• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA) pada Pasien Suspek Koinfeksi Tuberkulosis Paru-Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang Berobat di Klinik Care Support and Treatment (CST) Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 - Desember 201

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA) pada Pasien Suspek Koinfeksi Tuberkulosis Paru-Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang Berobat di Klinik Care Support and Treatment (CST) Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 - Desember 201"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN MIKROSKOPIS BASIL TAHAN ASAM (BTA)

PADA PASIEN SUSPEK KOINFEKSI

TUBERKULOSIS PARU-HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)

YANG BEROBAT DI KLINIK CARE SUPPORT AND TREATMENT (CST)

PUSYANSUS RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI 2011 – DESEMBER 2012

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

HAFIS NOVYAN

NIM: 100100032

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

GAMBARAN MIKROSKOPIS BASIL TAHAN ASAM (BTA)

PADA PASIEN SUSPEK KOINFEKSI

TUBERKULOSIS PARU-HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)

YANG BEROBAT DI KLINIK CARE SUPPORT AND TREATMENT (CST)

PUSYANSUS RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI 2011 – DESEMBER 2012

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

HAFIS NOVYAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA) pada

Pasien Suspek Koinfeksi Tuberkulosis Paru-Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang Berobat di Klinik Care Support and Treatment (CST) Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 - Desember 2012

Nama : Hafis Novyan

NIM : 100100032

Pembimbing

dr. Tambar Kembaren, Sp.PD NIP: 19551225 259811 0 001

Penguji 1

dr. Olga R. Siregar, M.Ked(Ped), Sp.A NIP: 19830302 200812 2 002

Penguji 2

dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK NIP: 19600922 198903 1 004

Medan, Desember 2013 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Latar Belakang : Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Seiring dengan menurunnya kekebalan tubuh, penderita HIV/AIDS rentan menderita infeksi oportunistik. Salah satu infeksi oportunistik yang sering terjadi pada penderita HIV/AIDS adalah Tuberkulosis. Infeksi tuberkulosis disebabkan oleh mikroorganisme yang tergolong bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium tuberculosis. Mendeteksi keberadaan Mycobacterium tuberculosis pada penderita adalah penting untuk menegakkan diagnosa tuberkulosis termasuk pada penderita HIV/AIDS yang diduga menderita koinfeksi tuberkulosis.

Metode dan Tujuan : Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang dan pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Sampel yang diambil adalah semua pasien yang diduga menderita koinfeksi TB Paru-HIV pada Periode Januari 2011 - Desember 2012 yang telah memenuhi kriteria penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV yang berobat di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011- Desember 2012.

Hasil : Total sampel dalam penelitian ini adalah 271 orang. Hasil pemeriksaan BTA positif pada sampel adalah sebanyak 45 orang (16,6%).

Kesimpulan dan Saran: Hasil pemeriksaan BTA negatif lebih banyak terjadi dibandingkan dengan hasil positif. Untuk itu, perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIVdan perlu pemeriksaan lain yang lebih sensitif untuk mendeteksi keberadaan Mycobacterium tuberculosis.

(5)

ABSTRACT

Background : Human Immunodeficiency Virus (HIV) is the virus which lead Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) which affect human immune system. Possibility of HIV patients to get opportunistic infection on low immune system is high. One of the most frequent opportunistic infection in HIV patient is Tuberculosis due to Mycobacterium tuberculosis which an Acid Fast Bacili (AFB) bacteria. Mycobacterium tuberculosis been detect to ensure the diagnosis of TB patient and also on co-infection HIV-TB patient.

Method : This study was a descriptive study with cross sectional approach. The samples were collected by using total sampling method from the secondary data of suspected Pulmonary TB-HIV patient from January 2011 untill December 2012 which suited with study criteria. The data obtained from Care Support and Treatment (CST) Pusyansus clinic of H. Adam Malik General Hospital. The aim of study is to describe microscopic AFB smear on suspected Pulmonary TB-HIV patient that been treated at CST Pusyansus clinic of H. Adam Malik General Hospital from January 2011 untill December 2012.

Result : Total sample of the study was 271 persons and been detected positive AFB smear result were 45 persons (16,6%).

Conclusion and Suggestion: As the result of AFB smear, negative result is higher than positive result. Therefore, the analysis of factors which affect the AFB smear result on suspected Pulmonary TB-HIV patients have to be done. Meanwhile, there need more sensitive tools than AFB smear to detect the Mycobacterium tuberculosis.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerah dan kemurahan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Gambaran Mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA) pada Pasien Suspek Koinfeksi Tuberkulosis Paru- Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang Berobat di Klinik Care Support and Treatment (CST) RSUP. Haji Adam Malik

Medan Periode Januari 2011 - Desember 2012”. Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan pada:

1. Kedua orang tua penulis, Ir. Saiful Yusuf dan dr. Reni Suryanty, Sp.A, nenek penulis Hj. Asnani, dan seluruh keluarga penulis yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

2. Dosen pembimbing penulis yaitu dr. Tambar S. Kembaren, Sp.PD yang telah bersedia membimbing penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. Dosen penguji 1 dr. Olga Rasiyanti Siregar, M.Ked(Ped), Sp.A dan dosen penguji 2 dr. Irwan Fahri Rangkuti Sp. KK yang telah bersedia menguji dan memberikan saran dan kritik yang membangun bagi penulis dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Manajemen RSUP. Haji Adam Malik Medan dan perawat serta pegawai yang bertugas di Klinik Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan atas segala bantuannya dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

5. Teman penulis Irsyadil Fikri, Thilakam Kanthasamy, dan rekan sejawat yang tergabung dalam Firdaus Community yang telah membantu penulis

(7)

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam karya tulis ilmiah ini. Untuk itu, penulis memohon maaf dan meminta saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan kedepannya.

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Singkatan ... ix

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. HIV/AIDS ... 5

2.1.1. Epidemiologi HIV/AIDS ... 5

2.1.2. Struktur HIV ... 5

2.1.3. Siklus Hidup HIV ... 6

2.1.4. Transmisi Virus HIV ... 7

2.1.5. Patogenesis HIV ... 9

2.1.6. Patofisiologi AIDS ... 10

2.1.7. Gejala Klinis ... 11

2.1.8. Stadium Klinis HIV/AIDS ... 12

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDS ... 13

(9)

2.2. Tuberkulosis ... 15

2.2.1. Epidemiologi Tuberkulosis ... 15

2.2.2. Mycobacterium tuberculosis ... 16

2.2.3. Patogenesis Tuberkulosis ... 16

2.2.4. Gejala Klinis TB ... 17

2.2.5. Pemeriksaan Penunjang TB ... 17

2.2.6. Penatalaksanaan TB ... 20

2.3. Koinfeksi HIV-TB ... 21

2.3.1. Epidemiologi TB-HIV ... 21

2.3.2. Hubungan TB-HIV ... 21

2.3.3. Diagnosis TB-HIV ... 23

2.3.4. Penatalaksanaan TB-HIV ... 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 26

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 26

3.2. Defenisi Operasional ... 26

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 28

4.1. Jenis Penelitian ... 28

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

4.3. Populasi dan Sampel ... 28

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 29

4.5. Pengolahan Data ... 29

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 30

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 30

5.1.2. Karakteristik Sampel ... 30

5.2. Pembahasan ... 34

(10)

5.2.2. Karakteristik berdasarkan pekerjaan , status

pernikahan, dan faktor risiko ... 35

5.2.3. Pembahasan gambaran CD4 dan mikroskopis BTA pada sampel ... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 40

6.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(11)

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

APC : Antigen Presenting Cell

ART : Anti Retroviral Therapy

ASI : Air Susu Ibu BTA : Basil Tahan Asam

CD4 : Cluster Differentiated 4

CST : Care Support and Treatment

gp : Glicoprotein

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IUATLD : International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease KGB : Kelenjar Getah Bening

LTR : Long Terminal Repeat sequences

NF-AT : Nuclear Factor Activated T cell NF-Kb : Nuclear Factor kappa B

PCR : Polymerase Chain Reaction

PNS : Pegawai Negeri Sipil Polri : Polisi Republik Indonesia PRM : Program Rumatan Metadon

RNA : Ribo Nucleic Acid

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

RT : Reverse Transcriptase

SD : Sekolah Dasar

SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama TB : Tuberkulosis

TNF : Tumor Necrosis Factor

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Saat memulai terapi pada ODHA 14

