YOGYAKARTA NO AMBARKETAWANG MURA DE
NO SAPARAN NO DENTOU TEKI NA GISHIKI
KERTAS KARYA Dikerjakan
O L E H
FRISKY MINOVA Nim : 072203022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
YOGYAKARTA NO AMBARKETAWANG MURA DE
NO SAPARAN NO DENTOU TEKI NA GISHIKI
KERTAS KARYA Dikerjakan
O L E H
FRISKY MINOVA Nim : 072203022
Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,
Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum Drs. Amin Sihombing NIP. 19600919 198803 1 001 19600403 199103 1 001
Kertas Karya ini diajukan kepada panitia ujian
Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
Disetujui Oleh :
Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi D III Bahasa Jepang Ketua,
NIP 19620727 1987 03 2 005 Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu
syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang Pada :
Tanggal : Hari :
Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
NIP 19650909 199403 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.
Panitia
No. Nama Tanda Tangan
1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( ) 2. Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum ( )
3. Drs. Amin Sihombing ( )
KATA PENGANTAR
Pertama sekali, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul “ Upacara Tradisional
Saparan di Desa Ambarketawang Yogyakarta”.
Penulis dengan kerendahan hati menyadari bahwa dalam Karya Tulis
ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dari segi penulisan maupun
dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis dengan rendah hati menerima
kritik dan saran untuk kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini, terutama kepada :
1. Bapak Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Adriana Hasibuan S.S, M Hum, selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Alimansyar, S.S selaku Dosen Wali.
4. Bapak Drs. Eman K. M Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
sehingga selesainya kertas karya ini.
6. Seluruh staff Pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
7. Khususnya kepada Beliau yang paling berarti di hidup saya, Ayahanda
dan Ibunda tercinta terima kasih adinda haturkan atas segala cinta dan kasih mereka yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta
do’anya demi kesuksesan adinda, Kakanda Fahryanto yang menjadi
warna, motivator bagi saya dan dapat menghibur penulis. Juga buat mbak
Reffy Ocdiwisna, adik-adik Pretty Charitya dan Canny Sylvia.
8. Teman-teman Bahasa Jepang stambuk 07. buat Annisa, Ika, Iin, k’ yuni,
bg yahya dan bg teguh, thanks ya……
Akhir kata penulis memohon maaf kepada para pembaca atas segala
kesalahan ataupun kekurangan dalam pengerjaan Kertas Karya ini, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT
Medan, Mei 2010 Penulis
DAFTAR ISI
BAB II GAMBARAN UMUM DESA AMBARKETAWANG ... 4
2.1 Sejarah Desa Ambarketawang ... 4
2.2 Penduduk ... 4
2.3 Lokasi ... 5
2.4 Mata Pencaharian ... 5
BAB III UPACARA TRADISIONAL SAPARAN DI DESA AMBARKETAWANG YOGYAKARTA... 6
3.1 Pengertian Upacara Saparan ... 6
3.2 Tujuan Upacara Saparan ... 7
3.3 Waktu dan Tempat Upacara Saparan ... 7
3.4 Persiapan dan Perlengkapan Upacara Saparan ... 9
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 13
4.1 Kesimpulan ... 13
4.2 Saran ... 13
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Perkembangan Upacara Tradisional yang ditandai dengan berbagai
lambang atau simbol menunjukkan suatu norma atau nilai budaya bangsa. Hal
tersebut merupakan unsur penting untuk dapat menunjukkan suatu identitas serta
warna kehidupan bangsa Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat Upacara
Tradisional merupakan hal yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai
alat komunikasi antar anggota masyarakat bahkan antar suku. Upacara Tradisional
yang dilaksanakan dapat membuat rasa aman, tentram dan damai bagi suku
bangsa yang melakukan Upacara itu. Maka dari itu Upacara Tradisional dapat
sebagai sarana sosialisasi bagi masyarakat Tradisional khususnya.
Salah satu dari upacara tradisional tersebut adalah Upacara Saparan di
desa Ambarketawang. Upacara ini khusus dilaksanakan agar tidak terjadi
malapetaka pada masyarakat Ambarketawang seperti yang di alami keluarga Kyai
Wirasuta. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Sapar pada kalender Arab.
