PENENTUAN UMUR SIMPAN JAGUNG TITI
BERDASARKAN MODEL ISOTERMI SORPSI
ANNA MAGDALENA DAULIMA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Penentuan Umur Simpan Jagung Titi Berdasarkan Model Isotermi Sorpsi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2010
Abstract
ANNA M. DAULIMA. Determination of titi corn shelf life based on sorption isotherm model. Under direction of I Wayan Budiastra and Rokhani Hasbullah.
An Experiment was conducted in order to investigate the shelf life of titi corn using Accelerate Storage Studies Method based on sorption isotherm models. The adsorption isotherms were determined at 25, 30, and 35°C. Samples were equilibrated in sorption containers containing salt solution of known water activity (0.069-0.97), and placed in temperature-controlled cabinets for approximately two weeks. The sorption capacity decreased with increasing temperature. The data obtained were fitted to several models with two parameter relationships (BET, Caurie, Chen Clayton, Halsey, Henderson, dan Oswin). In the all range of storage temperature and water activity, the Henderson model was shown to give the closest fit to the experimental data. Packaging type and storage time significantly influenced the qualities of titi corn. The shelf-life of titi corn stored at 25, 30, and 35°C and packed with HDPE were 555, 522, and 285 days; with PP were 292, 257, and 239 days; and with LDPE were 111, 104, and 91 days.
RINGKASAN
ANNA M. DAULIMA. Penentuan Umur Simpan Jagung Titi Berdasarkan
Model Isotermi Sorpsi. Dibimbing oleh I Wayan Budiastra dan Rokhani Hasbullah.
.
Kestabilan kandungan air jagung titi selama disimpan sangat penting, karena air dapat mempengaruhi aktivitas kimia dan mikrobiologis sebagai akibat dari sifat air sebagai reaktan. Bagi produk pertanian, konsep air terikat merupakan konsep yang menjelaskan interaksi air dengan produk yang populer dengan sebutan aktivitas air. Labuza telah mengembangkan stability map pada tahun 1971 yang digunakan sebagai acuan untuk melihat pengaruh aw terhadap stabilitas enzimatis, non enzimatis, dan stabilitas mikrobiologis produk pertanian. Soekarto dan Steinberg (1981) menyatakan bahwa air terikat berhubungan dengan energi pengikatan dan berdasarkan tingkat energi pengikatan tersebut wilayah air terikat dibagi menjadi tiga fraksi, yaitu fraksi air terikat primer, sekunder, dan tersier.
Isotermi sorpsi air adalah kurva yang menghubungkan kadar air dan aktivitas air suatu bahan pada suhu tertentu, dan sifatnya spesifik untuk setiap bahan. Kurva ini sangat penting dalam menentukan stabilitas jagung titi selama penyimpanan, dimana penggambaran pola stabilitasnya dilakukan dengan cara penentuan kadar air kesetimbangan produk. Dengan bantuan kurva isotermi sorpsi juga, umur simpan jagung titi dapat diprediksi. Banyak peneliti yang telah mengemukakan kurva isotermi sorpsi dari berbagai komoditas pertanian dan bahan pangan olahan, tetapi belum ada yang spesifik mengenai jagung titi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu terhadap kadar air kesetimbangan jagung titi, menentukan model persamaan isotermi sorpsi jagung tit yang tepat, menetapkan fraksi air terikat (primer, sekunder, dan tersier) dari jagung titi, menduga umur simpan jagung titi, dan mengukur pengaruh pengemasan terhadap kualitas jagung titi selama penyimpanan.
Kajian mengenai pengaruh suhu terhadap kadar air kesetimbangan menunjukkan kadar air kesetimbangan jagung titi menurun dengan meningkatnya suhu penyimpanan pada aktivitas air yang konstan, sehingga mengindikasikan bahwa jagung titi menjadi kurang higroskopis dengan meningkatnya suhu.
Penurunan kadar air kesetimbangan jagung titi karena peningkatan suhu penyimpanan, berhubungan dengan kelembaban udara ruang penyimpanan. Peningkatan suhu menyebabkan menurunnya kelembaban, sehingga jumlah air yang diserap oleh bahan juga lebih sedikit bila dibanding dengan bahan yang disimpan pada suhu yang lebih rendah.
nilai rata-rata 8.79%. Selain model Henderson, model Chen-Clayton juga cukup baik mempresentasikan data percobaan dengan nilai P berkisar antara 8.31 – 10.15%.
Daerah air terikat primer (ATP) jagung titi yang disimpan pada suhu 25, 30, dan 35°C berturut-turut adalah sebesar 5.47%, 5.03%, dan 3.35% yang berkeseimbangan dengan aw 0.23, 0.19, dan 0.12. Fraksi air terikat sekunder (ATS) jagung titi yang disimpan pada suhu 25°C (18.25%bk) berkeseimbangan dengan aw 0.53, untuk nilai fraksi air terikat sekunder jagung titi yang disimpan pada suhu 30°C (13.95%bk ) berkeseimbangan dengan aw 0.41, dan nilai fraksi air terikat sekunder jagung titi yang disimpan pada suhu 35°C (13.02%bk) berkeseimbangan dengan aw 0.41. Dengan demikian, terlihat bahwa semakin rendah suhu penyimpanan, semakin tinggi nilai fraksi air terikat dan aw yang merupakan batas antara daerah fraksi air terikat.
Hasil pendugaan umur simpan dengan model Labuza menunjukkan bahwa umur simpan jagung titi semakin meningkat dengan menurunnya suhu penyimpanan dan permeabilitas (k/x) kemasan. Pada suhu 25°C dalam kemasan LDPE, PP, dan HDPE, umur simpan berturut-turut adalah 111, 292, dan 555 hari. Pada suhu penyimpanan 30°C jagung titi yang dikemas dengan LDPE, PP, dan HDPE diperkirakan dapat disimpan berturut-turut hingga 104, 257, dan 522 hari. Sedangkan jagung titi yang disimpan pada suhu 35°C berumur 91, 239, dan 285 hari dengan kemasan LDPE, PP, dan HDPE.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PENENTUAN UMUR SIMPAN JAGUNG TITI
BERDASARKAN MODEL ISOTERMI SORPSI
ANNA MAGDALENA DAULIMA
Thesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master of Science pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tesis : Penentuan Umur Simpan Jagung Titi Berdasarkan
Model Isotermi Sorpsi
Nama : Anna Magdalena Daulima
NRP : F 051040031
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M. Agr Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, Ms
i
PRAKATA
Segala puji, hormat, dan sembah penulis panjatkan kepada Tuhan YESUS
KRISTUS atas kekuatan, kasih, dan berkatNYA yang melimpah sehingga karya ilmiah
yang berjudul: “Penentuan Umur Simpan Jagung Titi Berdasarkan Model Isotermi
Sorpsi” ini berhasil diselesaikan, setelah melewati rangkaian penelitian dan proses
penulisan yang cukup lama.
Tulisan ini berhasil diselesaikan bukan karena kemampuan penulis semata, tetapi
karena dukungan dan inspirasi dari banyak pihak. Saya ingin menyampaikan
penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M. Agr, Bapak Dr. Ir. Rokhani
Hasbullah, M. Si, dan Bapak Dr. Ir. Suroso, M. Agr (alm) selaku dosen pembimbing.
Terimakasih atas semua inspirasi, kritikan, saran, masukan, perhatian, dan waktu yang
telah diberikan pada saya selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terimakasih juga
saya haturkan kepada Ketua Program Studi Teknologi Pasca Panen, SPS IPB, yang telah
mengulurkan bantuan disaat saya berada pada titik terendah dan berpikir untuk mundur.
Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur Politeknik
Pertanian Negeri Kupang dan Ketua Jurusan Peternakan Politeknik Pertanian Kupang
yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada saya.
Ungkapan terimakasih juga saya sampaikan kepada kedua orang tua, mertua,
adik-adik dan keponakan. Terimakasih atas dukungan doa dan dana dalam
menyelesaikan studi di IPB.
Akhirnya dengan penuh syukur saya persembahkan hasil kerja saya kepada
Otniel Sekar, S.Pt suami saya dan anak saya Joshua Imanuel Sekar yang selalu setia
mendampingi saya untuk menghadapi segala masalah dan tantangan. Terimakasih atas
semua kasih, pengertian, kesabaran, dan dukungan dana yang telah diberikan sehingga
penelitian dan penulisan tesis ini bisa dirampungkan. Semoga karya ini bermanfaat bagi
yang membacanya.
Bogor, Juni 2010
ii
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Kupang, 8 Mei 1971 dan merupakan anak kedua dari
pasangan Johanes Constantein Daulima dan Emma Lay. Pendidikan formal ditempuh
Penulis di SDN Oetona Kupang, SMPN I Kupang, SMAN I Kupang, dan menyelesaikan
S1 pada Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang dan lulus pada tahun
1996. Penulis kemudian melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun
2004. Biaya pendidikan pascasarjana diperoleh dari DUE-LIKE, Departemen Pendidikan
Nasional.
Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan tesis yang berjudul
“Penentuan Umur Simpan Jagung Titi Berdasarkan Model Sorpsi Isotermi” dibawah
iii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………. vi
DAFTAR GAMBAR……… vii
DAFTAR LAMPIRAN……… x
I. PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang………... 1
B. Tujuan Penelitian……… 3
II. TINJAUAN PUSTAKA………... 4
A. Tumbuhan Jagung..……….. 4
B. Teknologi Pengolahan Jagung……….. 6
1. Penggilingan basah...……….. 7
2. Penggilingan kering………. 7
3. Produk pangan berbasis jagung yang dimasak dalam alkali….... 7
4. Jagung titi………. 8
C. Penurunan Mutu Jagung Titi………. 9
D. Air Terikat………. 10
E. Aktivitas Air……….. 13
F. Kadar Air Kesetimbangan………. 15
G. Isotermi Sorpsi Air ………17
H. Model Matematik Isotermi Sorpsi………. 19
I. Kemasan………. 23
1. HDPE………... 25
2. LDPE……… 26
3. PP……….. 26
iv
4. Penentuan fraksi air terikat jagung titi……… 33
5. Pendugaan umur simpan………. 33
a. Penentuan kadar air kritis……….. 34
b. Penentuan permeabilitas kemasan………. 34
c. Penentuan nilai slope kurva isotermi sorpsi……….. 35
v
D. Fraksi Air Terikat Jagung Titi……….. 57
1. Fraksi air terikat primer……….. 57
2. Fraksi air terikat sekunder……….. 59
3. Fraksi air terikat tersier………... 61
4. Susunan tiga daerah fraksi air terikat……….. 63
E. Pendugaan Umur Simpan Jagung Titi………... 66
F. Pengaruh Penyimpanan dan Pengemasan Terhadap Kualitas Jagung Titi………..70
G. Pengaruh Penyimpanan dan Pengemasan Terhadap Sifat Inderawi Jagung Titi……… ……….73
V. SIMPULAN DAN SARAN...……… 76
DAFTAR PUSTAKA……… 79
vi
DAFTAR TABEL
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Contoh varietas jagung yang ditanam di Indonesia………. 5
Tabel 2. Kandungan gizi berbagai macam jagung dalam 100g
Bahan……….. 6
III. METODOLOGI PENELITIAN
Tabel 3. Aktivitas air beberapa larutan garam jenuh pada suhu 25, 30, Dan 35°C………... 30
Tabel 4. Linearisasi model-model isotermi sorpsi………. 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 5. Persamaan regresi dan fraksi air terikat primer jagung titi……...59
Tabel 6. Batas-batas fraksi air terikat pada jagung titi yang disimpan Pada suhu 25, 30, dan 35°C……….64
Tabel 7. Umur simpan jagung titi yang dikemas dengan HDPE, PP, dan LDPE……… 69
Tabel 8. Perubahan kadar air, protein, dan lemak jagung titi selama
penyimpanan pada suhu ruang………. 71
Tabel 9. Perubahan kadar abu dan total kapang jagung titi selama
viii
Gambar 16. Perbandingan data percobaan dan data prediksi KAK menggunakan model Oswin pada jagung titi yang
disimpan pada suhu a) 25°C dan b) 30°C dan c) 35°C……... 56 Gambar 17. Penentuan kadar air terikat primer jagung titi yang disimpan
Pada suhu a) 25°C, b) 30°C, dan c) 35°C ………….………... 58
Gambar 18. Nilai fraksi air terikat sekunder jagung titi pada suhu 25°C……60 Gambar 19. Nilai fraksi air terikat sekunder jagung titi pada suhu 30°C……60
Gambar 20. Nilai fraksi air terikat sekunder jagung titi pada suhu 35°C……61 Gambar 21. Persamaan regresi fraksi air terikat tersier jagung titi pada
suhu 25°C dengan persamaan polinomial ordo 2………62 Gambar 22. Persamaan regresi fraksi air terikat tersier jagung titi pada
suhu a) 30°C dan b) 35°C dengan persamaan polinomial
ordo 2………...………63 Gambar 23. Pembagian fraksi air terikat jagung titi yang disimpan pada suhu a) 25°C, b) 30°C, dan b) 35°C ……….. 65 Gambar 24. Grafik hubungan antara kadar air jagung titi dengan skor
penilaian tekstur jagung titi hasil uji inderawi………68 Gambar 25. Hasil uji inderawi terhadap warna jagung titi pada umur
simpan 5, 6, dan 7 bulan……….………74 Gambar 26. Hasil uji inderawi terhadap aroma jagung titi pada umur
simpan 5, 6, dan 7 bulan……….……….. 75
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Borang penetuan parameter kritis jagung titi……….. 84
Lampiran 2. Rekapitulasi uji inderawi terhadap tekstur jagung titi Selama 8 jam pada suhu dan RH ruang………86
Lampiran 3. Penentuan KAK dan nilai P jagung titi berdasarkan Model BET ……….87
Lampiran 4. Penentuan KAK dan nilai P jagung titi berdasarkan Model Caurie ……….. 90
Lampiran 5. Penentuan KAK dan nilai P jagung titi berdasarkan Model Chen Clayton ……….. 93
Lampiran 6. Penentuan KAK dan nilai P jagung titi berdasarkan Model Halsey ………..…96
Lampiran 7. Penentuan KAK dan nilai P jagung titi berdasarkan Model Henderson ………..…. 99
Lampiran 8. Penentuan KAK dan nilai P jagung titi berdasarkan Model Oswin ……… 102
Lampiran 9. Penentuan permeabilitas kemasan ……… 103
Lampiran 10. Penentuan kadar air kritis jagung titi ……….. 106
Lampiran 11. Tabel uap air (Labuza, 1984) ……….. 107
Lampiran 12. Sidik ragam kadar air jagung titi yang dikemas dengan LDPE, PP, dan HDPE, pada beberapa periode simpan ……….. 108
Lampiran 13. Sidik ragam kadar protein jagung titi yang dikemas dengan LDPE, PP, dan HDPE, pada beberapa periode simpan …….... 109
Lampiran 14. Sidik ragam kadar lemak jagung titi yang dikemas dengan LDPE, PP, dan HDPE, pada beberapa periode simpan …….... 111
Lampiran 15. Sidik ragam kadar karbohidrat jagung titi yang dikemas dengan LDPE, PP, dan HDPE, pada beberapa periode simpan ……….….... 112
xi
Lampiran 17. Sidik ragam total kapang jagung titi yang dikemas dengan LDPE, PP, dan HDPE, pada beberapa periode
simpan ……….….... 115
Lampiran 18. Hasil uji inderawi terhadap warna jagung titi berdasarkan
metode tahapan berjenjang……….. 117
Lampiran 19. Hasil uji inderawi terhadap aroma jagung titi berdasarkan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jagung titi adalah produk olahan jagung yang dipipihkan dan dikonsumsi oleh
masyarakat pulau Alor dan Flores Timur NTT sebagai makanan pokok, selain beras dan
singkong. Produk ini diproduksi oleh ibu-ibu rumah tangga di kedua daerah tersebut
untuk dikonsumsi dan dijual. Jagung titi dibedakan atas dua jenis, yaitu jagung titi
kuning dan putih dengan rasa yang tidak berbeda. Jagung titi putih lebih banyak beredar
di pasaran daripada jagung titi kuning, karena masyarakat lebih menyukai jagung titi
putih. Bahan utama pembuatan jagung titi adalah jagung arjuna pipilan, dengan tahapan
pembuatan meliputi penyangraian dalam periuk tanah dan dilanjutkan dengan pemipihan
jagung sangrai dengan bantuan dua buah batu datar yang licin permukaannya.
Kestabilan kandungan air jagung titi selama disimpan sangat penting, karena air dapat
mempengaruhi aktivitas kimia dan mikrobiologis sebagai akibat dari sifat air sebagai
reaktan. Bagi produk petanian, konsep air terikat merupakan konsep yang menjelaskan
interaksi air dengan produk yang populer dengan sebutan aktivitas air. Labuza telah
mengembangkan Stability map pada tahun 1971 yang digunakan sebagai acuan untuk
melihat pengaruh aw terhadap stabilitas enzimatis, non enzimatis, dan stabilitas
mikrobiologis produk pertanian. Soekarto dan Steinberg (1981) menyatakan bahwa air
terikat berhubungan dengan energi pengikatan dan berdasarkan tingkat energi pengikatan
tersebut wilayah air terikat dibagi menjadi tiga fraksi, yaitu fraksi air terikat primer,
sekunder, dan tersier.
