• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yogyakarta No Ambarketawang Mura De No Saparan No Dentou Teki Na Gishiki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Yogyakarta No Ambarketawang Mura De No Saparan No Dentou Teki Na Gishiki"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

YOGYAKARTA NO AMBARKETAWANG MURA DE

NO SAPARAN NO DENTOU TEKI NA GISHIKI

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

FRISKY MINOVA Nim : 072203022

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

(2)

YOGYAKARTA NO AMBARKETAWANG MURA DE

NO SAPARAN NO DENTOU TEKI NA GISHIKI

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

FRISKY MINOVA Nim : 072203022

Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum Drs. Amin Sihombing NIP. 19600919 198803 1 001 19600403 199103 1 001

Kertas Karya ini diajukan kepada panitia ujian

Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D III Bahasa Jepang Ketua,

NIP 19620727 1987 03 2 005 Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu

syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang Pada :

Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 19650909 199403 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

Panitia

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( ) 2. Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum ( )

3. Drs. Amin Sihombing ( )

(5)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah

SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan

penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul “ Upacara Tradisional

Saparan di Desa Ambarketawang Yogyakarta”.

Penulis dengan kerendahan hati menyadari bahwa dalam Karya Tulis

ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dari segi penulisan maupun

dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis dengan rendah hati menerima

kritik dan saran untuk kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini, terutama kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan S.S, M Hum, selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Alimansyar, S.S selaku Dosen Wali.

4. Bapak Drs. Eman K. M Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan

sehingga selesainya kertas karya ini.

(6)

6. Seluruh staff Pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

7. Khususnya kepada Beliau yang paling berarti di hidup saya, Ayahanda

dan Ibunda tercinta terima kasih adinda haturkan atas segala cinta dan kasih mereka yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta

do’anya demi kesuksesan adinda, Kakanda Fahryanto yang menjadi

warna, motivator bagi saya dan dapat menghibur penulis. Juga buat mbak

Reffy Ocdiwisna, adik-adik Pretty Charitya dan Canny Sylvia.

8. Teman-teman Bahasa Jepang stambuk 07. buat Annisa, Ika, Iin, k’ yuni,

bg yahya dan bg teguh, thanks ya……

Akhir kata penulis memohon maaf kepada para pembaca atas segala

kesalahan ataupun kekurangan dalam pengerjaan Kertas Karya ini, karena

kesempurnaan hanya milik Allah SWT

Medan, Mei 2010 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

BAB II GAMBARAN UMUM DESA AMBARKETAWANG ... 4

2.1 Sejarah Desa Ambarketawang ... 4

2.2 Penduduk ... 4

2.3 Lokasi ... 5

2.4 Mata Pencaharian ... 5

BAB III UPACARA TRADISIONAL SAPARAN DI DESA AMBARKETAWANG YOGYAKARTA... 6

3.1 Pengertian Upacara Saparan ... 6

3.2 Tujuan Upacara Saparan ... 7

3.3 Waktu dan Tempat Upacara Saparan ... 7

3.4 Persiapan dan Perlengkapan Upacara Saparan ... 9

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 13

4.1 Kesimpulan ... 13

4.2 Saran ... 13

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Perkembangan Upacara Tradisional yang ditandai dengan berbagai

lambang atau simbol menunjukkan suatu norma atau nilai budaya bangsa. Hal

tersebut merupakan unsur penting untuk dapat menunjukkan suatu identitas serta

warna kehidupan bangsa Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat Upacara

Tradisional merupakan hal yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai

alat komunikasi antar anggota masyarakat bahkan antar suku. Upacara Tradisional

yang dilaksanakan dapat membuat rasa aman, tentram dan damai bagi suku

bangsa yang melakukan Upacara itu. Maka dari itu Upacara Tradisional dapat

sebagai sarana sosialisasi bagi masyarakat Tradisional khususnya.

Salah satu dari upacara tradisional tersebut adalah Upacara Saparan di

desa Ambarketawang. Upacara ini khusus dilaksanakan agar tidak terjadi

malapetaka pada masyarakat Ambarketawang seperti yang di alami keluarga Kyai

Wirasuta. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Sapar pada kalender Arab.

Upacara ini sudah menjadi Tradisi pada masyarakat Ambarketawang dan

diperingati tiap tahun pada bulan sapar dengan menyiapkan berbagai macam

makanan seperti : nasi gurih, nasi liwet, telur mentah dan sambal gepeng, pecel

pitik, ayam panggang, wedang kopi pahit, rokok/cerutu, dan lain-lain.

