• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip kerja sama dalam humor dialog cekakak-cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prinsip kerja sama dalam humor dialog cekakak-cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA ABDUL CHAER SERTA IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Churin In Nabila NIM 1110013000003

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

ii

Cekakak-Cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dibawah bimbingan Dr. Darsita Suparno. M.Hum.

Prinsip kerja sama merupakan prinsip yang dijadikan pedoman ketika melaksanakan aktifitas komunikasi, dengan menerapkan empat maksim di dalamnya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Dialog yang terdapat dalam humor Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer mengandung unsur pematuhan dan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama, sehingga menarik perhatian peneliti untuk membuat penelitian dalam kajian pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan (1) Prinsip kerja sama yang digunakan dalam dialog, (2) Penyimpangan yang dilakukan sebagai sarana penciptaan humor, dan (3) Implikasi prinsip kerja sama terhadap pembelajaran bahasa Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini difokuskan pada permasalahan prinsip kerja sama yang digunakan dalam dialog humor dengan menggunakan metode, teknik, dan kiat sebagai upaya dalam mengumpulkan data. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan teknik simak bebas cakap dan teknik catat serta kiat tertentu yaitu memberi kode dan menandai setiap dialog dengan pensil warna, hal ini berguna untuk mengklasifikasikan data dialog sesuai maksim-maksimnya.

Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal berikut: 1) Prinsip kerja sama yang digunakan dalam beberapa dialog humor Cekakak-Cekikik Jakarta lebih besar dari pada penyimpangan yang dilakukan. 2) Penyimpangan terhadap prinsip kerja sama bisa terjadi karena penutur tidak faham dengan konteks pembicaraan, selain itu penyimpangan dilakukan sebagai sarana penciptaan humor, seperti mengkritik, menyindir, dan menghibur. 3) Implikasi prinsip kerja sama terhadap pembelajaran bahasa Indonesia membantu guru agar proses pembelajaran menjadi baik dan lancar serta meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa di dalam berkomunikasi melalui telepon, kegiatan wawancara maupun diskusi.

(6)

iii

Churin In Nabila (1110013000003): The Principle of Cooperation in Humor Dialogue of

Cekakak-Cekikik Jakarta created by Abdul Chaer and Its Implications toward Indonesian Learning. Skripsi of Indonesian Language and Literature Education at Faculty of Tarbiyah and Teachers Training of State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta 2014, under the guidance of Dr. Darsita Suparno, M.Hum.

The principle of cooperation is a guiding principle when implementing communication activities, by applying the four maxims in it, named the maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance, and the maxim of manner. Dialogues in Cekakak-Cekikik Jakarta contain elements of compliance and deviation toward the principles of cooperation, so as to attract the attention of researcher to make research in the study of pragmatics. The purpose of this study is to describe (1) The principle of cooperation used in dialogue, (2) Deviations as a means of creating humor, and (3) The implications of the principle of cooperation towards Indonesian learning.

Methods used in this research is descriptive qualitative. This study focused on the issues of cooperation principle which is used in humor dialogue by uses methods, techniques, tips asan effort to collect the data. The observing method by using scrutinized free abletechnique, taking note method and specific techniques provided code and mark any dialogues with colored pencils, it is easy for researcher to classify the data according to the maxims.

The results are: 1) The principle of co-operation which is used in some humorous dialogue Cekakak-Cekikik Jakarta are larger than deviations. 2) Violations of the principle of cooperation can occur because the speaker does not understand the context of the conversation, in addition to the irregularities done as a means of creating humor, like criticize, satirize, and entertaining. 3) Implications of the principle of cooperation against Indonesian learning can support the teachers in order a learning process becomes well and to improve the students' speaking skills in communicating by telephone, interviews or discussions.

(7)

iv

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat-NYA serta karunia lahir maupun batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya.

Skripsi yang berjudul “Prinsip Kerja Sama dalam Humor Dialog Cekakak-Cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer serta Implikasinya terhadap Pembelajaran

Bahasa Indonesia” merupakan tugas akhir dan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan. Tema yang diangkat sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan pendidikan, dengan menerapkan prinsip kerja sama maka komunikasi menjadi baik dan lancar sehingga dapat tercapainya maksud dan tujuan yang diinginkan.

Penyusunan srkipsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik karena adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai ungkapan rasa hormat yang tulus, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa‟i, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah, Z.A, M.Pd. dan Hindun, M.Pd., selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta segenap dosen dan staff karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang ikhlas membina dan memberikan ilmunya agar kami menjadi manusia yang berilmu dan beramaliyah islami.

3. Dr. Darsita Suparno, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang ikhlas membimbing, memberikan wawasan, dan meluangkan waktunya kepada penulis agar bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan bermanfaat bagi orang lain. 4. Staff karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Tarbiyah UIN Syarif

Hidayatullah, serta Perpustakaan Utama Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mencari referensi dan memanfaatkan fasilitas di dalamnya.

(8)

cita-v

datang, senantiasa memberikan waktu dan pengertian kepada uminya untuk menyelesaikan tugasnya menempuh sarjana.

6. Orang tua nan jauh di kampung, H.M. Munif dan Mardliyah yang senantiasa mendoakan putrinya, doa dan nasihat-nasihat kalian penulis harapkan untuk menjalani kehidupan ini, semoga kalian bangga menyebut “Churin adalah anak

kami”. Ibu mertuaku Nafsiyah serta orang tua angkatku KH. Saeful Millah, MM. MBA. dan Hj. Nur Hayanah atas doa, bantuan, dan nasihatnya sehingga dapat tersusun skripsi ini.

7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta adik-adikku Novela, Ilham, dan Salsabila yang selalu menghibur di saat galau dan resah.

8. Segenap Guru dan Santriwan/Santriwati Pondok Pesantren Modern Terpadu Jabal Nur yang telah memberikan peluang kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Hidup adalah perjuangan, tiada kesuksesan tanpa jerih payah dan usaha yang sungguh-sungguh. Segala kemampuan, pikiran dan daya upaya penulis kerahkan untuk mendapatkan hasil yang baik dalam penulisan skripsi ini. Namun, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan serta kekhilafan yang belum terlaksanakan. Hal ini karena keterbatasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat mencapai pada tahap yang lebih baik dan sempurna. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 30 Juni 2014

Penulis

(9)

vi

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI……… i

ABSTRAK………. ii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR TABEL………. viii

DAFTAR BAGAN... ix

DAFTAR SINGKATAN……….. x

DAFTAR LAMPIRAN………. xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………. 1

B. Identifikasi Masalah……….…... 6

C. Pembatasan Masalah………. 7

D. Perumusan Masalah………..…… 7

E. Tujuan Penelitian……….. 7

F. Manfaat Penelitian……… 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori………. 9

1. Ruang Lingkup Pragmatik………. 9

2. Prinsip Kerja Sama………... 12

3. Humor dan Fungsinya……….. 21

B. Penelitian yang Relevan………... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian……….... 28

B. Metode Penelitian………. 29

(10)

vii

F. Jenis Data………. 33

G. Analisis Data……… 33

H. Pelaksanaan Penelitian………. 34

I. Keabsahan Data………... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data………. 38

B. Analisis Data dan Pembahasan………. 45

C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia……….... 85

BAB V PENUTUP A. Simpulan……… 89

B. Saran……….. 90

(11)

viii

Halaman

1. Pematuhan prinsip kerja sama (Maksim kuantitas)……….... 38

2. Pematuhan maksim kualitas……… 39

3. Pematuhan maksim relevansi………. 39

4. Pematuhan maksim cara………. 40

5. Penyimpangan prinsip kerja sama (Maksim kuantitas)……….. 41

6. Penyimpangan maksim kualitas... 41

7. Penyimpangan maksim relevansi……… 42

(12)

ix

Bagan: Halaman

(13)

x 1. HD : Humor Dialog

2. CCJ : Cekakak-Cekikik Jakarta 3. KN : Kuantitas

4. KL : Kualitas 5. R : Relevansi 6. C : Cara

(14)

xi Lampiran :

1. Data pematuhan prinsip kerja sama 2. Data penyimpangan prinsip kerja sama 3. Biografi pengarang

4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama 6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas 7. Lembar Uji Referensi

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kegiatan berkomunikasi, manusia tidak pernah lepas dari suatu wahana yang bernama bahasa. Bahasa merupakan sebuah sistem berupa lambang bunyi yang digunakan oleh anggota kelompok masyarakat untuk berinteraksi, menyampaikan maksud guna mencapai tujuan yang diinginkan selama proses berkomunikasi. Bahasa merupakan aktivitas sosial, sama halnya dengan aktivitas-aktivitas yang lain. Jadi, dalam kegiatan bertutur, bahasa juga memerlukan manusia sebagai objeknya, karena tidak ada kegiatan masyarakat tanpa bahasa, begitu pula penggunaan bahasa tanpa adanya masyarakat.

