• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Stakeholders tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat di Kota Medan Tahun 2010.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Persepsi Stakeholders tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat di Kota Medan Tahun 2010."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI STAKEHOLDERS TENTANG PELAKSANAAN UU NOMOR 29 TAHUN 2004 MENGENAI PRAKTIK

DOKTER 3 (TIGA) TEMPAT DI KOTA MEDAN TAHUN 2010

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 061000007 JOSUA VIKTOR P H

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERSEPSI STAKEHOLDERS TENTANG PELAKSANAAN UU NOMOR 29 TAHUN 2004 MENGENAI PRAKTIK

DOKTER 3 (TIGA) TEMPAT DI KOTA MEDAN TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM. 061000007 JOSUA VIKTOR P H

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul :

PERSEPSI STAKEHOLDERS TENTANG PELAKSANAAN UU NOMOR 29 TAHUN 2004 MENGENAI PRAKTIK

DOKTER 3 (TIGA) TEMPAT DI KOTA MEDAN TAHUN 2010

Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan Oleh :

NIM. 061000007 JOSUA VIKTOR P H

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 9 November 2010 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si

NIP. 196803201993082001 NIP. 195206011982031003 dr. Heldy BZ, MPH

Penguji II Penguji III

Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes

NIP. 197308031999032001 NIP. 140052649

dr. Fauzi, SKM

Medan, Desember 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

ABSTRAK

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Dalam Pasal 37 ayat 2 disebutkan bahwa SIP dokter dan dokter gigi hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. Berdasarkan Data Sarana Kesehatan Kota Medan Tahun 2009, masih ditemukan dokter yang melanggar peraturan tersebut.

Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 di Kota Medan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Medan. Informan dalam penelitian ini terdiri dari 9 orang, yaitu 1 orang dari Dinas Kesehatan Kota Medan, 1 orang dari Ikatan Dokter Indonesia Cabang Kota Medan, 1 orang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Kota Medan, 2 orang dari rumah sakit, 2 orang dokter dan 2 orang masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan telah mengetahui diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan menurut mereka masih ada dokter di Kota Medan yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Seluruh informan menyatakan bahwa pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat akan memberikan manfaat bagi dokter, rumah sakit dan masyarakat. Hal yang sama juga berlaku dalam hal dukungan terhadap UU Nomor 29 Tahun 2004, di mana seluruh informan setuju diberlakukannya undang-undang tersebut dan mendukung penerapan sanksi terhadap pelanggaran pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 dalam hal pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat. Diharapkan juga agar dinas kesehatan mengajukan usulan pembentukan Peraturan Walikota (Perwal) Medan tentang pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan kepada Walikota.

(5)

ABSTRACT

Act Number 29 of 2004 on the Medical Practice states every doctors and dentists who engage in the medical practice in Indonesia must have a license to practice. In Article 37 paragraph 2 states that the license are given only for at most 3 (three) places. Based on data of Medan District Health Office Facility in 2009, still found doctors who did not comply these rules.

This research was a survey with a qualitative approach which aimed to explain the perception of stakeholders concerning the implementation of Act Number 29 of 2004 in Medan. Primary data were collected through in-depth interviewed, secondary data were obtained from Medan District Health Office. Informant in this study consisted of nine persons, namely a person from Medan District Health Office, one person from the Indonesian Doctors Association of Medan, one person from the Indonesian Consumers Foundation of Medan, two people from the hospital, two doctors and two person from community.

Results showed that all informants had known the enactment of Act Number 29 of 2004 on Medical Practices and according to them there were still doctors in Medan that did not comply with these rules

It is suggested to Medan District Health Office to further improve the supervision of the implementation of Act Number 29 of 2004 in terms of doctor practice setting 3 (three) places. It is also hoped that the District Health Office to propose the establishment of Mayor Regulations (Perwal) of Medan on doctor practice setting 3 (three) places to the Mayor of Medan.

. All informant said that the doctor's office setting 3 (three) places will provide benefits for doctors, hospitals and the community. The same thing applies in terms of support for Act Number 29 of 2004, in which all informant agreed with the legislation and the implementation of sanctions against violations of doctors practice setting 3 (three) places.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Josua Viktor Parasian Hutapea

Tempat/Tanggal Lahir : Pandan/25 November 1987

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 3 dari 4 bersaudara

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Padang Sidempuan, Gang Saroha, Pandan,

Tapanuli Tengah

Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1994-1997 : SD Negeri Lubuk Tukko Pandan

2. Tahun 1997-2000 : SD Negeri Unggulan Pandan

3. Tahun 2000-2003 : SMP Swasta Fatima 2 Sibolga

4. Tahun 2003-2006 : SMA Negeri 1 Plus Matauli Pandan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas kasih dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Persepsi Stakeholders tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai

Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat di Kota Medan Tahun 2010”, sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga selesai, penulis

banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena

itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara (FKM USU).

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Departemen Administrasi dan

Kebijakan Kesehatan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I dan Ketua Penguji

yang dengan tulus dan sabar memberikan dukungan, saran, nasihat, bimbingan

serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. dr. Heldy BZ, MPH, selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Penguji I yang telah

banyak memberikan bimbingan, pengarahan, serta saran kepada penulis untuk

kesempurnaan skripsi ini.

4. Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes, selaku Dosen Penguji II yang telah banyak

(8)

5. dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan masukan dan

saran-saran kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

memberikan dukungan, saran serta bimbingan selama penulis menjalani

perkuliahan di FKM USU.

7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen FKM USU, terkhusus Dosen Pengajar di Departemen

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang telah memberikan ilmu dan wawasan

yang bermanfaat kepada penulis selama proses perkuliahan.

8. dr. Ellen Hartati Nasution, M.Kes (Kabid Pengembangan SDM Kesehatan Dinas

Kesehatan Kota Medan) dan seluruh staf yang telah memberikan dukungan dan

kerjasama kepada penulis selama melaksanakan penelitian.

9. Abu Bakar Siddik, S.H (Ketua YLKI Kota Medan) dan seluruh staf yang telah

memberikan dukungan dan kerjasama kepada penulis selama melaksanakan

penelitian.

10. dr. Ramlan Sitompul, Sp.THT-BKL (Wakil Ketua IDI Cabang Kota Medan) dan

seluruh staf yang telah memberikan dukungan dan kerjasama kepada penulis

selama melaksanakan penelitian.

11. Sr. Petra Siringo-ringo, FSE ( Ketua Yayasan RS Santa Elisabeth) dan seluruh

staf RS Santa Elisabeth Medan yang telah memberikan dukungan dan kerjasama

kepada penulis selama melaksanakan penelitian.

12. dr. Dedi Ardinata dan seluruh staf RS Siti Hajar Medan yang telah memberikan

(9)

13. Terkhusus untuk orang tuaku yang terkasih, Ayahanda (M. Hutapea) dan Ibunda

(M. Nababan) yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan

kepada penulis selama ini, serta saudaraku Jenni, Hotmartua dan Martina.

14. Sahabat-sahabatku (Efrata, Berkat, Mansur, Samuel, Bernido, Roy Antonius dan

Roy Charles) yang telah menjadi teman selama menjalani perkuliahan.

15. Teman-teman seperjuangan di Departemen AKK : Jhonson, Wilda, Parulian,

Sairama, Deri, Annie, Yanni, Yenni, Riris, Agus, Denni, Adli, Lobert, Mariana,

Ayu, Iqbal, Cici dan Samira.

