• Tidak ada hasil yang ditemukan

pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa (kuasa Eksperimen di SMPN 3 Tangerang selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa (kuasa Eksperimen di SMPN 3 Tangerang selatan)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

(Kuasi Eksperimen di SMPN 3 Tangerang Selatan)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

SITI MARYAM NOER AZIZAH NIM : 106017000551

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan rancangan penelitian two group randomized subject posttest only. Penelitian ini dilakukan di SMPN 3 Tangerang Selatan tahun ajaran 2010/2011. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling.

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah tes essay yang sesuai dengan indikator komunikasi matematis pada materi himpunan. Tes yang diberikan terdiri dari 6 soal bentuk uraian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share adalah sebesar 64,75, sedangkan rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional adalah sebesar 55,25. Berdasarkan perhitungan uji-t, diperoleh thitung = 2,93 dan ttabel sebesar 1,67 dengan taraf signifikansi (α) = 0,05 dan derajat kebebasan 78. Karena thitung > ttabel, maka

rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Dengan demikian, terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

(3)

ii

SITI MARYAM NOER AZIZAH (106017000551). “The Effect of Cooperative Learning Think Pair Share (TPS) Type to Students Mathematical Communication”. Skripsi for Mathematic Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2011.

The purpose of the research is to know the effect of cooperative learning Think Pair Share type to students mathematical communication. The method of the research is quasi eksperiment with two group randomized subject posttest only design. The research was conducted at SMPN 3 Tangerang Selatan for academic year 2010/2011. The technique of the research is cluster random sampling.

The instrument used to collect data in this research is essay test, which is based on indicator of mathematical communication at the subject of set. Tests consisted of 6 questions in essay.

The result of research revealed that the mean score of the students who are taught by cooperative learning Think Pair Share (TPS) type is 64,75, whereas the mean score of the students who are taught by conventional learning is 55,25. Based on hypothesis testing, found that tvalue = 2,93 and ttable = 1,67 at significant level 0,05

and degree of freedom 78. Cause tvalue is higher than ttable, than the students who

are taught by cooperative learning Think Pair Share (TPS) type have mean score of matematics communication higher than the students who are taught by conventional learning. So that, there’s significant effect of cooperative learning Think Pair Share (TPS) type to students mathematical communication .

(4)

iii

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa

mengikuti ajarannya sampai akhir zaman.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam

memperoleh gelar sarjana pendidikan pada program studi pendidikan matematika.

Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di SMPN 3 Tangerang Selatan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan hambatan dalam penulisan

skripsi ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis,

namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut

dapat terselesaikan dengan baik.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan

memberikan moril dan materil, sehingga skripsi ini dapat selesai. Ucapan terima

kasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Otong Suhyanto, M.Si., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. H. M. Ali Hamzah, M.Pd., Dosen Pembimbing I yang penuh

kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing penulis selama ini.

5. Ibu Lia Kurniawati, M.Pd., Dosen pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, arahan dan semangat kepada penulis selama menyusun skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah

(5)

iv

berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

7. Staff Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberi kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

8. Pimpinan dan staff Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu

penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang

dibutuhkan.

9. Bapak Mulyono, SE. M.Pd. dan Bapak Drs. Sholeh Fathoni, Kepala Sekolah

dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPN 3 Tangerang Selatan

yang telah memberikan kesempatan untuk penelitian kepada penulis. Serta Ibu

Rd. Lendra, S.Pd. dan Ibu Wiwit Turtinowati, S.Pd., guru matematika yang

telah membantu penulis dalam penelitian skripsi ini.

10.Siswa dan siswi SMPN 3 Tangerang Selatan, khususnya kelas 7.2 dan 7.6

yang telah kooperatif dalam penelitian ini.

11.Teristimewa untuk kedua orangtuaku tercinta, ayahanda M. Abdul Aziz dan

Ibunda Siti Rohana yang tiada hentinya mencurahkan kasih sayang, selalu

mendoakan, serta memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis.

Adik - adikku tersayang M. Akbarullah Al-Aziz dan Siti Sarah Nurul Aziz

yang telah memberi dukungan moril serta doanya kepada penulis.

12.Sahabat-sahabat seperjuanganku di bangku kuliah Titin Nurhayati, Latifah,

Siti Mariam, Nita Suantika Zainul, Luk Luk Maknun, serta seluruh

teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2006 khususnya kelas B. Terima

kasih atas kebersamaan kalian selama ini, dengan kehadiran dan canda tawa

yang selalu menghiasi hari-hari penulis.

13.Seluruh sahabat kos Naeli Zakiah, Musyrifatul Khairiyah, Lisnawati, Iyke

Navy Samudra, Ela Yulia, Hafizah, Rahmawati, untuk semua canda tawa dan

motivasinya. Serta semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, terima kasih untuk semuanya.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

(6)

v

Jakarta, Februari 2011

Penulis

(7)

vi

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... ... 7

F. Manfaat Penelitian ... ... 8

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Landasan Teori ... 9

1. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 9

a. Pembelajaran Matematika ... 9

b. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 15

c. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis ... 22

2. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) ... 24

a. Model Pembelajaran Kooperatif ... 24

b. Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) ... 27

c. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) ... 29

3. Pembelajaran Konvensional ... 30

(8)

vii

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

B. Metode dan Desain Penelitian ... 37

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ... 38

D. Instrumen Penelitian ... 39

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

F. Teknik Analisis Data ... 42

G. Hipotesis Statistik ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 47

1. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelompok Eksperimen ... 47

2. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelompok KontroL ... 49

B. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis ... 53

1. Uji Normalitas ... 53

2. Uji Homogenitas ... 54

C. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ... 55

1. Pengujian Hipotesis Penelitian... 55

2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

D. Keterbatasan Penelitian ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 66

(9)
[image:9.612.132.537.56.456.2]

viii

Tabel 3.1 : Jadwal Penelitian ... 37

Tabel 3.2 : Desain Penelitian ... 38

Tabel 3.3 : Kisi-Kisi Instrumen Tes ... 40

Tabel 4.1 : Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 48

Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 50

Tabel 4.3 : Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ... 52

Tabel 4.4 : Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Normalitas ... 54

Tabel 4.5 : Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 55

Tabel 4.6 : Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Hipotesis ... 56

(10)

ix

Siswa Kelas Eksperimen ... 49

Gambar 4.2 : Grafik Histogram dan Poligon Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Kelas Kontrol ... 51

Gambar 4.3 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Written Text) ... 59

Gambar 4.4 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Written Text) ... 60

Gambar 4.5 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Drawing) ... 61

Gambar 4.6 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Drawing) ... 62

Gambar 4.7 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Mathematical

Expression) ... 63 Gambar 4.8 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Mathematical