Pengontrolan kandungan air dan suhu selama penyimpanan sangat penting, karena
dapat terjadi peningkatan atau penurunan kadar air selama penyimpanan. Secara alami,
komoditas pertanian seperti jagung titi, baik sebelum maupun sesudah diolah bersifat
higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekeliling, dan juga sebaliknya dapat
melepaskan sebagian air yang terkandung di dalamnya ke udara, tergantung pada suhu
dan kelembaban relatif ruang penyimpanan. Pola penyerapan dan pelepasan uap air oleh
2
Isotermi sorpsi air adalah kurva yang menghubungkan kadar air dan aktivitas air
suatu bahan pada suhu tertentu, dan sifatnya spesifik untuk setiap bahan. Kurva ini
sangat penting dalam menentukan stabilitas jagung titi selama penyimpanan, dimana
penggambaran pola stabilitasnya dilakukan dengan cara penetuan kadar air
kesetimbangan produk. Dengan bantuan kurva isotermi sorpsi juga, umur simpan jagung
titi dapat diprediksi. Banyak peneliti yang telah mengemukanan kurva isotermi sorpsi
dari berbagai komoditas pertanian dan bahan pangan olahan, tetapi belum ada yang
spesifik mengenai jagung titi.
Bentuk kurva isotermi sorpsi air khas untuk setiap jenis produk pertanian dan banyak
peneliti telah mengembangkan persamaan model matematis dari isotermi sorpsi guna
mendeskripsikan karakteristik isotermi sorpsi produk pertanian. Ada 77 model isotermi
sorpsi air bahan biologis (Van den Berg dan Bruin, 1981), tetapi ketepatan
masing-masing model dalam mendeskripsikan karakteristik isotermi sorpsi air jagung titi harus
diuji. Model-model yang paling banyak digunakan dalam berbagai literatur adalah model
BET yang didasarkan pada lapisan monolayer, model Caurie, Chen Clayton, Halsey, dan
Oswin yang mampu mendeskripsikan isotermi sorpsi produk pada selang aw 0.01 hingga
0.85, serta model Henderson yang mampu mendeskripsikan karakteristik hidratasi produk
pertanian yang bersifat higroskopis.
Pendugaan umur simpan bahan pangan dapat diterapkan dengan dua metode, yaitu
Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerate Storage Sudies (ASS). ESS adalah
penentuan umur simpan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal
sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga produk
dinyatakan rusak. Metode ini sangat akurat, namun pelaksanaannya memerlukan waktu
yang panjang dan analisis karakteristik mutu yang dilakukan relatif banyak. Sedangkan
metode ASS atau metode akselerasi diterapkan dengan cara mempercepat penurunan
mutu produk dengan menyimpan produk pada kondisi ekstrim (suhu dan kelembaban
tinggi), sehingga penentuan umur simpan menjadi lebih singkat. Ada dua model dalam
metode akselerasi, yaitu model arhenius yang sangat cocok untuk memprediksi umur
simpan produk yang sangat sensitive terhadap suhu dan model kadar air kritis yang baik
digunakan untuk produk pangan yang sensitif terhadap perubahan kadar air produk
3
B. Tujuan
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan jagung titi
berdasarkan model isotermi sorpsi dan secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengkaji pengaruh suhu terhadap kadar kesetimbangan jagung titi
2. Menentukan model persamaan isotermi sorpsi air jagung titi yang tepat
3. Menetapkan batas fraksi air terikat (primer, sekunder, dan tersier) dari jagung titi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tumbuhan Jagung
Jagung merupakan salah satu tanaman serealia penting dan merupakan komoditi pangan yang memiliki produksi yang cukup tinggi di dunia disamping gandum dan beras. Soeprapto (2001) menyatakan bahwa sebagai bahan makanan, nilai gizi jagung tidak kalah bila dibandingkan dengan beras. Selain dikonsumsi langsung, jagung mempunyai peranan penting dalam industri minyak goreng, margarin, bakery, es krim, dan industry pakan.
Jagung adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang sering disebut maize, berasal dari Mexico Amerika Tengah, kemudian menyebar ke seluruh daerah sub tropik dan tropik, termasuk Indonesia (Bogasari, 2002). Jagung adalah tanaman berumah satu (monoecioes) dan termasuk famili rumput-rumputan (Gramineae) (Rukmana, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa susunan tubuh atau morfologi jagung terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah. Sistem perakaran tanaman jagung terdiri atas akar-akar seminal, koronal, dan akar-akar udara. Batang tanaman beruas-ruas dengan jumlah
ruas bervariasi antara 10-40 ruas. Tanaman jagung umumnya tidak bercabang kecuali pada jagung manis sering tumbuh beberapa cabang yang muncul dari pangkal batang. Buah jagung terdiri dari tongkol, biji dan daun pembungkus atau klobot. Biji jagung mempunyai bentuk, warna, dan kandungan endosperm yang bervariasi tergantung pada jenisnya. Pada umunya biji jagung tersusun dalam barisan yang melekat secara lurus atau berkelok-kelok dan berjumlah antara 8-20 baris biji. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama yaitu kulit biji (seed coat), endosperm, dan embrio.
5 contoh beberapa varietas jagung yang ditanam di Indonesia, dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Contoh varietas jagung yang ditanam di Indonesia
Tipe Biji Varietas
Mutiara (flint) Metro, Bogor IMR4, Genjah Kertas,
Arjuna,Sadewa,Bromo,Abimanyu, dan Nakula
Setengah mutiara (semi flint) Harapan, Hibrida C1, Pioneer-1, IPB-4, C-2,
dan Semar 2
Gigi kuda (dent) Kania putih dan Semar-1
Setengah gigi kuda (semi dent) Pandu
Sumber : Rukmana, 2005
Komposisi fisik ke-4 jenis biji jagung diatas relatif sama, dimana setiap bijinya terdiri atas lapisan perikarp (5%), endosperm (82%), dan lembaga (12%) serta bagian pangkal (1%). Perikarp merupakan lapisan paling luar biji. Perikarp menempel pada lapisan aleuron. Perikarp berkontribusi sekitar 5-6% dari berat biji kering. Perikarp terdiri atas sel-sel selulosa. Perikarp mempuyai ketebalan 25-140 µm. Berat kering perikarp kurang dari 2% total berat biji.
Endosperm mengandung pati 86-89% dan beratnya sekitar 82-84% dari berat
kering biji. Endosperm berpati terdiri atas dua tipe yaitu endosperm bertepung (floury endosperm) dan endosperm bertanduk (horny endosperm). Endosperm bertepung bewarna putih dan terdapat pada bagian tengah biji dekat dengan lembaga. Endosperm bertanduk mengandung matrik protein yang lebih tebal sehingga teksturnya keras. Lembaga mempunyai kontribusi 8-10% berat biji. Lembaga merupakan sumber nutrisi dan hormon yang akan diaktifkan oleh enzim-enzim selama perkecambahan.
6 Tabel 2. Kandungan gizi berbagai macam jagung dalam 100g bahan
Kandungan gizi Jagung muda Jagung kuning Jagung kuning Maizena kuning kering panen kering giling
Karbohidrat (g) 33.1 63.6 72.4 85
Protein (g) 4.7 7.9 8.7 0.3
Lemak (g) 1.3 3.4 4.5 0
Air (g) 60 24 13.1 14
Kalsium (mg) 6 9 9 20
Fosfor (mg) 118 148 380 30
Zat besi (mg) 0.7 2.1 4.6 1.5
Vitamin A (SI) 435 440 350 0
Vitamin B1 (mg) 0.24 0.33 0.27 0
Vitamin C (mg) 8 0 0 0
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (2005).
B. Teknologi Pengolahan Jagung
Jagung dapat dimanfaatkan dengan cara dikonsumsi langsung, dengan perlakuan minimal atau pengolahan sederhana. Konsumsi secara langsung meliputi pakan dan pemanfaatan langsung sweet corn, pop corn, jagung yang dimasak dalam basa (alkali-cooked corn) dan produk pangan lain yang diolah dengan batu tradisional (Sunarti, 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa pemanfaatan lain melibatkan satu atau lebih proses pengolahan yang meningkatkan nilai tambah produk, misalnya
7 1. Penggilingan basah
Pegolahan jagung dengan penggilingan basah merupakan salah satu cara untuk memisahkan pati dari biji jagung. Prinsip utama dalam proses ini adalah steeping
(perendaman) dalam air yang mengandung SO2 dan diikuti degan proses penggilingan (Sunarti, 2002). CRA (2003) menyatakan bahwa sebelum digiling, jagung harus dilunakkan dengan proses perendaman, agar proses pemisahan komponen-komponen jagung terjadi secara optimum. Perendaman dilakukan dengan menggunakan air hangat (48-52°C) yang mengandung 0.1-0.3% SO2 selama 30-40 jam. Proses perendaman ini akan melunakkan protein gluten dan melepas kulit, serta melarutkan
garam, karbohidrat terlarut, dan protein, sehingga menghasilkan empat jenis produk utama, yaitu starch (tepung pati), gluten (protein), fiber (serat), dan germ oil
(minyak).
