• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)

MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK

HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN

APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI

KUALITAS BIHUN

DIAN HERAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Dian Herawati

(3)

ABSTRACT

DIAN HERAWATI. Sago Starch Modification by Heat Moisture-Treatment (HMT) and Its Application on Sago Bihon-Type Noodle Improvement. Supervised by FERI KUSNANDAR and SUGIYONO.

The objectives of this research were: (1) to develop optimum conditions in HMT (heat-moisture treatment) for sago starch in order to reach C type pasting profile which was suitable for sago bihon-type noodle and(2) to study the effect of HMT modified sago starch substitution on sago bihon-type noodle quality. Sago starch was adjusted at 26-27% moisture content and exposed to heat-moisture treatment at 110oC for various times with washing and without washing. HMT modified sago starch was analyzed in term of pasting profile. The modified starch with C type pasting profile was characterized and formulated into bihon-type noodle production. HMT substituted bihon-type noodle was analyzed in term of cooking loss, cooking time, texture by objective measurement and sensory quality. Sago starch that HMT modified for 4 hours at washing condition showed C type pasting profile. HMT modified starch with C type pasting profile showed no viscosity breakdown indicating in heat stability during cooking. Furthermore, HMT sago starch has larger granule size, higher gel strength, lower degree of whiteness, lower syneresis and lower starch content than those of native sago starch. The substitution of native sago starch with 50% HMT sago starch improved the characteristics of sago bihon-type noodle quality, i.e. lower cooking time, higher hardness and better sensory quality in term of hardness, chewiness, stickiness and overall acceptability.

(4)

DIAN HERAWATI. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR and SUGIYONO.

Pati sagu yang memiliki potensi sangat besar dapat digunakan sebagai bahan baku pangan pokok alternatif seperti bihun sagu. Pati sagu alami yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A (puncak viskositas tinggi yang diikuti oleh pengenceran yang cepat selama pemanasan) kurang sesuai sebagai bahan baku bihun karena adonan yang dihasilkan sangat lengket sehingga antar untaiannya sulit dipisahkan dan cenderung rapuh. Sagu alami yang akan digunakan sebagai bahan baku bihun dapat ditingkatkan sifat fungsionalnya melalui modifikasi dengan metode HMT (heat-moisture treatment). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menentukan kombinasi waktu dan perlakuan pencucian pada modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi HMT yang mempunyai profil gelatinisasi type C (profil gelatinisasi dengan viskositas puncak terbatas dan viskositas yang stabil selama pemanasan) dan perbandingan karakteristik lain dari pati termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya serta (2) menentukan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT yang dapat memperbaiki kualitas fisik dan sensori bihun sagu

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu: (1) penentuan kombinasi waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) dan perlakuan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dalam modifikasi pati sagu dengan metode HMT dan (2) substitusi pati sagu termodifikasi HMT terpilih pada formulasi bihun sagu. Penentuan kombinasi waktu dan perlakukan pencucian terpilih dilakukan berdasarkan profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT yang dianalisis dengan menggunakan instrumen brabender amylograph. Pati termodifikasi terpilih yaitu yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C dikarakterisasi (bentuk dan ukuran granula dengan alat mikroskop polarisasi, gel strength (dengan texture analyzer), sineresis, derajat putih, swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel) kemudian dibandingkan dengan pati alaminya. Pati sagu termodifikasi HMT terpilih digunakan untuk mensubstitusi pati sagu alami untuk formulasi bihun masing-masing dengan perbandingan 0:100%, 25%:75% dan 50%:50% untuk pati sagu termodifikasi HMT: pati sagu alami. Tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT terbaik ditentukan berdasarkan hasil analisis kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), texture profile analysis (TPA), dan uji organoleptik dengan metode ranking hedonik (1= ranking terbaik sampai 3 = ranking terjelek) berdasarkan parameter kekerasan, elastisitas, kelengketan dan kesukaan secara keseluruhan dari 30 orang panelis.

(5)

kondisi tersebut mempunyai nilai breakdown yang paling rendah yaitu mencapai 33 BU. Berdasarkan karakteristik gelatinisasi yang diperoleh dapat dikatakan bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan perlakuan pencucian dan waktu 4 jam memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan karakteristik gelatinisasi tipe C. Perubahan profil gelatinisasi pati sagu alami dari tipe A menjadi tipe C karena proses modifikasi HMT menunjukkan bahwa modifikasi HMT mampu meningkatkan resistensi pati sagu terhadap pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe C, pati termodifikasi terpilih mempunyai kekuatan gel lebih tinggi, % sineresis yang lebih rendah, derajat putih yang lebih rendah, swelling volume dan fraksi pati tidak membentuk gel yang tidak berbeda serta kandungan pati, amilosa dan amilopektin yang lebih rendah bila dibandingkan pati alaminya.

Substitusi pati sagu termodifikasi HMT dalam produksi bihun sagu dapat meningkatkan kualitas bihun sagu. Berdasarkan pengujian secara fisik (waktu pemasakan dan kekerasan) dan organoleptik, bihun sagu yang disubtitusi dengan pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai kualitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT. Bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai waktu pemasakan paling singkat (4.5 menit), kekerasan tertinggi (1481.25 gf) dan paling disukai bila dibandingkan dengan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT.

(6)

@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK

HEAT

MOISTURE-TREATMENT

(HMT) DAN APLIKASINYA

DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN

DIAN HERAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun

Nama : Dian Herawati

NIM : F 251060171

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Ketua

Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyususunan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc. dan Dr. Ir. Sugiyono M.AppSc atas bimbingan, arahan dan dorongan

sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan curahan waktu dan tenaga, serta ilmu yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr. Ridwan Thahir, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji. Masukan yang Bapak berikan akan sangat berarti untuk perbaikan karya ilmiah ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada tim BPPS IPB 2006 yang telah memberikan beasiswa selama studi dan penelitian di Pascasarjana IPB. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Tim KKP3T Departemen Pertanian yang telah memberikan dana penelitian sehingga dapat memperlancar kegiatan penelitian yang penulis lakukan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) dan Kepala Bagian Kimia Pangan atas izin dan kesempatan untuk menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada Ketua Program Studi serta semua staf pengajar program studi Ilmu Pangan IPB penulis ucapkan banyak terima kasih atas ilmu yang diberikan. Kepada rekan-rekan sejawat di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan terima kasih banyak atas bantuan, dorongan dan pengertiannya selama penulis mengikuti pendidikan program Magister.

(11)

ada hentinya. Kepada suami tercinta Dr. Jakaria dan anak-anak tersayang Hafidz Azhar Jakaria dan Galuh Samia Zahra, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani studi.

Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan Angkatan 2006 dan rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kerjasama dan kebersamaan yang terjalin selama ini. Kepada rekan-rekan teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai harganya. Akhirnya penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis juga para pembaca umumnya.

Bogor, Agustus 2009

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 1975. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Dudung Supyadi dan Ibu Kusminingsih.

