PENGARUH PENERAPAN PMK NO-121/PMK.011/2013 ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK PENJUALAN BARANG
MEWAH (PPNBM) TERHADAP DAYA BELI KONSUMEN PADA BARANG ELEKTRONIKA
(Studi Empiris konsumen Barang Elektronika di Wilayah DKI Jakarta)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh :
Fandy Prasetiyo Wibowo NIM: 208082000051
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A.Data Pribadi
1. Nama : Fandy Prasetiyo Wibowo
2. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 19 Juli 1990
3. Alamat : Jln. Musholla Nurul Hudha 1 Rt: 005/01 No:
90A (Pondok Aren)
4. Agama : Islam
5. Nama Ayah : Wachyudi
6. Nama Ibu : Siti Fatimah
7. Nomor Telepon : 0896-3560-5507
8. E-mail : Masfandyprasetiyo@gmail.com
B.Data Pendidikan Formal
1. 1996 : TK. Mardi Lestari (Jakarta Selatan)
2. 2002 : SDN Negeri 011 Bintaro
3. 2005 : SMPN Negeri 235 Jakarta Selatan
4. 2008 : SMU KARTIKA X-1
5. 2015 : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan
Akuntansi (Perpajakan), Universitas Islam
ix
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan
membantu penulis, secara khusus penulis haturkan terima kasih kepada:
1. Pertama kupanjatkan terima kasih kepada ALLAH SWT dan Kedua orang
tuaku tercinta bapak Nuzul kurman dan Ibu Nelliwarti, Kakak ku Nira
rahmiati SE dan adikku Diah rahmiati.
2. Bapak hepi prayudiawan,SE,MM,Ak,CA selaku Ketua jurusan Akuntasi.
3. Prof. Dr. Abdul Hamid,MS selaku Pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, arahan, dan ilmu
pengetahuannya kepada peneliti selama penyusunan skripsi hingga akhirnya
skripsi ini bisa terselesaikan. Terima kasih atas segala masukan guna
penyelesaian skripsi ini serta semua motivasi dan nasihat yang telah
diberikan selama ini.
4. Ibu Ismawati Hariwibowo,SE,M.Si selaku Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, arahan, dan ilmu
pengetahuannya kepada peneliti selama penyusunan skripsi hingga akhirnya
skripsi ini bisa terselesaikan. Terima kasih atas segala masukan guna
penyelesaian skripsi ini serta semua motivasi dan nasihat yang telah
diberikan selama ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan yang sangat luas kepada penulis selama perkuliahan,
semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan menjadi amal kebaikan bagi kita
semua.
6. Seluruh Staff Tata Usaha Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam
mengurus segala kebutuhan administrasi dan lain-lain.
7. untuk teman teman seperjuangan angkatan Non-Reg 2008 yaitu Aljuni
vernorth, Aziezul Rashid, Riski aryo, Wahyu saputro, Muhammad Raffi,
Yoga Swidingga, Dendy Sumawan, Muhammad Oktovian, Dan lain-lainnya
xi
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan Skripsi ... i
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... ii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iii
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... iv
Daftar Riwayat Hidup ... v
3. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ... 31
4. Pengusaha Kena Pajak (PKP) ... 47
5. Dasar Pengenaan Pajak ... 48
xii
E. Operasional Variabel Penelitian ... 69
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71
A.Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 71
1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 71
c. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 84
4. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 86
a. Hasil Koefisien Determinasi(Adjusted R2) ... 86
b. Hasil Persamaan Regresi Linier Berganda ... 87
5. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 88
a. Hasil Uji Secara Simultan (Uji F) ... 88
xiii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92
A.Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Realisasi Penerimaan Pajak (Dalam Milyaran Rupiah) ... 3
2.1 Penelitian Terdahulu ... 53
3.1 Operasional Variabel ... 70
4.1 Distribusi Sampel Penelitian ... 71
4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 72
4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Responden ... 73
4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 75
4.5 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 76
4.6 Hasil Uji Validitas Variabel Pajak pertambahan nilai ... 77
4.7 Hasil Uji Validitas Variabel Pajak Atas Barang Mewah ... 78
4.8 Hasil Uji Validitas Variabel Daya Beli Konsumen ... 78
4.9 Hasil Uji Reliabilitas ... 79
4.10 Hasil Uji Normalitas secara Statistik ... 83
4.11 Hasil Uji Multikolinearitas ... 84
4.12 Hasil Uji Uji Determinasi (Adjusted R2) ... 86
4.13 Hasil Koefisien Persamaan Regresi Linier Berganda ... 87
4.14 Hasil Uji Statistik F (Simultan) ... 88
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 58
4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 73
4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Responden ... 74
4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Terakhir ... 75
4.4 Uji Normalitas Data Secara Grafik ... 82
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 96
2 Data Mentah Jawaban Responden ... 102
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan ekonomi di dunia membawa konsekuensi terhadap
peningkatan aktivitas perdagangan. Adanya sifat bergantung antara satu
negara dengan negara lain dalam hal pemenuhan kebutuhan membuat
aktivitasperdagangan semakin tidak dapat dipisahkan. Perdagangan sekarang
bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Terbukti bahwa batas negara sudah
kabur. Jarak sudah tidak lagi menjadi halangan bagi semua orang untuk
melakukantransaksi perdagangan.
Hal itu tentu saja berlaku pula bagi Indonesia. Banyaknya pulau-pulau
yang terpisah menjadikan perdagangan sebagai salah satu aspek yang berperan
penting. Apalagi sekarang Indonesia sudah masuk dalam era perdagangan
bebas dimana bukan hanya melakukan aktivitas perdagangan antar daerah saja
melainkan juga antar negara. Dengan kata lain aspek ekonomi adalah penting
bagi kemajuan suatu negara. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari berbagai
sektor, terutama dari penerimaan negaranya.
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar yang
digunakan dalam meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan
2
negara Indonesia. Seperti yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yang salah satu
maknanya yaitu bahwa Indonesia bertujuan untuk memajukan kesejahteraan
umum. Maka, atas dasar inilah pemerintah terus melakukan upaya dalam
mensejahterakan rakyat yang diantaranya adalah dengan memberlakukan
pajak.
