IMPLEMENTASI
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MANDIRI PEDESAAN
(Studi Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kabupaten Aceh Singkil)
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
SKRIPSI DISUSUN
OLEH:
JHOAN LIBRA BERUTU
060903082
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karuniaNya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar.
Penulisan skripsi ini bertujuan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakulutas
Ilmu Sosial dan ILmu Politik Universitas Sumatera Utara, dengan judul ”Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (Studi Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh Singkil, NAD).
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan
dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Humaizi, M.A., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, M.A., selaku ketua Departemen Ilmu
Administrasi Negara.
4. Ibu Asima Yanty Siahaan, M. A., Ph. D., selaku dosen pembimbing yang
telah memberi tenaga, waktu, pikiran serta penuh kesabaran dan perhatian
5. Seluruh Dosen dan Staf pengajar Departemen Ilmu Administrasi Negara
yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuannya selama ini
kepada penulis.
6. Kak Mega, Kak Dian, dan Bang Muliono yang telah membantu saya
dalam mengurus segala keperluan administrasi.
7. Buat kedua orang tua ku yang sangat ku sayangi J. Berutu dan N.
Tumanggor yang telah memberikan segala yang aku perlukan yang takkan
mungkin dapat ku balas. Terima kasih atas doa dan bimbingannya….. Juga kepada saudara-saudaraku (kakak, Arjuna Rawadi) terima kasih atas doa dan dukungannya….Tetap semangat!!!!!
8. Buat Opung ku yang ada di Sidikalang semoga panjang umur dan sehat
selalu... serta Tulang dan Nantulang terimakasih atas doa dan
bimbingannya.
9. Seluruh keluarga besar ku yang ada di Simpang Kanan, terutama kepada
Tonga Punggat yang telah banyak membantu penulis dalam mencari bahan
untuk penulisan skripsi ini.
10. Terima kasih kepada pihak Kecamatan Danau Paris dan masyarakat Desa
Napagaluh yang telah menerima penulis dengan keramahtamahan. Terima kasih atas bantuannya....
11. Kepada seluruh teman ku AN ”06 yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Terima kasih atas dukungannya...
12. Teman-teman ku yang ada di ”Faithfulness”, Kak Riama, Rindo, Butet,
13. Seluruh sahabat ”In The Kost” (Lispen, Irwan, Miciko, Seto, dan
lain-lain...) yang sekarang gak jelas keberadaannya, cepat-cepat klen pulang
oke…
14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini
yang tidak disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuannya ya....
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekuranagn, untuk itu dengan kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempunaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini berguna bagi semua.
Medan, Maret 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...iv
DAFTAR TABEL...vii
DAFTAR GAMBAR...viii
DAFTAR LAMPIRAN...ix
ABSTRAK...x
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………...….1
1.2 Perumusan Masalah…………...7
1.3 Tujuan Penelitian………...7
1.4 Manfaat Penelitian………...8
1.5 Kerangka Teori………...8
1.5.1 Program………...8
1.5.2 Kebijakan Publik………...…10
1.5.3 Implementasi Kebijakan………...13
1.5.4 Pemberdayaan………...18
1.5.5 Pemberdayaan Masyarakat……...19
1.5.6 Isu Gender...………...22
1.5.7 Partisipasi Dalam Pembangunan...27
1.5.8 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)...33
1.7 Sistematika Penulisan………...65
BAB II. METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian…...………67
2.2 Lokasi Penelitian………...68
2.3 Informan………...…68
2.4 Teknik Pengumpulan Data………...69
2.5 Teknik Analisa Data………...70
2.6. Penerapan Metode Penelitian di Lapangan...71
2.7. Etika Penelitian...72
BAB III. DESKRIPSI LOKASI 3.1 Gambaran Umum Desa Napagaluh...74
3.2 Organisasi Pemerintahan Desa...77
3.3 Badan Permusyawaratan Kampong...85
3.4 Kelompok Simpan Pinjam Perempuan...88
BAB IV. PENYAJIAN DATA 4.1 Hasil Observasi Lapangan...94
4.2 Hasil Wawancara Dengan Informan...99
BAB V. ANALISIS DATA 5.1 Inkonsistensi Pelaksanaan Kegiatan pada Kelompok Simpan Pinjam Perempuan……….…………..…..…111
5.2 Partisipasi Perempuan dalam Kelompok Simpan Pinjam Perempuan……….……….113
Berpartisipasi dalam Kelompok SPP...116 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan...120 6.2 Saran...121
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Indonesia...2 Tabel 2. Ketentuan Alokasi Dana BLM Kecamatan yang
Mempunyai Desa Tertinggal...39
Tabel 3. Ketentuen Alokasi Dana BLM dengan Menggunakan Rasio
Penduduk Miskin dan Jumlah Penduduk dalam Kecamatan...40
Tabel 4. Indikator Perkembangan Kelompok SPP………...……..60 Tabel 5. Klasifikasi Penduduk Desa Napagaluh berdasarkan
Jenis Kelamin...75
Tabel 6. Klasifikasi Penduduk Desa Napagaluh Berdasarkan Pekerjaan...75 Tabel 7. Klasifikasi Penduduk Desa Napagaluh Berdasarkan Agama...76
Tabel 8. Klasifikasi Penduduk Desa Napagaluh Berdasarkan
Jenjang Pendidikan...76 Tabel 9. Pelaku-Palaku PNPM MP di Desa Napagaluh...95
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur Kegiatan SPP...64 Gambar 2. Struktur Pemerintahan Kampong/ Desa Napagaluh
Kecamatan DanauParis...84
Gambar 3. Struktur Badan Permusyawaratan Kampong (BPK)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Permohonan Judul Skripsi Lampiran 2 : Surat Rencana Skripsi
Lampiran 3 : Surat Penunjukan Dosen Pembimbing
Lampiran 4 : Undangan Seminar Proposal Usulan Penelitian Skripsi Lampiran 5 : Jadwal Seminar Proposal Usulan Penelitian Skripsi
Lampiran 6 : Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal Rancangan Usul Penelitian
Lampiran 7 : Surat Izin Penelitian di Desa Napagaluh Kecamatan Danau Paris
Lampirqn 8 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Lampiran 9 : Pedoman Wawancara Penelitian
Lampiran 10 : Berita Acara Musyawarah Desa Khusus Perempuan Lampiran 11 : Daftar Hadir Musyawarah Desa Khusus Perempuan Lampiran 12 : Formulir Verifikasi Kelayakan Kelompok SPP Lampiran 13 : Daftar Usulan Kegiatan SPP
Lampiran 14 : Profil Kelompok
Lampiran 15 : Rencana Anggaran Biaya
Lampiran 16 : Rencana Angsuran Anggota ke kelompok Lampiran 17 : Akad Kredit Kelompok SPP
ABSTRAK
IMPLEMENTASI
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN
(Studi Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh Singkil)
Nama : Jhoan libra berutu NIM : 060903082
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Pembimbing : Dra. Asima Yanty Siahaan, MA., PhD
Implementasi merupakan proses yang sangat penting dalam suatu kebijakan. Kadangkala, implementasi yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. PNPM Mandiri adalah program yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat baik melalui penguatan modal maupun kelembagaan. Program ini diimplementasikan oleh Kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh kecamatan danau Paris. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh singkil?”