[image:10.612.133.534.65.460.2]
(11)

x

(12)

xi

Lampiran 2 : RPP Kelas Kontrol ... 92

Lampiran 3 : Lembar Kerja Siswa ... 109

Lampiran 4 : Penilaian Validitas Isi Instumen Kemampuan Komunikasi Matematis Oleh Panelis (Rater) ... 142

Lampiran 5 : Hasil Penilaian Validitas Isi oleh Para Rater ... 147

Lampiran 6 : Reliabilitas Interrater ... 148

Lampiran 7 : Soal Instrumen Tes ... 150

Lampiran 8 : Kriteria Penskoran ... 152

Lampiran 9 : Daftar Nilai Post Test Siswa ... 157

Lampiran 10 : Distribusi Frekuensi Kelompok Eksperimen ... 159

Lampiran 11 : Distribusi Frekuensi Kelompok Kontrol ... 163

Lampiran 12 : Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 167

Lampiran 13 : Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 168

Lampiran 14 : Perhitungan Uji Homogenitas ... 169

(13)

1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan

pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan keahlian tertentu kepada manusia

untuk mengembangkan bakat serta kepribadian mereka. Pendidikan juga

merupakan aktivitas manusia yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia, mulai dari manusia dilahirkan sampai akhir hayatnya.

Tujuan yang ingin dicapai dari proses pendidikan tersebut adalah

pengabdian kepada Allah, hal ini sejalan dengan tujuan penciptaan manusia

yang ditegaskan oleh Al-Quran dalam surat Al-Dzariyat 56:

ِ ْا ُ ْ ََ َ َو ِنْوُ ُْ َِ ِإ َ ِْ اَو

) ت را ا : ٥٦ (

Artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar

mereka beribadah kepada-Ku.”

Tujuan tersebut sejalan dengan tujuan hidup manusia, yaitu

semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt. Dalam hal ini pendidikan harus

memungkinkan manusia memahami dan menghayati tentang Tuhannya

sedemikian rupa, sehingga semua ibadahnya dilakukan dengan penuh

penghayatan dan kekhusu’an kepada-Nya.

Sejalan dengan itu, UUD 1945 pasal 31 ayat 1 mengamanatkan

kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu

pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta akhlak mulia dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini senada dengan yang tertuang dalam

UU RI No. 20 tahun 2003 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional

BAB II Pasal 3 yang berbunyi:

(14)

beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan mejadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, maka

diselenggarakanlah rangkaian kependidikan. Diantaranya pendidikan formal

seperti sekolah, mulai dari tingkat kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah

menengah sampai perguruan tinggi. Dalam keseluruhan proses pendidikan di

sekolah, kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang paling

pokok. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan

banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar dan pembelajaran di

sekolah.

Di sekolah, proses belajar dan pembelajaran meliputi berbagai bidang

ilmu pengetahuan diantaranya ilmu agama, sains, sosial, bahasa dan

matematika. Dalam sistem pendidikan, matematika merupakan bidang studi

yang menduduki peranan penting. Hal ini dapat dilihat dengan adanya jam

pelajaran matematika di sekolah yang lebih banyak di banding dengan jam

mata pelajaran lainnya. Selain itu, matematika merupakan mata pelajaran

yang diberikan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan sebagian di perguruan tinggi (PT). Tidak seperti

halnya mata pelajaran lain yang hanya diberikan pada jenjang tertentu.

Bertolak dari pentingnya peranan matematika dalam pendidikan,

maka matematika perlu diajarkan. Cockroft mengemukakan bahwa

matematika perlu diajarkan karena (1) selalu digunakan dalam segala segi

kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika

yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas;

(4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5)

meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran

1

(15)

keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan

masalah yang menantang.2

Atas dasar pentingnya peranan matematika dalam pendidikan, maka

sampai batas tertentu matematika hendaknya dapat dikuasai oleh setiap

individu. Namun, dibalik pentingnya peranan yang dimiliki matematika,

matematika juga merupakan momok yang masih ditakuti oleh sebagian besar

siswa. Banyak siswa di setiap jenjang pendidikan menganggap matematika

sebagai pelajaran yang sulit dan sering menimbulkan berbagai masalah yang

sulit untuk dipecahkan, sehingga berdampak pada rendahnya prestasi belajar

siswa.

Prestasi belajar matematika siswa yang secara umum belum

menggembirakan tersebut dapat dilihat dari hasil UN SMP 2010 dengan

angka kelulusan yang mengalami penurunan cukup signifikan dibanding UN

2009, yaitu dari 95,05 % menjadi 90,27 % atau dari 3.605.163 siswa yang

mengikuti UN sebanyak 350.798 (9,73 %) siswa tidak lulus dan harus

mengikuti UN ulang.3 Dari empat mata pelajaran yang diujikan dalam UN

yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, umumnya siswa yang tidak lulus dikarenakan nilai mata pelajaran

matematika yang tidak mencapai standar kelulusan.

Rendahnya prestasi belajar matematika bukan hanya disebabkan

karena matematika yang sulit, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor

yang meliputi berbagai hal seperti siswa itu sendiri, guru, metode

pembelajaran, maupun lingkungan belajar yang saling berhubungan satu

sama lain. Faktor dari siswa itu sendiri adalah kurangnya pemahaman konsep

siswa terhadap materi yang diajarkan. Selain itu, faktor lain yang dapat

mempengaruhi rendahnya prestasi belajar siswa adalah adanya

2

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 253.

3

(16)

anggapan/asumsi yang keliru dari guru-guru yang menganggap bahwa

pengetahuan itu dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran

siswa. Dengan adanya asumsi tersebut, guru memfokuskan pembelajaran

matematika pada upaya penuangan pengetahuan tentang matematika

sebanyak mungkin kepada siswa. Akan tetapi, dalam perkembangan seperti

sekarang ini, guru dituntut agar tugas dan peranannya tidak lagi sebagai

pemberi informasi melainkan sebagai pendorong belajar agar siswa dapat

mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui berbagai aktifitas seperti

komunikasi matematis.

Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu

kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dikembangkan dalam pembelajaran

matematika. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan

mengkomunikasikan gagasan atau ide-ide matematik kedalam bentuk simbol,

tabel, grafik, atau diagram dan sebaliknya, untuk memperjelas keadaan atau

masalah serta pemecahannya.

Kemampuan komunikasi perlu diperhatikan dalam pembelajaran

matematika sebab kemampuan komunikasi sangat diperlukan dalam

menghadapi berbagai masalah, khususnya masalah yang berhubungan dengan

kehidupan sehari-hari. Dengan berkomunikasi, siswa dapat lebih memahami

simbol-simbol dan informasi yang ada di dalam pelajaran tersebut. Ironisnya

dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah, jarang sekali siswa

diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan ide-idenya. Hal ini berdampak

pada rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa.