Berdasarkan fungsinya, bahasa mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebagai alat komunikasi, alat ekspresi, dan alat berpikir. Ketika seseorang menggunakan bahasa, ada sesuatu yang ingin disampaikan berupa informasi, sehingga bahasa mempunyai peran sebagai perantara dalam kegiatan bertutur. Kegiatan bertutur tersebut bisa disampaikan melalui satu arah seperti pidato, pembacaan berita dan lain sebagainya, ataupun melalui dua arah seperti halnya dialog, diskusi, maupun wawancara. Ekspresi seseorang ketika menyatakan senang atau susah lebih lengkap apabila dinyatakan dengan bahasa, tidak cukup hanya dengan tersenyum atau menangis. Dalam fungsinya sebagai alat berpikir, bahasa selalu dipakai baik secara lisan maupun tulisan, ketika seseorang akan membuat artikel atau menjadi narasumber pada suatu acara, dia memerlukan bahasa yang baik dan benar, selain itu bahasa juga menjadi sebuah cermin dari kepribadian seseorang.

(16)

berkomunikasi bisa berjalan dengan lancar, hal ini terjadi dikarenakan apabila tiap-tiap partisipan tidak memahami topik yang sedang dibicarakan, atau lawan tutur tidak mengetahui konteksnya. Oleh karena itu, dalam proses berkomunikasi, diperlukan aturan-aturan yang bisa mengatur penutur dan lawan tutur untuk bekerja sama dalam mewujudkan komunikasi yang baik dan lancar sehingga maksud dan tujuan dari komunikasi tersebut bisa tercapai.

Hal inilah yang menjadi alasan peneliti mengapa pengetahuan mengenai tindak tutur sangat penting bagi pengajaran bahasa, karena teori dalam tindak tutur memusatkan kepada penggunaan bahasa, menuntut adanya pengetahuan bersama yang harus dimiliki oleh setiap peserta tutur serta mengkomunikasikan maksud dan tujuan agar bisa dicapai. Namun sering kita mengetahui penyimpangan terhadap kaidah bahasa seringkali terjadi. Penyimpangan tersebut bisa berasal dari struktur kalimat ataupun prinsip. Jika penyimpangan terhadap struktur kalimat bisa diatasi oleh sintaksis dan kawan-kawannya. Namun penyimpangan terhadap prinsip berhubungan dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu yang cocok digunakan untuk menangani masalah ini adalah pragmatik.

(17)

Dalam kaidah bertutur, ada dua teori yang kita terapkan, 1) Prinsip kerja sama, dan 2) Prinsip kesopanan. Prinsip kerja sama merupakan prinsip dalam menyampaikan komunikasi verbal dengan relatif memadai, cukup, sesuai dengan fakta, relevan, dan tidak kabur atau ambigu. Sedangkan prinsip kesopanan merupakan prinsip dalam penyampaian komunikasi verbal dengan sopan, bijaksana, dan rendah hati. Prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice di dalam aktifitas bertutur itu seluruhnya meliputi empat maksim, yaitu : (1) Maksim Kuantitas (maxim

of quantity), (2) Maksim Kualitas (maxim of quality), (3) Maksim

Relevansi (maxim of relevance), dan (4) Maksim Pelaksanaan (maxim of

manner).

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur agar memberikan informasi yang secukupnya sesuai dengan kebutuhan lawan tuturnya, jadi apabila penutur memberikan informasi yang berlebihan dapat dianggap menyimpang dari maksim kuantitas. Di dalam maksim kualitas setiap peserta tutur diharapkan memberikan informasi yang benar dan sesuai fakta, sehingga kalau ada dari peserta tutur yang memberikan informasi yang salah dan tidak sesuai fakta, maka dianggap telah menyimpang dari maksim kualitas. Maksim relevansi mengharapkan setiap tutur memberikan kontribusi yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan, apabila peserta tutur memberikan informasi atau respon yang tidak relevan maka dikatakan telah menyimpang dari maksim relevansi. Sedangkan maksim cara menghendaki setiap peserta tutur agar memberikan informasi yang langsung, jelas, runtut, dan tidak ambigu. Apabila peserta tutur tersebut memberikan informasi atau jawaban yang bertele-tele, tidak jelas, membingungkan, dan ambigu, maka dianggap telah menyimpang dari maksim cara.

(18)

aktivitas bertutur itu seringkali terjadi dan biasanya terdapat dalam dialog manusia yang berupa humor, hal itu dapat diperoleh dengan menyelewengkan salah satu maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama.

Selain berfungsi sebagai alat komunikasi verbal, bahasa juga mempunyai fungsi-fungsi lain. Salah satu fungsi itu adalah fungsi intertainment atau fungsi hiburan. Fungsi hiburan ini dapat diwujudkan dalam bentuk narasi, puisi, nyanyian, dan wacana-wacana yang bersifat humor. Humor merupakan rangsangan verbal atau visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar, pembaca atau orang yang melihatnya.

Humor menjadi salah satu kebutuhan manusia, yang bisa membuatnya terhibur dan merasa lega, terbebas dari beban mental yang dialami sepanjang hari selama beraktivitas sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial. Tanpa humor hidup manusia mungkin akan kering, dikarenakan proses bertindak dan berpikir yang terlalu serius, sehingga sering mengakibatkan stres ataupun depresi.

Kesanggupan humor untuk membebaskan manusia dari beban mental adalah karena di dalam humor terdapat penyimpangan-penyimpangan kaidah dalam bahasa, selain itu kaidah dalam sosial kemasyarakatan. Di dalam masyarakat, humor baik yang bersifat protes sosial, meskipun hanya sekadar gurauan tapi bisa diambil hikmahnya, dan berfungsi sebagai pelipur lara. Jadi, sama dengan dongeng-dongeng fiktif dalam cerita sastra lama.

(19)

masyarakat jawa yang menganggap bahwa ketidaklangsungan dalam berbicara merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam menggunakan bahasanya.

Dalam kurikulum di sekolah (KTSP) pelajaran bahasa Indonesia merupakan kelompok mata pelajaran estetika, di samping teori yang diajarkan, anak-anak juga mampu mengaplikasikan setiap SK dan KD yang telah ditentukan. Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah mempunyai fungsi dan peran strategis di dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang terampil di dalam berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan sopan. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, peserta didik diajak untuk berlatih dan belajar berbahasa melalui aspek keterampilan dalam berbahasa yang meliputi keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

(20)

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti akan mengadakan penelitian yang berjudul :

“Prinsip Kerja Sama Grice dalam Humor Dialog Cekakak-Cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia”.Dengan alasan sebagai berikut :

1. Prinsip kerja sama merupakan prinsip yang menjadi pedoman ketika manusia melaksanakan aktivitas komunikasi, sehingga komunikasi yang dilaksanakan bisa berjalan lancar serta maksud dan tujuan yang diinginkan bisa tercapai.