2. Penggilingan kering
Penggilingan kering dilakukan dengan menggunakan biji jagung dengan kadar air tidak lebih dari 21%, lalu dimasukan dalam alat yang bekerja dengan sistem rotasi agar hull dan germ lepas dari endospermnya. Kemudian biji dikeringanginkan hingga berkadar air 15%, agar memudahkan penggilingan dan pengayakan, sedangkan hull dibuang dengan bantuan udara. Penggilingan endosperm diatur untuk mendapatkan bentuk pipilan, serpihan, atau dalam bentuk tepung jagung (Indah, 2003).
3. Produk pangan berbasis jagung yang dimasak dalam alkali
8 4. Jagung titi
Jagung titi adalah makanan tradisional yang bentuknya menyerupai emping dengan diameter ±2cm dan ketebalan ±1mm, berwarna putih atau kuning tergantung warna jagung yang digunakan untuk membuat jagung titi tersebut. Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa jagung titi adalah salah satu produk kering dengan ciri-ciri kering khasnya ialah berwarna putih, kering, agak renyah, mudah dipatahkan, dan baunya khas bau jagung titi. Jagung yang biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan jagung titi adalah jagung varietas arjuna (Zea mays indurater).
Gambar 1. Proses Pembuatan jagung titi
9 lalu dipipihkan dengan menggunakan dua buah batu ceper yang halus permukaannya. Setelah proses penyangraian dan pemipihan, kadar air jagung titi berkurang hingga menjadi 3-4%. Adapun cara pembuatan jagung titi dapat dilihat pada Gambar 1.
Jagung titi dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh masyarakat Alor dan Flores Timur, serta dikonsumsi sebagai cemilan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Sebagai makanan pokok, produk ini biasanya dikonsumsi langsung dengan campuran kacang kenari, disajikan dengan teh atau susu dimana sesaat sebelum dinikmati jagung titi direndam dalam teh atau susu tersebut, dan untuk sebagian kecil masyarakat, disajikan dengan semangkuk simple sup. Sebagai
cemilan, jagung titi biasanya digoreng terlebih dahulu lalu diberi aneka rasa.
Produksi jagung titi dilakukan hampir setiap hari oleh ibu-ibu rumah tangga untuk dikonsumsi dan dijual di pasar-pasar tradisional, sepanjang bahan baku masih tersedia. Cara penjualan dilakukan dengan sistem curah atau tidak dikemas. Kelebihan produksi jagung titi biasanya disimpan dalam kaleng, toples, dan kantong kresek untuk dikonsumsi.
C. Penurunan Mutu Jagung Titi
Produk pangan olahan sangat sensitif terhadap perubahan kadar air yang dapat meningkatkan laju reaksi kerusakan dengan cepat. Robertson (1993) mengelompokkan produk pangan ke dalam dua kelompok dalam hubungan dengan perubahan kadar air selama penyimpanan yaitu; 1) produk pangan yang menyerap uap air dan 2) adalah produk pangan yang mengalami kehilangan kandungan air. Makanan kering mengalami kerusakan apabila menyerap uap air yang berlebihan. Kerusakan ini cukup komplek karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara spontan seperti : reaksi pencoklatan non-enzimatis dan reaksi pembentukan off-flavour.
Proses penentuan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data-data mengenai: 1) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas, 2) unsur-unsur dalam produk yang secara langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk, 3) mutu produk dalam kemasan, 4) bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan, 5)
10 diterima, 7) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan, 8) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi keutuhan kemasan, dan 9) sifat sekat lintasan (barier) pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk (Hine, 1987).
Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut mulai memperlihatkan tanda-tanda penyimpangan sifat –sifat produk yang diinginkan. Perubahan fisik sangat nyata mempengaruhi produk bumbu-bumbu kering apabila kadar airnya meningkat selama penyimpanan. Bumbu-bumbu instan akan mengalami aglomerasi apabila mengalami peningkatan kadar air. Hal ini disebabkan olah meningkatnya
daya kohesi ( cohesiveness) dan kompresibilitas serta menurunnya densitas kamba. Pada produk makanan jenis biskuit, kerusakannya lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Kerenyahan makanan kudapan (snack food) dengan uji organoleptik melaporkan bahwa kerenyahan makanan kudapan menurun dengan meningkatnya aw produk. Apabila aw mencapai 0.35-0.50 maka kerenyahan, yang merupakan ciri khas produk pangan ringan menjadi hilang.
Jagung titi adalah salah satu produk kering dengan ciri-ciri khasnya ialah berwarna putih, kering, agak renyah, mudah dipatahkan, dan , baunya khas bau jagung titi. Bila terjadi penyimpangan dari ciri-ciri yang telah disebutkan tadi atau atau jagung titi tersebut kehilangan sifat renyahnya atau menjadi liat, baunya menyimpang, warnanya berubah, maka jagung titi tersebut telah mencapai kadar air kritisnya.
D. Air Terikat
11 Air merupakan komponen utama produk pertanian yang berkontribusi dalam proses reaksi kimia, terutama dalam proses pembekuan, pengeringan, dan evaporasi. Kontribusi air dalam produk pertanian sangat kompleks, dimana air dapat berfungsi sebagai pelarut, pengencer, dan reaktan. Air sangat berpengaruh terhadap atribut kinestetik bahan pangan selama konsumsi, terutama sifar teksturnya sehingga terbukti bahwa air mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu bahan pangan.
Gambar 2. Ikatan hidrogen (wprin.com)
Air merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penampakan, tektur, cita rasa, nilai gizi pangan, dan aktivitas metabolisme. Troller dan Christian (1978) mengemukakan bahwa kadar air yang tinggi menunjukkan kapasitas tingkat kerusakan yang tinggi baik secara biologi atau kimiawi. Air dalam bahan pangan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Air dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. Menurut Barbosa et al. (1996), air bebas atau air terikat didefenisikan sebagai air dalam bahan pangan yang bersifat sebagai air murni. Air tidak terikat akan dipindahkan selama proses pengeringan pada periode laju konstan apabila bahan pangan tersebut tidak berpengaruh terhadap proses pengeringan.
Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan bagian seutuhnya dari bahan itu sendiri. Secara konvensional air dalam bahan pangan dibagi menjadi tiga. Pertama, air terikat secara kimia atau air konstitusi yaitu air yang terikat dengan senyawaan bahan pangan seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Kedua, adalah air terikat secara fisik, yaitu air yang terikat
12 dalam rongga-rongga kapiler yang halus dari bahan pangan yang dikenal dengan sebutan air kapiler, air yang terlarut dalam bahan padat atau air terlarut, serta air yang terikat pada permukaan yang jumlahnya dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu lingkungan yang disebut air adsorpsi. Ketiga adalah air bebas, sifatnya sama dengan air adsorpsi, potensial bagi reaksi biokoimia, reaksi mikroba, dan reaksi fisik.
Fennema (1996) menyatakan bahwa air terikat adalah yang tidak dapat membeku pada suhu pembekuan air normal, bahkan sampai suhu -40ºC. Selanjutnya dikatakan bahwa air terikat adalah air yang tidak dapat digunakan sebagai pelarut. Soekarto (1978) menyatakan bahwa air terikat adalah air yang tidak dapat berperan dalam
reaksi enzimatik dan pertumbuhan jazad renik, dan merupakan air yang memiliki tekanan uap yang lebih rendah serta memiliki kapasitas panas dan berat jenis yang lebih tinggi dibanding dengan air bebas atau air murni.
Soekarto dan Steinberg (1981) menyatakan bahwa energi pengikatan dalam bahan pangan berhubungan dengan air terikat bahan tersebut, dimana energi pengikatan merupakan istilah termodinamika yang menyatakan perbedaan antara panas absorpsi oleh solid dengan panas kondensasi uap air pada suhu yang sama. Berdasarkan tingkat energi pengikatan, wilayah air terikat dibagi menjadi tiga fraksi, yaitu fraksi air terikat primer, fraksi air terikat sekunder, dan fraksi air terikat tersier.