Maka dari itu penulis merasa tertarik untuk membahas tentang Upacara

Saparan di Desa Ambarketawang, kemudian mengembangkannya ke dalam kertas

(9)

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan informasi tentang Upacara Tradisional, khususnya

Upacara Saparan yang masih dilestarikan oleh masyarakat di daerah

Yogyakarta.

2. Untuk menambah pengetahuan pembaca dan juga penulis tentang

Upacara Tradisional Saparan di Desa Ambarketawang.

3. Untuk melengkapi persyaratan agar dapat lulus dari Program D3

Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis membatasi pembahasannya mengenai

pengertian, tujuan, persiapan serta perlengkapan Upacara Saparan di Desa

Ambarketawang Yogyakarta. Sebelum menjelaskan tentang Upacara Tradisional

Saparan di desa Ambarketawang Yogyakarta menjelaskan juga tentang Sejarah,

Lokasi, Penduduk, dan Mata Pencaharian.

1.4 Metode Penulisan

Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu

metode pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku yang

(10)

dikumpulkan di Identifikasi, di rangkum dan selanjutnnya di distribusikan ke

(11)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA AMBARKETAWANG

2.1 Sejarah Desa Ambarketawang

Sejarah Ambarketawang adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan

Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terbentuknya Desa

Ambarketawang berdasarkan maklumat pemerintah provinsi Yogyakarta pada

tahun 1946 yang menggabungkan 4 Kelurahan yaitu : Kelurahan Gamping,

Mejing, Bodeh dan Kalimanjung. Kelurahan (desa) ini di sebut Ambarketawang.

Nama Ambarketawang berarti bau harum yang memenuhi angkasa.

Desa Ambarketawang mempunyai hubungan erat dengan pendirian kraton

atau pesanggrahan raja Yogyakarta yang pertama kali adalah Sultan

Hamengkubuwna I. Pada tahun 1755 di wilayah Ambarketawang didirikanlah

sebuah istana yang dinamai Ambarketawang.

2.2 Penduduk

Desa Ambarketawang meliputi 13 padukuhan yang terdiri dari 38 RW dan

110 RT, luas wilayahnya ±635.8975 Ha. Jumlah penduduk di desa ini 17.672

jiwa. Terdiri dari 8844 laki-laki dan 8828 perempuan.

Wilayah desa Ambarketawang membujur dari arah utara ke selatan. Di

bagian selatan merupakan daerah perbukitan / pegunungan kapur, dan bagian

utara merupakan dataran.

Di Desa Ambarketawang mayoritas adalah pemeluk Agama Islam,

(12)

2.3 Lokasi

Tempat pelaksanaan Upacara Tradisional Saparan di Daerah

Ambarketawang adalah provinsi daerah istimewa Yogyakarta Kabupaten Sleman.

Secara geografis terletak dibagian Utara Daerah Istimewa Yogyakarta berbentuk

mirip segitiga (tumpeng) dengan puncak Gunung Merapi setinggi 2.911 m di atas

permukaan air laut. Secara astronomis terletak pada posisi 7034’51”–7047’03”,

Lintang Selatan, dan 107015’03”-110028’30” Bujur Timur.

Daerah ini termasuk daerah potensial karena adanya peninggalan

bangunan masa lampau. Jarak tempuh dari pusat pemerintahan kabupaten Sleman

ke Desa Ambarketawang ± 11 km. tetapi dari pusat kota Yogyakarta hanya ± 5

km.

2.4 Mata Pencaharian

Masyarakat Jawa Tengah umumnya mempunyai Mata Pencaharian hidup

sebagai petani. Di samping mereka yang menjadi petani, bagi penduduk yang

tidak dapat mengerjakan sawah, mencari nafkah di bidang lain yaitu menjadi

buruh industri bangunan, buruh penjual jasa, pengangkutan, pedagang, ABRI dan

sebagainya. Ada juga pekerjaan sampingan yang dapat membuahkan hasil jerih

(13)

BAB III

UPACARA TRADISIONAL SAPARAN di DESA AMBARKETAWANG YOGYAKARTA

3.1 Pengertian Upacara Saparan

Kata Saparan berasal dari kata sapar dan berakhiran an. Kata Sapar identik

dengan ucapan arab Syafar yang berarti bulan ke 2. Jadi Saparan adalah Upacara

keselamatan yang diadakan setiap bulan syafar. Upacara ini diadakan atas perintah

Pangeran Mangkubumi. Untuk kesalamatan masyarakat Ambarketawang agar

jauh dari malapetaka seperti yang dialami oleh Kyai Wirasuta dan keluarga.

