KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
TERHADAP PALESTINA MELALUI UNITED STATES
SECURITY COORDINATOR (USSC)
PERIODE 2005-2012
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Khalisotussurur
NIM: 107083000030
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina
melalui United States Security Coordinator (USSC) pada Periode 2005-2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi didirikannya
USSC dan menilai efektivitas kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina
melalui USSC. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustakan dan wawancara. Penelitian ini
menemukan bahwa didirikannya USSC bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan
internal Palestina. Adanya ketertiban di internal Palestina akan memberikan dampak positif
terhadap keamanan Israel yang merupakan aliansi Amerika Serikat. Ketertiban dan keamanan
wilayah internal Palestina di Tepi Barat khususnya dijaga dengan memberikan bantuan
keamanan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga keamanan melalui pelatihan dan
pemberian perlengkapan militer. Pelatihan-pelatihan tersebut diprogram untuk kepolisian dan
bukan militer sehingga dijamin tidak akan membahayakan keamanan Israel.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah konsep kebijakan luar
negeri, kepentingan nasional, bantuan luar negeri, dan perspektif realisme. Dari hasil analisa
menggunakan keempat pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bantuan keamanan
yang diberikan Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC tidak efektif karena
beberapa hal. Pertama, Palestina tidak memiliki keleluasaan untuk mereformasi sektor
keamanannya sendiri. Kedua, reformasi sektor keamanan tidak berpengaruh terhadap
pelayanan masyarakat dan ketertiban internal Palestina. Ketiga, reformasi sektor keamanan
tidak berpengaruh terhadap perdamaian Israel-Palestina.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul ”Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Palestina Melalui United States Security Coordinator (USSC) Periode 2005-2012”. Skripsi ini sebagai syarat
untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.
Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini, ungkapan terima kasih yang dalam ingin penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional
FISIP UIN Jakarta yang telah memberikan masukan dan arahan yang baik kepada
penulis dalam mempersiapkan proposal skripsi menuju DPS.
2. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., selaku Pembimbing Akademik Hubungan Internasional FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Teguh Santosa, MA yang telah bersedia menjadi pembimbing skripsi penulis
dalam rangka menyelesaikan studi. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk
memberikan arahan, saran, dan motivasi berharga di tengah kesibukannya.
4. Ibu Rahmi Fitriyanti dan Bapak Fajri selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan
waktu untuk membaca dan mengujikan skripsi ini.
5. Bapak Hamdan Basyar selaku peneliti LIPI, yang telah meluangkan waktunya untuk
diwawancara oleh penulis dan menjelaskan secara detail kepada penulis mengenai
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan perkembangan politik internasional Timur
Tengah.
6. Ayahanda tercinta Sirajuddin Syamsul Arifin dan Ibunda tercinta Mazidah Maksum selaku orang tua yang telah memberikan do’a restu dan semangat, baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Tidak lupa juga kepada kakak-adik penulis
yaitu Zulfa Simatur, Elsyifa Mazra, Pandu Angga, dan Kopi yang telah memberikan
dukungan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Doni Purwanto yang telah memberikan penulis semangat terus menerus dan membantu
8. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi
yakni Keluarga Besar LPM INSTITUT, Legoso.co, dan teman-teman HI khususnya
Ade Piun, Noor Rahma Juli, Yeni Aryati, Pridania, Haninda Farah, Rina Dwihana serta
seluruh angkatan 2007.
9. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari mungkin masih terdapat berbagai kekurangan dalam karya ilmiah/skripsi
ini. Karena itu sangat diharapkan saran dan kritikan yang konstruktif untuk penyempurnaan
skripsi ini. Meski demikian sebagai karya ilmiah/skripsi segala isi dan bentuk dari skripsi ini
menjadi tanggung jawab penulis, yang pada saat-saat tertentu harus dipertanggungjawabkan
secara moral dan akademik. Terakhir penulis mengucapkan hamdalah, semoga menjadi ibadah, Amin ya Rabbal ’Alamin.
Jakarta, 25 November 2013
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
ABSTRAK SKRIPSI iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR SINGKATAN xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pertanyaan Penelitian 6
C. Kerangka Pemikiran 6
D. Metode Penelitian 11
E. Sistematika Penulisan 12
BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA
A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat 15
B. Bantuan Keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina 22
C. Reformasi Sektor Keamanan terhadap Palestina melalui USSC 30
BAB III UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC)
A. Sejarah Terbentuknya USSC 36
B. Profil USSC
1. Prinsip USSC 44
C. Sumber Daya USSC
D. 1. Kekuatan Finansial
a. INL 47
b. EUPOL COPPS 48
c. JIPTC 51
BAB IV EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI
USSC PADA PERIODE 2005-2012
A. Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan USSC 54
B. Efektivitas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap
Palestina Melalui USSC pada Periode 2005-2012 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 71
DAFTAR PUSTAKA 74
DAFTAR TABEL
Tabel II.B. Bantuan AS terhadap Palestina 1994-1998 24
Tabel III.C.1 Daftar Bantuan USSC terhadap Palestina 2007-2010 47
Tabel III.C.2 Daftar Bantuan USSC & EUPOL COPPS terhadap
Palestina 2008-2010 50
Tabel IV.A.1 Poling Tingkat Kepercayaan Masyarakat Palestina
terhadap Lembaga Keamanan 59
Tabel IV.A.2 Poling Tingkat Keyakinan Masyarakat Palestina
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
AS Amerika Serikat
DDR Disarmament, demobilization, dan reintegration
ENP The European Union Neighbourhood Policy
ESDP European Security and Defense Policy
EUPOL COPPS European Union Police Coordinating Office for Palestinian Police Support
HAM Hak Asasi Manusia
HRE Human Rights Experts
IDF Israeli Defence Force
INL International Narcotics and Law Inforcement Affairs
JIPTC Jordanian International Police Training Center
JSPD Jordania Public Security Directorate
NSF National Security Forces
PA Palestinian Authority
PASF Palestinian Authority Security Force
PBB Perserikatan Bangsa-bangsa
PLO Palestinia Liberation Organization
PPIO Press and Public Information Officer
RSK Reformasi Sektor Keamanan
SSR Security Sector Reform
TIPH Temporary International Presence in Hebron
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Amerika Serikat mulai memberikan bantuan bilateral pada Palestina pasca
Kesepakatan Oslo I antara Israel dan Palestina pada tahun 1993 (Benvenisti, 1993:
542). Israel dan Palestina menyepakati pembentukan pemerintahan otonomi
Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza (EthnoGraphic Media, 2010:6).
Pemerintahan otonomi Palestina harus mengatur semua kebutuhannya sendiri.
Dalam rangka membantu pemerintah otonomi Palestina yang baru terbentuk,
Amerika Serikat memberikan bantuan terhadap Palestina. Bantuan tersebut
ditujukan untuk meningkatkan sektor ekonomi, pelayanan sosial, kemanusiaan,
pendidikan dan menguatkan pemerintahan otonomi Palestina senilai lebih dari
empat miliar dolar AS (Zanotti, 2012: 7-8).
Pada 1996, Amerika Serikat memperluas bantuan bilateral ke sektor
keamanan dengan memberikan lima juta dolar untuk peralatan dan perlengkapan
militer Palestina. Bantuan keamanan itu diberikan untuk Pemerintah Otonomi
Palestina yang harus bertanggungjawab terhadap keamanan internal di wilayah
Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tentara Israel ditarik dari wilayah otonomi Palestina
dan digantikan oleh polisi Palestina yang menjaga keamanan wilayah mereka
(Kristoff, 2012: 3).