13 Labuza (1984) membagi kurva isotermi sorpsi air bahan pangan menjadi tiga wilayah. Wilayah pertama berada pada selang aw 0.00-0.20 yang disebut sebagai daerah adsorpsi monolayer atau lapisan tunggal, dimana lapisan air pada selang ini bersifat ionik sehingga memiliki ikatan yang sangat erat, merupakan air adsorpsi atau air yang terikat pada permukaan, sangat stabil dan tidak dapat dibekukan pda suhu berapapun. Air yang terkandung dalam gugus ini disebut sebagai air terikat dengan energi sorpsi yang sangat tinggi. Wilayah kedua berada pada selang aw 0.20-0.60, merupakan lapisan air yang terletak di atas lapisan monolayer dan disebut lapisan multilayer atau lapisan jamak. Air yang terkandung pada daerah ini kurang erat
terikat bila dibandingkan dengan air yan terikat pada daerah monolayer. Wilayah ketiga berada pada aw>0.6 yang merupakan daerah kondensasi kapiler, dan mengandung air bebas yang cukup banyak, sehingga kondusif bagi pertumbuhan mokroorganisme. Air yang terkandug dalam daerah ini sifatnya menyerupai air bebas dengan energi adsoprsi sama dengan energi penguapan.
E. Aktivitas Air
Kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan suatu produk pangan (Troller dan Christian, 1978). Selanjutnya dikatakan bahwa tingkat mobilitas dan peranan air dalam bahan biasanya diunyatakan dalam aktivitas air (aw), yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan untuk reaksi oksidasi lemak, reaksi enzimatis, reaksi pencoklatan non enzimatis atau jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Syarief dan Halid (1993) juga menyatakan bahwa istilah aktivitas air juga digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik.
14
/ ° (1)
Berdasarkan hukum Raoult, aktivitas air dinyatakan dalam persamaan yang menunjukkan bahwa aktivitas air berbanding lurus dengan jumlah mol zat terlarut dan berbanding terbalik dengan jumlah mol pelarut. Hukum ini hanya berlaku untuk larutan, tidak berlaku untuk bahan padat. Hukum ini dapat dinyatakan dengan persamaan berikut
aw = (2)
Aktivitas air juga merupakan perbandingan antara uap air larutan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama
aw = (3)
Pada keadaan ekuilibrium atau setimbang maka aw bahan akan sama dengan kelembaban nisbi udara (equilibrium relative humidity) sekelilingnya:
aw = (4)
Gambar 4. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw ( Labuza, 1971 di dalam Fennema 1996)
Syarief dan Halid (1993) menjabarkan tentang pengukuran kandungan air bahan pangan yang digolongkan ke dalam 2 kelompok yaitu aw dan kadar air. Pengukuran aw
Pengaruh aktivitas air terhadap laju reaksi
Stabilitas isotherm Autooksidasi
Pencoklatan
non-enzimatik Oksidasi
Aktivitas enzim
Proliferasi Mikroorganisme
Aktivitas air (%RH)
K
a
15 mencerminkan air bebas yang ada dalam bahan pangan atau kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan pangan, sedangkan kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung dalam bahan pangan, tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air. Pengukuran aw dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan atau dapat pula diduga dengan menggunakan metode interpolasi grafik. Metode interpolasi grafik adalah metode yang mudah dan murah, dan dilakukan dengan cara menempatkan sampel makanan yang akan diduga aw-nya dengan berat tertentu ke dalam eksikator yang berisi larutan garam jenuh dengan kelembaban tertentu. Eksikator disimpan pada suhu tertentu, selama jangka waktu tertentu, lalu
dilakukan penimbangan berat sampel secara berkala. Dari hasil penimbangan tersebut akan diperoleh data penambahan atau pengurangan berat, lalu data tersebut bersama data kelembaban eksikator diplot pada grafik.
F. Kadar Air Kesetimbangan
Kadar air kesetimbangan (equilibrium moisture content) suatu bahan didefenisikan sebagai tingkat kadar air dari bahan tersebut setelah berada pada suatu kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1982). Sedangkan menurut Heldman dan Singh (1981), kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air bahan dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan tersebut disebut kelembaban relatif kesetimbangan (equilibrium relative humidity).
16 Kadar air kesetimbangan penting untuk menentukan suatu bahan pangan akan menyerap atau melepaskan air pada suatu kondisi suhu dan kelembaban relatif (RH) ruang penyimpanannya (Henderson dan Perry, 1976). Kadar air kesetimbangan juga sangat penting dalam pengeringan, karena akan menentukan kadar air terendah yang dapat dicapai pada proses pengeringan. Pada penyimpanan, kadar air kesetimbangan menentukan kadar air terendah yang dapat dipertahankan sesuai dengan kondisi lingkungan tempat penyimpanan dilakukan. Selanjutnya dikatakan bahwa proses pengeringan dan penyimpanan bahan pangan sangat terkait dengan kondisi kadar air kesetimbangan dan RH udara sekitar bahan.
Setijahartini (1985) menyatakan bahwa bahan basah di dalam ruangan tertutup akan mengalami penguapan pada seluruh permukaannya, tetapi pada suatu saat penguapan ini akan terhenti karena molekul-molekul air yang menguap dari bahan sama jumlahnya dengan molekul-molekul air yang diserap oleh permukaan bahan tersebut. Keadaan ini dikatakan sebagai keadaan kesetimbangan antara penguapan dan pengembunan. Sebaliknya produk kering dalam ruangan tertutup akan mengalami penyerapan air dan akan berhenti sampai mencapai kesetimbangan.
17 yang digunakan. Menurut Hall (1980) metode statis digunakan lebih luas walau membutuhkan waktu penyetimbangan yang lebih lama.
Kadar air kesetimbangan bahan pangan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif ruang penyimpanan. Corzo dan Fuentes (2004) mengemukakan efek peningkatan suhu penyimpanan terhadap kadar air kesetimbangan pigeon pea dan kacang lima adalah semakin tinggi suhu penyimpanan kadar, air kesetimbangan bahan berkurang. Korelasi negatif antara peningkatan suhu penyimpanan dan kadar air kesetimbangan juga terjadi pada tepung jagung yang disimpan pada suhu 30, 45, dan 60°C (Peng et al., 2009). Hasil eksperimen Soleimani et al. (2006) juga
menunjukkan penurunan nilai kadar air kesetimbangan bibit jagung hybrid 704 dan hybrid 647 yang diakibatkan oleh peningkatan suhu penyimpanan dengan kisaran suhu 5 hingga 55°C.
Walaupun banyak penelitian yang menunjukkan korelasi negatif antara suhu penyimpanan dan kadar air kesetimbangan produk, namun hal yang berbeda terjadi pada kadar air kesetimbangan mangga kering (Diamante et al., 2004). Dimana kadar air kesetimbangan mangga kering yang disimpan pada aktivitas air dibawah 0.50 meningkat saat suhu penyimpanan dinaikkan, namun kondisi tersebut tidak berlaku untuk produk yang sama yang disimpan pada aktivitas air diatas 0.50, dimana kadar air kesetimbangan produk meningkat seiring dengan peningkakatan suhu penyimpanan.
G. Isotermi Sorpsi Air
18 udara ke dalam bahan pangan dan sebaliknya pada proses desorpsi bahan pangan melepaskan uap air ke udara.
Menurut Van den Berg dan Bruin (1981), istilah isotermi sorpsi air menunjukkan semua proses dimana padatan bergabung dengan molekul air secara reversibel, dan prosesnya melibatkan proses adsorpsi fisik dan kondensasi kapiler pada permukaan padatan.
Dalam rangka pendugaan umur simpan produk pangan isotermi sorpsi air (ISA) dapat digunakan yaitu dengan menggunakan metode ASS (Accelerated Shelf life Testing) yaitu penyimpanan produk pangan pada kondisi lingkungan yang lebih tinggi
dari kondisi penyimpanan normal. ISA dapat dipergunakan untuk memprediksi waktu proses pengeringan dan menduga energi dari dehidrasi serta dapat memperediksi transfer kadar air pada sistem pangan yang multi komponen termasuk pengemasan yang kedap udara (Rockland dan Beuchat, 1987). Aplikasi ISA sangat dipengaruhi oleh kondisi percobaan yaitu metode yang diikuti dalam menetapkan kurva isotermi sorpsi air seperti adsorbsi dan desorbsi yang berhubungan dengan adanya gejala histerisis dan suhu yang berhubungan dengan aw. ISA juga dapat menunjukkan pada titik kadar air berapa dapat dicapai tingkat aw yang diinginkan atau yang tidak diinginkan dan menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan penting kandungan air yang dinyatakan dalam aw (Syarief dan Halid, 1993).
19 Gambar 5. Isotermi sorpsi jagung kering destilasi (Kingsly dan Ileleji, 2009)
Winarno (1994) juga menyatakan bahwa kurva isotermi sorpsi khas untuk setiap bahan pangan. Bila perubahan kandungan air merubah mutu produk pangan, maka dengan mengetahui pola penyerapan air dan menetapkan nilai kadar air kritisnya, umur simpan produk tersebut dapat ditentukan.
