi dan Ibu Nuva, SP. MSi selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan kritik dan saran bagi kesempurnaan skripsi. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta (Ayahanda Ediy Nicholman dan Ibunda Gusniati), kakak (Endriyani), nenek

(Nura’i), mak itam (Anizar), adek (Derli, Iga, dan Kristi) dan keponakan tersayang (Arkando Eka Febriansyah) yang senantiasa memberikan doa, perhatian, kasih sayang dan motivasi yang tak pernah putus kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS selaku dosen pemimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis kuliah. Selanjutnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Hengki, Bapak Denny, dan Bapak Christian selaku pembina dan donatur beasiswa KSE yang tidak hanya memberikan bantuan finansial kepada penulis namun juga cinta kasih dan arahan selama penulis menjadi penerima beasiswa. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Agnes, Ibu Inge, Ibu Heidi dan Ibu Ruth selaku pembina dan donatur beasiswa PMD yang tidak hanya sekedar memberikan beasiswa namun telah menjadi orangtua kedua penulis selama menempuh kuliah di IPB. Selanjutnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman PMD (Diana, Deni, Osi, Kak Rifki, Kak Imam, Kak Ade), KSE IPB (Erna, Hendra, Rifki, Neneng), KSE UI (Eni, Ika), KSE ITB (Zain, Pandu), KSE UNPAD (Ade, Hani, Enang), KSE UGM (Martinus, Gofur, Findi, Elsya), KSE ITS (Sofyan,Wiwin, Tatik, Malta), KSE UNDIP (Laela, Eko), KSE UNUD (Made, Ari), KSE UNAND (Ririn, Yeni), KSE USU (Nova, Roy), KSE UNSRAT (Lidya), kostn Nahla (Leni, Rehan, Dian Marlina, Dian Fitria, Imma, Susan, Leli, Ayu, Eni, Hamda, Citra), teman PS (Dea, Ayu, Sausan, Agung, Indri, Ebes dan Yuri), teman-teman ESL 45 (Tika, Ninis, Udin, Esti, Windi, Sari, Asih, Gea, Wiwid, Yoppy) dan rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kebersamaan, keceriaan dan dukungan yang diberikan selama ini.

Semoga skripsi ini memberi manfaat bagi semua dan penulis sebagai proses pembelajaran.

Bogor, September 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 7

1.3. Tujuan Penelitian... 9

1.4. Manfaat Penelitian... 9

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kakao ... 11

2.2. Kakao di Indonesia ... 12

2.3. Industri Pengolahan Kakao 2.3.1. Bahan Baku Industri Pengolahan kakao ... 14

2.3.2. Kondisi Industri Pengolahan Kakao Indonesia ... 15

2.3.3. Kendala Industri Pengolahan Kakao ... 15

2.4. Penelitian Terdahulu 2.4.1. Penelitian Mengenai Perdagangan Biji Kakao ... 16

2.4.2. Penelitian Mengenai Kebijakan Perdagangan ... 22

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Harga ... 22

3.2. Konsep Perdagangan Internasional ... 24

3.3. Fungsi Produksi ... 27

3.4. Fungsi Permintaan ... 29

3.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 31

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 33

4.3. Metode Analisis Data ... 33

(14)

4.4.1. Luas Areal Tanam Biji Kakao Indonesia ... 35

4.4.2. Produktivitas Biji Kakao Indonesia ... 36

4.4.3. Produksi Biji Kakao Indonesia ... 36

4.4.4. Penawaran Biji Kakao Indonesia ... 36

4.4.5. Volume Impor Biji Kakao Indonesia ... 37

4.4.6. Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia ... 37

4.4.7. Permintaan Total Biji Kakao Indonesia ... 38

4.4.8. Permintaan Biji Kakao oleh Industri Butter Indonesia . 38

4.4.9. Harga Biji Kakao Domestik ... 39

4.4.10. Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia ... 39

4.4.11. Produksi Cocoa Butter Indonesia ... 40

4.5. Identifikasi Model ... 40

4.6. Metode Pendugaan Model ... 42

4.7. Uji Kesesuaian Model ... 43

4.8. Uji Estimasi Variabel Secara Individu ... 43

4.9. Uji Autokorelasi ... 44

4.10. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen ... 45

4.11. Konsep Elastisitas ... 45

4.12. Validasi Model ... 46

4.13. Simulasi model ... 47

4.14. Definisi Operasional ... 49

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN KAKAO 5.1. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Indonesia ... 51

5.2. Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia ... 55

5.3. Perkembangan Produksi Kakao Indonesia ... 56

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, PENAWARAN DAN HARGA KAKAO DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasi Estimasi Model Ekonometrika ... 57

6.1.1. Hasil Uji Autokorelasi ... 58

6.2. Luas Areal Kakao Indonesia ... 58

6.3. Produktivitas Kakao Indonesia ... 59

6.4. Produksi Biji Kakao Indonesia ... 60

6.5. Penawaran Biji Kakao Indonesia ... 60

6.6. Volume Impor Biji Kakao Indonesia ... 60

(15)

6.8. Permintaan Total Biji Kakao Indonesia ... 63

6.9. Permintaan Biji Kakao oleh Industri Cocoa Butter ... 64

6.10. Harga Riil Biji Kakao Domestik ... 65

6.11. Harga Ekspor Riil Biji Kakao Indonesia ... 65

6.12. Produksi Cocoa Butter Indonesia ... 66

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI 7.1. Validasi Model ... 67

7.2. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia 7.2.1. Dampak Penetapan Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen ... 68

7.2.2. Dampak Penurunan Suku Bunga Kredit Sebesar 15 Persen ... 69

7.2.3. Dampak Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen 70

7.2.4. Dampak Peningkatan Harga Ekspor Biji Kakao Sebesar 15 Persen ... 71

7.2.5. Dampak Larangan Ekspor Biji Kakao Indonesia ... 72

7.2.6. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor Biji Kakao Indonesia Sebesar 75 Persen ... 73

7.2.7. Dampak Peningkatan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Sebesar 15 Persen ... 74

7.2.8. Dampak Kombinasi Pajak Ekspor Biji Kakao 15 Persen dan Subsidi Pupuk 15 Persen ... 75

7.2.9. Dampak Kombinasi Kuota Ekspor Biji Kakao 75 Persen dan Subsidi Pupuk 15 Persen ... 76

7.2.10. Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran, Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia... 77

7.3. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Biji Kakao Indonesia ... 80

VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan... 85

8.2. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 89

LAMPIRAN ... 93

(16)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut Sub

Sektor Tahun 2010-2013 ... 1 2. Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Perkebunan Indonesia

Tahun 2010-2013 ... 3 3. Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 ... 4 4. Volume dan Nilai Ekspor Impor Biji Kakao Indonesia Tahun

2007-2011 ... 4 5. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 ... 12 6. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Kakao Indonesia

Tahun 2007-2011 ... 14 7. Produksi Industri Pengolahan Kakao Indonesia Tahun 2010-2011 15 8. Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 17 9. Hasil Identifikasi Model dari Masing-masing Persamaan ... 42 10. Range Statistik Durbin Watson ... 44 11. Perkembangan Ekspor Cocoa Beans, Whole or Broken, Raw or