Selanjutnya, saat Intifada kedua terjadi pada September 2000, bantuan
bilateral Amerika Serikat terhadap Palestina difokuskan pada bantuan makanan
untuk pengungsi dan pemulihan infrastuktur (USAID.GOV, 2013). Sebelumnya,
Intifada pertama terjadi dari tahun 1987-1993 dengan aksi boikot ekonomi dan
pemuda Palestina yang melempari Tank Israel dengan batu (Ethnographic media,
2010:6). Pada Intifada Kedua, Palestina menyebut serangan ini sebagai
pertahanan terhadap serangan Israel. Akibat dari Intifada Kedua, sekitar 3000
orang Palestina dan 1000 orang Israel tewas (Zanotti, 2010: 6). Menurut laporan
U.S. Departement of State and Broadcasting Board of Governors (2011: 9). Intifada kedua tersebut melibatkan polisi Palestina untuk menyerang Israel. Pada
tahun 2001, terdapat sejumlah upaya negosiasi antara Israel dan Palestina tapi
tidak menghasilkan sebuah kesepakatan bersama sebagai solusi konflik kedua
negara (Ayyad & Anthony Pym, 2012: 1)
Selanjutnya, sebagai respon dari gagalnya negosiasi damai Israel-Palestina
dan terjadinya peristiwa intifada, Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendeklarasikan diri sebagai Kuartet pada
Oktober 2001 untuk merencanakan kembali proses negosiasi damai
Israel-Palestina. Kuartet menghasilkan draf Roadmap for Peace (Peta Jalan Damai) sebagai cara dalam mengakhiri konflik Israel dan Palestina (Mark, 2005: 4).
Tujuan pembentukan Kuartet yaitu untuk mencegah kekerasan Israel dan
Palestina dan mengakhiri konflik melalui proses politik. Kuartet memiliki tiga
misi, diantaranya, mendorong perundingan perdamaian Israel-Palestina secara
politik, memperbaiki kondisi keamanan, ekonomi, kemanusiaan Israel-Palestina,
serta memantau pelaksanaan Roadmap (Elgindy 2012, 18-19). Dalam forum Kuartet dihasilkan Roadmap Obligations. Roadmap Obligations adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh Israel dan Palestina untuk mencapai solusi dua negara
tersebut (Migdalovitz, 2010: 11). Solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina
two states, one Arab and one Jewish atau UN Resolution pada 29 November 1947. Resolusi ini diterima Yahudi tapi ditolak negara-negara arab (EthnoGraphic
Media, 2010:5-21).
Roadmap Obligations berisi poin-poin yang ditujukan untuk Israel dan Palestina. Adapun tiga poin di dalam Roadmap Obligations yang harus dipenuhi Palestina seperti dikutip dalam Journal of Palestine Studies XXXII (2003: 90), diantaranya:
1. Palestina bersikap tegas mengakhiri kekerasan dan terorisme, melakukan
upaya nyata untuk menahan individu atau kelompok yang menjalankan
serangan kekerasan terhadap Israel,
2. Membangun dan memusatkan kembali aparatur keamanan Palestina untuk
mempertahankan, menargetkan, dan mengoperasikan secara efektif semua
yang terlibat dalam teror dan membongkar kemampuan dan infrastruktur
teroris. Termasuk melakukan penyitaan senjata ilegal, konsolidasi
keamanan, dan terbebas dari keterlibatan teror dan korupsi,
3. Semua organisasi keamanan Palestina digabung ke dalam tiga layanan
yang dilaporkan pada Kementerian Dalam Negeri Palestina.
Dalam konteks membantu Palestina mengimplementasikan Roadmap Obligations, Amerika Serikat membentuk United States Security Coordinator
(USSC) pada tahun 2005 untuk memperbaiki sektor keamanan di Palestina dan
meningkatkan bantuan keamanannya untuk Palestina (Kushner dan Bedein, 2011:
5).
1. Israel tidak boleh melakukan tindakan yang mengurangi kepercayaan
seperti deportasi, menyerang sipil, menyita atau membongkar rumah
dan properti masyarakat Palestina sebagai tindakan hukuman untuk
memfasilitasi pembangunan Israel; Israel juga tidak boleh
menghancurkan institusi dan infrastruktur Palestina; Israel harus
menaati kesepakatan the Tenet Work Plan.
2. Untuk menunjukkan keamanan yang komprehensif ke depan, pasukan
Israel harus meninggalkan area pendudukan sejak 28 September 2000
dan Israel-Palestina harus mengembalikan status quo sebelum 28
September 2000. Pasukan keamanan Palestina harus pindah ke tempat
yang sudah ditinggalkan pasukan Israel.
Pemimpin USSC diutus langsung oleh kementerian luar negeri Amerika
Serikat (state.gov). USSC dipimpin langsung oleh Letnan Jendral Kipward pada
Maret 2005 hingga Desember 2005. Lalu Letnan Jendral Keith Dayton
menggantikan Kipward pada 2005-2010. Pada 2010, Moeller memimpin USSC
dan digantikan Paul Bushong pada 2012 (Maannews.net).
Sasaran USSC adalah mereformasi dan merestrukturisasi Palestinian Authority Security Force, melatih personil polisi, dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi aparat. Selain itu, USSC hadir untuk menjaga rakyat Palestina
dari konflik internal, membangun pertahanan untuk menjaga rakyatnya, dan upaya
persiapan membangun sebuah negara (Bedein, 2009: 4).
Hal tersebut senada dengan pernyataan Keith Dayton, Letnan Jendral
keselamatan dan keamanan untuk rakyat Palestina. Pasukan keamanan internal
yang dididik melalui USSC bertanggungjawab untuk menegakkan hukum dan
aturan, menghargai HAM, dan bukan untuk melawan Israel.
USSC memiliki misi yang terdiri dari tiga poin, diantaranya memfasilitasi
kerjasama Palestina dan Israel dan memastikan kapabilitas Palestinian Authority Security Force (PASF) tidak mengancam Israel; memimpin dan mengkoordinasikan bantuan internasional untuk PASF dari Amerika Serikat dan
donor internasional; membantu Palestinian Authority (PA) untuk memperbaiki dan memprofesionalkan keamanan dengan melatih dan melengkapi PASF untuk
Palestinian Obligations dalam RoadmapObligations (Government Accountability Office, 2010: 11).
Untuk menjalankan misi USSC, lembaga yang bermarkas di Jerusalem ini
juga mendapatkan bantuan keamanan dari beberapa negara, yakni, Yordania dan
Uni Eropa. Bantuan yang diberikan Yordania berupa fasilitas pelatihan pasukan
Palestina yang dilakukan di Jordania Public Security Directorate (JSPD) (Government Accountability Office, 2010: 3). Bantuan lain untuk USSC dikutip dalam Bedein (2009: 5) berasal dari Uni Eropa melalui European Union Police Coordinating Office for Palestinian Police Support (EUPOL COPPS) yang berkontribusi dalam sektor pelatihan pasukan keamanan internal Palestina.
Amerika Serikat sendiri mengalokasikan dana sekitar 392 juta dolar untuk melatih
dan mengembangkan Palestinian Authority Security Forces untuk tahun 2007 hingga 2010. Walaupun begitu, Amerika Serikat tetap memastikan bahwa bantuan
keamanan yang disediakannya tidak digunakan oleh individu atau kelompok yang
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui USSC merupakan
pembahasan yang menarik untuk diteliti karena bantuan keamanan Amerika
Serikat untuk Palestina diberikan berdasarkan kepentingan nasional Amerika
Serikat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami apa kepentingan nasional
Amerika Serikat melalui kebijakan luar negerinya dengan mendirikan USSC.
Untuk itu, penelitian ini mengambil judul: Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Melalui United States Security Coordinator (USSC) Terhadap Palestina pada Tahun 2005-2012.
B. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan yang muncul pada penelitian ini yaitu
1. Bagaimana efektivitas kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui United States Security Coordinator (USSC)?
C. Kerangka Pemikiran
Untuk menganalisa serta menjawab pertanyaan penelitian atas masalah
kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui USSC terhadap Palestina tahun
2005-2012, penelitian ini menggunakan perspektif realisme, teori kebijakan luar
negeri, konsep kepentingan nasional, dan konsep bantuan luar negeri. Perspektif
dan konsep digunakan untuk lebih memahami fenomena dan data-data yang ada.
Teori merupakan rangkaian konsep yang saling berhubungan dan digunakan
untuk menjelaskan fenomena tertentu. Lalu konsep merupakan sebuah kata yang
1. Perspektif Realisme
Asumsi realisme menurut Carr dikutip dalam Burchill dan Linklater
(2009: 97) meyakini bahwa tatanan internasional dibentuk oleh realitas kekuatan
global. Aktor kekuatan yang berdaulat untuk mengejar kepentingan
internasionalnya adalah negara. Sehingga, tidak ada kedaulatan di atas negara
yang dapat memaksakan hukumnya pada suatu negara. Kondisi ini menjadikan
tatanan internasional bersifat anarki, sehingga muncul kompetisi antarnegara
(Steans dan Pettiford, 2009: 46). Menurut Jackson dan Sorensen (2005: 89), agar
dapat berkompetisi dalam tatanan internasional yang anarki, negara membutuhkan
dominasi dan keamanan nasional.