2. Ingin mengetahui sejauh mana prinsip kerja sama yang terdapat dalam humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer.

3. Sejauh pengetahuan peneliti, judul tersebut belum pernah diteliti oleh peneliti lain.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada beberapa permasalahan yang perlu dikaji. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Prinsip kerja sama yang terjadi di dalam komunikasi humor dialog

Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer.

2. Penyimpangan prinsip kerja sama yang digunakan sebagai sarana penciptaan humor Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer.

3. Tujuan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dalam humor dialog

Cekakak-Cekikik Jakarta karyaAbdul Chaer.

4. Kurangnya minat baca orang terhadap humor di dalam menghilangkan kejenuhan.

5. Implikasi prinsip kerja sama yang digunakan oleh guru di dalam menyampaikan materi pembelajaran bahasa Indonesia.

(21)

C. Pembatasan Masalah

Permasalahan yang diuraikan dalam identifikasi masalah terlalu luas sehingga tidak mungkin untuk diteliti secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, penulis hanya memfokuskan terhadap prinsip kerja sama yang digunakan di dalam komunikasi humor dialog Cekakak-Cekikik

Jakarta karya Abdul Chaer.

D. Perumusan Masalah

Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah prinsip kerja sama yang digunakan di dalam humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer?

2. Bagaimanakah penyimpangan prinsip kerja sama yang dilakukan sebagai sarana penciptaan humor?

3. Bagaimanakah implikasi prinsip kerja sama terhadap pembelajaran bahasa Indonesia?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan dan menganalisis prinsip kerja sama yang digunakan di dalam proses berkomunikasi dalam humor dialog Cekakak-Cekikik

Jakarta karya Abdul Chaer.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis penyimpangan prinsip kerja sama yang dilakukan sebagai sarana penciptaan humor.

3. Mendeskripsikan implikasi prinsip kerja sama terhadap pembelajaran bahasa Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

(22)

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lainnya di dalam mengkaji ilmu pragmatik terutama tentang prinsip kerja sama sebagai sumber yang relevan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai aplikasi terhadap pemahamannya di dalam kajian pragmatik terutama tentang prinsip kerja sama Grice.

b. Bagi guru, penelitian ini bisa dijadikan pedoman ketika mengajar dan melakukan proses pembelajaran di kelas, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia.

(23)

9

BAB II

KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dikaji beberapa acuan teori yang digunakan di dalam melakukan penelitian, di antaranya yaitu (1) Ruang lingkup pragmatik, (2) Prinsip kerja sama beserta maksim-maksimnya, (3) Humor dan fungsinya, (4) Penelitian yang relevan.

A. Deskripsi Teori

1. Ruang Lingkup Pragmatik

Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang semakin dikenal pada masa sekarang ini walaupun pada kira-kira lima belas tahun yang silam ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para linguis. Namun sekarang, tidak sedikit dari mereka yang mulai memberi perhatian bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi.1

Istilah pragmatik berasal dari “Pragmatica”. Kata “Pramatika” sendiri berasal dari bahasa Jerman “Pragmatisch” yang diusulkan oleh seorang filsuf Jerman Immanuel Kant. “Pragmatisch” dari “Pragmaticus” dari bahasa latin

bermakna „pandai berdagang‟ atau di dalam bahasa Yunani “Pragmatikos” dari “Pragma” artinya „perbuatan‟ dan “Prasein” „berbuat‟. Pragmatik adalah

language in use, studi terhadap makna tuturan dalam situasi dan kondisi

tertentu. Sifat-sifat bahasa dapat dimengerti melalui pragmatik, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi.2

Pragmatik mulai berkumandang di bumi linguistik (Amerika) pada tahun 1970-an. Istilah pragmatik itu sendiri dapat ditelusuri kelahirannya dengan

1

Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, (Jakarta: UI Prees, 1993), h. 1

2

(24)

menyangkutpautkan seorang filosof yang bernama Charles Morris (1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran para filosof pendahulunya (Locke dan Peirce) mengenai semiotik (ilmu tanda dan lambang). Oleh Morris semiotik dipilah-pilah menjadi tiga cabang : sintaksis, semantik, dan pragmatik.3

Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa semiotik. Semiotik mengkaji bahasa verbal, lambang, simbol, tanda, serta pereferensian dan pemaknaannya dalam wahana kehidupan. Ilmu pragmatik mengkaji hubungan bahasa dengan konteks dan hubungan pemakaian bahasa dengan pemakai atau penuturnya.4

Morris dalam Hindun mengatakan bahwa Pragmatik adalah ilmu yang menelaah tentang hubungan tanda-tanda dengan para penafsir.5Sedangkan Levinson dalam Kunjana mendefinisikan Pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya.6 Mira menyatakan bahwa

Pragmatics is said to analyze the relationship between grammatical products

(most notably, sentences) and their extralinguistic contexs.”7 (Pragmatik

merupakan kajian untuk menganalisis hubungan antara tata bahasa (terutama kalimat) dengan konteks di luar satuan lingual)

Pragmatik sebagai suatu telaah makna dalam hubungannya dengan aneka situasi ujaran.8Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa, karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah makna, dapat dikatakan bahwa pragmatik banyak sejajar dengan semantik yang juga mengkaji makna. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal, bersifat

3

Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta : Kanisius, cet. 1, 2009), h. 10-11

4

Tagor Pangaribuan, Paradigma Bahasa, (Yogyakarta : Graha Ilmu, cet. 1, 2008), h. 68

5

Hindun, Pragmatik, (Depok : Nufa Citra Mandiri, cet. 1, 2012), h. 3

6

Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Jakarta : Erlangga, 2009), h. 20

7

Mira Ariel, Defining Pragmatics, (New York: Cambridge University Press, 2010), h. 3 8

(25)

triadis, dan terikat konteks. Sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal, bersifat diadis, dan bebas konteks.9

Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan.10Istilah “Konteks” didefinisikan sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami.11

Hubungan antara bahasa dengan konteks merupakan dasar dalam pemahaman pragmatik. Pemahaman yang dimaksud adalah memahami maksud penutur (O1), lawan tutur (O2), dan partisipan (O3) yang melibatkan konteks.12Hasan Lubis memberikan keterangan konteks dalam kutipan sebagai berikut:

Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu; (1) konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu; (2) konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara atau pendengar; (3) konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi; (4) konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar.13

Jadi, Pragmatik adalah bagian dari ilmu linguistik yang menghubungkan pemakaian bahasa dengan penggunanya, mengkaji maksud penutur dengan mempelajari struktur bahasa secara eksternal dengan memperhatikan konteks pada saat ujaran terjadi. Konteks meliputi latar belakang peserta tutur, waktu dan tempat terjadinya pertuturan. Di dalam aktivitas bertutur, lawan tutur harus berusaha memahami makna dan maksud yang diujarkan oleh penutur sehingga maksud penutur bisa tersampaikan dengan baik.

9

I Dewa Putu Wijana dan Mohammad Rohmadi, Analisis Wacana Pragmatik, (Surakarta: Yuma Pustaka, cet.2, 2010), h. 4-5

10

Kunjana, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta : Erlangga, 2009), h. 50

11

F. X Nadar, Pragmatik & Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta : Graha Ilmu, cet.1, 2009), h. 4

12

Muhammad Rohmadi, Pragmatik: Teori dan Analisis, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 3

13

(26)

Dalam kurikulum 1984 Pragmatik ditambahkan sebagai suatu komponen

“Kegiatan berbahasa” dan sebagai perwujudan konsep serta tujuan

“kemampuan komunikatif” untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Contoh-contoh yang diberikan berupa fungsi komunikasi, dan digambarkan sebagai berikut:

a. Di sekolah Dasar

(1) Mengungkapkan perasaan tentang suatu hal atau peristiwa.

(2) Memberitahukan suatu hal melalui telepon dan dengan surat pribadi. b. Di Sekolah Menengah Pertama

(1) Mengungkapkan informasi faktual tentang sesuatu kejadian.