Pada tahun 1993 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

program USMI dan pada tahun 1994 penulis diterima di program studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan selesai pada tahun 1998. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan beasiswa BPPS Dirjen Dikti, Depdiknas.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 4

Manfaat ... 5

Hipotesis ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu ... 6

Ekstraksi Pati Sagu ... 9

Karakteristik Pati Sagu Alami ………... 15

Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun ... 22

Modifikasi Pati dengan Metode HMT ... 26

Aplikasi pati termodifikasi HMT ... 32

BAHAN DAN METODE... 34

Bahan dan Alat Penelitian ... 34

Waktu dan Tempat Penelitian ... 34

Metode Penelitian ... 34

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 40

Prosedur Penelitian ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT ... 52

Aplikasi Pati Termodifikasi HMT pada Bihun Sagu ... 73

SIMPULAN DAN SARAN ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Estimasi lahan sagu dunia ……….. 6

2 Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia ... 7

3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu ... 15 4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia ... 16

5 Profil gelatinisasi pati sagu ... 19

6 Persentase penggunaan pati sagu termodifikasi dalam formulasi bihun sagu ... 38 7 Penetapan gula menurut Luff Schoorl ... 46

8 Kadar amilosa standar ... 47

9 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT ... 58

10 Ukuran granula pati alami dan termodifikasi HMT ... 70

11 Kekuatan gel dan sineresis pati sagu alami dan termodifikasi HMT ... 70 12 Derajat putih pati sagu alami dan termodifikasi HMT ... 72

13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel ... 73

14 Kandungan pati, amilosa, amilopektin dan proporsi amilosa:amilopektin ... 74 15 Intensitas warna bihun sagu ... 77

16 Waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu ... 80

17 Tekstur bihun sagu ... 83

(15)

DAFTAR GAMBAR

4 Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati sagu (b) ... 12 5 Pengemasan sagu basah ... 13

6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b) ... 14

7 Pengeringan (a) dan pemasaran (b) pati sagu ………. 14

8 Diagram alir tahapan penelitian ... 35

9 Modifikasi pati sagu dengan metode HMT (Collado et al 2001; Purwani et al 2006) ... 37 10 Proses produksi bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi ... 38 11 Kurva Profil gelatinisasi pati: SAG (suhu awal gelatinisasi), SPG (suhu puncak gelatinisasi), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set back) ... 43 12 Kurva texture profile analysis (TPA) ... 49

13 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT ... 55

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil analisis data pengaruh pencucian dan waktu modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi pati sagu dengan metode GLM dan uji lanjut Duncan pada program SAS ...

92

2 Hasil analisis data uji beda pati alami dengan termodifikasi HMT dengan uji t pada program excel ………...

98

3 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap warna bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ...

102

4 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ...

104

5 Hasil analisis data pengaruh penambahan pati termodifikasi HMT terhadap tekstur bihun sagu dengan menggunakan

oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ...

106

6 Data pengaruh penambahan pati sagu termodifikasi HMT terhadap ranking hedonik bihun sagu ...

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pati sagu yang diperoleh dari tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu bahan pangan pokok lokal yang banyak terdapat di Indonesia terutama di wilayah Timur. Menurut Flach (1997), lahan sagu dari berbagai spesies yang terdapat di Indonesia mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu dunia dan sekitar 1.2 juta hektar berada di Papua. Menurut Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003), produksi sagu di Papua mencapai 5.400.000 ton. Potensi sagu Indonesia (terutama Papua) yang sangat besar tersebut dapat digunakan sarana diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal.

Sebagian masyarakat Papua masih menggunakan sagu sebagai bahan pangan pokok dan mengolahnya menjadi berbagai pangan tradisional seperti sagu lempeng, bagea, sinoli, kue kering dan sebagainya. Namun demikian, konsumsi sagu sebagai makanan pokok terus mengalami penurunan kerena keberadaanya mulai tergeser oleh beras.

Peningkatan konsumsi sagu dapat dilakukan melalui pengembangan produk berbasis sagu yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat seperti bihun. Untuk menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik diperlukan bahan baku sagu dengan karakteristik yang sesuai untuk produksi bihun. Pati yang ideal untuk bahan baku bihun adalah pati yang mempunyai ukuran granula kecil (Singh et al.

(18)

2 granula. Apabila pati tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak mempunyai berat rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan.

Pati sagu alami (termasuk pati sagu asal Papua) mempunyai beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi sifat fungsionalnya pada pembentukan adonan serta teksur dan kualitas masak bihun yang dihasilkannya. Pati sagu mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe A yaitu mempunyai viskositas puncak yang tinggi namun akan menurun dengan cepat selama pemanasan dan pengadukan (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003; Muhammad et al.

2000). Selain itu, pati sagu mempunyai ukuran granula yang besar (Yiu et al.

2008) serta indeks pembengkakan (swelling power) dan kelarutan (solubility) yang tinggi (Wattanachant et al. 2003).

Menurut Purwani et al. (2006), bihun yang dihasilkan dari pati sagu alami cenderung mempunyai kekompakan dan elastisitas yang rendah sehingga mudah patah selama penanganan maupun rehidrasi (pemasakan kembali). Pada saat dimasak, bihun mudah mengembang dan menyerap air dalam jumlah besar

sehingga berat rehidrasinya menjadi tinggi. Pengembangan yang terjadi pada bihun yang direhidrasi disertai dengan pelepasan padatan terlarut sehingga susut masak pada bihun dari pati alami menjadi besar. Selain itu, bihun dari pati sagu alami cenderung lengket karena molekul amilosa sangat mudah keluar dari granula selama proses gelatinisasi berlangsung.

Peningkatan sifat fungsional pati alami sebagai bahan baku bihun dapat dilakukan melalui modifikasi fisik dengan metode heat-moisture treatment

(HMT). Metode HMT dilakukan dengan cara memanaskan pati diatas suhu gelatinisasi namun dengan kadar air terbatas sehingga pati tidak tergelatinisasi tetapi hanya mengalami perubahan konformasi molekul yang disertai dengan perubahan karakteristiknya (Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007).

(19)

mempunyai puncak viskositas yang tidak terlalu tinggi dan mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Pergeseran ini berpengaruh pada karakteristik bihun yang dihasilkan dari pati termodifikasi HMT yaitu adanya peningkatan kualitas masak yang meliputi peningkatan kekompakan, peningkatan elastisitas, penurunan susut masak dan penurunan berat rehidrasi. Namun demikian, untaian bihun yang keluar dari ekstruder sulit diatur dan dibentuk sehingga untaian harus diatur satu per satu di atas rak-rak pengukusan untuk memperoleh bentuk untaian yang baik. Kondisi proses tersebut sangat sulit diaplikasikan pada skala yang lebih besar karena sangat tidak efisien dari segi waktu dan biaya produksi. Selain itu, waktu pemasakan bihun mencapai 7 sampai 9 menit, jauh lebih lama jika dibandingkan dengan bihun komersial yang pada umumnya hanya berkisar antara 3 – 4 menit (Purwani et al. 2006; Kruger et al. 1996).

Kajian pengaruh berbagai faktor kondisi modifikasi HMT terhadap karakteristik pati sagu perlu dilakukan untuk memperoleh pati sagu termodifikasi yang lebih sesuai untuk produk bihun yaitu pati dengan tipe C. Perubahan yang

(20)

4 akan meningkat. Kombinasi perlakuan dipilih berdasarkan kombinasi yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C.