Lebih lanjut, Steans dan Pettiford (2009: 58-59) menjelaskan
argumen-argumen pokok realisme yakni pertama, pada hakikatnya negara, layaknya manusia adalah makhluk yang bertingkah-laku mementingkan diri sendiri. Kedua,
negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional dan kebijakan luar
negerinya dimotivasi oleh kepentingan nasionalnya. Ketiga, kekuasaan menjadi kunci untuk memahami tingkah laku internasional dan negara. Keempat,
hubungan internasional merupakan ranah yang penuh dengan konflik karena
adanya benturan-benturan kepentingan antar negara.
2. Teori Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992: 82) berupa seperangkat ide
atau tindakan yang dibuat oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah
atau mendorong beberapa perubahan dalam kebijakan, tingkah laku atau tindakan
dari negara lain, aktor-aktor non negara, atau ekonomi internasional. Selanjutnya,
tujuan, dan nilai yang diinginkan masyarakat dan perlindungan yang ingin
dilakukan dari ancaman.
Selanjutnya, Holsti (1992: 271-285) menjelaskan bahwa kebijakan luar
negeri dipengaruhi dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal terdiri
dari kondisi sosio-ekonomi, karakteristik geografi dan topografi, atribut nasional,
struktur dan filosofi pemerintah, opini publik, dan birokrasi. Sedangkan faktor
eksternal terdiri dari struktur sistem internasional, struktur perekonomian dunia,
tujuan dan tindakan aktor lain, masalah regional dan global serta hukum
internasional dan opini dunia.
Pratt (1965: 3) membahas lebih spesifik mengenai sasaran kebijakan luar
negeri Amerika Serikat. Pertama, keamanan perbatasan nasional yang
independen; kedua, memperluas perbatasan untuk kepentingan keamanan,
navigasi, perdagangan, ruang untuk tumbuhnya populasi, dan menyebarkan
demokrasi; ketiga, mempromosikan dan melindungi hak dan kepentingan warga
Amerika dalam perdagangan, investasi di luar negeri, dalam keadaan damai, dan
perang; keempat, memelihara netralitas dan perdamaian; kelima, menjaga balance of power.
3. Konsep Kepentingan Nasional
Penelitian ini akan menjabarkan mengenai konsep kepentingan nasional
dan kebijakan luar negeri. Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep
kepentingan nasional. Menurut Morgenthau yang dikutip dalam Mas’oed (1990:
162-163), kepentingan nasional merupakan upaya negara untuk membentuk dan
mempertahankan kekuasaan serta mengendalikan negara lain melalui paksaan
negara tidak didasarkan pada alasan yang utopis seperti moral, legal, dan
ideologis.
Selain itu, menurut Holsti (1987: 176), kepentingan nasional merupakan
tujuan nasional suatu bangsa yang akan diraih dalam jangka waktu tertentu.
Tujuan nasional suatu bangsa menurut Prakash Chandra (1979: 81-82) didasarkan
pada lima faktor, diantaranya mempertahankan kedaulatan negara, mewujudkan
kepentingan ekonomi, melindungi prestise nasional dan membangun kekuatan
nasional, memelihara keamanan nasional, serta mewujudkan tatanan dunia.
Morgenthau (1907: 132-133) menjelaskan bahwa melalui kepentingan
nasional timbul kewajiban negara untuk melindungi negaranya secara fisik,
politik, dan budaya. Melindungi negara secara fisik meliputi perlindungan
terhadap integritas teritorial dan kedaulatan negara. Perlindungan politik yaitu
memelihara eksistensi sistem politik yang berlangsung. Terakhir, melindungi
budaya dengan cara mempertahankan etnis, agama, bahasa, nilai sejarah, dan
tradisi negara.
Lebih lanjut, Mas’oed (1990: 173-174) membagi kepentingan nasional
dalam beberapa kategori. Diantaranya konsep kepentingan nasional aspirasional,
operasional, dan eksplanatori dan polemik. Pada tingkat aspirasional, kepentingan
nasional masih berupa tujuan ideal yang ingin dicapai sebuah negara. Sehingga
kebijaksanaan belum dilaksanakan. Lalu pada tingkat operasional, kepentingan
nasional mengacu pada kebijaksanaan yang sedang dan telah dilaksanakan.
Ketiga, tingkat eksplanatori dan polemik digunakan untuk menjelaskan,
berguna untuk membuktikan kebenaran argumen sendiri dan kesalahan argumen
lawan.
Kepentingan nasional suatu negara merupakan tujuan dari kebijakan luar
negeri (Frankel, 1988: 93). Feng dan Ruizhuang (2009: 31) berpendapat bahwa
kebijakan luar negeri merupakan perilaku negara untuk menentukan respon
terhadap tekanan internasional. Perilaku negara tersebut ditentukan dari struktur
internasional, faktor-faktor domestik, dan interaksi kompleks diantara keduanya.
Baik kepentingan nasional maupun kebijakan luar negeri bebas dari pilihan moral
atau tidak memperhatikan apa yang baik dan benar (Schelling dikutip dalam
Jackson dan Sorensen, 2005: 106).
4. Konsep Bantuan Luar Negeri
Konsep terakhir yaitu bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri menurut
Yanuar Ikbar (2007: 188) yaitu tindakan-tindakan masyarakat atau
lembaga-lembaga terhadap masyarakat atau lembaga-lembaga-lembaga-lembaga lain di luar negeri dengan
maksud sekurang-kurangnya untuk membantu. Melengkapi Ikbar, Holsti (1992:
348) menjelaskan bahwa bantuan luar negeri hanya dapat digunakan
negara-negara besar sebagai sarana kebijakan yang efektif untuk menopang diplomasi
pada negara yang kurang maju.
Lebih lanjut, terdapat empat macam program bantuan yaitu bantuan
militer; bantuan teknis; hibah dan program impor bahan komoditi; dan pinjaman
pembangunan (Holsti, 1992: 348). Sedangkan Rix Alam dikutip dalam Perwita
dan Yani (2005: 84) menjelaskan terdapat empat motivasi negara donor
memberikan bantuan diantaranya motivasi kemanusiaan, motivasi politik,
Dalam konteks USSC, penelitian ini akan berfokus pada bantuan militer.
Melalui bantuan militer, negara penerima akan tergantung dalam menciptakan
kekuatan militer yang modern. Selain itu, mereka juga tidak dapat
mengoperasikan kekuatan militer tanpa adanya dukungan dari negara donor yang
membantu biaya pemeliharaan dan suku cadang pengganti. Sehingga, negara
penerima baru dapat menggunakan angkatan bersenjatanya dalam cara yang dapat
diterima atau sesuai dengan kepentingan negara donor (Holsti, 1992: 349).
Adapaun tujuan bantuan luar negeri adalah untuk memperluas pengaruh
terhadap tingkah laku negara penerima sehingga negara donor dapat mencapai
tujuan politik jangka pendek tertentu. Bantuan militer sendiri memiliki tiga fungsi,
yaitu, membantu menciptakan angkatan bersenjata yang modern untuk mencegah
agresi eksternal, membentuk tentara yang dilatih khusus menangani berbagai
kerusuhan dan pengacau internal yang menentang pemerintah, dan menaikkan
prestise regim lokal dan elit militer (Holsti, 1992: 353-354).
D. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang digunakan dalam upaya untuk
mengumpulkan data-data yang berguna bagi penelitiannya. Metode yang dipakai
dalam penelitian ini, yaitu metode kualitatif (Fraenkel & Wallen, 1993: 380).
Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainnya secara holistik, dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
Teknik pengumpulan data penelitian kualitatif didapat dengan cara
mengumpulkan sumber-sumber yang telah ada sebelumnya. Sumber-sumber
tersebut dapat berupa buku-buku literatur, jurnal, koran, dan bahan pendukung
lainnya. Hasil yang diperoleh dari metode ini bukan berupa kumpulan
angka-angka, melainkan berupa tulisan-tulisan, simbol, suara, objek fisik atau data visual
seperti peta, foto dan video (Neuman 2007: 110).
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yaitu mengaitkan
permasalahan dalam level Internasional dengan teori Hubungan Internasional.
Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan data primer dan
sekunder. Dalam mengunakan data primer, penelitian ini mewawancarai Hamdan
Basyar yang merupakan salah seorang peneliti LIPI dan mengunjungi
perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta,
Perpustakaan Freedom Institute dan Perpustakaan LIPI.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan sumber sekunder yaitu data
yang telah dianalisa dan diterbitkan instansi tertentu maupun pemerintah negara
Amerika Serikat. Adapun bentuk sumber sekunder berupa buku-buku, jurnal
ilmiah, literature majalah, koran dan situs-situs internet. Melalui sumber primer
dan sekunder yang dikumpulkan, penelitian ini dapat lebih jelas menjabarkan
konteks. Oleh sebab itu, data yang didapat digunakan untuk memahami efektivitas
bantuan keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC.
E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
B. Pertanyaan Penelitian
C. Kerangka Pemikiran
D. Metoda Penelitian
E. Sistematika Penulisan
BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA
A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat
B. Bantuan Keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina
C. Reformasi Sektor Keamanan Palestina Melalui USSC
BAB III UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC) A.Sejarah Terbentuknya USSC
B.Profil USSC
1. Prinsip USSC
2. Tujuan USSC
3. Struktur USSC
C.Sumber Daya USSC
D.Kekuatan Finansial
1. INL
2. EUPOL COPPS
3. JIPTC
BAB IV EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI USSC PADA PERIODE 2005-2012
A.Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan USSC
B.Efektivitas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap
Palestina Melalui USSC pada Periode 2005-2012
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
TERHADAP PALESTINA
A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) secara substansi bergantung
pada konteks waktu. Misalnya kebijakan luar negeri AS saat Perang Dingin akan
berbeda dengan paska Perang Dingin. Kebijakan luar negeri AS dapat dikatakan
fleksibel, sering berubah, dan beradaptasi sesuai keadaan, terkadang terlalu
banyak perhitungan, terlalu terbuka, terlalu keras, terlalu isolasionis, terlalu
unilateral, terlalu multilateral, terlalu moralistik, juga terlalu tidak bermoral
(Morse, 2012:1).
Kebijakan luar negeri AS memiliki beberapa instrumen diantaranya
pertahanan AS, korps diplomatik, diplomasi publik, kebijakan perdagangan, dan
bantuan luar negeri. Pertahanan AS dapat digunakan sebagai stick untuk mencapai tujuan AS. Korps diplomatik berfungsi sebagai alat untuk menegosiasikan
kebijakan luar negeri AS dengan negara lain. Diplomasi publik seperti pertukaran
pelajar digunakan untuk memberikan citra baik AS di dunia. Kebijakan
perdagangan melalui perdagangan bebas dapat digunakan sebagai carrot untuk mempengaruhi negara lain. Bantuan luar negeri AS berperan sebagai stick
sekaligus carrot untuk mempengaruhi maupun mencapai tujuan AS (Tarnoff dan Nowels, 2005:5).
Bantuan luar negeri sebagai salah satu instrumen kebijakan luar negeri AS
dikutip dalam Sullivan, Tessman, & Li (2011:279-280), Keohane dan Nye (1977)
digunakan sebagai imbalan ataupun hukuman untuk mempengaruhi negara
menjelaskan asumsi keuntungan yang didapat AS dengan memberikan bantuan
luar negeri diantaranya, pertama, bantuan luar negeri dapat meningkatkan kerjasama antara AS dan negara penerima penerima; kedua, negara penerima merasa bergantung terhadap bantuan luar negeri yang diberikan AS. Sehingga
negara penerima donor merasa harus mengikuti kepentingan AS jika ingin
mendapatkan bantuan lagi.
Secara historis, AS pernah memberikan bantuan pada negara-negara di
Eropa untuk rekonstruksi paska perang dunia kedua melalui program Marshall Plan pada tahun 1948-1952. Pada 1960-an hingga 1970-an AS memberikan bantuan yang fokus pada kelaparan, malnutrisi, dan program kesehatan (Lawson,
2012:3). Pada tahun 1961 AS mengeluarkan lima prinsip dasar bantuan luar
negeri AS yaitu pertama, pemberantasan kemiskinan; kedua, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan negara penerima bantuan; ketiga, meningkatkan hak ekonomi dan hak sipil; keempat, mengintegrasikan sistem perekonomian internasional; dan kelima, meningkatkan akuntabilitas pemerintahan negara penerima untuk transparansi dan pemberantasan korupsi (Lawson, 2012:2-3).
Selanjutnya terdapat amandemen dari prinsip tersebut pada tahun 1971
dengan menambahkan poin pelarangan untuk membuat dan menjual narkotika dan
obat psikotropika. Lalu pada tahun 1975 ditambahkan lagi bahwa bantuan luar
negeri ditujukan untuk membantu korban bencana alam ataupun akibat manusia.
Pada tahun 1983 kembali ditambahkan tujuan bantuan luar negeri yaitu
meningkatkan kemampuan anti-terorisme melalui pelatihan dan memberikan
perlengkapan dan menguatkan ikatan AS dan negara aliansi dengan bantuan
Lalu, saat Perang Dingin berlangsung, bantuan luar negeri diberikan untuk
mencegah pengaruh komunisme di negara-negara miskin (Sullivan, 2012; Tarnof
dan Lawson, 2012; Lancaster, 2000). Pada tahun 1990-an Perang Dingin berakhir
dengan keruntuhan Uni Soviet. AS pun menjadi negara yang memimpin dunia.
Untuk mempertahankan posisinya, AS memelihara perdamaian dunia dari konflik
antar negara dan intra negara. Bantuan luar negeri AS difokuskan untuk program
peacemaking dan conflict prevention di wilayah regional seperti Eropa, Asia Tengah, dan Timur Tengah. AS juga mempromosikan dan membantu transisi
demokrasi pada negara-negara berkembang (Lancaster, 2000; Tarnoff dan
Lawson, 2012).
Paska runtuhnya Soviet, menurut Lancaster (2000), kebijakan luar negeri
AS yang diimplementasikan melalui bantuan luar negeri memiliki empat prinsip
nilai yaitu pertama, menyediakan bantuan kemanusiaan; kedua, membantu mengurangi kelaparan di negara-negara miskin; ketiga, memperbaiki kualitas hidup bagi manusia yang membutuhkan, keempat, mempromosikan demokrasi dan HAM.
Kemudian pasca serangan 11 September 2001, AS memfokuskan bantuan
luar negeri untuk counter-terrorism (Tarnof dan Lawson, 2012; Sullivan, 2012). Sembilan hari setelah peristiwa tersebut pada 20 September 2001, Bush
menyampaikan pidato yang disebut sebagai Doktrin Bush. Menurut doktrin Bush
yang dikutip dalam Owens (2008), AS akan aman hanya jika negara lain juga
aman. Peristiwa 11 September 2001 membuat AS melakukan preventive war
semakin dekat. Preventive war dapat dilakukan dengan mempromosikan rezim tirani menuju demokratis.
Owens (2008:25) menjelaskan doktrin Bush terdiri dari tiga prinsip yaitu
pertama, menyebarkan demokrasi dan mengakhiri rezim tirani yang dianggap AS tidak unggul dibandingkan demokrasi; kedua, memerangi terorisme yang menjadi penyebab peristiwa serangan 11 September 2001 yang dianggap memiliki tujuan
memerangi AS dan Israel atau liberalisme Barat; ketiga, pengakuan AS bahwa paska serangan yang dianggap dilakukan oleh teroris, pendekatan tradisional
seperti pencegahan ancaman atau deterrence dan pembendungan atau containment
terhadap kebijakan luar negeri AS tidak lagi relevan.
Argumen di atas didukung melalui penjelasan dari laporan pemerintah AS
dan USAID bahwa diplomasi AS memandang kebebasannya perlu dilindungi
untuk menjamin kebebasan negara yang lain, kesejahteraan AS bergantung pada
kesejahteraan negara lain, dan keamanan AS bertumpu pada upaya dunia untuk
keamanan hak semua negara. Bagi AS, menjadi tanggungjawab mereka untuk
menggunakan kekuasaan untuk memajukan keamanan, demokrasi, dan
kesejahteraan di seluruh dunia (USGOV & USAID, 2003:1).