(2) Menyampaikan pesan penting melalui telepon atau telegram dan surat yang semiformal.

c. Di Sekolah Menengah Atas

(1) Tata krama berdiskusi, umpamanya mempersilahkan peserta rapat mengemukakan pendapat atau sanggahan.

(2) Menyatakan kurang setuju dengan pendapat orang lain dalam rapat atau pertemuan yang semiformal atau dalam surat yang formal.14

2. Prinsip Kerja Sama

Peserta tutur di dalam aktivitas bertutur harus berusaha agar apa yang dikatakannya cukup relevan, jelas, dan mudah dipahami dengan situasi yang ada dalam percakapan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh peserta tutur agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam kajian pragmatik dikenal sebagai prinsip kerja sama.15

Prinsip kerja sama didasari oleh asumsi bahwa dalam berkomunikasi, penutur dan petutur bersedia bekerja sama.16Bagi Grice, Kerjasama membentuk struktur kontribusi-kontribusi kita sendiri terhadap percakapan dan bagaimana kita mulai menginterpretasikan kontribusi-kontribusi orang

14

Bambang Kaswanti Purwo, Bulir-Bulir Sastra & Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 77

15

Kushartanti dkk, Pesona Bahasa, (Jakarta : Gramedia, cet. 3, 2009), h. 106

16

(27)

lain.17 Jadi, prinsip kerja sama bisa membantu peserta tutur untuk tercapainya maksud dan tujuan dalam berkomunikasi. Rumusan prinsip kerja sama tersebut bunyinya sebagai berikut :

“Make your conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange

in which you are engaged”.18

(Berikanlah kontribusi percakapan Anda sesuai yang diperlukan, pada tahap di mana itu terjadi, sesuai dengan tujuan pembicaraan di mana Anda terlibat.)

Pada banyak kesempatan, asumsi kerja sama dapat dinyatakan sebagai suatu prinsip kerja sama dalam percakapan dan dapat dirinci ke dalam empat sub-prinsip, yang disebut maksim.19Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi.20Prinsip kerja sama di dalam aktivitas bertutur itu seluruhnya meliputi empat maksim, yaitu (1) maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of

quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevancy), (4) maksim pelaksanaan

(maxim of manner). Selanjutnya prinsip kerja sama ini dijabarkan oleh Grice

sebagai berikut :

a. Maksim Kuantitas: 1) Berikanlah informasi anda sesuai kebutuhan dalam rangka tujuan atau maksud pertuturan; 2) Jangan memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan.

b. Maksim Kualitas: 1) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar; 2) Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai

c. Maksim Relevansi: Harap relevan

17

Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. 1,2007) h. 14

18

Yan Huang, Pragmatics,(New York : Oxford University Press, 2007), h. 25

19

George Yule, Pragmatik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. 1, 2006), h. 63

20

(28)

d. Maksim Cara: 1) Hindari ungkapan yang tidak jelas; 2) Hindari ungkapan yang membingungkan dan ambigu; 3) Hindari ungkapan yang berkepanjangan; 4) Ungkapkan sesuatu secara runtut.21

1. Pematuhan Prinsip Kerja Sama a) Maksim Kuantitas

Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur.22Maksim kuantitas menuntut

penggunaan potensi bahasa itu dalam bentuk ujaran yang hemat.“Hemat”

di sini berarti bahwa untuk mencapai tujuan komunikasi itu penggunaan kata, struktur dan makna dengan secukupnya saja, dan tidak boros.23Contoh :

(1) Anak pertama saya sudah melahirkan

Ujaran (1) di atas dianggap mematuhi maksim kuantitas karena memberikan konstribusi yang secukupnya. Dikatakan demikian, karena setiap orang pasti tahu bahwa hanya kaum perempuan yang bisa melahirkan. Selain itu, di dalam maksim kuantitas lawan tutur diharapkan memberikan informasi yang relatif memadai dan sesuai yang dibutuhkan oleh mitra tutur.

Contoh :

(2) A : Sudah makan belum ? B : Sudah

A : Di mana ? B : Di Pesanggrahan

Ujaran (2) di atas dianggap mematuhi maksim kuantitas. Karena B menjawab semua pertanyaan A dengan seinformatif mungkin dan

21

Nadar, Pragmatik & Penelitian Pragmatik, h. 24

22

Kunjana, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, h. 53

23

(29)

mencukupi pada setiap tahapan komunikasi serta sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan oleh A.

b) Maksim Kualitas

Dengan maksim kualitas ini, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di dalam aktivitas bertutur yang sesungguhnya. Fakta kebahasaan yang demikian itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas, konkrit, nyata dan terukur. Maka sebuah tuturan akan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila tuturan itu sesuai dengan faktanya, sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat, dan tidak rekayasa.24

Contoh :

(3) Guru : Deny, apa ibu kota Jawa Timur? Deny: Surabaya, Pak!

Pertuturan (3) sudah mematuhi maksim kualitas karena Deny menjawab dengan benar pertanyaan yang diberikan oleh gurunya bahwa kata Surabaya memang menjadi Ibu kota bagi Jawa Timur.

c) Maksim Hubungan (relevansi)

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.25Maksim Hubungan yang mengatakan „usahakan agar

informasi yang diberikan ada relevansinya‟ telah menghasilkan berbagai

interpretasi. Beberapa di antaranya mengartikan maksim ini sebagai

„sejenis keinformatifan yang khusus‟.26 Contoh :

(4) A : Kak, ada telepon untuk Kakak! B : Kakak sedang di kamar mandi, Dek.

(5) A : Jam berapa sekarang, Bu?

24

Kunjana, Sosiopragmatik, h. 24

25

Wijana dan Rohmadi, Analisis Wacana Pragmatik, h. 46

26

(30)

B : Tukang Koran baru saja lewat

Sepintas jawaban B pada pertuturan (4) dan (5) tidak berhubungan. Namun, bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B pada pertuturan (4) mengimplikasikan atau menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi. Maka B secara tidak langsung meminta agar si A menerima telepon itu. Begitu juga kontribusi B pada pertuturan (5) yang memang tidak secara eksplisit menjawab pertanyaan A, akan tetapi dengan pengetahuan kebiasaan tukang koran lewat, maka si A akan membuat inferensi jam berapa saat itu.

d) Maksim Cara

Maksim cara ini mengharuskan penutur dan lawan berbicara secara jelas, langsung, tidak kabur, tidak ambigu, dan runtut.27

Contoh :

(6) A : Masak Peru ibu kotanya Lima, banyak amat ? B : Bukan jumlahnya, tapi namanya.28

(7) Tukang bakso : Anak saya satu di UI, Depok, satu lagi di UIN, Ciputat!

Penanya : Di fakultas apa, Pak? Tukan bakso : bukan di fakultas! Penanya : Jadi……..?

Tukang bakso : Yang satu jualan teh botol, yang satu lagi jualan bakso kayak saya.

Tuturan di atas telah mematuhi maksim cara, karena memberikan informasi secara jelas dan tidak kabur atau ambigu. Dalam contoh (6), B memberikan konstribusi yang tidak taksa, bahwa yang dimaksud dengan Lima bukanlah nama bilangan, tapi merupakan nama dari Ibu Kota Peru. Sedangkan contoh (7), tukang bakso juga memberikan informasi yang jelas,

27

Chaer, Kesantunan Berbahasa, h. 36

28

(31)

bahwa anaknya bukan sedang menjalani kuliah, tapi berprofesi sebagai penjual teh botol dan bakso.

2. Penyimpangan Prinsip Kerja Sama

Apabila di dalam praktik bertutur sapa terdapat pihak tertentu yang menjawab pertanyaan secara berlebihan, tidak logis, tidak relevan, taksa, ambigu, dan berbelit-belit, maka akan timbul kelucuan dan kejenakaan. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa kejenakaan atau kelucuan dalam aktivitas bertutur dapat diperoleh, salah satunya dengan menyelewengkan maksim dalam prinsip kerja sama Grice.

a) Penyimpangan Maksim Kuantitas

Pertuturan dianggap menyimpang dari maksim kuantitas apabila peserta tutur memberikan informasi yang berlebihan dan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh mitra tutur.