2.2 Panduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang yang Belum Pernah Menerima Terapi Antiretroviral

15

2.3 Interpretasi BTA menurut IUATLD 18 2.4 Terapi ARV untuk pasien Koinfeksi TB 24 5.1 Distribusi sampel berdasarkan umur 31 5.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin 31 5.3 Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan 31 5.4 Distribusi sampel berdasarkan pekerjaan 32 5.5 Distribusi sampel berdasarkan status pernikahan 32 5.6 Faktor resiko penularan HIV yang terjadi pada sampel 33

5.7 Gambaran CD4 pada sampel 33

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Struktur HIV 6

2.2 Patogenesis HIV 10

2.3 Mekanisme Aktivasi TB Laten oleh HIV 23 3.1 Kerangka konsep penelitian gambaran mikroskopis BTA

pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV

26

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Daftar Riwayat Hidup 49

2 Surat Persetujuan Komite Etik 50

3 Surat Izin Penelitian di RSUP. H. Adam Malik 51

(15)

ABSTRAK

Latar Belakang : Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Seiring dengan menurunnya kekebalan tubuh, penderita HIV/AIDS rentan menderita infeksi oportunistik. Salah satu infeksi oportunistik yang sering terjadi pada penderita HIV/AIDS adalah Tuberkulosis. Infeksi tuberkulosis disebabkan oleh mikroorganisme yang tergolong bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium tuberculosis. Mendeteksi keberadaan Mycobacterium tuberculosis pada penderita adalah penting untuk menegakkan diagnosa tuberkulosis termasuk pada penderita HIV/AIDS yang diduga menderita koinfeksi tuberkulosis.

Metode dan Tujuan : Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang dan pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Sampel yang diambil adalah semua pasien yang diduga menderita koinfeksi TB Paru-HIV pada Periode Januari 2011 - Desember 2012 yang telah memenuhi kriteria penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV yang berobat di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011- Desember 2012.

Hasil : Total sampel dalam penelitian ini adalah 271 orang. Hasil pemeriksaan BTA positif pada sampel adalah sebanyak 45 orang (16,6%).

Kesimpulan dan Saran: Hasil pemeriksaan BTA negatif lebih banyak terjadi dibandingkan dengan hasil positif. Untuk itu, perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIVdan perlu pemeriksaan lain yang lebih sensitif untuk mendeteksi keberadaan Mycobacterium tuberculosis.

(16)

ABSTRACT

Background : Human Immunodeficiency Virus (HIV) is the virus which lead Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) which affect human immune system. Possibility of HIV patients to get opportunistic infection on low immune system is high. One of the most frequent opportunistic infection in HIV patient is Tuberculosis due to Mycobacterium tuberculosis which an Acid Fast Bacili (AFB) bacteria. Mycobacterium tuberculosis been detect to ensure the diagnosis of TB patient and also on co-infection HIV-TB patient.

Method : This study was a descriptive study with cross sectional approach. The samples were collected by using total sampling method from the secondary data of suspected Pulmonary TB-HIV patient from January 2011 untill December 2012 which suited with study criteria. The data obtained from Care Support and Treatment (CST) Pusyansus clinic of H. Adam Malik General Hospital. The aim of study is to describe microscopic AFB smear on suspected Pulmonary TB-HIV patient that been treated at CST Pusyansus clinic of H. Adam Malik General Hospital from January 2011 untill December 2012.

Result : Total sample of the study was 271 persons and been detected positive AFB smear result were 45 persons (16,6%).

Conclusion and Suggestion: As the result of AFB smear, negative result is higher than positive result. Therefore, the analysis of factors which affect the AFB smear result on suspected Pulmonary TB-HIV patients have to be done. Meanwhile, there need more sensitive tools than AFB smear to detect the Mycobacterium tuberculosis.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab

Aquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang mengakibatkan melemahnya

sistem kekebalan tubuh manusia. Sejak pertama kali AIDS dilaporkan pada tahun 1981 hingga tahun 2001 terdapat 1,3 juta jiwa tertular HIV di Amerika Serikat, 816.000 penderita dengan klinis AIDS dan 467.000 meninggal. Pada tahun 2004 23.000 penderita meninggal karena AIDS (Widodo & Lusida,2007).

Transmisi AIDS yang disebabkan oleh HIV terutama terjadi pada hubungan seksual dan transfer darah yang terinfeksi. Infeksi transversal terjadi antara ibu dan bayi melalui plasenta, jalan lahir atau pemberian Air Susu Ibu (ASI). Transmisi melalui darah juga terjadi pada transfusi darah yang terinfeksi (Widodo & Lusida,2007).

Terdapat lebih kurang 34 juta orang di dunia hidup dengan HIV yang mana lebih kurang 4 juta orang terdapat di Asia Tenggara dan Asia Selatan (UNAIDS,2011). Hal tersebut menunjukkan besarnya jumlah orang yang terinfeksi HIV di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang menjadi potensi besar penularan dan peningkatan AIDS.

Di Indonesia jumlah penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun-ketahun. Pada tahun 2012 jumlah kasus HIV adalah sebesar 98.390 kasus dan AIDS sebesar 42.887 yang mana pada tahun 2011 jumlah kasus HIV sebesar 76.879 kasus dan AIDS sebesar 29.879 kasus. Tahun 2012 Sumatera Utara termasuk dalam 6 besar provinsi di Indonesia yang memiliki kasus HIV terbanyak dengan jumlah 6.364 kasus dan AIDS sebanyak 515 kasus. Turun tiga peringkat dari

(18)

peningkatan jumlah kasus dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan masih tingginya penularan HIV dalam masyarakat Sumatera Utara.

Seiring dengan perjalanan penyakit HIV/AIDS, lambat laun terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh. Limfosit CD4 yang berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis tubuh merupakan target utama

infeksi virus HIV. Akibatnya terjadi penurunan bahkan hilangnya respon imun yang progresif. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, penderita HIV/AIDS mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan sebagainya (Djoerban & Djauzi, 2009).

Menurut Elona (2011) dalam penelitiannya, proporsi infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 395 orang penderita HIV/AIDS adalah sebagai berikut: Tuberkulosis sebanyak 86 orang (21,77%), Kandidiasis sebanyak 239 orang (60,50%), Diare Cryptosporodia sebanyak 47 orang (11,90%), Pneumoystis pneumonia sebanyak 11 orang (2,84%), Herpes Zooster sebanyak 3 orang

(0,76%), Toxoplasmosis sebanyak 5 orang (1,26%), dan Hepatitis sebanyak 4 orang (1,01%).

Menurut Kemenkes RI (2011) infeksi oportunistik yang paling banyak menyerang penderita HIV/AIDS adalah Tuberkulosis. Pada surveilans yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 1987-2011 didapatkan 12304 penderita AIDS yang terinfeksi Tuberkulosis.

Menurut WHO (2012) dalam Global Tuberculosis Report, pada tahun 2011 terdapat 1,1 juta orang dari 8,7 juta orang yang menderita Tuberkulosis di seluruh dunia positif HIV. 79% terdapat di kawasan Afrika. Di Indonesia diperkirakan terdapat 11-26% pasien tuberkulosis yang positif HIV.

Menurut Ong et al. (2008), dari 820 pasien TB yang berobat di Penang

(19)

Penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah dengan menilai gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan sputum dan tes tuberkulin. Salah satu instrumen penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan (Amin

& Bahar, 2009)

Pewarnaan Bakteri Tahan Asam (BTA) memiliki sensivitas sekitar 40-60% dalam mengkonfirmasi kasus Tuberkulosis (TB) paru (Raviglione & O’Brien, 2010). Di Indonesia, proporsi BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat pada tahun 2011 adalah 62% (Kemenkes, 2012).

Menurut Dikromo, Antariksa, dan Nawas (2011) dalam penelitiannya, 83 pasien yang didiagnosis TB-HIV di RS. Persahabatan tahun 2005 sampai 2008 menunjukkan pasien dengan BTA positif adalah sebanyak 28 orang (33,7%) dan 55 orang (66,3%) yang hasil BTA negatif.

Menurut Fredy, Liwang, Kurniawan, dan Nasir (2012) dalam penilitiannya, 122 pasien yang didiagnosis TB-HIV di RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2008 sampai 2011 menunjukkan pasien dengan BTA positif adalah sebanyak 22 orang (18%) dan 100 orang (82%) yang hasil BTA negatif.