Roasted Indonesia Tahun 2006-2010 ... 52 12. Perkembangan Nilai Ekspor Cocoa Beans,Whole or Broken,

Raw or Roasted Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama

Tahun 2006-2010 ... 52 13. Perkembangan Volume Ekspor Cocoa Beans, Whole or Broken,

Raw or Roasted Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama

Tahun 2006-2010 ... 53 14. Perkembangan Volume Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 53 15. Perkembangan Nilai Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 .. 54 16. Luas Areal Tanam Kakao Indonesia Menurut Provinsi

Tahun 2008- 2009 ... 56 17. Produksi Kakao Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2008-2009 .... 57 18. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Biji Kakao Indonesia ... 59 19. Hasil Estimasi Parameter Produktifitas Biji Kakao Indonesia ... 60 20. Hasil Estimasi Parameter Volume Impor Biji Kakao Indonesia ... 61 21. Hasil Estimasi Parameter Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia .... 63 22. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Biji Kakao oleh Industri

(17)

24. Hasil Estimasi Parameter Harga Ekspor Biji Kakao Indonesia ... 66 25. Hasil Validasi Model Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap

Kinerja Industri Kakao di Indonesia Tahun 2008-2010 ... 67 26. Hasil Simulasi Penerapan Pajak Ekspor Biji Kakao Indonesia

Sebesar 15 Persen ... 69 27. Hasil Simulasi Penurunan Suku Bunga Kredit Bank Persero

Sebesar 15 Persen ... 70 28. Hasil Simulasi Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen ... 71 29. Hasil Simulasi Peningkatan Harga Ekspor Biji Kakao Sebesar

15 Persen ... 72 30. Hasil Simulasi Larangan Ekspor Biji Kakao Indonesia ... 73 31. Hasil Simulasi Penetapan Kuota Ekspor Biji Kakao Sebesar 75

Persen ... 74 32. Hasil Simulasi Penguatan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar

Sebesar 15 Persen ... 75 33. Hasil Simulasi Kombinasi Pajak Ekspor Biji Kakao Sebesar 15

Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen ... 76 34. Hasil Simulasi Kombinasi Kuota Ekspor Biji Kakao Sebesar 75

Persen dan Pemberian Subsidi Pupuk Sebesar 15 Persen ... 77 35. Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Penawaran,

Permintaan, Harga Biji Kakao dan Produksi Cocoa Butter Indonesia 79 36. Ringkasan Hasil Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Kesejahteraan

Produsen dan Konsumen Biji Kakao Indonesia ... 82 DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Persentase Nilai Ekspor Kakao Olahan Indonesia Tahun 2009 ... 5 2. Nilai Ekspor Kakao Olahan Negara Eksportir Tahun 2001-2011… . 6 3. Proses Penetapan Peraturan Menteri Keuangan di Indonesia

Tahun 2012 ... 8 4. Proses Terjadinya Perdagangan Internasional ... 25 5. Diagram Alur Pemikiran Penelitian ... 32 6. Keterkaitan antar Variabel dalam Model Perdagangan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Peraturan Pemerintah Terkait Penerapan Kebijakan Bea Keluar

Biji Kakao ... 95 2. Sumber Data Awal yang Digunakan ... 96 3. Variabel Data yang Digunakan untuk Estimasi Model ... 97 4. Program Estimasi Parameter Model Perdagangan Kakao di

Indonesia dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 110 5. Hasil Estimasi Parameter Model Perdagangan Kakao di Indonesia

dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 116 6. Program Validasi Model Perdagangan Kakao... 123 7. Hasil Validasi Model Perdagangan Kakao di Indonesia ... 129 8. Program Simulasi Penerapan Kebijakan Pajak Ekspor Biji Kakao

Sebesar 15 Persen ... 132 9. Contoh Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Pajak Ekspor Biji

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor pertanian di Indonesia menyumbang sekitar 1 311 037.30 miliar rupiah untuk nilai pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga yang berlaku menurut lapangan usaha (Badan Pusat Statistik, 2014). Sektor pertanian terdiri dari subsektor perkebunan, subsektor hortikultura, subsektor peternakan, dan subsektor tanaman pangan. Diantara keempat subsektor tersebut, hanya subsektor perkebunan yang memiliki surplus neraca perdagangan (Tabel 1). Tabel 1. Nilai Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia Menurut

Subsektor Tahun 2010-2013

Subsektor

Tahun

2010 2011 2012 2013

TW I TW II Nilai (US$ 000)

1. Tanaman Pangan

Ekspor 477 708 584 861 150 705 31 602 32 853 Impor 3 893 840 7 023 936 6 306 808 1 116 501 1 557 943 Neraca -3 416 131 -6 439 075 -6 156 103 -1 084 899 -1 525 089

2. Hortikultura

Ekspor 390 740 491 304 504 538 91 218 98 795

Impor 1 292 868 1 686 131 1 813 405 266 528 556 841 Neraca -902 128 -1 194 827 -1 308 868 -175 310 -458 047

3. Perkebunan

Ekspor 30 702 864 40 689 768 32 479 157 7 672 423 7 211 465 Impor 6 028 160 8 843 792 4 518 784 612 457 675 362 Neraca 24 674 704 31 845 976 27 960 373 7 059 965 6 536 103

4. Peternakan

Ekspor 951 662 1 599 071 556 527 134 054 135 989 Impor 2 768 339 3 044 801 2 698 100 530 489 802 963

Neraca -1 816 677 -1 445 730 -2 141 573 -396 435 -666 974 Total (Pertanian)

Ekspor 32 522 975 43 365 004 33 690 927 7 929 297 7 479 102

Impor 13 983 207 20 598 660 15 337 098 2 525 976 3 593 109 Neraca 18 539 768 22 766 344 18 353 830 5 403 321 3 885 993 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

(20)

subsektor perkebunan surplus dari tahun ke tahun. Subsektor perkebunan menyumbang ekspor lebih dari 96 persen terhadap total ekspor pertanian yaitu sebesar US$ 32.47 miliar dari total ekspor pertanian US$ 33.69 miliar (Badan Pusat Statistik, 2014). Pada tahun 2011 terjadi peningkatan nilai neraca perdagangan yang signifikan dari tahun sebelumnya sebesar US$ 7.2 miliar (Badan Pusat Statistik, 2014). Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan memiliki keunggulan pada sektor pertanian di Indonesia.

Nilai dan volume ekspor komoditas perkebunan di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Komoditas unggulan sektor perkebunan Indonesia diantaranya kelapa, karet, kelapa sawit, kopi, teh, lada, tembakau, kakao, cengkeh, kapas, tebu, pinang dan lainnya. Salah satu komoditas unggulan perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah kakao. Kakao Indonesia merupakan komoditas utama perkebunan yang menyumbang devisa negara untuk ekspor hasil perkebunan. Nilai ekspor kakao Indonesia menempati urutan ketiga setelah kelapa sawit dan karet dengan total nilai ekspor sebesar US$ 1.64 miliar pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2014). Hal ini menunjukkan potensi dan peluang komoditas kakao dalam perdagangan internasional.