Pati sagu dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yang dihasilkan dari kondisi waktu dan perlakuan pencucian terpilih akan diaplikasikan untuk produk bihun. Aplikasi pati sagu termodifikasi HMT pada formula bihun perlu dioptimalkan mengingat adanya perubahan sifat fungsional pati yang telah mengalami modifikasi HMT. Pati yang telah mengalami modifikasi HMT mempunyai sifat yang cenderung short yaitu pati dengan kemampuan daya rekat yang rendah (Collado et al. 2001). Pada tingkat tertentu, sifat kelengketan pati diperlukan sebagai pengikat dan pembentuk adonan maupun untaian bihun. Pada kondisi tersebut diperlukan proporsi yang tepat antara pati termodifikasi HMT dan pati alami untuk menghasilkan produk bihun sagu dengan karakteristik yang baik yaitu bersifat elastis tetapi tidak lengket. Selain itu, optimalisasi proporsi antara pati sagu termodifikasi dan pati sagu alami diharapkan dapat menghasilkan formula bihun dengan jumlah pati sagu termodifikasi yang sekecil mungkin sehingga dapat meminimumkan penggunaan pati sagu termodifikasi.

Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk memperoleh pati sagu termodifikasi HMT yang sesuai untuk bihun dan pengaruh aplikasinya terhadap kualitas bihun sagu. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengembangan produksi pati sagu termodifikasi HMT dan bihun yang dihasilkannya pada skala yang lebih besar.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan waktu dan perlakuan pencucian dalam modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C serta perbandingan karakteristik lain dari pati termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya

(21)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Informasi kondisi (waktu dan pengaruh pencucian) modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi yang sesuai untuk produk bihun dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi pati sagu pada skala yang lebih besar dan perubahan yang terjadi pada pati sagu termodifikasi HMT dapat digunakan untuk memperkirakan potensi penggunaannya pada berbagai produk pangan selain bihun sagu.

2. Informasi mengenai proporsi pati sagu termodifikasi HMT dan pati alami

yang dapat menghasilkan bihun dengan kualitas yang lebih baik dapat digunakan sebagai dasar untuk produksi bihun sagu pada skala yang lebih besar.

Hipotesis

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis sebagai berikut:

1. Kombinasi waktu dan pengaruh pencucian menghasilkan pati sagu termodifikasi HMT dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda dan mempunyai ketahanan pemanasan dan pengadukan yang lebih tinggi bila dibanding pati alaminya.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu

Tanaman sagu (Metroxylon) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh dengan baik pada daerah hutan hujan tropis, dataran rendah dengan kelembaban yang tinggi dan di rawa-rawa. Habitat utama tanaman sagu berada pada 17o lintang selatan dan 15 – 16o lintang utara yaitu dari Thailand, semenanjung Malaysia dan Indonesia sampai Micronesia, Fiji serta Samoa (McClatchey et al.

2006). Di Indonesia, tanaman sagu hampir menyebar di seluruh wilayah, namun potensi terbesarnya berada di wilayah Timur seperti seperti Maluku, Sulawesi dan Papua (Falch 1997; McClatchey et al. 2006) dan beberapa wilayah di bagian barat seperti Riau. Menurut Flach (1997), estimasi lahan sagu di Indonesia mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu dunia dan 1.2 juta hektar berada di Papua. Estimasi tanaman sagu dunia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Estimasi lahan sagu dunia

Negara Penghasil Sagu Hutan Sagu Liar (ha) Kebun Sagu (ha)

Papua Nugini 1 000 000 20 000

Indonesia 1 250 000 148 000

Papua 1 200 000 14 000

Maluku 50 000 10 000

Sulawesi 30 000

Kalimantan 20 000

Sumatera 30 000

Riau 10 000

Mentawai 10 000

Malaysia 45 000

Thailand 3 000

Philipina 3 000

Lain-lain 5 000

Dunia 2 250 000 224 000

Sumber: Flach (1997)

(23)

Pertanian (2003), Papua merupakan penghasil sagu yang paling tinggi di Indonesia dimana produksinya mencapai 5 400 000 ton. Luas areal tanaman sagu dan produksinya disajikan pada Tabel 2. Selain mampu menghasilkan sagu dengan jumlah produksi yang paling banyak, sagu asal Papua memiliki produktivitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Apabila dibuat rasio, produksi sagu Papua mencapai 9.0 ton/ha. Sementara itu, produksi sagu dari daerah lain hanya mencapai kurang dari 5 ton/ha kecuali Kalimantan Selatan yang produksinya mencapai 9.2 ton/ha. Namun demikian, luas area sagu di Kalimantan Selatan yang hanya mencapai 564 ha hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 0.09% pada produksi sagu Indonesia.

Tabel 2 Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia

Sumber: Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003)

Selain mempunyai areal paling luas, beberapa studi menunjukkan bahwa sagu Papua memiliki keragaman genetik yang paling tinggi. Menurut Widjono et al. (2000), terdapat 60 jenis sagu yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Miyazaki (2004) mengelompokkan 21 jenis sagu asal Papua menjadi dua tipe yaitu sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) dan sagu tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb). Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai morfologi, produktivitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan sebagai seleksi dan identifikasi sagu yang potensial untuk bahan baku produk pangan.

Provinsi Area (Ha) Produksi (ton)

Riau 51250 192752

Jambi 29 12

Jawa Barat 292 1203

Kalimantan Barat 1576 7659

Kalimantan Selatan 564 5212

Sulawesi Utara 23400 113485

Sulawesi Tengah 7985 689

Sulawesi Tenggara 13706 38246

Sulawesi Selatan 7917 37479

Maluku 94989 78862

(24)

8 Menurut Tenda et al. (2005), terdapat lima jenis sagu Papua yang mempunyai produktivitas tepung paling tinggi yaitu empat jenis sagu dari spesies

Metroxylon sagu Rottb (Osokule Hongleu (9.8 ton/ha/thn), hapholo hongsai (8.4 ton/ha/thn), hapholo hongleu (8 ton/ha/thn) dan yepha hongleu (7.90 ton/ha/thn)) serta sagu para dari spesies Metroxylon rumphii Mart dengan produktivitas tepung mencapai 8.3 ton/ha/thn.

Limbongan (2007) mengungkapkan bahwa sagu yepha merupakan sagu yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Sagu jenis ini mampu tumbuh hingga 25 meter sehingga masyarakat menyebutnya dengan yepha (yang berarti tumbuh ke langit). Sagu yepha mempunyai morfologi tertentu untuk membedakannya dengan spesies Metroxylon sagu Rottb lainnnya. Sagu yepha mempunyai ciri kanopi berbentuk V dan berbatang lurus serta berdaun lurus dengan ukuran medium. Sagu yepha yang ditemukan di Papua terdiri atas dua jenis yaitu yepha hongsay yang mempunyai tepung berwana pink dan yepha hongleu yang mempunyai tepung berwarna putih (Limbongan 2007).

Selain tergantung pada spesies, produktivitas M. sagu juga tergantung pada tempat tumbuh, kondisi lingkungan dan waktu pemanenen. Setiap pohon sagu yang tumbuh di beberapa daerah di Papua dapat menghasilkan pati basah berkisar

antara 85-1000 kg pati basah per batang (Kertopermono et al. 1983; Maturbongs 1984; PPUS UNIPA 2004; Maturbongs dan Rumbino 1996; Maturbongs et al.