Menurut Coimbra et al. (2012) dalam penelitiannya, hasil pemeriksaan sputum yang negatif merupakan salah satu faktor yang berhubungan dalam terlambatnya pengobatan pada pasien koinfeksi TB-HIV. Hal ini menjadikan penderita TB-HIV terlambat ditangani.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek TB Paru-HIV yang berobat di Klinik Care Support and Treatment (CST) Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 - Desember 2012?

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

(20)

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui angka kejadian HIV/AIDS di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 - Desember 2012.

b. Untuk mengetahui angka kejadian koinfeksi TB Paru-HIV di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 - Desember 2012.

c. Untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan cara penularan pada pasien TB Paru-HIV di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 - Desember 2012.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan.

2. Dapat digunakan sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

2.1.1. Epidemiologi HIV/AIDS

Secara global, terdapat 34 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2011. Pada daerah Afrika Sub-Sahara, kira-kira 1 dari 20 orang dewasa hidup dengan HIV. Pada tahun 2011 kematian akibat AIDS juga tak kalah tingginya. Sekitar 1,7 juta orang meninggal akibatnya (UNAIDS,2011).

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan jumlah insidensi infeksi HIV. Sejak tahun 2001-2011, Indonesia mengalami peningkatan lebih dari 25% infeksi HIV pada orang dewasa sekitar 15-49 tahun (UNAIDS,2011).

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012) pada tahun 2012 jumlah kasus HIV adalah sebesar 98.390 kasus dan AIDS sebesar 42.887 yang mana pada tahun 2011 jumlah kasus HIV sebesar 76.879 kasus dan AIDS sebesar 29.879 kasus.

2.1.2. Struktur HIV

HIV termasuk dalam genus Lentivirus dari famili Retroviridae. Struktur HIV berbentuk sferis yang terdiri atas capsid yang terselimuti dengan envelope yang berupa komponen membran dan membran yang berasal dari sel host. Capsid berbentuk peluru yang terbentuk dari protein p24 dari gen gag, capsid berisi dua duplikat utas RNA yang merupakan genom virus. Di dalam capsid juga terdapat enzim reverse trancriptase, RNase-H, Integrase, dan Protease. Dibawah membran host yang membungkus capsid terdapat matriks yang membentuk struktur virus yang tersusun oleh protein p17 gag outer core. Permukaan luar

(22)

gp41-gp120 terdapat pada permukaan virus dalam bentuk trimer dan berperan dalam binding dan fusi virion pada sel target (Widodo & Lusida,2007).

Genom HIV terdiri atas dua molekul identik single stranded positive RNA yang biasa dikenal dengan diploid. Genom HIV mengkode tiga struktural protein yaitu gag, pol, dan env, serta mengkode juga enam gen regulator. Dua gen regulator yaitu tat dan rev dibutuhkan saat replikasi dan empat lainnya yaitu ref, vif, vpr, dan vpu tidak dibutuhkan saat replikasi dan dikenal dengan accessory

genes. Gen-gen ini akan ditranslasi menjadi protein-protein prekursor pembentuk

virion baru (Widodo & Lusida,2007).

Gambar 2.1. Struktur HIV

Sumber: Penyakit Infeksi di Indonesia, 2007

2.1.3. Siklus Hidup HIV

Masuknya HIV ke dalam sel host didahului dengan proses yang kompleks dari interaksi beberapa protein. Virus membutuhkan kurang lebih dua reseptor pada sel target CD4 sebagai reseptor utama dan koreseptor, reseptor kemokin.

Ketika virus mulai menginfeksi sel, gp120 akan berikatan dengan CD4 pada sel host. Ikatan tersebut akan merubah konformasi gp120, terbukanya lokasi ikatan untuk reseptor kemokin sehingga dapat berikatan dengan reseptor kemokin pada sel host. Ikatan tersebut akan berakibat pada gp41. Gp41 akan memperantarai fusi virus dengan membran sel target, sehingga terlepasnya capsid ke dalam sitoplasma sel host (Widodo & Lusida, 2007)

(23)

DNA utas tunggal komplementer terhadap RNA virus. Berikutnya enzim RNase-H akan mendegradasi RNA virus dan menggantinya dengan mensintesis DNA utas kedua, sehingga terbentuk double stranded DNA. DNA virus akan bermigrasi dari sitoplasma ke nukleus dan kemudian akan mengalami sirkularisasi nonkovalen yang berhubungan dengan Long Terminal Repeat sequences (LTR).

Enzim Integrase mengintegrasikan DNA virus secara acak ke dalam DNA host. LTR virus berperan sebagai promoter ekspresi gen virus. Transkripsi terjadi karena bantuan faktor transkrisi dari host, antara lain adalah NF-Kb (Nuclear Factor kappa B) dan NF-AT (Nuclear Factor Activated T cell). Protein komponen virus terekspresi dari mRNA berbeda yang berasal dari DNA proviral. Protein prekursor 55kDa akan terpotong menjadi semua protein core virus yang dipotong pada N terminal oleh protease virus menjadi protein sub unit gag p17, p24, p7, dan p9. Protein Pol berupa prekursor dari protein RT, RNase, protease, dan integrase. Protein turunan Protein Pol tersebut segera dikemas dalam inti dari virus baru. Protein prekursor gp160 Env ditranslasi dari transkrip ssRNA. Prekursor gp160 akan mengalami pembelahan oleh enzim seluler dalam apparatus golgi menjadi protein matur gp41 dan gp120 (Widodo & Lusida, 2007)

Virion lengkap tersusun pada sitoplasma sel host dekat tepi membran.Core virus yang tersusun segera mengalami budding pada permukaan membran sel yang terinfeksi, dengan membawa komponen envelope berupa membran sel host beserta protein envelope virus (Widodo & Lusida, 2007)

2.1.4. Transmisi virus

Menurut Fauci & Lane (2008), Virus HIV ditularkan melalui beberapa cara yaitu:

1. Transmisi Seksual

Virus HIV merupakan salah satu penyakit menular seksual (PMS). HIV berada bebas dan menginfeksi mononuklear pada cairan semen.

(24)

Terdapat hubungan penularan HIV melalui hubungan seksual kelamin-anus. Hal ini terjadi karena mukosa rektum yang tipis dan mudah terjadi luka mengakibatkan adanya kontaminasi sperma yang mengandung virus HIV dengan luka pada mukosa rektum. Penularan HIV juga terjadi pada hubungan seksual kelamin-kelamin. Walaupun mukosa vagina lebih

tebal, namun juga dapat terjadi luka yang akan terkontaminasi oleh sperma yang mengandung HIV. Hubungan seksual kelamin-oral, menurut beberapa penelitian memiliki tingkat penularan HIV yang sangat rendah. Namun, asumsi tersebut tidak dapat menjamin sepenuhnya.

2. Darah

HIV juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, transplantasi jaringan, ataupun penggunaan jarum suntik yang bergantian.

3. Penularan ibu ke bayi

Infeksi HIV dapat ditularkan dari ibu ke janinnya saat hamil, persalinan, ataupun ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke janin adalah 15-25% pada negara maju dan 25-35% pada negara berkembang. Tingginya kemungkinan penularan berkaitan dengan beberapa faktor. Salah satunya adalah tingginya viremia pada ibu. Pada 552 ibu hamil di Amerika Serikat, tingkat penularan ibu ke bayi pada ibu dengan <1000copy RNA HIV/ml darah adalah 0%, pada ibu dengan 1000-10.000copy RNA HIV/ml darah adalah 16,6%, 21,3% pada ibu dengan 10.001-50.000 copy/ml darah, 30,9% pada ibu dengan 50.001-100.000 copy/ml darah, dan 40,6% pada ibu > 100.000copy/ml.

Penularan melalui ASI bergantung pada jumlah virus yang terdeteksi pada ASI, adanya mastitis, jumlah CD4 ibu yang rendah, dan defisiensi vitamin A pada ibu. Risiko penularan HIV melalui ASI sangat tinggi pada awal-awal bulan menyusui. Oleh sebab itu, pemberian ASI eksklusif harus

(25)

Walaupun HIV dapat diisolasi dalam jumlah sedikit pada saliva, namun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa HIV dapat ditularkan melalui saliva.

2.1.5.Patogenesis HIV

Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di

mukosa rektum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Virus kemudian disebarkan melalui darah yang disertai dengan sindrom berupa panas, mialgia, dan arthralgia. Virus menginfeksi CD4, makrofag dan sel dendritik/APC (Antigen Presenting Cell) dalam darah dan organ limfoid (Djoerban & Djauzi, 2009).

Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol oleh sel T CD8 dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p24 dan protein envelop gp120 dan gp41. Respon inmun tersebut menghancurkan virus HIV dalam KGB selama fase selanjutnya dan fase laten (Djoerban & Djauzi, 2009).

Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun. Walau antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat terhadap virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus (Djoerban & Djauzi, 2009).

Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat oleh sel dendritik/APC. Meskipun dalam kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4 berjalan terus dalam kelnjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4 dalam sirkulasi menurun. Hal ini dapat memerlukan beberapa tahun dan kemudian menjadi fase progresif kronis dimana penderita menjadi rentan tehadap infeksi oportunistik (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).

(26)

Gambar 2.2. Patogenesis HIV Sumber: Immunologi Dasar, 2010

2.1.6. Patofisiologi AIDS

Dalam tubuh penderita, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian masuk ke tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS pada 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS (Djoerban & Djauzi, 2009).

(27)

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menimbulkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 pertikel setiap hari. Replikasi ini disertai mutasi dan seleksi virus sehingga virus menjadi resisten. Bersamaan dengan replikasi virus, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi (Djoerban & Djauzi, 2009).

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, penderita mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelnjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain sebagainya (Djoerban & Djauzi, 2009)

2.1.7. Gejala klinis

Menurut Fauci & Lane (2008), gejala klinis HIV/AIDS adalah: 1. Sindroma HIV akut

Gejala klinis yang khas pada sindroma HIV akut adalah demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia. Gejala ini bertahan selama satu atau beberapa minggu dan perlahan mereda akibat respon imun dan menurunnya jumlah virus dalam darah.

2. Fase asimtomatik

Pada stadium ini terjadi replikasi yang progresif HIV. Pada pasien yang tingkat replikasi dan penuruan jumlah CD4 yang tinggi akan lebih cepat untuk masuk ke fase selanjutnya.

3. Fase simtomatik

Gejala dari penyakit HIV dapat muncul kapan saja dalam perjalan penyakit ini. Hal ini berkaitan dengan jumlah CD4. Hal yang dapat menimbulkan komplikasi yang sangat membahayakan pada HIV terjadi pada pasien dengan CD4 <200/mikroliter. Dapat teradi infeksi-infeksi lain yang menyertai penderita HIV pada fase ini seperti: P.jiroveci, mikobakterium

(28)

2.1.8. Stadium Klinis HIV/AIDS

Menurut Kemenkes (2009), stadium klinis HIV/AIDS adalah sebgai berikut:

I. Stadium 1

a) Tidak ada gejala

b) Limfadenopati Generalisata Persisten II. Stadium 2

a) Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

b) Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)

c) Herpes zoster d) Keilitis angularis

e) Ulkus mulut yang berulang

f) Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption) g) Dermatisis seboroik

h) Infeksi jamur pada kuku III. Stadium 3

a) Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) b) Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan c) Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya

d) Kandidiasis pada mulut yang menetap e) Oral hairy leukoplakia

f) Tuberkulosis paru

g) Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi

panggul yang berat)

h) Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis

(29)

IV. Stadium 4

a) Sindrom wasting HIV

b) Pneumonia Pneumocystis jiroveci c) Pneumonia bacteri berat yang berulang

d) Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama

lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun)

e) Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru) f) Tuberkulosis ekstra paru

g) Sarkoma Kaposi

h) Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening)

i) Toksoplasmosis di sistem saraf pusat j) Ensefalopati HIV

k) Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis l) Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar

m) Leukoencephalopathy multifocal progresif n) Cyrptosporidiosis kronis

o) Isosporiasis kronis

p) Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) q) Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid) r) Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)

s) Karsinoma serviks invasif

t) Leishmaniasis diseminata atipikal

u) Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

2.1.9.Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDS

Menurut Retnowati (2007), ada beberapa macam pemeriksaan penunjang pada pasien HIV/AIDS:

1. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV

(30)

Enzyme-linked Immunosorbant Assay (ELISA) dan Rapid test. Hasil pemeriksaan

tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan menggunakan tes Western Blot. 2. Deteksi antigen HIV. Pendeteksian antigen HIV adalah menggunakan

deteksi protein virus dan deteksi asam nukleat. Deteksi protein virus dilakukan dengan mendeteksi protein p24 dengan metode p24 antigen capture assay. Deteksi asam nukleat dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

3. Pemeriksaan kadar CD4 dan Viral Load. Pemeriksaan kadar CD4 bertujuan dalam pemantauan keberhasilan terapi dan tingkat keparahan penyakit. Pemeriksaan tersebut dapat dialkukan dengan imunofloresen antibodi monoklonal atau dengan alat flowcytometer. Namun, bila terdapat keterbatasan alat, dapat dilakukan dengan penghitungan limfosit total. Pemeriksaan Viral Load dilakukan untuk mengetahui jumlah virus dan berguna dalam pemantauan hasil pengobatan.

2.1.10. Penatalaksanaan HIV/AIDS

Untuk memulai terapi antiretroviral, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar CD4 terlebih dahulu. Pengobatan dimulai pada kadar CD4 <350 sel/mm3. Namun, jika tidak tersedia peralatan pemeriksaan kadar CD4, dapat dilakukan pemberian obat antiretroviral berdasarkan stadium klinis (Kemenkes,2009).

Tabel 2.1. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi

Penderita HIV dewasa

Stadium klinis 1 dan 2

>350 sel/mm3 Belum mulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan. <350 sel/mm3 Mulai terapi Stadium Klinis 3

Ibu Hamil Apapun stadium klinisnya

Berapapun jumlah sel CD4

(31)

Sumber: Kemenkes, 2009

Pemerintah menganjurkan pemberian pengobatan antiretroviral mengandung 2 Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor + 1 Non Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor.

Tabel 2.2. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang yang belum pernah menerima terapi antiretroviral

Populasi Target Pilihan yang direkomendasikan Catatan

Dewasa dan anak Zidovudin atau Tenofovir + Lamivudin (atau Emtricitabine) +

Efavirenz atau Nevirapine

Perempuan Hamil Zidovudin + Lamivudin + Efavirenz atau Nevirapine

Zidovudin atau Tenofovir + Lamivudin + Efavirenz

Mulai terapi

antiretroviral segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2

Tenofovir + Lamivudin + Efavirenz atau Nevirapine

Diperlukan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV Sumber: Kemenkes,2011

Pemantauan klinis terhadap pengobatan antiretroviral dilakukan pada minggu 2, 4, 8, dan 24 minggu sejak mulai terapi antiretroviral dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil. Pemantauan CD4 perlu dilakukan secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis (Kemenkes,2011).

2.2. Tuberkulosis

2.2.1. Epidemiologi Tuberkulosis

(32)

Di Indonesia, angka notifikasi kasus BTA positif baru pada tahun 2011 adalah 83 kasus per 100.000 penduduk, yang meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 78 kasus per 100.000 penduduk (Kemenkes,2012).

2.2.2. Mycobacterium tuberculosis

Bakteri penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis,

berebentuk batang, aerob, berukuran 0,4 x 3 mikrometer, dan tidak berspora. Mycobacterium tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram negatif ataupun positif. Namun, digolongkan sebagai Bakteri Tahan Asam karena sekali bakteri tersebut diwarnai, tidak dapat dilunturkan lagi menggunakan asam alkohol (Brooks, Butel, dan Morse, 2004).

2.2.3. Patogenesis Tuberkulosis

1. Tuberkulosis Primer

Penularan terjadi akibat kuman yang terdapat dalam droplet yang infkesius terhisap masuk kedalam paru-paru oleh penderita. Kuman pertama kali akan berhadapan dengan neutrofil dan kemudian dengan makrofag. Kebanyakan bakteri akan dibersihkan oleh makrofag dan sebagian lagi tetap terperangkap pada jaringan paru. Bakteri yang terperangkap ini akan berkembang biak pada makrofag. Kemudian akan terbentuk fokus primer yang merupakan sarang-sarang tuberkulosis. Dari fokus primer akan timbul limfangitis lokal menuju hilus dan diikuti pembersaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Hal ini membentuk kompleks primer (Amin & Bahar, 2009).