Pemerintah AS dan USAID memiliki prinsip yang terangkum dalam
strategi keamanan nasional yaitu diplomasi, pembangunan, dan pertahanan
(Tarnoff dan Nowels, 2005: 6). Pertama, AS akan menguatkan dan memelihara
hubungan bilateral dan multilateral untuk mencapai misinya. AS akan
menguatkan aliansi tradisional dan membangun hubungan baru untuk mencapai
perdamaian yang membawa keamanan melalui penyediaan bantuan dan
Kedua, AS akan melindungi negaranya dan aliansinya melawan bahaya
transnasional dan ancaman dari tirani, kemiskinan, dan penyakit. Kemiskinan
merefleksikan absennya penegakan hukum dan kurangnya kapasitas suatu negara
(USGOV dan USAID, 2003:2). Ketiga, AS akan mengkombinasikan antara
kemampuan diplomatik dan bantuannya untuk memelihara demokrasi dan
integrasi dunia ke ekonomi global (USGOV dan USAID, 2003:2).
Kongres AS sendiri memiliki enam kebijakan dalam melindungi
perdamaian dan menjaga keamanaan pada masa pemerintahan Bush yaitu
counter-terrorism, melawan kekuatan nuklir, stabilisasi operasi dan reformasi sektor keamanan, counter-narcotics, transnational crime, dan mitigasi dan rekonsiliasi konflik (Tarnoff dan Lawson, 2012:3).
Bantuan luar negeri AS terhadap Timur Tengah secara historis bertujuan
untuk kepentingan keamanan nasional di tingkat regional. Bantuan keamanan luar
negeri digunakan AS sebagai cara menjalin kerjasama militer dengan pemerintah
regional. Selain itu, AS juga dapat mengendalikan militer yang tidak terkontrol
dan memotong radikalisme di negara partner (Sharp, 2010:1).
Diantara Perang Dunia Kedua dan runtuhnya Uni Soviet, AS memiliki
beberapa tujuan terhadap Timur Tengah yaitu menghentikan ekspansi Soviet di
Timur Tengah, tetap membuka komunikasi dan perdagangan di kawasan Timur
Tengah, mengelola akses minyak dari Barat ke Timur Tengah, dan
mempromosikan prinsip demokrasi dan pasar bebas, serta melindungi keamanan
Israel (Mark, 2005:5).
Di bawah pemerintahan partai Demokratik maupun Republik, Israel
menjadi prioritas tertinggi dari kebijakan luar negeri AS. Normalisasi hubungan
antara Israel dan negara tetangga Arab termasuk Palestina di Tepi Barat dan Gaza
menjadi masalah vital perdamaian jangka panjang dan stabilitas di wilayah
regional (USAID, 2001:2). Jika Stabilitas di Tepi Barat dan Gaza sudah dicapai,
ini menjadi pre kondisi untuk suksesnya negosiasi permanen terhadap status
kesepakatan negara demokratis Palestina (USAID, 2001:3).
Bagi Bush, jika konflik Israel-Palestina dapat diselesaikan akan
memberikan keuntungan bagi AS dengan asumsi akan mengurangi rasa anti-AS
dan gerakan radikal di wilayah kawasan Timur Tengah. Paska peristiwa 9
September 2001, kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah mengalami
perubahan dari penggunaan militer ke arah negosiasi yang damai (Preble &
Hadar:539-540).
Pada Maret 2001 Universitas Maryland mengadakan poling terhadap
masyarakat lima negara Arab diantaranya Mesir, Yordania, Kuwait, Uni Emirat
Arab, dan Libanon. Pertanyaan yang diajukan pada responden adalah apa isu
termasuk isu lokal yang paling penting menurut mereka. Sebanyak 79 persen
responden dari Mesir menganggap konflik Israel-Palestina sebagai isu yang
penting. Lalu sebanyak 60 persen responden dari Yordania, Kuwait, Uni Emirat
Arab, dan Libanon juga menyebutkan konflik Israel-Palestina sebagai isu krusial
(Evera, 2005:2).
Survey lain dilakukan Lembaga Survey Internasional Zogby pada 2002.
Hasil dari survey tersebut menyebutkan bahwa responden lima negara yaitu
sebagai sangat penting dan paling penting sebagai isu di dunia Arab (Evera,
2005:2).
Evera menganalisis bahwa ada kemungkinan para responden menjawab
isu konflik Israel-Palestina karena mereka takut menyebut soal isu di lokal di
negaranya. Di negara-negara Arab yang mayoritas sistem pemerintahannya
otoritaritarian sangat tidak aman untuk mengkritik pemerintah. Walaupun begitu,
poling tersebut tetap mengindikasikan adanya perhatian dunia internasional
terhadap persoalan Israel-Palestina.
Selanjutnya, menurut Evera (2005:1), keamanan nasional AS terancam
melalui konflik Israel-Palestina karena mempermudah jalan pada Al-Qaeda untuk
merekrut teroris di dunia Arab dan negara Islam lainnya. Kebijakan luar negeri
AS terhadap konflik Israel-Palestina akan berpengaruh terhadap perilaku
negara-negara lain pada AS.
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa isu Palestina-Israel dapat menjadi
perhatian dunia internasional terutama negara-negara Arab. Pertama, terjadinya
intifada kedua pada 28 September 2000. Kedua, pemberitaan mengenai intifada
melalui televisi dan saluran seperti Al-Jazeera, Al-Arabiya menciptakan efek dramatik terhadap konflik. Terakhir, pemberitaan melalui media memunculkan
identitas ke-Arab-an atau muslim yang solid untuk mengakhiri penderitaan yang
dialami Palestina (Evera, 2005:2).
Selanjutnya, The PIPA, lembaga survey publik Amerika terhadap isu internasional mengadakan survey terhadap bagi Amerika mengenai kebijakan
bantuan luar negeri terhadap Israel-Palestina dan mempublikasikan laporannya
Amerika Serikat terhadap konflik Israel-Palestina dapat diterima atau tidak oleh
negara-negara di dunia. Sebanyak 55 persen menilai bahwa kebanyakan negara
tidak menyetujui kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Israel-Palestina. Lalu
sebanyak 10 persen menilai bahwa dunia internasional menyetujuinya. Sisanya
menilai bahwa ada yang menyetujui dan menolak kebijakan AS terhadap konflik
tersebut. Alasan bahwa kebanyakan negara tidak menyetujui kebijakan AS
terhadap konflik karena mereka lebih bersimpati terhadap Palestina (Kull,
2003:17).
Pada Mei 2004, Lembaga Survey Zogby kembali melakukan survey
mengenai penting tidaknya kebijakan AS terhadap konflik Arab-Israel. Sebanyak
76 persen responden dari Yordania, 78 persen dari Uni Emirat Arab, 79 persen
dari Libanon, 81 persen dari Arab Saudi, 84 persen dari Moroko, dan 95 persen
dari Mesir menyatakan kebijakan luar negeri AS cukup penting atau sangat
penting dalam konflik tersebut (Evera, 2005:3).
B. Bantuan Keamanan AS terhadap Palestina
Upaya negosiasi untuk mencapai perdamaian Israel-Palestina dilakukan
Presiden AS, Bush senior bersama dengan Uni Soviet melalui konferensi
perdamaian Madrid pada 30 Oktober 1991. Konferensi tersebut dihadiri beberapa
negara Arab seperti Yordania, Libanon, Siria, Palestina, dan Israel. Pertemuan
tersebut berhasil mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk pertama kali
khususnya Israel-Palestina. Dalam negosiasi tersebut, Amerika Serikat berperan
sebagai mediator utama konflik. Hasilnya tidak ada kesepakatan signifikan
terhadap resolusi damai antara Israel dan Palestina (Rodriguez, 2011:45). Tapi
(Preble & Hadar:541-542). Kesepakatan Oslo menghasilkan upaya pembentukan
satuan polisi Palestina. Sehingga banyak juga pendonor yang memberikan
bantuan pada Palestina. Namun, bantuan tersebut masih terfokus pada polisi
Palestina dan belum tertuju pada reformasi sektor keamanan (Friedrich dan
Luethold, 2008:6).