Pajak mempunyai kontribusi cukup tinggi dalam penerimaan Negara
nonmigas. Pada beberapa tahun terakhir, penerimaan dari sektor fiskal
mencapai lebih dari 70% dari total penerimaan APBN. Berbagai kebijakan
dalam bentuk ekstensifikasi dan intensifikasi telah dibuat oleh pemerintahan
dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor fiscal. Kebijakan
tersebut berdampak kepada masyarakat, dunia usaha, dan pihak-pihak lain
sebagai pembayar/pemotong/pemungut pajak. Selft assessment system yang
mengharuskan wajib pajak untuk secara proaktif menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak sendiri, menentukan pihak-pihak tersebut untuk mampu
memahami dan menerapkan setiap peraturan perpajakan. (Siti Resmi 2014:1)
Definisi tersebut kemudian disempurnakan menjadi Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang
3 Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Negara (Millyar Rupiah), 2011-2014
*Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik) 2014
Apabila dilihat dari sejarahnya, pajak pertambahan nilai merupakan
pengganti dari pajak penjualan. Alasan penggantian ini karena pajak penjualan
dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan
belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk
meningkatkan penerimaan Negara, mendorong ekspor, dan pemerataan
pembebanan pajak.
Sumber Penerimaan 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Penerimaan Dalam Negeri 706108 979305 847096 992249 1205346 1332323 1497521 1661148
Penerimaan Perpajakan 490988 658701 619922 723307 873874 980518 1148365 1310219
Pajak dalam negeri 470052 622359 601252 694392 819752 930862 1099944 1256304
Pajak Penghasilan 238431 327498 317615 357045 431122 465070 538760 591621
Pajak Pertambahan Nilai 154527 209647 193067 230605 277800 337584 423708 518879
Pajak Bumi dan Bangunan 23724 25354 24270 28581 29893 28969 27344 25541
Bea perolehan 5953 5573 6465 8026 -1 0 0 0
Hak Atas tanah dan Bangunan
Cukai 44679 51252 56719 66166 77010 95028 104730 114284
Pakal Lainnya 2738 3035 3116 3969 3928 4211 5402 5980
Pajak Perdagangan Internasional 20936 36342 18670 28915 54122 49656 48421 53915 Bea Masuk 16699 22764 18105 20017 25266 28418 30812 33937 Pajak Ekspor 4237 13578 565 8898 20856 21238 17609 19978 Penerimaan Bukan Pajak 215120 320604 227174 268942 331472 351805 349156 350930 Penerimaan Sumber Daya Alam 132893 224463 138959 168825 213823 225844 203730 198088 Bagian Laba BUMN 23223 29088 26050 30097 28184 30798 36456 37000 Penerimaan Bukan Pajak Lainnya 56873 63319 53796 59429 69361 73459 85471 91083 Pendapatan Badan Layanan Umum 2131 3734 8369 10591 20104 21704 23499 24759
Hibah 1698 2304 1667 3023 5254 5787 4484 1360
4
Sesuai dengan legal karakternya sebagai pajak objektif maka PPN
tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya. Konsumen yang
memiliki kemampuan tinggi dengan konsumen yang memiliki kemampuan
rendah diperlakukan sama. Dengan demikian PPN mengandung unsur
regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban
pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen semakin berat
beban pajak yang dipikul. Sehingga dalam upaya mencapai keseimbangan
pembebanan pajak dan dalam upaya mengendalikan pola konsumsi yang tidak
produktif dari masyarakat, maka atas penyerahan atau atas impor
barang-barang berwujud yang tergolong mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 18 Tahun 2000
yang antara lain menegaskan bahwa atas konsumsi barang kena pajak yang
tergolong mewah selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai upaya nyata untuk mencapai
keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Diharapkan dengan
pengenaan pajak tambahan berupa PPnBM terhadap konsumen yang
mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah, maka dampak
regresif ini dapat ditekan. Dengan kata lain asas keadilanlah yang melatar
belakangi adanya pungutan lain selain PPN untuk konsumsi barang kena pajak
5
keadilan apabila beban pajak yang dipikulkan oleh wajib pajak sepadan
dengan kemampuannya.
Meskipun demikian pajak penjualan juga mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu antara lain :
1) Bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif), sehingga menimbulkan
kesulitan pelaksanaannya
2) Tidak mendorong ekspor
3) Belum dapat mengatasi penyelundupan
Sedangkan di sisi lain pajak pertambahan nilai juga mempunyai
kelebihannya,antara lain :
1) Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan
2) Netral dalam persaingan dalam negeri
3) Netral dalam perdagangan internasional
4) Netral dalam pola konsumsi
5) Dapat mendorong ekspor
Dasar hukum dalam pajak pertambahan nilai adalah undang-undang
yang mengatur pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas
barang mewah (PPn BM) adalah undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang
pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang
mewah sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan
undang-undang nomor 42 tahun 2009. Undang-undang-undang ini disebut undang-undang-undang-undang
6
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dapat dikenakan
tersendiri tanpa adanya Pajak Pertambahan Nilai dan dipungut satu kali pada
sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan, atau pada waktu barang impor.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dilaksanakan berdasarkan sistem faktur
sehingga atas penyerahan barang dan atau penyerahan jasa wajib dibuat Faktur
Pajak sebagai bukti transaksi penyerahan barang dan atau penyerahan jasa
yang terutang pajak.
Hal sekarang yang menjadi masalah adalah pengertian dari barang
mewah itu sendiri. Hal itu bisa dikatakan demikian, karena telah terjadi
pergesaran dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai contoh, sepuluh tahun
yang lalu, ponsel atau telepon genggam dan barang elektronika lainnya,
merupakan barang mewah. Dahulu, ponsel sangat terbatas bagi orang yang
memilikinya bisa dikatakan bagi orang-orang yang berpenghasilan diatas
rata-rata yang mampu memiliki sebuah ponsel atau telepon genggam , selain
harganya yang mahal tetapi juga belum banyak ditemui penjual-penjual
ponsel. Hal itu berbanding terbalik bila kita melihat keadaan sekarang,
banyaknya orang dari segala lapisan masyarakat yang sudah menggunakan
ponsel, bukan hanya sekedar gaya hidup melainkan juga sudah menjadi suatu
kebutuhan. Perpajakan yang didalamnya terdapat unsur PPN dan PPnBM
merupakan juga bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Konsumsi barang
kena pajak yang tergolong mewah secara berlebihan pada umumnya dilakukan
kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi merupakan kegiatan yang
7
dikurangi. Salah satu sarana yang dapat ditempuh adalah diberikannya beban
pajak tambahan terhadap kegiatan mengkonsumsi barang kena pajak yang
tergolong mewah. Motif diatas itulah maka dengan kata lain, pemerintah
dengan kebijakan fiskalnya yang termaterialkan dalam PPnBM, berusaha
untuk mempengaruhi perilaku konsumen khususnya pola konsumsi barang
kena pajak yang tergolong mewah.