2. Tuberkulosis Pasca Primer

Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul kembali menjadi tuberkulosis pasca primer (sekunder). Tuberkulosis sekunder terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh seperti AIDS, penyakit keganasan, diabetes, dan pada penurunan imun lainnya. Dimulai dengan

(33)

akibat jaringan disekitar tuberkel mengalami nekrosis. Nekrosis perkejuan akan menjadi kavitas bila isi-nya keluar akibat dibatukkan. Dapat juga terjadi TB milier akibat isi kavitas menyebar melalui arteri (Amin & Bahar, 2009)

2.2.4. Gejala Klinis TB

Menurut Amin & Bahar (2009), gejala klinis TB adalah:

1. Demam, biasanya subfebril. Dapat terjadi secara kambuh-kambuhan. 2. Batuk/Batuk darah, akibat terjadinya iritasi pada bronkus. Batuk darah

terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Kebanyakan terjadi pada kavitas, namun juga dapat terjadi pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak nafas, ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dan infiltrasi meliputi sebagian paru.

4. Nyeri dada, timbul akibat peradangan yang mencapai pleura sehingga terjadi pleuritis.

5. Malaise, ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

2.2.5. Pemeriksaan Penunjang TB

Pemeriksaan penunjang TB paru adalah melalui beberapa pemeriksaan yaitu:

1. Mikroskopis BTA.

Diagnosis yang meyakinkan adalah berdasarkan penemuan bakteri M.tuberculosis pada pewarnaan sputum ataupun jaringan. Pemeriksaan ini

memiliki sensitivitas yang rendah (40-60%). Metode pewarnaan adalah menggunakan metode Ziehl Nielsen ataupun Kinyoun. Pada pasien yang diduga menderita TB, dilakukan pengambilan 3 spesimen sputum yang diambil pada pagi hari dan langsung diwarnai (Raviglione & O’Brien, 2009).

(34)

Bakteri tahan asam diinterpretasikan berwarna merah pada pewarnaan Kinyoun dan Ziehl Nielsen. Laporan pemeriksaan dibuat dalam beberapa skala. Skala yang sering dipakai adalah skala International Union Againts Tuberculosis an Lung Disease (IUATLD) (Kumala,2009).

Tabel 2.3. Interpretasi BTA menurut IUALTD

Interpretasi Keterangan

Negatif Bila tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang

Tulis jumlah BTA Bila ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ atau + Bila ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang

2+ atau ++ Bila ditemukan 1-10 BTA dalam satu lapangan pandang

3+ atau +++ Bila ditemukan lebih dari 10 BTA dalam satu lapangan pandang

Sumber: Diagnosis Laboratorium Mikrobiologi Klinik, 2009

2. Kultur

Kultur M.tuberculosis dilakukan pada media Lownstein-Jensen atau Middlebrook 7H10/7H11 dan diinkubasi pada 35-370 celsius dengan CO2 5-10% selama 8 minggu (Brooks, Butel, dan Morse, 2009).

3. Radiologi

Secara radiologis, TB paru dibedakan atas:

a. TB paru primer : Kelainan biasanya terjadi pada satu lobus, dan paru kanan lebih sering terkena. Kelainan foto toraks yang dominan adalah limfadenopati hilus dan mediastinum. Pada paru bisa dijumpai infiltrat, ground glass opacity, konsolidasi segmental atau lobar, dan atelektasis, kavitas. Efusi pleura bisa dijumpai umumnya unilateral disertai kelainan pada paru (Icksan & Luhur, 2008).

b. TB paru post primer

(35)

segmen posterior lobus atas serta segmen superior lobus bawah.

ii. TB pneumonia dan bronkopneumonia : Lobus paru bisa terlihat konsolidasi dan kavitas bisa terlihat daerah konsolidasi pada lobus yang terkena. TB bronkopneumonia bisa memperlihatkan gambaran patchy dan bilateral

infiltratdan melibatkan daerah yang jarang terkena pada TB.

iii. Tuberkuloma : gambaran berupa nodul yang tegas, tetapi bisa dijumpai tepi ireguler karena adanya fibrosis. Bisa multipel dan mencapai ukuran 5 cm dan bisa didapati kalsifikasi pada nodul.

iv. TB paru milier : bisa dijumpai foto toraks normal atau bisa berupa nodul milier berukuran 2-3 mm, yang tersebar merata di kedua paru.

c. Pleuritis TB : terjadi efusi pleura. (Icksan & Luhur, 2008) 4. Tes tuberkulin

Uji tuberkulin mengandung derivat protein yang dimurnikan melalui fraksionisasi kimiawi dari konsentrasi filtrat kaldu tempat basil tuberkulosis ditumbuhkan. Terbagi atas 1TU, 5TU, dan 250 TU. Yang sering digunakan adalah 5TU. Tuberkulin diberikan dengan cara disuntikkan ke pasien. Orang yang belum pernah kontak dengan mikobakterium tidak akan menimbulkan reaksi terhadap uji tuberkulin. Sedangkan orang yang pernah mengalami infeksi primer, terjadi indurasi, edema, eritema, dan bahkan nekrosis sentral pada daerah penyuntikan dalam waktu 24-48 jam (Brooks, Butel, dan Morse, 2008).

Hal ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat, yang

(36)

Hasil postif jika indurasi lebih besar sama dengan 10 mm. Interpretasi positif adalah menandakan bahwa seorang individu pernah terinfeksi diwaktu lampau dan terus mengandung mikobakterium yang hidup dalam beberapa jaringan (Brooks, Butel, dan Morse, 2008).

5. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Reaksi PCR adalah metode amplifikasi suatu sekuens DNA tertentu. PCR merupakan cara yang sensitif, selektif, dan sangat cepat untuk memperbanyak sekuens DNA yang diinginkan. (Granner & Weil,2006) Salah satu metode dalam mendeteksi TB adalah Xpert MTB/RIF yang merupakan pengembangan dari metode PCR untuk mendeteksi gen TB. Sensitifitas alat ini lebih tinggi dibandingkan dengan metode pewarnaan BTA. Pada koinfeksi HIV-TB, sensitifitas pewarnaan BTA dapat menurun. Namun hal ini tidak terjadi pada metode PCR (WHO,2011)

2.2.6. Penatalaksanaan TB

Tujuan penatalaksanaan TB adalah menghentikan transmisi tuberkulosis dengan menjadikan pasien tidak infeksi dan mencegah morbiditas dan mortalitas dengan mengobati pasien. Empat obat-obatan lini pertama digunakan pada penatalksanaan TB yaitu : Isoniazid (H), Rifampicin (R), Pyrazinamide (Z), dan Ethambutol (E). Lini kedua pada pengobatan TB digunakan pada pasien-pasien yang telah mengalami resisten pada pengobatan lini pertama. Terdapat enam golongan obat-obatan lini kedua yaitu: golongan aminoglikosida yang dapat diinjeksikan Streptomycin (S), Kanamycin, Amikasin; Capreomycin Polypeptida yang dapat diinjeksikan; Ethionamide, cycloserine, dan Para-Aminosalicylic (PAS); dan antibiotik golongan flouroquinolon (Raviglione & O’Brien, 2010)

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menetapkan regimen pengobatan terhadap TB sebagai berikut:

a. Kategori 1

(37)

sekali sehari selama 2 bulan) dan tahap lanjutan diberikan 4H3R3 (HR diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan).

b. Kategori 2

Panduan obat ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya dimana pasien mengalami pasien kambuh, pasien gagal, dan

pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. Panduan yang diberikan pada tahap intensif adalah 2HRZES (HRZES diberikan sekali sehari selama 2 bulan) atau 2HRZE (HRZE diberikan sekali sehari selama 2 bulan) dan tahap lanjutan diberikan 5H3R3E3 (HRE diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan).

c. OAT sisipan

OAT sisipan adalah sama seperti panduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan.

Pemantauan hasil pengobatan adalah dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak dinilai lebih baik dalam mengontrol hasil pengobatan dibandingkan dengan hasil pemriksaan radiologi. Dahak diperiksa 2 kali yaitu sewaktu dan pagi. Hasil pemeriksaan dikatakan negatif bila didapatkan kedua pemeriksaan tersebut negatif, dan postif jika didapatkan salah satu atau keduanya positif (Kemenkes,2011).

2.3. Koinfeksi TB-HIV

2.3.1. Epidemiologi TB-HIV

Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik yang menyerang pasien HIV/AIDS. Tahun 2011 di Amerika Serikat, dari 8.683 orang yag didiagnosis TB yang menjalani tes HIV, 6% menderita koinfeksi dengan HIV. Tahun 2006 769 dari 6.533 pasien TB didiagnosis menderita koinfeksi HIV (CDC,2013).