Secara historis, pada 4 Mei 1994 Palestina dan Israel menandatangani
perjanjian yang menyepakati ditariknya pasukan militer Israel dari wilayah
Palestina di Gaza dan Jericho pada 11 Mei 1994. Lalu pada 28 September 1995,
ditandatangani perjanjian sementara yang disebut Taba Agreement. Perjanjian ini
berisi kesepakatan dilaksanakannya pemilu untuk Majelis Palestina, pembebasan
tahanan Israel, penarikan mundur tentara Israel dari wilayah Tepi Barat. Pada
pelaksanaannya, tentara Israel mulai meninggalkan Tepi Barat pada akhir tahun
1995. Jika diamati berdasarkan tabel di atas, pada tahun 1994-1995 bantuan yang
diberikan lebih besar jika dibandingkan tahun-tahun berikutnya. Hal itu
dikarenakan kebutuhan pada tahun 1994-1995 digunakan untuk keperluan Taba
Agreement dan transisi pemerintahan sementara Palestina. Lalu pemilu
dilaksanakan pada 20 Januari 1996 (Mark,2001:1).
Selanjutnya pada tahun 1996-1998, bantuan yang diberikan Amerika
Serikat terhadap Palestina jumlahnya semakin menurun karena beberapa alasan.
Pertama, pada Mei 1996, Benyamin Netanyahu terpilih sebagai Perdana Menteri Israel yang berakibat pada terhentinya penarikan mundur pasukan Israel dari
wilayah Palestina. Terpilihnya Netanyahu membuat interaksi Israel dan Palestina
untuk negosiasi damai terhenti sehingga bantuan pun menurun jumlahnya.
perjanjian lima tahun untuk menarik mundur pasukan Israel sejak 1993 dari
wilayah Palestina telah berakhir. Berakhirnya kesepakatan lima tahun untuk
menarik mundur pasukan Israel juga menandakan semakin menurunnya bantuan
AS terhadap Palestina bahkan mencapai nilai nol untuk transisi pemerintahan
otonomi pada tahun 1998 (Mark,2001:1).
Pada perjanjian Wye River 28 Oktober 1998, disepakati langkah-langkah
untuk mengimplementasikan perjanjian sebelumnya. Saat itu CIA ditugaskan
untuk melakukan pemantauan pembentukan satuan polisi Palestina dan kerjasama
keamanan antara Israel dan Palestina. Kerjasama keamanan kedua negara terkait
dengan jaminan keamanan tapi daftar kewajiban jaminan keamanan hanya
ditujukan untuk Palestina. Adapun kewajiban yang harus Palestina lakukan
diantaranya memerangi terorisme, menangkap tersangka terorisme, melarang
adanya hasutan teror, mengumpulkan semua senjata ilegal dalam waktu tiga bulan
setelah tanda tangan perjanjian, memberikan daftar calon polisi Palestina pada
Israel, dan memberikan laporan kemajuan pada Amerika Serikat (Friedrich dan
Luethold, 2008:7). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan jumlah bantuan AS
terhadap Palestina sejak 1994-1998 (dalam juta dolar) dikutip dalam Mark
(2001:2).
Tabel II. B. Bantuan AS terhadap Palestina 1994-1998
Transisi
Sumber: Mark, Clyde. 2001. “Palestinians and Middle East Peace: Issues for the
United States.” Congressional Research Service.
Lalu pada tahun 2000 diadakan negosiasi Camp David untuk perdamaian
Israel-Palestina namun gagal karena pemukiman Yahudi masih saja terus
dibangun dan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina ke wilayah yang telah
diduduki Israel sejak 1948 menjadi penyebabnya (Preble & Hadar:541-542).
Kejadian yang menyusul yaitu peristiwa Intifada Kedua pada tahun 2000. Abbas
mengecam intifada kedua yang terjadi pada tahun 2000. Menurutnya
kemerdekaan Palestina dan penyelesaian konflik Israel-Palestina tidak bisa
dicapai melalui kekerasan atau solusi militer (Pina, 2006:3).
Pada 2001 terjadi serangan terhadap menara kembar World Trade Center
di AS pada 11 September 2001. Kejadian-kejadian tersebut membuat AS harus
mengelola pengaruhnya di Timur Tengah dengan biaya yang tidak sedikit baik
secara militer dan inisiatif negosiator perdamaian konflik Israel-Palestina. Dalam
menginisiasi perdamaian Israel-Palestina, AS juga harus berhadapan dengan aktor
lain di wilayah regional Timur Tengah yaitu Irak dan Iran (Preble &
Hadar:541-542).
Pada tahun 2002, sesuai dengan Tenet Workplan, Bush memperluas peran
CIA dengan melakukan gencatan senjata di Palestina. CIA mengadakan pelatihan
Yordania. Tujuan dilakukannya pelatihan tersebut juga untuk menahan pembom
bunuh diri rakyat Palestina di Israel. Di sisi lain, pihak Israel yaitu Mantan Kepala
Intelijen Mossad, Ephraim Halevy dan Sekretaris Militer Perdana Menteri Israel,
Jendral Moshe Kaplinsky menyusun rancangan untuk menggeser kekuasaan
Presiden Palestina Yasser Arafat (Friedrich dan Luethold, 2008:7).
Hubungan AS dan Palestina tidak berjalan baik karena George W. Bush
menganggap Yaser Arafat tidak berupaya untuk menghentikan terorisme. Tujuan
dari rencana menggeser kekuasaan rezim Arafat sebenarnya untuk membentuk
kepemimpinan dan kekuasaan baru di Palestina. Pemimpin baru Palestina akan
diberikan tanggungjawab keamanan di Palestina. Rencana tersebut didukung
pihak internasional diantaranya Mesir, Yordania, Inggris, dan Amerika Serikat
(Friedrich dan Luethold, 2008:7).
Pemerintahan sementara Palestina dipimpin oleh presiden Mahmoud
Abbas. Abbas memecat Haniyeh dari Hamas sebagai perdana menteri. Lalu Abbas
menunjuk Salam Fayyad, politisi independen Palestina yang populer dan dekat
dengan pemerintahan Barat dan memiliki sifat yang moderat (Kushner dan
Bedein, 2011:5). Pada 24 Juni 2002, Bush menyatakan akan mengupayakan solusi
dua negara untuk konflik Israel-Palestina. Pada 30 April 2002, AS bersama
anggota kuartet Road Map lainnya mensosialisasikan rencana perdamaian untuk kedua negara (Mark, 2005: 6). Isi Road Map sebenarnya penekanan kembali dari
perjanjian yang sudah ada sebelumnya yaitu perjanjian Wye River dan Tenet
Workplan. Dalam hal ini pihak Israel dan Palestina memiliki kewajiban jaminan
keamanan masing-masing dan bertanggungjawab terhadap negara-negara kuartet
Pada tahun 2005, pemerintah otoritas Palestina yang dipimpin Mahmoud
Abbas membentuk National Security Council untuk mengkonsolidasikan elemen-elemen keamanan di Palestina (Pina, 2006:2). Untuk mencapai hal tersebut, AS
memberikan bantuan luar negeri melalui program security sector reform.
Perbaikan sektor keamanan meliputi reformasi struktur lembaga yang
memberikan kewenangan terhadap sipil terhadap lembaga keamanan. Berdasarkan
USAID, keamanan AS bergantung pada keamanan negara-negara yang
menjalankan sistem demokrasi. Reformasi sektor keamanan menjadi program
yang termasuk ke dalam Joint Strategic Plan tahun 2007-2012 oleh Departemen luar negeri dan USAID. Kedua lembaga tersebut juga bekerjasama dengan
Departemen Pertahanan dan intra-agency lainnya. Reformasi sektor keamanan terhadap suatu negara merupakan intervensi dari negara lain. Karena itu,
kerjasama antar lembaga lebih efektif untuk merencanakan dan
mengimplementasikan perbaikan sektor keamanan tersebut (USAID, 2010:1).
Terpilihnya Abbas sebagai presiden Palestina juga membuat donor lebih
tertarik untuk memberikan bantuan pada program reformasi sektor keamanan.
negara-negara Kuartet juga melibatkan negara-negara Eropa seperti Inggris dan
Jerman untuk ikut terlibat dalam reformasi keamanan di Palestina. Keikutsertaan
banyakya aktor internasional disebutkan Amerika Serikat sebagai strategi West Bank first. Strategi tersebut mendukung berjalannya pemerintahan di Tepi Barat dengan tujuan dapat mengisolasi pemerintahan di Jalur Gaza (Friedrich dan
Luethold, 2008:7-9).