Upacara ini sudah menjadi Tradisi pada masyarakat Ambarketawang dan
diperingati tiap tahun pada bulan sapar dengan menyiapkan berbagai macam
makanan seperti : nasi gurih, nasi liwet, telur mentah dan sambal gepeng, pecel
pitik, ayam panggang, wedang kopi pahit, rokok/cerutu, dan lain-lain.
Maka dari itu penulis merasa tertarik untuk membahas tentang Upacara
Saparan di Desa Ambarketawang, kemudian mengembangkannya ke dalam kertas
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan kertas karya adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan informasi tentang Upacara Tradisional, khususnya
Upacara Saparan yang masih dilestarikan oleh masyarakat di daerah
Yogyakarta.
2. Untuk menambah pengetahuan pembaca dan juga penulis tentang
Upacara Tradisional Saparan di Desa Ambarketawang.
3. Untuk melengkapi persyaratan agar dapat lulus dari Program D3
Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
1.3 Pembatasan Masalah
Dalam kertas karya ini penulis membatasi pembahasannya mengenai
pengertian, tujuan, persiapan serta perlengkapan Upacara Saparan di Desa
Ambarketawang Yogyakarta. Sebelum menjelaskan tentang Upacara Tradisional
Saparan di desa Ambarketawang Yogyakarta menjelaskan juga tentang Sejarah,
Lokasi, Penduduk, dan Mata Pencaharian.
1.4 Metode Penulisan
Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu
metode pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku yang
dikumpulkan di Identifikasi, di rangkum dan selanjutnnya di distribusikan ke
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA AMBARKETAWANG
2.1 Sejarah Desa Ambarketawang
Sejarah Ambarketawang adalah sebuah desa yang terletak di kecamatan
Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terbentuknya Desa
Ambarketawang berdasarkan maklumat pemerintah provinsi Yogyakarta pada
tahun 1946 yang menggabungkan 4 Kelurahan yaitu : Kelurahan Gamping,
Mejing, Bodeh dan Kalimanjung. Kelurahan (desa) ini di sebut Ambarketawang.
Nama Ambarketawang berarti bau harum yang memenuhi angkasa.
Desa Ambarketawang mempunyai hubungan erat dengan pendirian kraton
atau pesanggrahan raja Yogyakarta yang pertama kali adalah Sultan
Hamengkubuwna I. Pada tahun 1755 di wilayah Ambarketawang didirikanlah
sebuah istana yang dinamai Ambarketawang.
2.2 Penduduk
Desa Ambarketawang meliputi 13 padukuhan yang terdiri dari 38 RW dan
110 RT, luas wilayahnya ±635.8975 Ha. Jumlah penduduk di desa ini 17.672
jiwa. Terdiri dari 8844 laki-laki dan 8828 perempuan.
Wilayah desa Ambarketawang membujur dari arah utara ke selatan. Di
bagian selatan merupakan daerah perbukitan / pegunungan kapur, dan bagian
utara merupakan dataran.
Di Desa Ambarketawang mayoritas adalah pemeluk Agama Islam,
2.3 Lokasi
Tempat pelaksanaan Upacara Tradisional Saparan di Daerah
Ambarketawang adalah provinsi daerah istimewa Yogyakarta Kabupaten Sleman.
Secara geografis terletak dibagian Utara Daerah Istimewa Yogyakarta berbentuk
mirip segitiga (tumpeng) dengan puncak Gunung Merapi setinggi 2.911 m di atas
permukaan air laut. Secara astronomis terletak pada posisi 7034’51”–7047’03”,
Lintang Selatan, dan 107015’03”-110028’30” Bujur Timur.
Daerah ini termasuk daerah potensial karena adanya peninggalan
bangunan masa lampau. Jarak tempuh dari pusat pemerintahan kabupaten Sleman
ke Desa Ambarketawang ± 11 km. tetapi dari pusat kota Yogyakarta hanya ± 5
km.
2.4 Mata Pencaharian
Masyarakat Jawa Tengah umumnya mempunyai Mata Pencaharian hidup
sebagai petani. Di samping mereka yang menjadi petani, bagi penduduk yang
tidak dapat mengerjakan sawah, mencari nafkah di bidang lain yaitu menjadi
buruh industri bangunan, buruh penjual jasa, pengangkutan, pedagang, ABRI dan
sebagainya. Ada juga pekerjaan sampingan yang dapat membuahkan hasil jerih
BAB III
UPACARA TRADISIONAL SAPARAN di DESA AMBARKETAWANG YOGYAKARTA
3.1 Pengertian Upacara Saparan
Kata Saparan berasal dari kata sapar dan berakhiran an. Kata Sapar identik
dengan ucapan arab Syafar yang berarti bulan ke 2. Jadi Saparan adalah Upacara
keselamatan yang diadakan setiap bulan syafar. Upacara ini diadakan atas perintah
Pangeran Mangkubumi. Untuk kesalamatan masyarakat Ambarketawang agar
jauh dari malapetaka seperti yang dialami oleh Kyai Wirasuta dan keluarga.