2.3.2. Hubungan TB-HIV

(38)

berkurang dan bahkan tidak terjadi pada pasien HIV. Tuberkulosis dapat muncul dalam berbagai stadium infeksi HIV. Ketika imunitas selular sebagian terganggu, TB paru menunjukkan gambaran infiltrat pada lobus atas, kavitas, dan tanpa limfadenopati atau efusi pleura yang signifikan. Pada HIV stadium lanjut, TB menunjukkan gejala seperti TB primer dengan infiltrat milier, sedikit atau tanpa

kavitas dan limfadenopati intra toraks. Pemeriksaan sputum positif sangat jarang ditemukan pada pasien yang menderita HIV. Hal ini menjadikan TB sulit didiagnosis pada pasien HIV (Raviglione & O’Brien, 2010).

I. Peningkatan Infeksi & Reaktivasi TB oleh HIV

Penurunan CD4 merupakan hal yang terjadi pada penderita AIDS. Hal ini memberi pengaruh besar terhadap peningkatan reaktivasi TB laten dan juga meningkatkan kemungkinan infeksi baru. Beberapa mekanisme yang mendukung infeksi TB pada penderita HIV adalah peningkatan reseptor TB pada makrofag, manipulasi jalur pembunuhan bakteri oleh HIV, perubahan regulasi kemotaksis dan ketidakseimbangan Th1/Th2. Kemudian HIV juga mempengaruhi respon apoptosis makrofag yang diperantarai Tumor Necrosis Factor (TNF) terhadap M.tuberculosis sehingga menjadikan bakteri tersebut dapat bertahan (Pawlowski

et al.,2012)

Pada TB fase laten, kuman TB tidak sepenuhnya dimusnahkan walaupun kuatnya pertahanan dari Th1. Kegagalan atau melemahnya pertahanan tersebut dapat menimbulkan reaktivasi infeksi tersebut. Beberapa mekanisme imun yang mempertahankan dan menjaga perkembangan bakteri TB mengalami gangguan akibat infeksi dari HIV. Sehingga meningkatkan kemungkinan untuk menjadikan TB aktif (Pawlowski et al., 2012).

Granuloma terbentuk untuk melokalisasi TB agar tidak menyebar dan berkembang. CD4 dan TNF memegang peranan penting dalam menjaga utuhnya granuloma tersebut. Keutuhan granuloma dapat terganggu pada orang yang

(39)

dapat menyebar dari granuloma dan menyebabkan infeksi (Pawlowski et al., 2012).

Gambar 2.3 Mekanisme Aktivasi TB Laten oleh HIV

Sumbe

II. Peningkatan Replikasi HIV akibat TB

Bakteri TB meningkatkan replikasi akut ataupun kronik HIV pada sel T

dan makrofag. Pada penelitian in vitro ditemukan peningkatan viral load pada pasien yang terinfeksi HIV-TB. Juga didapatkan bahwa TB dapat meningkatkan infeksi dan replikasi dari HIV pada monocyte-derived macrophage (MDM) , meningkatkan efisiensi transmisi virus dari MDM yang terinfeksi ke sel T, peningkatan replikasi akibat peningkatan dari koreseptor CXCR4. TNF yang diproduksi akibat respon dari infeksi TB mengaktifkan replikasi HIV di makrofag. Bakteri TB yang bertahan pada sel dendritik secara aktif menurunkan kerja pro-inflamatory dan kemampuan mempresentasikan antigen (Pawlowski et al., 2012).

2.3.3. Diagnosis TB Paru-HIV

(40)

menyingkirkan adanya penyakit. Kemudian dilakukan kultur terhadap sputum (Wulandari, 2007).

Menurut Onubogu et al. (2010) dalam penelitiannya, dari 236 pasien TB-HIV yang diperiksa mikroskopis BTA didapatkan 145 orang negatif dan 91 orang positif. Namun, dari 145 orang yang negatif tersebut dilakukan kultur terhadap sputum dan didapatkan hasil kultur positif. Menurut Coimbra et al. (2012) dalam

penelitiannya, hasil pemeriksaan sputum yang negatif merupakan salah satu faktor yang berhubungan dalam terlambatnya pengobatan pada pasien koinfeksi TB-HIV.

Menurut Fredy, Liwang, Kurniawan & Nasir (2012), terdapat korelasi yang sangat lemah antara jumlah CD4 dengan jenis TB pada pasien TB-HIV di Indonesia (p=0.042).

2.3.4. Penatalaksanaan TB-HIV

Panduan penatalaksanaan antiretroviral untuk koinfeksi tuberkulosis yang berlaku di Indonesia adalah:

Tabel 2.4, Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB

CD4 Panduan yang dianjurkan Keterangan

Berapapun jumlah CD4 Mulai terapi TB.

Gunakan panduan yang mengandung EFV (AZT atau TDF) + 3TC + EFV (600mg/hari).

Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP.

Pada keadaan dimana panduan berbasis NVP terpaksa digunakan bersamaan dengan pengobatan TB maka NVP

diberikan tanpa lead-in dose (NVP diberikan tiap 12 jam sejak awal terapi)

Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu)

CCD4 tidak mungkin diperiksa

(41)

Kualitas hidup penederita koinfeksi TB-HIV sangat terpengaruh akibat penyakitnya. Menurut penelitian Deribew et al.(2009), didapatkan kualitas hidup penderita TB-HIV lebih rendah dari pada penderita HIV tanpa koinfeksi. Hal ini disebabkan tingginya tingakat depresi, rendahnya dukungan keluarga, rendahnya pendidikan pasien sehingga meningkatkan stigma yang buruk pada dirinya sendiri. Dalam penelitian lain Deribew et al. (2013), dalam penelitiannya

(42)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini untuk mengetahui gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek TB Paru-HIV.

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV

3.2.Definisi Operasional

3.2.1. Pasien HIV positif

a. Definisi : Penderita HIV positif adalah penderita HIV berusia >15 tahun yang berkunjung dan didiagnosis dokter menderita infeksi virus HIV, sesuai yang tercatat di Rekam Medis

Klinik Pusyansus RSUP.. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 sampai Desember 2012.

b. Cara ukur : Observasi

c. Alat ukur : Rekam medis

d. Skala pengukuran : Nominal

(43)

3.2.2. Suspek Ko-infeksi TB-HIV

e. Definisi : Suspek Koinfeksi TB-HIV adalah pasien HIV positif yang mengalami salah satu gejala dari TB Paru: Batuk selama 2-3 minggu atau lebih, demam hilang timbul lebih dari 1 bulan, keringat malam tanpa aktivitas, penurunan berat

badan tanpa penyebab yang jelas, pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih dari 2 cm.

f. Cara ukur : Observasi

g. Alat ukur : Rekam medis

h. Skala pengukuran : Nominal

3.2.3. Pemeriksaan Sputum

a. Definisi :Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan dahak pada pasien suspek TB-HIV yang dilakukan sebanyak 3 kali yaitu sewaktu, pagi, sewaktu.

b. Cara ukur : Observasi

c. Alat ukur : Rekam medis

d. Skala pengukuran : Ordinal

3.2.4. BTA postif

BTA positif adalah minimal satu hasil pemeriksaan dahak dari ketiga pemeriksaan positif.

3.2.5. BTA negatif

(44)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV. Adapun desain penelitian ini adalah cross sectional, dilakukan pengumpulan data sekunder penderita suspek koinfeksi TB Paru-HIV yang diperoleh dari klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan.

4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan sejak tanggal 15 Agustus 2013 – 15 September 2013.

4.3.Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pasien positif HIV/AIDS yang berobat dan tercatat dalam rekam medis di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 sampai Desember 2012.

4.3.2. Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, yaitu seluruh penderita positif HIV/AIDS dan diduga menderita koinfeksi TB Paru-HIV yang berobat di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 sampai Desember 2012 yang masuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1) Kriteria Inklusi

(45)

b. Menderita gejala suspek koinfeksi TB Paru-HIV, yaitu salah satu dari gejala berikut : Batuk selama 2-3 minggu atau lebih, demam hilang timbul lebih dari 1 bulan, keringat malam tanpa aktivitas, penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas, dan pembesaran kelenjar getah bening

dengan ukuran lebih dari 2 cm. c. Menjalani pemeriksaan BTA sputum 2) Kriteria Eksklusi

a. Data tidak lengkap

4.4.Metode Pengumpulan Data

Pada tahap awal, peneliti mengajukan ethical clearance pada Komisi Etik Penelitian Kesehatan. Kemudian peneliti mengajukan izin penggunaan data rekam medis kepada manajemen RSUP. Haji Adam Malik Medan. Setelah mendapatkan izin, maka peneliti melakukan pengumpulan data penelitian dari data sekunder yaitu rekam medis pasien yang diperoleh dari Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan.