Saparan disebut juga Saparan Bekakak. Bekakak adalah korban

penyembelihan hewan atau manusia. Bekakak pada Saparan ini hanya tiruan

manusia saja. Berwujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang di

buat dari tepung ketan.

3.2 Tujuan Upacara Saparan

Penyelenggaraan Upacara Saparan di Desa Ambarketawang semula

bertujuan untuk menghormati arwah (roh halus), Kyai dan Nyai Wirasuta

sekeluarga. Tapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan

keselamatan bagi penduduk yang mengambil batu gamping.

Kyai Wirasuta adalah abdi penongsong (hamba yang memayungi) Sri

(14)

Buwana I pindah dari kraton ke kraton yang baru. Abdi kinasih Kyai Wirasuta

tidak ikut pindah. Ia tetap tinggal di Gamping. Dia mempunyai binatang yang

disayangi berupa landhak, gemak dan merpati. Burung merpati ini mempunyai

keistimewaan lain dari pada yang lain yaitu pada bunyi sawangannya. Jika

mendengar bunyi sawangannya itu orang akan tau bahwa burung itu adalah

merpati milik Kyai Wirasuta.

Pada suatu hari Jum’at kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan syafar

menjelang purnama, terjadilah suatu musibah yang menimpah Kyai Wirasuta dan

keluarga. Gunung tempat tinggal mereka runtuh. Mereka semua terkubur dalam

reruntuhan beserta semua binatang kesayangannya. Sri Sultan Hamengku Buwana

I memerintahkan untuk mencari jenazah mereka. Tetapi semua jenazah itu hilang

tak dapat di temukan. Dengan adanya kejadian tersebut maka Hamengku Buwana

I memerintahkan para abdi, supaya setahun sekali setiap bulan Syafar hari jum’at

diantara tanggal 10-20, membuat selamatan dan ziarah ke Gunung Gamping untuk

mengenang jasa dan kesetiaan Kyai Wirasuta sebagai abdi dalam penongsong.

Dan keselamatan masyarakat Ambarketawang agar tidak tertimpa musibah serta

desa tersebut menjadi aman dan jauh dari malapetaka.

3.3 Waktu dan Tempat Upacara Saparan

Waktu atau saat penyelenggaraan Upacara Saparan di desa

Ambarketawang telah di tetapkan. Yaitu hari Jum’at pada bulan Syafar antara

tanggal 10-20 dilaksanakannya Upacara, biasanya di mulai pada pukul 14.00.

(15)

Tempat penyelenggaraan Upacara Saparan disesuaikan dengan

pelaksanaan Upacara, yaitu: Midadareni, Kirab, nyembelih Bekakak dan Upacara

Sugengan Ageng.

Upacara Midadareni pada Upacara Saparan di langsungkan di Balai Desa

Ambarketawang. Upacara Midadareni pada Sugengan Ageng di dusun Patran desa

Ambarketawang.

Upacara Kirab atau arak-arakan bekakak di laksanakan berawal di desa

Ambarketawang melalui jalan-jalan yang sudah ditentukan bersama dengan ini

diarak pula rangkaian sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke

pesenggrahan hingga berakhir di tempat penyembelihan.

Berikutnya Upacara Nyembelih Bekakak. Apabila arak-arakan telah tiba di

Gunung Ambarketawang, sepasang pengantin bekakak di bawa ke mulut gua.

Kemudian ulama (kaum) memberi isyarat agar berhenti dan memanjatkan doa.

Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan

dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung. Demikian pula sesaji yang

lain. Arak-arakan kemudian dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk

mengadakan Upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan

potongannya diberikan kepada pengunjung. Adapun jodhang yang berisi sajen

selamatan dibagi kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.

Upacara Sugengan Ageng dilaksanakan sehabis Upacara nyembelih

bekakak dan tempat penyelenggaraannya pesanggrahan (kraton) Ambarketawang

dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari Sabtu. Pesanggrahan telah dihiasi janur

dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan

(16)

gadhing (cengkir), air amerta, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur

dengan rapi di tempat masing-masing.

3.4 Persiapan dan Perlengkapan Upacara Saparan

Persiapan Upacara Saparan di desa Ambarketawang banyak butuhkan

tenaga, materi serta partisipasi masyarakat. Persiapan Upacara Saparan lebih

banyak menyita waktu, tenaga dan ketelitian. Misalnya dalam pembuatan

bekakak, sajen-sajen, kembar mayang dan sebagainya. Persiapan penyelenggaraan

Upacara Saparan di bagi dalam dua macam yaitu Saparan Bekakak dan Sugengan

Ageng.