Laporan TIMSS menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia

dalam komunikasi matematis sangat jauh di bawah negara-negara lain.

Sebagai contoh, untuk permasalahan matematik yang menyangkut

kemampuan komunikasi matematis, siswa Indonesia yang berhasil menjawab

(17)

dan Taiwan yang mencapai lebih dari 50%.4 Sejalan dengan hal tersebut,

Rohaeti dan Wihatma dalam Priyambodo menyatakan bahwa “rata-rata

kemampuan komunikasi matematis siswa berada dalam kualifikasi kurang”.5

Rendahnya kemampuan komunikasi matematis tidak terlepas dari

proses pembelajaran. Pembelajaran matematika masih banyak menggunakan

rumus-rumus yang sudah baku. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran

masih cenderung pasif dan peserta didik kurang kreatif. Siswa yang tidak

dilibatkan untuk aktif dalam pembelajaran, dapat menyebabkan siswa sulit

untuk berekplorasi, berkreatifitas terhadap ide-ide yang mereka miliki

khususnya ide-ide matematika. Proses pembelajaran seperti ini menjadikan

siswa tidak komunikatif dan tidak mempunyai keterampilan dalam

mengembangkan dirinya.

Atas dasar permasalahan tersebut maka kemampuan komunikasi

matematis siswa harus ditingkatkan. Peningkatan kemampuan komunikasi

matematis siswa dapat dilakukan dengan mengadakan perubahan-perubahan

dalam pembelajaran. Dalam hal ini, perlu dirancang suatu pembelajaran yang

membiasakan siswa untuk mengkonstruksi pemikirannya baik dengan guru,

teman maupun terhadap materi matematika itu sendiri. Salah satu cara yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat.

Model pembelajaran yang sebaiknya diterapkan adalah model

pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga siswa lebih mudah untuk

memahami konsep-konsep yang diajarkan dan mengkomunikasikan

ide-idenya dalam bentuk lisan maupun tulisan. Salah satu alternatif untuk

mendukung hal tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran

4

Andri Setiawan, Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama, (Bandung: Tesis UPI, Tidak Diterbitkan, 2008), h. 8.

5

(18)

kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran

yang memungkinkan siswa untuk berinteraksi satu sama lain, baik interaksi

dengan sesama siswa maupun dengan guru.

Model pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe. Salah satu

tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat mendorong partisipasi aktif

siswa di dalam kelas adalah model pembelajaran kooperatif tipe

think-pair-share. Think-Pair-Share merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa serta memberikan

kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan pertisipasinya kepada

orang lain. Think-Pair-Share juga merupakan salah satu metode pembelajaran dengan kelompok kecil. Jumlah anggota kelompok yang hanya

terdiri dari 2 orang (berpasangan) dapat mengoptimalkan peran aktif setiap

siswa dalam kelompoknya serta memudahkan siswa untuk saling bekerja

sama dalam menuangkan dan mendiskusikan gagasan-gagasan matematika

yang dimilikinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Berdasarkan latar belakang yang telah paparkan tersebut, penulis

merasa tertarik untuk melakukan penelitian secara teoritik dan praktik

dengan judul Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Think Pair Share (TPS) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang terjadinya masalah yang telah dipaparkan,

penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang masih rendah.

2. Siswa masih menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang sulit

dan menakutkan.

3. Kemampuan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika

yang masih kurang.

(19)

C.

Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, terdapat

berbagai masalah yang harus dihadapi. Sehingga pembatasan masalah dalam

penelitian ini sebagai berikut:

1. Masalah difokuskan pada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe

Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. 2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang dimaksud adalah

kemampuan komunikasi matematis dalam bentuk tertulis, yang meliputi

written text, drawing, dan mathematical expression.

3. Penelitian dilakukan di SMPN 3 Tangerang Selatan kelas VII semester 2

tahun ajaran 2010/2011, pada pokok bahasan himpunan.

D.

Perumusan Masalah

Atas dasar identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan,

maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan

dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dan pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?

E.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan sebelumnya, maka

yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan

dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dan pembelajaran konvensional.

2. Membandingkan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

(20)

Think Pair Share dengan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.

F.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dilakukan, diantaranya:

1. Bagi penulis, sebagai pedoman sekaligus menambah pengetahuan

tentang strategi mengajar mata pelajaran matematika dalam

mempersiapkan diri menjadi seorang pendidik profesional.

2. Bagi guru, agar dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam

memilih variasi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika

untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa serta

menjadikan proses belajar-mengajar menjadi lebih efektif, efisien dan

bermakna.

3. Bagi siswa, agar dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

dan meningkatkan kemampuan bersosialisasi dalam kelompok belajar

matematika.

4. Bagi sekolah yang di teliti, agar dapat meningkatkan mutu pendidikan di

sekolah tersebut.

5. Bagi pembaca, agar dapat dijadikan suatu kajian yang menarik untuk

(21)

9

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR

DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A.

Landasan Teori

1. Kemampuan Komunikasi Matematis a. Pembelajaran Matematika

Belajar merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari

kehidupan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan dan sekaligus

mengembangkan dirinya, manusia telah melakukan kegiatan belajar

sejak dilahirkan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh

Rasulullah yang mewajibkan manusia untuk belajar semenjak dari

ayunan sampai liang lahat.

Belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu

yang relatif menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang

melibatkan proses kognitif.1 Perubahan-perubahan yang dihasilkan

akibat proses belajar merupakan hasil pengalaman yang dilakukan

dengan sadar dan bukan kebetulan karena melibatkan kognitif

seseorang. Dalam hal ini, seseorang yang belajar menyadari adanya

perubahan dalam dirinya. Perubahan yang diakibatkan oleh mabuk, gila

dan sebagainya tidak dapat dikatakan belajar karena individu yang

bersangkutan tidak menyadarinya.

Lebih dari sekedar melibatkan kemampuan kognitif, proses

belajar juga melibatkan kemampuan afektif (sikap) dan psikomotorik

(keterampilan) yang dimiliki seseorang. Hal ini dimaksudkan agar

perubahan akibat proses belajar bersifat positif dan berguna sehingga

lebih baik dari yang sebelumnya. Hal ini senada dengan yang

dikemukakan oleh Djamarah dalam bukunya Psikologi Belajar yang

1

(22)

mengatakan bahwa “belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga

untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari

pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang

menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik”.2

Mengenai pengertian belajar, lebih lanjut Yamin

mengemukakan bahwa belajar adalah “perubahan perilaku seseorang

akibat pengalaman yang ia dapat melalui pengamatan, pendengaran,

membaca dan meniru”.3 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

perubahan yang terjadi pada proses belajar tidak hanya diperoleh

melalui proses interaksi atau pengalaman saja, melainkan melalui

proses latihan yang meliputi pengamatan, pendengaran, membaca dan

meniru.