4.5. Pengolahan Data

(46)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Klinik CST Pusyansus, RSUP. Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini terletak di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara. RSUP. Haji Adam Malik merupakan rumah sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, NAD, Sumatera Barat, dan Riau.

5.1.2. Karakteristik Sampel

Sampel dalam penelitian ini dipilih dari 1299 pasien positif HIV yang berobat di Klinik Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan. Dari 1299 pasien HIV positif, didapatkan 761 pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV dan dari 761 pasien suspek TB diambil 271 pasien yang dimasukkan dalam penelitian karena memenuhi kriteria peneliti untuk menjadi sampel penelitian.

Gambar 5.1. Sampel penelitian Adapun karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel berikut:

Pasien HIV Positif tahun 2011-2012

1299 Orang

Pasien Suspek Koinfeksi TB Paru-HIV

761 Orang

Pasien memenuhi kriteria peneliti dan dimasukkan sebagai sampel

271 Orang

BTA Positif

(47)

Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan umur

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa kelompok usia terbanyak pada sampel adalah 31-40 tahun (41,7%) , 21-30 tahun (41,3%), dan 41-50 tahun (11,1%). Kelompok usia terbanyak pada pasien yang BTA positif adalah 31-40 tahun (42,2%).

Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Suspek TB BTA Positif

n % n %

Laki-laki 178 65,7 38 84,4

Perempuan 93 34,3 7 15,6

Jumlah 271 100 45 100

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis kelamin sampel ini adalah Laki-laki sebanyak 178 orang (65,7%) dan Perempuan sebanyak 93 orang (34,3%). Jenis kelamin terbanyak pada pasien BTA positif adalah laki-laki (84,4%).

Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan Suspek TB BTA Positif

(48)

Tabel 5.3 menunjukkan tingkat pendidikan sampel yang terbanyak adalah Sekolah Menengah Atas yaitu sebanyak 130 orang (48%). Sampel yang berpendidikan tinggi Diploma sebanyak 14 orang (5,2%) dan Sarjana sebanyak 18 orang (6,6%). Tingkat pendidikan terbanyak pada pasien BTA Positif adalah SMA (44,4%).

Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan pekerjaan

Jenis Pekerjaan Suspek TB BTA Positif

n % n %

Tabel 5.4 menunjukkan pekerjaan sampel terbanyak adalah Wiraswasta yaitu sebanyak 53 orang (19,6%). Pekerjaan terbanyak pada pasien BTA Positif adalah Wiraswasta sebanyak 17 orang (37,8%).

Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan status pernikahan

Status pernikahan Suspek TB BTA Positif

n % n %

Menikah 136 50,2 25 55,6

Belum Menikah 56 20,7 11 24,4

Data tidak lengkap 79 29,2 9 20

Jumlah 271 100 45 100

(49)

Tabel 5.6. Faktor risiko penularan HIV yang terjadi pada sampel

Faktor risiko Suspek TB BTA Positif

Jumlah Jumlah

Hubungan sex vaginal berisiko 124 25

Anal sex berisiko 11 3

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa faktor risiko terbanyak dalam penularan HIV pada sampel adalah Hubungan seks vaginal berisiko. Faktor risiko penularan HIV terbanyak pada pasien BTA Positif adalah Hubungan seks vaginal berisiko.

Tabel 5.7. Gambaran CD4 pada sampel

Nilai CD4 Suspek TB BTA Positif

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa nilai minimum CD4 pada sampel adalah 1/mm3, nilai maksimum 1161/mm3, dan nilai rata-rata 143,56/mm3. Nilai CD4 pada pasien BTA Positif adalah minimum 1/mm3 , maksimum 368/mm3 , dan rata-rata 72,88/mm3 .

Tabel 5.8. Distribusi sampel berdasar hasil pemeriksaan BTA

Hasil Pemeriksaan Suspek TB

n %

Positif 45 16,6

Negatif 226 83,4

Jumlah 271 100

(50)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan

Berdasarkan tabel 5.1, kelompok usia sampel dari golongan umur 31-40 tahun yaitu sebanyak 113 orang (41,7%) disusul dengan kelompok umur 21-30 tahun sebanyak 112 orang (41,3%) dan kemudian 41-50 tahun sebanyak 30 orang

(11,1%). Hal ini sesuai dengan Kemenkes RI (2012), dalam statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia tahun 2012 yang menunjukkan bahwa kelompok usia kasus AIDS terbanyak adalah pada kelompok 20-49 tahun yang merupakan usia produktif pada manusia.

Berdasarkan tabel 5.2, laki-laki menunjukkan jenis kelamin terbanyak pada sampel penelitian ini yaitu sebanyak 178 orang (65,7%) dan perempuan sebanyak 93 orang (34,3%). Hal ini disokong oleh statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia tahun 2012 yang menunjukkan bahwa laki-laki menduduki tempat terbanyak pada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Menurut Adi (2011), ada perbedaan perilaku seksual antara mahasiswa pria dan wanita. Pria dinilai lebih agresif dalam perilaku seksual dibandingkan dengan wanita. Hal ini dapat mendukung dalam hal penularan HIV yang lebih tinggi pada pria.

Berdasarkan tabel 5.3, tingkat pendidikan sampel terbanyak adalah sampai dengan SMA yaitu sebanyak 130 orang (48%). Hal ini sesuai dengan penelitian Gunaseelan (2010), yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien HIV dengan Tuberkulosis di RSUP Haji Adam Malik tahun 2008-2010 adalah SMA yaitu sebanyak 166 orang. Pendidikan juga berhubungan terhadap tingkat pengetahuan mengenai HIV. Menurut Oktarina, Hanafi, dan Budiasuri (2009), orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang HIV. Orang yang memiliki pengetahuan lebih tetang HIV cenderung menjauhi risiko tertular HIV. Menurut Carvalho et al. (2008), pendidikan biasanya digunakan dalam mengukur status sosio-ekonomi

(51)

5.2.2. Pembahasan berdasarkan karakteristik pekerjaan, status pernikahan,

dan faktor risiko penularan.

Berdasarkan tabel 5.4, jenis pekerjaan terbanyak pada sampel adalah wiraswasta yaitu sebanyak 53 orang (19,6%). Menurut Carvalho et al. (2008), pekerjaan khususnya pada pria yang sering bepergian dan bertemu dengan banyak

orang meningkatkan kemungkinan orang tersebut untuk terpapar bakteri Tuberkulosis. Dalam hal ini menjadikan pekerjaan sebagai faktor yang mempengaruhi kemungkinan penularan Tuberkulosis pada sampel.

Berdasarkan tabel 5.5, sampel yang sudah menikah adalah sebanyak 136 orang (50,2%) dan belum menikah sebanyak 56 orang (20,7%). Hal ini meningkatkan terjadinya penularan HIV antar pasangan. Sesuai dengan Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2012, bahwa penularan terbanyak HIV adalah melalui hubungan sex heteroseksual dimana pasangan suami istri termasuk didalamnya. Penularan tuberkulosis juga meningkat pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terinfeksi TB. Menurut Kemenkes (2011), umumnya penularan kuman TB terjadi pada orang-orang yang kontak erat dengan penderita TB serta berhubungan dengan tingkat imunitas penderita khususnya yang disertai HIV/AIDS.

Berdasarkan tabel 5.6, faktor risiko terbanyak penularan HIV adalah hubungan seksual vaginal berisiko yaitu sebanyak 124 kasus. Hal ini sesuai dengan statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2012 yang menunjukkan bahwa heteroseksual menjadi faktor risiko terbanyak penularan HIV/AIDS.