(21)

Tabel 2. Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Perkebunan Indonesia

(22)

Tabel 3. Produksi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 Sumber: International Cocoa Organization, 2011

Indonesia pernah berada di peringkat kedua sebagai negara penghasil biji kakao terbesar di dunia pada tahun 2001/2002, namun pada tahun berikutnya, Indonesia berada di peringkat ketiga (Tabel 3). Tingkat persaingan ekspor Indonesia dengan negara utama penghasil kakao lainnya sangat ketat, disebabkan kualitas biji kakao Indonesia masih rendah. Kualitas kakao Indonesia masih didominasi oleh biji kakao yang belum terfermentasi, biji dengan kadar kotoran yang tinggi, serta terkontaminasi serangga, jamur, atau mikotoksin sehingga kakao Indonesia dihargai paling rendah di pasar internasional, yang menyebabkan volume dan nilai ekspor kakao Indonesia fluktuatif dari tahun ke tahun. Volume dan nilai ekspor impor komoditas kakao Indonesia disajikan pada Tabel 4.

(23)

Fluktuasi perdagangan komoditas kakao di pasar internasional terlihat dari perkembangan volume dan nilai ekspor impor biji kakao Indonesia selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2011 biji kakao menjadi komoditas unggulan dengan volume ekspor sebesar 210 066 ton dan nilai ekspor US$ 614 496.3 ribu (Kementerian Perindustrian, 2012). Sementara itu, Nilai ekspor kakao olahan yang disajikan pada Gambar 1 sebesar US$ 325 956.628 yang berasal dari cocoa butter, fat and oil sebesar US$ 230 055.963, cocoa powder, not contang added

Gambar 1. Persentase Nilai Ekspor Kakao Olahan Indonesia Tahun 2009

Jika dilihat dari persentase olahan kakao Indonesia, cocoa butter

mendominasi produk olahan kakao yang di ekspor yaitu sebesar 71 persen dari total nilai ekspor kakao olahan Indonesia US$ 325 956.628 (Kementerian Perindustrian, 2012), sehingga dalam cocoa butter akan mewakili produk olahan kakao Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar, memiliki peluang dan potensi untuk menciptakan sistem industrialisasi yang baik dengan cara mengembangkan potensi industri yang ada dan menghubungkan rantai produksi dari industri hulu ke industri hilir. Besarnya biji kakao yang dimiliki Indonesia belum mampu menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir utama kakao olahan. Indonesia hanya berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri hilir kakao (cokelat) di luar negeri. Industri hilir cokelat justru berkembang di negara-negara yang relatif tidak memiliki sumber bahan

71% 14%

4%

5% 2% 3%

Cocoa butter, fat and oil Cocoa paste, not defatted

Chocolate confectionary in blocks, slab or bars, weighing > 2 kg

Cocoa paste, wholly or partly defatted

Cocoa powder, not containing added sugar or other sweetening matter

(24)

baku biji kakao seperti Netherland, Malaysia, Perancis dan Jerman (International Trade Centre, 2012). Posisi Indonesia masih jauh berada dibawah Malaysia untuk kategori eksportir olahan kakao padahal produksi dan luas areal tanam kakao Malaysia jauh lebih kecil dibanding Indonesia (International Trade Centre, 2012). Perkembangan nilai ekspor kakao olahan oleh negara eksportir utama tahun 2010-2011 disajikan pada Gambar 2.

Sumber: International Trade Centre, 2012

Gambar 2. Nilai Ekspor Kakao Olahan Negara Eksportir Utama Tahun 2010-2011

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan industri hilir pengolahan kakao. Untuk itu pemerintah mengadakan pengembangan industri hilir kakao nasional. Diharapkan Indonesia akan mampu meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang nantinya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan perolehan devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao. Sebelumnya, ada beberapa kebijakan yang kurang mendukung upaya pengembangan industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional kurang berkembang, diantaranya adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditas primer. Pengenaan PPN sebesar 10 persen mengakibatkan beralihnya biji kakao yang semula diolah di dalam negeri menjadi diekspor dalam bentuk biji. Sebagai akibatnya, pasokan bahan baku untuk perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri berkurang. Dalam rangka mengembangkan industri pengolahan kakao, pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor, atau lebih dikenal dengan kebijakan Bea Keluar (BK). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan

(25)

(PMK) No 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan Tarif BK. Peraturan tersebut diterapkan secara progresif. Besaran tarif BK dan harga patokan ekspor biji kakao ditentukan berdasarkan harga referensi biji kakao. Harga referensi yang dimaksud adalah harga rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata CIF terminal New York. Besaran harga referensi dan Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan setiap bulan oleh menteri perdagangan.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki produksi biji kakao yang besar. Pada tahun 2010, produksi biji kakao Indonesia mencapai 600 000 ton. Akan tetapi besarnya biji kakao Indonesia belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh industri pengolahan kakao nasional. Sebanyak 72 persen nya di ekspor dalam bentuk mentahannya (berupa biji) yaitu sebanyak 432 427 ton, hanya sebagian kecil yang diekspor dalam bentuk kakao olahan dan cokelat olahan yang masing-masing sebanyak 103 055 ton dan 11 764 ton dan bahan baku industri kakao dan cokelat juga berasal dari biji kakao impor sebanyak 24 831 ton (Kementerian Perindustrian, 2011).

(26)

keputusan penetapan tarif BK dilakukan melalui koordinasi antar instansi terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. PMK ditetapkan oleh tim penentuan tarif atas dasar masukan beberapa pelaku pasar dan tim ahli dari instansi terkait. Proses penetapan PMK disajikan pada Gambar 3.

Sumber: Kementerian Keuangan, 2012

Gambar 3. Proses Penetapan Peraturan Menteri Keuangan di Indonesia Tahun 2012

PMK tersebut menjelaskan bahwa untuk harga referensi biji kakao sampai dengan US$ 2 000 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar nol persen. Harga referensi di atas US$ 2 000 sampai dengan US$ 2 750 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar lima persen. Harga referensi di atas US$ 2 750 sampai dengan US$ 3 500 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar sepuluh persen. Harga referensi di atas US$ 3 500 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar 15 persen.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan penelitian adalah:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga biji kakao di Indonesia?

2. Bagaimana dampak perubahan faktor ekonomi terhadap penawaran, permintaan, harga biji kakao dan produksi cocoa butter di Indonesia?

3. Bagaimana dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen biji kakao di Indonesia?

(27)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian bertujuan untuk:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga biji kakao di Indonesia.

2. Menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap penawaran, permintaan, harga biji kakao dan produksi cocoa butter di Indonesia.

3. Menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen biji kakao di Indonesia.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Bagi Pemerintah, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang efektivitas kebijakan pajak ekspor biji kakao yang telah dirumuskan dan diterapkan sehingga dapat merumuskan serta menerapkan kebijakan yang tepat dan bermanfaat bagi pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen domestik. Bagi masyarakat umum, penelitian diharapkan dapat menambah wawasan mengenai ekspor hasil pertanian khususnya biji kakao di Indonesia terhadap pasar Internasional. Bagi akademisi, penelitian diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan yang lebih beranekaragam. Bagi penulis selanjutnya, penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan bahan pertimbangan dengan topik penelitian yang serupa mengenai ekspor hasil pertanian di subsektor perkebunan khususnya biji kakao.