2001).

Untuk memperoleh produktivitas (per unit waktu dan unit area) pati yang optimum, sebaiknya pemanenan sagu yang ditanam secara semi kultivasi dilakukan pada saat inisiasi pembentukan bunga. Masyarakat tradisional biasanya menandai waktu pemanenan pada saat batang sagu sudah tidak mengkilap

(influorescence) (Flach, 1997). Selain itu, daun tanaman sagu yang siap dipanen biasanya terlihat mengering dan berwarna coklat. Tanaman sagu disajikan pada Gambar 1.

(25)

Limbongan, 2007). Sebagian masyarakat pendatang di Papua telah mengembangkan berbagai kue kering dari pati sagu yang dapat dijadikan pangan kudapan (Limbongan, 2007). Pengolahan pati sagu menjadi berbagai produk pangan tersebut dimungkinkan oleh karakteristik tertentu yang dimiliki pati sagu.

Gambar 1 Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang siap dipanen

Ekstraksi Pati Sagu

Pati pada tanaman sagu terdapat di bagian empulur sagu yang dilindungi oleh kulit kayu yang cukup keras. Untuk mengeluarkan pati dari batang dibutuhkan proses ekstraksi yang dapat dilakukan secara tadisional maupun modern. Ekstraksi secara tradisional dilakukan melalui tahapan penebangan batang sagu, pemotongan batang secara melintang dengan ukuran tertentu, pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan, penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air, pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara

(26)

10 Ekstraksi sagu yepha hungleu di Kecamatan Sentani, Jayapura dilakukan di hutan sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura. Sanitasi air maupun peralatan yang digunakan untuk ekstraksi sagu di Sentani sangat jauh dari persyaratan untuk industri pangan sehingga peluang adanya kontaminasi mikroba selama proses ekstraksi berlangsung sangat tinggi. Air yang digunakan sebagai pengekstrak sagu merupakan air dari sungai yang bermuara ke danau Sentani. Sementara, peralatan yang digunakan sangat sederhana dan sebagian besar diperoleh dari sekitar hutan sagu seperti pelepah sagu untuk proses pemerasan parutan sagu dan penampung sementara yang berupa bak dari alas plastik.

Proses ekstraksi sagu di sekitar danau Sentani dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain: penebangan, pengupasan batang sagu, pemotongan batang sagu, pemarutan, pencampuran dengan air, penyaringan, pengendapan pati, dan pemisahan endapan pati. Masyarakat Sentani memilih pohon sagu yang layak panen (tebang) berdasarkan perubahan morfologi batang maupun pohon sagu. Sagu yang mempunyai batang tidak mengkilap lagi dan sebagian besar daunnya mengering mempunyai rendemen pati yang tinggi sehingga layak untuk ditebang.

Penebangan batang sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura sudah dilakukan secara semiotomatis dengan menggunakan gergaji mesin. Batang sagu dikupas untuk memisahkan empulur dari kulit batang sagu yang keras. Empulur sagu dipotong melintang dengan panjang sekitar 60 cm untuk memudahkan pengangkutan (Gambar 2).

(27)

Potongan empulur dibelah secara memanjang untuk memudahkan proses pemarutan. Pemarutan empulur sagu dilakukan dengan cara mengumpankan empulur pada pemarut mesin (Gambar 3). Hasil parutan empulur sagu merupakan bagian sagu yang siap untuk diekstrak patinya. Proses penghancuran empulur sagu yang dilakukan masyarakat di Sentani sudah sedikit lebih maju mengingat proses penghancuran yang biasa dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah lain di Papua adalah adalah dengan penohokan.

Gambar 3 Pemarutan empulur sagu

(28)

12 dari ampasnya. Ekstrak sagu yang berupa cairan diendapkan di dalam bak penampung dan dibiarkan mengendap kurang-lebih selama 1 jam (Gambar 4b). Bak tersebut digunakan secara terus menerus tanpa adanya proses pembersihan sebelum ataupun setelah pemakaian berlangsung. Di sekitar bak pengendapan terlihat sisa-sisa endapan pati sagu yang sangat mungkin berasal dari pengendapan sebelumnya karena dari sisa-sisa endapan tersebut tercium bau asam. Selama pengendapan berlangsung, pati yang mempunyai berat jenis lebih besar dari air akan mengendap di bagian bawah bak pengendapan. Sementara itu, air beserta komponen yang terlarut didalamnya akan berada di atas bak penampung. Bahan kantung plastik yang digunakan sebagai bak penampung akan memudahkan pemisahan cairan yang berada di atas lapisan pati sagu. Cairan yang berada bagain atas bak pengendapan dikeluarkan melalui saluran pengeluaran yang berada di sisi-sisi bak pengendapan. Cairan ini berwarna keruh kemerahan yang menandakan bahwa sagu Papua yang diekstrak kemungkinan mengandung pigmen alami. Endapan patai sagu yang berada di bagian dasar bak pengendapan ditampung ke dalam karung dan siap dipasarkan oleh petani sagu (Gambar 5).

Sementara itu, ampas sagu yang tertinggal di atas pelepah sagu dikumpulkan oleh masyarakat sekitar tempat pemarutan sagu. Ampas tersebut selanjutnya digunakan sebagai pakan ternak babi atau media budidaya sayuran.

Gambar 4 Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati sagu (b)

(29)

Gambar 5 Pengemasan pati sagu basah

Pati sagu basah yang diperoleh dari petani di keringkan oleh pengrajin pati sagu kering untuk mendapatkan sagu kering yang dapat disimpan dan lebih

mudah digunakan. Pengolahan pati sagu kering di Sentani dilakukan melalui serangkaian proses seperti perendaman, pencucian, penjemuran, pengayakan dan pengemasan.

Perendaman pati sagu dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan kotoran yang masih terdapat pada sagu basah yang dibeli dari petani (Gambar 6a). Selain itu perendaman juga dapat mengurangi intensitas warna sagu dari yang tadinya kecoklatan menjadi lebih putih. Perendaman ini berlangsung selama 1 malam sehingga mengundang aktivitas bakteri pembentuk asam. Pemisahan kotoran dan air perendam sagu dilakukan dengan cara menuangkan air perendam yang terdapat di bagian atas bak penampung (6b).

Sagu yang telah bersih dijemur di bawah sinar matahari dengan cara dihamparkan pada rak-rak penjemuran (7a). Sagu yang telah kering diayak, kemudian dikemas dan dipasarkan di daerah Sentani dan sekitarnya (7b).

(30)

14 untuk ekstraksi masih sangat sederhana dan kurang saniter. Kemungkinan mikroba pembentuk asam (terutama bakteri asam laktat) akan mudah mengkontaminasi ekstrak pati selama proses berlangsung. Ekstrak pati yang diperoleh tidak langsung dikeringkan melainkan dijual dalam kondisi basah. Hal ini juga akan menyebabkan terjadinya fermentasi pembentukan asam selama penyimpanan sebelum pengeringan. Selain itu, pengeringan yang dilakukan oleh industri rumah tangga di Sentani Papua juga memungkinkan terjadinya fermentasi karena pati sagu basah yang diperoleh dari petani direndam selama satu malam sebelum dikeringkan.