Contoh :

(8) Anak pertama saya yang perempuan sudah melahirkan

Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (8) menyebabkan tuturan menjadi berlebihan, karena kehadiran kata

perempuan dalam (8) justru menerangkan sesuatu yang sudah jelas, hal ini

bertentangan dengan maksim kuantitas. Selain memberikan informasi yang berlebihan, percakapan dianggap menyimpang dari maksim kuantitas apabila penutur memberikan informasi tidak sesuai dengan kebutuhan lawan tutur.

(9) Doni : Siapa istri Mas Joko ? Joko : Mbakyu29

Joko dalam tuturan di atas telah menyimpang dari maksim kuantitas, karena memberikan jawaban yang tidak informatif dan sesuai dengan kebutuhan Doni. Dalam hal ini, Doni tidak menanyakan panggilan

29

(32)

(sapaan) yang umum digunakan untuk memanggil seorang perempuan yang berusia lebih tua (dalam bahasa Jawa), tetapi nama perempuan itu.

b) Penyimpangan Maksim Kualitas

Sebuah ujaran dikatakan menyimpang dari maksim kualitas, apabila peserta tutur memberikan informasi yang salah dan tidak logis.Dalam wacana humor, sering kali penyimpangan itu terjadi untuk menimbulkan sebuah kelucuan.

(10) Mamat : Din, kenapa kamu goyang-goyangin perut seperti itu ? Udin : Gue habis minum obat!

Mamat : Ya, kenapa ?

Udin : Tadi obatnya lupa dikocok. Jadi, gua kocok aja di perut sekarang.

(PKL=HD/CCJ: 64/183)

Ujaran (10) di atas, Udin telah memberikan jawaban yang menyimpang dari maksim kualitas, karena tidak mungkin jika dengan menggoyang-goyang perut sama saja dengan mengkocok obat. Obat akan dengan sendirinya larut ke dalam perut, tanpa dikocok terlebih dahulu.

c) Penyimpangan Maksim Relevansi

Agar pembicaraan selalu relevan, maka penutur harus membangun konteks yang kurang lebih sama dengan konteks yang dibangun oleh lawan tuturnya. Jika tidak, penutur dan lawan tutur akan terperangkap dalam kesalahpahaman.

(11) A : Pak, tadi ada tabrakan motor lawan mobil di depan kecamatan B : mana yang menang?

(33)

pihak sama-sama mengalami kerugian. Di luar maksud melucu jawaban B pada pertuturan (11) di atas sukar dicari hubungan implikasionalnya.30

d) Penyimpangan Maksim Cara

Dalam maksim cara, peserta tutur hendaknya bertutur secara jelas, tidak ambigu, dan tidak kabur. Orang yang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal di atas dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim cara.

(12) Ayu : Kamu datang ke sini mau apa? Desi : Mengambil hak saya

(13) Doni : “Ayo, cepat ditutup!”

Agus : “ Sebentar dulu, masih panas.”

Kedua tuturan (12) dan (13) di atas telah menyimpang dari maksim cara. Penutur Desi (12) tidak menaati maksim cara karena bersifat ambigu. Kata hak saya bisa mengacu pada hak sepatu bisa juga pada sesuatu yang menjadi miliknya.31 Begitu juga Tuturan Doni yang berbunyi : “Ayo cepat

ditutup!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata „ditutup‟di atas mengandung

kadar ketaksaan dan kekaburan sangat tinggi dan maknanya pun menjadi sangat kabur. Demikian pula tuturan yang disampaikan oleh Agus (13),

yakni “Sebentar dulu, masih panas” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata „panas‟ pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak

kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih panas.32

Untuk menjelaskan maksim-maksim tersebut, Grice membuat ilustrasi sebagai berikut :

30

Chaer, Kesantunan Berbahasa, h. 36

31 Ibid,. 32

(34)

a) Kuantitas: Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan konstribusi anda sesuai kebutuhan, tidak lebih, tidak juga kurang. Misalnya, kalau pada saat tertentu saya memerlukan empat sekrup, saya ingin anda memberikan kepada saya empat sekrup bukannya dua atau enam.

b) Kualitas: Saya mengharapkan konstribusi anda sungguh-sungguh, bukan palsu. Kalau saya memerlukan gula sebagai bahan pembuat kue yang anda minta saya membuatnya, saya tidak mengharapkan anda memberikan garam kepada saya; kalau saya memerlukan sendok, saya ingin sendok sungguhan bukan sendok mainan yang terbuat dari karet.

c) Relasi: Saya menginginkan konstribusi pasangan saya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pada setiap tahapan transaksi, seandainya saya sedang membuat adonan kue, saya tidak mengharapkan diberi buku atau lampin walaupun konstribusi barang-barang ini mungkin sesuai untuk tahapan berikutnya.

d) Cara : Saya mengharapkan pasangan saya menjelaskan konstribusi apa yang diberikannya dan melaksanakan tindakannya secara beralasan.33

Ketika seseorang bertutur dalam suatu proses komunikasi dia mengharapkan tanggapan dari lawan tuturnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketika penutur ingin meminta sesuatu, harapannya adalah sesuatu yang diminta akan diperoleh. Banyak faktor yang menyebabkan satu proses komunikasi menjadi gagal, di antaranya:

(1) Lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan

Proses komunikasi atau pertuturan akan gagal apabila lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan mengenai objek yang dibicarakan.

(2) Lawan tutur tidak sadar

Suatu proses pertuturan melibatkan penutur, lawan tutur dan pesan atau objek yang dituturkan; tetapi dengan syarat lawan tutur harus

33

(35)

dalam keadaan sadar atau menyadari adanya tuturan dari seorang penutur.

(3) Lawan tutur tidak tertarik

Proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila informasi atau objek yang dibicarakan sama-sama diminati oleh penutur dan lawan tutur; atau lawan tutur juga mempunyai perhatian terhadap informasi yang disampaikan oleh penutur.

(4) Lawan tutur tidak berkenan

Proses pertuturan akan gagal kalau lawan tutur tidak berkenan atau tidak suka dengan cara penutur menyampaikan informasi tuturannya. (5) Lawan tutur tidak paham

Apabila lawan tutur tidak dapat memahami maksud dari tuturan penutur, maka komunikasi tidak akan berlanjut.

(6) Lawan tutur terkendala kode etik

Lawan tutur dapat menjawab permintaan penutur, tetapi kalau dijawab dia akan melanggar kode etik yang harus dipegangnya.34

Jadi, ketika kita melakukan proses komunikasi hendaknya berusaha untuk menerapkan dan mematuhi prinsip kerja sama Grice yang terdiri dari empat maksim, yaitu (1) maksim kuantitas; (2) maksim kualitas; (3) maksim relavansi; dan (4) maksim cara, agar pesan yang kita sampaikan atau maksud pembicaraan kita bisa tersampaikan dengan baik kepada lawan tutur.

3. Humor beserta fungsinya

Humor atau lelucon merupakan kenyataan universal, dan digunakan oleh setiap orang di sepanjang hidupnya sebagai penghibur atau bumbu-bumbu percakapan. Dalam suasana yang kaku, humor difungsikan sebagai pemecah ketegangan, sehingga suasana kaku berubah menjadi tidak beku lagi. Dalam konteks sosial politik, humor digunakan sebagai peranti kontrol sosial dan sarana menyampaikan masukan. Dalam berbagai surat kabar dan majalah atau bulletin politik, sering kali dimunculkan

34

(36)

gambar yang bernuansa komikal. Dalam dunia pendidikan, humor juga dipercaya dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan variasi-variasi pembelajaran.