1.5Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(28)

penawaran, permintaan, harga, produksi, ekspor, impor, dan harga ekspor biji kakao serta produksi cocoa butter Indonesia. Istilah industri dipandang sebagai suatu sistem secara keseluruhan, yang meliputi dari penanaman kakao hingga ke proses olahan setengah jadi yaitu hingga diolah menjadi cocoa butter.

Keterbatasan penelitian adalah tidak dibedakannya kualitas biji kakao. Di sisi lain, bentuk pengusahaan tidak dibedakan antara perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta dan perkebunan besar rakyat karena diuraikan kepada total luas areal, total produksi dan total ekspor dari ketiga bentuk pengusahaan perkebunan tersebut. Produk olahan kakao hanya dikhususkan untuk produk setengah jadi yaitu cocoa butter karena cocoa butter merupakan produk olahan kakao yang dapat mewakili total keseluruhan produk olahan kakao oleh industri, karena berdasarkan data Kementerian Perindustrian 2012, cocoa butter

merupakan produk olahan yang memberikan kontribusi terbesar dalam total nilai ekspor produk olahan kakao Indonesia yaitu sebesar 71 persen. Harga domestik

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1Kakao

Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh Suku Indian Maya dan Suku Astek (Aztec) sebagai bahan makanan dan minuman cokelat. Suku Maya dahulu hidup di daerah yang sekarang disebut Guatemala, Yucatan, dan Honduras (Amerika Tengah). Oleh karena itu, berdasarkan penelusuran sejarah menunjukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di bagian utara Amerika Selatan. Seiring penaklukan Suku Maya oleh Suku Astek, maka Suku Astek lebih dikenal sebagai penanam dan pembudidaya tanaman kakao oleh Bangsa Spanyol yang datang pada tahun 1519. Kemudian pada tahun 1525, masyarakat Spanyol tercatat sebagai penanam pertama kakao di Trinidad.

Pengenalan kakao terus berkembang hingga ke Eropa pada tahun 1528. Rasa olahan kakao sebagai cokelat yang lezat membuat komoditas menjadi terkenal sebagai produk makanan dan minuman baru di Spanyol. Hingga pada awal tahun 1550 pengenalan kakao semakin meluas hingga ke seluruh daratan Eropa. Beberapa pabrik pengolahan kakao mulai berdiri di daerah Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Perancis). Negara lain yang tercatat sebagai perintis penanaman kakao adalah Belanda, khususnya untuk penanaman kakao di Asia.

(30)

jauh di atas US$ 1 000. Negara-negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi merupakan pengolah dan konsumen dari produk-produk berbasis kakao. Pada tahun 2008/2009 negara-negara di Eropa mengkonsumsi sekitar 41 persen dari total konsumsi kakao dunia, sementara negara di benua Amerika sekitar 22 persen, diikuti negara-negara di Asia 18 persen, dan Afrika 17 persen. Perbandingan konsumsi kakao antar negara disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010

000 Ton Sumber: International Cocoa Organization, 2011

2.2 Kakao di Indonesia

Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa, Sulawesi. Indonesia mengekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun. Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero, dan

(31)

menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia,

fine flavor cocoa, choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary coco atau bulk cocoa. Jenis Trtiaro yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut dengan kakao lindak (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2011).

Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.60 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu, produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai 903.09 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan, dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan kakao Indonesia yang cukup luas (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011).

Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji yang belum difermentasi (unfermented beans) dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji (beans). Padahal sebagian besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao

(32)

nasional masih belum tercukupi sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011

Tahun Impor

Volume (Ton) Nilai (000 US$)

2007 19 655.40 39 221.30

2008 22 967.90 59 573.50

2009 27 230.00 76 312.40

2010 24 830.60 89 497.00

2011 19 100.00 62 881.00

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2012

2.3 Industri Pengolahan kakao 2.3.1 Bahan Baku Industri Pengolahan kakao

Industri pengolahan kakao menggunakan biji kakao sebagai bahan baku utama dalam proses produksinya. Biji kakao pada umumnya digunakan oleh industri pengolahan kakao Indonesia untuk dijadikan produk olahan setengah jadi atau makanan cokelat jadi yang kemudian dikonsumsi lansung oleh konsumen atau sebagai bahan baku bagi beberapa industri makanan dan minuman. Biji kakao yang baik untuk diolah adalah biji kakao yang telah melewati tahap fermentasi, karena pada tahap fermentasi bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan untuk memperbaiki dan membentuk citarasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji (Widyotomo et al, 2004).

(33)

2.3.2 Kondisi Industri Pengolahan Kakao Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki biji kakao yang besar, tetapi industri pengolahan kakao di Indonesia belum berkembang dengan baik. Produksi industry pengolahan kakao Indonesia disajikan pada Tabel 7. Perusahaan General Food Industries merupakan perusahaan yang memiliki kapasitas produksi terbesar yaitu 80 000 ton pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 100 000 ton pada tahun 2011.

Tabel 7. Produksi Industri Pengolahan Kakao Indonesia Tahun 2010-2011

No Perusahaan (PT) 2010 2011

Kapasitas produksi yang besar tersebut ternyata tidak termanfaatkan dengan maksimal, hanya berproduksi sebanyak 66 055 ton pada tahun 2010 atau berkisar 83 persen dan kinerja menurun pada tahun 2011 sebesar 70 persen, disebabkan oleh kurangnya pasokan biji kakao dalam proses produksi.

2.3.3 Kendala Industri Pengolahan Kakao

(34)

Indonesia. Beberapa kendala tersebut adalah infrastruktur yang terbatas, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber permodalan, serta kualitas biji kakao yang masih rendah.

Di Indonesia pembangunan infrastruktur belum bisa sepenuhnya mendukung industri pengolahan kakao, seperti sarana dan prasarana penyimpanan, pengangkutan, transportasi, dan telekomunikasi. Akses permodalan yang sulit didapat oleh para pelaku agribisnis kakao membuat mereka sulit untuk mengembangkan usahanya sampai ke tahap industri. Selain itu, kualitas biji kakao sebagai bahan baku industri pengolahan kakao masih belum cukup baik karena biji kakao yang diproduksi di Indonesia belum melalui tahap fermentasi.

2.4 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang dapat dijadikan referensi antara lain penelitian Lolowang (1999), Rahmanu (2009), Jamaludin (2005), Sukmananto (2007), Nurdiyani (2007), Hastuti (2012), Hidayat (2012), Arsyad, Sinaga dan Yusuf (2011). Hasil penelitian tersebut disajikan pada Tabel 8.

2.4.1 Penelitian mengenai Perdagangan Biji Kakao

Lolowang (1999) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Penawaran dan Permintaan Kakao Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional, menyatakan bahwa ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, Singapura, dan Jerman dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Dalam jangka panjang hanya ekspor ke Amerika Serikat yang responsif terhadap produksi kakao Indonesia sedangkan ke Singapura dan Jerman tidak responsif terhadap semua faktor penjelas (Tabel 8).