Gambar 6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b)

Gambar 7 Pengeringan pati sagu (a) dan pati sagu dalam kemasan (b)

(a) (b)

(31)

Karakteristik Pati Sagu Alami

Komposisi Kimia

Pati sagu yang ada di Indonesia umumnya merupakan pati sagu yang diperoleh melalui ekstraksi secara tradisional. Proses ekstraksi yang dilakukan secara tradisioanl hanya memisahkan pati berdasarkan kemampuannya untuk tersuspensi di dalam air kemudian mengendapkan pati yang tersuspensi. Komponen lain seperti protein, lemak kemungkinan, mineral (abu) dan serat masih akan terbawa walaupun dalam jumlah yang sedikit.

Keberadaan komponen selain pati pada pati sagu menjadi bagian dari penentu mutu pati sagu. Proses ekstraksi patu sagu yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu dengan kandungan abu, lemak, protein dan serat kasar yang serendah mungkin. Sementara itu, proses pengeringan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati kering dengan kandungan air yang rendah sehingga aman untuk penyimpanan. Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu

Komponen Satuan Persyaratan

Air % (b/b) Maks 13*

Abu % (b/b) Maks 0.5*

Serat kasar % (b/b) Maks 0.1*

Protein % Maks 0.3**

*Sumber: SNI 01-3729-1995.

**Sumber: Widaningrum et al. (2005).

Komposisi pati sagu asal Indonesia disajikan pada Tabel 4. Adanya variasi metode dan peralatan yang digunakan dalam ekstraksi pati sagu di setiap daerah di Indonesia menyebabkan adanya perbedaan tingkat kemurnian pati sagu yang diperoleh.

(32)

16 berdasarkan pengalaman dan pengamatan pati sagu secara visual sehingga kadar air tepung yang diperoleh tidak konsisten dan sulit memenuhi standar SNI. Kandungan air pada pati sagu asal Indonesia > 13% (Tabel 4).

Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam pati sagu (Tabel 4). Proses ekstraksi yang dilakukan pada produksi pati sagu memungkinkan karbohidrat yang terekstrak adalah dalam bentuk pati. Karbohidrat lain seperti gula dan serat kemungkinan akan terbawa dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandungan serat kasar pada pati asal Sukabumi dan Maluku hanya mencapai kurang dari 1% (Tabel 4).

Seperti halnya pati dari sumber lainnya, molekul pati sagu disusun oleh dua kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Baik amilosa maupun

amilopektin disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik (Whistler and Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada

granula pati.

Tabel 4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia Asal sagu

Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain

dengan ikatan α-1,4-glikosidik sehingga membentuk polimer yang linear dengan

(33)

atau satu dari 300 – 1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara 105 -106 Da dengan derajat polimerisasi yang mencapai kisaran 500 – 6000 (Colonnna and Buléon 1992). Gugus OH pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk struktur heliks melalui interaksi hidrogen (Whistler and Daniel 1985).

Amilopektin mempunyai ukuran molekul yang sangat besar dengan berat molekul yang mencapai 107 - 109 Da (Colonna and Buléon, 1992) dan derajat

polimerisasi antara 3 x 105–3x106 (Zobel 1988). Glukosa penyusun molekul

amilopektin dihubungkan satu satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada

rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).

Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda demikian juga dengan berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Menurut Ahmad

et al. (1999), kandungan amilosa sagu berkisar antara 24 – 31% dengan berat molekul 1.41 x 106 – 2.23 x 106 Da. Sementara itu, kandungan amilopektin pati sagu berkisar antara 69 – 76% dengan berat molekul 6.70 x 106 – 9.23 x 106 Da (Ahmad et al. 1999). Pati sagu asal Indonesia mempunyai kandungan amilosa yang relatif lebih tinggi yaitu mencapai 27 – 35% (Tabel 3).

Kenyataan bahwa tanaman sagu yang tumbuh di Indonesia berasal dari jenis yang sangat beragam serta tempat tumbuhnya yang tersebar di berbagai daerah menyebabkan pati sagu yang dihasilkannya juga mempunyai proporsi amilosa dan amilopektin yang beragam pula. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa pati sagu asal Sukabumi dan Maluku memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu asal Papua. Sementara itu, terdapat variasi proporsi amilosa/amilopektin antar sagu asal Pupua maupun antar sagu asal Maluku.

(34)

18 yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai, 1985). Pembentukan gel yang baik dapat mengurangi tingkat kelengketan produk yang dihasilkan. Pati sagu asal Indonesia mengandung amilosa dengan kisaran yang lebih tinggi yaitu mencapai 27 - 35% (Tabel 3). Oleh karena itu pati sagu asal Indonesia berpotensi untuk dijadikan bahan baku bihun.

Karakteristik Fisik

a. Karakteristik Gelatinisasi

Komposisi kimia pati sagu akan sangat berpengaruh pada karakteristik fisik pati sagu yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada sifat fungsionalnya ketika diaplikasikan untuk produk pangan. Salah satu karakteristik fisik pati yang penting dievaluasi adalah karakteristik gelatinisasi pati. Ketika pati dipanaskan bersama air, pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Fenomena ini disebut dengan gelatinisasi pati. Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati

akan membentuk profil yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati.

Berdarkan profil yang terbentuk, tipe gelatinisasi pati dapat digolongkan menjadi 4 yaitu A, B, C dan D (Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al. 2001). Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak, namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengambang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan.

(35)

suspensi pati ketika pengalami pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sagu dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 5.

Secara umum pati sagu memiliki kemampuan pengembangan yang besar. Menurut standar SIRIM MS 470:1992 seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al. (20022), viskositas pasta pati sagu (suspensi 6% db) minimal mencapai 600 BU. Pati sagu asal Malaysia mempunyai Viskositas Puncak 635 BU (suspensi 6% db). Sementara itu, pati sagu asal Indonesia mempunyai viskositas puncak 890 – 1230 Bu (suspensi 10% db) seperti yang terdapat pada Tabel 5. Baik pasta pati asal Malaysia maupun asal Indonesia mengalami penurunan yang tajam selama pemanasan yang dapat dilihat dari viskositas breakdown yang besar. Oleh karena itu, pati sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Profil gelatinisasi pati sagu menyerupai profil gelatinisasi pati umbi-umbian (tapioka, kentang, ubi jalar, dan garut) dan waxy cereal (waxy corn dan waxy barley) (Collado et al. 2001; Wattanachant et al. 20022; Singh et al. 2005).

Tabel 5 Profil gelatinisasi pati sagu

Asal sagu Indonesia** Parameter gelatinisasi

Malaysia*

Tuni Molat Ihur Pancasan

Suhu pasta (oC) 66.0a 72 71.25 66 71.25

Suhu puncak (oC) 81.0a 85.5 87 84.75 81

Viskositas Puncak (BU) 635.0a*** 990**** 890**** 1230**** 1100****

Viskositas Pasta panas (BU) ***Konsentrasi suspensi pati 6% db ****Konsentrasi suspensi pati 10% db

(36)

20 Menurut Wu and Seib (1990) seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al.

20022), pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan yang terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C (Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al. 2001). Pati yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C adalah beberapa pati serealia seperti mungbean (kacang hijau) navy bean

dan pinto bean (Kim et al. 1996) dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan silang (Wattanachant et al. 2003). Pati dengan kandungan amilosa moderat umumnya mempunyai viskositas puncak pasta yang lebih rendah dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B.