H. Model Matematik Isotermi Sorpsi
Persamaan isotermi sorpsi air sangat berguna untuk memperkirakan penyerapan air oleh makanan, walaupun hanya menyediakan sedikit pengetahuan mengenai interaksi antara air dan komponen-komponen makanan (Leung 1983 dalam Al-Muhtaseb, 2003). Walaupun beberapa model matematika hadir untuk mendeskripsikan isotermi sorpsi air dari bahan makanan (Iglesias et al., 1975), tidak satupun persamaan memberikan hasil yang akurat untuk seluruh range aktivitas air, atau untuk semua tipe makanan. Labuza menghubungkannya dengan fakta bahwa air berhubungan dengan matrix makanan oleh mekanisme-mekanisme yang berbeda dalam wilayah aktivitas air yang berbeda.
Chirife dan Iglesias (1978) menyatakan beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva isotermi sorpsi pada keseluruhan selang aw dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan. Adapun kendala-kendala tersebut adalah; (1) perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi beberapa macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw yang berbeda, (2) isotermi sorpsi suatu bahan
Kelembaban relatif ekuilibrium (%)
Kad
ar ai
r keseti
mbanga
n
20 pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara kompnen-komponen bahan pangan tersebut dengan lingkungan yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya, dan (3) pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan fisik dan kimia.
Teori paling klasik tentang adsorbsi lapisan tunggal (monolayer) yang merupakan dasar dari perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan pertama kali oleh Langmuir pada tahun 1918. Labuza (1968), mengemukakan bahwa model isotermi sorpsi Langmuir ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya
asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan, seperti adsopsi air dapat bersifat lebih dari satu lapisan molekul air, permukaan bahan tidak rata yang mana bahan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air, dan dapat terjadi interaksi antara molekul-molekul uap air yang diadsorbsi bahan.
Oleh Soekarto (1978) dikemukakan bahwa Langmuir mengajukan teori untuk menghitung volume gas ideal tak bermuatan (non-polar) yang terserap oleh permukaan benda padat dengan menganggap bahwa tidak ada interaksi di antara molekul gas terikat yang saling berdekatan. Oleh sebab itu validitas persamaan Langmuir untuk bahan biologis sangat terbatas yaitu hanya sampai lapisan tunggal (aw sekitar 0.30). Oleh Van den Berg dan Bruin (1981), persamaan Langmuir dinyatakan sebagai berikut:
= (5)
dalam hal ini, N = jumlah molekul gas terserap, Ns = jumlah lokasi penyerapan pada permukaan benda padat (adsorbant), CL = tetapan gas adsorpsi gas Langmuir yang besarnya tergantung pada interaksi antara adsorbat dan gas, dan a = aktivitas termodinamik (relatif) untuk gas dan uap.
Persamaan (5) dapat diubah untuk aplikasinya pada proses penguapan uap air oleh bahan biologis, dengan persamaan sebagai berikut:
= C
21 Dimana C = CL, aw = aktivitas air terikat atau aktivitas air terserap, M = kadar air terikat, Mm = kadar air lapis tunggal yaitu kandungan air dalam bahan samapai seluruh gugus polar bebas yang terdapat dalam bahan mengikat satu molekul air.
Tahun 1938 model Langmuir diperluas oleh Braunauer, Emmet, dan Teller (BET), dengan menganggap terjadi interaksi antara molekul gas terikat setelah lapisan monolayer dalam jumlah terbatas. Persamaan yang dikemukakan oleh BET adalah:
=
C
C
Caw (7)
Dimana M = kadar air bahan, C = konstanta, Mm = kadar air lapis tunggal (monolayer). Penerapan persamaan (7) dilakukan dengan menganggap bahwa molekul gas yang terikat setelah lapisan tunggal mengalami kondensasi sehingga sifatnya seperti gas murni. Rizvi (1995) menyatakan bahwa model BET merupakan model yang paling
tepat pada berbagai jenis pangan pada kisaran aw = 0.05 hingga 0.45, dan yang mendasari model BET adalah laju kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan lapisan kedua. Energi ikatan seluruh molekul pengikat pada lapisan pertama adalah sama dan energi ikatan pada lapisan lain sebanding dengan energi ikatan pada molekul pengikat murni.
Labuza (1968) menyatakan bahwa penerapan BET dapat mencakup daerah RH 10% sampai 50%. Model BET sangat berguna untuk menentukan kadar air dimana adsorpsi permukaan bersifat satu lapis molekul air (nilai monolayer). Banyak penelitian yang telah memodifikasi model BET dan persamaan yang telah dimodifikasi tersebut menghasilkan isotermi sorpsi air yang cukup baik hingga aktivitas air 0.9 (Aguerre et al., 1989).
Soekarto (1978) mengemukakan tentang model analisa logaritma yang dapat digunakan untuk menentukan fraksi air terikat sekunder. Model ini merupakan analogi dari perambatan panas di dalam kaleng. Kurva isotermi sorpsi air yang biasanya diplot sebagai kadar air (Me) terhadap aktifitas air (aw) ditukar plotnya menjadi (1-aw) terhadap m sehingga bentuk kurvanya serupa dengan kurva perambatan panas di dalam kaleng sebagai plot suhu (T) terhadap waktu pemanasan (t). Model matematikanya adalah sebagai berikut :
22 dalam hal ini M = kadar air, b = faktor kemiringan, dan a = titik potong pada ordinat
Penerapan model ini pada produk pangan ternyata menghasilkan garis lurus yang patah menjadi dua, dimana garis pertama mewakili air terikat sekunder dan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier. Titik potong kedua garis dianggap sebagai kapasitas air terikat sekunder.
Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Model Henderson dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
1-aw = exp(-kTMen) (9) dimana T = suhu absolut, M = kadar air (basis kering), k = konstanta, n = konstanta
Model Henderson adalah salah satu model persamaan yang paling banyak digunakan dan bisa mendeskripsikan karakteristik air dari bahan-bahan pertanian yang bersifat higroskopis seperti bahan makanan dan bahan pertanian yang memiliki kisaran aktivitas air dari 0.1-0.75. Chirife dan Iglesias (1978) menyatakan bahwa persamaan Henderson dapat diterapkan pada kebanyakan bahan pangan terutama biji-bijian pada seluruh nilai aw. Hasil eksperimen Corzo dan Fuentez (2004) menunjukkan model Henderson cukup baik mendeskripsikan kadar air kesetimbangan pigeon pea dan kacang lima. Model Henderson juga cukup baik dalam mendeskripsikan data bibit jagung hibrid 647 (Soleimani et al., 2006). Kadar air kesetimbangan tepung jagung dapat dideskripsikan cukup baik oleh model Henderson pada suhu penyimpanan 30, 45,da 60°C (Peng et al., 2009).
Halsey mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer (Chirife dan Iglesias, 1978). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif antara 10-81%. Model Hasley dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
aw (10)
23 Caurie merumuskan model persamaan matematis untuk mendeskripsikan sorpsi isotermi produk pangan pada selang Aw 0.0 sampai 0.85, dengan model persamaannya seperti di bawah ini :
Ln ln (11)
Hossain et al. (2002) menyatakan bahwa model Caurie sangat baik dalam mendeskripsikan data sorpsi dudh churpi (susu manis tradisional india). Model Caurie juga sangat baik dalam mendeskripsikan kadar air kesetimbangan sandesh (susu manis Indian) (Sahu dan Jha, 2008). Selain itu, Diamante et al. (2004) juga menyatakan bahwa model Caurie sangat baik dalam mendeskripsikan data kadar air kesetimbangan mangga kering.
Chen Clayton juga merumuskan model persamaan matematis yang dapat mendeskripsikan sorpsi isotermi produk pangan pada semua aktivitas air, dimana persamaan matematis tersebut adalah :
aw (12)
Model Chen Clayton sangat baik dalam medeskripsikan data sorpsi biji bunga matahari dan produk olahannya (Mok dan Hettiarachchy, 2006).
Oswin juga mengemukakan persamaan yang sesuai untuk kurva isotermi sorpsi
yang berbentuk sigmoid (Chirife dan Iglesias, 1978), yang mana persamaan ini berlaku untuk bahan pangan dengan selang kelembaban relatif antara 0 hingga 85%. Adapun model persamaan Oswin adalah sebagai berikut :
Me (13)
Dalam hal ini aw = aktivitas air, Me = kadar air kesetimbangan, P(1) dan P(2)= konstanta
I. Kemasan
Kemasan mempunyai peranan penting dalam mempertahankan mutu bahan
24 kemasan dapat membantu melindungi produk dari bahaya pencemaran, gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran yang dapat merusak produk. Kemasan juga dapat memperlambat proses penyerapan atau kehilangan air dari produk yang dikemas. Syarief et al., 1989 menyatakan bahwa dalam memilih kemasan, perlu diketahui tentang persyaratan yang dibutuhkan, seperti penyebab kerusakan dan apa yang dialami produk yang dikemas sebelum dikonsumsi, sifat bahan pangan, keadaan lingkungan, dan sifat bahan kemasan. Lebih lanjut diaktakan bahwa pengemasan merupakan bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan yang dapat mempengaruhi mutu produk pangan, seperti terjadinya perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia
dari bahan pengemas dan terjadinya perubahan aroma (flavor), warna, dan tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen (Syarief, 1990).