16. Rekan-rekan stambuk 2006 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per

satu yang telah banyak membantu, memberikan semangat, dukungan, dan doa

selama ini.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam

rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, November 2010

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. UU Nomor 29 Tahun 2004 ... 9

2.2. Dokter ... 14

2.2.1. Pengertian Dokter ... 14

2.2.2. Jumlah Dokter ... 15

2.3. Kepatuhan Melaksanakan Praktik (3) Tiga Tempat ... 16

2.4. Persepsi ... 17

2.4.1. Pengertian Persepsi ... 17

2.4.2. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Persepsi ... 18

2.4.3. Objek Persepsi ... 21

2.5. Fokus Penelitian ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1. Jenis Penelitian ... 23

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 23

3.2.2. Waktu Penelitian ... 23

3.3. Informan ... 23

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 24

3.5. Triangulasi ... 24

3.6. Definisi Istilah ... 25

3.7. Teknik Analisis Data ... 25

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 26

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 26

(11)

4.3. Persepsi Informan ... 28 4.3.1. Pengetahuan Informan tentang Diberlakukannya

UU Nomor 29 Tahun 2994 Mengenai Praktik Dokter

3 (Tiga) Tempat ... 28 4.3.2. Kapan Pertama kali Mengetahui Diberlakukannya

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 28

4.3.3. Persepsi Informan tentang Kepatuhan Dokter Dalam Melaksanakan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 29 4.3.4. Persepsi Informan tentang Perbandingan Jumlah

Dokter dengan Jumlah Penduduk ... 30 4.3.5. Persepsi Informan tentang Perbandingan Jumlah

dan Fasilitas Rumah Sakit dengan Jumlah Penduduk.. 31 4.3.6. Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan

Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap Dokter ... 32 4.3.7. Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan

Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap

Rumah Sakit ... 34 4.3.8. Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan

Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap Masyarakat.. 35 4.3.9. Penilaian informan tentang Tujuan Pembatasan

Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat untuk Menghindari

Dominasi Praktik Dokter Senior ... 36 4.3.10. Persepsi Informan tentang Pengawasan Dinas

Kesehatan terhadap Pelaksanaan Praktik Dokter

3 (Tiga) Tempat ... 37 4.3.11. Persepsi Informan tentang Dukungan dengan Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 39 4.3.12. Persepsi Informan tentang Dukungan Pemberian

Sanksi terhadap Pelanggaran Pengaturan Praktik

Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 40 4.3.13. Persepsi Informan tentang Sanksi yang Diberikan

terhadap Pelanggaran Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat 41 4.3.14. Persepsi Informan tentang Dibutuhkannya Peraturan

Walikota (Perwal) untuk Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat di Kota Medan ... 43 4.3.15. Saran terhadap UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang

(12)

BAB V PEMBAHASAN ... 50

5.1. Pengetahuan Stakeholders tentang Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 50

5.2. Persepsi Stakeholders tentang Kepatuhan Dokter di Kota Medan Dalam Melaksanakan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 51

5.3. Persepsi Stakeholders tentang Dampak Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap Dokter, Rumah Sakit dan Masyarakat ... 54

5.4. Persepsi Stakeholders tentang Pengawasan Dinas Kesehatan terhadap Pelaksanaan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat di Kota Medan .... ... 56

5.5. Persepsi Stakeholders tentang Dukungan terhadap Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 57

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

6.1. Kesimpulan ... 62

6.2. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN :

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Lampiran 2. Surat Izin Penelitian

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Distribusi Informan Berdasarkan Karakteristik ... 27

Tabel 4.2. Matriks Pernyataan Pengetahuan Informan tentang Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai

Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 28

Tabel 4.3. Matriks Pernyataan Informan tentang Kapan Pertama kali Mengetahui Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004

Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 29

Tabel 4.4. Matriks Pernyataan Informan tentang Kepatuhan Dokter

Dalam Melaksanakan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ... 30

Tabel 4.5. Matriks Pernyataan Persepsi Informan tentang Perbandingan

Jumlah Dokter dengan Jumlah Penduduk ... 31

Tabel 4.6. Matriks Pernyataan Persepsi Informan tentang Perbandingan

Jumlah dan Fasilitas Rumah Sakit dengan Jumlah Penduduk 32

Tabel 4.7. Matriks Pernyataan Persepsi Informan tentang Dampak

Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap Dokter 33

Tabel 4.8. Matriks Pernyataan Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap

Rumah Sakit ... 34

Tabel 4.9. Matriks Pernyataan Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap

Masyarakat ... 35

Tabel 4.10. Matriks Pernyataan Informan tentang Tujuan Pembatasan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat Untuk Menghindari

Dominasi Praktik Dokter Senior ……….... 36

Tabel 4.11. Matriks Pernyataan Persepsi Informan tentang Pengawasan Dinas Kesehatan terhadap Pelaksanaan Praktik Dokter

3 (Tiga) Tempat ……… . 38

Tabel 4.12. Matriks Pernyataan Informan tentang Setuju Pengaturan

(14)

Tabel 4.13. Matriks Pernyataan Informan tentang Mendukung Pemberian Sanksi terhadap Pelanggaran Pengaturan Praktik Dokter

3 (Tiga) Tempat ……….. . 41

Tabel 4.14. Matriks Pernyataan Informan tentang Sanksi Yang Diberikan

terhadap Pelanggaran Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat ……... 42

Tabel 4.15. Matriks Pernyataan Informan tentang Dibutuhkannya Peraturan Daerah (Perda) Untuk Pengaturan Praktik Dokter

3 (Tiga) Tempat di Kota Medan ……….. 43

Tabel 4.16. Matriks Pernyataan Informan tentang Saran terhadap UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai pengaturan Praktik

Dokter 3 (Tiga) Tempat ………... 45

Tabel 4.17. Persepsi Stakeholders tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

ABSTRAK

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Dalam Pasal 37 ayat 2 disebutkan bahwa SIP dokter dan dokter gigi hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. Berdasarkan Data Sarana Kesehatan Kota Medan Tahun 2009, masih ditemukan dokter yang melanggar peraturan tersebut.

Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 di Kota Medan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Medan. Informan dalam penelitian ini terdiri dari 9 orang, yaitu 1 orang dari Dinas Kesehatan Kota Medan, 1 orang dari Ikatan Dokter Indonesia Cabang Kota Medan, 1 orang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Kota Medan, 2 orang dari rumah sakit, 2 orang dokter dan 2 orang masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan telah mengetahui diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan menurut mereka masih ada dokter di Kota Medan yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Seluruh informan menyatakan bahwa pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat akan memberikan manfaat bagi dokter, rumah sakit dan masyarakat. Hal yang sama juga berlaku dalam hal dukungan terhadap UU Nomor 29 Tahun 2004, di mana seluruh informan setuju diberlakukannya undang-undang tersebut dan mendukung penerapan sanksi terhadap pelanggaran pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 dalam hal pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat. Diharapkan juga agar dinas kesehatan mengajukan usulan pembentukan Peraturan Walikota (Perwal) Medan tentang pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan kepada Walikota.

(17)

ABSTRACT

Act Number 29 of 2004 on the Medical Practice states every doctors and dentists who engage in the medical practice in Indonesia must have a license to practice. In Article 37 paragraph 2 states that the license are given only for at most 3 (three) places. Based on data of Medan District Health Office Facility in 2009, still found doctors who did not comply these rules.

This research was a survey with a qualitative approach which aimed to explain the perception of stakeholders concerning the implementation of Act Number 29 of 2004 in Medan. Primary data were collected through in-depth interviewed, secondary data were obtained from Medan District Health Office. Informant in this study consisted of nine persons, namely a person from Medan District Health Office, one person from the Indonesian Doctors Association of Medan, one person from the Indonesian Consumers Foundation of Medan, two people from the hospital, two doctors and two person from community.

Results showed that all informants had known the enactment of Act Number 29 of 2004 on Medical Practices and according to them there were still doctors in Medan that did not comply with these rules

It is suggested to Medan District Health Office to further improve the supervision of the implementation of Act Number 29 of 2004 in terms of doctor practice setting 3 (three) places. It is also hoped that the District Health Office to propose the establishment of Mayor Regulations (Perwal) of Medan on doctor practice setting 3 (three) places to the Mayor of Medan.