Hal tersebut PPN berbeda dengan PPnBM. Bahkan bisa dikatakan
bahwa PPnBM merupakan pajak yang kurang populer di masyarakat umum.
Hal itu bisa disebabkan karena karakter dari PPnBM itu sendiri yaitu;
merupakan pungutan tambahan disamping PPN dan hanya dipungut satu kali
yaitu pada saat impor dan penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
pabrikan. Yang selanjutnya tidak ada mekanisme pajak keluaran dan pajak
masukan. PPnBM oleh distributor akan dimasukkan ke harga pokok barang
kena pajak yang tergolong mewah tersebut. Maka tidak heran ada beberapa
konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah
tersebut tidak mengetahui tentang PPnBM. Karena dari pihak Direktorat
Jendral Pajak hanya mensosialisasikan PPnBM ke importir dan PKP pabrikan.
Suatu kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah adalah
barang elektronika. Barang elektronika yang dikenakan PPnBM antara lain
TV di atas 21, air conditioner (AC), radio cassette, mesin cuci, alat perekam
atau reproduksi gambar, alat fotografi dan lain – lain. Bahkan bisa dikatakan
sebagian besar kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah selain
8
elektronika merupakan barang yang paling cepat mengalami reposisi, yaitu
dari barang mewah ke barang yang banyak dikonsumsi hampir semua lapisan
masyarakat.
Peraturan mentri keuangan No-121/PMK.011/2013 tentang jenis
barang yang tergolong barang mewah selain kendaraan bermotor. Keentuan
ini mengeluarkan beberepa jenis barang yang semula dikatagorikan mewah
menjadi tidak mewah sehingga tidak lagi dikenakan penjualan atas barang
mewah (PpnBm) . barang-barang tersebut diantaranya, peralatan rumah tanga
dengan batasan harga dibawah Rp 5 atau Rp 10 juta. Pesawat penerima siaran
televisi dengan batasan harga dan ukuran dibawah Rp 10 juta dan 40 inch.
Lemari pendingin dengan batas harga dibawah Rp 10 juta. Mesin pengukur
suhu udara dengan batas harga dibawah Rp 8 juta. Pemanas air dan mesin cuci
dengan batas harga dibawah Rp 5 juta. Proyektor dan produk saniter dengan
batas harga dibawah Rp 10 juta. Dengan kebijakan tersebut diharapkan harga
barang-barang dimaksud lebih terjangkau dengan kalangan yang lebih luas
dan dapat menggaiahkan pasar .disamping itu dengan tidak dikenakannya
Ppn.BM atas barang-barang tersebut diharapkan kinerja produk domestic
dapat meningkat dalam rangka bersaing dengan produk impor illegal.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat terlihat bahwa barang
elektronika mempunyai pengenaan pajak yang berbeda. Untuk barang
elektronika yang tergolong mewah tetap dikenakan PPnBM, sedangkan untuk
barang elekronika yang bukan termasuk atau tidak lagi menjadi barang mewah
9
sekunder, akan tetapi keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Dengan adanya pengenaan pajak terhadap barang elektronika, masyarakat
sebagai konsumen harus lebih teliti dalam mengelola keuangan antara
pendapatan dan pengeluaran yang berpengaruh terhadap daya beli atas barang
elektronika sebagai barang kena pajak.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, peneliti merasa bahwa penelitian
ini penting karena daya beli adalah salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi konsumen dalam membeli suatu barang dimana dalam hal ini
barang yang dikenakan pajak. Penelitian ini juga merupakan pengembangan
dari peneliti sebelumnya Raja Abdurrahman (2014) yang mengamati pengaruh
PPN dan PPNBM terhadap daya beli konsumen kendaraan bermotor. Akan
tetapi karena dikeluarkannya surat edaran menteri keuangan
No-121/PMK.011/2013 yang berkaitannya dengan PPN dan PPNBM penulis
ingin meneliti lebih lanjut tentang penerapan PPN berdasarkan surat edaran.
Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti
“Analisis Penerapan PMK No-121/PMK.011/2013 Atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM)
Terhadap Daya Beli Konsumen Pada Barang Elektronika (Studi Empiris
10 B. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah pengaruh pengenaan PPN terhadap daya beli barang elektronik
berdasarkan PMK No-121/PMK.011/2013?
2. Apakah pengaruh pengenaan PPnBM terhadap daya beli barang elektronik
berdasarkan PMK No-121/PMK.011/2013?
3. Apakah pengaruh PPN dan PPnBM terhadap daya beli penjualan barang
elektronika berdasarkan PMK No-121/PMK.011/2013?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh pengenaan PPN barang elektonika terhadap daya
beli konsumen berdasarkan PMK No-121/PMK.011/2013.
2. Mengetahui pengaruh PPnBM atas barang elektronik terhadap daya beli
konsumen berdasarkan PMK No-121/PMK.011/2013.
3. Mengetahui pengaruh PPN dan PPnBM atas barang elektronik terhadap
11 D. Manfaan Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, diantaranya:
1. Peneliti
Untuk memenuhi sebagian dari persyaratan akademis dalam
menyelesaikan studi program strata satu (S1) Fakultas Ekonomi Dan
Bisnis, Jurusan Akutansi Universitas Islam Negeri Jakarta, serta
menambah wawasan tentang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan
atas barang mewah.
2. Pembaca
Untuk memahami pengaruh antara pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap
daya beli konsumen pada barang elektronika
3. Konsumen
Dapat memberikan informasi yang riil dan pengetahuan mengenai
tarif pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
4. Pihak Lain
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
para pihak-pihak yang berkepentingan dan Penulis mengharapkan
penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi dan referensi untuk
penelitian selanjutnya dalam mengembangkan dan mendalami kembali
12
Pada dasarnya, pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada
pemerintah. Namun karena pajak selalu mengikuti perkembangan
zaman, maka banyak para ahli yang memberikan batasan mengenai
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak dapat jasa timbal
balik (Kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang
13
Definisi pajak menurut Soeparman dalam Suandy (2011:9):
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut
oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum”.
Definisi pajak menurut Andriani dalam Lubis (2007):
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.”