Perubahan aktivitas air di dalam bahan pangan ditentukan oleh kondisi ruang penyimpanan dan erat hubungannya dengan kemasan bahan pangan tersebut. Perbedaan kelembaban relatif antara lingkungan di dalam dan di luar kemasan menghasilkan perpindahan uap air dari atau ke dalam bahan pangan melalui kemasan. Pernyataan ini didukung oleh Syarief (1990) yang menyatakan bahwa produk pangan kering akan berada dalam keadaan setimbang dengan lingkungannya dengan cara menyerap uap air dari lingkungan. Sedangkan Labuza (1982) menyatakan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh masuknya uap air melalui kemasan ke dalam bahan pangan diantaranya adalah menggumpalnya bahan pangan berbentuk bubuk, berkurangnya kerenyahan atau lembeknya bahan pangan kering atau getas, mengerasnya bahan pangan semi basah, dan tumbuhnya mikroorganisme pada bahan pangan yang mempunyai nilai aktivitas air lebih dari 0.75. Oleh karena itu, produk pangan harus dilindungi dengan cara memberikan barrier antara produk dengan lingkungan penyimpanan, berupa kemasan berpermeabilitas air yang rendah. Adapun permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Robertson, 1993).
25 konversi, dan pendistribusiannya (Hernandez dan Giacin, 1998). Selain sebagai pembungkus, kemasan plastik dapat memperindah penampilan produk dan dapat menampung cairan. Kemasan plastik dapat digunakan sebagai media promosi, karena dapat disablon dan diprint, bahkan dapat ditambahkan pewarna kedalam biji plastik sebagai bahan dasar pembuat plastik. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau aluminium foil. Hernandez dan Giazin (1998) menyatakan bahwa kemasan plastik banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan gelas dan metal, memerlukan energi yang
kecil dalam pembuatan, konversi, dan pendistribusiannya. HDPE, LDPE, dan PP adalah jenis plastik yang biasa digunakan dalam mengemas makanan.
1. HDPE
HDPE (high density polyethylene) adalah jenis yang memiliki sifat bahan yan lebih kuat, keras, buram, dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. Syarief et al. (1989) menyatakan bahwa proses pembuatan HDPE dilakukan pada suhu 50-70°C dan pada tekanan 10 atm. Selanjutnya dikatakan bahwa HDPE tahan terhadap suhu tinggi (hingga 120°C), sehingga dapat digunakan untuk produk yang harus mengalami sterilisasi. Sedangkan dalam answer.com dikatakan bahwa HDPE didefenisikan sebagai polimer yang mengandung rantai panjang dari monomer ethylene (IUPAC
berlabel ethane) atau C₂H₄, yang diproduksi melalui polimerisasi radikal, polimerisasi
penambahan anionic, polimerisasi koordinasi ion atau polimerisasi penambahan cationic. Selanjutnya dikatakan bahwa HDPE diidentifikasi sebagai plastik dengan
densitas 0.941g/cm³, bertitik didih 120-130°C, dapat larut dalam hidrokarbon
aromatik seperti toluene atau xylene suhu tinggi dan larutan diklorine seperti trichloroethane dan trichlorobenzene.
26 dikemas. Walaupun demikian, HDPE direkomendasikan hanya untuk sekali pemakaian saja, karena senyawa antimoni trioksida yang terkandung dalam HDPE dapat bermigrasi ke dalam bahan makanan atau minuman yang dikemas, bila pemakaian kemasan lebih dari sekali.
2. LDPE
LDPE (low density polyethylene) adalah kemasan plastik dengan karakter kuat, agak tembus cahaya, fleksibel untuk permukaan bahan yang agak berlemak (kompas.com). Selanjutnya dikatakan bahwa LDPE terbuat dari minyak bumi.
Syarief et al. (1989) menyatakan bahwa LDPE dibuat melalui proses tekanan tinggi, dan paling banyak digunakan untuk kantung karena mudah dikelim dan sangat murah harganya. LDPE dalam answer.com didefenisikan sebagai polyethylene berdensitas 0.910-0.940 g/cm³ dengan formula ([sbond]CH₂[sbond]CH₂[sbond])n. LDPE dibuat
dari polimerisasi radikal bebas, dengan titik didih 105-115°C. Selanjutnya dikatakan bahwa LDPE sama seperti polyethylene lainnya resisten terhadap air, asam, basa, alkohol, alkali, dan beberapa jenis larutan. Walaupun sangat fleksibel LDPE tidak tahan terhadap suhu tinggi dan tekanan tinggi sehingga tidak dapat digunakan dalam autoklav, tidak resisten terhadap UV, dan tidak direkomendasikan penggunaannya bersama Halogenated hydrocarbons.
Pada suhu dibawa 60°C, LDPE sangat resisten terhadap senyawa kimia, dan daya proteksinya terhadap uap air sangat baik, shingga dapat digunakan sebagai kemasan bahan makanan (kompas.com). Selanjutnya dikatakan bahwa kelemahan LDPE adalah proteksinya terhadap gas rendah, misalnya oksigen.
3. PP
27 makanan dan minuman seperti kotak penyimpan makanan, botol minuman, botol susu bayi, dan wadah plastik untuk keperluan microwave.
PP pertama kali ditemukan oleh Prof. Giulio Natta, dikenal sebagai bahan plastik yang kuat dan dapat dicetak atau dibentuk melalui beberapa cara, yaitu injection moulding, blow moulding, thermoforming, dan ekstrusi (answer.com). Kebanyakan PP komersial memiliki kandungan crystallinity level menengah antara LDPE dan HDPE. Titik didih PP 160°C, dan dapat digunakan dalam autoklav. Kemasan makanan yang terbuat dari bahan PP tidak akan meleleh dalam mesin pencuci piring dan tidak akan meleleh selama proses pengisian bahan panas dalam industry
makanan. Selanjutnya dikatakan bahawa seperti kebanyakan polimer vinil lainnya, PP tidak dapat dibuat dengan polimerisasi radikal, tetapi lewat penyusunan grup metal yang disebut atactic.
J. Umur Simpan
Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level pada tingkatan degradasi mutu tertentu. Definisi lain umur simpan adalah waktu hingga produk mengalami suatu tingkat deteriorasi tertentu, atau selang waktu antara saat produkasi hingga saat konsumsi dimana produk dalam kondisi mutu yang memuaskan yaitu pada sifat-sifat penampakan, aroma, rasa, tekstur dan nilai gizi (Floros, 1993). Sedangkan menurut
Institute of Food Technologi dalam Arpah (2001), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi.
Umur simpan bahan pangan yang dikemas dipengaruhi oleh keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, dan kondisi atmosfir dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan. Penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan kondisi yang dipercepat, yang kemudian dapat digunakan untuk memprediksi umur simpan pada suhu yang lebih rendah. Kondisi dipercepat dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pada suhu dan RH tinggi sehingga kadar air
28 Metode akselerasi hanya dipakai untuk mempercepat, namun pengamatan pada kondisi normal tetap dilakukan sebagai kontrol. Perumusan model akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan kadar air kritis dengan bantuan Teori Difusi, yaitu cara yang diterapkan untuk produk pangan kering dengan menggunakan kadar air atau aw sebagai kriteria kadaluarsa. Pendekatan kedua adalah pendekatan empiris dengan bantuan Arrhenius, yaitu cara pendekatan yang menggunakan Teori Kinetika yang pada umumnya mempunyai reaksi ordonol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).
Nilai aw dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga kerusakan makanan
atau menentukan waktu pengeringan yang diperlukan untuk produk pangan stabil. Menurut Labuza (1982), aw bahan pangan sangat menentukan kondisi penerimaan atau kehilangan air dari bahan pangan. Faktor-faktor yang menentukan waktu penerimaan air dari bahan pangan adalah isotermi sorpsi air, permeabilitas film kemasan, ratio luas permukaan kemasan terhadap berat bahan kering, kadar air awal, kadar air kritis, RH dan suhu penyimpanan produk. Labuza (1982) telah mengembangan model matematik yang dapat digunakan untuk memperkiraan perubahan kadar air produk yang dikemas pada kondisi lingkungan tetap, yaitu :
ln (Me-Mi)/(Me-M) = (K/x) (A/Ws) (P0/b) t (14)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan
Bahan utama yang digunakan adalah jagung titi yang telah dibuat oleh produsen
jagung titi di pulau Alor Nusa Tenggara Timur yang telah diseleksi terlebih dahulu.