. All informant said that the doctor's office setting 3 (three) places will provide benefits for doctors, hospitals and the community. The same thing applies in terms of support for Act Number 29 of 2004, in which all informant agreed with the legislation and the implementation of sanctions against violations of doctors practice setting 3 (three) places.

(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan

pengaturan praktik kedokteran bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien,

mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan dokter

(dokter dan dokter spesialis) serta dokter gigi (dokter gigi dan dokter gigi spesialis),

memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Ada

beberapa hal yang diatur dalam undang-undang tersebut, salah satunya Pasal 37 ayat

2 dan 3 tentang Surat Izin Praktik (SIP) dokter dan dokter gigi yang hanya diberikan

untuk paling banyak 3 (tiga) tempat serta satu SIP hanya berlaku untuk 1 (satu)

tempat.

Alasan pengaturan jumlah praktik dokter adalah karena selama ini seorang

dokter dapat melakukan praktik di banyak tempat. Supari (2005) menyatakan

sebelum UU Nomor 29 Tahun 2004 dikeluarkan, seorang dokter dapat melakukan

praktik di enam atau tujuh tempat sekaligus sehingga tidak dapat memberikan

perhatian penuh kepada setiap pasiennya.

Anggriani (2010) menyatakan sebelum UU Nomor 29 Tahun 2004 ditetapkan,

ketentuan praktik dokter dan dokter gigi didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Bakti dan Praktik Dokter dan Dokter Gigi serta

Permenkes Nomor 916 Tahun 1997 tentang Izin Praktik Tenaga Medis. Dalam Pasal

(19)

memberikan lebih dari 3 (tiga) tempat izin praktik kepada setiap dokter dan dokter

gigi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan.

Kehadiran UU Nomor 29 Tahun 2004 mendapat reaksi dari berbagai pihak,

baik yang mendukung dan yang merasa keberatan dengan adanya undang-undang

tersebut. Pihak yang merasa keberatan bahkan mengajukan permohonan uji materi

(judicial review) Pasal 37 ayat 2, Pasal 75 ayat 1, Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan c ke

Mahkamah Konstitusi. Permohonan gugatan diajukan oleh enam orang dokter dan

seorang pasien hipertensi (Anonim, 2007).

Isi dari Pasal 37 ayat 2 yang digugat adalah mengenai SIP dokter dan dokter

gigi yang hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. Adapun Pasal 75 ayat

1 mengenai ketentuan pidana terhadap pelanggaran melakukan praktik tanpa

memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang dapat dipidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00, sedangkan isi dari Pasal 76

adalah ketentuan pidana terhadap pelanggaran melakukan praktik tanpa memiliki SIP

dengan ancaman pidana dan denda yang sama dengan Pasal 75 ayat 1.

Isi dari Pasal 79 huruf a adalah ketentuan pidana terhadap pelanggaran dokter

dan dokter gigi yang tidak memasang papan nama dapat dipidana kurungan paling

lama 1 (satu) tahun. Adapun isi huruf c pasal yang sama menyatakan ketentuan

pidana terhadap pelanggaran Pasal 51 huruf a, b, c, d, atau e tentang standar profesi

dan standar prosedur operasional praktik kedokteran dengan ancaman pidana dan

denda yang sama dengan Pasal 79 huruf a.

Permohonan gugatan sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Amar

(20)

sebagian gugatan pemohon yaitu tentang Pasal 75 ayat 1, Pasal 76, Pasal 79 huruf a

dan c, dengan alasan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sedangkan

permohonan mengenai Pasal 37 ayat 2 tentang ketentuan praktik 3 (tiga) tempat tidak

dikabulkan dengan alasan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan justru

memberikan jaminan kualitas layanan kepada pasien (Anonim, 2007).

Untuk melaksanakan UU Nomor 29 Tahun 2004, Menteri Kesehatan

mengeluarkan Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan

Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Pasal 4 Permenkes ini menyatakan SIP dokter atau

dokter gigi diberikan paling banyak untuk 3 (tiga) tempat praktik, baik pada sarana

pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik per orangan.

Supari (2005) menyatakan kebijakan mengenai pembatasan tempat praktik

dokter dan dokter gigi bertujuan agar para dokter dapat memberikan pelayanan yang

lebih baik kepada pasien, sehingga kemungkinan terjadinya malpraktik dapat dicegah.

Menurutnya, kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara menyeluruh karena beberapa

kondisi yang tidak memungkinkan seperti letak geografis dan keterbatasan dokter di

beberapa daerah di Indonesia.

Idris dalam Anggriani (2010) menyatakan jumlah praktik dokter harus ditinjau

dari tiga unsur yaitu menjamin kualitas pelayanan, menjamin rasa keadilan dan

menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Menurutnya, pembatasan tempat

praktik dokter tetap diperlukan, namun ketentuan mengenai pembatasan itu tidak

perlu diatur dalam undang-undang, melainkan cukup diserahkan kepada dinas

(21)

Dewan Perwakilan Rakyat dalam Anggriani (2010) memberikan keterangan

tertulisnya kepada Makhamah Konstitusi dalam Sidang Uji Materi UU Nomor 29

Tahun 2004, menyampaikan bahwa pembatasan tempat praktik dokter didasarkan

pada pertimbangan : (1) Menjamin tersedianya waktu yang cukup tepat bagi

pelayanan medis, (2) Menjamin tersedianya waktu yang cukup bagi dokter dan dokter

gigi untuk melaksanakan penelitian, (3) Menghindari monopoli pelayanan medis oleh

dokter-dokter yang lebih senior, (4) Memberikan kesempatan pada dokter untuk

secara positif dalam pemberian pelayanan kepada pasien, (5) Menghindari kelelahan

sehingga dokter dan dokter gigi dapat bekerja dengan kualitas yang maksimal, (6)

Menyebarluaskan tenaga dokter dan dokter gigi ke seluruh penjuru tanah air.

Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004, ada dua hal yang perlu dicermati dan

menjadi perhatian semua pihak. Pertama, undang-undang tersebut secara eksplisit

mengatur tentang jumlah maksimal praktik dokter, akan tetapi tidak disertakan sanksi

bagi dokter atau dokter gigi yang melanggar Pasal 37 ayat 2. Sebagai produk hukum,

seharusnya disertakan juga sanksi untuk pelanggaran terhadap pasal tersebut. Utrecht

dalam Sinaga (2008) menyatakan hukum berisikan larangan dan sanksi yang harus

dipatuhi agar tercipta ketertiban di tengah masyarakat.

Hal kedua yang perlu dicermati, bahwa peraturan tersebut berlaku di seluruh

Indonesia. Faktor wilayah yang luas, ditambah belum meratanya pembangunan,

menyebabkan undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan secara mutlak di semua

daerah. Supari (2005) menyatakan kebijakan jumlah praktik di tiga tempat tidak dapat

dilakukan secara menyeluruh karena ada beberapa kondisi yang tidak memungkinkan

(22)

UU Nomor 29 Tahun 2004 telah berlangsung selama lima tahun, terhitung

sejak diberlakukan Tanggal 6 November Tahun 2005, namun pelaksanaannya di

daerah masih belum sesuai ketentuan. Di kota - kota besar pelaksanaannya belum

berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk yang banyak, tidak

sebanding dengan jumlah tenaga dan sarana kesehatan yang terbatas, sehingga

seorang dokter dan dokter gigi masih dapat melakukan praktik lebih dari tiga tempat.

Situasi sebaliknya terjadi di kota - kota kecil atau daerah yang jaraknya jauh dari kota

besar, di mana pelaksanaan undang-undang tersebut berjalan dengan baik.