Berdasarkan beberapa definisi belajar yang diutarakan oleh

beberapa ahli tersebut, secara umum belajar dapat didefinisikan sebagai

tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap

untuk mencapai pribadi yang lebih baik sebagai hasil pengalaman dan

interaksi dengan lingkungan yang melibatkan kemampuan kognitif,

afektif dan psikomotorik.

Pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan oleh pendidik

agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik.4 Hal senada juga

dikemukakan oleh Muhaimin (dalam Riyanto) yang mengatakan bahwa

“pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk belajar”.5

Dalam hal ini kegiatan pembelajaran tidak berarti jika tidak

menghasilkan kegiatan belajar pada para peserta didiknya. Sehingga

kegiatan pembelajaran akan melibatkan peserta didik untuk

mempelajari sesuatu dengan cara yang efektif dan efisien.

2

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), h. 13.

3

Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: PT. Gaung Persada Press, 2005), h. 99.

4

Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 85.

5

(23)

Menurut Fontana (dalam Suherman) pembelajaran merupakan

upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar

tumbuh dan berkembang secara optimal.6 Dengan demikian proses

pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja direncanakan dan bersifat

rekayasa perilaku. Untuk itu, agar kegiatan pembelajaran menjadi

bermakna bagi peserta didik, maka harus diciptakan lingkungan yang

nyaman dan memberikan rasa aman bagi peserta didik.

Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai proses belajar

mengajar, karena pada dasarnya pembelajaran merupakan interaksi

antara pendidik dalam mengajar (theaching) dan peserta didik dalam

belajar (learning).7 Implikasi dari pengertian tersebut adalah dalam

mencapai tujuan pembelajaran melibatkan unsur-unsur manusiawi yang

satu sama lain saling bersinergi.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dikemukakan,

dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang

disengaja atau upaya yang dirancang oleh pendidik dengan tujuan untuk

menciptakan suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan

siswa melakukan kegiatan belajar, serta terjadinya interaksi optimal

antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa.

Matematika berasal dari perkataan latin mathematica yang mulanya diambil dari perkataan mathematike yang berarti relating to learning. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan erat dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu

mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang

didapat dengan berpikir (bernalar). 8

6

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA UPI, 2003), h. 7.

7

Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 57.

8

(24)

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang

mempelajari tentang bilangan-bilangan dengan operasinya dan dengan

aturan tertentu. Matematika sangat berkaitan dengan simbol-simbol,

konsep-konsep, pola bilangan dan sebagainya, yang semuanya

menyertakan logika dan pola pikir untuk bisa menganalisa dan dapat

dibuat kesimpulan. Seperti yang dikemukakan oleh James dan James

bahwa “matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk,

susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan

yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga

bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri”.9

Terdapat beberapa definisi lain mengenai matematika, Paling

mendefinisikan matematika sebagai “suatu cara untuk menemukan

jawaban, menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang

bentuk dan ukuran, serta menggunakan pengetahuan tentang

menghitung dan memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam

melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.”10 Sedangkan Hudoyo

mengatakan bahwa “matematika berkenaan dengan ide-ide,

struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang diatur menurut urutan yang

logis”.11

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan matematika adalah ilmu

pengetahuan mengenai logika, bentuk, susunan, besaran dan konsep

yang saling berhubungan satu sama lain dan diatur secara logis, dimana

konsep-konsep yang baru didasarkan pada konsep-konsep terdahulu

yang telah diterima kebenarannya. Matematika merupakan ilmu yang

diperoleh melalui penalaran. Dalam hal ini konsep-konsep yang ada

dalam matematika dibuktikan kebenarannya secara deduktif. Selain itu

9

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., h. 16.

10

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 252.

11

(25)

matematika juga dapat digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan

permasalahan-permasalahan dalam kehidupan.

Matematika yang diajarkan di Pendidikan Dasar dan Pendidikan

Menengah disebut matematika sekolah.12 Matematika sekolah

merupakan bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau

berorientasi kepada kepentingan pendidikan dan perkembangan IPTEK

sehingga tidak terlepas dari karakteristik matematika.

Matematika sekolah berkaitan dengan peserta didik yang

menjalani proses perkembangan kognitif dan emosional

masing-masing. Secara khusus dapat dikatakan bahwa dalam matematika

sekolah perlu memperhatikan aspek teori psikologi khususnya teori

psikologi perkembangan. Peserta didik memerlukan tahapan belajar

sesuai dengan perkembangan jiwa dan kognitifnya. Potensi yang ada

dalam diri anak berkembang dari tingkat rendah ke tingkat yang tinggi,

dari sederhana ke kompleks, dan dari konkrit menuju abstrak.

Matematika sekolah mempunyai peranan yang sangat penting

bagi semua komponen yang meliputi siswa, warga negara, negara dan

matematika itu sendiri. Bagi siswa, matematika sekolah berperan

sebagai bekal pengetahuan, pembetukan sikap dan pola pikirnya. Bagi

negara dan warga negaranya, matematika sekolah berperan bagi

perkembangan negara dan agar warga negaranya dapat hidup layak.

Sedangkan bagi matematika sendiri, matematika sekolah berperan

dalam rangka melestarikan dan mengembangkannya.

Pada pelaksanaannya, pembelajaran matematika di sekolah tidak

bisa terlepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan sifat

perkembangan intelektual siswa yang diajar. Oleh karena itu, kita perlu

memperhatikan beberapa sifat atau karakteristik pembelajaran

matematika di sekolah. Menurut Erman Suherman, dkk dalam buku

yang berjudul “Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer”,

12

(26)

beberapa karakteristik matematika di sekolah diantaranya adalah bahwa

pembelajaran matematika adalah berjenjang, mengikuti metoda spiral,

menekankan pola pikir deduktif, serta menganut kebenaran

konsistensi.13

Karakteristik pembelajaran matematika yang menyatakan

pembelajaran matematika adalah berjenjang dimaksudkan bahwa materi

matematika diajarkan secara bertahap. Dimulai dari mengajarkan hal

yang konkrit dilanjutkan ke hal yang abstrak. Dalam pembelajaran

matematika harus dilakukan tahap demi tahap, dimulai dengan hal yang

sederhana ke hal yang kompleks. Siswa tidak mungkin mempelajari

konsep yang tinggi sebelum dia menguasai konsep yang lebih rendah,

karenanya matematika diajarkan dari konsep yang mudah menuju

konsep yang lebih sukar.

