• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perilaku Penderita Tb Paru Dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan Tb Paru Pada Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Perilaku Penderita Tb Paru Dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan Tb Paru Pada Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH

TERHADAP PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU PADA

KELUARAGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN 2008

TESIS

Oleh

TONNY LUMBAN TOBING

057012032/AKK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH

TERHADAP PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU

PADA KELUARGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN 2008

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)

dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan/Epidemiologi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TONNY LUMBAN TOBING

057012032/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

 

Telah diuji pada

Tanggal : 02 Desember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. dr. Sutomo Kasiman, FIHA.FACC.Sp.PD.Sp.JP

(4)

Judul Tesis

: PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN

KONDISI RUMAH TERHADAP PENCEGAHAN

POTENSI PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA

DI KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Tonny Lumban Tobing

Nomor Pokok

: 057012032

Program Studi

: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi

: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof.dr.Sutomo Kasiman, FIHA.FACC.SpPD.SpJP) (dr.Surya Dharma, MPH)

Ketua

Anggota

Ketua Program Studi

Direktur

(Dr.Drs.Surya Utama,MS) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.M.Sc)

(5)

 

PERNYATAAN

PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DANKONDISI RUMAH

TERHADAP PENCEGAHANPOTENSIPENULARAN TBPARU

PADA KELUARGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak teradapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan

sepanjang pengetahun saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini

disebutkan dalam daftar pustaka.

(6)

ABSTRAK

TB Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Dan Banyak

menyerang kelompok usia produktif. WHO (World Health Organization) tahun 1995,

memperkirakan insiden TB Paru setiap tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka

mortality sekitar 140.000 kasus. Penyakit TB Paru di Indonesia diperkirakan setiap

tahun 450.000 kasus TB Paru baru. Kasus TB Paru di Sumatera Utara tahun 2004

ditemukan 12.145 kasus BTA (+) dan di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2005

ditemukan sebanyak 5.303 kasus.

Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh perilaku penderita dan

keluarga serta kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB Paru di

Kabupaten Tapanuli Utara. Jenis penelitian bersifat analitik dengan rancangan case

control. Sampel dalam penelitian adalah penderita TB Paru di Kabupaten Tapanuli

Utara tahun 2008 dengan kriteria kasus adalah penderita TB Paru sebanyak 100 orang

dan kriteria kontrol adalah kelompok masyarakat yang tidak menderita TB Paru di

Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 100 orang. Data diperoleh dengan wawancara

menggunakan kuesioner kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian berdasarkan uji bivariat menunjukkan ada 8 (delapan)

variabel yang memiliki hubungan secara signifikan yaitu sikap (p=0,000), kepadatan

hunian (p=0,000), ventilasi (p=0,000), pencahayaan (p=0,000), pendidikan (p=0,000),

pengetahuan (p=0,000), pembinaan petugas (p=0,000), dukungan keluarga (p=0,000)

dengan potensi penularan TB Paru. Variabel yang tidak memiliki hubungan

signifikan adalah lantai rumah (p=0,128).

Hasil uji multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik ditemukan

bahwa faktor yang paling besar memberikan pengaruh terhadap potensi penularan TB

Paru adalah pendidikan (Nilai B=1,819). Pengaruh variable Independen berdasarkan

uji regresi logistik terhadap potensi Penularan TB Paru diprediksikan sebesar 67,1%.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara untuk

meningkatan program pencegahan melalui berbagai macam cara promosi kesehatan,

advokasi ke stake holder, peningkatan kerja sama lintas sektoral yang lebih

kompherensif dan adekuat, meningkatkan peran petugas dalam melaksanakan strategi

DOTS, memberdayakan masyarakat, meningkatkan kemitraan, dan kepada

pemerintah daerah diharapkan lebih memperhatikan sumber daya manusia,

penyediaan peralatan dan perbekalan dalam pencegahan penularan TB Paru.

Kata Kunci : TB Paru, Perilaku, Kondisi Rumah, Keluarga

(7)

 

ABSTRACT

Lung Tubercolusis is health problem of the people in the world and mostly

attack those in a productive age group. In 1995, the World Health Organization

(WHO) estimated that the incident of lung tubercolusis was 583,000 cases every year

with the mortality rate of 140,000 cases. In Indonesia, it is estimated that there are

450,000 lung tubercolusis cases every year. 12,145 cases of BTA (+) were found in

Sumatera Utara in 2004 and 5,303 cases were found in Tapanuli Utara district in

2005.