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pajak adalah :
1) Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukan adanya kontraprestasi indinidual oleh pemerintah
2) Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah
3) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan
14
b. Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:1) terdapat 2 (dua) fungsi pajak,
yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan Negara) dan fungsi
regularend (mengatur).
1) Fungsi Budgetair (Sumber dana bagi pemerintah) Pajak
mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik
rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara,
pemerintah berupaya memasukan uanga sebanyak-banyaknya
untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara
ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajakmelalui
penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti pajak
penghasilan (PPh), Pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPNBM), pajak bumi dan bangunan
(PBB) dan lain-lain.
2) Fungsi Regulerend (Pengaturan) Pajak mempunyai fungsi
pengaturan, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan
ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang
keuangan. Beberapa contoh penetapan pajak sebagai fungsi
15
a) Pajak yang tinggi dekanakan terhadap barang-barang mewah.
Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBm) dikenakan pada
transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu
barang maka tarif pajak semakin tinggi sehingga barang
tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini
dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk
mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup
mewah)
b) Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan: dimaksudkan
agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberi
kontribusi (membayar pajak) yang tinggi, sehingga terjadi
pemerataan pendapatan.
c) Tarif pajak export sebesar 0% : dimaksudkan agar pera
pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya dipasar
dunia sehingga dapatmemperbesar devisa Negara.
d) Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil
industry tertentu seperti industry semen, industry rokok,
industry baja, dan lain-lain: dimaksudkan agar terdapat
penekanan produksi terhadap industry tersebut karena dapat
mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan
16
e) Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi:
dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di
Indonesia.
f) Pemberlakuan tax holiday : dimaksudkan untuk menarik
investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia.
c. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:7) terdapat tiga sistem pemungutan
pajak, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, dan
With Holding Assessment System.
1) Official assesstment system adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Jadi,
yang menentukan besarnya pajak yang terutang adalah pemerintah
dimana wajib pajak bersifat pasif, sehingga wajib pajak tidak turut
serta dalam menentukan besarnya pajak yang terutang.
2) Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Dalam hal ini, wajib pajak bersifat aktif karena wewenang untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada wajib pajak itu
sendiri. Jadi, wajib pajak mempunyai hak untuk ikut serta dalam
17
sangat mungkin terjadinya manipulasi dalam jumlah pajak yang
akan dilaporkan.
3) With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan
wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak. jadi, baik pemerintah ataupun
wajib pajak tidak mempunyai hak untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang. Contohnya, seorang karyawan yang bekerja
pada PT. X, maka yang mempunyai wewenang untuk memotong
besarnya pajak yang terutang oleh karyawan tersebut adalah PT. X.
Jadi, dari beberapa sistem pemungutan pajak seperti yang diuraikan
di atas maka yang diterapkan di Indonesia saat ini adalah sistem
Self Assessment, dimana tujuannya adalah agar masyarakat
semakin patuh dalam membayar pajak karena adanya transparansi
dalam menghitung, menentukan, dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang terutang
d. Teori yang mendukung pemungutan pajak
Berdasarkan teori yang mendukung hak Negara untuk
memungut pajak dari rakyatnya antara lain (Siti Resmi 2014:5) :
1) Teori Asuransi
Teori ini menyatakan bahwa Negara bertugas untuk
melindungi orang dan segala kepentingannya, meliputi
18
hal perjanjian asuransi (pertanggungan), untuk melindungi orang
dan kepentingan tersebut diperlukan pembayaran premi, dalam
hubungan Negara dan rakyatnya, pajak dianggap sebagai premi
yang sewaktu-waktu yang harus dibayar oleh masing-masing
individu. Meskipun teori ini hanya memberi dasar hukum
pemungut pajak, beberapa pakar menentangnya. Mereka
berpendapat bahwa perbandingan antara pajak dan perusahaan
asuransi tidaklah tepat karena :
a) Dalam hal timbul kerugian tidak ada penggantian secara
langsung dari negara dan
b) Antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan
oleh negara tidaklah terdapat hubungan langsung.
2) Teori Kepentingan
Teori ini awalnya hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian
beban ini harus didasarkan atas kepentingan masing-masing orang
dalam tugas-tugas pemerintahan, termasuk perlindungan atas jiwa
orang-orang itu beserta harta bendanya. Oleh karena itu, sudah
sewajarnya biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara dibebankan
19
3) Teori Gaya Pikul
Teori ini menyatakan bahwa dasar keadilan pemungutan
pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh Negara kepada
warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk
kepentingan tersebut, diperlukan biaya-biaya yang harus dipikul
oleh segenap orang yang menikmati perlindungan itu yaitu dalam
bentuk pajak. Teori ini menekankan pada asas keadilan, bahwa
pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus
dibayar menurut gaya pikul seseorang. Gaya pikul seseorang dapat
di ukur berdasarkan besarnya penghasilan, untuk wajib pajak orang
pribadi. Gaya pikul pengeluaran dan pembelanjaan dinyatakan
dengan sejumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak.
Sebagai contoh, Tuan Akbar (tidak kawin) dan Tuan Hakim
(kawin, anak 2-K/2) mempunyai penghasilan yang sama, beban
pajak Tuan Akbar lebih besar dari pada Tuan Hakim karena gaya
pikul (pengeluaran/pembelanjaan) Tuan Akbar lebih kecil dari
pada Tuan Hakim.
4) Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti)
Berlawanan dengan ketiga teori sebelumnya yang tidak
mengutamakan kepentingan Negara diatas kepentingan warganya,
teori ini mendasarkan pada paham organische staatsleer. Paham ini
mengajarkan bahwa karena sifat suatu Negara, timbullah hak
20
sendiri, dengantidak adanya persekutuan tidak aka nada individu.
Oleh karena itu persekutuan (yang menjelma menjadi Negara)
berhak atas satu dan lainnya. Akhirnya, setiap orang menyadari
bahwa menjadi suatu kewajiban mutlak untuk membuktikan tanda
baktinya terhadap negaradalam bentuk pembayaran pajak.
5) Teori Asas Gaya Beli
Teori ini tidak mempersoalkan asal muasal Negara
memungut pajak, melaikan hanya melihat pada efeknya dan
memandang ebek yang baik itu sebagai dasar keadilannya.
Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak disamakan dengan
pompa yaitu mengambil gaya hidup dari rumah tangga dalam
dalam masyarakat untuk rumah tangga Negara dan kemudian
menyalurkannya kembali kemasyarakat dengan maksud untuk
memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah
tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggara kepentingan
masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan
pemungutan pajak.