Apabila dibandingkan dengan sumber pati lainnya, pati sagu khususnya pati sagu asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang relatif tinggi bila

dibandingkan dengan pati serealia seperti pati beras, pati gandum, dan pati jagung yang masing-masing mencapai 17%, 25% dan 26% (Wattanachant et al. 20022). Namun demikian, pati serealia tersebut digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B karena mempunyai kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan.

b. Ukuran dan Bentuk Granula

(37)

Granula pati sagu mempunyai bentuk elips terpancung dengan permukaan yang halus (Yiu et al. 2008). Bila dibandingkan dengan beberapa jenis pati lainnya, granula pati sagu mempunyai ukuran yang relatif besar yaitu mencapai

rata-rata 24.8 μm (Yiu et al. 2008) atau 25 μm (Wattanachant et al. 20022). Sementara itu, granula pati serealia seperti beras, gandum dan jagung mempunyai

ukuran yang lebih kecil yaitu masing-masing mencapai rata-rata 5 μm, 15 μm

dan 15 μm (Wattanachant et al. 20022).

Granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih mudah putus selama pemanasan sehingga granula pati tersebut lebih mudah mengembang bila dibandingkan dengan granula pati yang lebih kecil (Wattanachant et al. 20022). Kondisi ini kemungkinan menyebabkan pati sagu mempunyai profil gelatinisasi tipe A walaupun kandungan amilosanya relatif tinggi.

c. Swelling power dan Kelarutan

Selain dari viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan, kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dengan cara mengukur swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001). Sementara itu swelling power adalah perbandingan antara berat sedimen pasta pati dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Schoch 1964 seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al. 20022).

Pati dengan profil gelatinisasi tipe A cenderung mempunyai swelling volume

atau swelling power yang besar. Pati sagu yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A mempunyai swelling power yang lebih besar bila dibandingkan dengan pati beras, pati gandum, pati jagung dan tapioka yang mempunyai profil gelatinisasi tipe B (Wattanachant et al. 20022). Sementara itu, pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C mempunyai swelling power yang sangat terbatas (sangat rendah) bila dibandingkan dengan pati kentang yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A (Kim et al. 1996).

(38)

22 dilakukan oleh Kim et al. (1996), melaporkan bahwa pati kentang yang mempunyai swelling power lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan (navy bean dan pinto bean) mempunyai kelarutan yang lebih tinggi pula. Pati sagu mempunyai swelling power yang tinggi sehingga kemungkinan akan mempunyai kelarutan yang tinggi pula. Beberapa studi yang dikutip oleh Mohamed et al.

(2008), menunjukkan bahwa peningkatan swelling power pati sagu diiringi oleh peningkatan kelarutan pula.

Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Tester and Karkalas (1996) seperti yang dikutip oleh Muhamed et al. (2008), telah mengekspresikan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilisasi struktur double heliks dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula akan

pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.

Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa yang tinggi pada umumnya mempunyai kelarutan yang tinggi pula seperti halnya pati sagu yang mengandung amilosa 27 – 35%. Namun demikian, kandungan amilosa tidak selamanya berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan komplek antara amilosa dengan lipid seperti pada pati kacang-kacangan dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).

Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun

(39)

Menurut Lii and Chang (1981), pati yang ideal sebagai bahan baku bihun/soun adalah pati dengan kandungan amilosa yang tinggi, swelling

(pembengkakan granula) dan kelarutan terbatas serta mempunyai profil gelatinisasi tipe C. Untuk dapat mengetahui potensi sagu sebagai bahan baku bihun perlu dilakukan evaluasi terhadap sifat-sifat yang diperlukan untuk produksi bihun.

Pati dengan amilosa yang yang tinggi cenderung mudah mengalami retrogradasi dan mempunyai penampakan pasta yang lebih opaque seperti halnya pati beras dan pati jagung (wattanachant et al. 20022). Namun tidak demikian dengan pati sagu, walaupun mengandung amilosa yang cukup tinggi, pasta pati sagu cenderung kurang mudah mengalami retrogradasi dan mempunyai penampakan pasta yang lebih transparan (Purwani et al. 2006; wattanachant et al.

20022).

Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan untuk pembentukan tekstur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi pati turut bertanggung jawab terhadap tingkat kekerasan dan penampakan bihun

atau soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun (starch noodle) yang diproduksi dari bahan baku pati dengan kandungan amilosa tinggi mempunyai kekerasan yang lebih tinggi namun mempunyai transparansi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari pati dengan kandungan amilosa yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Kim et al. 1996, soun yang diproduksi dari kacang-kacangan dengan kandungan amilosa 37.3 – 37.8% mempunyai tekstur yang lebih keras dan lebih opaque bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari kentang dengan kandungan amilosa 20.0 – 26.5% melalui pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tekstur analizer. Pada tingkat tertentu, kekerasan tekstur bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh soun yang tegar sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika dikonsumsi.

(40)

24

et al. (1996), menunjukkan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan amilosa yang tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang tinggi pula. Kompleks antara lemak dan amilosa diduga dapat menurunkan susut masak soun yang dihasilkan (Kim et al. 1996). Selanjutnya menurut Kim et al.

(1996), pati dengan kandungan amilosa yang tinggi namun mempunyai ukuran granula yang kecil menghasilkan soun dengan tingkat pengembangan dan susut masak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun dari pati dengan kandungan amilosa yang lebih rendah namun mempunyai ukuran granula yang besar.

Studi yang dilakukan oleh Singh et al. (2002) menunjukkan bahwa mutu soun masak dipengaruhi oleh morfologi granula pati. Soun dari pati kentang mempunyai bobot masak dan susut masak (cooking loss) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan soun dari pati jagung. Hal ini berkaitan dengan karakteristik pati kentang yang mempunyai ukuran granula lebih besar, swelling power dan kelarutan yang lebih tinggi serta suhu gelatinisasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati jagung. Ukuran granula pati kentang yang lebih besar memungkinkan pati lebih mudah dan lebih banyak menyerap air sehingga

lebih mudah membengkak. Kondisi ini menyebabkan pati lebih mudah mengalami gelatinisasi (suhu gelatinisasi relatif rendah) dan amilosa mudah keluar dari granula. Oleh karena itu, selain mempunyai bobot masak dan susut masak yang lebih tinggi, soun pati kentang juga lebih kohesif dan cenderung lebih lengket bila dibandingkan dengan soun dari pati jagung (Singh et al. 2002).

Keterkaitan antara morfologi (terutama dari aspek ukuran granula pati) dengan karakteristik adonan soun dan kualitas masak soun juga diperlihatkan melalui studi yang dilakukan oleh Chen at al. (2003). Adonan yang dibuat dari pati kentang ataupun ubi jalar dengan ukuran granula yang kecil (< 20 µm) mempunyai sifat adonan yang lebih baik dibandingkan dengan adonan yang dibuat dari pati dengan ukuran granula yang lebih besar. Untaian soun yang dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik dan berukuran panjang (tidak mudah patah).