Saparan disebut juga Saparan Bekakak. Bekakak adalah korban
penyembelihan hewan atau manusia. Bekakak pada Saparan ini hanya tiruan
manusia saja. Berwujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang di
buat dari tepung ketan.
3.2 Tujuan Upacara Saparan
Penyelenggaraan Upacara Saparan di Desa Ambarketawang semula
bertujuan untuk menghormati arwah (roh halus), Kyai dan Nyai Wirasuta
sekeluarga. Tapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan
keselamatan bagi penduduk yang mengambil batu gamping.
Kyai Wirasuta adalah abdi penongsong (hamba yang memayungi) Sri
Buwana I pindah dari kraton ke kraton yang baru. Abdi kinasih Kyai Wirasuta
tidak ikut pindah. Ia tetap tinggal di Gamping. Dia mempunyai binatang yang
disayangi berupa landhak, gemak dan merpati. Burung merpati ini mempunyai
keistimewaan lain dari pada yang lain yaitu pada bunyi sawangannya. Jika
mendengar bunyi sawangannya itu orang akan tau bahwa burung itu adalah
merpati milik Kyai Wirasuta.
Pada suatu hari Jum’at kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan syafar
menjelang purnama, terjadilah suatu musibah yang menimpah Kyai Wirasuta dan
keluarga. Gunung tempat tinggal mereka runtuh. Mereka semua terkubur dalam
reruntuhan beserta semua binatang kesayangannya. Sri Sultan Hamengku Buwana
I memerintahkan untuk mencari jenazah mereka. Tetapi semua jenazah itu hilang
tak dapat di temukan. Dengan adanya kejadian tersebut maka Hamengku Buwana
I memerintahkan para abdi, supaya setahun sekali setiap bulan Syafar hari jum’at
diantara tanggal 10-20, membuat selamatan dan ziarah ke Gunung Gamping untuk
mengenang jasa dan kesetiaan Kyai Wirasuta sebagai abdi dalam penongsong.
Dan keselamatan masyarakat Ambarketawang agar tidak tertimpa musibah serta
desa tersebut menjadi aman dan jauh dari malapetaka.
3.3 Waktu dan Tempat Upacara Saparan
Waktu atau saat penyelenggaraan Upacara Saparan di desa
Ambarketawang telah di tetapkan. Yaitu hari Jum’at pada bulan Syafar antara
tanggal 10-20 dilaksanakannya Upacara, biasanya di mulai pada pukul 14.00.
Tempat penyelenggaraan Upacara Saparan disesuaikan dengan
pelaksanaan Upacara, yaitu: Midadareni, Kirab, nyembelih Bekakak dan Upacara
Sugengan Ageng.
Upacara Midadareni pada Upacara Saparan di langsungkan di Balai Desa
Ambarketawang. Upacara Midadareni pada Sugengan Ageng di dusun Patran desa
Ambarketawang.
Upacara Kirab atau arak-arakan bekakak di laksanakan berawal di desa
Ambarketawang melalui jalan-jalan yang sudah ditentukan bersama dengan ini
diarak pula rangkaian sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke
pesenggrahan hingga berakhir di tempat penyembelihan.
Berikutnya Upacara Nyembelih Bekakak. Apabila arak-arakan telah tiba di
Gunung Ambarketawang, sepasang pengantin bekakak di bawa ke mulut gua.
Kemudian ulama (kaum) memberi isyarat agar berhenti dan memanjatkan doa.
Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan
dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung. Demikian pula sesaji yang
lain. Arak-arakan kemudian dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk
mengadakan Upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan
potongannya diberikan kepada pengunjung. Adapun jodhang yang berisi sajen
selamatan dibagi kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.