Rahmanu (2009) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia, menggunakan metode

Revealed Comparative Advantage (RCA, metode Porter’s Diamond dan metode

(35)

Tabel 8. Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1 Muhammad Arsyad, B. M.

Faktor-faktor yang secara potensial mempengaruhi ekspor kakao Indonesia adalah harga ekspor kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah, dan trend waktu. Rencana pemberlakuan pajak ekspor berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Uruguay, sementara rencana kebijakan pemberian subsidi harga pupuk berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan ekspor kakao Indonesia. Implikasinya adalah bahwa kebijakan subsidi harga pupuk masih dapat diharapkan sebagai strategi kunci untuk memacu produksi dan ekspor kakao Indonesia 2 Nia Kurniawati Hidayat

Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) efektif dalam menstabilkan harga beras domestik dan melindungi petani. Kenaikan HPP dapat meningkatkan kesejahteraan petani meskipun konsumen dirugikan dan penerimaan pemerintah berkurang. Begitu pula dengan kenaikan tarif impor 10 persen, namun kenaikan belum mampu melindungi petani dari penurunan harga dunia. Sedangkan kebijakan penetapan kuota impor 1.57 juta ton dapat menurunkan kesejahteraan petani, namun konsumen diuntungkan.

(36)

No Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tarif lebih efektif diterapkan daripada kebijakan kuota. karena kebijakan tarif menciptakan penerimaan pemerintah dari tarif impor, sehingga mendorong meningkatkan kesejahteraan bersih masyarakat. Kebijakan perdagangan (tarif dan kuota) impor gandum lebih responsif dibandingkan dengan tepung terigu. karena besarnya impor gandum di Indonesia dibandingkan dengan impor tepung terigu di Indonesia.

(37)

No Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Produksi tepung terigu Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variabel harga tepung terigu domestik, jumlah impor gandum, upah tenaga kerja di sektor Industri, dan bedakala produksi tepung terigu Indonesia. Permintaan tepung terigu ditentukan dan responsif terhadap harga tepung terigu domestik, pendapatan nasional, jumlah penduduk dan dummy kebijakan perdagangan impor gandum-tepung terigu. Sedangkan untuk harga tepung terigu domestik secara nyata ditentukan oleh penawaran tepung terigu Indonesia dan tren waktu 5 Lolowang (1999), Analisis

Ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, Singapua, Jerman dalam jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor

cocoa butter, produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Dalam jangka panjang hanya ekspor ke Amerika Serikat yang responsif terhadap produksi kakao Indonesia sedangkan ke Singapura dan Jerman tidak responsif terhadap semua faktor penjelas.

6 Rahmanu (2009), Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia

1. Menganalisa posisi daya saing hasil olahan kakao

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing hasil olahan kakao adalah harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan, dan krisis ekonomi, sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh terhadap daya saing hasil olahan kakao Indonesia adalah produktivitas industri pengolahan kakao.

(38)

No Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian pengolahan kakao nasional

3. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi posisi kayu bulat, kenaikan provisi sumberdaya hutan, kenaikan dana reboisasi,penurunan suku bunga, kenaikan upah tenaga kerja dan penawaran kayu bulat domestik, merupakan kebijakan yang paling sesuai dan terbaik untuk dilakukan.Selain

menghasilkan kenaikan devisa yang paling tinggi dari ekspor produk industri pengolahan kayu primer. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat yang diganti dengan pengaturan kuota penawaran kayu bulat domestik akan lebih dapat diterima di perdagangan internasional karena terhindar dari isu lingkungan yang sering jadi penghambat perdagangan internasional.

(39)

No Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Indonesia 2. Menganalisis dampak

kebijakan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia serta implikasinya terhadap para stakeholder agribisnis kakao

(2) menurunnya bagian pendapatan yang akan diterima oleh petani, (3) bagi pedagang (eksportir), pungutan ekspor mungkin tidak akan begitu berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan, (4) bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin ketersediaan input untuk proses pengolahan cokelat dan bagi pemerintah tentu saja kebijakan akan menjadi alternatif pendapatan bukan pajak.

(40)

2.4.2 Penelitian mengenai Kebijakan Perdagangan

Jamaludin (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan metode Two - Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan gandum tepung terigu terhadap keseimbangan tepung terigu di Indonesia (Tabel 8). Sukmananto (2007) melakukan penelitian yang berjudul dampak kebijakan perdagangan terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer Indonesia (Tabel 8). Nurdiyani (2007) melakukan penelitian yang berjudul analisis dampak rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah model integrasi pasar berupa model autoregressive distributed lag (Tabel 8). Hastuti (2012) melakukan penelitian yang berjudul dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap penawaran dan permintaan gandum dan tepung terigu di Indonesia (Tabel 8). Hidayat (2012) melakukan penelitian yang berjudul dampak perubahan harga beras dunia terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia pada berbagai kondisi transmisi harga dan kebutuhan domestik (Tabel 8).

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Teori Harga

Teori harga merupakan teori ekonomi yang menjelaskan tentang perilaku harga pasar barang atau jasa tertentu. Harga merupakan suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan dalam satuan moneter. Harga menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam proses perdagangan karena harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan produk baik berupa barang maupun jasa. Teori harga membahas mengenai harga suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif, tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar.

(41)

permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga suatu produk dengan jumlah produk yang diminta masyarakat, jika hal-hal lainnya dianggap konstan (cateris paribus). Kurva permintaan memiliki slope (koefisien arah) negatif terhadap harga, berdasarkan hukum permintaan yang menyatakan ketika harga naik maka permintaan akan turun dan sebaliknya jika harga turun maka permintaan akan naik. Pergerakan sepanjang kurva permintaan terjadi apabila harga komoditas berubah sehingga dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditas yang diminta atau ingin dibeli konsumen. Sedangkan, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditas tersebut.

Faktor penentu permintaan diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi atau komplementer, pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, dan selera masyarakat. Penawaran (supply) pasar merupakan hubungan yang menunjukkan banyaknya suatu komoditas yang akan ditawarkan untuk dijual pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga dengan faktor lain yang tidak berubah (cateris paribus). Kurva penawaran adalah suatu kurva yang menunjukkan hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut. Artinya, jika harga naik maka penawaran terhadap barang akan bertambah dan sebaliknya jika harga turun maka jumlah penawaran terhadap suatu barang akan menurun juga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penawaran pasar merupakan fungsi dari harga komoditas dengan koefisien arah (slope) yang positif.

(42)

Ada beberapa metode dalam menentukan harga jual suatu produk antara lain (1) pendekatan permintaan dan penawaran (supply demand approach), dilakukan dengan cara mencari harga keseimbangan, yaitu harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, (2) pendekatan biaya (cost oriented approach), dilakukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan, dan (3) pendekatan pasar (market approach), dilakukan dengan cara merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain-lain. Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu 1) sebagai pemberi sinyal/informasi bagi produsen mengenai berapa banyak barang yang seharusnya diproduksi untuk mencapai laba maksimum dan 2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum.