Tetapi, ada kalanya humor dapat mengundang kemarahan. Dia menjadi pangkal kejengkelan dan perselisihan. Seseorang yang berselera humor rendah, dapat saja tersinggung ketika dirinya mendapat olok-olokan dari seorang teman. Maka dapatlah dikatakan bahwa sesungguhnya sosok humor itu bagaikan bilah-bilah pisau bermata tajam dua. Di satu sisi dia digunakan sebagai sarana pendukung komunikasi, di lain sisi berfungsi sebagai pemicu terjadinya ketidakmulusan komunikasi.35

Danandjaja dalam Darmansyah menyatakan bahwa humor adalah sesuatu yang dapat menimbulkan atau menyebabkan pendengarannya merasa tergelitik perasaan lucunya, sehingga terdorong untuk tertawa.36 Sheinowizt menyatakan bahwa humor dapat juga diartikan suatu kemampuan untuk menerima, menikmati dan menampilkan sesuatu yang lucu, ganjil atau aneh yang bersifat menghibur.37

Wijana mengatakan bahwa humor baik yang bersifat protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara, dan mampu membawa pembaca dari keadaan telis ke keadaan paratelis. Selain itu, humor juga dapat menyalurkan ketegangan bathin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui tawa.38

Sheinowizt dalam Darmansyah menyatakan bahwa humor dapat juga diartikan suatu kemampuan untuk menerima, menikmati dan menampilkan sesuatu yang lucu, ganjil atau aneh yang bersifat menghibur.39

35

Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 93

36

Darmansyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor, (Jakarta : Bumi Aksara, cet.1, 2010), h. 68

37

Darmansyah, Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor, h. 66

38

I Dewa Putu Wijana, Kartun : Studi tentang Permainan Bahasa, (Yogyakarta : Ombak, 2003),h. 3

39

(37)

Jadi, humor adalah wacana lisan maupun tulisan yang bisa menimbulkan tawa dan juga kemarahan, bergantung kepada jenis humor yang disampaikan. Ketika humor dapat menimbulkan tawa dan senyuman, maka humor tersebut berfungsi sebagai sebuah hiburan dan pelipur lara, menghilangkan stress serta kejenuhan. Sebaliknya apabila humor tersebut menimbulkan kejengkelan atau kemarahan maka akan mengakibatkan terjadinya pertengkaran maupun perselisihan.

Dalam sejarah kepelawakan kita sudah melihat Charlie Chaplin dan Mr. Bean dalam film-film serialnya yang hanya menampilkan gerak-gerik untuk memancing senyum atau tawa penonton. Pelawak-pelawak Indonesia dari Bing Slamet, Benyamin S. Bagio dan kawan-kawan, Bokir dan kawan-kawan, rombongan Sri Mulat, sampai yang terakhir rombongan Parto dengan Opera Van Javanya di stasiun televise. Menggabungkan gerak-gerik kostum yang aneh-aneh, dan ujaran-ujaran yang tidak lazim untuk memancing tawa penonton.40

Pradopo (1985) membeda-bedakan humor menjadi tiga jenis, yakni humor sebagai kode bahasa, humor sebagai kode sastra, dan humor sebaga kode budaya. Di dalam sastra, humor berfungsi sebagai pengikat tema dan fakta cerita. Sebagai kode budaya, humor merupakan hasil budaya masyarakat pendukungnya. Sebagai kode bahasa, ditemukan cara penciptaan humor, yakni dengan penyimpangan makna, penyimpangan bunyi, dan pembentukan kata baru.

Humor dapat ditampilkan dengan melakukan penyimpangan kaidah pragmatik, seperti penyimpangan 2 jenis implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur pertuturan. Yang pertama menyangkut makna bentuk-bentuk linguistik, sedangkan yang kedua menyangkut elemen-elemen wacana yang menurut Grice (1975) dinamakan prinsip kerja sama. Humor yang berkembang dewasa ini bertumpu pada tiga teori utama, yakni teori ketidaksejajaran, teori pertentangan, dan teori pembebasan. Teori ketidaksejajaran dan pertentangan mengemukakan bahwa humor

40

(38)

secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang kompleks. Ketidaksejajaran atau ketidaksesuaian bagian-bagian itu dipersepsikan secara tiba-tiba oleh penikmatnya. Seperti contoh kartun di bawah ini yang menggabungkan dua konsep yang satu sama lain berbeda dengan satu kata yang secara kebetulan memiliki bunyi yang sama, yaitu lima.

13. A : Masak Peru ibu kotanya Lima, banyak amat? B : Bukan jumlahnya….tapi namanya.

Ketidaksejajaran atau pertentangan di dalam wacana kartun dikreasikan oleh para kartunis untuk menanggapi kondisi masyarakatnya atau sekadar bersenda gurau yang pada akhirnya diharapkan dapat melepaskan khalayak pembaca dari keseriusan dan berbagai beban kehidupan.

Sebagai pemerjelas perhatikan contoh di bawah ini :

14. A : Kau telah disemir oleh oknum-oknum itu, ya?

B : Bapak menghina saya, ya. Saya ini pejabat bukan sepatu.

Wacana kartun (14) memanfaatkan ambiguitas kata disemir. Secara

literal kata disemir bermakna „membersihkan sepatu atau rambut agar

mengkilat dengan cairan atau bahan tertentu‟, sedangkan secara figuratif

bermakna „diberi uang secara tidak legal untuk memperlancar atau mempermudah suatu urusan‟. Pengacauan antara pemakian yang bersifat

literal dan nonliteral itulah letak kejenekaan wacana kartun (14) di atas.

Humor merupakan teka-teki yang terpahami ketidaksejajarannya. Dalam kaitannya dengan pemahaman humor, para penikmat harus menemukan semacam kaidah kognitif (cognitive rule) ketidaksejajaran itu. Penemuan kaidah ditandai dengan penolakan salah satu rangsangan atau kemungkinan interpretasi yang disodorkan.41 Sifat-sifat khas wacana humor dapat juga didasarkan atas teori Hymes (1974) yang

41

(39)

mengemukakan bahwa ada 8 faktor yang menentukan wujud ujaran seseorang. Semua faktor tersebut diringkas menjadi SPEAKING.

1. Setting and Scene, yaitu berkenaan dengan waktu, tempat, situasi

tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan.

2. Participants, yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan.

3. Ends, yaitu maksud dan tujuan pertuturan.

4. Act sequence, yaitu mengacu pada bentuk dan isi ujaran.

5. Key, yaitu mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu

pesan disampaikan.

6. Intrumentalities, yaitu jalur bahasa yang digunakan.

7. Norm of Interaction and Interpretation, yaitu mengacu pada norma

atau aturan dalam berinteraksi.

8. Genre, yaitu jenis bentuk penyampaian.42

Wacana humor bisa terbentuk melalui pemanfaatan berbagai aspek kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya. Berhubungan dengan ini, ragam bahasa informal cenderung lebih banyak digunakan sebagai sarana berhumor dengan sifat-sifatnya yang tidak terikat pada kaidah kebakuan sehingga ketaksaan, berlebihan, tidak logis, dan tidak relevan merupakan aspek penting dalam humor.

B. Penelitian yang relevan

Ayusya (Mahasiswa UI 2010) telah melakukan penelitian dengan judul

“Wacana NgupingJakarta: Tinjauan Terhadap Prinsip Kerja Sama,

Koherensi, Makrostruktur, dan Suprastruktur dalam Blog Humor”. Hasil

penelitiannya yaitu menjelaskan jenis pelanggaran terhadap prinsip kerja sama, menjelaskan suprastruktur dan makrostruktur wacana, dan menjelaskan pengaruh koherensi yang terjadi dalam blog humor

NgupingJakarta. Ayusya ingin mengetahui penyimpangan prinsip kerja

sama dalam humor NgupingJakarta tersebut, selain itu dia juga melihat struktur wacana dan koherensi yang ada dalam blog humor tersebut. Jadi, penelitian Ayusya terdiri dari dua bidang kajian yaitu bidang kajian

42

(40)

pragmatik dan wacana. Menurutnya, mengapa dia mengambil penelitian tersebut dikarenakan wacana pada umumnya selalu berdampingan dengan kajian pragmatik, dan bahasa dalam pragmatik terutama humor terbentuk menjadi sebuah wacana.Sehingga wacana dan pragmatik terkadang sangat erat hubungannya.