The purpose of this analytical study with case control design is to analyze the

influence of the behavior of lung Tubercolusis patient and family as well as home

condition in an attempt to prevent the spread of lung Tubercolusis in Tapanuli Utara

district. The samples for this study are the Lung Tubercolusis patients in Tapanuli

Utara district in 2008 with the criteria that 100 Lung Tubercolusis patients belonged

to the case group and 100 persons who are not suffering from Lung Tubercolusis

belonged to control group. The data for this study were collected through

questionnaire-based interviews and the data obtained were analyzed through

Chi-square test.

The result of bivariate analysis shows that 8 variables which have significant

relationship with the potential of Lung Tubercolusis spread are attitude (p = 0.000),

population density (p = 0.000), ventilation (p = 0.000), lighting (p = 0.000),

education (p = 0.000), knowledge (p = 0.000), workes’ development (p = 0.000) and

family support (p = 0.000). the variable which does not have significant relationship

is the floor of the house (p = 0.128).

The result of multivariate analysis using logistic regression test shows that the

factor which has a biggest influence on the potential of Lung Tubercolusis spread is

education (B = 1.819) . The influence of independent variable based on logistic

regression test on the potential of Lung Tubercolusis spread was predicted for 67.1%.

It is suggested that Tapanuli Utara Health Service improve the prevention

program through various kinds of ways such as health promotion, advocation to stake

holder, more comprehensive and adequate inter-sectoral cooperation, improving the

role of workers in implementing DOTS strategy, community empowerment, and

partnership development. The district government of Tapanuli Utara is expected to

pay more attention to human resources and supply and equipment provision in

preventing the spread of Lung Tubercolusis.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan

pemurah yang menjadi tumpuan hidup dan harapan penulis dalam menyelesaikan

tesis ini dengan judul “Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi

Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di

Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008”. Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk

memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan Pendidikan S2 pada Sekolah

Pascasarjana USU Medan.

Penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, bantuan dan

kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan penuh ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terimakasih,

kepada Bapak Prof.dr. Sutomo Kasiman, FIHA. FACC. Sp.PD. Sp.JP dan Bapak

dr. Surya Dharma, MPH selaku pembimbing yang memberi perhatian, dukungan

dan pengarahan hingga selesai tesis ini.

Terimakasih tiada terkira juga kami sampaikan dengan tulus kepada Bapak

Drs. Tukiman, MKM dan Bapak dr. Taufik Ashar, MKM selaku tim penguji yang

telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

Di samping itu penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Prof. dr. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara Medan.

(9)

 

2.

Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Medan.

3.

Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah

Pascasarjana USU dan seluruh staf yang telah banyak membantu.

 

4.

Bapak Dr.Viktor, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli

Utara.

5.

Bapak Torang Lumban Tobing selaku Bupati Kabupaten Tapanuli Utara.

6.

Ibu Ruminta Sitompul selaku Kepala IBI Kabupaten Tapanuli Utara.

7.

Ayahanda G. Lumban Tobing yang telah banyak memberi dukungan secara moril

dan material selama penulis melakukan perkuliahan.

8.

Istri tercinta Hetty M. Girsang dan anak-anakku tersayang chandra, citra, michael

yang selalu setia mendampingi dalam segala situasi. Terimakasih atas doa,

perhatian, dukungan dan semangat yang tiada henti demi keberhasilan penulis.

9.

Sahabat handaitaulan yang memberikan dukungan moral dan spritual yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat

Indonesia, khususnya Kabupaten Taput.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Tonny Lumban Tobing,

Tempat/Tanggal Lahir

: Porsea, 07 September 1963

Agama

: Kristen

Alamat

: JL. Raja Johannes No. 92 Hutabarat Tarutung

Jumlah Anggota Keluarga

: 3 (tiga) Orang

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1969 – 1975

: SD HKBP Medan

Tahun 1975 – 1979

: SMP Kesatria Medan

Tahun 1979 – 1982

: SMA N 5 Medan

Tahun 1983- 1996

: FK. UMI Medan

Tahun 2005 sekarang

: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Medan, Program Studi Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan.