3.2 Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah kegiatan memperdagangkan suatu barang dan jasa, yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional timbul karena pada hakikatnya tidak ada suatu negara pun di dunia yang dapat menghasilkan semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduknya. Perdagangan tersebut dapat dijelaskan oleh teori Heckescher–Ohlin yang menekankan pada perbedaan relatif faktor alam dan harga faktor produksi sebagai faktor yang paling penting. Berdasarkan teori tersebut, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan faktor produksi.

(43)

permintaan dan penawaran serta adanya perbedaan tingkat harga antar kedua negara.

Secara teoritis, suatu negara (misalnya negara A) akan dapat mengekspor suatu komoditas (misalnya biji kakao) ke negara lain (misalnya negara B). Negara A mau dan mampu mengekspor komoditasnya tersebut ke negara B apabila harga domestik negara A (sebelum terjadi perdagangan internasional) lebih rendah dari harga domestik di negara B. Harga domestik komoditas tersebut di negara A relatif lebih rendah karena di negara A jumlah penawaran akan barang tersebut lebih tinggi dari permintaan konsumen negara A, atau dengan kata lain mengalami

excess supply untuk komoditas tersebut di negara A.

DA

Gambar 4. Proses Terjadinya Perdagangan Internasional Keterangan :

0 – QA : Jumlah produksi domestik barang di negara A tanpa perdagangan

internasional

0 – QB : Jumlah produksi domestik barang di negara B tanpa perdagangan

internasional

PE : Harga barang yang terjadi di pasar internasional setelah kedua negara

(44)

QE : Jumlah barang yang diproduksi atau jumlah barang yang tersedia

dipasar internasional setelah kedua negara sepakat untuk melakukan proses ekspor impor

PA : Harga domestik barang di negara A tanpa perdagangan internasional

PB : Harga domestik barang di negara B tanpa perdagangan internasional

x : Jumlah barang yang di ekspor setelah terjadinya perdagangan internasional

m : Jumlah barang yang di impor setelah terjadinya perdagangan internasional

Dengan kondisi demikian , maka negara A mempunyai kesempatan untuk menjual kelebihan produksi komoditasnya tersebut ke negara lain. Sedangkan di lain pihak, negara B terjadi kekurangan penawaran karena jumlah pemintaan domestik negara B melebihi jumlah penawaran domestik negara B, atau dengan kata lain mengalami excess demand. Akibat dari keadaan maka harga untuk komoditas tersebut di negara B menjadi tinggi. Maka dengan keadaan seperti negara B ingin membeli komoditas tersebut dari negara A yang harganya relatif lebih murah.

Setelah kedua negara tersebut (negara A dan negara B) melakukan komunikasi dan negosiasi, maka negara A menyetujui untuk mengekspor komoditasnya tersebut ke negara B, dan negara B secara langsung melakukan impor komoditas tersebut dari negara A. Dengan terjadinya kegiatan yang dilakukan antar kedua negara tersebut maka terjadilah suatu proses kegiatan perdagangan internasional (Salvatore 1997). (Gambar 4).

Jika komoditas yang digunakan untuk perdagangan internasional adalah komoditas biji kakao. Maka, sebelum terjadi proses perdagangan internasional, harga biji kakao di negara A (negara pengekspor) adalah sebesar PA, sedangkan

harga biji kakao di negara B (negara pengimpor) adalah sebesar PB. Sebelum

terjadi proses perdagangan internasional jumlah produksi biji kakao di negara A adalah sebesar 0 – QA, sedangkan jumlah produksi biji kakao di negara B adalah

sebesar 0 – QB. Apabila harga biji kakao di negara B adalah sebesar PA maka akan

(45)

menyebabkan terjadinya kondisi kelebihan penawaran (excess supply). Pertemuan antara kondisi excess supply dan excess demand lah yang nantinya akan membentuk harga di pasar internasional yang disepakati oleh kedua negara tersebut. Negara A akan mengekspor biji kakao ke negara B, sedangkan negara B akan mengimpor biji kakao dari negara A, sehingga terjadilah proses perdagangan internasional.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri yaitu seseorang dapat menikmati suatu barang atau jasa yang tidak dapat dihasilkan dalam negeri dengan cara mengimpornya dari negara lain. Selain itu, perdagangan luar negeri memungkinkan dilakukannya spesialisasi sehingga barang dan jasa dapat dihasilkan secara lebih murah karena lebih cocok dengan kondisi negara tersebut, baik dari segi bahan baku maupun cara berproduksi. Negara yang melakukan perdagangan luar negeri dapat memproduksi barang atau jasa yang lebih besar daripada yang dibutuhkan pasar dalam negeri sehingga tingkat perekonomian dan pendapatan nasional dapat ditingkatkan serta angka pengangguran dapat ditekan.

3.3 Fungsi Produksi

Dalam arti sempit, kegiatan produksi berarti menghasilkan suatu barang dengan menggunakan faktor-faktor yang tersedia. Dengan kata lain, produksi merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi. Yang dimaksud dengan faktor produksi adalah semua input yang dimasukkan kedalam proses produksi. Biji kakao termasuk golongan produk antara (intermediate product) yang merupakan output dari suatu perusahaan namun menjadi input bagi perusahaan lain, misalnya oleh industri pengolahan kakao.

Fungsi produksi merupakan hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan (Lipsey, 1995). Proses produksi mengasumsikan bahwa produsen bertindak rasional yaitu selalu memaksimumkan keuntungan. Fungsi produksi biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut:

QKIN = f (AKIN, L, NKIN) … ... (3.1) Keterangan:

(46)

AKIN = Luas areal biji kakao (Ha) L = Tenaga kerja (HOK)

NKIN = Input produksi lainnya (Unit)

Sehingga persamaan biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut:

C = C0 + Pa*AKIN + Pl*L + Pn*NKIN ... (3.2)

C adalah biaya total, C0 adalah biaya tetap sedangkan Pa, Pl, Pn adalah harga

lahan, upah tenaga kerja, dan harga input lain. Keuntungan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan biaya produksi, jika PKD adalah harga biji kakao maka fungsi keuntungan petani biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut:

π = PKD*QKIN – C

π = PKD * f (AKIN, L, NKIN) – (C0 + Pa * AKIN + Pl * L+

Pn*NKIN) ... (3.3)

Fungsi keuntungan maksimum akan tercapai apabila turunan pertama dari fungsi tersebut sama dengan nol, maka diperoleh:

δπ/ δAKIN = PKD*MPAKIN– Pa = 0 maka PKD* MPAKIN = Pa ... (3.4) δπ/ δL = PKD* MPL– Pl = 0 maka PKD* MPL = Pl ... (3.5) δπ/ δNKIN = PKD* MPNKIN– Pn = 0 maka PKD* MPNKIN = Pn. ... (3.6)

Berdasarkan syarat order pertama, keuntungan petani akan maksimum jika pada suatu tingkat produksi tertentu diperoleh nilai produk marjinal masing-masing input sama dengan harga yang harus dibayarkan untuk memperoleh input tersebut. Selanjutnya fungsi (3.4), (3.5), dan (3.6) dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:

MPAKIN = Pa/PKD ... (3.7)

MPL = Pl/PKD ... (3.8)

MPNKIN = Pn/PKD ... (3.9)

Berdasarkan fungsi (3.7), (3.8), dan (3.9) dapat diperoleh fungsi permintaan masing-masing inputnya, yaitu berturut-turut AKINd, Ld, NKINd adalah permintaan terhadap lahan, tenaga kerja, dan input lain.