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, untuk mengetahui partisipasi perempuan dalam Kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh, mengetahui isu gender yang terjadi dalam pelaksanaan Kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh, serta untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam implementasi Kelompok Simpan Pinjam Perempuan Di Desa Napagaluh.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan 4 orang informan kunci dan 9 orang informan utama. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengumpulan data primer dan sekunder, dan teknik analisa data dilakukan dengan analisa data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi PNPM MP pada Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya perempuan yakni meningkatnya taraf hidup keluarga dengan adanya bantuan modal usaha, namun pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik. Ada beberapa pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan Petunjuk Teknis Operasionl (PTO), yakni ada perempuan yang tidak tergolong dalam Rumah Tangga Miskin (RTM) ikut serta dalam kelompok SPP, tidak berjalannya pertemuan rutin yang harus dilakukan setiap kelompok, dan penyalahgunaan dana pinjaman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Partisipasi masyarakat yang rendah dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan SDM yang rendah, sehingga masyarakat tidak mampu mengelola dana pinjaman tersebut. Isu gender juga menjadi suatu kendala yang mengakibatkan implementasi PNPM MP tidak berjalan dengan baik, akibat adanya pengaruh kekuasaan atau kedudukan pengurus yang disalahgunakan dan peran ganda dari ibi-ibu yang selain mencari nafkah juga harus mengurus keluarga..
Diharapkan sebelum Implementasi PNPM MP dilakukan seluruh pengurus yang terlibat di dalamnya harus mampu memberikan pengarahan kepada masyarakat akan pentingnya keterlibatan mereka sehingga kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi akan lebih baik. Pelaksanaan PNPM MP harus disesuaikan dengan aturan yang tertuang dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO) dan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Kampong (BPK) perlu ditingkatkan sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Perlu adanya pelatihan bagi seluruh pengurus kelompok Simpan Pinjam Perempuan yakni ketua, sekretaris dan bendahara sehingga mereka dapat mengelola kelompok dengan baik serta adanya pembagian tugas yang seimbang. Pemerintah juga perlu memberikan pengarahan tentang masalah gender kepada setiap pihak yang terlibat dalam PNPM MP, sehingga pola pikir masyarakat tentang budaya patriakhi dapat berubah.
ABSTRAK
IMPLEMENTASI
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN
(Studi Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh Singkil)
Nama : Jhoan libra berutu NIM : 060903082
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Pembimbing : Dra. Asima Yanty Siahaan, MA., PhD
Implementasi merupakan proses yang sangat penting dalam suatu kebijakan. Kadangkala, implementasi yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. PNPM Mandiri adalah program yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat baik melalui penguatan modal maupun kelembagaan. Program ini diimplementasikan oleh Kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh kecamatan danau Paris. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh singkil?”
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, untuk mengetahui partisipasi perempuan dalam Kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh, mengetahui isu gender yang terjadi dalam pelaksanaan Kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh, serta untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam implementasi Kelompok Simpan Pinjam Perempuan Di Desa Napagaluh.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan 4 orang informan kunci dan 9 orang informan utama. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengumpulan data primer dan sekunder, dan teknik analisa data dilakukan dengan analisa data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi PNPM MP pada Simpan Pinjam Perempuan di Desa Napagaluh memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya perempuan yakni meningkatnya taraf hidup keluarga dengan adanya bantuan modal usaha, namun pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik. Ada beberapa pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan Petunjuk Teknis Operasionl (PTO), yakni ada perempuan yang tidak tergolong dalam Rumah Tangga Miskin (RTM) ikut serta dalam kelompok SPP, tidak berjalannya pertemuan rutin yang harus dilakukan setiap kelompok, dan penyalahgunaan dana pinjaman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Partisipasi masyarakat yang rendah dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan SDM yang rendah, sehingga masyarakat tidak mampu mengelola dana pinjaman tersebut. Isu gender juga menjadi suatu kendala yang mengakibatkan implementasi PNPM MP tidak berjalan dengan baik, akibat adanya pengaruh kekuasaan atau kedudukan pengurus yang disalahgunakan dan peran ganda dari ibi-ibu yang selain mencari nafkah juga harus mengurus keluarga..
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia sejak
tahun 1997 telah membawa dampak yang sangat luas bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan
aspek lainnya. Krisis ini telah membawa penderitaan bagi bangsa Indonesia, terutama bagi masyarakat miskin yang semakin miskin, ditambah lagi utang luar negeri yang sangat besar yang merupakan warisan dari pemerintahan Orde Baru.
Jika dilihat dari sudut pandang politik dan ketatanegaraan melalui sistem sentralisasi dan hegemoni negara atas seluruh aspek kehidupan bernegara,
kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru diarahkan secara strategis sebagai upaya penaklukan dan stabilitas yang tercantum dalam Trilogi Pembangunan. Pada masa ini dapat dikatakan hanya mempersiapkan struktur kekuasaan hirarkis
yang menguasai satuan-satuan kewilayahan dan wilayah privat atau pribadi. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pembangunan tidak didasarkan pada
permasalahan strategis rakyat, melainkan atas dasar kebutuhan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui suatu regulasi terpusat yang komprehensif dan bertahap. Pertumbuhan ekonomi nasional diharapkan mampu
menetes ke daerah-daerah dengan sendirinya (tricle down effect). Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru di atas merupakan suatu indikator atau
Dampak dari krisis yang dialami bangsa Indonesia sejak tahun 1997 yang paling nyata yakni kehidupan masyarakat miskin yang semakin miskin.
Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih bersifat multidimensional dengan akar permasalahan terletak pada sistem ekonomi dan politik bangsa. Dimana kebijakan yang ditetapkan pemerintah terkadang
malah membuat hidup masyarakat makin terasa sulit dari segi ekonomi khususnya, sehingga mereka tidak memiliki akses yang memadai dalam
kehidupan sehari-hari. Yang sering terjadi ketika kelompok masyarakat hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, mereka menjadi terpinggirkan, bahkan terabaikan.
Kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera tuntas karena keadaan kemiskinan membuat bangsa Indonesia menjadi lemah dan tidak
bermartabat. Kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia sejak periode 1996-2006 mengalami beberapa fluktuasi, yaitu tampak pada tabel di bawah ini ;
Tabel 1
Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Indonesia
Tahun Garis Kemiskinan Penduduk Miskin
Perkotaan Pedesaan Kota +
Desa
(fn) (f%)
1999 89.845 69.420 77.590 37,50 juta 18,20
2000 91.632 73.648 80.842 38,70 juta 19,14
2001 100.011 80.382 88.234 37,90 juta 18,41
2003 138.803 105.888 118.554 37,34 juta 17,42
2004 143.455 108.725 123.455 36,15 juta 16,66
2005 150.799 117.259 129.108 35,10 juta 15,97
2006 175.324 131.256 152.847 39, 05 juta 17,75
Sumber: Statistik Indonesia (BPS, diolah dari berbagai tahun terbitan), dan
keterangan Pers BPS (September 2006).
Dari tabel garis kemiskinan dan penduduk miskin di atas, dapat kita lihat bahwa persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun mengalami penurunan,
namun kalau dilihat dari segi kuantitas atau jumlah masyarakat, baik di desa maupun di kota terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan adanya
kesenjangan yang semakin luas antara yang miskin dengan yang kaya, sebab seperti yang telihat dalam tabel di atas laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Dalam masa krisis masyarakat miskin sangat sulit untuk bangkit karena ketidakberdayaan masyarakat itu sendiri. Hal ini khususnya terjadi pada
masyarakat pedesaan, karena potensi yang ada pada masyarakat desa umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat kota, terutama dari segi sumber daya manusianya sehingga masyarakat desa tidak memiliki kemampuan
yang baik untuk membangun walaupun didukung sumber daya alam yang melimpah.
Masalah kemiskinan hanya dapat di tuntaskan apabila pemerintah
melakukan kebijakan serius yang memihak kepada masyarakat miskin. Namun kebijakan yang dibuat justru sering kali kurang memihak kepada masyarakat
menyebabkan seseorang yang tidak miskin menjadi miskin. Dan pada dasarnya, permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua
pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun pada kenyataannya, penanganan selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal, terutama pada kawasan pedesaan.
Kerelawanan social dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga mulai
luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistematik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Selama ini, banyak program pembangunan dari pemerintah yang bertujuan
untuk mengurangi kasus kemiskinan. Program tersebut seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin,
Kompensasi BBM, dan lain-lain. Namun dari program-program tersebut tidak ada yang efektif, karena masyarakat hanya menerima bantuan langsung dan tidak ada partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri dalam upaya memperbaiki dan
meningkatkan kondisi kehidupan mereka.
Yang menjadi salah satu permasalahan dalam pembangunan adalah isu
jender, dimana peranan perempuan agak dikesampingkan sehingga mereka tdak dapat menyalurkan potensi yang mereka miliki terutama untuk peningkatan taraf hidup mereka. Selama ini yang terjadi adalah kondisi sosial yang sangat
menonjolkan peran laki-laki. Laki-laki dianggap kaum yang derajatnya lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga laki-laki memiliki hak yang lebih besar baik
maupun dalam pengambilan keputusan. Hal ini tentunya menyebabkan perempuan menjadi kaum marjinal yang selalu terpinggir dan tergusur.
Emansipasi wanita yang selama ini terkondisi sedikit banyak membantu perempuan untuk tetap eksis, akan tetapi perempuan masih saja terikat kepada norma-norma patriarkhi yang sangat mengikat dan membuat wanita harus
berusaha ekstra keras untuk mendapat posisi dan menjadikan tugas dan peranan yang banyak. Permasalahan gender sebenarnya bertumpu pada ketidaksetaraan
dan ketidakadian peran dan beban antara laki-laki dengan perempuan sehingga menghambat proses pembangunan yang berakhir pada kemiskinan.
Jadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan yang baik dalam
pengentasan kemiskinan adalah dengan memberdayakan perempuan dan adanya kesetaraan peranan dan beban antara laki-laki dengan perempuan dalam segala
aspek kehidupan.
Menjawab tantangan tersebut, dalam penanganan masalah kemiskinan yang dialami masyarakat Indonesia dengan cara melakukan pemberdayaan
terhadap masyarakat tersebut, maka presiden telah mengeluarkan Perpres No. 54 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), yang bertugas
untuk merumuskan langkah-langkah kongkrit dalam penanggulangan kemiskinan. Pada sidang kabinet tanggal 7 September 2006, presiden menetapkan kebijakan pemerintah untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan
kesempatan kerja melalui pemberdayaan masyarakat. Pada tanggal 12 September 2006 Menko Kesra, Menko Perekonomian dan menteri-menteri terkait sepakat
Ditindaklanjuti Menkokesra mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk alokasi dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat), Mendagri minta Gubernur,
Bupati/Walikota menyampaikan usulan lokasi, Bappenas merancang pendanaam PNPM. Presiden RI kemudian menyempurnakan nama PNPM menjadi PNPM-Mandiri.
Dalam pelaksanaannya, banyak daerah yang menjadi sasaran PNPM-Mandiri baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. PNPM PNPM-Mandiri Perkotaan
merupakan program untuk pemberdayaan masyarakat kota yang lebih di kenal dengan P2KP, sedangkan untuk masyarakat desa dinamakan PNPM Mandiri Pedesaan.
Seiring dengan pelaksanan PNPM Mandiri Pedesaan, Desa Napagaluh merupakan salah satu desa yang menjadi target dari PNPM Mandiri Pedesaan,
yang terletak di Kecamatan Danau Paris, Kabupaten Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam. Desa Napagaluh memiliki potensi alam yang cukup baik untuk peningkatan ekonomi masyarakatnya. Dengan kehadiran PNPM Mandiri
Pedesaan, kemampuan masyarakat dalam mengolah sumber daya alam tersebut seyoigianya akan semakin baik, sehingga berpengaruh pula terhadap peningkatan
taraf hidup masyarakatnya.