6) Pembagian Pajak
Menurut Siti Resmi (2014:12), ada dua yang mengatur
timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak) yaitu
21
a) Pajak Materil
Ajaran materil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
diberlakukannya undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini,
seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya
dikenakan pajak atau tidak, sesuai dengan peraturan perpajakan
yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self
assessment system.
b) Pajak Formil
Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
tidak dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus
(pemerintah). Untuk menentukan apakah seorang dikenakan
pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang harus dibayar, dan
kapan jangka waktu pembayaran akan diketahui dalam surat
ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan
penerapan official assessment system
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a. Pengertian PPN
Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang-Undang No.18
Tahun 2000 yang disempurnakan lagi dalam Undang-Undang No.42
Tahun 2009 adalah Pajak atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan
atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean.
22
Dengan demikian, pajak pertambahan nilai bukan hanya
dikenakan atas barang saja, melainkan juga atas jasa yang sesuai
dengan syarat-syarat yang terdapat dalam Undang-Undang perpajakan.
Dasar hukum adalah peraturan perundangan ang mengatur pajak
penghasilan di Indonesia adalah UU Nomor 7 Tahun 1983 yang telah
disempurnakan dengan UU nomor 7 Tahun 1991, UU nomor 10 tahun
1994, UU nomor 17 tahun 2000, UU nomor 36 tahun 2008, peraturan
pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri keuangan,
keputusan direktur jendral pajak maupun surat edaran direktur jendral
pajak.
b. Sifat Pemungutan PPN
Sifat pemungutan PPN menurut Untung Sukardji (2002), yaitu
sebagai pajak tidak langsung, pajak objektif, multi stage levy, non
kumulatif, indirect substraction method, tarif tunggal, pajak atas
konsumsi dalam negeri, PPN tipe konsumsi, dan netralitas PPN.
1) PPN adalah Pajak Tidak Langsung
Sifat pemungutan ini menggambarkan pengertian PPN ditinjau dari
sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak yang menempatkan
kedudukan pemikul beban pajak dengan kedudukan penanggung
jawab pembayaran pajak ke kas negara pada pihak-pihak yang
berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli atau
penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara
23
BKP (Barang Kena Pajak) dimana perusahaan yang melaporkan
PPN tersebut kepada negara.
2) PPN adalah Pajak Objektif
Timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh
adanya objek pajak, yaitu seperti keadaan, peristiwa, perbuatan
hukum yang dapat dikenakan pajak. Jadi, PPN tidak membedakan
tingkat kemampuan konsumen dalam pengenaan pajaknya.
3) PPN bersifat multi stage levy
“Multy stage levy” mengandung pengertian bahwa PPN dikenakan
pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi BKP
(Barang Kena Pajak) atau JKP. PPN dikenakan pada setiap proses
distribusi BKP atau JKP (Jasa Kena Pajak) karena didasarkan pada
digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan
dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan
memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada
para konsumen.
4) PPN bersifat non-kumulatif
PPN yang bersifat “multi stage levy” namun bersifat non kumulatif
yaitu tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda. Berbeda
ketika dahulu PPN disebut sebagai pajak penjualan yang
menimbulkan pajak berganda.
5) Penghitungan PPN terutang untuk di bayar ke kas negara
24
Indirect Substraction Method adalah metode penghitungan PPN
yang akan disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak
atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa. Jadi,
yang disetor ke kas negara hanya selisihnya saja.
6) PPN Indonesia menggunakan tarif tunggal (single rate)
PPN Indonesia menganut tarif tunggal yang dalam hukum positif
yaitu Undang-Undang PPN Tahun 1984 ditetapkan sebesar 10%.
Dengan Peraturan Pemerintah tarif ini dapat dinaikkan paling
tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling rendah 5%.
7) PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri
Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka PPN hanya
dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah
pabean Republik Indonesia. Jadi, PPN tidak berlaku jika barang
atau jasa dikonsumsi diluar wilayah Indonesia.
8) PPN yang diterapkan di Indonesia adalah PPN tipe konsumsi
(consumption type VAT)
Di lihat dari sisi perlakuan terhadap barang modal, PPN Indonesia
termasuk tipe konsumsi (consumption type VAT) artinya seluruh
biaya yang dikeluarkan untuk perolehan barang modal dapat
25
9) Netralitas PPN
Dengan legal karakter PPN tersebut di atas, PPN mampu
merealisasi dirinya netral dalam dunia perdagangan baik domestik
maupun internasional. PPN tidak menghendaki dirinya
mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Salah satu legal
karakter PPN adalah pajak atas konsumsi. Karena yang dapat di
konsumsi bukan hanya barang tetapi juga jasa, maka PPN
memberikan perlakuan yang sama terhadap konsumsi barang dan
konsumsi jasa, yaitu kedua-duanya dikenakan PPN
c. Prinsip Pemungutan PPN
Menurut Mulyo Agung (2009) terdapat dua prinsip
pemungutan PPN, yaitu Prinsip Tempat Tujuan (Destination) dan
Prinsip Tempat Asal (Origin Principle) dan akan dijelaskan sebagai
berikut:
1) Prinsip Tempat Tujuan (Destination)
Pada prinsip ini, PPN di pungut di tempat barang atau jasa
tersebut dikonsumsi. Maksudnya, pada saat barang atau jasa
sampai di tempat tujuan untuk konsumsi, maka barang atau jasa
tersebut dikenakan PPN.
2) Prinsip Tempat Asal (Origin Principle)
Pada prinsip tempat asal ini diartikan PPN di pungut di
26
dipungut bukan pada tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi,
melaink tempat barang atau jasa tersebut berasal.
d. Mekanisme pengenaan PPN
Menurut Mardiasmo (2011:307), undang-undang pajak
pertambahan nilai 1984 menganut metode kredit pajak (credit method)
serta metode faktur pajak ( invoice method). Dalam metode ini pajak
pertambahan nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan barang kena pajak
(BKP) atau jasa kena pajak (JKP) oleh pengusaha kena pajak (PKP).
PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan
distribusi. Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas
pajak dapat dihindari dengan diterapkannya mekanisme pengkreditan
pajak masukan (metode kredit pajak). Untuk melakukan pengkredirtan
pajak masukan , sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode
faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN
oleh PKP penjualan. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP
penjualan tersebut merupaka pembayaran pajak dimuka dan
disebut dengan pajak masukan. Pembeli berhak menerima bukti
pemungutan berupa faktur pajak.
2) Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib
27
keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib
membuat faktur pajak.
3) Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama
dengansatu bulan takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari
pada jumlah pajak masukan,selisihnya harus disetorkan ke kas
Negara.
4) Apabila dalam suatu masa pajak jurnal pajak keluaran lebih kecil
dari pada jumlah pajak masukan, selisih dapat direstitusi (diminta
kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
5) Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan
menggunakan surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai
(SPT masa PPN) (Mardiasmo 2011:308)
e. Subyek PPN
Subyek PPN menurut Mardiasmo (2011:300) berdasarkan
Undang Undang PPN No.18 Tahun 2000, yaitu:
1) Pengusaha yang menurut Undang-Undang harus dikukuhkan
menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak), yang meliputi:
a) Pabrikan / Produsen
b)Importir dan Investor
c) Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan
pabrikan atau Importer
d)Agen utama dan penyalur utama dari pabrikan dan importer
28
2) Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak (PKP), dapat berbentuk:
a) Eksportir
b) Pedagang yang menjual BKP kepada PKP yang biasanya
merupakan jalur produksi.
f. Obyek PPN
Menurut (Mardiasmo 2011:303) PPN dikenakan atas:
1) Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah:
a) Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;
b) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak
berwujud;
c) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
d) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
e) pekerjaannya;
2) Impor BKP;
3) Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh
Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah:
a) Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
b) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
c) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
29
4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
5) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
6) Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak;
7) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;
8) Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut
tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan,
sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan.
b) Ekspor BKP tidak berwujud, dan
c) Ekspor JKP
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari
pengenaan pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, pajak
30
berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau
peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, pemerintah
diberi wewenang mengubah tarif pajak pertambahan nilai
menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15%
(lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
Perubahan tarif sebagai mana dimaksud pada ayat ini
dikemukakan oleh pemerintah kepada dewan perwakilan rakyat
dalam rangka pembahasan dan penyusunan rancangan
anggaran pendapatan dan belanja Negara
2) Tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM)
Tarif pajak penjualan atas barang mewah dapat ditetapkan
dalam beberapa kelompok tarif , yaitu tarif paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
Ketentuan mengenai tarif kelompok barang kena pajak ang
tergolong mewah yang dikenai pajak atas penjualan barang mewah
dengan peraturan pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis
barang yang dikenai penjualan atas barang newah diatur dengan
atau didasarkan peraturan menteri keuangan. Atas ekspor barang
kena pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%
(nol persen). PPn BM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang
tergolong mewah yang diekspor dapat diminta kembali (restitusi).
31
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
a. Definisi Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Menurut Undang-Undang PPN No.18 Tahun 2000 yang
disempurnakan lagi dalam Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009,
pengertian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak
yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong sebagai barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut
didalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,
ataupun impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Dengan demikian, berbeda dengan PPN, PPnBM yang sudah
dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut, tidak dapat dikreditkan dengan PPN
maupun PPnBM yang dipungut atau PPnBM ini hanya dipungut satu
kali saja.
b. Karakteristik PPnBM
Yang menjadi karakteristik PPnBM adalah sebagai berikut:
1) PPnBM merupakan pungutan tambahan BKP mewah selain PPN.
2) PPnBM hanya dikenakan sekali yaitu pada saat impor atau pada
Saat penyerahan BKP mewah oleh PKP pabrikan.
3) PPnBM tidak dapat dikreditkan sehingga diperlakukan sebagai
32
4) Dalam hal BKP mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar pada
Saat perolehannya dapat diminta kembali (restitusi).
c. Obyek PPnBM
1) Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah tersebut didalam daerah pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2) Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
d. Mekanisme PPnBM
Mekanisme PPnBM sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 8
dan Pasal 10 dalam Undang-Undang PPN, yang secara garis besar
yaitu:
1) Atas impor dan penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh PKP
yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut
disamping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM.
2) PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu impor atau
pada waktu meyerahkan BKP yang tergolong mewah tersebut oleh
pabrikan.
3) PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun
terhadap PPnBM.
4) Tarif PPnBM yang berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun
1983 berkisar antara 10% sampai dengan 35% dengan Undang-
33
50% dan dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 diubah lagi
menjadi setinggitingginya 75%
peraturan pemerintah, dapat ditetapkan dalam beberapa
pengelompokan tarif, yaitu tarif paling rendah sebesar 10% dan tarif
paling tinggi sebesar 75%. Tarif PPnBM yang berlaku saat ini adalah
10%, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 75%.
Tarif PPnBM dikelompokkan menjadi:
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan
bermotor yang dikenakan pajak penjualan atas barang mewah
ditindaklanjuti dengan PMK NOMOR 121/PMK.011/2013 yaitu:
1) Tarif 10%
a. Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat
pemanas, dan pesawat penerima siaran televise
a) Lemari pendingin, kombinasi lemari pendingin-pembeku,
dari tipe rumah tangga dengan kapasitas di atas 180 liter
dengan nilai impor atau harga jual diatas Rp.5.000.000,00
34
b) Pemanas air instant atau pemanas air dengan tempat
penyimpanan, bukan listrik, untuk keperluan rumah tangga
dengan nilai impor atau harga jual di atas Rp.5.000.000,00
(lima juta rupiah) per unit.
c) Mesin cuci dari jenis yang dipakai rumah tangga, termasuk
mesin yang dapat di gunakan untuk mencuci dan
mengeringkan pakaian, kain atau sejenisnya (mempunyai
kapasitan linen kering lebih dari 10kg) dengan nilai impor
atau harga jual di atas Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah)
per unit.
d) Pemanas air instan atau pemanas air dengan tempat
penyimpanan, listrik, peralatan elektro termal lainnya dari
jenis yang digunakan untuk keperluan rumah tangga
dengan nilai impor atau harga jual di atas Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) per unit.
e) Aparatus penerima untuk televisi, digabung atau tidak
dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau
pereproduksi suara atau video, monitor video: - Monitor
video berwarna di atas 17 inch sampai dengan 43 inch
dengan nilai impor atau harga jual di atas Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp15.000.000,00
35
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga. Perlengkapan
memancing dengan nilai impor atau harga jual Rp2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) atau lebih per unit.