AKINd = a (Pa, PKD, Pl, Pn) ... (3.10)

Ld = l (Pl, PKD, Pa, Pn) ... (3.11)

(47)

Substitusi fungsi permintaan input ke dalam fungsi produksi (3.1) dapat menghasilkan fungsi produksi biji kakao sebagai berikut:

QKIN = f (PKD, Pa, Pl, Pn) ... (3.13)

Persamaan (3.13) menunjukkan bahwa jumlah produksi biji kakao merupakan fungsi dari harga biji kakao (PKD) dan harga input seperti lahan, tenaga kerja dan input lainnya. Harga lahan tidak tersedia dalam kurun waktu penelitian, sehingga harga lahan tidak diperhitungkan.

Produksi biji kakao pada suatu periode waktu merupakan perkalian antara luas areal panen dengan hasil produksi per satuan luas (produktivitas). Fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

QKIN = AKIN * YKIN ... (3.14) Keterangan :

QKIN = Produksi biji kakao (Ton)

AKIN = Luas areal tanam biji kakao (Ha) YKIN = Produktivitas biji kakao (Ton/Ha)

Secara teoritis tingkat produksi dipengaruhi oleh harga output, harga output alternatif, dan harga input. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi adalah luas areal tanam biji kakao. Luas areal tanam selain dipengaruhi harga output itu sendiri juga dipengaruhi oleh harga output komoditas alternatifnya. Komoditas alternatif yang dipilih adalah komoditas sawit karena sawit dapat dibudidayakan pada kondisi agroekosistem yang sama dengan biji kakao. Fungsi luas areal panen dapat dirumuskan sebagai berikut:

AKINt = a (PKDt, PLt, PFt, PMSDt) ... (3.15)

Keterangan:

AKINt = Luas areal panen biji kakao pada tahun ke-t (Ha)

PKDt = Harga biji kakao pada tahun ke-t (Rp/Kg)

PLt = Upah tenaga kerja pada tahun ke-t (Rp/HOK)

PFt = Harga pupuk pada tahun ke-t (Rp/Kg)

PMSDt = Harga minyak sawit pada tahun ke-t (Rp/Kg)

3.4 Fungsi Permintaan

(48)

permintaan merupakan sebuah representasi yang menyatakan bahwa kuantitas yang diminta tergantung pada harga, pendapatan, dan preferensi. Menurut Koutsoyiannis (1979) fungsi permintaan diturunkan dari fungsi utilitas konsumen yang dimaksimumkan dengan kendala tingkat pendapatan tertentu. Fungsi utilitas konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut:

U = u (Q, R) ... (3.16) Keterangan:

U = Total utilitas mengkonsumsi kakao Q = Jumlah konsumsi biji kakao (Ton)

R = Jumlah konsumsi komoditas lain (substitusi/komplementer) (Unit) Konsumen yang rasional akan selalu memaksimumkan kepuasannya terhadap konsumsi suatu komoditas pada tingkat harga yang berlaku dan pada tingkat pendapatan tertentu. Tingkat pendapatan merupakan kendala dalam memaksimumkan fungsi utilitas yang dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

Y = PKD * QKD + PR * R ... (3.17) Keterangan:

Y = Tingkat pendapatan konsumen (Rp) PKD = Harga biji kakao per unit (Rp/Kg) PR = Harga komoditas lain per unit (Rp/Unit)

Dari persamaan (3.17) dan (3.18) dapat dirumuskan fungsi kepuasan yang akan dimaksimumkan dengan kendala pendapatan sebagai berikut:

Z = U (Q, R) + λ (Y – PKD*QKIN – PR*R) ... (3.18)

Dimana λ adalah lagrangian multiplier. Untuk memaksimumkan fungsi Z, maka turunan dari fungsi tersebut sama dengan nol. Dengan memasukkan syarat tersebut maka:

δZ/ δQKIN = δU/ δQKIN –λ PKD = 0 atau MUQKIN = λ PKD .... . (3.19)

δZ/ δR = δU/ δR –λ PR = 0 atau MUR = λ PR ... (3.20)

δZ/ δ λ = Y – PKD*QKIN – PR*R = 0 ... (3.21) Dengan menyelesaikan persamaan (3.20) dan (3.21) maka diperoleh nilai:

(49)

dan Y merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi permintaan biji kakao. Dengan demikian, fungsi permintaan biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut:

QKINd = d (PKD, PR, Y) ... (3.23) 3.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kakao menjadi salah satu komoditas unggulan dari sektor perkebunan di Indonesia. Tingginya total nilai ekspor kakao hingga mencapai angka US$ 1.64 Miliar di tahun 2010 menjadikan kakao berada pada peringkat ketiga setelah kelapa sawit dan karet untuk komoditas yang menyumbang devisa negara terbesar dalam bidang perkebunan. Kontribusi terbesar dari komoditas kakao tersebut berasal dari volume dan nilai ekspor biji kakao yang mencapai 432 426.8 ton dengan nilai US$ 1 190 739.6 ribu pada tahun 2010. Selain itu, potensi dan peluang komoditas biji kakao dalam perdagangan internasional dapat dilihat dari peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di dunia. Indonesia berhasil menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

(50)

pajak ekspor guna membatasi para eksportir biji kakao untuk tidak mengekspor kakao dalam bentuk biji dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri.

Kerangka Pemikiran Penelitian

Gambar 5 : Diagram Alur Pemikiran Penelitian Kurang berkembangnya industri

kakao Indonesia

Ekspor biji kakao meningkat

Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan kakao

Dampak terhadap kinerja industri kakao (produksi dan volume ekspor cocoa butter)

Simulasi dengan menggunakan skenario kebijakan

Alat analisis:

Model: Persamaan Simultan Metode: Two Stage Least Square

(51)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian membahas dampak perubahan faktor ekonomi terhadap kinerja industri kakao Indonesia. Indonesia dipilih sebagai lokasi penelitian karena Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pengekspor utama kakao dunia. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2012 - Februari 2014.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berupa data time series tahunan selama 20 tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2010. Diantaranya adalah luas areal tanam biji kakao, harga biji kakao Indonesia, rata-rata harga pupuk, suku bunga, upah buruh sektor perkebunan, produktivitas biji kakao Indonesia, produksi biji kakao Indonesia, volume impor biji kakao Indonesia, volume ekspor biji kakao Indonesia, nilai tukar Indonesia terhadap $US, harga ekspor biji kakao Indonesia, volume ekspor cocoa butter, harga impor biji kakao, harga ekspor cocoa butter, indeks harga konsumen, harga minyak sawit domestik, bea keluar biji kakao, produksi cocoa butter, dan tarif impor biji kakao, yang berasal dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan FAO (Food Agricultural Organization) (Lampiran 2).