Di Desa Napagaluh telah dibentuk suatu program yang bernama Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan yang
ada di desa tersebut. Simpan Pinjam Perempuan ini dibentuk seiring hadirnya PNPM Mandiri.
adanya kendala pada rendahnya partisipasi dari masyarakat yang terlibat di dalamnya, kemudian pelaksanaan yang tidak sesuai dengan Petunjuk Teknis
Operasional (PTO).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Implementasi Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (Studi Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh Singkil, NAD).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : ”Bagaimanakah Implementasi
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh singkil?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yakni:
1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam
Perempuan (SPP) di Desa Napagaluh, Kec. Danau Paris, Kab. Aceh Singkil.
2. Untuk mengetahui partisipasi perempuan dalam Kelompok Simpan Pinjam
3. Untuk mengetahui isu gender yang terjadi dalam pelaksanaan PNPM MP
di Desa Napagaluh.
4. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam implementasi
Kelompok Simpan Pinjam Perempuan Di Desa Napagaluh.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Secara subyektif, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama perkuliahan di Departemen Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Secara akademis, sebagai referensi bagi kepustakaan Departemen Ilmu
Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.
1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Program
Dalam melakukan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang berkesinambungan, dapat dilakukan melalui penetapan sebuah program atau
proyek pembangunan yang perumusannya dilakukan melalui perencanaan program.
program dalam proses perencanaan sosial mencakup keputusan tentang apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam proses perumusan program (Suharto,2005:71), ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu;
1. Idetiifikasi program alternatif adalah penyusunan program yang
merupakan tahap yang membutuhkan kreatifitas, karenanya sebelum satu program dipilih ada baiknya jika diidentifikasikan beberapa program
alternatif.
2. Penentuan hasil program merupakan bagian dari identifikasi program
alternatif yang penentuan hasilnya apa yang akan diperoleh dari setiap
program alternatif. Hasil tersebut menunjuk pada keluaran atau outputs yang terukur. Hasil ini dapat dinyatakan dalam tiga tingkatan, yaitu
pelaksanaan tugas, unit pelayanan, dan jumlah konsumen.
3. Penentuan biaya adalah informasi tentang biaya mencakup keseluruhan
biaya program maupun biaya perhasil.
4. Kriteria pemilihan program adalah setelah program-program alternatif
diidentifikasikan, maka harus dilakukan pemilihan diantara mereka.
1.5.2 Kebijakan Publik
a. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik menurut Thomas Dye (Tangkilisan, 2003:1) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan ataupun tidak melakukan (public
policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat
luas karena kebijakan public mencakup suatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah
menghadapi suatu masalah public.
Easton (1969) memberikan pengertian kebijakan public sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang
keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari
sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Sedangkan menurut Anderson (Tangkilisan, 2003:2), kebijakan public
sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah :
1. kebijakan public selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. kebijakan public berisi tindakan-tindakan pemerintah.
3. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
4. kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan
pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Ada dua proses dalam studi kebijakan publik menurut Jones (Tangkilisan,
2003:3), yaitu:
1. proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu
sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah
itu, dan bagaimana tindakan pemerintah.
2. refleksi tentang bagaimana seseorang bereaksi terhadap masalah, terhadap
kebijakan negara, dan memecahkannya.
Sementara itu, menurut Charles O. Jones (Tangkilisan, 2003:3) kebijakan terdiri dari komponen-komponen:
1. Goal atau tujuan yang diinginkan,
2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan,
3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,
4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program, 5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program.
Dari pengertian-pengertian di atas, jadi pada dasarnya studi tentang
pendekatan maupun paradigma sesuai dengan fokus dan lokus dari obyek penelitian atau obyek kajian.
b. Kategori Kebijakan Publik
Dalam H Soenarko (2003:61), Joiynt mengatakan bahwa kebijaksanaan itu dapat berarti yang berbeda-beda untuk orang-orang yang berbeda. Usaha untuk
mengadakan klasifikasi/ tingkatan-tingkatan kebijaksanaan itu adalah seperti halnya menbagi-bagi tingkatan suhu udara.
Mananggapi hal tersebut, maka A. Simon kemudian dapat membagi klasifikasi kebijakan itu menjadi tiga macam policy, yaitu:
1. Legislative policy, yaitu kebijaksanaan yang dibuat landasan dan pegangan
bagi pimpinan (management) dalam melaksanakan tugasnya, atau kebijaksanaan yang banyak mengandung norma-norma yang harus
diselenggarakan oleh pimpinan tersebut. Oleh karene itu, kebijaksanaan ini lebih banyak memberikan ketentuan-ketentuan yang mengandung pemberian hak-hak, kewajiban, larangan-larangan dan
keharusan-keharusan, dan lebih banyak dibuat oleh legislative.
2. Management policy, merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pimpinan pusat (top-management) atau pejabat-pejabat teras.
3. Working policy, yaitu kebijaksanaan lainnya yang dibuat untuk
pelaksanaan (operation) dilapangan untuk tercapainya tujuan akhir yang
tersimpul dari kebijaksanaan itu.
Kebijaksanaan pemerintah di Indonesia yang sesuai dengan azas hidup
keinginan dan kehendak dari rakyat (socio-democratis), akan tetapi juga harus mengacu pada kepentingan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 (socio-nasionalisme).
Adapun bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah: UU/ Peraturan Pemerintah pengganti UU, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana lainnya, Peraturan Menteri, dan Inetruksi Menteri. Selain itu, masih terdapat Peraturan-peraturan Daerah
Tingkat I dan Tingakt II serta Keputusan-keputusan Gubernur, dan Bupati/ Walikota kepala daerah.
1.5.3. Implementasi Kebijakan
a. Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijkan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan
mempunyai kedudukan yang penting dalam kebijakan publik.
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (Tangkilisan, 2003: 17),
hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sementara menurut Pressman dan Wildavsky
(1984), implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk
Sementara Van Meter dan Van Horn (Putra, Fadillah, 3003:81) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu atau kelompok-kelompok, pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Implementasi terjadi hanya setelah undang-undang
ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut. Dan merupakan salah satu tahap atau variabel penting yang berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan publik.
Dalam implementasi keputusan menurut Jones (Tangkilisan, 2003:18), ada
tiga kegiatan utama yang paling penting, yaitu;
1. Penafsiran, yaitu kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam
pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2. Organisasi, yaitu unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam
tujuan kebijakan.
3. Penerapan, yakni berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan,
upah dan lain-lain.
Sementara itu, Anderson (Putra Fadillah, 2003:82) mengatakan bahwa implementasi kebijakan dapat dilihat dari empat aspek, yakni:
1. Siapa yang mengimplementasikan kebijakan, maksudnya yaitu bahwa
ogranisasi kemasyarakatan, bahkan individu juga sebagai pelaksana kebijakan.