Sebagai gambaran, Kota Sibolga merupakan sebuah kota kecil di Pantai Barat

Sumatera Utara yang jaraknya 344 km dari Kota Medan dengan luas wilayah 11 km2

dan jumlah penduduk 94.614 jiwa. Adapun sarana kesehatan yang dimiliki kota

tersebut terdiri dari 2 rumah sakit umum, 4 puskesmas, 14 puskesmas pembantu dan 8

balai pengobatan/klinik (BPS Kota Sibolga, 2009). Berdasarkan Data Sarana

Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Sibolga (2009) diketahui ada 26 dokter umum dan

8 dokter spesialis yang memiliki izin praktik, di mana tidak ditemukan seorang dokter

umum maupun dokter spesialis yang melakukan praktik lebih dari 3 (tiga) tempat.

Berbeda dengan Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara yang

memiliki luas wilayah 265 km2 dengan jumlah penduduk 2.102.105 jiwa, jumlah

Rumah Tangga (KK) 472.202 dan kepadatan penduduk rata-rata 7.929,5/km2. Kota

terbesar ketiga di Indonesia ini memiliki sarana kesehatan yang terdiri dari 54 rumah

sakit umum, 5 rumah sakit jiwa, 8 rumah sakit ibu dan anak, 4 rumah sakit khusus

lainnya, 39 Puskesmas, 41 puskesmas pembantu, 27 puskesmas keliling dan 409 balai

(23)

Data Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2009

menyatakan ada 870 dokter umum dan 427 dokter spesialis yang memiliki SIP, di

mana ditemukan 8 dokter umum dan 27 dokter spesialis yang melakukan praktik

lebih dari 3 (tiga) tempat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pelaksanaan

penyelenggaraan praktik dokter paling banyak 3 (tiga) tempat di Kota Medan belum

berjalan dengan baik, masih diketahui ada dokter yang tidak mematuhi peraturan

praktik seperti yang diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004.

Perilaku manusia adalah suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan

lingkungannya. Teori kognitif mengatakan bahwa perilaku seseorang disebabkan

adanya rangsangan (stimulus), kemudian memprosesnya ke dalam kognisi yang akan

menghasilkan jawaban (respons). Sistem kognitif ini mempunyai beberapa fungsi, di

antaranya membentuk sikap dan memberikan motivasi terhadap konsekuensi

perilaku. Perilaku tidak hanya terdiri dari tindakan-tindakan yang terbuka saja,

melainkan juga termasuk faktor-faktor internal seperti berpikir, emosi, persepsi dan

kebutuhan (Thoha, 2008).

Indrawijaya (2003) menyatakan alur proses perilaku dimulai dengan adanya

persepsi seseorang terhadap rangsangan yang datang dari luar. Melalui proses belajar,

ia membandingkan pengalaman masa lampau dengan apa yang sedang diamatinya,

kemudian ia menentukan pilihan tindakan dari beberapa kemungkinan yang ada.

Pilihan itulah yang nantinya akan tercermin dalam perilaku, yang nampak nyata

dalam tindakannya.

Rakhmat (2005) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek,

(24)

dan menafsirkan pesan. Persepsi yang berbeda-beda timbul karena beberapa faktor

seperti ketidaktahuan, informasi yang salah, penilaian yang prematur dan pengalaman

yang tidak menyenangkan.

Pareek dalam Sobur (2003) menyatakan persepsi adalah proses menerima,

menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji dan memberikan reaksi

kepada rangsangan pancaindera atau data. Adapun Rivai (2008) menyatakan kunci

untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan

penafsiran yang unik dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.

Menurut penelitian Bangun (2008), persepsi informan dibentuk oleh aspek

informasi yang diterima, pengetahuan yang dimiliki, penilaian serta pengalaman yang

dirasakan oleh informan. Penelitian Tarmizi (2007) menyatakan bahwa persepsi

dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, begitu juga dengan penelitian Pulungan (2005)

yang menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh pemahaman dan pengetahuan

informan itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis ingin

melakukan penelitian mengenai persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU

Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan Tahun

2010.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah penelitian ini

adalah bagaimana persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun

(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan persepsi stakeholders

tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik dokter 3 (tiga)

tempat di Kota Medan Tahun 2010.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai gambaran bagi Dinas Kesehatan Kota Medan tentang pelaksanaan

UU Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik kedokteran di Kota Medan.

2. Sebagai bahan rekomendasi dan pertimbangan bagi Pemerintah Kota (Pemko)

Medan dalam mengambil kebijakan terkait pengaturan jumlah praktik dokter

sesuai dengan UU Nomor 29 Tahun 2004.

3. Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi penelitian

selanjutnya.

4. Sebagai rekomendasi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. UU Nomor 29 Tahun 2004

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikeluarkan

pemerintah Tanggal 6 Oktober Tahun 2004. Undang-undang ini menyebutkan bahwa

penyelenggaraan praktik kedokteran merupakan inti dari berbagai kegiatan

penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi

yang memiliki etika dan moral yang tinggi, keahlian dan wewenang yang secara terus

menerus harus ditingkatkan mutunya, sehingga dibutuhkan pengaturan praktik

kedokteran.

UU Nomor 29 Tahun 2004 mengatur berbagai hal, di antaranya :

1. Pembentukan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) terdiri dari Konsil Kedokteran dan

Konsil Kedokteran Gigi yang bertanggung jawab kepada Presiden. KKI

mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan serta pembinaan dokter

dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan

mutu pelayanan medis.

2. Registrasi Dokter dan Dokter Gigi

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi

dokter gigi yang dikeluarkan oleh KKI. Untuk memperoleh surat tanda registrasi

tersebut, dokter dan dokter gigi harus memenuhi persyaratan yang telah diatur

(27)

3. Surat Izin Praktik (SIP)

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

Indonesia wajib memiliki SIP. Untuk memperoleh SIP, dokter dan dokter gigi

harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

tempat praktik kedokteran dilaksanakan. SIP dokter dan dokter gigi hanya

diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat dan satu SIP hanya berlaku untuk

1 (satu) tempat praktik. Dalam Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007

tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa

tempat praktik yang dimaksud adalah sarana pelayanan kesehatan milik

pemerintah, swasta maupun praktik per orangan.

Untuk mendapatkan SIP, seorang dokter dan dokter gigi harus memiliki

surat tanda registrasi yang masih berlaku dan dikeluarkan oleh KKI. Kemudian

mempunyai tempat praktik dan memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

4. Rekam Medis

Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib

membuat rekam medis yang harus segera dilengkapi setelah pasien selesai

menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama,

waktu dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

Dokumen rekam medis merupakan milik dokter, dokter gigi atau sarana

pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. Rekam

medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan

(28)

5. Pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan

praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

(MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari KKI. MKDKI dalam

menjalankan tugasnya bersifat independen dan bertanggung jawab kepada KKI.

6. Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyertakan sanksi

bagi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang

tersebut. Sanksi itu berupa pidana penjara atau denda dalam bentuk uang yang

nominalnya berbeda-beda sesuai pasal yang dilanggar. Ada beberapa sanksi yang

diatur, di antaranya dokter dan dokter gigi yang dengan sengaja melakukan

praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi dan SIP, dokter dan

dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis sesuai dengan

ketentuan undang-undang, akan dikenakan pidana penjara atau denda dalam

bentuk uang.

Namun, sanksi untuk pelanggaran terhadap Pasal 37 ayat 2 yaitu SIP hanya

diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat, tidak disebutkan dalam UU Nomor

29 Tahun 2004 tersebut. Sebagai salah satu produk dan sumber hukum,

seharusnya undang-undang tersebut juga menyertakan sanksi terhadap

pelanggaran pasal 37 ayat 2 ini. Utrech dalam Sinaga (2008) menyatakan hukum

berisikan larangan dan sanksi yang harus dipatuhi agar tercipta ketertiban di

(29)

7. Praktik Kedokteran

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa

praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter (dokter dan

dokter spesialis) serta dokter gigi (dokter gigi dan dokter gigi spesialis) terhadap

pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Pasal 39 menyebutkan praktik

kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter

gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Pasal 2 Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan

Pelaksanaan Praktik Kedokteran menyatakan bahwa setiap dokter dan dokter gigi

yang akan melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP, kemudian

dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tempat praktik yang dimaksud adalah sarana

pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik per orangan.