Tyas Chairunisa (Mahasiswa UI 2011) telah melakukan penelitian

dengan judul “Analisis Pelanggaran terhadap Prinsip Kerja Sama dan

Prinsip Kesantunan pada Humor Singkat.” Hasil penelitiannya yaitu mendeskripsikan dan menganalisis pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip percakapan yang terdiri dari prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan serta penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut dalam humor singkat KKBHBJ (Ketawa Ketiwi Betawi Humor dari

Batavia sampai Jabotabek karya Abdul Chaer tahun 2007). Jadi, Kajian

yang diambil oleh Tyas adalah kajian pragmatik tentang prinsip percakapan yang terdiri dari prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Namun, dia hanya menitikberatkan kepada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam percakapan humor tersebut.

Syifa Fauziah (Mahasiswa UNJ 2011) telah melakukan penelitian

dengan judul “Maksim Kerja Sama Pada Dialog Tokoh Utama dalam

Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan Implikasinya Bagi Pembelajaran

Bahasa Indonesia di SMA.” Hasil penelitiannya yaitu mendeskripsikan

dan menganalisis pemenuhan dan pelanggaran terhadap maksim kerja samayang dilakukan oleh dialog tokoh utama dalam novel Ketika Cinta

Bertasbih 1, tokoh utama yang dimaksud adalah Khoirul Azzam dan Anna

(41)

Syifa adalah kajian pragmatik tentang maksim kerja sama Grice. Dia menitikberatkan kepada pemenuhan dan pelanggaran yang dilakukan oleh dialog tokoh utama yaitu Azzam dan Anna dalam novel Ketika Cinta

Bertasbih 1 karya Habiburrahman El-Shirazy.

Persamaan dan perbedaan ketiga penelitian di atas dengan penelitian ini adalah terletak kepada unsur yang dikaji danobjek yang menjadi kajiannya. Persamaan penelitian Ayusya dan Tyas dengan penelitian ini yaitu sama-sama mengkaji humor sebagai objeknya, namun perbedaannya bahwa Ayusya dan Tyas mengkaji penyimpangan yang dilakukan terhadap prinsip kerja sama, selain itu Ayusya juga mengkaji tentang macrostruktur, suprastruktur, dan koherensi. Adapun Tyas juga meneliti tentang penyimpangan terhadap prinsip kesopanan. Sedangkan penelitian ini menitikberatkan kepada prinsip kerja sama serta penyimpangan yang dilakukan dalam humor Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer. Objek yang menjadi kajian Ayu adalah Blog humor NgupingJakarta,Tyas dengan objek humor Ketawa Ketiwi Betawi, dan penelitian ini menggunakan humor Cekakak-Cekikik Jakarta sebagai objek penelitiannya.

(42)

28

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi merupakan sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan untuk memperoleh kebenaran terhadap masalah tertentu yang diajukan di dalam suatu penelitian. Usaha tersebut dilakukan dengan sistematis dan terorganisasi, karena membutuhkan jawaban dan penyelesaian yang benar dan logis. Adapun unsur-unsur metodologi dalam penelitian ini sebagai berikut:

Skema Konseptual 1

Sumber Muhammad (2011) yang sudah dimodifikasi oleh peneliti

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini terdiri dari tiga aspek yang tercakup dalam istilah metodologi penelitian, yaitu aspek aksiologi dari satu paradigma. Aspek tersebut merupakan aspek nyata yang menunjukan cara melaksanakan

Metodologi Penelitian

Ancangan Pragmatik

Metode Kualitatif

Teknik Simak

(43)

penelitian yang terdiri dari ancangan, metode, dan teknik. Ancangan merupakan disiplin ilmu yang digunakan sebagai paradigma berpikir. Menurut Bogdan dalam Moleong, paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.1Dengan paradigma, cara atau orientasi berpikir peneliti menjadi terarah dan penelitian yang dilakukan akan menjadi fokus.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ilmu pragmatik. Ilmu pragmatik merupakan bidang linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu mengkaji maksud penutur dalam menyampaikan satuan lingual melalui bahasa berdasarkan konteks.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian atau research method merupakan aspek aksiologi dari suatu paradigma, yang merupakan aspek nyata cara melaksanakan penelitian. Di dalamnya terdapat jenis penelitian, data, sumber data, dan metode penelitian yang meliputi pengadaan, analisis, dan penyajian data.2

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa.3

Penelitian kualitatif deskriptif tidak hanya mengemukakan berbagai tindakan yang tampak oleh kasat mata saja, sebagaimana dikatakan Bailey (1982) dalam Mukhtar (2013) menurut kutipan sebagai berikut:

1

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 49

2

Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 168

3

(44)

Penelitian kualitatif deskriptif selain mendiskusikan berbagai kasus yang sifatnya umum tentang berbagai fenomena sosial yang ditemukan, juga harus mendeskripsikan hal-hal yang bersifat spesifik yang dicermati dari sudut kemengapaan dan kebagaimanaan, terhadap suatu realitas yang terjadi baik perilaku yang ditemukan di permukaan lapangan sosial, juga yang tersembunyi di balik sebuah perilaku yang ditunjukkan.4

Dengan demikian, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prinsip kerja sama serta penyimpangan yang dilakukan dalam humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer.

C. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah prinsip kerja sama serta penyimpangan yang dilakukan dalam humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer. Prinsip kerja sama merupakan prinsip yang dijadikan pedoman ketika peserta tutur melaksanakan proses komunikasi. Prinsip kerja sama terdiri dari empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.

D. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah seluruh dialog yang mengalami prinsip kerja sama serta penyimpangan yang dilakukan dalam humor dialog

Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer.

Dalam penelitian ini, hanya diambil sepuluh dialog yang mengandung prinsip kerja sama dan sepuluh dialog yang menyimpang dari prinsip kerja sama yang terdapat dalam humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer. Dalam pengambilan sampel penelitian, peneliti mempunyai pertimbangan tersendiri di dalam pengambilannya, maka teknik yang

4

(45)

digunakan dalam pengambilan sampel adalah Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Adapun hal yang menjadi pertimbangan yaitu adanya pengulangan beberapa dialog yang dianggap bisa mewakili dari setiap dialog yang telah diklasifikasikan berdasarkan maksim-maksimnya.

E. Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan metode, teknik, dan kiat dalam upaya mengumpulkan data. Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode simak dengan teknik simak bebas cakap dan teknik catat. Adapun kemampuan peneliti dalam menggunakan teknik untuk menjalankan metode dengan kiat tertentu yaitu menandai dengan bolpoin warna dan memberi kode pada setiap dialog sesuai dengan maksim-maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama. Maksim-maksim tersebut terdiri atas maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Tujuan pemberian kode dan tanda tersebut untuk memudahkan peneliti di dalam mengidentifikasi dialog yang mematuhi dan menyimpang dari prinsip kerja sama.

1. Metode Simak

Metode simak dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak dalam penelitian ini berkaitan dengan penggunaan bahasa secara tertulis. Simak merupakan kegiatan permulaan, mengamati, dan memahami dialog antar peserta tutur yang terdapat dalam humor Cekakak-Cekikik

Jakarta karya Abdul Chaer. Selanjutnya, digunakan teknik lanjutan berupa

(46)

a) Teknik Simak Bebas Cakap

Pada teknik ini, peneliti berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa. Peneliti tidak terlibat dalam peristiwa pertuturan, namun hanya menyimak pertuturan atau dialog yang sedang dilakukan antar peserta tutur. Pada teks humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta, peneliti hanya menyimak informasi teks baik yang berkenaan dengan isi maupun unsur-unsur di luar bahasa.

b) Teknik Catat

Setelah melakukan teknik simak bebas cakap, digunakan teknik catat atau

taking note method dengan melakukan pengelompokan teks dialog menjadi

gugus-gugus sesuai maksim-maksimnya pada kartu data yang telah disediakan. Gugus adalah rangkaian; kumpulan; kelompok.5 Tujuan membuat gugus-gugus tersebut untuk memudahkan di dalam mengklasifikasikan dialog berdasarkan maksim-maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Berikut ini adalah contoh kartu data yang digunakan dalam penelitian.