2. Hakekat dari proses administrasi. Untuk menghindari pertentangan atau
perbedaan persepsi dalam pelaksanaan antar implementor (unit birokrasi maupun non-birokrasi), proses administrasi harus selalu berpijak pada
standard prosedur operasional (sebagai acuan pelaksanaannya).
3. Kepatuhan (kompliansi) kepada kebijakan, atau sering disebut sebagai
perilaku taat hukum. Karena kebijakan selalu berdasarkan hukum atau peraturan tertentu, maka pelaksana kebijakan tersebut juga harus taat kepada hukum yang mengaturnya. Untuk menumbuhkan sistem kepatuhan
dalam implementasi kebijakan, memerlukan sistem kontrol dan komunikasi yang terbuka, serta penyediaan sumber daya untuk melakukan
pekerjaan. Sedangkan untuk dapat mewujudkan implementasi yang efektif, Islamy (1997:107) menyebutnya dengan tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
pemerintah atau negara.
4. Efek atau dampak dari implementasi kebijakan. Menurut Islamy (1997:
119) setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Ini berarti bahwa konsep dampak
menekankan pada apa yang terjadi secara aktual pada kelompok yang ditargetkan dalam kebijakan. Jadi, dengan melihat konsekuensi dari
implementasi kebijakan dan juga dapat dijadikan sebagai masukan dalam proses perumusan kebijakan yang akan meningkatkan kualitas kebijakan
tersebut.
b. Model Implementasi Kebijakan
Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik, dikenal beberapa
model implementasi kebijakan (Tangkilisan, 2003:20), antara lain: 1. Model Gogin
Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Gogin ini dapat mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni: 1). Bentuk dan isi kebijakan, termasuk
didalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, 2). Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif
lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan 3). Pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.
2. Model Grindle
Grindle menciptakan menciptakan model implementasi sebagai kaitan
antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari: 1). Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, 2). Tipe-tipe manfaat, 3). Derajat
perubahan yang diharapkan, 4). Letak pengambilan keputusan, 5). Pelaksanaan program, 6). Sumber daya yang dilibatkan. Isi sebuah kebijakan akan
sejumlah kecil 1 unit pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: 1). Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang
terlibat, 2). Karakteristik lembaga penguasa, dan 3). Kepatuhan dan daya tanggap. Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan.
3. Model Meter dan Horn
Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu: 1).
Standard kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, 2). Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, 3). Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran
digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai, 4). Karakteristik pelaksana, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial
yang menentukan berhasil tidaknya suatu program, 5). Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan, dan 6). Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.
4. Model deskriptif
William N. Dunn (1994) mengemukakan bahwa model kebijakan dapat
diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting diantaranya adalah: 1). Perbedaan menurut tujuan, 2). Bentuk penyajian dan 3). Fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model
kebijakan adalah: 1). Model deskriptif dan 2). Model normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan dan atau meramalkan sebab dan akibat
kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhsilan dan kegagalan pelaksanaan dilapangan.
1.5.4. Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam
mewujudkan pembangunan masyarakat (dalam arti pendekatan partisipatif), yang menekankan pada unsur manusia sebagai subjek pembangunan. Pemberdayaan
merupakan jawaban atas realitas ketidakberdayaan.
Menurut Wrihatnolo dan Riant (2007:1), istilah pemberdayaan diambil dari bahasa asing, yaitu empowerment, yang juga dapat bermakna pemberian
kekuasaan karena power bukan sekedar daya, tetapi juga kekuasaan sehingga kata daya tidak saja bermakna mampu, tetapi juga mempunyai kuasa. .
Menurut Siahaan, Rambe, dan Mahidin (2006: 11), pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan seseorang atau kelompok, sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya
sebagaimana tuntutan kinerja tugas tersebut. Pemberdayaan merupakan proses yang dapat dilakukan melalui berbagai upaya, seperti pemberian wewenang,
meningkatkan partisipasi, memberikan kepercayaan sehingga setiap orang atau kelompok dapat memahami apa yang akan dikerjakannya, yang pada akhirnya akan berimplikasi pada peningkatan pencapaian tujuan secara efektif dan efisien
(Siahaan, Rambe, dan Mahidi, 2006: 13). Selanjutnya menurut Sumodiningrat (1999: 134), pemberdayaan berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian.
dengan diri mereka termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa
percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
1.5.5. Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Subejo dan Suprianto, memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki
kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah perwujutan
capita building yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia melalui
pengembangan kelembagaan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, sarana dan prasarana, serta pengembangan 3P, yaitu:
1. Pendampingan, yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, 2. Penyuluhan, yang dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang
terjadi di masyarakat, dan
3. Pelayanan, yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketetapan distribusi
asset sumber daya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat.
maksimal. Program yang mengikutsertakan masyarakat memiliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali
kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan (empowering) pihak yang diberdayakan dengan pengalaman merancang, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan
ekonomi (Kartasasmita, 1996: 249).
Dalam pemberdayaan, diperlukan suatu perencanaan yang didalamnya
terkandung prinsip-prinsip pemberdayaan, yaitu adanya pihak-pihak yang memberdayakan (community worker) dan pihak yang diberdayakan (masyarakat). Antara kedua pihak harus saling mendukung sehingga masyarakat sebagai pihak
yang akan diberdayakan bukan hanya dijadikan objek, tetapi lebih diarahkan sebagai subjek (pelaksana).
Kartasasmita (1996:192-193) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui 3 proses, yaitu:
1. menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumber
daya manusia atau masyarakat tanpa daya,
2. memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga
diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana,
3. memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh
Menurut Shardlow (Adi,2001:54-55), pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana kelompok atau individu komunitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat adalah;
1. Masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.
3. Proses pelaksanaan pembangunan sudah berdasarkan hukum dan peraturan
yang berlaku.
4. Proses pembangunan terlebih dahulu disosialisasikan kepada masyarakat. 5. Respon masyarakat terhadap kegiatan program pembangunan tersebut
sudah baik.
6. Telah melibatkan masyarakat dalam musyawarah peran pembangunan. 7. Hasil pelaksanaan pembangunan dapat dinikmati masyarakat.
8. Pemerintah dapat mempertanggungjawabkan hasil pemberdayaan
pelaksanaan pembangunan.
9. Terlaksananya demokrasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan. 10. Sesuai dengan permintaan atau harapan masyarakat dengan program
pemerintah yang terlaksana.