Upacara Sugengan Ageng dilaksanakan sehabis Upacara nyembelih
bekakak dan tempat penyelenggaraannya pesanggrahan (kraton) Ambarketawang
dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari Sabtu. Pesanggrahan telah dihiasi janur
dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan
gadhing (cengkir), air amerta, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur
dengan rapi di tempat masing-masing.
3.4 Persiapan dan Perlengkapan Upacara Saparan
Persiapan Upacara Saparan di desa Ambarketawang banyak butuhkan
tenaga, materi serta partisipasi masyarakat. Persiapan Upacara Saparan lebih
banyak menyita waktu, tenaga dan ketelitian. Misalnya dalam pembuatan
bekakak, sajen-sajen, kembar mayang dan sebagainya. Persiapan penyelenggaraan
Upacara Saparan di bagi dalam dua macam yaitu Saparan Bekakak dan Sugengan
Ageng.
Sebelum mengadakan Upacara Saparan, panitia telah merencanakan dana
anggaran yang akan digunakan. Dana ini di dapat dari pengusaha gamping,
instansi pemerintah dan usaha pamong desa, juga perorangan penyumbang suka
rela (donatur).
Persiapan untuk Saparan Bekakak terutama pembuatan bekakak dari
tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu ±8 jam. Pada saat
pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki
bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut
manggung dan lain-lain.
Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan
bekakak, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak
Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan adalah bentuk
pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan
Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala
ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung
sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris
beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai
kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah
dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan
memakai subang. Pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan
penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan
kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan
bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan
yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan
mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak
adalah para pria.
Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk
dua joli yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin
bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian
pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama
pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron
kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun
dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng:
tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan
lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang
kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah,
ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.
Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas
jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng
waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan
sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh
dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih
sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem,
randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten),
tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa,
sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak,
dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat
kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara
itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.
Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai
± jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi
sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke
balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan
dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :
1. Barisan yang membawa umbul-umbul
2. Barisan pengawal dari Gamping Tengah
3. Joli pengantin dan Jodhang
5. Pengiring yang lain.
kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa
Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti di
pendhopo ataupun diadakan pertunjukan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di
rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh
bapak-bapak dari kemusuk. Kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang
dilakukan oleh penduduk sekitar.
Acara dibuka oleh ketua Panitia diikuti laporan tentang pelaksanaan Upacara
Saparan. Dilanjutkan sambutan oleh Bupati Sleman, kemudian acara terakhir
adalah pembacaan doa oleh Ki Juru Permana. Setelah pembacaan doa selesai,
maka pemberangkatan barisan Upacara Saparan di mulai, di awali dengan
pelepasan sepasang merpati putih dikalungi bunga melati,dan dipasangi sawangan
pada ekornya.
Barisan Upacara Tradisional Saparan itu berangkat dari Balai Desa meuju ke
arah Selatan, sampai di jalan besar (Yogya-Wates), belok ke kiri (timur). Setelah
melewati pasar gamping lalu belok ke kanan (selatan). Terus menuju ke arah
Gunung Ambarketawang, (tempat penyembelihan pertama). Arakan/pawai
dilanjutkan ke tempat penyembelihan yang kedua yaitu gunung Kliling. Lokasi
penyembelihan yang kedua ini berada di sebelah utara bekas kraton
(pesanggrahan) Ambarketawang. Dari Balai Desa ke tempat pesanggrahan ini ± 1
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Upacara saparan merupakan Upacara Tradisional yng dilaksanakan
masyarakat Ambarketawang secara rutin pada bulan Syafar sampai
sekarang.
2. Upacara Saparan merupakan Upacara untuk mengenang jasa dan kesetiaan
Kyai Wirasuta sebagai abdi dalam penongsong.
3. Upacara Saparan diselenggarakan pada setiap bulan Syafar untuk
keselamatan masyarakat Ambarketawang.
4.2 Saran
Dari pembahasan tentang Upacara Saparan ini maka penulis menyarankan:
1. Penulis mengharapkan agar pembaca dapat lebih mengenal Upacara
Saparan sebagai salah satu warisan budaya bangsa.
2. Penulis mengharapkan agar kita bisa lebih menghargai, melestarikan dan
DAFTAR PUSTAKA
- Gatut Murniatmo, dkk., 1976/1977, Adat Istiadat Daerah Istimewa
Yogyakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta,
- Murtjipta, 1984Upacara Tradisional bulan Safar di Kabupaten Sleman,