(41)

dengan ukuran granula yang kecil (< 20 µm) jauh lebih baik (lebih kecil) bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan ukuran granula yang lebih besar (Chen et al. 2003).

Hubungan antara profil gelatinisasi pati dengan karakteristik soun telah dilaporkan oleh Kim et al. (1996), soun yang dihasilkan dari pati kacang-kacangan dengan profil gelatinisasi tipe C mempunyai susut masak, dan kelengketan yang lebih rendah namun mempunyai kekerasan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Pati dengan profil gelatinisasi tipe C cenderung stabil terhadap pemanasan sehingga keluarnya padatan dari soun yang diproduksi dari pati tersebut dapat ditekan dan soun memiliki kelengketan yang rendah.

Pati sagu mempunyai kandungan amilosa yang tinggi (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 20022), ukuran granula yang besar (Wattanachant et al. 20021; Yiu et al. 2008), swelling power dan kelarutan tinggi (Wattanachant et al. 20022) dan profil gelatinisasi tipe A (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003; Muhammad 2000). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku

bihun, pati sagu hanya memenuhi satu syarat yaitu kandungan amilosa yang tinggi. Namun demikian, kandungan amilosa yang tinggi pada sagu tidak didukung oleh ukuran granula sagu yang kecil sehingga pada saat dipanaskan granula mudah mengembang yang ditandai dengan viskositas puncak yang tinggi, kemudian disusul dengan penurunan viskositas pasta yang tajam sehingga pati sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Swelling power

dan kelarutan pati sagu yang relatif tinggi juga kurang mendukung penggunaan pati sagu sebagai bahan baku bihun.

(42)

26 organoleptik. Bihun dari pati alami mempunyai tekstur lembek, lengket dan kurang elastis, mempunyai susut masak dan berat rehidrasi yang tinggi. Oleh karena itu, pati sagu yang akan digunakan sebagai bahan baku bihun perlu dimodifikasi terlebih dahulu agar karakteristiknya lebih sesuai dengan karakteristik pati yang sesuai untuk produk bihun.

Modifikasi Pati dengan Metode HMT

Modifikasi pati dengan metode HMT (Heat Moisture Treatment) merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik yaitu yang melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air (Collado et al. 2001). Selanjutnya menurut Collado et al. (2001), pemanasan yang dilakukan pada metode HMT dilakukan diatas suhu gelatinisasi pati (80 – 120oC) namun pada kadar air yang terbatas (<35%).

Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan

(43)

maupun pati uwi tergelatinisasi. Pati yang mengalami gelatinisasi akan kehilangan keseluruhan bagian kristalnya (Zobel et al. 1988).

Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali (rearrangement) molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati (Singh et al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007). Adanya pengaturan kembali ini berimblikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun sifat kimia pati. Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil gelatinisasi (Collado and Corke 1999; Lawal and Adebowale 2005; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006: Olayinka et al. 2008), perubahan karakteristik termal melalui pengujian dengan DSC (Differential Scanning Calorymetry) (Collado and Corke 1999; Vermeylen et al. 2006: Pukkahuta et al. 2008), perubahan swelling power/swelling volume (Collado and Corke 1999; Collado et al. 2001) dan perubahan kelarutan (Collado and Corke 1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang mempunyai berat molekul

pendek (Lu et al. 1996; Vermeylen et al. 2006).

Perubahan karakteristik pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor internal (karakteristik awal pati) dan faktor eksternal (kondisi modifikasi HMT seperti suhu, kadar air dan waktu (lamanya pemanasan berlangsung). Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik fisik maupun kimia yang berbeda-beda.

Pengaruh Kadar Air

Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005), menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas pasta panas, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan

kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan set back).

(44)

28 modifikasi tidak memberikan pola yang khas dalam meningkatkan suhu gelatinisasi pati sorgum merah. Peningkatan kadar air dari 18% menjadi 21% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, namun peningkatan kadar air menjadi 24% dan 27% tidak meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi. Selain tidak memberikan pola yang khas terhadap perubahan suhu gelatinisasi, peningkatan kadar air juga tidak memberikan pola yang khas pada viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir dan setback. Namun demikian, modifikasi yang dilakuukan pada kadar air 24% memberikan pati termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir dan setback yang paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21% dan 24%.

Pengaruh kadar air modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi diperlihatkan dengan jelas pada modifikasi yang dilakukan terhadap pati biji nangka (Lawal and Adebowale 2005). Peningkatan kadar air dari 18% hingga 27% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, meningkatkan penurunan puncak viskositas, meningkatkan penurunan viskositas pasta panas, meningkatkan

penurunan setback, dan meningkatkan penurunan breakdown. Pati termodifikasi dengan profil yang paling mendekati pati dengan tipe C diperoleh dari pati yang dimodifikasi pada kadar air 27%.

Sementara itu, menurut Vermeylen et al. (2006), modifikasi HMT pada pati kentang dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Modifikasi yang dilakukan pada kadar air 23% dengan suhu 130oC menghasilkan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi tertinggi dan perubahan pola difraksi sinar-x dari tipe B menjadi tipe A. Tipe A merupakan tipe difraksi sinar-x yang dimiliki oleh pati serealia alami.

Pengaruh Sumber Pati

(45)

kemudahanan perubahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air. Menurut manuel (1996), pati legum termodifikasi HMT dari berbagai jenis legum dengan proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa (amylosa leaching), penurunan faktor pembengkakan granula (swelling factor) dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Namun demikian, dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa yang lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya.

Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani (2006), menunjukkan bahwa pati jagung dengan kandungan amilopektin lebih tinggi lebih sensitif terhadap perlakuan HMT. Pati jagung dengan kandungan amilosa rendah (17.69%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C. Sementara itu, pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi (46.15%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C.

Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa teknik HMT dapat menggeser type kurva profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa parameter profil gelatinisasi diantaranya peningkatan suhu gelatinisasai, penurunan

viskositas breakdown dan peningkatan viskositas setback. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut berbeda untuk setiap asal sagu. Sagu Ihur yang mempunyai kandungan amilosa yang paling rendah mengalami peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas breakdown yang paling besar.

(46)

30 Pengaruh Suhu dan Kadar Air

Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin didalam granula dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa, amilosa-amilopektin maupun amilosa-amilopektin-amilosa-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan.

Studi yang dilakukan oleh Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih lebar dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula yang lebih besar dan integritas granula pati

termodifikasi pada suhu 130oC telah hilang sebagian.

Pengaruh Waktu dan Suhu

Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110oC selama 16 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda.

(47)

suhu 110oC dan waktu 6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai

swelling volume dan amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung yang dimodifikasi pada perlakuan lainnya.

Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi dari 12 jam menjadi 16 jam, namun stabilitas panas tersebut menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta panas pati meningkat dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 100oC menjadi 110oC, namun stabilitas panas tersebut menurun dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 110oC menjadi 120oC.