Menurut Soegijoko (1997:179), terdapat tiga pendekatan dalam
pemberdayaan masyarakat. Pertama, pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni berpihak pada orang miskin.
selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu di dampingi oleh pendamping yang profesional sebagai fasilisator,
komentator dan dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian.
1.5.6. Isu Gender a. Pengertian
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan atau bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur,
ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan demikian, gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki yang dibentuk/dikonstruksikan oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Kekuatan kategori gender dalam masyarakat telah membuat kita hidup
dalam cara-cara yang telah tergenderkan. Selain itu, mustahil pula bagi kita untuk tidak memunculkan perilaku-perilaku yang tergenderkan saat berinteraksi dengan
orang lain. Jadi, dapat disimpulkan bila pelestarian kategori gender sangat bergantung pada kuatnya penanaman diperilaku keseharian. Laki-laki atau perempuan keduanya tidak akan pernah bisa menjadi kategori sosial yang penting
tanpa menampilkan perilaku gender (mengenderkan atau digenderkan) secara proporsional (Itsna, 2007: 75-76).
mengakomodasikan kesetaraan, keseimbangan, sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan. (Murniati, 2004: 75).
Selain itu didalam pelaksanaan Menurut Bernard (Sugihastuti 2007: 313-314), perempuan membatasi kebebasan semata-mata kepada urusan keluarga dan urusan rumah tangga lambat-laun akan menghambat pertumbuhan mentalnya dan
akibatnya adalah kemampuan rasional yang berlahan-lahan akan mengalami kemunduran. Pada hal pekerjaan rumah tangga bertentangan dengan kemungkinan
terwujudnya manusia secara utuh dalam kegiatan-kegiatan sosial. b. Pembedaan Laki-laki dan Perempuan Dalam Masyarakat
1. Pembedaan kontrol (kuasa) dan akses (peluang)
Kontrol atau kuasa adalah kemampuan untuk menguasai dan menentukan berbagai hal. Apabila seseorang mengontrol sesuatu artinya orang tersebut berhak
melakukan apa saja terhadap apa yang dikontrol/dikuasainya. Pada umumnya yang terjadi pada kini, laki-laki lebih memiliki kontrol maupun akses dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam keluarga laki-laki berkedudukan sebagai
kepala rumah tangga dan berhak memberikan keputusan untuk seluruh permasalahan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Demikian halnya dalam akses,
misalnya dalam perolehan pendidikan akan lebih mendahulukan pendidikan anak laki-laki dari pada perempuan.
2. Pembedaan Peran
Pembedaan peran antara laki-laki dengan perempuan, kegiatan, atau kerja biasanya berdasarkan kegiatan yang menghasilkan uang, memelihara dan merawat
3. Pembedaan Hak
Karena perbedaan kontrol, perbedaan peran, juga aturan-aturan dalam
masyarakat, antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang berbeda. Beberapa aturan yang berada dalam masyarakat misalnya hak waris, hak atas tanah, hak untuk berbicara, hak untuk mengambil keputusan, hak untuk mendapatkan hasil
kebun, hak atas keuntungan, hak untuk mendapat informasi dan pendidikan yang layak dan sebagainya.
4. Pembedaan Status atau Posisi
Sudah barang tentu karena perbedaan kuasa, peran dan hak, maka posisi atau status dalam masyarakat menjadi berbeda. Sebagai contoh, seorang
bangsawan seburuk apapun pendapatnya lebih didengar dibandingkan pendapat seorang hamba. Demikian juga pada laki-laki dan perempuan, anggapan bahwa
seorang laki-laki adalah pemimpin, menjadikan pendapatnya lebih dihargai dibandingkan perempuan.
c. Bentuk-bentuk Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender 1) Marginalisasi perempuan
Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan
kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang, seperti penggusuran dari kampung halaman, ekploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu
bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.
Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin
kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.
Selain itu, perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan, diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh laki-laki.
2) Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis
kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran
agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada
nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh, apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi
kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari istri. 3) Pandangan Stereotipe
Stereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang
berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan). Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai
berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga saja, tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat,
bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan
laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan.
Label kaum perempuan sebagai ‘ibu rumah tangga’ merugikan, jika hendak aktif dalam ‘kegiatan laki-laki’ seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama mengakibatkan a-pa saja
yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4) Kekerasan
Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam berbagai bentuk. Kata ‘kekerasan’ merupakan
terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga scara emosional terusik.
Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di
dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman,
5) Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda
yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan
perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedaan perlakuan, terutama bila bergerak dalam
bidang publik dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.
1.5.7. Partisipasi Dalam Pembangunan a.Pengertian Partisipasi Masyarakat
Kata partisipasi sering dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa pembangunan, pengambilan keputusan, kebijakan, pelayanan pemerintah.
Sehingga partisipasi itu memiliki arti yang penting dalam kegiatan pembangunan, dimana pembangunan itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan masyarkat.
Bhattacharyya (dalam Ndraha,1990: 102) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama, sedangkan Mubyarto (dalam
membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Kumorotomo (1999:112-114) mengatakan bahwa partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan warganya. Secara umum corak
partisipasi warga Negara dapat dibedakan menjadi empat macam: 1. Partisipasi dalam pemilihan (electoral participation) 2. Partisipasi kelompok (group participation)
3. Kontak antara warga Negara dengan pemerintah (citizen government
contacting)
4. Partisipasi warga negara langsung
Begitu juga halnya dengan Soetrisno (dalam Tangkilisan, 2005:320)
partisipasi ditempatkan sebagai style of development yang berarti bahwa partisipasi dalam kaitannya dengan proses pembangunan haruslah diartikan sebagai usaha mentransformasikan sistem pembangunan dan bukan sebagai suatu
bagian dari usaha system mainternance. Untuk itu, partisipasi seharusnya diartikan sebagai suatu nilai kerja bagi masyarakat maupun pengelola pembangunan
sehingga partisipasi berfungsi sebagai mesin pendorong pembangunan.
Partisipasi masyarakat juga dapat diartikan sebagai pemberdayaan masyarakat, peran sertanya dalam kegiatan penyusunan perencanaan, dan
implementasi program/proyek pembangunan dan merupakan aktualisasi dan kesediaan dan kemauan masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi terdahap
Sementara Soehardjo (dalam Tangkilisan 2005: 321) mengatakan bahwa dalam pembangunan, partisipasi semua unsur masyarakat dengan kerja sama
sukarela merupakan kunci utama bagi keberhasilan pembangunan. Dalam hal ini partisipasi berfungsi menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri (self-reliance) dalam usaha memperbaiki taraf hidup masyarakat.