Faktor risiko penularan HIV melalui pasangan risiko tinggi juga menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 56 kasus. Perilaku seksual sangat berpengaruh terhadap penularan HIV pada pasangan suami istri. Menurut Wabiri dan Taffa (2013), 55% pasien HIV positif dan 29% HIV negatif dilaporkan hanya memiliki satu pasangan. 70% dari pasien HIV positif dan HIV negatif yang

(52)

Penggunaan alat suntik secara bergantian juga memberi sumbangan dalam risiko penularan HIV pada sampel yaitu 37 kasus. Menurut Reynolds, Fisher, dan Napper (2012) dalam Kresina, Lubran, Clark, dan Cheever (2012), menyatakan bahwa perilaku penggunaan alat suntik termasuk yang tidak steril meningkatkan risiko infeksi bakteri, jamur, protozoa, dan virus termasuk HIV dan Hepatitis. Hal

ini sering terjadi pada pengguna narkotika suntik (penasun) yaitu penggunaan jarum suntik secara bergantian yang tidak steril. Menurut Maramis (2007), pada tahun 2002 dilakukan penelitian untuk menghitung estimasi nasional infeksi HIV. Didapatkan risiko penularan HIV tertinggi adalah penggunaan narkotika suntik dan hubungan seksual. Menurut Kresina, Lubran, Clark, dan Cheever (2012), secara global penasun menyumbang 10% pada risiko penularan HIV. Menurut Soetjipto (2007), beberapa program yang dilakukan pada penasun untuk mengatasi ketergantungannya antara lain program rumatan metadon dan program pertukaran jarum suntik. Program rumatan metadon (PRM) sebagai penatalaksanaan/terapi pada penyalahgunaan narkotika khususnya pengguna narkotika suntik, sangat berperan penting dalam menurunkan penggunaan jarum suntik. PRM dilakukan dengan cara mengganti penggunaan narkotika suntik dengan opioida sintetik yang dapat diberikan secara oral memiliki efek lebih lama dan mengurangi gejala putus zat. Ketersediaan peralatan suntik yang steril serta dorongan penasun untuk memakainya adalah merupakan faktor penting dalam pengurangan penularan AIDS. Program pertukaran jarum suntik meliputi penyebaran informasi tentang risiko HIV/AIDS, penyediaan jarum suntik steril, dan memberikan bantuan pembuangan peralatan suntik bekas. Secara tidak langsung, program-program tersebut turut berperan dalam menurunkan angka penularan HIV melalui jarum suntik.

5.3. Pembahasan gambaran CD4 dan mikroskopis BTA pada sampel

Berdasarkan tabel 5.7, rata-rata CD4 sampel adalah 143,56/mm3. Keadaan

(53)

(2009), meningkatkan risiko terjadinya infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS.

Berdasarkan tabel 5.8, hasil pemeriksaan BTA pada sampel yang menunjukkan hasil positif adalah 45 orang (16,6%) dan menunjukkan hasil negatif adalah 226 orang (83,4%). Sesuai dengan penelitian Abebe, Deribew, dan Apers et al. (2013), yang juga menunjukkan hasil BTA positif yang sangat rendah

pada pasien suspek Koinfeksi TB-HIV yaitu hanya 5,6%. Menurut Kemenkes (2011), proporsi BTA positif pada seluruh suspek yang diperiksa adalah sebesar 10% hal ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada sampel.

Beberapa kemungkinan penyakit lain yang dapat menimbulkan gejala mirip TB Paru yang mungkin terjadi pada sampel sehingga pasien dijadikan sebagai suspek TB Paru adalah (Kemenkes, 2012):

1. Pneumonia Bakterial

Pneumonia ini dapat menyerang pasien HIV. Biasanya bakteri penyebab merupakan flora normal saluran nafas atas yang bermultiplikasi dan merusak paru. Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis.

2. Sarkoma Kaposi

Sarkoma kaposi ditandai dengan lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna biru kehitaman. Bila terjadi pada membran mukosa dapat menimbulkan gejala batuk, demam, hemoptisis, dan dispneu disertai lesi kulit di tempat lain. Foto toraks menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus atau gambaran efusi pleura.

3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)

PCP sering terjadi pada ODHA dewasa dengan stadium klinis 4. Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan sesak nafas

(54)

stadium lanjut akan ditemukan gambaran foto toraks seperti pneumonia/TB Paru.

4. Infeksi Jamur

Infeksi jamur yang sering ditemukan pada ODHA adalah Cryptococcus sp. dan Nocardia sp.. Gejala klinis Cryptococcus sulit

dibedakan dengan gejala klinis TB Paru. Diagnosis Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora fungi pada apusan dahak. Gejala Nocardiosis mirip TB Paru seperti batuk produktif dapat disertai darah, demam, mual, malaise, sesak nafas, keringat malam tanpa aktifitas, penurunan nafsu makan dan berat badan, nyeri sendi, dan nyeri dada.

Kemungkinan penyebab lain rendahnya nilai BTA Positif pada sampel adalah kemampuan pewarnaan BTA dalam mendeteksi bakteri Tuberkulosis. Menurut Koneman (1990) dan Plorde (1994) dalam Rosilawati, Sudarmono, dan Ibrahim (2002), pewarnaan BTA membutuhkan sedikitnya 10.000 BTA/ml sputum untuk dapat terlihat pada mikroskop. Pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV kemungkinan memiliki jumlah BTA yang lebih rendah dan menurut pengamatan peneliti, pasien HIV hanya memproduksi sedikit sputum dan sulit untuk mengeluarkan sputumnya. Untuk itu diperlukanlah pemeriksaan yang lebih sensitif untuk mendeteksi BTA.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah kultur. Menurut Sjobring et al. (1990) dan Hobby et al. (1973) dalam Rosilawati, Sudarmono, dan Ibrahim

(2002), kultur dapat dilakukan pada sampel sputum yang memiliki kandungan bakteri 10-100 sel. Menurut Scherer et al. (2011), sensitivitas dan spesifisitas kultur BTA lebih tinggi dibandingkan pewarnaan BTA, baik pada kelompok pasien TB dengan HIV positif maupun negatif. Namun, kultur memakan waktu

yang lebih lama dibandingkan pewarnaan BTA yaitu 2-8 minggu untuk mendapatkan hasil.

(55)

yaitu metode Xpert MTB/RIF. Menurut WHO (2011), sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan ini cukup tinggi, baik pada TB BTA positif maupun BTA negatif/kultur positif. Metode ini dapat mendeteksi sedikitnya 5 DNA murni Mycobacterium tuberculosis. Waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil

pemeriksaan lebih singkat yaitu kurang dari 2 jam, namun membutuhkan biaya

(56)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Gambaran mikroskopis BTA pada pasien-pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV yang berobat di Klinik Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 - Desember 2012 adalah postif sebanyak 45 orang (16,6%).

2. Jumlah penderita dengan HIV positif di Klinik Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2011 sebanyak 690 orang dan tahun 2012 sebanyak 609 orang.

3. Jumlah penderita koinfeksi TB Paru-HIV di Klinik Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2011 dan 2012 adalah sebanyak 122 orang. 4. Kesimpulan karakteristik adalah sebagai berikut:

a. Kelompok usia terbanyak adalah 31-40 tahun sebanyak 113 orang (41,7%) dan terendah adalah <20 tahun sebanyak 1 orang (0,4%). b. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 178 orang (65,7%)

dan perempuan sebanyak 93 orang (34,3%).

c. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA sebanyak 130 orang (48%) dan terendah adalah SD sebanyak 13 orang (4,8%).

d. Jenis pekerjaan terbanyak adalah Wiraswasta sebanyak 53 orang (19,6%) dan terendah adalah Pelajar sebanyak 1 orang (0,4%).

e. Jumlah sampel yang telah menikah adalah sebanyak 136 orang (50,2%) dan belum menikah sebanyak 56 orang (20,7%).

f. Faktor risiko penularan HIV terbanyak adalah Hubungan seksual vaginal beresiko sebanyak 124 kasus dan terendah adalah penularan

dari ibu ke anak sebanyak 0 kasus.

6.2. Saran

Gambar

Gambar 2.1. Struktur HIV  Sumber: Penyakit Infeksi di Indonesia, 2007
Gambar 2.2. Patogenesis HIV
Tabel 2.1. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
Tabel 2.2. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini menggunakan elemen-elemen multimedia yaitu gambar, teks, suara, dan animasi kedalam suatu bentuk aplikasi yang diharapkan mudah digunakan oleh siapa saja dan

Persiapan Kegiatan diawali dari penyusunan Renja yang dibuat pada

Melalui langkah-langkah yang khusus ini, objektif, bahan bantu mengajar, dan aktiviti khusus yang bersesuaian dengan masalah yang dihadapi oleh murid hendaklah

Keluarga yang harus dihubungi dalam keadaan darurat kesehatan.. Jenis asuransi kesehatan yang

Perbaikan saluran irigasi Dukuh Tanjungarum Desa Glagahw angi Kecamat an Polanharjo (Eks.

Sejatinya, kedua kalimat tersebut memiliki koherensi yang kuat dimana hak perdata dari seorang ayah hanya dapat diterima oleh anak sah atau anak yang lahir sebagai akibat

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

Baling-baling pada turbin angin yang memiliki pitch control dapat diatur menjauhi atau mendekati arah datangnya angin saat daya keluaran sangat tinggi. ataupun sangat