Selain diajarkan secara bertahap, pembelajaran matematika juga

mengikuti metoda spiral. Dalam mengajarkan konsep yang baru, perlu

dikaitkan dengan konsep yang telah dimiliki siswa sebelumnya,

sekaligus untuk mengingatkannya kembali. Pengulangan konsep

dengan cara memperluas dan memperdalam diperlukan dalam

pembelajaran matematika. Metoda spiral yang dimaksud di sini adalah

mengajarkan konsep dengan pengulangan atau perluasan dengan

adanya peningkatan. Jadi, spiral yang dimaksud adalah spiral naik,

bukan spiral datar.

Sifat pembelajaran matematika selanjutnya adalah menekankan

pola pikir deduktif. Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun

demikian, dalam mengajarkannya perlu disesuaikan dengan kondisi

siswa. Misalnya, sesuai dengan perkembangan intelektual siswa di

SMP, maka dalam pembelajaran matematika tidak sepenuhnya

menggunakan pendekatan secara deduktif, melainkan dikombinasikan

dengan induktif. Seperti dalam pengenalan himpunan, siswa tidak

13

(27)

langsung diberikan definisi himpunan tersebut, tetapi diawali dengan

memberikan beberapa contoh kumpulan/kelompok yang di antaranya

ada yang merupakan himpunan. Sehingga dari contoh-contoh tersebut

siswa dapat membedakan antara himpunan dengan bukan himpunan.

Pembelajaran matematika juga menganut kebenaran konsistensi

yang didasarkan kepada kebenaran-kebenaran terdahulu yang telah

diterima. Kebenaran dalam matematika diperoleh secara deduktif.

Walaupun dimulai dengan pembuktian secara induktif, tetapi

selanjutnya harus bisa dibuktikan secara deduktif dengan cara

pengandaian.

Pada proses pembelajaran matematika, hendaknya guru

memberikan kesempatan kepada siswa untuk turut serta dalam

membangun sendiri pemahaman mengenai suatu konsep. Selain itu

guru juga harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menggungkapkan pendapatnya mengenai konsep yang telah diperoleh

sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi

matematisnya sesuai dengan yang diharapkan.

b. Kemampuan Komunikasi Matematis

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi manusia.

Untuk kelangsungan hidup manusia dari hari ke hari, manusia tidak

pernah terlepas dari komunikasi. Pada dasarnya komunikasi dapat

terjadi dalam berbagai konteks kehidupan termasuk dunia pendidikan.

Komunikasi dalam dunia pendidikan terjadi baik antara pendidik dan

peserta didik, maupun antara sesama peserta didik.

Komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” atau dalam

bahasa inggrisnya “commun” yang artinya sama. Suwardi (dalam

Rohim) menyatakan bahwa “apabila kita berkomunikasi (to

(28)

untuk menimbulkan kesamaan”.14 Dalam hal ini, komunikasi dapat

terjadi apabila ada kesamaan antara penyampai pesan dan orang yang

menerima pesan.

Komunikasi merupakan cara berbagi gagasan dan

mengklarifikasi pemahaman, sehingga melalui komunikasi

gagasan-gagasan direfleksikan, diperbaiki, didiskusikan, dan diubah.15 Dalam

proses komunikasi, ide-ide yang diperoleh tidak semuanya dapat

diterima begitu saja. Beberapa ide tersebut ada yang mengalami

perbaikan dan perubahan melalui proses diskusi, sebelum akhirnya

ide-ide tersebut diterima dan kemudian digunakan.

Menurut Carl I. Hovland, komunikasi adalah “the process by

whichan individuals (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other indivisuals (communicant)” yang berarti: “proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang

dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang-orang lain

(komunikan)”.16 Hal yang senada dikemukakan oleh Effendy,

menurutnya “komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh

komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan

efek”.17

Proses komunikasi dikatakan berhasil apabila tujuannya yakni

terciptanya keadaan “saling mengerti” antara pihak pemberi pesan dan

pihak penerima pesan akan ide yang dikomunikasikan. Untuk mencapai

keberhasilan tersebut, proses komunikasi bergantung pada berbagai

faktor yang meliputi komunikator (pengirim pesan), pesan yang

14

Syaiful Rohim, Teori Komunikasi (Perspektif, Ragam dan Aplikasi), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 8.

15

Wahyudin, Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran, (Jakarta: CV. Ipa Abong, 2008), Seri-1, h. 38.

16Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2007), h. 20. 17

(29)

disampaikan, komunikan (penerima pesan), konteks dan sistem

penyampaian pesan.18

Keberhasilan proses komunikasi tidak hanya melibatkan

pengirim dan penerima pesan saja. Isi pesan yang sesuai dengan

kebutuhan penerima pesan, keadaan yang kondusif (nyaman,

menyenangkan, aman dan menantang) pada saat menyampaikan pesan,

serta metode dan media yang digunakan dalam menyampaikan pesan

juga merupakan faktor yang menunjang dan menentukan keberhasilan

komunikasi.

Berdasarkan beberapa definisi komunikasi yang telah

dikemukakan dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses

penyampaian, pemberitahuan, dan penerimaan ide-ide dari seseorang

(komunikator) kepada orang lain (komunikan) melalui media yang

menimbulkan efek; baik berupa lisan, tulisan, maupun gerakan, dimana

melalui komunikasi ide-ide direfleksikan, diperbaiki dan didiskusikan

sehingga ide-ide yang disampaikan memiliki kesamaan makna diantara

keduanya.

Komunikasi merupakan kemampuan penting dalam pendidikan

matematika, karena pembelajaran matematika pada umumnya terfokus

pada pengkomunikasian. Kemampuan komunikasi matematis adalah

menempatkan matematika sebagai alat untuk mempresentasikan dan

menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan.19 Dengan demikian

komunikasi matematis merupakan hal yang sangat penting dalam

pembelajaran matematika di sekolah, karena selain sebagai kemampuan

yang harus dimiliki oleh setiap siswa, komunikasi matematis juga

merupakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

permasalahan-permasalahan khususnya permasalahan matematika.

18

Igak Wardani, Dasar-dasar Komunikasi dan Keterampilan Dasar Mengajar, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2001),h. 5-7.

19

(30)

Mengenai komunikasi matematis, Greenes dan Schulman

(dalam Satriawati) mengutarakan bahwa:

“komunikasi matematik merupakan: 1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematik, 2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, 3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran, dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.” 20

Dalam hal ini komunikasi matematis selain sebagai alat dalam

merumuskan konsep dan menyelesaikan permasalahan matematika,

juga sebagai sarana bagi siswa untuk saling bertukar informasi dan

ide-ide matematika sehingga konsep-konsep yang dirumuskan dapat

diyakini kebenarannya oleh semua pihak.

Aryan mengemukakan bahwa “kemampuan komunikasi dalam

matematika mengandung arti kemampuan siswa untuk berkomunikasi

dalam matematika yang meliputi penggunaan keahlian membaca,

menulis, menyimak, menelaah, menginterpretasi, dan mengevaluasi ide,

simbol, istilah, serta informasi matematika”.21 Ketika siswa

memperoleh konsep atau informasi matematika yang diberikan oleh

guru melalui proses menyimak yang kemudian mencatat ide penting

dari konsep yang disampaikan tersebut, atau siswa memperoleh konsep

tersebut secara sendiri melalui bacaan yang ditelaah dan kemudian

diinterpretasikannya, maka pada saat tersebut berlangsung proses

komunikasi dalam pembelajaran matematika.

Menurut Ernest (dalam Kadir dan Sumarna) komunikasi

matematis terdiri dari dua jenis, yakni tulisan (non-verbal) dan lisan

(verbal).22 Komunikasi matematis dalam bentuk tulisan adalah

20

Algoritma, Volume 1 No.1, (Jakarta: CeMED Jurusan Pendidikan Matematika UIN Jakarta, 2006), h. 109.

21

Bambang Aryan, Komunikasi dalam Matematika, dari http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/komunikasi-dalam-matematika/, (14 Juli 2010, 15:20).

22

(31)

kemampuan dan keterampilan siswa menggunakan kosa kata, notasi

dan struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta

memahaminya dalam memecahkan masalah. Sedangkan komunikasi

lisan tercermin melalui intensitas keterlibatan siswa dalam kelompok

kecil selama berlangsungnya proses pembelajaran.

Kedua jenis komunikasi matematis (tulisan dan lisan)

memainkan peranan yang penting dalam interaksi sosial siswa di kelas

matematika. Guru yang membiasakan siswa mampu

mengkomunikasikan ide melalui bahasa lisan dan tulisan ini dapat

membantu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa

sesuai standar komunikasi matematis yang ditetapkan.

Standar Isi (SI) yang terdapat pada Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) menguraikan bahwa komunikasi matematis

merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa selain

kemampuan pemahaman konsep, kemampuan penalaran, kemampuan

pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematis.23 Berdasarkan

hal tersebut, seorang siswa dikatakan mampu dalam komunikasi secara

matematis apabila ia mampu mengkomunikasikan gagasan matematik

dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas

keadaan atau masalah.

Sejumlah ahli mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi

matematis merupakan salah satu kemampuan yang perlu

ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Menurut Baroody, ada dua

alasan penting mengapa kemampuan komunikasi dalam pembelajaran

matematika perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa, yaitu:

mathematics as language (matematika sebagai bahasa) dan mathematics learning as social activity (matematika sebagai aktifitas sosial dalam pembelajaran).24

23Sri Wardhani, Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk

Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2008), h. 8.

24

(32)

Alasan yang menyatakan matematika sebagai bahasa

dimaksudkan bahwa matematika tidak hanya sekedar alat bantu

berpikir, menemukan pola, atau menyelesaikan masalah, namun

matematika merupakan alat yang tak terhingga nilainya untuk

mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat dan ringkas.

Sedangkan matematika sebagai aktifitas sosial dalam pembelajaran

maksudnya bahwa matematika sebagai wahana interaksi, baik interaksi

antar sesama siswa maupun antar guru dan siswa.

Selain mengemukakan tentang pentingnya

menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi di kalangan siswa,

Baroody juga mengemukakan bahwa pembelajaran harus dapat

membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima

aspek komunikasi yang meliputi:25

1) Representasi (representing), yang diartikan sebagai kemampuan

siswa dalam mengungkapkan ide kedalam bentuk-bentuk visual.

2) Mendengar (listening), adalah aktifitas mendengarkan saat guru

ataupun siswa lain sedang berbicara.

3) Membaca (Reading), adalah aktifitas membaca teks secara aktif

dan mengelaborasi untuk mencari jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun, kemudian membuat catatan-catatan

kecil dari teks tersebut.

4) Diskusi (discussing), adalah aktifitas siswa dalam

mengkomunikasikan hasil yang diperoleh dari proses membaca.

Melalui diskusi dan saling interaksi yang dijalin oleh siswa dalam

bentuk kelompok, akan terbina suasana ketergantungan yang positif

antar anggota kelompok yang akhirnya akan dicapai suatu

pemahaman bersama.

25

(33)

5) Menulis (writing), adalah kegiatan yang dilakukan dengan sadar

untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran/ide kedalam

bentuk tulisan.

Kemampuan komunikasi matematis yang dikembangkan di

tiap-tiap tingkat kelas memiliki karakteristik yang berbeda. Di

tingkat-tingkat kelas 5-8, pelajaran matematika hendaknya meliputi

kesempatan-kesempatan untuk berkomunikasi sehingga siswa

mampu:26

1) memodelkan situasi-situasi menggunakan metode lisan, tertulis, konkret, gambar, grafik dan aljabar.

2) merefleksikan dan memperjelas pemikiran mereka tentang ide-ide dan situasi-situasi matematis.

3) membangun pemahaman umum mengenai ide-ide matematis, termasuk peranan definisi-definisi.

4) menggunakan keahlian membaca, menulis dan memandang untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis.

5) mendiskusikan ide-ide matematis serta membuat dugaan dan argumen yang meyakinkan.

6) mengapresiasi nilai notasi matematis dan peranannya dalam pembangunan ide-ide matematis.

Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa

di tingkat-tingkat kelas tersebut, NCTM menyarankan agar komunikasi

difokuskan pada tugas-tugas matematika yang bermakna. Guru

seharusnya mengidentifikasi dan menggunakan tugas-tugas yang

berkaitan penting dengan ide matematika, dapat diselesaikan dengan

berbagai metode, memenuhi banyak contoh, dan memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengartikan, menyelidiki, dan

melakukan perkiraan/dugaan.27

26

Wahyudin, Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran, (Jakarta: CV. Ipa Abong, 2008), Seri-1, h.64.

27

(34)

Dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis di

kalangan siswa, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan,

antara lain:28

1) Pengetahuan prasyarat (Prior knowledge). Pengetahuan prasyarat merupakan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai hasil dari proses belajar sebelumnya. Hasil belajar yang diperoleh siswa bervariasi sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri. Jenis kemampuan yang dimiliki siswa sangat menentukan hasil pembelajaran selanjutnya.

2) Kemampuan membaca, diskusi, dan menulis. Dalam komunikasi matematis, kemampuan membaca, diskusi, dan menulis dapat membantu siswa memperjelas pemikiran dan dapat mempertajam pemahaman. Diskusi dan menulis adalah dua aspek penting dari komunikasi untuk semua tingkatan kelas.

3) Pemahaman matematik (Mathematical knowledge).

Merujuk pada pengertian komunikasi matematis di atas, dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan komunikasi

matematis adalah kemampuan siswa dalam mengekspresikan atau

menyampaikan ide-ide matematika (mathematical thinking) mereka

dengan bahasa matematika secara benar, baik dalam bentuk lisan,

tulisan, gambar, grafik, maupun simbol, dimana dengan kemampuan

komunikasi matematis yang dimiliki, siswa dapat menyelesaikan

permasalahan-permasalahan dalam kehidupan khususnya

permasalahan-permasalahan yang menuntut untuk diselesaikan secara

matematis.

c. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

Ada beberapa indikator dalam kemampuan komunikasi

matematis yang dapat dicermati. Standar kurikulum NCTM tentang

komunikasi matematis, menyatakan bahwa indikator kemampuan

komunikasi matematis dapat dilihat dari:29

28Algoritma, Volume 1 No.1, ..., h. 111. 29

(35)

1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual.

2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan maupun dalam bentuk visual lainnya.

3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.

Sumarmo mengemukakan bahwa indikator kemampuan

komunikasi matematis siswa meliputi:30

1) Menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram kedalam idea matematika.

2) Menjelaskan idea, situasi dan relasi matematika, secara lisan/tulisan dengan benda nyata, grafik dan aljabar.

3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa/simbol matematika.

4) Mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika.

5) Membaca dengan pemahaman suatu prosentase matematika tertulis.

6) Membuat konjektur, mengurus argumen, merumuskan definisi dan generalisasi.

7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan matematika yang telah dipelajari.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa

kemampuan komunikasi matematis meliputi kemampuan komunikasi

lisan dan tulisan. Untuk melihat kemampuan komunikasi tertulis, Ross

mengemukakan sebagai berikut:31

1) Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar, bagan tabel dan secara aljabar.

2) Menyatakan hasil dalam bentuk tertulis.

3) Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan konsep matematika dan solusinya.

4) Membuat situasi matematika dengan menyediakan ide dan keterangan dalam bentuk tertulis.

30Prosiding Seminar Nasional Matematika, Permasalahan Matematika dan Pendidikan

Matematika Terkini, (Bandung: UPI, 2007), h. 71.

31

(36)

Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis yang

dikemukakan oleh Satriawati, yaitu:32

1) Written Text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkret, grafik dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun argumen dan generalisasi.

2) Drawing, yaitu merefleksikan benda-benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.

3) Mathematical Expression, yaitu mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, dapat

disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi

matematis dalam bentuk tertulis yang meliputi written text, drawing dan

mathematical expression.

2. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) a. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah sebuah bentuk dari strategi

mengajar yang di desain untuk mendukung kerjasama di dalam

kelompok dan interaksi diantara siswa. Strategi ini dibuat untuk

mengurangi kompetisi yang ditemukan di banyak ruang kelas, yang

dapat menimbulkan “siapa yang menang dan siapa yang kalah” dan

dapat meningkatkan motivasi siswa untuk saling membantu dengan

tujuan yang sama.

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang merujuk

pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja

dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama

32

(37)

lainnya dalam mempelajari materi pelajaran”.33 Berdasarkan uraian

tersebut dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif tertuang dalam

wadah kelompok. Dalam masing-masing kelompok tersebut para siswa

saling bekerjasama. Kerjasama yang dijalin oleh setiap siswa tidak

hanya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru, melainkan

lebih kompleks lagi dengan saling bekerjasama dalam memahami

materi yang telah disampaikan dengan cara tutor sebaya. Dengan

demikian, dalam pembelajaran kooperatif siswa dijadikan sebagai

sumber belajar, selain guru, buku maupun sumber belajar lainnya.

Banyak para ahli yang mendefinisikan pembelajaran kooperatif,

diantaranya Wena mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai

“sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat

(teman lain) sebagai sumber belajar, disamping guru dan sumber belajar

yang lain”.34 Sedangkan Trianto mengemukakan bahwa “pembelajaran

kooperatif adalah pembelajaran yang memerlukan kerjasama antar

siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas,

tujuan, dan penghargaan”.35

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran kooperatif adalah suatu variasi pembelajaran dimana

siswa belajar, bekerja, dan berinteraksi di dalam kelompok-kelompok

kecil untuk mencapai tujuan bersama dengan memanfaatkan sesama

siswa sebagai sumber belajar, selain guru maupun sumber belajar

lainnya.

Pembelajaran kooperatif tidak hanya sekedar belajar kelompok,

sistem pembelajaran kooperatif bisa didefinisikan sebagai kerja/belajar

33

Robert E. Slavin, Cooperative Learning-Teori, Riset, dan Praktik, (Bandung: Nusa Media, 2005), h. 4.

34

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 190.

35

(38)

kelompok yang terstruktur. Sebagai kelompok belajar yang terstruktur,

pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur dasar sebagai berikut:36

1) Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”.

2) Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki

tujuan yang sama.

4) Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok.

5) Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

6) Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.

7) Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Pada hakikatnya, pembelajaran kooperatif sama dengan kerja

kelompok. Oleh sebab itu, banyak guru yang mengatakan tidak ada

sesuatu yang aneh dalam pembelajaran kooperatif, karena mereka

menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun pembelajaran

kooperatif terjadi dalam bentuk kelompok, tetapi tidak setiap kerja

kelompok dikatakan pembelajaran kooperatif.

Bennet menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat

membedakan pembelajaran kooperatif dengan kerja kelompok, yaitu:37

1) Positive Interdependence, yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama, atau perasaan diantara

anggota kelompok di mana keberhasilan seseorang merupakan

keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya.

2) Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antar siswa tanpa adanya perantara. Tidak adanya penonjolan kekuatan

individu, yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang

36Isjoni, Cooperative Learning (Efektifitas Pembelajaran kelompok), (Bandung: Alfabeta,

2009), h. 13-14.

37

(39)

bersifat verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya saling

hubungan timbal balik yang bersifat positif. Sehingga dapat

mempengaruhi hasil pendidikan dan pengajaran.

3) Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi palajaran dalam

anggota kelompok.

4) Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar

pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok, dan memelihara

hubungan kerja yang efektif.

5) Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan

masalah (proses kelompok).

Apabila unsur-unsur dasar tersebut dilaksanakan oleh siswa

dalam pembelajaran maka siswa dapat meraih academic skill, social skill, dan interpersonal skill yang baik.

b. Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)

Think-Pair-Share (berpikir, berpasangan, berbagi) merupakan salah satu jenis pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank

Lyman dan koleganya di Universitas Maryland. Menurutnya

think-pair-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi pola suasana diskusi kelas.38 Think-Pair-Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi ini merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang

dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Interaksi dalam

hal ini meliputi interaksi antar sesama siswa maupun antara siswa

dengan guru.

Think-Pair-Share memberikan kepada siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta saling membantu satu sama lain. Dalam hal

ini siswa memiliki waktu lebih banyak untuk memikirkan jawaban atas

pertanyaan/permasalahan yang diajukan oleh guru, siswa diberi

kesempatan untuk menanggapi jawaban yang dikemukakan oleh sesama

38

(40)

temannya, serta siswa dipercaya untuk membantu temannya dalam

berbagai kesempatan, baik itu dalam menyelesaikan tugas maupun

dalam memahami materi pelajaran.

Adapun langkah-langkah yang ada dalam think-pair-share adalah sebagai berikut:39

1) Berpikir (Thinking)

Guru mengajukan suatu pertanyaan atau permasalahan yang

dikaitkan dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari.

Selanjutnya guru meminta siswa menggunakan waktu beberapa

menit untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan atau

permasalahan tersebut secara individu. Dalam tahap ini siswa perlu

dijelaskan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian dari

berpikir.

2) Berpasangan (Pairing)

Guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa

yang telah mereka peroleh dari proses berpikir (thinking)

sebelumnya. Interaksi yang dilakukan oleh siswa selama proses ini

dapat menyatukan jawaban yang dimiliki oleh masing-masing

siswa jika yang diajukan adalah suatu pertanyaan, dan dapat

menyatukan ide/gagasan apabila yang diajukan adalah suatu

masalah khusus yang diidentifikasi.

3) Berbagi (Sharing)

Pada tahap ini guru meminta pasangan-pasangan yang telah

dibentuk untuk membagikan hasil diskusinya kepada seluruh kelas.

Secara bergiliran masing-masing kelompok (pasangan)

mendapatkan kesempatan untuk melaporkan hasil diskusi tersebut

di depan kelas. Tahap ini berakhir sampai hampir sebagian dari

seluruh kelompok (pasangan) mendapat kesempatan melaporkan.

39

(41)

Berdasarkan uraian diatas, langkah-langkah pembelajaran

kooperatif tipe think-pair-share memiliki 3 tahapan yang meliputi tahap

berpikir (thinking), berpasangan (pairing), dan berbagi (sharing).

Ketiga tahap ini harus dilakukan secara sempurna, apabila tidak

dilakukan secara sempurna maka pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share ini tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.

c. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)

Jika dibandingkan dengan pembelajaran yang masih bersifat

konvensional, pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan dari think-pair-share ini diantaranya: dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja

sendiri serta bekerjasama dengan orang lain, dapat mengoptimalkan

partisipasi siswa selama proses pembelajaran, dan dapat digunakan

dalam semua mata pelajaran pada semua tingkat usia anak didik.40

Selain memiliki keunggulan, pembelajaran kooperatif tipe

think-pair-share juga memiliki kekurangan. Kekurangan dari metode ini adalah sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan

siswanya rendah. Selain itu, terbatasnya waktu yang tersedia dan

banyaknya jumlah kelompok yang terbentuk ditiap kelas menyebabkan

pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share ini tidak efektif untuk diterapkan. Dalam hal ini guru harus pintar mengalokasikan waktu yang

tersedia dan adil dalam mendistribusikan kesempatan kepada setiap

kelompok (pasangan).

Setelah mengetahui keunggulan dan kelemahan yang terdapat

pada pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share, baik siswa maupun

guru harus lebih menguasai aturan-aturan yang ada dalam pembelajaran

kooperatif tipe think-pair-share ini. Dengan begitu pembelajaran

40

(42)

kooperatif tipe think-pair-share dapat dilaksanakan dengan maksimal dan menjadikan suasana belajar yang menyenangkan.

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan suatu istilah dalam

pembelajaran yang lazim diterapkan dalam pembelajaran matematika.

Pembelajaran konvensional ini merupakan pembelajaran yang banyak di

kritik, namun banyak disukai oleh guru-guru karena pada dasarnya

pembelajaran konvensional mudah untuk diajarkan kepada siswa.

Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah pembelajaran secara klasikal dimana pada prosesnya lebih berpusat

pada guru41 atau instruktur. Pada proses pembelajaran ini keaktifan siswa

kurang optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran ini menitikberatkan

pada metode ceramah dan tanya jawab.

Metode ceramah merupakan suatu cara menyajikan pelajaran

melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada

sekelompok siswa.42 Pembelajaran ini cenderung membuat siswa pasif

dalam belajar, karena komunikasi yang digunakan oleh guru dalam

interaksinya dengan siswa adalah komunikasi satu arah. Siswa hanya

mendengar dan mencatat hal-hal apa yang disampaikan oleh guru. Dalam

hal ini guru seolah-olah bertugas memindahkan atau mentransfer

pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa.

Ceramah sebagai metode pengajaran mempunyai beberapa

kelebihan, yaitu:43

a. Ceramah merupakan metode yang ’murah’ dan ’mudah’ untuk

dilakukan.

b. Ceramah dapat menyajikan materi pelajaran yang luas.

41

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., h. 255.

42

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 147.

43

Gambar

Tabel 3.1    :    Jadwal Penelitian .......................................................................
Gambar 4.1   : Grafik Histogram dan Poligon Kemampuan Komunikasi Matematis
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
Tabel 3.2 Desain Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

meningkatkan kemampuan mengajar guru adalah pembelajaran kooperatif tipe. Think Pair

penelitian menunjukkan bahwa : (1) kemampuan representasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share menggunakan Autograph lebih

Penggunaan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share diperlukan untuk membantu siswa berkomunikasi secara matematis dalam menyatakan ide-ide

Hasil analisis inferensial menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai komunikasi matematika siswa yang diajar dengan model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)

Deskripsi Hasil Tindakan Siklus Kedua, Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) berdasarkan refleksi pada siklus pertama menunjukkan bahwa

peningkatan kemampuan penalaran matematis (berkelompok nilai tinggi, sedang, rendah) siswa yang mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair- Share (TPS) menggunakan

Simpulan penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Komunikasi kelas X

Salah satu model pembelajaran kooperatif di atas yaitu tipe think pair sharedapat digunakan dalam penelitian ini, karena model pembelajaran kooperatif tipe think pair