No. Nama Maksim Kode Data Jumlah Persentese

No

Kartu data dirancang sendiri oleh peneliti untuk memudahkan mengidentifikasi dialog

sesuai maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama.

5

(47)

F. Jenis Data

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah humor

Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer.

Identitas novel tersebut adalah:

Judul buku : Cekakak-Cekikik Jakarta Pengarang : Abdul Chaer

Penerbit : PT Rineka Cipta Jakarta Cetakan : Pertama, Juni 2011

Tebal : 312 halaman

Referensi utama yang digunakan dalam penelitian adalah buku-buku pragmatik yang berkaitan dengan prinsip kerja sama. Selain itu, digunakan referensi lain untuk menambah pengetahuan dalam mengkaji prinsip kerja sama.

G. Analisis Data

(48)

menganalisis data adalah teori Grice yang dikembangkan oleh Kunjana Rahardi, Fatimah Djajasudarma, Kushartanti, Abdul Chaer, F.X. Nadar, dan I Dewa Putu Wijana.

1. Metode Padan Ekstralingual

Metode padan ekstralingual digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa, seperti hal-hal yang menyangkut makna, informasi, konteks tuturan dan lain-lain.6

a) Teori Speaking

Peneliti menggunakan teori Speaking untuk memudahkan menganalisis data, digunakan teori tersebut karena dialog-dialog yang terdapat dalam humor Cekakak-Cekakak Jakarta tidak lepas dari konteks sosial masyarakat. Dell Hymes (1972) mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi Speaking.

H. Pelaksanaan Penelitian

Prosedur dalam mengidentifikasi data prinsip kerja sama dalam humor

Cekakak-Cekikik Jakarta sebagai berikut :

1. Membaca secara intensif humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta.

2. Mencermati dan mengamati dialog dengan metode dan teknik pengumpulan data.

3. Menandai dan memberi kode pada dialog yang mematuhi dan menyimpang dari prinsip kerja sama.

6

(49)

4. Menganalisis bentuk dialog yang mematuhi dan menyimpang dari prinsip kerja sama dengan metode dan teknik analisis data.

5. Mengklasifikasikan bentuk-bentuk dialog yang mematuhi dan menyimpang sesuai maksim-maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama.

6. Menulis data hasil klasifikasi.

7. Membahas data hasil klasifikasi berdasarkan teori

(50)

Kegiatan Meneliti Prinsip Kerja Sama dalam Humor Dialog Cekakak-Cekikik Jakarta Karya Abdul Chaer

Dataggjj

Skema Konseptual 2

Sumber Mahsun (2007) dan Muhammad (2011) yang sudah dimodifikasi oleh peneliti. Data Prinsip Kerja Sama dalam Humor

(51)

I. Keabsahan Data

Dalam upaya mendapatkan keabsahan data penelitian, perlu dilakukan pengecekan terhadap data yang ditemukan.Pengecekan data dalam penelitian ini dilakukan dengan ketekunan pengamatan dan diskusi.

(52)

38

BAB IV

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Hasil penelitian ini berupa deskripsi pematuhan serta penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dalam humor dialog Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer. Pematuhan terhadap prinsip kerja sama dilakukan sebagai pedoman selama komunikasi berlangsung, hal ini dengan mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Sedangkan penyimpangan prinsip kerja sama terjadi disebabkan penutur tidak faham dengan konteks pembicaraan atau penyimpangan sengaja dilakukan untuk menimbulkan efek lucu atau sindiran halus.

Pada penelitian ini, pematuhan maksim kuantitas berupa informasi yang relatif memadai dan sesuai dengan kebutuhan penutur. Pematuhan maksim kualitas berupa informasi yang benar dan logis. Pematuhan maksim relevansi berupa informasi yang relevan dengan topik pembicaraan. Pematuhan maksim cara berupa informasi yang jelas, langsung, tidak ambigu dan tidak membingungkan.

Penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dalam humor dialog ini meliputi penyimpangan maksim kuantitas dengan memberikan informasi yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan penutur. Penyimpangan maksim kualitas berupa informasi yang salah dan tidak logis. Penyimpangan maksim relevansi berupa informasi yang tidak relevan dengan topik pembicaraan. Penyimpangan maksim cara berupa informasi yang kabur, ambigu, berbelit-belit dan membingungkan.

(53)

Interaction and Interpretation, Genre) dan hasil penelitian ditampilkan dengan bentuk tabel yang menggambarkan garis besar rumusan masalah dalam penelitian ini. Pemaparan hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut

Tabel 01

Pematuhan Prinsip Kerja Sama dalam Humor Dialog Cekakak-Cekikik Jakarta karya Abdul Chaer

No. Nama

(KN=HD/CCJ: 14/167), (KN=HD/CCJ: 15/167),

(KN=HD/CCJ: 17/168), (KN=HD/CCJ: 22/170),

(KN=HD/CCJ: 24/171), (KN=HD/CCJ: 28/172),

(KN=HD/CCJ: 32/173), (KN=HD/CCJ: 36/174),

(KN=HD/CCJ: 37/175), (KN=HD/CCJ: 39/175),

(KN=HD/CCJ: 45/177), (KN=HD/CCJ: 48/178),

(KN=HD/CCJ: 49/178), (KN=HD/CCJ: 66/183)

(KN=HD/CCJ: 72/186), (KN=HD/CCJ: 73/187),

(KN=HD/CCJ: 74/187), (KN=HD/CCJ: 81/190),

(KN=HD/CCJ: 85/192), (KN=HD/CCJ: 86/193),

(KN=HD/CCJ: 87/193), (KN=HD/CCJ: 90/194),

(KN=HD/CCJ: 96/196), (KN=HD/CCJ:100/198),

(KN=HD/CCJ:101/199), (KN=HD/CCJ:102/200),

Keterangan : (KN=HD/CCJ: 3/163)

a. KN = Kuantitas b. HD = Humor Dialog

Gambar

Tabel:
gambar yang bernuansa komikal. Dalam dunia pendidikan, humor juga
Tabel 01
No. Tabel 02 Nama Nomor Data
+4

Referensi

Dokumen terkait

ditingkatkan ini sejalan dengan persepsi peserta didik yaitu : tidakmenentukan tujuan pembelajaran yang lengkap, tidakmenentukan sumber/media/alat peraga untuk proses

Sebaran kualitas air yang di pengaruhi arah arus yang dominan ke arah barat yang menyebabkan nilai konsentrasi suhu dan logam berat di perairan bagian barat lebih tinggi

Free Conversion of Alkali Cellulose to Fine Carboxymethyl Cellulose at Mild Conditions.World apllied science journal (6).. (2013).,Preparation and Characterization

mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan (setelah perubahan) Tahun Anggaran 2013, seperti tersebut di bawah ini :. PERUBAHAN ANGGARAN

+ 17 input sentra dan lokasi 18 input konten konten Admin Disperindag kop 19 pembuatan laporan + 20 Tampilan berita Pengunjung Pengunjun g Pengunjung Pimpinan Pimpinan Gambar

Penjelasan Pasal 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara

Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur aktiva tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap struktur modal, sedangkan profitabilitas memiliki pengaruh signifikan terhadap

 Siswa membandingkan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan dari berbagai (a) undangan pribadi dan (b) ucapan selamat ( greeting card )yang telah dipelajari