c. Kelompok mesin pengatur suhu udara. Mesin pengatur suhu
udara, terdiri dari kipas yang digerakkan dengan motor dan
elemen untuk mengubah suhu dan kelembaban udara, termasuk
mesin tersebut yang tidak dapat mengatur kelembaban udara
secara terpisah, dari tipe jendela atau dinding, dengan kapasitas
pendingin di atas 1 PK sampai dengan 2 PK dengan nilai impor
atau harga jual di atas Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) per
unit.
d. Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat
penerima siaran radio.
a) Aparatus perekam atau pereproduksi video, digabung
dengan video tuner maupun tidak, dengan harga jual atau
nilai impor di atas Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) per
unit:
b) Aparatus penerima untuk penyiaran, dikombinasi maupun
tidak dalam rumah yang sama, dengan aparatus perekam
atau pereproduksi suara atau penunjuk waktu, dengan harga
jual atau nilai impor di atas Rp5.000.000,00 (lima juta
36
e. Kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan
perlengkapannya.
a) Kamera digital dan kamera perekam video, selain yang
dipergunakan untuk usaha penyiaran radio atau televisi
dengan nilai impor atau harga jual di atas Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per unit.
b) Kamera fotografi (selain kamera sinematografi), dan
kamera digital, dengan harga jual atau nilai pabean
ditambah bea masuk di atas Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per unit.
2) Tarif 20%
a. Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat
pemanas, selain yang tercantum dalam tarif 10%
a) Tungku, kompor, tungku terbuka, alat masak (termasuk
tungku dengan ketel tambahan untuk pemanasan sentral),
panggangan besar, anglo, gelang gas, piring pemanas, dan
peralatan rumah tangga tanpa listrik semacam itu, dari besi
atau baja, jenis non portable dengan nilai impor atau harga
jual di atas Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per unit.
b) Lemari pendingin, Kombinasi lemari pendingin-pembeku,
dilengkapi dengan pintu luar terpisah, dari tipe rumah
tangga dengan kapasitas melebihi 180 liter dengan nilai
37
juta rupiah) per unit dan Lemari pendingin tipe rumah
tangga dengan kapasitas melebihi 180 liter dengan nilai
impor atau harga jual di atas Rp15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah) per unit
b. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen,
kondominium, town house, dan sejenisnya.
a) Rumah dan town house dari jenis non strata title dengan
luas bangunan 350 m2 atau lebih.
b) Apartemen, Kondiminium, townhouse dari jenis strata title,
dan sejenisnya dengan luas bangunan 150 M2 atau lebih.
c. Kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta
reflektor antena, selain yang tercantum dalam tarif 10%
a) Aparatus penerima untuk televisi, digabung atau tidak
dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau
pereproduksi suara atau video; monitor video : Aparatus
penerima untuk televisi berukuran di atas 40 inch dengan
nilai impor atau harga jual di atas Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah) per unit dan Monitor video berwarna di
atas 40 inch dengan nilai impor atau harga jual di atas
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) per unit
b) Proyektor video, Mempunyai kapasitas untuk
38
Proyektor data video dan komputer tipe FPD (ITAI/B-200)
dan Lain-lain.
d. Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring,
mesin pengering, pesawat elektromagnetik dan instrumen
musik, selain yang tercantum dalam tarif 10%.
a) Mesin pengatur suhu udara, terdiri dari kipas yang
digerakkan dengan motor dan elemen untuk mengubah
suhu dan kelembaban udara, termasuk mesin tersebut yang
tidak dapat mengatur kelembaban udara secara terpisah.
Dari tipe jendela atau dinding, dengan kapasitas pendingin
di atas 2 PK sampai dengan 3 PK dengan nilai impor atau
harga jual di atas Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
per unit.
b) Mesin pencuci piring dari tipe rumah tangga dengan nilai
impor atau harga jual di atas Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) per unit: - dioperasikan secara elektrik, Tidak
dioperasikan secara elektrik.
c) Mesin pengering dengan kapasitas linen kering tidak
melebihi 10 kg dari jenis yang dipakai untuk rumah tangga
dengan nilai impor atau harga jual di atas Rp5.000.000,00
39
d) Piano termasuk piano otomatis, harpsichord dan instrumen
keyboard bersenar lainnya. Piano tegak, Grand Piano dan
Lain-lain.
e) Instrumen musik dengan suara yang dihasilkan, atau harus
diperkuat secara elektrik (misalnya : organ, gitar,
akordeon). Instrumen keyboard, selain akordeon dan
Lain-lain.
e. Kelompok wangi-wangian Parfum dan cairan pewangi yang
siap untuk dijual eceran dengan nilai impor atau harga jual Rp.
20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) atau lebih per ml.
3) Tarif 30%
a. Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano,
kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum.
Kendaraan air lainnya untuk pelesir atau olahraga; sampan dan
kano.
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga selain yang
tercantum dalam tarif 10%.
a) Perlengkapan golf: Bola golf, Perlengkapan golf lainnya
selain tongkat.
b) Perlengkapan menyelam : - Pakaian selam dan Kacamata
40
c) Perlengkapan ski air, papan selancar, papan layar, papan
selancar layar dan olahraga air lainnya. Selancar layar
Lain-lain
4) Tarif 40%
a. Kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan.
a) Saddlery dan harness untuk semua macam binatang
(termasuk tali kekang, kekang, penutup lutut, penutup
mulut, tutup sadel, tas sadel, jaket anjing dan sejenisnya),
dengan nilai impor atau harga jual Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah) atau lebih per buah.
b) Peti, kopor, tas perempuan, tas eksekutif, tas kantor, tas
sekolah, dompet kaca mata, tas teropong, tas kamera, tas
peralatan musik, kopor senjata, sarung pistol dan kemasan
semacam itu; tas untuk bepergian, tas makanan dan
minuman bersekat, kotak rias, ransel, tas tangan, tas
belanja, dompet, pundi, tempat peta, tempat rokok, kantong
tembakau, tas perkakas, tas olahraga, tempat botol, kotak
perhiasan, kotak bedak, tempat pisau, dan kemasan
semacam itu, dengan nilai impor atau harga jual
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih per buah.
c) Pakaian dan aksesori pakaian dari kulit samak atau kulit
komposisi dengan nilai impor atau harga jual
41
Rp3.000.000,00 (tiga juta ribu rupiah) atau lebih per potong
atau per buah.