Adapun cara pembuatan jagung titi adalah sebagai berikut : jagung yang dipanen dengan
kadar air rendah dipipil, lalu disangrai selama 10-15 menit dan dipipihkan dengan
menggunakan dua buah batu. Jagung yang baru dibuat oleh produsen akan langsung
dikirim dengan pesawat dalam waktu 1 hari dan dianalisis kadar air, protein, lemak, abu,
total kapang, tekstur, dan aktivitas airnya
Bahan pendukung yang digunakan untuk menghasilkan kondisi aw lingkungan
penyimpanan sesuai dengan yang diinginkan, adalah 8 jenis garam seperti yang
tercantum pada tabel 1. Bahan untuk analisis kimia adalah alcohol 96%, HGO, K₂SO₄,
H₂SO₄, NaOH, Na₂S₂O , H BO₄, HCl, indikator metil biru, indokator metil merah,
heksan, dan aquades.
B. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah cawan porselin, cawan aluminium, neraca
analitik, 0ven, tanur, desikator, toples yang telah dimodifikasi menjadi sorption
container, hardnes tester, peralatan gelas, pinset, dan pencapit logam.
C. Metode Penelitian
Tahap pertama penelitian ini dilakukan penentuan karakteristik awal jagung titi
dengan tujuan dengan tujuan untuk mengetahui karakter awal jagung titi sebelum
dilakukan pengujian umur simpan. Adapun karakteristik awal jagung titi ditentukan
dengan analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar
karbohidrat, kadar abu, aktivitas air, serta analisis tekstur jagung titi dengan
menggunakan hardnes tester. Tahap kedua adalah penetuan kadar air kesetimbangan
30
paling tepat. Setelah penentuan model yang paling tepat, dilakukan penentuan fraksi air
terikat untuk mengetahui aw kritis jagung titi. Setelah itu dilakukan pendugaan umur
simpan jagung titi dengan menggunakan persamaan Labuza (1982). Tahap ketiga adalah
uji penyimpanan jagung titi dengan menggunakan 3 jenis kemasan yaitu LDPE, PP, dan
HDPE.
1. Penentuan karakteristik awal jagung titi
Penentuan karakteristik awal jagung titi dilakukan dengan menggunakan analisis
proksimat (AOAC, 1995) yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar
karbohidrat, kadar abu, aktivitas air, serta analisis tekstur jagung titi dengan
menggunakan hardnes tester.
2. Penentuan kadar air kesetimbangan
Penentuan kadar air kesetimbangan jagung titi bertujuan untuk memperoleh kurva
isotermi sorpsi jagung titi. Kadar air jagung titi sebelum dilakukan penyimpanan
adalah 3.32%bk. Penentuan kadar air kesetimbangan dilakukan dengan menyimpan
jagung titi pada berbagai tingkat aw pada suhu 25, 30, dan 35°C, dengan
menggunakan larutan garam seperti yang tercantum dalam Tabel 3 sampai mencapai
kondisi setimbang (steady state).
Tabel 3. Aktivitas air beberapa larutan garam jenuh pada suhu 25, 30, Dan 35°C
No Jenis garam aw
25°C 30°C 35°C
31
Larutan garam jenuh dibuat dengan cara melarutkan garam dengan jumlah yang
berlebih dalam 100 ml aquadest. Kedelapan jenis garam di atas masing-masing
dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam toples (sorption container) yang berisi
aquades 100 ml sambil diaduk dengan stirer, hingga larutan jenuh yang ditandai
dengan garam yang ditambahkan tidak dapat larut lagi. Toples-toples tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi
suhu 25, 30, dan 35°C, lalu dilakukan pengukuran aktivitas air masing-masing larutan
dengan menggunakan aw meter.
Selanjutnya cawan porselein dicuci, kemudian dikeringkan dalam oven selama 30
menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak ±5 gram jagung titi
diletakkan dalam cawan porselain yang telah disiapkan dan dimasukkan ke dalam
toples-toples yang berisi larutan garam jenuh (Tabel 3), dengan 4 ulangan.
Selanjutnya toples ditutup rapat dan disimpan dalam inkubator yang telah diatur
suhunya yaitu pada suhu 25ºC, 30°C, dan 35ºC dimana kisaran suhu ini dianggap
sudah cukup mewakili kondisi suhu penyimpanan jagung titi di Nusa Tenggara
Timur. Sampel ini ditimbang setiap 24 jam sampai mencapai kondisi setimbang,
yang ditandai dengan tidak adanya perubahan berat sampel (pertambahan bobot
sampel ≤2mg). Dimana sampel dinyatakan dalam kondisi setimbang jika perubahan
kadar air bahan tidak lebih dari 2 mg pada 3 kali penimbangan berturut-turut dan
tidak lebih dari 10mg pada 3 kali penimbangan berturut-turut untuk sampel yang
disimpan diatas aw 0.9 (Lievonen dan Ross, 2002).
Sampel yang telah mencapai kondisi setimbang dianalisis kadar airnya untuk
memperoleh data kadar air kesetimbangan (Me) dan hasilnya diplotkan terhadap aw
penyimpanan jagung titi.
3. Penentuan model isotermi sorpsi
Agar dapat mewakili daerah kandungan air monolayer dan multilayer pada
isotermi sorpsi, maka model isotermi sorpsi yang digunakan adalah model-model
yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan dan mempunyai jangkauan kelembaban
32
13. Untuk memudahkan perhitungan, ke-6 persamaan dibuat menjadi linier, seperti
yang tertera pada Tabel 4.
Data kadar air kesetimbangan (KAK) dan aw hasil eksperimen digunakan dalam
perhitungan dengan ke-6 model di atas, lalu dilakukan evaluasi ketepatan hasil
perhitungan KAK berdasarkan model. Uji ketepatan model isotermi sorpsi dilakukan
dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (P) (Walpole, 1990)
P =
∑
Dimana Mi adalah kadar air hasil percobaan, Mpi adalah kadar air hasil
perhitungan, dan n adalah jumlah data. Jika nilai (P)<5 maka model isotermi sorpsi itu
dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika nilai 5<P<10 maka model
tersebut agak tepat. Sedangkan jika nilai modulus deviasi P>10 maka model tersebut
tidak tepat untuk menggambarkan keadaan sebenarnya. Model dengan nilai P terkecil
dinyatakan sebagai model terbaik dan digunakan dalam perhitungan pendugaan umur
33
4. Penentuan fraksi air terikat jagung titi
Penentuan fraksi air terikat jagung titi dilakukan untuk membandingkan kadar air
kritis hasil eksperimen dengan nilai batas antara fraksi air terikat sekunder dengan
fraksi air terikat tersier. Berdasarkan penentuan nilai fraksi air terikat juga ditentukan
nilai aw yang setara atau berkeseimbangan dengan nilai fraksi air terikat baik primer,
sekunder, maupun tersier.
Fraksi air terikat primer (Mp) ditentukan dengan menggunakan bantuan
persamaan BET, dimana untuk memperoleh persamaan regresi yang akan digunakan
dalam menghitung fraksi air terikat primer, dilakukan plot nilai aw pada sumbu x dan
nilai aw/(1-aw)M pada sumbu y untuk ke-3 suhu penyimpanan.
Fraksi air terikat sekunder (Ms) ditentukan dengan menggunakan model analisis
logaritma Soekarto (1978). Ms ditentukan dengan cara memplotkan log (1-aw)
terhadap Me yang akan menghasilkan garis patah yang terdiri dari dua garis lurus.
Garis petama mewakili ikatan air sekunder, dan garis kedua mewakili ikatan air
tersier.
Penentuan fraksi air terikat tersier dilakukan dengan menggunakan pendekatan
model polynomial ordo 2, dan data yang digunakan dalam perhitungan ini adalah
empat nilai kadar air kesetimbangan jagung titi yang disimpan pada aw 0,52-0,84.
5. Pendugaan umur simpan
Umur simpan jagung titi ditentukan dengan mensubtitusi data kadar air awal,
kadar air kesetimbangan, kadar air kritis, berat kering bahan, luas permukaan
kemasan, permeabilitas kemasan, tekanan uap air jenih, dan nilai slope isotermi sorpsi
kedalam persamaan Labuza (1982).
dimana t = umur simpan, Me = kadar air kesetimbangan (%bk), Mi = kadar air awal
(%bk), Mc = kadar air kritis (%bk), Ws = berat kering bahan (g), A = luas