Kemampuan AS untuk memberikan bantuan bertujuan untuk
bergantung pada level kesadaran populer masyarakat Palestina terhadap kebijakan
AS dan bantuan jangka panjangnya. Kesediaan AS mendukung Palestina
merupakan upaya untuk melawan Hamas dan mereformasi kondisi politik dan
ekonomi Palestina (Zanotti dan Browne, 2011:17). Persoalan stagnasi ekonomi
menjadi isu domestik yang dihadapi Abbas ketika menjabat sebagai presiden.
Palestina memiliki oposisi dari pemerintahan misalnya al-Aksa Martyrs Brigade
dari kelompok nasionalis dan Hamas dari kelompok Islamis. Kelompok oposisi
tersebut cenderung menolak bekerja sama dengan Israel (Pina, 2006:3).
Selain menginisiasi perdamaian, Bush juga menambahkan misi
demokratisasi dalam kebijakan luar negerinya. Melalui misi demokratisasi yang
diterapkan oleh Palestina, pihak AS berharap bisa mendapatkan keuntungan.
Dalam asumsi AS, pemimpin Palestina yang terpilih berdasarkan sistem
demokrasi bisa bekerjasama dengan AS dan tidak anti dengan Israel. Akhirnya
pada Januari 2006 dilaksanakan pemilu parlemen di Palestina. Hamas yang
anti-AS berhasil mengalahkan Fatah yang lebih moderat dalam pemilu tersebut. anti-AS
pun menekan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk mengadakan pemilu
kembali. AS menolak untuk mengakui hasil pemilu parlemen awal. Lalu AS,
Israel, dan Uni Eropa menghentikan bantuan ekonomi untuk Pemerintah Otonomi
Palestina kecuali jika Hamas berkomitmen untuk menghentikam kekerasan dan
mengakui Israel. Akhirnya pada Juni 2007, AS dan pemerintah Israel mendorong
Fatah untuk membentuk pemerintahan yang terpisah di Tepi Barat dan Hamas di
Jalur Gaza (Preble & Hadar:543).
AS memberikan bantuan bilateral pada Palestina sebesar dua miliar dolar
diberikan AS merefleksikan strategi untuk tetap menghargai Hamas dengan
memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza untuk kebutuhan dasar, bantuan untuk
tujuan kesejahteraan masyarakat Gaza, dan bantuan keamanan untuk tujuan
melawan dan mencegah aktivitas terorisme (Zanotti, 2010:27).
Tujuan dari diberlakukannya penegakan hukum dan aturan tidak lantas
untuk tujuan persiapan pembentukan negara Palestina. Ada alasan lain AS
membantu Palestina dalam hal keamanan. Keamanan Palestina tentu akan
berpengaruh terhadap keamanan Israel. Menurut Bedein dan Kushner (2011:7),
AS memiliki tujuan untuk melemahkan kelompok yang oleh AS dianggap sebagai
teroris di Tepi Barat. Teroris yang dianggap oleh AS adalah Hamas. Sehingga,
pemerintah Palestina akan memiliki kemampuan untuk melawan Hamas.
Hamas merupakan organisasi pergerakan dan perlawanan Islam Palestina
yang berbasis militer dan sosial politik. Sebagai organisasi militer, Hamas
seringkali melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan
Jalur Gaza. Secara politik, organisasi ini juga menolak keras adanya kerjasama
dengan Israel terkait proses perdamaian Israel-Palestina. Akibatnya, AS
menganggap Hamas sebagai organisasi teroris karena hal tersebut pada 1997.
Beberapa negara misalnya Iran, Siria, dan Hezbollah dari Libanon memberikan
bantuan dan pelatihan juga untuk Hamas (Zanotti, 2010:1). Iran memimpin
negara-negara Arab untuk memberikan bantuan finansial dan militer untuk Hamas
dan kelompok militan Palestina lainnya. Setiap tahun Iran memberikan 20-30 juta
dolar AS untuk Hamas. Selain itu, Iran juga menyelundupkan senjata dan melatih
kelompok militan melalui terowongan bawah tanah Gaza-Sinai untuk
Pada intifada pertama tahun 1994-1997 dan kedua tahun 2000-2008,
Hamas telah membunuh sekitar 700 orang Israel (Zanotti, 2010:4). Untuk
kepentingan perdamaian Israel-Palestina jangka panjang dan juga keamanan
Israel, AS merumuskan kebijakan luar negerinya untuk dapat menghalangi dan
meminggirkan posisi Hamas di dalam konflik. Beberapa diantara kebijakan AS
terkait Hamas yaitu meng-counter Hamas secara finansial, jaringan, dan pengaruh politik; melibatkan perwakilan Hamas ke dalam negosiasi perdamaian
Israel-Palestina; memutus jaringan Hamas dengan Iran dan Siria; meningkatkan bantuan
kemanusiaan dan ekonomi di Gaza tanpa Hamas (Zanotti, 2010:1).
C.Reformasi Sektor Keamanan terhadap Palestina Melalui USSC
Reformasi sektor keamanan didefinisikan sebagai penyediaan keamanan,
keselamatan, dan keadilan oleh suatu pemerintahan melalui perubahan kebijakan,
program, dan aktivitas dengan tujuan mencapai pelayanan publik yang transparan,
akuntabel, dan responsif terhadap publik (Department of State, DoD, USAID:3).
Secara umum, jika yang direformasi adalah sektor keamanan, maka merujuk pada
polisi dan militer. Namun, reformasi keamanan ternyata juga perlu dilakukan pada
tingkatan lembaga informal keamanan dan lembaga sipil yang berpengaruh
terhadap pengaturan keamanan dalam pemerintahan (Sedra (ed), 2010:46).
Pelaksanaan dari program SSR terdiri dari penilaian, perencanaan,
pelatihan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi (U.S. Department of State,
DoD, USAID,2009:6). Penilaian adalah penyusunan informasi mengenai konteks,
aktor, dan kebutuhan di sebuah tempat yang akan mendapatkan reformasi sektor
program reformasi sektor keamanan. Laporan mengenai penilaian yang lengkap
memberikan peluang reformasi keamanan yang efektif (Popovic, 2004:2).
Perencanaan adalah penyusunan program yang seimbang untuk seluruh
sektor keamanan sesuai dengan indikator target yang dicapai dalam jangka waktu
tertentu. Setelah perencanaan, pelatihan menjadi bagian penting dalam reformasi
sektor keamanan. Dalam pelatihan dibutuhkan pendekatan multidisiplin dan
kombinasi program sebelumnya dan program yang baru. Lalu, implementasi harus
sesuai dengan rencana, program, dan prinsip. Sehingga terdapat sinkronisasi
program sesuai dengan penilaian diawal dan perencanaan (U.S. Department of
State, DoD, USAID,2009:6-7).
Pemantauan merupakan cara untuk mengukur kesesuaian kinerja dan hasil
dapat mencapai tujuan dan program yang telah direncanakan. Jika kinerja tidak
sesuai dengan kebutuhan di lapangan atau pun tujuan, pemantauan berfungsi
untuk memperbaiki langkah yang akan diambil ke depannya. Selanjutnya,
evaluasi merupakan penilaian akhir untuk menentukan keberhasilan atau
kegagalan dari suatu program reformasi sektor keamanan (Popovic, 2004:2-3).
Keamanan nasional yang efektif dan akuntabel menurut standar SSR
terdiri dari beberapa poin diantaranya pertama, negara harus memiliki kerangka hukum dan konstitusi yang mengatur penggunaan kekerasan berdasarkan HAM
dan juga mekanisme sanksi dari penggunaan kekerasan dari aktor yang berbeda,
kedua, negara harus mempunyai lembaga yang mendukung jalannya lembaga keamanan seperti pengawasan keamanan, pengelolaan keuangan, standar
perlindungan HAM, dan kapasitas personil dan sumber daya yang efektif untuk
lembaga keamanan sesuai konstitusi; keempat, menunjukkan kinerja yang
disiplin, tidak berpihak, dan menghormati HAM (Sedra (ed), 2010:47).
Dalam pengimplementasiannya, USSC didukung oleh EUPOL COPPS
yang berperan meningkatkan kemampuan polisi Palestina salah satunya dengan
memberikan materi pelatihan mengenai komunikasi radio. Tujuan pelatihan ini
agar polisi dapat mengelola soal pertolongan pertama seperti obat-obatan
(Kerkkanen, Rantanen, Sundqvist, 2008:24). Selain itu EUPOL COPPS juga
memberikan pelatihan untuk polisi Palestina sebanyak 1.000 personil yang
bertujuan untuk mengontrol dan menjaga keamanan wilayah dari konflik (Zanotti,
2010:24).