Davis (dalam Tangkilisan 2005: 321) memberikan pengertian partisipasi sebagai berikut: “Participation is defined as an individual as mental and
emosional involvement in a group situasion that encourages him to contribute to
group goal and share responsibility for them.”
Bila diterapkan dalam pembangunan, maka pendapat Davis ini
mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1. Adanya keterlibatan mental dan emosi individu dalam melakukan
aktifitas kelompok;
2. Adanya motivasi individu untuk memberikan kontribusi tergerak yang
dapat berwujud barang, jasa, buah pikiran, tenaga, dan keterampilan; 3. Timbulnya rasa tanggung jawab dalam diri individu terhadap aktivitas
kelompok dalam usaha pencapaian tujuan.
Dalam hubungannya dengan palaku-pelaku yang terlibat dalam aktifitas pembangunan, Nelson (dalam Tanggkilisan 2005:323) menyebutkan adanya dua macam bentuk partisipasi, yaitu:
1. Partisipasi Horizontal yaitu partisipasi di antara sesama warga atau
anggota masyarakat, di mana masyarakat mempunyai kemampuan
2. Partisipasi Vertikal yaitu partisipasi antara masyarakat sebagai suatu
keseluruhan dengan pemerintah, dalam hubungan dimana masyarakat
berada pada posisi sebagai pengikut atau klien.
Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan dan keluaran. Sebagai masukan, partisipasi masyarakat berfungsi menumbuhkan
kemampuan masyarakat untuk berkembang secara madiri. Selain itu, partisipasi masyarakat sebagai masukan pembangunan dapat meningkatkan usaha perbaikan
kondisi dan taraf hidup masyarakat yang bersangkutan, dan sebagai keluaran partisipasi dapat digerakkan atau dibangun dengan memberikan motivasi melalui berbagai upaya, seperti Inpres Bantuan Desa, LKMD, KUD, dan lain sebagainya
(Ndraha, 1990:109).
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi hal yang sangat
penting ketika diletakkan di atas keyakinan bahwa masyarakatlah yang paling penting tahu apa yang menjadi kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Maka di dalam partisipasi masyarakat dalam pembagunan dapat
dibagi dalam empat tahapan (Kaho 2007: 127) yaitu: 1. Partisipasi dalam Proses Pembuatan Keputusan
Dalam tahap ini partisipasi masyarakat sangat mendasar sekali, terutama karena putusan politik yang diambil menyangkut nasib mereka secara keseluruhan. Masyarakat hanya akan terlihat dalam aktifitas selanjutnya apabila mereka merasa ikut andil dalam menentukan apa yang akan dilaksanakan.
2. Partisipasi dalam Pelaksanaan
Partisipasi ini merupakan tindakan selanjutnya dari tahap pertama, partisipasi dalam pembangunan akan terlihat ketika masyarakat ikutserta dalam memberi kontribusi guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud tenaga, uang, barang material, ataupun informasi yang berguna bagi pelaksanaan pembangunan
3. Partisipasi dalam Memamfaatkan Hasil Pembangunan
pembangunan dengan adil tanpa ada pengecualian. Setiap masyarakat akan mendapatkan bagian sebesar kontribusi atau pengorbanan yang diberikan. Mamfaat yang dapat diterima dalam pembangunan ini yaitu mamfaat materialnya; mamfaat sosialnya; dan mamfaat pribadi.
4. Partisipasi dalam Evaluasi
Suatu kegiatan dapat dinilai apabila memberi mamfaat yang sepantasnya bagi masyarakat. Maka dalam tahap ini, masyarakat diberi kesempatan untuk menilai sendiri hasil yang sudah didapat dalam pembangunan, dan masyarakat menjadi hakim yang adil dan jujur dalam menilai hasil yang ada.
b.Strategi Untuk Menggerakkan Partisipasi
Usaha untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat dilakukan dengan menggerakkan partisipasi. Program
pembangunan selama ini hanya melibatkan pemerintah saja sehingga hasilnya kurang mengena pada kebutuhan masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan hal yang sangat penting ketika diletakkan atas dasar keyakinan bahwa masyarakatlah yang paling tahu apa yang mereka butuhkan dan masyarakat jugalah permasalahan yang
mereka hadapi. Namun kenyataan yang masih terlihat bahwa di setiap program pembangunan, partisipasi masyarakat belum terlihat secara keseluruhan.
Keadaaan masyarakat yang kurang melibatkan dirinya dalam program pembangunan dilihat dari belum adanya sistem yang memberikan ruang yang aman memadai atau belum tersedianya suatu frame work bagi proses partisipasi
masyarakat. Dan disamping itu masih rendahanya kemampuan untuk mengembangkan partisipasi akibat tidak terbiasanya masyarakat melibatkan diri dalam pemabangunan.
didalamnya. Maka untuk menjamin hal itu terjadi harus ada terciptanya, (Juliantara, 2004:37-38) :
1. Politik Will dari pemerintah daerah untuk membuka ruang dan arena
bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Karena selama ini atau selama orde lama dikondisikan dengan menerima apa yang diperintahkan oleh pemerintah pusat, dan tidak dibiasakan untuk melakukan program secara partisipatif.
2. Adanya jaminan atau garansi bagi orang yang berpatisipasi. Bahwa partisipasi merupakan syarat dari setiap program pembangunan, otomatis harus melibatkan stakeholders.
3. Masyarakat sebagai stakeholder harus belajar juga untuk berpartisipasi, apabila ruang dan arena sudah disediakan dan jaminan sudah diberikan maka masyarakat tidak akan takut lagi untuk mengeluarkan aspirasi dan berpatisipasi dalam proses pembangunan.
Selain di atas menurut Ndraha (1990:104) untuk menciptakan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dapat dilakukan usaha sebagai berikut:
1. Disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata.
2. Dijadikan stimulasi terhadapi masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban ( respon ) yang dikehendaki.
3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan tingkah laku yang dikehendaki secara berlanjut.
Selain hal di atas Bryant dan White (dalam Ndraha 1990:105) juga
menyebutkan cara lain dalam meningkatkan partisipasi masyarakat yaitu:
1. Proyek pembangunan desa yang dirancang secara sederhana dan mudah dikelola oleh masyarakat.
2. Organisasi dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menggerakkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
1.5.8. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)
a. Gambaran Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)
PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan
sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan
melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang
berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/
meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan
keterlibatan yang lebih besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil
yang dicapai.