Pengaruh pH dan Waktu

Menurut collado and corke (1999), pH dan waktu modifikasi HMT mempengaruhi profil gelatinisasi pati ubi jalar termodifikasi yang dihasilkan. Pati ubi jalar (kandungan amilosa 15.2%) yang dimodifikasi HMT pada pH asal

(6.5-6.7) mempunyai viskositas puncak dan viskositas breakdown yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada pH basa (pH 10) pada berbagai waktu modifikasi (4 jam, 8 jam dan 16 jam). Hal ini menunjukkan bahwa kestabilan pati yang dimodifikasi pada pH asal terhadap pemanasan dan pengadukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada pH basa. Peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam menjadi 8 jam dan 16 jam cenderung meningkatkan breakdown pati ubi jalar termodifikasi baik yang termodifikasi pada pH asal maupun pH basa atau dapat dikatakan bahwa peningkatan waktu modifikasi cenderung menurunkan kestabilan pati terhadap pemanasan dan pengadukan.

(48)

32 Selain kondisi basa, kondisi asam kemungkinan akan mempengaruhi perubahan yang terjadi selama modifikasi pati. Studi terhadap pengaruh pH asam selama modifikasi pati dengan metode HMT perlu dilakukan mengingat studi tersebut belum pernah ada dan pati sagu yang digunakan pada penelitian ini mempunyai pH yang rendah.

Aplikasi Pati Termodifikasi HMT

Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT mengarah pada pembentukan pati dengan stabilitas panas dan pengadukan yang lebih baik. Adanya pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe B bahkan menjadi tipe C (yang lebih stabil terhadap panas dan pengadukan) mengindikasikan bahwa pati termodifikasi HMT dapat diaplikasikan untuk produksi bihun (Lii and Chang 1981; Collado and Corke 1999; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006).

Studi yang dilakukan Collado et al. (2001) menunjukkan bahwa bihun yang diproduksi dari pati ubi jalar termodifikasi HMT mempunyai kualitas fisik dan

organoleptik yang lebih baik bila dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Pengujian dengan texture analizer menunjukkan bahwa bihun dari pati ubi jalar termodifikasi HMT mempunyai kekerasan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Sementara itu, pengujian organoleptik menunjukkan bahwa bihun dari pati termodifikasi HMT memiliki tekstur, flavor dan penerimaan umum yang lebih disukai dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami.

Menurut Purwani et al. (2006), aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk produksi bihun sagu dapat meningkatkan kualitas bihun sagu diantaranya meningkatkan kekerasan, menurunkan kelengketan dan meningkatkan elstisitas melalui pengukuran dengan tekstur analizer. Selanjutnya menurutn Purwani et al.

(49)

bihun yang keluar dari ekstruder cenderung saling menyatu sesamanya sehingga untaian harus dipisahkan satu-persatu diatas rak-rak pengukusan (Purwani et al.

2006). Selain itu, waktu masak (waktu rehidrasi) bihun dari pati sagu termodifikasi lebih lama bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alami.

Pengaruh penggunaan pati termodifikasi HMT terhadap peningkatan karakteristik fisik bihun juga dilaporkan oleh Lorlowhakarn and Naivikul (2006). Bihun yang disubstitusi dengan tepung beras termodifikasi HMT mempunyai elastisitas yang lebih tinggi bila dibanding dengan bihun dari tepung beras alami saja.

Selain dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas bihun, pati ataupun tepung termodifikasi HMT dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas produk pasta lain seperti mi. Menurut Ahmad (2009), substitusi pati jagung termodifikasi HMT pada produk mi jagung dapat menurunkan susut masak dan memperbaiki penerimaan konsumen terhadap parameter kekerasan, elastisitas dan kelengketan mi. Lestari (2009), melaporkan bahwa mi jagung yang disubtitusi tepung jagung termodifikasi HMT mempunyai susut masak (Kehilangan Padatan Akibat

(50)

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama penelitian ini adalah pati sagu yepha hongleu yang diperoleh dari Papua. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: aquades, STPP, guargum, I2, HCl pekat, NaOH, fenolftalein, Na2CO3, asam sitrat, CuSO4.5H2O,

KI, H2SO4, Na2S2O3, lakmus, asam asetat, serta bahan pendukung lain yang

digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel.

Peralatan yang digunakan antara lain terdiri atas peralatan utama dan peralatan pendukung. Peralatan utama yang digunakan adalah oven pengering dan ekstruder mi. Peralatan pendukung yang digunakan anatara lain: timbangan analitik, ayakan tepung, sentrifuse, mikroskop polarisasi cahaya, whiteness meter, brabender amilograph, tekstur analizer, freezer/refrigerator, spektrofotometer, pH meter, gelas jar, dan alat memasak (kompor, panci dan lain-lain) serta alat-alat lain yang digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan Mei – Desember 2008. Penelitian ini menggunakan fasilitas laboratorium yang terdapat di lingkungan kampus IPB Dramaga yaitu laboratorium Pilot Plant Seafast Center

dan laboratorium kimia serta laboratorium rekayasa proses pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Metode Penelitian

(51)

Gambar 8 Diagram alir tahapan penelitian

Penentuan Perlakuan Pencucian dan Waktu Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT

Modifikasi pati sagu dengan metode HMT dilakukan dengan menggunakan kombinasi perlakukan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dan waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) untuk memperoleh pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C (pati yang stabil terhadap pemanasan dan pengadukan). Perlakuan pencucian pada pati sagu dimaksudkan untuk meningkatkan pH pati sagu. Pati sagu dicuci dengan menggunakan air minum dalam kemasan yang mempunyai pH netral (pH 7). Pencucian dilakukan dengan menggunakan perbandingan 1: 3 untuk pati sagu : air pencuci. Pati sagu dan air pencuci diaduk

Pati Sagu Alami

Karakterisasi sifat fisiko-kimia

Analisis profil gelatinisasi

Pati termodifikasi terbaik

Formula yang memberikan bihun dengan kualitas

terbaik

Modifikasi HMT (Kombinasi perlakuan pencucian dan waktu)

Karakterisasi sifat fisiko-kimia

Informasi perubahan sifat

fungsional pati

Aplikasi pada bihun

Karakterisasi kimia, fisik dan organoleptik bihun Formulasi bihun sagu dengan

substitusi pati sagu termodifikasi: 0%, 25% dan 50%

Tahap 1

Gambar

Gambar 6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b)
Tabel 3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu
Tabel 4  Komposisi kimia sagu asal Indonesia
Tabel 5 Profil gelatinisasi pati sagu
+7

Referensi

Dokumen terkait

In response to given stimulus material, students apply skills to create visual communications for different purposes, audiences and contexts using a range of manual and

Penelitian yang dilakukan terhadap 109 orang responden menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki posisi kerja yang salah sebanyak 65 responden (59,6%) mengalami

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-3/W1, 2014 EuroCOW 2014, the European Calibration and Orientation

membuat struktur pembiayaannya terlebih dahulu. Dalam struktur pembiayaan tersebut telah diketahui margin yang akan diambil oleh LKS, jumlah dana pembiayaan

peningkatan kompetensi komunikasi belajar matematika pada siswa kelas X. TKR 1 SMK Muhammadiyah 1 Sukoharjo setelah

[r]

Studi Pengembangan Antibiotik Alami Berbasis Penghambatan Sintesis Peptidoglikan Patogen 900/PKS/ITS/2019 29 Maret 2019 182 Fahmi Mubarok, ST., M.Sc., Ph.D Teknik Mesin

Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum merupakan suatu yang sangat penting, karena keberadaannya mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran