• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa (Penelitian Quasi Eksperimen Di SMP Bhinneka Tunggal Ika)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa (Penelitian Quasi Eksperimen Di SMP Bhinneka Tunggal Ika)"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun Oleh Dewi Andriani

107017001190

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

i

ABSTRAK

Dewi Andriani (107017001190), Pengaruh Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa (Kuasi Eksperimen di SMP Bhinneka Tunggal Ika Jakarta Barat), Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2013

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan model-eliciting activities terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Penelitian dilakukan di SMP Bhinneka Tunggal Ika Jakarta Barat pada siswa kelas VIII tahun ajaran 2012/2013. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi ekperimen dengan rancangan penelitian two group randomized post test only. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik cluster random sampling. Sampel penelitian pada kelas eksperimen berjumlah 30 siswa yaitu pada kelas VIII-B dengan menggunakan pendekatan model-eliciting activities. Sampel pada kelas kontrol berjumlah 30 siswa yaitu pada kelas VIII-A dengan menggunakan pendekatan konvensional. Berdasarkan analisis dengan uji t dan

taraf signifikansi (α) = 0,05, diperoleh nilai nilai thitung yaitu sebesar 3,049 lebih besar dibandingkan dengan nilai ttabel yaitu sebesar 1,99 (3,34 > 1,99), yang artinya rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan pendekatan model-eliciting activities lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Dengan demikian, penerapan pendekatan model-eliciting activities berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

(5)

Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, December 2013

This research aims to find the influence of model-eliciting activities approach to mathematical problem solving ability of student. The research was conducted at SMP Bhinneka Tunggal Ika West Java class VIII student of the school year 2012/2013. The research method used was quasi experimental research design two group randomized subject post test only. Samples were taken by using technique cluster random sampling. The research sample in the experimental class numbered 30 students that is in class VIII-B using model-eliciting activities approach. The sample in control class numbered 30 students that is in class VIII-A using conventional approach. Based on analyss by t test and a significance level (α) = 0.05, t value obtained is equal to 3.049 greater than the value of t tables is equal to 1.99 (3.34> 1.99), which means an average of mathematical problem solving ability of students taught using model-eliciting activities approach to teaching higher than the average of students’ mathematical problem solving skills are taught using conventional teaching. Thus, the implementation of model-eliciting activities approach a positive effect on students; mathematical problem solving ability.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

ﻳﺤﺭﻟﺍﻦ ﺤﺭﻟﺍﷲﺍ ﺳﺑ

Alhamdulillah segala puji kehadirat illahirabbi Allah SWT yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan yang berlimpah dari dunia sampai akhirat. Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat kerja keras, doa, perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’i, M.A, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam melancarkan proses sebelum penelitian dan sesudah penelitian.

2. Ibu Maifalinda Fatra M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam melancarkan proses sebelum penelitian dan sesudah penelitian.

3. Bapak Otong Suhyanto, M.Si., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam melancarkan proses sebelum penelitian dan sesudah penelitian.

4. Bapak Drs. H. M. Ali Hamzah, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I yang penuh kesabaran, bimbingan, waktu, arahan, dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.

(7)

ii

6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

7. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

8. Kepala SMP Bhinneka Tunggal Ika, Bapak Supriyanto, S.Pd yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di SMP Bhinneka Tunggal Ika, Bapak Raden Budi J, S.Si selaku guru matematika yang telah membantu penulis melaksanakan penelitian di kelas VIII-A dan VIII-B, dan seluruh karyawan dan guru serta siswa-siswi SMP Bhinneka Tunggal Ika yang telah membantu melaksanakan penelitian.

9. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan.

10.Keluargaku tercinta Ayahanda Junaidin, S.Pd, Ibunda Siti Asmah, S.Pd yang tak henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis. Adik-adikku tercinta Muhammad Ryan dan Ahmad Ajun Fadillah, serta semua keluarga yang selalu mendoakan, mendorong penulis untuk tetap semangat dalam menggapai mimpi untuk meraih cita-cita.

11.Sahabatku tercinta Siti Azizah, Shinta Khoerunnisa, Syafiqotul Aimmah, Siti Muniroh, Nurul Aisah, dan Eka Yuniarti yang senantiasa selalu memberika energi positif kepada penulis berupa doa dan dorongan semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsinya.

12.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan 2007 kelas A terutama yang selalu memberikan energi positif kepada penulis yaitu Damai Yanti, Tuti Haryati, Purnawati, Muhammad yusuf, Abdul Gofur, Hafiz Faturrahman, Devi Fauziah, Kholifa Damaya, Yuni Hanstin Jamil, Stantia

(8)

ii

Sari serta teman-teman kelas B yaitu Fellani Cahya Utama dan lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namnya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat memohon dan berdoa mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan, dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan di akhirat. Amin yaa robbal’alamin. Demikianlah betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk menyusun karya tulis yang sebaik-baiknya, namun di atas lembaran-lembaran skripsi ini masih saja dirasakan dan ditemui berbagai macam kekurangan dan kelemahan. Karena itu, kritik dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka. Penulis berharap semoga skripsi ini akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis khusunya dan bagi pembaca sekalian umumnya.

Jakarta, 30 Desember 2013

(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Pembatasan Masalah ... 12

D. Perumusan Masalah Penelitian ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Manfaat Penelitian ……… 14

BAB II Deskripsi Teoritik, Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian ... 15

A. Deskripsi Teoritik ... 15

1. Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) ... 15

a. Hakikat Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) ... 15

b. Tahapan Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) ... 21

2. Pembelajaran Konvensional ... 25

3. Pemecahan Masalah Matematika ... 26

a. Hakikat Pemecahan Masalah Matematika ... 26

b. Indikator Pemecahan Masalah Matematika ... 30

c. Tahapan Pemecahan Masalah Matematika ... 32

4. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dalam Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) ... 34

B. Penelitian yang Relevan ... 38

(10)

vi

D. Hipotesis Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

B. Metode dan Desain Penelitian ... 43

C. Populasi dan Sampel ... 44

D. Teknik Pengumpulan Data ... 45

E. Instrumen Penelitian ... 45

1. Validitas ... 47

2. Reliabilitas ... 48

3. Taraf Kesukaran ... 49

4. Daya Pembeda ... 50

F. Teknik Analisis Data ... 51

1. Uji Normalitas …... 51

2. Uji Homogenitas ... 52

3. Uji Hipotesis ... 53

G. Hipotesis Statistik ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

A. Deskripsi Data ... 57

1. Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas Eksperimen ... 57

2. Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas Kontrol ... 59

3. Tahapan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 63

4. Respon Siswa Terhadap Pendekatan MEAs ... 65

B. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis ... 66

1. Uji Normalitas ... 66

2. Uji Homogenitas ... 67

C. Pengujian Hipotesis ... 67

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 69

1. Proses Pembelajaran dengan Pendekatan MEAs ... 69 a. Model

(11)

vii

b. Eliciting c. Activities

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa pada Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 73

a. Kelas Eksperimen b. Kelas Kontrol E. Keterbatasan Penelitian ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

viii

Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Tes ...45 Tabel 3.4 Klasifikasi Interpretasi Taraf Kesukaran ...48 Tabel 3.5 Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda ...49 Tabel 4.1 Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa

sxsdsdsd Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...57 Tabel 4.2 Persentase Rata-rata Tahapan Pemecahan Masalah Kelompok ddfdfdfd fdgdggfg Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...59 Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen dan

dfddfdfd Kontrol ...61 Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Kelompok Eksperimen dan

(13)

viii

Gambar 4.3 Suasanan Kelas Saat Diskusi Kelompok ...65

Gambar 4.4 Suasana Kelas Saat Presentasi Kelompok ...66

Gambar 4.5 Contoh Salah Satu LKS Pertemuan Pertama ...68

Gambar 4.6 Contoh Salah Satu LKS Pertemuan Ketiga ...69

Gambar 4.7 Contoh Salah Satu LKS Pertemuan Keenam ...70

Gambar 4.8 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Nomor 2 ...71

Gambar 4.9 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Nomor 2 ...72

Gambar 4.10 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Nomor 3 ...74

Gambar 4.11 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Nomor 3 ...74

Gambar 4.12 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Nomor 4 ...76

Gambar 4.13 Jawaban Siswa Kelas Kontrol Nomor 4 ...76

(14)

viii

Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ...101

Lampiran 4 Lembar Kerja Siswa ...113

Lampiran 5 Kisi-Kisi Uji CobaInstrumen Tes Kemampuan Pemecahan sdsdsdsdsd Masalah Matematika ...137

Lampiran 6 Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah sasasasasas Matematika ...138

Lampiran 7 Kunci Jawaban Instrumen Uji Coba Tes Kemampuan ddddvvcvf ffdfdfdfdfd Pemecahan Masalah Matematika ...141

Lampiran 8 Perhitungan Uji Validitas, Reliabilitas, Taraf Kesukaran dan dcdfdfdffd Daya Pembeda ...151

Lampiran 9 Hasil Uji Validitas Instrumen ...153

Lampiran 10 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ...154

Lampiran 11 Hasil Uji Taraf Kesukaran Instrumen ...155

Lampiran 12 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen ...156

Lampiran 13 Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ....157

Lampiran 14 Langkah-Langkah Perhitungan Uji Validitas Tes Essay ...159

Lampiran 15 Langkah-Langkah Perhitungan Uji Reliabilitas ...161

Lampiran 16 Langkah-Langkah Perhitungan Taraf Kesukaran ...162

Lampiran 17 Langkah-Langkah Perhitungan Daya Pembeda ...163

Lampiran 18 Data Mentah Hasil Penelitian Kelas Eksperimen dan Kelas fvffdfdfdfdf Kontrol ...164

Lampiran 19 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen ...165

Lampiran 20 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol ...166

Lampiran 21 Perhitungan Uji Homogenitas ...167

Lampiran 22 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ...168

Lampiran 23 Hasil Wawancara Siswa Untuk Mengetahui Respon Siswa dfdfffdfdfd Terhadap Penerapan Pendekatan MEAs ...169

(15)

viii

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali, seperti yang tertuang pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 5:1

Ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Ayat (2) : Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Selain UU di atas, yang merupakan landasan operasional pendidikan di Indonesia, terdapat juga landasan ideal, konstitusional, dan spiritual. Landasan ideal pendidikan Indonesia adalah pancasila. Landasan konstitusional pendidikan Indonesia adalah UUD 1945. Dan landasan spiritual pendidikan di Indonesia bagi warga yang mayoritas Islam adalah Al Qur’an.

Al Qur’an surat Al Mujadalah ayat 11 juga menyebutkan tentang pendidikan yaitu bahwa orang-orang yang berilmu diberi kedudukan tinggi beberapa derajat. Ungkapan ayat tersebut adalah sebagai berikut:

عف ي للاني لا نماءامكنمني لا ت أاملعلا داجت للامب لمعتن يبخ………

Artinya: “………., niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa

derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Sejalan dengan pernyataan di atas, setiap warga negara khususnya anak-anak sudah seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak untuk diterimanya seperti halnya anak-anak dari seluruh dunia yang mendapat pendidikan dari

1

(17)

2

negaranya. Apalagi di negara kita Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, sesuai dengan perintah dalam Al Qur’an yang merupakan pedoman hidup agama islam, kita sebagai seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena orang-orang yang berilmu diberikan tempat yang tinggi sederajat oleh Allah SWT. Salah satu tempat dimana anak-anak bisa mendapatkan pendidikan diantaranya sekolah.

Sekolah sebagai suatu tempat untuk mendidik siswa menjadi orang yang berguna bagi dirinya dan negaranya, harus dapat memenuhi kebutuhan dasar tersebut yaitu pendidikan. Sekolah adalah sebuah lembaga pendidikan formal yang dirancang untuk pengajaran siswa/murid di bawah pengawasan guru.2 Lembaga pendidikan formal memang sengaja dirancang sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai metode dan teknik pengajaran yang didasarkan pada kurikulum yang baku. Keberadaan lembaga ini menjadi sangat penting karena kemajuan zaman sudah menuntut generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan lebih yang tidak mungkin didapatkan di rumah. Peran lembaga pendidikan formal pun akan semakin diperlukan seiring kemajuan kehidupan masyarakat. Para guru diharapkan mampu menularkan ilmu dan mentransfer ilmu mereka demi menjadikan anak didiknya orang-orang yang hebat dan bermartabat.

Sebagai pusat pendidikan, sekolah dapat menjalankan fungsi pendidikan secara optimal dengan cara mengembangkan kemampuan anak guna meningkatkan kualitas hidup dan kedigdayaan bangsa. Jika generasinya pintar, bersiaplah untuk menjadi bangsa yang maju. Sebaliknya, kalau generasi muda tak mendapatkan pendidikan yang layak, bersiaplah menjadi bangsa yang dijajah secara keseluruhan oleh bangsa lain yang haus kekuasaan. Salah satu pelajaran yang diajarkan di sekolah adalah matematika.

Matematika merupakan salah satu jenis dari enam materi ilmu pengetahuan yaitu matematika, fisika, biologi, psikologi, ilmu-ilmu sosial dan linguistik. Pemikiran yang sistematis, logis dan kritis dibutuhkan untuk menguasai kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Matematika yang bersifat abstrak merupakan salah satu mata pelajaran yang

2

(18)

3

mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Perkembangan matematika yang begitu pesat juga menuntut generasi muda untuk lebih meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing di masa yang akan datang.

Syarat penguasaan matematika jelas tidak bisa dikesampingkan. Kemampuan berpikir secara logis, analitis, sistematis, kreatif dan bekerja sama dalam belajar matematika diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Namun meningkatnya ilmu matematika masih belum dibarengi dengan sumber daya manusia terutama di Indonesia. Karena nyatanya ilmu matematika di Indonesia masih kurang diminati oleh para generasi muda khususnya pelajar sekolah menengah. Padahal matematika merupakan ilmu dasar dari setiap hal yang terjadi di lingkungan kita.

Tidak heran jika matematika diajarkan dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Selain itu matematika juga diberi porsi jam pelajaran lebih banyak dibanding mata pelajaran lain. Namun sampai saat ini masih banyak siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit, menakutkan, dan membosankan karena siswa-siswi kesulitan untum memahami konsep dan mengerjakan soal-soal matematika.

Kenyataan dewasa ini, matematika belum diterima dengan sukarela atau senang hati oleh siswa menjadi pekerjaan atau tugas khusus bagi guru sebagai pendidik khususnya guru matematika. Hal ini dapat diantisipasi dengan memberikan wawasan dan arahan serta pendekatan yang tepat kepada siswa. Khususnya tentang penggunaan atau aplikasi matematika dalam bidang ilmu lain dalam kehidupan sehari-hari. Secara sengaja atau tidak sengaja maupun langsung atau tidak langsung, masyarakat atau siswa menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

(19)

4

mulai banyak metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah tidak hanya sekedar ceramah sehingga pengetahuan matematika tidak berpusat pada guru saja tetapi siswa juga dituntut untuk membangun suatu konsep. Soal matematika yang disajikan dalam soal cerita (tidak hanya bilangan) dan metode pembelajarannya dapat memberikan makna tertentu.

Melalui matematika, siswa dapat berlatih menggunakan fikirannya secara logis, sistematis, kritis dan kreatif serta membantu siswa dalam menyelesaikan berbagai masalah yang mungkin dihadapinya di kehidupan sehari-hari. Matematika yang disajikan dalam bentuk masalah akan memberikan motivasi kepada siswa untuk mempelajari matematika lebih dalam. Dengan dihadapkan suatu masalah matematika, siswa akan berusaha menemukan penyelesaiannya melalui berbagai strategi pemecahan masalah matematika. Kepuasan akan tercapai apabila siswa dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Kepuasan intelektual ini merupakan motivasi intrinsik bagi siswa. Masalah adalah sebuah kata yang sering terdengar oleh kita. Namun sesuatu menjadi masalah tergantung bagaimana seseorang mendapatkan masalah tersebut sesuai kemampuannya. Terkadang dalam pendidikan matematika di sekolah ada masalah bagi kelas rendah namun bukan masalah bagi kelas tinggi.

Banyak ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon, namun mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Menurut Cooney dalam Atmini, suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui oleh pemecah masalah.3 Masalah merupakan suatu konflik, hambatan bagi siswa dalam menyelesaikan tugas belajarnya di kelas. Namun masalah harus diselesaikan agar proses berpikir siswa terus berkembang. Semakin banyak siswa dapat menyelesaikan setiap permasalahan matematika, maka siswa akan kaya akan variasi dalam menyelesaikan soal-soal matematika dalam bentuk apapun.

3

(20)

5

Masalah yang dihadapi di dunia nyata tidak beraturan, mengambang, kacau, kompleks, dan amat sering tidak memiliki satu solusi yang tepat. Bentuk masalah-masalah seperti ini menuntut paradigma yang berbeda juga di mana para pendidik dan pembelajarnya dihadapkan dengan situasi yang mengambang yang menuntut pemecahan masalah. Karenanya siswa diharapkan dapat memiliki kemampuan dalam memecahkan berbagai masalah, baik yang terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas. Kemampuan yang dapat memberikannya pengetahuan yang berguna tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi juga di kehidupan nyata.

Menurut NCTM, dalam belajar matematika siswa dituntut untuk memiliki kemampuan: problem solving (pemecahan masalah), reasoning and proof (pemahaman konsep),connections (koneksi matematika), communication (komunikasi matematika) dan representation (representasi matematika).4

Sejalan dengan NCTM, Sumarmo mengatakan bahwa pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan pada pengembangan daya matematik siswa yang meliputi: kemampuan untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur dan memberikan alasan secara logis, kemampuan untuk menyelesaikan masalah non rutin, mengomunikasikan ide mengenai matematika dan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi, menghubungkan ide-ide dalam matematika antar matematika dan kegiatan intelektual lainnya.5 Sejalan dengan hal tersebut, kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting dan harus segera dimiliki oleh siswa yang mempelajari matematika.

Menurut Permendiknas No 22 Tahun 2006, mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memilikikemampuan sebagai berikut:6

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep danmengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dantepat dalam pemecahan masalah.

4

The National Council of Teachers of Mathematics, Principles and Standards for School Mathematics, (USA: NCTM, 2000), p. 7

5

Utari Sumarmo, Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik, (Bandung: FMIPA-UPI, 2010), h. 3

6

(21)

6

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, ataumenjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkansolusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau medialain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitumemiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajarimatematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Salah satu implementasi dari Permendiknas no 22 Tahun 2006 adalah penekanan soal pemecahan masalah pada soal olimpiade. Fajar menyatakan bahwa hal ini dapat dilihat dengan sebagian besar soal olimpiade matematika nasional yang berorientasi pada pemecahan masalah. Sejalan dengan sola olimpiade matematika nasional, dalam olimpiade matematika internasional juga terdapat soal penyelesaian masalah. Salah satu olimpiade matematika internasional adalah TIMSS (Trend in International Mathematics and Science Study) dan fakta penting pada penyelenggaraan TIMSS adalah Negara Latvia

memperoleh perubahan nilai yang signifikan pada penyelenggaraan TIMSS 1995 dan TIMSS 2003. Hal ini karena Latvia merombak seluruh kurikulum, tujuan pendidikan serta buku pelajaran sesuai dengan refleksi dari tes internasional.

(22)

7

Pemecahan masalah (problem solving) merupakan kompetensi atau kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa setelah mempelajari matematika. Kemampuan tersebut tidak hanya diperlukan siswa saat mempelajari matematika atau pelajaran lain, namun sangat dibutuhkan setiap manusia pada umumnya pada saat memecahkan suatu masalah atau membuat keputusan. Kemampuan yang demikian memerlukan pola pikir yang memadai. Pola pikir yang memadai dalam memecahkan masalah adalah pola pikir yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis dan kreatif. Pola pikir seperti itu dibina dan dikembangkan dalam belajar matematika.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa masih rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil belajar matematika siswa kelas VIII SMP Bhinneka Tunggal Ika tahun ajaran 2012/2013. Rendahnya hasil belajar matematika siswa ada kaitannya dengan pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru. Proses pembelajaran matematika pada umumnya dilakukan secara konvensional, drill, bahkan ceramah. Proses pembelajaran seperti ini hanya menekankan pada tuntutan pencapaian kurikulum daripada mengembangkan kemampuan belajar siswa.

Dari hasil wawancara dengan guru bidang studi Matematika di SMP Bhinneka Tunggal Ika mengenai kondisi siswa dalam berlangsungnya kegiatan belajar mengajar matematika.7 Beliau mengatakan bahwa hasil belajar matematika siswa kelas VIII masih kurang. Hal ini terlihat saat siswa diberi suatu permasalahan masih belum dapat menyelesaikan dengan langkah yang benar. Dan terkadang kecepatan mengerjakan soalpun sangat lambat. Seringkali satu pertemuan hanya mampu mengerjakan dua hingga tiga soal pemecahan masalah. Sehingga membuat materi lain menjadi terlambat untuk dipelajari.

Disamping itu, masalah lain yang muncul di sekolah tersebut diantaranya siswa masih terlalu bergantung pada guru. Siswa hanya dapat mengerjakan soal latihan yang sama persis dengan yang dicontohkan guru, namun setelah diberikan soal lain yang sedikit diubah bentuknya maka siswa cenderung

7

(23)

8

bingung dan tidak mampu menyelesaikannya. Hal tersebut terjadi karena guru di sekolah masih cenderung menggunakan cara-cara tradisional seperti ceramah, tanya jawab dan drill.

Matematika merupakan ilmu yang kaya, menarik, banyak terkait dengan kehidupan, memungkinkan banyak eksplorasi dan interaksi yang dapat dilakukan siswa. Namun, dalam pembelajaran matematika interaksi yang sering terjadi adalah pemberitahuan definisi dan aturan oleh guru kemudian dilanjutkan dengan demonstrasi pemakaian definisi dan aturan tersebut dalam contoh dan latihan soal.

Menurut Ruseffendi, proses pembelajaran matematika di sekolah, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya bukan melalui kegiatan eksplorasi. Sehingga pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal.8

Pembelajaran yang demikian membuat siswa kurang aktif karena kurang memberi peluang kepada siswa untuk lebih banyak berinteraksi dengan sesama dan dapat membuat siswa memandang matematika sebagai suatu kumpulan aturan dan latihan yang dapat berujung pada rasa bosan dan bingung saat diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan.

Selain cara mengajar guru, rendahnya hasil belajar siswa juga disebabkan lemahnya siswa dalam kemampuan dasar bermatematika lainnya. Jenning dan Dunne mengatakan bahwa pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari, indikasinya adalah pada pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep.

Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika dirasakan kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan pengetahuan sebelumnya (prior-knowledge) yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan

8

(24)

9

kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.

Pendidikan matematika di Indonesia pada umumnya masih berada pada pendidikan matematika konvensional yang banyak ditandai oleh strukturalistik dan mekanistik. Kebanyakan guru matematika mengontrol secara penuh materi serta metode penyampaiannya. Dengan cara seperti ini, penekanan hanya pada kemampuan mengingat (memorizing) atau menghafal (rote learning) dan sangat kurang penekanan pada pemahaman (understanding). Karena itu perlunya pendekatan yang tidak hanya berpusat pada guru melainkan pada siswa.

Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Menurut Gregoria, pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah pembelajaran dengan menggunakan sepasang perspektif, yaitu fokus pada individu pembelajar (keturunan, pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kapasitas, dan kebutuhan) dengan fokus pada pembelajaran (pengetahuan yang paling baik tentang pembelajaran dan bagaimana hal itu timbul serta tentang praktek pengajaran yang paling efektif dalam meningkatkan motivasi, pembelajaran, dan prestasi bagi semua pembelajar). Fokus ganda ini selanjutnya memberikan informasi dan dorongan pengambilan keputusan pendidikan. Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif siswa ini berarti guru tidak mengambil hak anak untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya.

Pada proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning), dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas siswa. Salah satu proses pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah dengan menggunakan pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs). Selain itu, karena adanya kekurangan pada

(25)

10

masalah matematika siswa, maka muncullah pendekatan MEAs yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

Menurut Chamberlin, pembelajaran matematika dengan pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) merupakan suatu alternatif pendekatan yang

berupaya membuat siswa dapat secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Dalam pendekatan MEAs memunculkan masalah yang nyata adalah salah satu karakteristiknya. Dengan memunculkan masalah yang nyata maka secara lebih mudah dapat mengaitkan konsep matematika yang abstrak oleh siswa. Sehingga dapat memunculkan ketertarikan siswa terhadap masalah tersebut dan membuatnya aktif untuk mencari penyelesaiannya.9 Keaktifan siswa itu terwujud dalam salah satu karakteristik pendekatan MEAs yaitu memberikan siswa peluang untuk mengambil kendali atas pembelajaran mereka sendiri dengan memunculkan masalah yang berhubungan dengan siswa.

Chamberlin menambahkan pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematis untuk membantu siswa membangun pemecahan masalah. Selain itu MEAs juga disusun untuk membantu siswa membangun pemecahan masalah dunia nyata mereka ke arah peningkatan konstruksi matematika dan terbentuk karena adanya kebutuhan untuk membuat siswa menerapkan prosedur matematis yang telah dipelajari.

Model-Eliciting Activities (MEAs) sendiri merupakan pendekatan yang

didasarkan pada masalah realistic yang sesuai dengan himbauan Kurikulum 2004 dan Badan Standar Nasional Pendidikan tahun 2006 yang mengemukakan bahwa dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika diharapkan dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi kontekstual.

Menurut Geetanjali dalam Lesh, Model-Eliciting Activities (MEAs) didesain untuk mendorong siswa membangun model matematika untuk memecahkan masalah yang kompleks dan sebagai alat bagi para pendidik untuk

9

(26)

11

lebih memahami pemikiran siswa. Beberapa peneliti pendidikan telah mengembangkan serangkaian alat refleksi memikirkan dan merekam strategi khusus saat pemecahan masalah.

Dalam Model-Eliciting Activities (MEAs), kegiatan pembelajaran diawali dengan penyajian situasi masalah yang memunculkan aktivitas untuk menghasilkan model matematis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Dalam MEAs, siswa menghasilkan alat konseptual yang mengandung sistem deskriptif yang tegas atau sistem yang menjelaskan fungsi sebagai model yang menyatakan aspek penting mengenai bagaimana para siswa menginterpretasikan situasi pemecahan masalah.

Menurut Chamberlin dan Moon, dalam kegiatan Model-Eliciting Activities (MEAs) terdiri atas empat bagian. Bagian pertama adalah

mempersiapkan konteks permasalahan, menyajikan masalah, dan membacakan teks. Bagian kedua adalah bagian pertanyaan “siap-siaga”. Bagian ketiga adalah bagian data. Bagian keempat adalah tugas pemecahan masalah. Melalui rangkaian kegiatan MEAs tersebut, diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika.

Menurut Lesh, dalam tahapan Model-Eliciting Activities (MEAs) selain memetakan suatu model matematis dari situasi kehidupan nyata, terdapat juga langkah memanipulasi model matematis untuk menghasilkan prediksi dan memcari pemecahan masalahnya. Selanjutnya menerjemahkan model matematis tersebut kembali ke kehidupan nyata dan membuktikan kegunaannya. Tahapan tersebut diharapkan dapat membuat siswa aktif dalam kelompok.

(27)

12

sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya mampu mempelajari matematika.

Berdasarkan uraian di atas, maka keperluan untuk melakukan studi yang berfokus pada pengembangan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, yakni pembelajaran matematika dengan pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) dipandang penulis sangat penting. Dalam kaitan ini maka penulis mencoba melakukan penelitian yang berhubungan dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan MEAs dengan kemampuan pemecahan masalah yang dilaksanakan di SMP, dan mengungkapkan apakah pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) memberikan kontribusi terhadapa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Penelitian ini dirancang untuk melihat Pengaruh Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) Terhadap Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP.

B. Identifikasi Masalah

Penelitian ini melibatkan siswa kelas VIII SMP Bhinneka Tunggal Ika Jakarta Pusat. Dipilih kelas VIII dikarenakan peneliti akan mengambil materi tentangsistem persamaan linear dua variabel. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka permasalahan dapat dididentifikasi sebagai berikut:

1. Rendahnya hasil belajar matematika siswa.

2. Rendahnya kemampuan memecahkan permasalahan matematika.

3. Pendekatan belajar yang kurang menarik dan membosankan bagi siswa dan kurang mengaitkan dengan pengetahuan awal siswa serta terlalu berpusat pada guru dan kurang mengembangkan ide dan kreativitas siswa.

C. Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan masalah, penelitian ini dibatasi pada penggunaan pendekatanModel-Eliciting Activities (MEAs) terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa dalam belajar matematika. Beberapa istilah terkait dengan masalah tersebut diberi batasan sebagai berikut:

(28)

13

dimaksud dalam penelitian adalah siswa SMP Bhinneka Tunggal Ika kelas VIII semester ganjil tahun ajaran 2012/2013.

2. Pendekatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendekatan Model-Eliciting Activities yaitu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian situasi maslah dunia nyata yang memunculkan aktivitas untuk menghasilkan model matematis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika melalui tahapan proses pemodelan matematika.

3. Kemampuan yang ingin diteliti adalah kemampuan pemecahan masalah matematika yaitu satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai tanpa menggunakan prosedur yang rutin.Indikator pemecahan masalah matematika yang diambil pada aspek kognitif dan pada tingkatan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi (penerapan).

D. Rumusan Masalah

Setelah mengetahui latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs)?

2. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional?

3. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) lebih tinggi dari siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs).

2. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional.

(29)

14

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvensional.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi:

1. Penulis, dapat memperoleh pengalaman langsung dalam menerapkan pendekatan pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) dalam proses pembelajaran.

2. Guru, sebagai masukan atau informasi untuk memperoleh gambaran mengenai pendekatan pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) dalam kegiatan belajar mengajar matematika, sehingga dapat dijadikan alternatif dalam pembelajaran matematika dikelas.

3. Peneliti selanjutnya, sebagai salah satu sumber informasi dan bahan rujukan untuk mengadakan penelitian yang lebih lanjut yang dapat mengembangkan pendekatan pembelajaran di kelas.

4. Sekolah, dapat meningkatkan kualitas sekolah melalui peningkatan hasil belajar siswa dan dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran matematika di sekolah.

5. Siswa, dapat memberikan pengalaman baru dalam proses belajar mengajar matematika.

6. Perkembangan ilmu pengetahuan

 Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan pendekatan, model, dan strategi pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa.

(30)

15

BAB II

DESKRIPSI TEORITIK, KERANGKA BERPIKIR, DAN

PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritik

1. Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs)

a. Hakikat Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs)

W. Gulo dalam Evelin mengemukakan bahwa, pendekatan pembelajaran adalah suatu pandangan dalam mengupayakan cara siswa berinteraksi dengan lingkungannya.10 Sedangkan menurut Roy Killen dalam Wina, ada dua macam pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (tracher-centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches).11 Pendekatan Model-Eliciting Activites (MEAs) adalah salah satu pendekatan yang berpusat pada siswa yang memungkinkan siswa untuk lebih aktif dalam melakukan kegiatan belajar di dalam kelas.

Model-Eliciting Activites (MEAs) terbentuk pada pertengahan tahun

1970-an dan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan pengguna kurikulum. MEAs disusun oleh pendidik matematika, profesor dan lulusan di seluruh Amerika dan Australia, untuk digunakan oleh guru matematika. Ada dua alasan terbentuknya MEAs, yang pertama MEAs akan mendorong siswa untuk membuat suatu model matematika untuk memecahkan masalah yang rumit, seperti yang biasa seorang ahli matematika lakukan di kehidupan nyata. Kedua, MEAs dirancang untuk memungkinkan para peneliti menyelidiki berpikir matematis siswa. MEAs memiliki potensi untuk mengembangkan bakat matematika, karena melibatkan para siswa dalam tugas-tugas matematika yang rumit.12

10

Evelin Siregar, Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Cet. II, h. 75.

11

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), Ed. 1, Cet. 8, h. 127.

12

(31)

16

Mereka mengharapkan siswa dapat mengembangkan sebuah model matematis berupa sistem konseptual yang membuat siswa merasakan beragam pengalaman matematis tertentu. Model matematis siswa adalah hasil dari proses-proses rekursif ketika siswa mengemukakan ide, menguji, meninjau ulang dan memperluas interpretasi mereka.

Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) merupakan perluasan atau pengembangan dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Pendekatan MEAs adalah pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian situasi masalah yang memunculkan aktivitas yang menghasilkan model matematis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Pendekatan MEAs berisi masalah-masalah matematika yang dibuat oleh para pengajar matematika, professor dan pascasarjana, melalui Amerika dan Australia, untuk digunakan oleh instruktur matematika .13

Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) merupakan pendekatan yang didasarkan pada masalah realistis, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model untuk membantu siswa membangun pemecahan masalah dan membuat siswa menerapkan pemahaman konsep matematika yang telah dipelajarinya. Iterasi pemecahan masalah yang paling penting dari sebuah MEAs adalah untuk mengemukakan, menguji, dan meninjau kembali model yang akan memecahkan suatu permasalahan.14 Perolehan model dan sistem berpikir ditekankan secara kontras untuk menyatukan ide yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah. Menurut Eric dan Richard, iterasi dalam kelompok melalui siklus “mengemukakan, menguji, meninjau kembali” dari suatu model peninjauan kembali dapat menghasilkan struktur kognitif dan pemahaman baru dalam anggota kelompok, lebih efektif daripada satu kali aplikasi siklus. Solusi MEAs menawarkan sebuah alternatif keseimbangan bagaimana “hasil” dan “proses” ditekankan dalam kurikulum.

13

Chamberlin, S. A., Moon, S. M. , How Does the Problem Based Learning Approach Compare to the Model-Eliciting Activities Approach in Mathematics?, 2005, p. 4,(http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/chamberlin.pdf).

14

(32)

17

Model-Eliciting Activities (MEAs) secara ideal disusun untuk

membantu siswa dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata sehingga siswa memiliki konstruksi matematika yang kuat. MEAs membantu perkembangan pemikiran siswa karena siswa membuat model mereka sendiri untuk memecahkan masalah-masalah matematika. Siswa tidak perlu berlama-lama mencari satu jawaban yang mungkin hanya diketahui oleh gurunya. Untuk memperkenalkan MEAs, guru tidak mencontohkan proses algoritma untuk menyelesaikan permasalahan seperti yang dilakukan dalam langkah-langkah pembelajaran biasa. Dalam MEAs siswa didorong untuk belajar mandiri, menemukan metode-metode dan model-model yang dapat memecahkan permasalalahan. Dan kemudian mereka dituntut untuk dapat mengeluarkan ide pikiran dan berani mengemukakannya melalui model matematis, serta menguji dan meninjau kembali model jika terdapat kesalahan.

MEAs mempunyai tujuan agar siswa lebih memahami dan mendorong siswa dalam pemecahan masalah, yaitu mendorong siswa membangun model matematika untuk memecahkan masalah yang kompleks, dan sarana bagi para pendidik untuk lebih memahami pemikiran siswa.15 Dalam Model-Eliciting Activities (MEAs) siswa menghasilkan alat konseptual (rumus) yang berisi penggambaran eksplisit atau sistem penjelasan yang berfungsi sebagai model dimana siswa memberitahu aspek-aspek penting bagaimana siswa tersebut menginterpretasi situasi pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan Model-Eliciting Activites (MEAs) adalah pendekatan yang berpusat pada siswa dimana kegiatan yang dilakukan siswa diawali dengan menemukan suatu masalah dari kehidupan nyata yang sering terjadi sekitar siswa, lalu mengambil informasi yang penting dan mengubahnya menjadi suatu model matematis yang dapat digunakan untuk situasi sejenis dan kemudian mencari penyelesaian dari model tersebut serta menginterpretasikan solusi pemecahan masalah tersebut kembali ke dunia nyata.

15

(33)

18

Lesh dan Doerr menyatakan enam prinsip untuk mengembangkan Model-Eliciting Activities (MEAs), yaitu: The personal meaningfulness principle,

The model construction principle, The self-evaluation principle, The

model-documentation principle, The simple prototype principle, dan The model generalisation principle.16

Chamberlin dan Moon memaparkan keenam prinsip tersebut sebagai berikut. Prinsip yang pertama adalah Prinsip Realitas (The personal meaningfulness principle/The reality principle). Prinsip ini disebut juga prinsip

keberartian. Prinsip ini menyatakan bahwa skenario yang disajikan sebaiknya realistis dan dapat terjadi dalam kehidupan siswa. Prinsip ini bertujuan untuk meningkatkan minat siswa dan menstimuluskan aktivitas yang nyata, menerapkan cara matematikawan ketika menyelesaikan permasalahan. Permasalahan yang lebih realistis lebih memungkinkan solusi kreatif dari siswa.

Prinsip yang kedua yaitu Prinsip konstruksi model (The model construction principle). Prinsip ini menyatakan bahwa respon yang sangat baik

dari tuntutan permasalahan adalah penciptaan sebuah model. Sebuah model adalah sebuah sistem yang terdiri atas elemen-elemen, hubungan antar elemen, operasi yang menggambarkan interaksi antar elemen, dan pola atau aturan yang diterapkan pada hubungan-hubungan dan operasi-operasi. Sebuah model menjadi penting ketika sebuah sistem menggambarkan sistem lainnya. Prinsip ini berisi pengkonstruksian, pemodifikasian, perluasan, dan atau peninjauan kembali dari sebuah model. Karakteristik MEAs yag paling penting ini mengusulkan disain aktivitas yang merangsang kreativitas dan tingkat berpikir yang lebih tinggi.

Chamberlin dan Moon menuturkan bahwa penciptaan model matematis membutuhkan suatu konsep yang kuat tentang pemahaman masalah sehingga dapat membantu siswa menjelmakan pemikiran mereka. Keuntungan menciptakan model matematis adalah dapat memberikan pemahaman mendalam dan memungkinkan siswa untuk mentransfer respon mereka kepada situasi serupa untuk melihat apakah model dapat digeneralisasikan. Pembelajaran MEAs

16

(34)

19

membiasakan siswa dengan proses siklis dari pemodelan: menyatakan, menguji, dan meninjau kembali.

Prinsip yang ketiga yaitu Prinsip Penilian Diri (The self-evaluation principle/The self-assessment). Prinsip penilaian diri menyatakan bahwa siswa

harus mampu mengukur kelayakan dan kegunaan solusi tanpa bantuan guru. Siswa dapat menggunakan informasi untuk menghasilkan respon dalam iterasi berikutnya. Chamberlin dan Moon menyatakan bahwa prinsip penilaian diri terjadi saat kelompok-kelompok mencari jawaban yang tepat. Biasanya siswa jarang menemukan jawaban terbaik pada usaha pertama dan mereka melakukan usaha berikutnya untuk memperoleh jawaban yang tepat. Kegiatan presentasi membuat siswa menghakimi pemikiran mereka. Jika siswa tidak mampu mendeteksi kekurangan dalam cara pikir mereka, siswa tidak mungkin membuat usaha-usaha penting untuk mengembangkan cara pikir mereka.

Prinsip ke empat yaitu PrinsipDokumentasi Model (The model documentation principle). Prinsip ini menyatakan pemikiran mereka sendiri

selama bekerja dalam MEAs dan bahwa proses berpikir mereka harus didokumentasikan dalam solusi. Prinsip ini berhubungan dengan prinsip penilaian diri, yang menghendaki siswa mengevaluasi seberapa dekat solusi mereka dengan dokumentasi. Tuntutan dokumentasi solusi melibatkan teknis penulisan. Prinsip ini juga membantu untuk memastikan bahwa guru yang menerapkan MEAs memusatkan proses berpikir siswa selama pemecahan masalah, sebaik model akhir mereka.

Prinsip kelima yaitu PrinsipPrototipe Sederhana (The simple prototype principle). Prinsip ini menyatakan bahwa model yang dihasilkan harus dapat

ditafsirkan dengan mudah oleh orang lain. Siswa dapat menggunakan prototipe pada situasi yang sama. Prinsip ini membantu siswa belajar bahwa solusi kreatif yang diterapkan pada permasalahan matematis adalah berguna dan dapat digeneralisasikan. Solusi terbaik dari masalah matematis non rutin harus cukup kuat untuk diterapkan pada situasi berbeda dan mudah dipahami.

(35)

20

principle). Prinsip ini menyatakan bahwa model harus dapat digunakan pada

situasi serupa. Jika model yang dikembangkan dapat digeneralisasi pada situasi serupa, maka respon siswa dikatakan sukses. Prinsip ini berhubungan dengan prinsip prototipe sederhana. Berbagai respon dari siswa terhadap tugas dimungkinkan untuk memiliki berbagai tingkat ketepatan. Tugas-tugas dalam MEAs merupakan tugas yang berat jika diselesaikan sendiri oleh seorang siswa, karena itu tugas harus diselesaikan dalam kelompok. Kerja kelompok dalam MEAs bertujuan untuk mempersiapkan siswa memasuki dunia kerja yang mungkin menuntut individu lebih sering berinteraksi dengan teman sebaya.

Enam prinsip di atas sangat penting dalam membimbing pengembangan MEAs. Hal tersebut adalah tolok ukur yang harus selalu ditinjau kembali bahwa tugas yang ada ditulis dengan melihat pertumbuhan ide-ide pikiran siswa. Ide-ide pikiran ini adalah di mana siswa membawa pengetahuan awalnya ke suatu situasi dan mengubahnya menjadi lebih berkembang dan terarah.

Cynthia dan Leavitt menyatakan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk implementasi MEAs antara lain: pemilihan kelompok, relevansi MEAs, presentasi kelompok dan peran guru selama MEAs berlangsung.17 Distribusi siswa dengan kemampuan beragam adalah penting bagi keefektifan kerja sama siswa. Dalam kegiatan MEAs, banyaknya siswa pada setiap kelompok biasanya tiga atau empat orang. Semua siswa mempunyai peluang yang sama untuk mengambil bagian di dalam proses aktivitaas secara kolaboratif.

Kelompok yang dibentuk harus dapat memfasilitasi siswa, siswa harus merasa nyaman untuk berbicara dan mengemukakan ide mereka dalam kelompoknya. Pertukaran selama tahap sense-making ketika siswa menjelajah gagasan mereka untuk mengembangkan model adalah penting bagi pengembangan model. Sebaiknya membentuk kelompok siswa dengan beragam kemampuan dari tinggi, sedang, lemah berdasarkan hasil tes yang dikombinasikan dengan pengamatan kelas. Kelompok dapat dibentuk ulang berdasarkan penilaian partisipasi siswa dan pesan individu.

17

(36)

21

Pentingnya memilih konteks aktivitas yang berarti bagi siswa. Relevansi MEAs membantu siswa memahami tujuan aktivitas dan lebih imajinatif dalam mengemukakan ide dalam mengembangkan model matematis yang sesuai dengan konteks. Dan hal yang dapat dilakukan di kelas adalah memulai aktivitas pemanasan sebelum siswa memulai MEAs.

Presentasi kelompok dan saran-saran tertulis individu juga bagian penting dalam kegiatan MEAs yang harus diperhatikan.Setelah diskusi kelompok usai, setiap kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya dalam sesi Tanya Jawab di mana guru dan siswa lainnya memberikan pertanyaan tentang model.Tampilkan semua hasil pekerjaan setiap kelompok di depan kelas. Beri akses kepada siswa untuk melihat catatan dan hasil perhitungan mereka yang disimpan secara aman dalam folder kelompok. Kembalikan jawaban kepada siswa tepat waktu dan berikan waktu diskusi.

Ketepatan waktu akan membantu siswa mengingat lebih baik tanggapan mereka tentang model serta saran dan tanggapan. Memberikan waktu diskusi dapat memberi petunjuk kepada siswa untuk melanjutkan berpikir dan meninjau ulang tugas MEAs mereka.

Peran guru selama MEAs sangatlah penting. Guru memimpin pengenalan kegiatan MEAs dan mendengarkan penjelasan siswa ketika menguraikan model-model matematik. Guru meninjau kembali materi dengan seluruh siswa dan memastikan siswa mengerti apa yang harus mereka lakukan (siswa memahami tugas dan tujuan akhir). Guru juga harus dapat mengantisipasi semua kemungkinan tantangan dari masalah.

Guru harus mau mendengarkan penjelasan dan pemikiran siswa dan jangan memberitahukan secara langsung kesalahan yang dilakukan siswa. Guru harus menghindari untuk memberikan hanya kepada pertanyaan khusus tentang arti dari konteks permasalahan.Selama melaksanakan kreativitas, guru menanyakan secara informal yang mungkin ditanyakan pada sesi Tanya Jawab.

b. Tahapan PembelajaranModel-Eliciting Activities (MEAs)

(37)

22

Mathematicians, mengatakan bahwa setiap kegiatan MEAs terdiri atas empat

bagian. Bagian pertama adalah mempersiapkan konteks permasalahan, menyajikan masalah, dan membacakan teks. Teks ini berupa halaman simulasi artikel koran yang ditulis untuk membangkitkan diskusi dan minat siswa tentang permasalahan. Bagian kedua adalah bagian pertanyaan “siap-siaga”. Perta nyaan-pertanyaan pada bagian ini ditujukan untuk memperoleh jawaban siswa tentang artikel yang telah diberikan pada bagian pertama . Tujuan bagian ini adalah untuk memastikan bahwa siswa telah memiliki pengetahuan dasar yang mereka perlukan untuk menyelesaikan permasalahan. Bagian ketiga adalah bagian data. Pada bagian ini dapat digunakan berbagai bentuk diagram, grafik, peta, dan tabel. Bagian ini sering kali mengacu pada bagian pertanyaan “siap-siaga”. Bagian keempat dari MEAs adalah tugas pemecahan masalah. Pada bagian ini siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan matematika yang kompleks. Salah satu karakteristik unik dari MEAs adalah bahwa siswa menyelesaikan masalah yang diberikan kepada mereka dan mengeneralisasi model yang mereka buat untuk situasi serupa.

Menurut Chamberlin secara khusus menyatakan bahwaModel-Eliciting Activities (MEAs) dapat diterapkan dalam beberapa langkah, yaitu: guru membaca

sebuah artikel koran yang mengembangkan konteks siswa; siswa siap dengan pertanyaan berdasarkan artikel tersebut; guru membacakan pernyataan masalah bersama siswa dan memastikan bahwa setiap kelompok mengerti apa yang sedang ditanyakan; siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut; siswa mempresentasikan model matematis mereka setelah membahas dan meninjau ulang solusi; dan interpretasi siswa tentang aktivitas untuk menciptakan konstruksi-konstruksi yang sesuai dengan titik pandang aktivitas tertentu.18

Sedangkan Lesh dan Doerr mengatakan bahwa dalam siklus kegiatan memodelkan, terdapat empat langkah dasar. Empat langkah tersebut diantaranya: (a)description that establishes a mapping to model world from the real (or

imagined) world, (b) manipulation of the model in order to generate predictions

18

(38)

23

or actions related to the original problem solving situation, (c) translation (or

prediction) carrying relevant result back into the real (or imagined) world, and

(d) verification concerning the usefulness of actions and predictions.19

Menurut Lesh dan Doerr, description adalah di mana siswa membangun sebuah pemetaan dari situasi kehidupan dunia nyata menjadi suatu model, yaitu mengubah situasi nyata menjadi sebuah model matematis yang dapat digeneralisasikan. Sedangkan manipulation adalah siswa memanipulasi model matematis yang tadi telah didapat untuk menghasilkan solusi yang berkaitan dengan situasi pemecahan masalah yang asli, dengan kata lain mencari solusi dari masalah yang ada melalui model matematis. Translation adalah terjemahan (atau prediksi) yaitu siswa membawa hasil yang relevan kembali ke dunia nyata, mengubah solusi yang didapat menjadi penyelesaian untuk situasi masalah sebelumnya. Siswa menyimpulkan dan menginterpretasikan solusi pemecahan masalah yang telah didapat. Sedangkan verification adalah pembuktian tentang kegunaan dari solusi tadi, mengaitkan hasil yang didapat dengan kehidupan nyata dan melihat adanya kemungkinan solusi tersebut dapat berguna untuk situasi yang sejenis.

Model-Eliciting Activities (MEAs) di dalamnya terdapat proses permodelan matematis. Proses permodelan matematis adalah proses non linear yang meliputi tahap-tahap yang saling berhubungan. Tahap-tahap dasar dalam proses permodelan matematis adalah sebagai berikut:20

1. Mengidentifikasi dan menyederhanakan (simplifikasi) situasi masalah dunia nyata. Pada tahap pertama, siswa mengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan dalam situasi dunia nyata, dan menyatakannya dalam bentuk yang setepat mungkin. Dengan observasi, bertanya, dan diskusi, mereka berpikir tentang informasi apa yang penting atau tidak dalam situasi yang

19

Richard Lesh dan Helen M. Doerr, Beyond Constructivism: Model and Modeling Perspectives on Mathematics Problem Solving, Learning, and Teaching, (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2003), p. 17

20

(39)

24

diberikan. Kemudian mereka menyederhanakan situsi dengan mengabaikan informasi yang kurang penting.

2. Membangun model matematis. Pada tahap kedua, siswa mendefinisikan variabel, membuat notasi, dan secara eksplisit mengidentifikasi beberapa bentuk dari hubungan dan sturktur matematis, membuat grafik, atau menuliskan persamaan. Melalui matematisasi, siswa didorong untuk membangun model matematis. Lesh dan Doerr menggabungkan kedua tahap ini, simplifikasi dan matematisasi, dan menamakannya sebagai description, seperti yang telah dijelaskan di atas.

3. Mentrasformasi dan memecahkan model. Pada tahap ketiga yaitu transformasi, siswa menganalisa dan memanipulasi model untuk menemukan solusi yang secara matematika signifikan terhadap masalah yang terindentifikasi. Tahap ini biasanya familier bagi siswa. Model dari tahap kedua dipecahkan, dan jawaban dipahami dalam konteks maslah yang orisinil. Siswa mungkin perlu menyederhanakan model lebih lanjut jika model tersebut tidak dapat dipecahkan.

4. Menginterpretasi model. Pada tahap ke empat yaitu interpretasi, siswa membawa solusi matematis mereka yang dicapai dalam konteks dari model matematis kembali ke situasi masalah yang spesifik (atau terformulasi). Jika model yang sudah dikonstruk telah melewati pengujian yang diberikan dalam proses validasi, model tersebut dapat dipertimbangkan sebagai model yang kuat. Seperti yang diungkapkan Lesh dan Doerr, suatu model yang bersifat sharable (yang dapat dipakai bersama) dan reusable (yang dapat digunakan kembali).

(40)

25

pendekatan MEAs juga dapat membuat siswa membiasakan masalah matematika dengan masalah kehidupan sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka.

2. Pembelajaran Konvensional

Konvensional adalah sebuah pendekatan secara klasikal yang biasa digunakan oleh setiap pendidik dalam mendidik siswanya. Pendekatan pembelajaran ini menempatkan guru sebgai inti dalam keberlangsungan proses belajar mengajar. Guru memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan proses belajat mengajar karena guru harus menjelaskan materi secara panjang lebar untuk menjamin materi tersebut dapat dipahami oleh semua peserta didik. Dengan demikian proses pembelajran lebih terpusat pada guru.

Pembelajaran konvensional jarang melibatkan pengaktifan pengetahuan awal dan jarang memotivasi siswa untuk proses pengetahuannya. Pembelajaran konvensional masih didasarkan atas asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.

Dalam pembelajaran konvensional, cenderung pada belajar hafalan yang mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen, menekankan informasi konsep, latihan soal dalam teks, serta penilaian masih bersifat tradisional dengan paper dan pinsil, tes yang hanya menuntut pada satu jawaban benar.