8. Kewenangan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Pasal 37 ayat 1 UU Nomor 29 Tahun 2004 menyatakan bahwa SIP dokter dan

dokter gigi dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota

tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.

Kewenangan dinas kesehatan kabupaten/kota tersebut dipertegas lagi dalam

Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/2007. Dalam Permenkes itu disebutkan bahwa

dinas kesehatan kabupaten/kota memiliki dua kewenangan dalam pelaksanaan praktik

(30)

a. Pencatatan dan Pelaporan

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan pencatatan

terhadap semua SIP dokter dan dokter gigi yang telah dikeluarkannya. Catatan

tersebut disampaikan secara berkala minimal 3 (tiga) bulan sekali kepada

Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan tembusan kepada Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi serta organisasi profesi setempat.

b. Pembinaan dan Pengawasan

Pasal 21 ayat 1 Permenkes Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 menyatakan

Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah dan

organisasi profesi melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan praktik

kedokteran sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-masing. Dalam

ayat 2 pasal ini, disebutkan pembinaan dan pengawasan diarahkan pada

pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan

dokter gigi.

Pasal 22 Permenkes tersebut menyatakan dalam rangka pembinaan dan

pengawasan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil

tindakan administratif terhadap pelanggaran peraturan praktik kedokteran.

Sanksi administratif tersebut dapat berupa peringatan lisan, tertulis sampai

dengan pencabutan SIP. Dalam memberikan sanksi administrasif tersebut,

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terlebih dahulu dapat mendengar

(31)

2.2. Dokter

2.2.1. Pengertian Dokter

Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004, dokter adalah dokter (biasa disebut

dengan dokter umum), dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan

pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri

yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Artinya, dokter umum dan dokter spesialis termasuk dalam objek hukum

yang diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004.

Dokter umum adalah seseorang yang memiliki kekhususan dalam bidang

medis yang dapat menolong orang lain agar sembuh dari penyakit yang dialami.

Untuk menjadi dokter umum, seseorang harus menjalani pendidikan dokter umum

dasar di fakultas kedokteran. Adapun dokter spesialis adalah dokter yang

mengkhususkan diri dalam suatu bidang ilmu kedokteran tertentu. Untuk menjadi

dokter spesialis, seorang dokter harus menjalani pendidikan dokter spesialis yang

merupakan program lanjutan pendidikan dokter setelah menyelesaikan pendidikan

dokter umum dasar (Anonim, 2010).

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia dalam Lubis (2009), dokter umum

adalah seseorang yang sudah lulus pendidikan sarjana kedokteran dan pendidikan

lanjutan profesi dokter selama mengikuti pendidikan di fakultas kedokteran. Adapun

dokter spesialis adalah dokter yang memperoleh pendidikan spesialistik di bidang

yang menjadi pilihannya sesudah lulus sebagai dokter dari fakultas kedokteran.

Setelah menjadi dokter spesialis, ia memusatkan pengetahuannya pada satu bidang

(32)

2.2.2. Jumlah Dokter

Jumlah dokter mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Tahun 2005

jumlah dokter umum di Indonesia sebanyak 25.530 orang dengan rasio 11,43 per

100.000 penduduk, sedangkan jumlah dokter spesialis sebanyak 9.717 dengan rasio

4,33 per 100.000 penduduk. Tahun 2006 jumlah dokter umum meningkat menjadi

44.564 orang dengan rasio 19,93 per 100.000 penduduk dan jumlah dokter spesialis

menjadi 12.374 orang dengan rasio 5,53 per 100.000 penduduk. (Profil Kesehatan

Indonesia, 2007). Berdasarkan Data Konsil Kedokteran Indonesia hingga Bulan

Agustus Tahun 2008, jumlah dokter umum yang ada di Indonesia sebanyak 56.750,

sedangkan jumlah dokter spesialis 15.499. Menurut Indikator Indonesia Sehat 2010,

rasio yang ingin dicapai pada Tahun 2010 adalah 30 dokter umum per 100.000

penduduk dan 6 dokter spesialis per 100.000 penduduk.

Untuk wilayah Provinsi Sumatera Utara, jumlah dokter umum pada Tahun

2008 sebanyak 2.595 orang dengan rasio 19,90 per 100.000 penduduk, sedangkan

dokter spesialis berjumlah 654 dengan rasio 5,01 per 100.000 penduduk. Jumlah ini

mengalami peningkatan dari Tahun 2007 yaitu sebanyak 1.727 dokter umum dengan

rasio 13,46 per 100.000 penduduk dan 685 dokter spesialis dengan rasio 5,34 per

100.000 penduduk (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2008).

Berdasarkan Data Sarana Kesehatan Kota Medan Tahun 2009, jumlah dokter

umum yang memiliki SIP sebanyak 870 dan dokter spesialis sebanyak 427 orang

dengan jumlah penduduk 2.102.105 jiwa, maka rasio dokter umum per 100.000

penduduk adalah 41,38 dan dokter spesialis 20,31 per 100.000 penduduk. Artinya,

(33)

Tahun 2009 sudah melewati target yang ingin dicapai dalam Indikator Indonesia

Sehat 2010.

Secara kuantitatif, rasio dokter umum dan dokter spesialis per 100.000

penduduk di Indonesia hampir mendekati target yang ditentukan, akan tetapi

penyebaran atau distribusinya tidak merata. Sarjunani (2010) menyatakan terjadi

kesenjangan penyebaran dokter umum baik dari segi jumlah maupun rasio per

100.000 penduduk di wilayah perkotaan dengan pedesaan, sedangkan penyebaran

dokter umum berdasarkan jumlah penduduk antara Pulau Jawa dan Bali dengan di

luar Pulau Jawa dan Bali relatif seimbang. Hal ini berbeda dengan penyebaran dokter

spesialis, yang sebagian besar di antaranya (lebih dari 10.000) berada di Pulau Jawa.

Situasi yang sama juga terjadi di wilayah Sumatera Utara. Dari 3.456 dokter

yang ada di Sumatera Utara, 2.833 dokter berada di Kota Medan. Adapun jumlah

dokter umum di Sumatera Utara adalah 2.592 dan dokter spesialis 854 orang dari

3.456 dokter, di mana sebagian besar berdomisili di Kota Medan (Sitompul, 2010).

2.3. Kepatuhan Melaksanakan Praktik 3 (Tiga) Tempat

Kepatuhan merupakan salah satu bentuk perilaku manusia. Hamudunia (2008)

menyatakan terhadap suatu ketentuan atau peraturan, perilaku manusia dapat terbagi

dua yaitu mematuhi atau tidak mematuhi peraturan tersebut.

Thoha (2008) menyatakan perilaku manusia adalah suatu fungsi dari interaksi

antara individu dengan lingkungannya. Teori kognitif mengatakan bahwa perilaku

seseorang disebabkan adanya rangsangan (stimulus), kemudian memprosesnya ke

(34)

Notoatmodjo (2003) menyatakan meskipun perilaku adalah bentuk respons

atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar individu, namun dalam

memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari

orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus

yang berbeda ini disebut determinan perilaku yang dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,

yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional dan

jenis kelamin.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,

sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Kepatuhan dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal

36 Undang-Undang ini disebutkan bahwa seorang dokter dan dokter gigi yang

melakukan pratik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP. Selanjutnya Pasal 37

ayat 2 menyatakan bahwa SIP diberikan hanya untuk paling banyak 3 (tiga) tempat

dan ayat 3 menambahkan satu SIP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.

2.4. Persepsi 2.4.1. Pengertian

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap

orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan,

pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami

(35)

yang unik terhadap situasi dan bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi

(Thoha, 2008).