4.3 Metode Analisis Data

(52)

34

Kakao Indonesia Harga Ekspor Biji Kakao

Indonesia

(53)

4.4 Model Kebijakan Perdagangan Kakao

Model adalah sesuatu yang menggambarkan fenomena yang sebenarnya seperti suatu metode atau proses aktual (Intriligator, 1978). Model analisis yang digunakan adalah model ekonometrika. Model ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal adalah persamaan dimana variabel terikat dinyatakan sebagai variabel fungsi dari satu atau lebih variabel bebas yang tidak menggambarkan ketergantungan. Sedangkan persamaan simultan adalah persamaan yang membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara berbagai variabel dalam persamaan-persamaan tersebut. Menurut Koutsoyiannis (1977), dalam membangun model ekonometrika ada empat tahap utama yang harus dilalui yaitu: spesifikasi model, pendugaan model, validasi model, dan penerapan model.

Spesifikasi model merupakan langkah pertama dan paling penting karena peneliti harus menspesifikasi model yang didasarkan pada teori ekonomi dan informasi yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti. Spesifikasi model juga merupakan hipotesis penelitian yang digambarkan dalam bentuk persamaan struktural yang mencakup variabel eksogen dan endogen.

4.4.1 Luas Areal Tanam Biji Kakao Indonesia

Persamaan luas areal tanam biji kakao di Indonesia dipengaruhi oleh harga biji kakao domestik, harga minyak sawit domestik, harga rata-rata pupuk, suku bunga, upah buruh dan tren.

Dengan demikian persamaan struktural bagi luas areal tanam komoditas biji kakao dirumuskan sebagai berikut:

AKINt = a0 + a1 PKDRt-1 + a2 PMSDRt + a3 PFRt + a4 (IRRt - IRRt-1)

+ a5 LRt + a6 Tt + a7 AKINt-1 + U1 ... (4.1)

Keterangan:

AKINt = Areal tanam biji kakao pada tahun t (Ha)

PKDRt-1 = Harga biji kakao domestik riil pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)

PMSDRt = Harga minyak sawit domestik riil pada tahun t (Rp/Kg)

PFRt = Harga rata-rata pupuk riil pada tahun t (Rp/Ton)

IRRt = Suku bunga kredit bank persero pada tahun t (%/Thn)

(54)

T = Tren waktu U1 = error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: a1,a6 > 0 ; a2, a3, a4, a5 < 0 dan 0 < a7 < 1

4.4.2 Produktivitas Biji Kakao

Persamaan produksi biji kakao dipengaruhi oleh harga biji kakao domestik, luas areal kakao Indonesia, rata-rata harga pupuk, dan curah hujan.

Dengan demikian model persamaan produktifitas biji kakao Indonesia dirumuskan sebagai berikut:

YKINt = b0 + b1 PKDRt + b2 AKINt + b3 CHt + b4 YKINt-1+ U2 ... (4.2)

Keterangan:

YKINt = Produktifitas biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton/Ha)

PKDRt = Harga biji kakao domestik riil pada tahun t (Rp/Kg)

AKINt = Areal tanam biji kakao pada tahun t (Ha)

CHt = Curah hujan pada tahun t (mm/Thn)

U2 = error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: b1, b3,> 0 ; b2 < 0 dan 0 < b4 <1.

4.4.3 Produksi Biji Kakao Indonesia

Produksi biji kakao Indonesia merupakan persamaan identitas dari perkalian luas areal tanam dengan produktifitas biji kakao Indonesia. Secara matematis persamaan identitas dari produksi biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan:

QKINt = AKINt * YKINt ... (4.3)

Keterangan:

QKINt = Produksi total kakao Indonesia pada tahun t (Ton)

AKINt = Luas areal total kakao Indonesia pada tahun t (Ha)

YKINt = Produktifitas kakao Indonesia pada tahun t (Ton/Ha)

4.4.4 Penawaran Biji Kakao Indonesia

(55)

dan dikurangi jumlah ekspor biji kakao Indonesia. Secara matematis persamaan identitas dari penawaran biji kakao Indonesia dapat dilihat pada persamaan:

SKINt = QKINt + MKINt - XKINt ... (4.4)

Keterangan:

SKINt = Penawaran domestik kakao Indonesia pada tahun t (Ton)

QKINt = Produksi total kakao Indonesia pada tahun t (Ton)

MKINt = Volume impor biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)

XKINt = Volume ekspor biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)

4.4.5 Volume Impor Biji Kakao Indonesia

Volume impor biji kakao Indonesia dipengaruhi harga impor biji kakao Indonesia, harga biji kakao domestik, nilai tukar dan tarif impor.

Dengan demikian, model persamaan struktural bagi impor biji kakao dapat dirumuskan sebagai berikut:

MKINt = co + c1 PMKINRt + c2 PKDRt + c3 EXCRRt + c4 TMt

+ c5 MKINt-1 + U3. ... (4.5)

Keterangan:

MKINt = Jumlah impor biji kakao Indonesia pada tahun t (Ton)

PMKINRt = Harga riil impor biji kakao Indonesia (US$/Kg)

PKDRt = Harga biji kakao domestik riil pada tahun t (Rp/Kg)

EXCRRt = Nilai tukar pada tahun t (Rp/US$)

TMt = Tarif impor biji kakao Indonesia pada tahun t(%)

U3 = error

Tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: c2 > 0 ; c1, c3, c4 < 0 dan 0 < c5 < 1

4.4.6 Volume Ekspor Biji Kakao Indonesia

Ekspor biji kakao Indonesia terjadi karena adanya sinyal harga yang memberikan insentif ekonomi bagi aktivitas perdagangan. Persamaan ekspor biji kakao Indonesia dirumuskan sebagai berikut:

XKINt = d0 + d1 (PXINRt-1*EXCRRt-1) + d2 (QKINt*Tt) + d3 PJXt

+ d4 XKINt-1 + U4 ... (4.6)

Keterangan:

Gambar

Tabel 5. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010
Tabel 6. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011
Tabel 7. Produksi Industri Pengolahan Kakao Indonesia Tahun 2010-2011
Gambar 5 : Diagram Alur Pemikiran Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas,sistematis dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan

Pada Tabel 1 dapat dibaca bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi ektoparasit caplak pada deteksi infestasi ektoparasit caplak Boophilus sp di peternakan

LAPORAN REALISASI SEMESTER PERTAMA APBD DAN PROGNOSIS 6 (ENAM) BULAN BERIKUTNYA. PEMERINTAH KABUPATEN

Penulisan Ilmiah ini bertujuan untuk membuat aplikasi chat yang bergerak, yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan komunikasi data lewat telepon selular. Pembuatan

Kembar mayang adalah sepasang hiasan dekoratif simbolik setinggi setengah sampai satu badan manusia yang dilibatkan dalam upacara perkawinan adat Jawa, khususnya sejak

MI NU Islamiyyah Kudus tahun pelajaran 2015/2016... 2) Pengaruh Tata tertib Sekolah terhadap Prestasi Belajar. Peserta Didik pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlak di

Neraca Daerah memberikan informasi mengenai posisi keuangan berupa aset, kewajiban (utang), dan ekuitas dana pada tanggal neraca tersebut dikeluarkan. Aset,

Penelitian ini memerlukan partisipasi dari karyawan bagian akademik fakultas ekonomi, bagian keuangan dan Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) yang menggunakan