JIPTC melaksanakan pelatihan mengenai dasar penegakan hukum dan
keamanan. Banyak pihak yang memberikan masukan terhadap kurikulum yang
diberikan di JIPTC diantaranya INL, USSC, the Jordanian Public Security Directorate, dan pemerintah otonomi Palestina (Zanotti, 2010:18). Pelatihan tersebut dilakukan dalam waktu 19 minggu untuk semua anggota batalyon
sepanjang 2007 hingga 2010. Materi yang disampaikan diantaranya yaitu
pengoperasian senjata, pengendalian massa, pengoperasian jarak dekat,
pematrolian, pengoperasian tahanan, dan pemeriksaan operasional. Materi lain
berisi kursus kepemimpinan senior dan menengah. Pelatihan lainnya yaitu
pelatihan lanjutan dilakukan untuk anggota batalyon terpilih (US GAO,
2010:15-17).
Dua batalion Palestinian Guard atau sebanyak 400 personil mendapatkan
pelatihan di JIPTC pada Februari hingga Maret 2008. Selain itu juga terdapat NSF
Februari hingga Mei 2008. Lalu NSF ketiga dan keempat berjumlah 1.000
personil juga mendapatkan materi pelatihan. NSF ketiga dilatih pada September
hingga Desember 2008. NSF keempat dilatih pada Februari hingga Juni 2009.
NSF pertama mendapatkan materi pelatihan pada Desember 2009 dan NSF kelima
yang berjumlah 500 personil baru mengikuti pelatihan pada awal 2010. Semua
pelatihan tersebut dilakukan di JIPTC (Zanotti, 2010:16).
Pelatihan di Tepi Barat ditujukan untuk anggota pasukan keamanan
nasional Palestina agar memahami persoalan kepemimpinan, HAM, media,
pemeliharaan peralatan, dan pengoperasian pelayanan makanan (US GAO,
2010:17). USSC melaksanakan 24 kursus dengan tema yang berbeda untuk
Pasukan keamanan palestina di Tepi Barat antara 2008 hingga 2010.
Biro Diplomasi keamanan juga menyediakan pelatihan terbatas untuk
pasukan pengawal presiden melalui program anti terorisme. Pelatihan ini berfokus
pada operasi taktik polisi, pengembangan kepemimpinan di level senior dan
menengah, kemampuan investigasi, dan kemampuan merespon situasi krisis.
Pasukan keamanan Palestina dilengkapi dengan seragam, peralatan untuk tiap
batalyon, alat pelindung, tenda, kendaraan, dan perlengkapan pertolongan (US
GAO, 2010:17- 18).
Pasca melaksanakan pelatihan anggota pasukan keamanan, USSC
menempatkan kamp-kamp operasi di tiga daerah di Palestina diantaranya Jericho,
Jenin, dan Hebron. Di wilayah Jericho ditempatkan 750 personil dengan fasilitas
145 regu berkendara dan 40 kendaraan. Selain itu tersedia juga fasilitas klinis, alat
komunikasi, persediaan logistik, dan pemeliharaan hewan. Di wilayah Jenin
berisi 100 pegawai. Selanjutnya, di Hebron terdapat bangunan yang dikhususkan
untuk Pasukan keamanan nasional dan pasukan polisi spesial (US GAO,
2010:21).
Pusat pelatihan Nuweimah merupakan fasilitas yang diperbarui dan
diperluas. Fasilitas di Nuweimah mengakomodasi sekitar 2000 pasukan dan 24
ruang kelas untuk 1500 orang. Di Jericho terdapat universitas pelatihan
presidential guard yang memberikan pendidikan mengenai hukum, peraturan
untuk 250 personil (US GAO, 2010:22).
Operasi pertama dilaksanakan untuk ketertiban hukum di Nablus pada
November 2007. Lalu Palestinian guard ketiga yang berjumlah 400 personil juga
melakukan operasi di Jenin pada Mei hingga Juni 2008 dengan nama Operations Hope and Smile. Operasi tersebut bertujuan untuk counterterrorism (Zanotti, 2010:215). Hasil dari operasi tersebut, daerah operasi bersih dari senjata api dan mobil ilegal. Selain itu kelompok bersenjata juga tidak bisa berkeliaran di jalan
secara terbuka.
Pada Oktober 2008 terdapat operasi Homeland Rising di Hebron, Tepi Barat. Sebanyak 600 personel keamanan ditempatkan untuk mencegah terjadinya
konflik akibat pendudukan Israel. Lalu pada Desember 2008 sebanyak 1600
personil ditempatkan untuk menangani protes warga Palestina terhadap aksi
militer Israel di Gaza. Selanjutnya pada April 2009 di Qalqiya NSF berhasil
menggerebek ruang bawah tanah sebuah masjid yang berisi 80 kg bahan peledak.
Pada operasi tersebut sebanyak tujuh orang tersangka ditangkap dan seorang
pemimpin Hamas di Qalqilya yang selama ini masuk ke dalam daftar orang yang
Pemerintah AS menyediakan bantuan dalam bentuk peralatan seperti
seragam, perlengkapan lapangan (tenda, terpal, botol air minum, dan lainnya),
kendaraan, perlengkapan mata-mata, obat, komputer, dan perlengkapan lainnya
yang memenuhi standar keamanan. Kebutuhan perlengkapan tersebut
menghabiskan dana sebanyak 72,6 juta dolar AS pada tahun 2008 (Zanotti,
2010:19)
Dalam melakukan reformasi sektor keamanan, USSC dibantu oleh EUPOL COPPS yang tidak hanya meningkatkan kemampuan dan profesionalisme
sektor keamanan tapi juga menyumbangkan perlengkapan yang dibutuhkan para
polisi. Program ini dilaksanakan Juni 2005 hingga Oktober 2005. Peningkatan
perbaikan perlengkapan diantaranya meninggikan tiang antena di daerah Khan
Yonis, Hebron, Nablus, dan Jenin; mendistribusikan 600 GP 240 handset, 50 GP 280 radio handset, dan 90 stasiun radio (Kerkkanen, Rantanen, Sundqvist, 2008:3).
Selain itu, USSC melengkapi personil Palestinian Guard dan NSF dengan
peralatan militer senilai 72,6 juta dolar AS. Bantuan peralatan tersebut meliputi
seragam, tenda, kendaraan, obat-obatan, dan komputer (Zanotti, 2010:19).
Walaupun banyak perlengkapan militer yang diberikan sebagai bantuan keamanan
untuk Palestina, semua item tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu
BAB III
UNITED STATES SECURITY COORDINATOR
(USSC)
A. Sejarah Terbentuknya USSC
Menurut Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist (2008: 5) konsep polisi
Palestina sudah ada sejak pendudukan wilayah Palestina pada 1967 berdasarkan
kesepakatan Arab-Israel. Perjanjian Camp David pada 1978 melihat bahwa
dibentuknya polisi Palestina sebagai bagian dari kesepakatan otonomi untuk Tepi
Barat dan Jalur Gaza. Pada 1992, Palestina dan Yordania bertemu untuk
mendiskusikan persiapan pembentukan lembaga kepolisian Palestina dengan
kekuatan sebesar 20.000 orang. Kepolisian Palestina dijalankan pasca Israel
menarik mundur pasukannya pada tahun 1993 (Kerkkanen, Rantanen, &
Sundqvist, 2008: 6).
AS memberikan bantuan keamanan pertama kali pada Palestina saat
pembentukan pemerintahan otonomi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada
1993 (Bouris, 2011: 3). Bantuan yang diberikan AS berupa perlengkapan militer
dan dana yang ditujukan untuk memperbaiki sistem keamanan di Palestina sebesar
36 juta dolar AS melalui Bank Dunia dan secara tunai sebesar 5 juta dolar AS
(Sharp, 2006: 4)
Pada Mei 1994 polisi sipil bertambah besar dan penting dan masuk ke
dalam struktur lembaga keamanan Palestina. Arafat juga meminta PBB untuk
mengepalai pelatihan polisi Palestina di daerah pendudukan pada September
1994. Ide tersebut ditentang Israel. Untuk mengkoordinasikan bantuan dari donor