Hamner dan Organ dalam Indrawijaya (2003) menyatakan persepsi adalah

suatu proses di mana seseorang mengorganisasikan di dalam pikirannya, menafsirkan,

mengalami dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya.

Segala sesuatu yang memengaruhi persepsi seseorang tersebut nantinya juga akan

memengaruhi perilaku yang akan dipilihnya.

Rakhmat (2005) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek,

peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

dan menafsirkan pesan. Rivai (2008) menyatakan persepsi adalah proses dari

seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan

penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologi.

2.4.2. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Persepsi

Robbins (2002) menyatakan ada tiga faktor yang memengaruhi terjadinya

suatu persepsi, yaitu :

1. Pelaku persepsi

Jika seorang individu melihat suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang

dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari

pelaku persepsi individu tersebut. Adapun karakteristik pribadi yang lebih relevan

memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman

(36)

2. Target

Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat

memengaruhi apa yang dipersepsikan. Apa yang kita lihat bergantung bagaimana

kita memisahkan suatu bentuk dalam latar belakangnya yang umum. Objek-objek

yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-sama,

bukan secara terpisah.

3. Situasi

Dalam melihat objek atau peristiwa, unsur-unsur lingkungan sekitar juga

memengaruhi persepsi. Selain itu, waktu dan keadaan objek yang dilihat dapat

memengaruhi persepsi.

Rivai (2008) menyatakan ada dua faktor yang memengaruhi proses seleksi

yaitu faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor dari dalam yang memengaruhi

proses seleksi adalah belajar, motivasi dan kepribadian. Adapun faktor dari luar

adalah intensitas, ukuran, berlawanan atau kontras, pengulangan dan gerakan.

Rakhmat (2005) menyatakan ada dua faktor yang memengaruhi persepsi :

1. Faktor Fungsional

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lain-lain

yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal yang

menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk rangsangan, tetapi karakteristik

orang yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut.

2. Faktor Struktural

Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan fisik dan efek-efek

(37)

sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, bukan melihat

bagian-bagiannya lalu menghimpunnya.

Dengan melihat kedua faktor tersebut, Krech dan Crutchfield dalam Rakhmat

(2005) membuat empat dalil tentang persepsi, yaitu :

1. Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek

yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek yang memenuhi tujuan

individu yang melakukan persepsi.

2. Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita

mengorganisasikan rangsangan dengan melihat konteksnya. Walaupun

rangsangan yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan

interpretasi yang konsisten dengan rangkaian rangsangan yang kita persepsi.

3. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari struktur pada umumnya ditentukan oleh

sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap

sebagai anggota kelompok, maka semua sifat individu akan dipengaruhi oleh

keanggotaan kelompoknya.

4. Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu cenderung

ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya bersifat

struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik, seperti titik, garis atau

balok. Kita dapat meramalkan secara cermat dengan melihat kesamaan bentuk

benda-benda mana yang akan dikelompokkan. Pada persepsi sosial

pengelompokan tidak murni struktural, akan tetapi memerlukan peranan kerangka

(38)

dianggap sama oleh individu lain. Perbedaan pengelompokan ini bisa terjadi

karena perbedaan pendidikan dan kebudayaan .

2.4.3. Objek Persepsi

Pembentukan persepsi merupakan proses pengamatan, maka objek yang

diamati dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu :

1. Manusia, termasuk di dalamnya kehidupan sosial dan nilai-nilai kultural.

2. Benda-benda mati, seperti bangku dan meja.

Persepsi yang menggunakan manusia sebagai objeknya disebut persepsi

interpersonal, sedangkan yang menggunakan benda-benda mati sebagai objeknya

disebut persepsi objek (Rakhmat, 2005).

2.5. Fokus Penelitian

Berdasarkan teori yang telah diuraikan, maka fokus penelitian ini adalah :

[image:38.612.115.530.444.620.2]

Persepsi Stakeholders

Gambar 2.1 Fokus Penelitian

Persepsi tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 1. Kepatuhan dokter melaksanakan

praktik 3 (tiga) tempat

2. Dampak pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat terhadap dokter, rumah sakit dan masyarakat

3. Pengawasan dinas kesehatan terhadap pelaksanaan praktik dokter 3 (tiga) tempat

4. Dukungan terhadap pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat

(39)

Berdasarkan gambar di atas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai

berikut:

1. Pengetahuan tentang UU Nomor 29 Tahun 2004 adalah Pengetahuan

Stakeholders di Kota Medan (Dinas Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia, rumah sakit, dokter dan masyarakat) tentang

diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (tiga)

Tempat.

2. Persepsi tentang Pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 adalah Persepsi

Stakeholders di Kota Medan (Dinas Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia, rumah sakit, dokter dan masyarakat) yang

difokuskan pada :

a. Kepatuhan dokter dalam melaksanakan praktik 3 (tiga) tempat

b. Dampak pengaturan praktik dokter 3 (tiga) tempat terhadap dokter, rumah

sakit dan masyarakat

c. Pengawasan dinas kesehatan terhadap pelaksanaan praktik dokter 3 (tiga)

tempat

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan kualitatif,

yaitu untuk mengetahui persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29

Tahun 2004 mengenai praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan Tahun 2010.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota (DKK)

Medan. Adapun dasar pertimbangan penentuan lokasi penelitian ini adalah karena

berdasarkan Data Sarana Kesehatan DKK Medan Tahun 2009 diketahui ada 870

dokter umum dan 427 dokter spesialis yang memiliki izin praktik, di mana ditemukan

8 dokter umum dan 27 dokter spesialis yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP) lebih

dari 3 (tiga) tempat.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus Tahun 2010.

3.3. Informan Penelitian

Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 9 orang yang ditentukan secara purposive, yaitu pihak yang mempunyai kepentingan dengan adanya UU Nomor 29

Tahun 2004 mengenai praktik dokter 3 (tiga) tempat. Adapun stakeholders tersebut

(41)

Ikatan Dokter Indonesia Cabang Kota Medan, 1 orang informan dari Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia Kota Medan, 1 orang informan dari RS Santa

Elisabeth, 1 orang informan dari RS Siti Hajar, 1 orang informan dari dokter

spesialis, 1 orang informan dari dokter umum serta 2 orang informan dari masyarakat.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan (2) dua sumber data yaitu :

1. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth interview) kepada

informan dengan berpedoman pada panduan wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Data sekunder diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, Data Sarana

Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan dan instansi yang terkait dengan

penelitian ini.

3.5. Triangulasi

Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber,

yaitu dengan memilih informan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan

(42)

3.6. Definisi Istilah

1. Persepsi adalah penilaian informan terhadap pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun

2004, khususnya mengenai praktik dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan.

2. Stakeholders adalah pihak yang mempunyai kepentingan dengan adanya UU

Nomor 29 Tahun 2004, yaitu Dinas Kesehatan Kota Medan, Ikatan Dokter

Indonesia Cabang Kota Medan dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Kota

Medan, rumah sakit, dokter dan masyarakat.

3.7. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui persepsi stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktik Dokter 3 (Tiga) di Kota Medan dilakukan analisis secara

kualitatif berdasarkan keterangan serta alasan yang dinyatakan oleh informan dengan

menggunakan teknik analisis domain (domain analysis), selanjutnya disajikan dan

dibahas berdasarkan teori yang terkait dan diambil kesimpulan mengenai persepsi

stakeholders tentang pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 2004 mengenai praktik

dokter 3 (tiga) tempat di Kota Medan Tahun 2010.

