19/10/2016 Ekoteologi dan Fiqih Lingkungan
Hari Bumi (22/4) di Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya diperingati dengan penyelenggaraan Lokakarya Nasional Fiqh Lingkungan (SeninKamis, 1720 April 2006). Lokakarya yang menghadirkan Menteri Lingkungan Hidup dan sejumlah pakar lingkungan seperti Emil Salim ini dilatarbelakangi fenomena bencana alam yang marak beberapa tahun terakhir ini akibat kerusakan alam. Sebelumnya (6/4/06), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Menteri Kehutanan, MS. Ka’ban, tentang keterlibatan pesantren NU dalam pengelolaan dan pelestarian alam.
Dua momen berbeda ini menunjukkan mulai tumbuhnya kesadaran kepedulian terhadap lingkungan di kalangan agamawan. Selama ini agama dan agamawan terkesan hidup di menara gading teologis yang berpusat pada Tuhan dengan melupakan realitas sosial sekitarnya. Tetapi tampaknya Tuhan tidak menghendaki para pecintanya hidup tenang jauh dari lingkungannya dengan mengirimkan peringatan melalui bencana alam.
Kenapa fiqih lingkungan hidup? pertama, statistika mayoritas umat Islam secara langsung atau tidak mengkaitkannya dengan bencana alam yang terus menerus terjadi di negeri ini, baik sebagai subyek perusak atau obyek kemarahan alam. Kedua, sementara ini agama masih dipahami sebagai relasi Tuhanhamba yang diwujudkan dengan ketaatan ritual (ibadah) dan tidak terkait dengan kehidupan duniawi. Akibatnya, kepedulian terhadap lingkungan tidak dianggap sebagai sebentuk ketaatan kepada Tuhan.
Dan ketiga, ada dugaan kuat di kalangan pecinta lingkungan bila terdapat doktrin agama yang dianggap melegitimasi aksi perusakan alam. Sebagai tertuduhnya adalah doktrin manusia sebagai makhluq istimewa yang mendapat mandat pengelolaan alam dari Tuhan (khalifah fi alardh) (QS. 2: 29).
Melompat
Bagi umat Islam, keimanan merupakan masalah fundamental dan asasi. Fundamental karena setiap Muslim harus memiliki keimanan dan asasi karena keimanan merupakan dasar keislaman. Karena itu mayoritas ulama menegaskan keimanan dianggap tidak sah bila tanpa diekspresikan secara lisan (dengan kalimat syahadat) dan tindakan (taqwa).
Dengan demikian iman merupakan pandangan dunia (world view) Islam yang menjadi paradigma berfikir dan bertindak bagi Muslim. Paradigma ini kemudian diterjemahkan dalam aturan etisnormatif berupa fikih. Dari sini penulis menilai gagasan fikih lingkungan yang menjadi panduan perilaku pemeluk Islam dengan alam merupakan sesuatu yang urgen tetapi melompat.
Yang seharusnya dilakukan pertama kali adalah merumuskan doktrin teologi bumi yang nantinya menjadi basis bagi bangunan fikih lingkungan. Apalagi, seperti yang disinyalir kalangan pecinta lingkungan, doktrin keunggulan manusia dan mandat pengelolaan alam dalam Islam menjadi faktor perilaku perusakan alam.
Secara tidak langsung doktrin ini mengajarkan sikap superioritas manusia atas makhluq lainnya (terutama alam) sehingga manusia berhak melakukan tindakan apapun terhadap alam. Pembacaan seperti ini dikuatkan oleh teks kitab suci yang menyebutkan penciptaan bumi adalah untuk kepentingan manusia (QS. 22:65). Ternyata doktrin seperti ini tidak hanya monopoli Islam, dalam Kristen dan Yahudi pun terdapat doktrin imago dei yang memposisikan manusia sebagai makhluq superior karena ia adalah citra Tuhan.