PNPM adalah kerangka bagi konsolidasi program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan efektivitas program dalam mempercepat penanggulangan kemiskinan, meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat. Pendekatan
menjadi modal sosial yang membuka secara penuh dan mendekatkan sumber daya capital atau modal ekonomi langsung kepada masyarakat.
Kemandirian masyarakat dengan menguatkan modal sosialnya didukung oleh modal ekonomi, modal SDM (fasilisator/ penggerak pemberdayaan masyarakat) perlu harmonisasi berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat dan
perubahan dari ”skema proyek” menjadi ”skema program”, melalui: 1. Locus kegiatan di tingkat kecamatan.
2. Prioritas pada desa/ kelurahan dan kelompok masyarakat miskin.
3. Prinsip dasar, strategi, indikator pencapaian, serta berbagai mekanisme dan
prosedur. 4. PNPM
b. Dasar Kebijakan PNPM Mandiri
Perpres No. 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), yang diketuai oleh Menkokesra dan bertugas untuk merumuskan langkah-langkah kongkrit dalam penanggulangan kemiskinan. Hasil
Sidang Kabinet pada tanggal 7 September 2006: diperlukan percepatan penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Selanjutnya TKPK
pada tanggal 12 September menyepakati untuk menindaklanjuti hasil sidang kabinet tersebut dengan merumuskan sebuah program yang bernama PNPM. Menkokesra kemudian menerbitkan SK Menkokesra No.
c. Tujuan PNPM Mandiri 1. Tujuan Umum
Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri.
2. Tujuan Khusus
1. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok
masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
2. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar,
representatif, dan akuntabel.
3. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).
4. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan.
5. Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas
pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat dalam menanggulangi
kemiskinan di wilayahnya.
6. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan
7. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan tekhnologi tepat guna, informasi
dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.
d. Ciri-ciri Utama PNPM Mandiri
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut:
1. Menggunakan pendekatan partisipasi masyarakat.
2. Melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat.
3. Kegiatan program dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat.
e. Prinsip Dasar PNPM Mandiri
PNPM Mandiri menekankan prinsip-prinsip dasar berikut ini:
1) Bertumpu pada pembangunan manusia. Pelaksanaan PNPM Mandiri senantiasa bertumpu pada peningkatan harkat dan martabat manusia
seutuhnya.
2) Otonomi. Dalam pelaksanaan PNPM Mandiri, masyarakat memiliki kewenangan secara mandiri untuk berpartisipasi dalam menentukan dan
mengelola kegiatan pembangunan secara swakelola.
3) Desentralisasi. Kewenangan pengelolaan kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah atau masyarakat sesuai dengan kapasitasnya.
5) Partisipasi. Masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan dan secara gotong royong
menjalankan pembangunan.
6) Kesetaraan dan keadilan gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahap pembangunan dan dalam
menikmati secara adil manfaat kegiatan pembangunan.
7) Demokratis. Setiap pengambilan keputusan pembangunan dilakukan secara musyarawah dan mufakat dengan tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat miskin.
8) Transparansi dan Akuntabel. Masyarakat harus memiliki akses yang memadai terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan
dipertanggunggugatkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administratif.
9) Prioritas. Pemerintah dan masyarakat harus memprioritaskan pemenuhan kebutuhan untuk pengentasan kemiskinan dengan mendayagunakan secara optimal berbagai sumberdaya yang terbatas.
10) Kolaborasi. Semua pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan kemiskinan didorong untuk mewujudkan kerjasama dan sinergi antar pemangku kepentingan dalam penanggulangan kemiskinan.
11) Keberlanjutan. Setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak hanya saat ini
12) Sederhana. Semua aturan, mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan PNPM Mandiri harus sederhana, fleksibel, mudah dipahami, dan mudah
dikelola, serta dapat dipertanggungjawabkan oleh masyarakat. f. Sasaran PNPM Mandiri Pedesaan
1. Lokasi Sasaran
Pada tahun 2009, lokasi PNPM Mandiri Pedesaan meliputi seluruh kecamatan pedesaan di Indonesia yang dalam pelaksanannya dilakukan secara
bertahap. Untuk tahun 2008, ketentuan pemilihan lokasi sasaran berdasrkan ketentuan:
a. Kecamatan-kecamatan yang tidak termasuk kategori “kecamatan
bermasalah dalam PPK,”
b. Kecamatan-kecamatan yang diusulkan oleh pemerintahan daerah dalam
skema kontribusi pendanaan. 2. Kelompok Sasaran
a. Rumah Tangga Miskin (RTM),
b. Kelembagaan masyarakat di pedesaan,
b. Kelembagaan pemerintah lokal.
g. Pendekatan PNPM Mandiri
Pendekatan atau upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan program adalah pembangunan
yang berbasis masyarakat dengan:
1. Menggunakan kecamatan sebagai lokus program untuk
2. Memposisikan masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan
pelaku utama pembangunan pada tingkat lokal.
3. Mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses
pembangunan partisipatif.
4. Menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan
karakteristik sosial, budaya dan geografis.
5. Melalui proses pemberdayaan yang terdiri atas pembelajaran, kemandirian,
dan keberlanjutan. h. Pendanaan
1. Besarnya Alokasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
Alokasi BLM untuk setiap kecamatan dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu:
a. Alokasi berdasarkan keberadaan desa tertinggal
Kecamatan yang mempunyai desa tertiggal yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka BLMnya berdasrkan jumlah desa tertinggal yang ada di
kecamatan tersebut. Data desa tertinggal merujuk pada data yang ditetapkan oleh Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal. Alokasi BLM kecamatan yang
mempunyai desa tertinggal, dengan ketentuan sebagai berikut: Tabel 2
Ketentuan Alokasi Dana BLM Kecamatan yang Mempunyai Desa Tertinggal
Jumlah Desa Tertinggal
Alokasi BLM (Rupiah)
< 3 1.000.000.000
4 1.250.000.000
5 1.500.000.000
7 1.750.000.000
b. Alokasi berdasarkan ratio penduduk miskin dan jumlah penduduk di
kecamatan
Untuk kecamatan-kecamatan yang tidak mempunyai desa tertinggal yang telah ditentukan pemerintah, dialokasikan dengan menggunakan rasio penduduk
miskin dan jumlah penduduk dalam kecamatan, dengan ketentuan sebagai berikut: Tabel 3
Ketentuen Alokasi Dana BLM dengan Menggunakan Rasio Penduduk Miskin dan Jumlah Penduduk dalam Kecamatan