Sehubungan dengan kemungkinan bervariasinya domain, Spradley dalam

Bungin (2008) menyarankan hubungan semantik (semantic relationship) tipe sebab

akibat yang bersifat universal dalam analisis domain yaitu memberikan makna atau

arti pada kata, kalimat atau ucapan yang diberikan informan ketika menjawab

(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kota Medan

Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara merupakan pusat

pemerintahan, pendidikan, kebudayaan dan perdagangan. Kota terbesar ketiga di

Indonesia ini memiliki luas wilayah 265,10 km2 yang terdiri dari 21 kecamatan dan

151 kelurahan serta jumlah penduduk 2.102.105 jiwa. Kota Medan terletak di Pantai

Timur Sumatera Utara dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan : Selat Malaka

Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Timur berbatasan dengan : Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Barat berbatasan dengan : Kabupaten Deli Serdang

Sarana kesehatan yang dimiliki Kota Medan terdiri dari 54 rumah sakit

umum, 5 rumah sakit jiwa, 8 rumah sakit ibu dan anak, 4 rumah sakit khusus lainnya,

39 Puskesmas, 41 puskesmas pembantu, 27 puskesmas keliling dan 409 balai

pengobatan/klinik. Adapun jumlah dokter yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP)

yang terdaftar di Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2009 terdiri dari 870 dokter

(44)

4.2. Karakteristik Informan

Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang yang terdiri dari 1 orang dari

Dinas Kesehatan Kota (DKK) Medan, 1 orang dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Cabang Kota Medan, 1 orang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Kota Medan, 1 orang dari RS Santa Elisabeth, 1 orang dari RS Siti Hajar, 1 orang

dokter spesialis, 1 orang dokter umum dan 2 orang dari masyarakat. Karakteristik

[image:44.612.125.520.286.637.2]

informan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Distribusi Informan Berdasarkan Karakteristik Informan Stakeholders Umur

(Tahun)

Jenis

Kelamin Pendidikan 1 Kabid Pengembangan

SDM Dinas Kesehatan Kota Medan

53 Perempuan S2 (Ilmu Kesehatan Masyarakat) 2 Wakil Ketua

IDI Medan

36 Laki-laki Pendidikan Dokter Spesialis

(Sp.THT-BKL) 3 Ketua YLKI Medan 70 Laki-laki S1 (Hukum)

4 Ketua Yayasan RS Elisabeth

63 Perempuan S1 (Pendidikan Keguruan) 5 Staff RS Siti Hajar 29 Laki-laki S1 (Pendidikan

Kedokteran) 6 Dokter Spesialis 51 Laki-laki Pendidikan

Dokter Spesialis (Sp.BU) 7 Dokter Umum 35 Laki-laki S1 (Pendidikan

Kedokteran) 8 Masyarakat 36 Laki-laki S1 (Pertanian)

9 Masyarakat 43 Perempuan S2 (Ilmu

(45)

4.3. Persepsi Informan

4.3.1. Pengetahuan Informan tentang Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 informan yang diwawancarai,

semuanya menyatakan sudah mengetahui diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun

[image:45.612.112.530.234.409.2]

2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (tiga) Tempat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Matriks Pengetahuan Informan tentang Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat

Informan Stakeholders Pernyataan

1 Dinas Kesehatan Sudah.

2 IDI Medan Sudah..sudah.. 3 RS Santa Elisabeth Sudah.

4 RS Siti Hajar Sudah.

5 Dokter Spesialis Sudah..sudah….

6 Dokter Umum Sudah

4.3.2. Pengetahuan Informan tentang Kapan Pertama kali Mengetahui Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 informan yang diwawancarai,

semuanya memiliki jawaban yang berbeda ketika ditanyakan kapan pertama kali

mengetahui diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Dokter 3

(tiga) Tempat. Ada 1 informan menyatakan sudah mengetahuinya sejak Tahun 2004

ketika masih dalam bentuk Draft RUU (Rancangan Undang-Undang), 2 informan

menyatakan mengetahui pada Tahun 2005, 1 informan menyatakan mengetahui pada

Tahun 2006 dan 2 informan menyatakan mengetahui sejak Tahun 2007. Hal ini dapat

(46)
[image:46.612.112.531.89.341.2]

Tabel 4.3. Matriks Pengetahuan Informan tentang Kapan Pertama kali Mengetahui Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat

Informan Stakeholders Pernyataan

1 Dinas Kesehatan Ibu sudah mengetahui adanya undang-undang tersebut sejak Tahun 2005.

2 IDI Sejak dalam bentuk draft, kita sudah tahu. Undang-Undang Praktik Kedokteran ini dikeluarkan menjelang akhir Tahun 2004, jadi kira-kira pada tahun itu IDI sudah mengetahuinya.

3 RS Santa Elisabeth Sudah lama ya, seingat saya Tahun 2007. 4 RS Siti Hajar Tiga tahun yang lalu, berarti Tahun 2007. 5 Dokter Spesialis Kalau saya tidak salah sejak Tahun 2006.

6 Dokter Umum Sejak undang-undang ini diberlakukan, Tahun 2005, bertepatan waktu saya mengurus surat izin praktik.

4.3.3. Persepsi Informan tentang Kepatuhan Dokter Dalam Melaksanakan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 informan menyatakan seluruh dokter

yang ada di Kota Medan, baik dokter umum maupun dokter spesialis, sudah

mematuhi UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik 3 (tiga) tempat, sedangkan 3

informan lain menyatakan dokter yang ada di Kota Medan belum mematuhi UU

Nomor 29 Tahun 2004 dalam hal jumlah praktik yang dimiliki. Adapun 4 informan

lain menyatakan tidak tahu apakah dokter, baik dokter umum dan dokter spesialis

sudah mematuhi pengaturan praktik 3 (tiga) tempat. Menurut keempat informan ini,

dinas kesehatan yang seharusnya mengetahui apakah seluruh dokter yang ada di Kota

Medan telah mematuhi peraturan tersebut atau masih ada dokter yang melanggarnya.

(47)
[image:47.612.125.526.107.496.2]

Tabel 4.4. Matriks Persepsi Informan tentang Kepatuhan Dokter Dalam Melaksanakan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat

Informan Stakeholders Pernyataan

1 Dinas Kesehatan Menurut ibu, semua dokter harus mematuhi hal tersebut, namun terkadang fakta di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan undang-undang.

2 IDI Untuk semua dokter secara global, baik dokter umum dan dokter spesialis, masih ada yang belum mematuhi aturan itu.

3 YLKI Menurut saya dokter yang ada di Kota Medan ini masih ada yang belum mematuhi karena masih ada laporan yang saya terima bahwa ada dokter yang melakukan banyak praktik.

4 RS Santa Elisabeth Kalau di luar saya kurang tahu, tetapi kalau di RS Elisabeth saya bisa jamin bahwa semua dokter yang melakukan praktik di sini tidak ada yang punya praktik lebih dari tiga.

5 RS Siti Hajar Menurut saya tidak semua dokter menjalankan itu, walaupun mereka sudah mengetahuinya. 6 Dokter Spesialis Saya tidak tahu tentang itu, yang tahu adalah

dinas kesehatan.

7 Dokter Umum Saya kurang tahu apa ada yang melanggar. Menurut saya, mau tidak mau semua dokter harus mematuhi apapun alasannya.

8 Masyarakat Saya kurang tahu apa dokter sudah mematuhi peraturan tersebut.

9 Masyarakat Menurut saya, rata-rata sudah mematuhinya.

4.3.4. Persepsi Informan tentang Perbandingan Jumlah Dokter dengan Jumlah Penduduk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 informan menyatakan jumlah dokter

umum sudah cukup, namun jumlah dokter spesialis masih kurang jika dibandingkan

(48)
[image:48.612.124.527.110.524.2]

Tabel 4.5. Matriks Persepsi Informan tentang Perbandingan Jumlah Dokter dengan Jumlah Penduduk

Informan Stakeholders Pernyataan

1 Dinas Kesehatan Menurut ibu, jumlah dokter umum sudah sesuai. Namun untuk dokter spesialis, jumlahnya belum mencukupi.

2 IDI Kalau untuk Kota Medan, ada penumpukan

jumlah dokter dibandingkan dengan jumlah penduduk. Bahkan berdasarkan Indonesia Sehat 2010, rasio dokter dengan jumlah penduduk sudah berlebih.