19/10/2016 Ekoteologi dan Fiqih Lingkungan
http://cakfatadenbagus.blogspot.co.id/2008/10/ekoteologidanfiqihlingkungan.html 2/3
Paradigma manusia sebagai pusat kehidupan dalam agamaagama sebangun dengan paradigma antroposentrisme dalam dunia modern. Karena dianggap merusak, paradigmaparadigma tersebut didekonstruksi oleh aktivis lingkungan hidup dan dimunculkan paradigma ekosentrisme sebagai antitesa.
Paradigma ekosentrisme memposisikan manusia sejajar dengan mahluk hidup lainnya di muka bumi. Tidak ada satu justifikasi apapun yang memposisikan manusia lebih tinggi dan memiliki izin untuk melakukan eksploitasi alam tanpa batas. Lebih jauh paradigma ini meminta manusia arif dan bijaksana mempergunakan akal pikirannya. Dengan paradigma ini manusia diharapkan bersahabat dengan alam sebagai mitra sejajar.
Meski demikian, paradigma ekosentrisme dinilai terlalu bertumpu pada determinisme alam dengan mengesampingkan Tuhan dan, tentu saja, tidak cocok dengan kehidupan umat beragama yang berpusat pada Tuhan.
Dari titik persimpangan inilah kemudian para agamawan coba merekonstruksikan sebuah paradigma yang ramah terhadap alam dengan tetap menjadikan Tuhan sebagai pusatnya. Paradigma seperti ini dikenal dengan ekoteologi.
Basis Teologis
Beberapa prinsip teologi yang menjadi basis norma paradigma ekoteologi adalah; pertama, bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi (khalifah fil ardh) (QS. 2: 29) dan bumi diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. 22:65), tetapi bukan berarti manusia berhak berbuat sekehendaknya terhadap bumi. Perilaku manusia terhadap bumi harus tetap sesuai dengan aturanaturan Tuhan.
Ini karena posisi wakil Tuhan di bumi disertai ketentuan peranan `abd Allah (hamba Allah) (QS. 51:56) yang harus dimainkan oleh manusia. Posisi sebagai hamba, menurut Hossein Nasr, menunjukkan bahwa kekuasaan manusia atas segala apa yang ada di bumi dibatasi oleh ketundukan kepada hukumhukum Allah.
Kedua, konsekuensi dari posisi dan peran tersebut adalah bahwa manusia memiliki tanggung jawab di hadapan Tuhan atas amanat yang diterimanya. Manusia harus mempertanggungjawabkan segala tindakan yang diambilnya, termasuk terhadap alam.
Ketiga, manusia sama dengan alam. Dalam teologi Islam dikenal dualisme ontologis; pencipta (khaliq) dan ciptaan (makhluq). Pencipta adalah Allah, selain Allah adalah ciptaan, termasuk manusia dan alam. Karena itu, meski memiliki beberapa kelebihan, manusia berposisi sama dengan alam, yaitu sebagai makhluq Tuhan.
Dalam dunia tasawuf, ketidakbedaan manusiaalam digambarkan dengan istilah mikrokosmos (dunya shaghir) untuk menyebut manusia sebagai cerminan alam semesta (dunya kabir/makrokosmos). Hal ini diperkuat dengan nash nash yang menyebutkan bahwa manusia dicipta dari tanah liat atau sari pati tanah.
Pernyataan ini bukan menyamakan manusia dengan alam secara keseluruhan, tetapi suatu pernyataan yang mengakui bahwa manusia mempunyai relasi dengan alam sebagai sesama ciptaan Tuhan dan relasi itu mengandung makna kesatuan manusiaalam dalam aspek fisiobiologis.
Ketiga prinsip teologisnormatif tersebut merupakan dekonstruksi atas doktrin teologis yang selama ini diselewengkan manusia untuk menguasai alam.
Sumber: opini metro, Jawa Pos, 23 April 2006
Diposkan 30th October 2008 oleh denbagus
19/10/2016 Ekoteologi dan Fiqih Lingkungan
http://cakfatadenbagus.blogspot.co.id/2008/10/ekoteologidanfiqihlingkungan.html 3/3 Keluar
Beri tahu saya
Masukkan komentar Anda...
Beri komentar sebagai: Unknown (Google)