d) Pakaian, aksesori pakaian dan barang lainnya dari kulit
berbulu dengan nilai impor atau harga jual Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) atau lebih per stel atau Rp3.000.000,00
(tiga juta ribu rupiah) atau lebih per potong atau per buah.
b. Kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool
a) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, rajutan, sudah
jadi: - dari wool, dari sutera.
b) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, tenunan, tidak
berumbai- umbai atau tidak dibentuk flock seperti
beludru, sudah jadi, termasuk "Kelem", "Schumacks",
"Karamanie" dan babut tenunan tangan yang semacam
itu, selain yang dipergunakan untuk keperluan ibadah.
c) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, berumbai,
sudah jadi. - dari wool, dari sutera.
d) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, sudah jadi,
dari wool atau sutera, selain dari jenis yang
dipergunakan untuk alas sembahyang.
c. Kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang
digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam
42
d. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya
terbuat dari logam mulia atau dari logam yang dilapisi logam
mulia atau campuran daripadanya.
a) Arloji tangan, alroji saku dan arloji lainnya, termasuk
penghitung detik, dengan badan arloji dari logam mulia
atau dari logam kerajang dengan nilai impor atau harga jual
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) per unit.
b) Jam, yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam
mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau
campuran daripadanya.
c) Barang lainnya yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari
emas atau platina atau dari logam yang dilapisi emas atau
platina atau campuran daripadanya, selain barang perhiasan
dan bagiannya
e. Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampah dan kano,
selain yang tercantum dalam Lampiran III, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan umum.
f. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat
dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa penggerak. Pesawat
layang dan pesawat layang gantung dan Lain-lain.
g. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali
untuk keperluan negara.
43
b) Alas kaki lainnya dengan sol luar dan bagian atas dari karet
atau plastik, dengan nilai impor atau harga jual.
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih perpasang.
c) Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak
atau kulit komposisi dan bagian atas sepatu dari kulit
samak, dengan nilai impor atau harga jual Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) atau lebih perpasang.
d) Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak
atau kulit komposisi dan bagian atasnya dari bahan tekstil,
dengan nilai impor atau harga jual Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah) atau lebih perpasang.
e) Alas kaki lainnya, dengan nilai impor atau harga jual
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih perpasang
i. Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor.
a) Tempat duduk, dapat diubah menjadi tempat tidur maupun
tidak, dengan nilai impor atau harga jual Rp5.000.000,00
44
b) Perabotan lainnya dengan nilai impor atau harga jual
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih per unit
atau satuan.
c) Alas kasur, barang keperluan tidur dan perabotan semacam
itu (misalnya, kasur, selimut tebal, eiderdown, bantalan
kursi, poufe, dan bantal) dilengkapi dengan pegas atau diisi
atau dilengkapi bagian dalamnya dengan berbagai bahan
atau dengan karet atau plastik seluler, disarungi maupun
tidak, kecuali yang terbuat dari kapuk.
d) Lampu dan alat kelengkapan penerangan lainnya, dengan
nilai impor atau harga jual Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih per unit atau satuan
j. Kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah
lempung cina atau keramik. - Bak cuci, wastafel, alas baskom
cuci, bak mandi, bidet, bejana kloset, tangki air pembilasan,
tempat kencing, dan perlengkapan sanitasi semacam itu dari
keramik dengan nilai impor atau harga jual Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih per unit atau satuan: dari
porselin atau tanah lempung cina dan lain-lain, Patung dan
barang keramik ornamental lainnya selain yang merupakan
karya seni dengan nilai impor atau harga jual Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) atau lebih per unit atau satuan, dari porselin
45
k. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya
terbuat dari batu selain batu jalan atau batu tepi jalan. Ubin,
batu monumen dan bentuk lainnya selain yang merupakan
karya seni dengan nilai impor atau harga jual Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah) atau lebih per meter persegi atau Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih per meter kubik.
5) Tarif 50%
a. Kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus.
a) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, rajutan, sudah
jadi, yang terbuat dari bulu hewan halus.
b) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya yang terbuat dari
bulu hewan halus, tenunan, tidak berumbai-umbai atau
tidak dibentuk flock seperti beludru, sudah jadi, termasuk
"kelem", "Schumacks", Karamanic" dan babut tenunan
tangan yang semacam itu selain alas sembahyang.
c) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya yang terbuat dari
bulu hewan halus, berumbai, sudah jadi.
d) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya yang terbuat dari
bulu hewan halus, sudah jadi, selain alas sembahyang
b. Kelompok pesawat udara selain yang tercantum dalam
Lampiran IV, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan
46
a) Helikopter dengan berat tanpa muatan tidak melebihi 2.000
kg.
b) Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya : dengan berat
tanpa muatan tidak melebihi 2.000 kg.
c. Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga selain yang
disebut dalam tarif 10% dan tarif 30%
d. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk
keperluan Negara
6) Tarif 75%
a. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya
terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara atau campuran
daripadanya. Barang dari mutiara alam atau mutiara budidaya,
batu mulia atau batu semi mulia alam.
b. Kelompok kapal pesiar mewah
a) Kapal pesiar, kapal ekskursi dan kendaraan air semacam itu
terutama dirancang untuk pengangkutan orang; kapal feri
dari semua jenis.
b) Yacht dan kendaraan air lainnya selain yang tercantum
47
4. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
a. Pengertian PKP
1) Pengusaha
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk
apapun yang dalam kegiatan usaha atau pegerjaan yang
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengexpor barang
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termadus
mengexpor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
(mardiasmo 2011:300)
2) Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan
menyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena
pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang PPN 1984.
a) Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:301), Pengusaha Kena Pajak
berkewajiban, antara lain untuk:
1) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi
pengusaha kena pajak
2) Memungut PPN dan PPnBM yang terutang
3) Menyetor PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak
48
dikreditkan serta menyetorkan pajak penjualan atas barang
mewah yang terutang; dan
4) Melaporkan penghitungan pajak.
b) Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai
Pengusaha Kena Pajak adalah:
1) Pengusaha Kecil.
2) Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau
jasa yang tidak dikenakan PPN.
5. Dasar Pengenaan Pajak
Untuk menghitung besarnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) yang terutang diperlukan adanya dasar pengenaan pajak. Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) adalah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai
ekspor, serta nilai lain yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan.
Di bawah ini adalah Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(Mardiasmo 2011:305) :
a. Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semu biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
BPKB, tidak termaksud pajak pertambahan nilai yang dipungut
menurut UU PPN 1984 dan potongan harga yag dicantumkan dalam