3 YLKI Saya kira jumlahnya sudah cukup, baik dokter umum dan dokter spesialis.

4 RS Santa Elisabeth Untuk dokter umum, jumlahnya sudah sesuai dengan jumlah penduduk. Namun untuk spesialis jumlahnya masih kurang.

5 RS Siti Hajar Kalau untuk dokter umum, jumlahnya sudah sangat mencukupi. Hanya untuk dokter spesialis jumlahnya masih kurang.

6 Dokter Spesialis Menurut saya untuk dokter umum, sudah sesuai, namun untuk dokter spesialis jumlahnya masih kurang.

7 Dokter Umum Untuk dokter umum, saya kira sudah cukup, namun jumlah dokter spesialis masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. 8 Masyarakat Saya rasa secara keseluruhan belum. Untuk

dokter umum mungkin sudah cukup, tapi untuk dokter spesialis belum sesuai.

9 Masyarakat Menurut saya, jumlah dokter yang ada saat ini sudah sesuai dengan jumlah penduduk.

4.3.5. Persepsi Informan tentang Perbandingan Jumlah dan Fasilitas Rumah Sakit dengan Jumlah Penduduk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 informan menyatakan jumlah rumah

sakit yang ada di Kota Medan sudah cukup, namun fasilitas yang dimiliki masih

kurang memadai agar dokter dapat melakukan praktik 3 (tiga) tempat, terutama untuk

(49)
[image:49.612.125.528.110.521.2]

Tabel 4.6. Matriks Persepsi Informan tentang Perbandingan Jumlah dan Fasilitas Rumah Sakit dengan Jumlah Penduduk

Informan Stakeholders Pernyataan

1 Dinas Kesehatan Menurut ibu, jumlah rumah sakit sudah mencukupi, namun fasilitasnya belum merata.

2 IDI Untuk jumlah sudah cukup, namun untuk

fasilitas yang dimiliki belum memadai, karena rumah sakit yang ada di Medan masih berada di level rata-rata, artinya hanya rumah sakit tertentu yang punya kelebihan dibandingkan rumah sakit yang lain.

3 YLKI Kalau jumlah saya kira sudah cukup, tinggal bagaimana rumah sakit melengkapi dan meningkatkan fasilitas yang dimiliki.

4 RS Santa Elisabeth Saya pikir untuk jumlah sudah cukup, namun untuk fasilitas yang dimiliki terutama alat-alat kedokteran belum memadai.

5 RS Siti Hajar Kalau jumlah rumah sakit, saya pikir sudah cukup, tetapi untuk fasilitas masih kurang, khususnya untuk rumah sakit yang kecil.

6 Dokter Spesialis Kalau untuk jumlah saya rasa sudah mencukupi, tetapi untuk fasilitas belum.

7 Dokter Umum Menurut saya jumlah rumah sakit sudah cukup, tetapi untuk fasilitas yang dimiliki masih belum merata karena hanya ada beberapa rumah sakit yang memiliki fasilitas yang lengkap.

8 Masyarakat Saya pikir jumlah sudah cukup lah, tapi untuk fasilitas masih ada kekurangan.

9 Masyarakat Kalau untuk jumlah sudah cukup, namun untuk fasilitas belum memadai.

4.3.6. Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap Dokter

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 informan menyatakan pengaturan

praktik dokter 3 (tiga) tempat akan memberikan dampak positif bagi dokter. Hal ini

(50)
[image:50.612.115.530.100.704.2]

Tabel 4.7. Matriks Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan Praktik 3 (Tiga) Tempat terhadap Dokter

Informan Stakeholders Pernyataan

1 Dinas Kesehatan Pengaturan ini akan memberikan tiga dampak positif bagi dokter. Pertama, dokter dapat melakukan tugasnya dengan baik, tidak lagi sibuk mengunjungi tempat praktiknya yang banyak. Kedua, dokter dapat meluangkan waktu lebih banyak kepada pasien. Terakhir, untuk menghindari terjadinya malpraktik.

2 IDI Kalau kita menilai dengan adanya undang-undang praktik kedokteran ini, sebenarnya memberikan keuntungan bagi dokter. Pertama, pendistribusian dokter akan lebih merata, dokter tidak capek lagi dengan jumlah praktik yang dimiliki. Kedua, akan memberikan kepastian hukum kepada dokter itu sendiri.

3 YLKI Pengaturan ini justru memberikan dampak positif bagi dokter karena tidak perlu lagi capek mendatangi tempat praktiknya yang banyak. 4 RS Elisabeth Saya rasa pengaturan tersebut akan memberikan

dampak yang sangat positif bagi dokter karena mereka tidak perlu lagi sibuk mengunjungi tempat praktiknya yang banyak, sehingga mereka bisa lebih fokus dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai dokter.

5 RS Siti Hajar Pengaturan ini memberikan manfaat bagi dokter karena dapat lebih berkonsenterasi dengan tiga tempat praktik yang dimiliki.

6 Dokter Spesialis Tentu sangat bermanfaat. Dokter juga manusia, tidak mungkin mereka dapat melakukan praktik di banyak tempat. Saya saja dengan tiga tempat praktik, terkadang kewalahan juga.

7 Dokter Umum Pengaturan ini memberikan dampak positif bagi dokter karena dapat lebih fokus bekerja dengan jumlah praktik yang tidak terlalu banyak.

8 Masyarakat Menurut saya, dokter dapat lebih konsenterasi karena tidak terlalu capek mengunjungi tempat praktiknya yang banyak, sehingga pelayanan terhadap pasien juga akan lebih baik.

(51)

4.3.7. Persepsi Informan tentang Dampak Pengaturan Praktik Dokter 3 (Tiga) Tempat terhadap Rumah Sakit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 informan menyatakan pengaturan

praktik dokter 3 (tiga) tempat akan memberikan dampak positif terhadap rumah sakit.

[image:51.612.118.525.230.696.2]

Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.8. berikut :

Gambar

Gambar 2.1 Fokus Penelitian
Tabel 4.1. Distribusi Informan Berdasarkan Karakteristik
Tabel 4.2. Matriks Pengetahuan Informan tentang Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004 Mengenai Praktik Dokter 3 (Tiga)
Tabel 4.3.  Matriks Pengetahuan Informan tentang Kapan Pertama kali Mengetahui Diberlakukannya UU Nomor 29 Tahun 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Unsur-unsur yang terlibat di dalam pengelolaan perpustakaan antara lain sumber daya manusia yaitu staf perpustakaan atau pustakawan, pengguna perpustakaan sebagai pihak

Daripada terus menerus mencoba berbagai cara memutihkan kulit tubuh yang mengandalkan produk kecantikan dengan resiko berkurangnya kualitas kesehatan kulit tubuh anda karena

Pada suatu studi dari 100 penderita dengan inkontinensia fekal, dua pertiga dari penderita membaik pada akhir terapi dan mereka yang mengalami inkontinensia urgensi saja

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa aplikasi sistem informasi geografis berbasis android

Analisis Sensitivitas Usaha Jasa Angkutan Trans Pakuan terhadap Penurunan Jumlah Penumpang Sebesar 88 Persen (dengan Subsidi)... Analisis Sensitivitas Usaha Jasa Angkutan

Pemeriksaan hasil jarak yang telah dilakukan di lapangan dengan hasil data yang ada di dokumen, biasanya memeriksa jarak tempuh saluran optik yang dibangun. 3) Cek Fisik

ECB juga merevisi target pertumbuhan ekonomi tahun 2016 menjadi 1,4% dari sebelumnya 1,7% dan ekonomi tahun 2017 diproyeksikan tumbuh sebesar 1,7%.. BI akan mencermati dampak

Dalam buku yang ditulis Julius Pour tertulis, bahwa pada tanggal 13 Februari 1967, Jenderal Nasution secara terbuka mencurigai Presiden Soekarno terlibat dalam