Sebelum mengadakan Upacara Saparan, panitia telah merencanakan dana

anggaran yang akan digunakan. Dana ini di dapat dari pengusaha gamping,

instansi pemerintah dan usaha pamong desa, juga perorangan penyumbang suka

rela (donatur).

Persiapan untuk Saparan Bekakak terutama pembuatan bekakak dari

tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu ±8 jam. Pada saat

pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki

bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut

manggung dan lain-lain.

Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan

bekakak, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak

Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan adalah bentuk

pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan

(17)

Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala

ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung

sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris

beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai

kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah

dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan

memakai subang. Pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan

penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan

kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan

bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan

yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan

mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak

adalah para pria.

Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk

dua joli yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin

bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian

pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama

pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron

kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun

dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng:

tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan

lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang

(18)

kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah,

ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.

Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas

jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng

waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan

sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh

dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih

sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem,

randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten),

tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa,

sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak,

dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat

kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara

itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.

Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai

± jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi

sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke

balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan

dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :

1. Barisan yang membawa umbul-umbul

2. Barisan pengawal dari Gamping Tengah

3. Joli pengantin dan Jodhang

(19)

5. Pengiring yang lain.

kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa

Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti di

pendhopo ataupun diadakan pertunjukan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di

rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh

bapak-bapak dari kemusuk. Kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang

dilakukan oleh penduduk sekitar.

Acara dibuka oleh ketua Panitia diikuti laporan tentang pelaksanaan Upacara

Saparan. Dilanjutkan sambutan oleh Bupati Sleman, kemudian acara terakhir

adalah pembacaan doa oleh Ki Juru Permana. Setelah pembacaan doa selesai,

maka pemberangkatan barisan Upacara Saparan di mulai, di awali dengan

pelepasan sepasang merpati putih dikalungi bunga melati,dan dipasangi sawangan

pada ekornya.

Barisan Upacara Tradisional Saparan itu berangkat dari Balai Desa meuju ke

arah Selatan, sampai di jalan besar (Yogya-Wates), belok ke kiri (timur). Setelah

melewati pasar gamping lalu belok ke kanan (selatan). Terus menuju ke arah

Gunung Ambarketawang, (tempat penyembelihan pertama). Arakan/pawai

dilanjutkan ke tempat penyembelihan yang kedua yaitu gunung Kliling. Lokasi

penyembelihan yang kedua ini berada di sebelah utara bekas kraton

(pesanggrahan) Ambarketawang. Dari Balai Desa ke tempat pesanggrahan ini ± 1

(20)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Upacara saparan merupakan Upacara Tradisional yng dilaksanakan

masyarakat Ambarketawang secara rutin pada bulan Syafar sampai

sekarang.

2. Upacara Saparan merupakan Upacara untuk mengenang jasa dan kesetiaan

Kyai Wirasuta sebagai abdi dalam penongsong.

3. Upacara Saparan diselenggarakan pada setiap bulan Syafar untuk

keselamatan masyarakat Ambarketawang.

4.2 Saran

Dari pembahasan tentang Upacara Saparan ini maka penulis menyarankan:

1. Penulis mengharapkan agar pembaca dapat lebih mengenal Upacara

Saparan sebagai salah satu warisan budaya bangsa.

2. Penulis mengharapkan agar kita bisa lebih menghargai, melestarikan dan

(21)

DAFTAR PUSTAKA

- Gatut Murniatmo, dkk., 1976/1977, Adat Istiadat Daerah Istimewa

Yogyakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat

Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Jakarta,

- Murtjipta, 1984Upacara Tradisional bulan Safar di Kabupaten Sleman,

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini dilaksanakan penyusunan rencana pembelajaran yang baik oleh guru- guru di SDN 6 Selat Hilir Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas, penulis yang belum

Di sekolah cabang masing-masing sekolah, Kepala Sekolah akan mengadakan rapat internal secara umum dimana semua guru bidang studi dan guru wali kelas berkumpul untuk melihat

Lillesand and Kiefer (1990), berpendapat bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data

Uji z 1 populasi adalah uji untuk menduga nilai tengah dari contoh acak yang kontinu berukuran n yang diambil dari suatu populasi dengan ragam diketahui.. Uji t

Bayi baru lahir dengan infeksi neonatorum merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting pada bayi di Indonesia, baik bayi baru lahir dengan infeksi

[r]

Penelitian ini dilakukan dengan mengukur daya kirim pada ODP (Optical Distribution Point), daya terima pada ONT (Optical Network Termination) yang ada di

Adalah suatu mekanisme dimana pembeli dan penjual bisa berinteraksi satu sama lain untuk melakukan pertukaran barang dan jasa serta menentukan harga dari