Beberapa ciri-ciri pada pembelajaran konvensional, yaitu:: a. Siswa adalah penerima informasi secara pasif

b. Belajar secara individual

c. Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis d. Perilaku dibangun atas kebiasaan

e. Kebenaran bersifat absolute dan pengetahuan bersifat final f. Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran

g. Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik

(41)

26

membuat proses belajar menjadi tidak efektif, karena waktu para siswa hanya dihabiskam untuk mengisi buku tugas, mendengarkan pengajaran, dan menyelesaikan latihan-latihan

3. Pemecahan Masalah Matematika

a. Hakikat Pemecahan Masalah Matematika

Dalam kehidupan sehari-hari akan muncul banyak permasalahan, tetapi justru dari permasalahan inilah nantinya yang dapat menjadikan seseorang lebih dewasa. Pendewasaan dapat dicapai dari proses belajar, yaitu belajar dari masalah, sehingga ia mempunyai banyak pengalaman dalam menyelesaikannya. Pengalaman dapat memberikan sumbangan terhadap apa yang sedang dipelajari seseorang, sehingga dapat memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi.

Masalah setiap orang akan berbeda, begitu pula cara mengatasinya. Menurut Bell dalam Isrok’atun, suatu situasi dikatakan masalah bagi seseorang jika ia menyadari keberadaan situasi tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahannya.21 Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku, maka untuk menyelesaikan suatu masalah diperlukan waktu yang relatif lebih lama dari proses pemecahan soal rutin biasa.22 Dengan demikian masalah dapat diartikan sebagai pertanyaan yang harus dijawab pada saat itu, dan kita harus mempunyai rencana solusi yang jelas.

Masalah merupakan hal yang relatif karena kemampuan setiap siswa berbeda. Jadi suatu soal dapat dianggap masalah bagi seorang siswa, tetapi mungkin saja soal tersebut merupakan soal yang rutin bagi siswa yang lain. Seperti yang ditegaskan oleh Ruseffendi, bahwa masalah dalam matematika sebagai suatu persoalan yang siswa sendiri mampu menyelesaikannya tanpa

21Isrok’atun,

Konsep Pembelajaran pada Materi Peluang Guna Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah. 2006, (file.upi.edu/Direktori/JURNAL/PENDIDIKAN_ DASAR/Nomor_14Oktober_2010/KONSEP_PEMBELAJARAN_PADA_MATERI_PELUANG_ GUNA_MENINGKATKAN_KEMAMPUAN_PEMECAHAN_MASALAH.pdf)

22

(42)

27

menggunakan cara atau algoritma yang rutin.23 Artinya siswa dituntut untuk memiliki ide dan kemampuan dalam mendapatkan solusi masalah baik dengan cara yang biasa maupun dengan cara yang tidak biasa.

Suherman dkk. menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya.24 Hal serupa juga diungkapkan oleh Ruseffendi bahwa suatu persoalan merupakan suatu masalah bagi seseorang: pertama, bila persoalan itu tidak dikenalnya; kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya; ketiga, bila ia ada niat untuk menyelesaikannya.25

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa situasi persoalan merupakan masalah bagi seseorang jika dia menyadari adanya situasi persoalan tersebut. Menyadari bahwa situasi persoalan tersebut menghendaki tindakan penyelesaian, dan ia pun mau atau perlu bertindak dan melakukan tindakan dan segera menyelesaikan masalah tersebut. Suatu persoalan mungkin menjadi masalah bagi seseorang, tetapi bukan masalah bagi orang lain. Dan suatu persoalan menjadi masalah pada saat ini tetapi belum tentu menjadi masalah pada saat berikutnya.

Menurut Hudojo dalam Hanny, syarat suatu masalah bagi seorang siswa sebagai berikut: 1) Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya; 2) Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Karena itu, faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah dipandang sebagai hal yang esensial.

Dengan demikian, masalah dapat diartikan sebagai pertanyaan yang harus dijawab pada saat itu, sedangkan kita tidak mempunyai rencana solusi yang jelas. Suatu persoalan dikatakan masalah bagi seorang siswa apabila ia tidak bisa

23

Ruseffendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalan Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. (Bandung: Tarisito, 2006), h. 216.

24

Erman Suherman, dkk., Common Text Book Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICS UPI, 2003), h. 86.

25

(43)

28

menyelesaikan persoalan tersebut dengan algoritma rutin. Selain itu, dalam menghadapi suatu masalah siswa harus dapat membedakan jenis masalah yang sedang dihadapi agar lebih mudah menentukan solusi masalahnya.

Menurut Preisseisen, keterampilan pemecahan masalah yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.26 Jadi untuk menyelesaikan suatu masalah, siswa harus mampu melihat masalah apa yang dihadapinya dan mampu menentukan jenis masalahnya sehingga dapat dengan tepat memilih strategi pemecahan masalah. Dengan dihadapkan pada suatu masalah matematika, siswa akan berusaha menemukan penyelesaiannya melalui berbagai strategi pemecahan masalah matematika.

Menurut Krulin & Rudnik dalam Haryadin, problem (masalah) adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban. Sedangkan problem solving (pemecahan masalah) adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut. Jadi aktivitas problem solving (pemecahan masalah) diawali dengan konfortasidan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah.

Memecahkan masalah berarti menemukan seluruh kemungkinan logis dalam mencari jawaban suatu masalah. Ollerton dalam Dyana menyebutkan bahwa terdapat 5 kriteria yang harus terjadi dalam menerapkan situasi pemecahan masalah, yaitu:27

a) Sebuah masalah harus dapat mengembangkan pengetahuan siswa.

b) Siswa memiliki pengetahuan dasar dalam menyelesaikan masalah, namun dalam waktu yang sama belum dapat menyelesaikan masalah dengan cara

26

Martinus Yamin, Strategi Pembelajaran Bebasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), h. 9

27

(44)

29 seperti yang sudah diketahui.

c) Menggunakan lebih banyak pertanyaan terbuka.

d) Untuk mengetahui perbedaan pemahaman siswa, masalah perlu diperluas. e) Membantu perkembangan kemandirian belajar siswa.

Padapembelajaran matematika, siswa sering dihadapkan dengan persoalan yang belum tentu dapat diselesaikannya. Namun dalam pembelajaran di kelas, siswa dituntut untuk berusaha menyelesaikan persoalan tersebut apalagi jika persoalan tersebut adalah persoalan yang tidak dapat langsung dikerjakan dengan cara biasa. Maka dari itu diperlukan kemampuan khusus untuk menyelesaikan persoalan tidak biasa tersebut dengan

Gambar

Tabel 3.1 Waktu Penelitian
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5 Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda
+7

Referensi

Dokumen terkait

respons time rata-rata yang sama, yakni 0.5 second untuk setiap perintah isolasi atau buka isolasi. Pengujian dilakukan dalam rentang waktu dua bulan, Juli dan

In order to make the current generated by the source relatively immune to the disturbance of power source, the voltage to generate the current is fed from the

Dengan demikian, berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat simpulkan bahwa sampel merupakan bentuk kecil yang mewakili suatu populasi yang sifatnya harus benar-benar representatif

Rumusan kebijakan secara tepat yang dimaksud adalah rumusan bauran kebijakan yang sinergis/selaras, dalam arti tidak saling bertentangan/menegasikan satu sama lain

Polrestabes Semarang yang turut memberikan perlindungan hukum kepada anak korban kekerasan seksual. Data yang diperoleh dari wawancara tersebut sangat berguna untuk

ApaI and FokI polymorphisms of VDR gene do not appear to be responsible for host susceptibility to pulmonary tuberculosis in the Indonesian Batak ethnic population but

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Kerja Operasional Pos Pelayanan Terpadu (Pokjanal Posyandu) dan

[r]