RIWAYAT PEKERJAAN

1996 – 1999

: Kapus Parsingkaman Kec. Adian Koting Kab. Taput

2000 – 2001

: Kepala RSU. HKBP Nainggolan Samosir

2001– 2002

: Kapus Parlilitan Kec. Parlilitan Kab. Taput

2002 – 2005

: Kapus Butar Kec. Pagaran Kab. Taput

2005- sekarang

: Kapus Siatas Barita Kec. Siatas Kab. Taput

(11)

11 

 

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR... viii

RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1.

Latar Belakang ... 1

1.2.

Permasalahan ... 6

1.3.

Tujuan Penelitian ... 6

1.4.

Hipotesis ... 7

1.5.

Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Etiologi ... 8

2.2. Epidemiologi TB Paru ... 9

2.3. Penularan TB Paru ... 10

2.3.1. Gejala Penyakit TB Paru ... 11

2.3.2. Diagnosis TB Paru ... 12

2.3.3. Tipe Penderita TB Paru ... 15

2.4. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan ... 17

2.4.1. Prinsip – Prinsip Pendidikan Kesehatan ... 17

2.4.2. Perilaku Kesehatan ... 23

2.5. Lingkungan Perumahan ... 24

2.5.1. Ventilasi ... 24

2.5.2. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian ... 25

2.5.3. Lantai Rumah ... 26

2.5.4. Pencahayaan Ruangan ... 26

2.6. Landasan Teori ... 27

(12)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 29

3.3. Populasi dan Sampel ... 29

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.5. Definisi Operasional ... 31

3.6. Metode Pengukuran Data ... 33

3.7. Metode Analisa Data ... 33

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 35

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 35

4.1.1. Letak Geografis dan Astronomis ... 35

4.1.2. Luas Wilayah ... 36

4.1.3. Sosiodemografi ... 36

4.1.4. Sarana dan Tenaga Kesehatan ... 38

4.2. Analisis Univariat ... 39

4.2.1. Faktor Predisposisi ... 40

4.2.2. Faktor Enabling ... 43

4.2.3. Faktor Reinforcing ... 45

4.3. Analisis Bivariat ... 46

4.3.1. Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 47

4.3.2. Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 48

4.3.3. Hubungan Sikap dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 48

4.3.4. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 49

4.3.5. Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 50

4.3.6. Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 50

4.3.7. Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 51

4.3.8. Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 52

(13)

13 

 

4.3.9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 52

4.4. Analisis Multivariat... 53

BAB 5. PEMBAHASAN ... 56

5.1. Faktor Predisposisi ... 56

5.2. Faktor Enabling... 58

5.3. Faktor Reinforcing ... 61

5.4. Strategi Pencegahan Penyakit TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara . 63

5.5. Aplikasi Model Regresi Logistik ... 64

5.6. Keterbatasan Peneliti... 65

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

6.1. Kesimpulan ... 67

6.2. Saran ... 68

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul

Halaman

3.1.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...

31

4.1.

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di

Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

36

4.2.

Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten

Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

37

4.3.

Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten

Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

38

4.4.

Jumlah Fasilitas Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

39

4.5.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kelompok

Umur di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008...

40

4.6.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Jenis

Kelamin di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008... 41

4.7.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pendidikan

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

41

4.8.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pengetahuan

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

42

4.9.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Sikap

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

42

4.10.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kepadatan

Hunian di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008... 43

4.11.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Ventilasi

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

44

4.12.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pencahayaan

Ruangan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008... 44

(15)

15 

 

4.13.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Lantai Rumah

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

45

4.14.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pembinaan

Petugas di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

45

4.15.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Dukungan

Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

46

4.16.

Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

47

4.17.

Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

48

4.18.

Hubungan Sikap dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

48

4.19.

Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

49

4.20.

Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

50

4.21.

Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

50

4.22.

Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

51

4.23.

Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

52

4.24.

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

52

4.25. Uji

Regresi

Logistik

untuk Identifikasi Variabel Dominan dalam

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul

Halaman

2.1.

Skema Modifikasi Teori Blum dan Green ...

22

2.2.

Kerangka Konsep ...

28

(17)

17 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Halaman

1.

Kuesioner Penelitian ...

71

2.

Master Data Penelitian ...

88

3.

Surat Izin Penelitian ...

90

4.

Surat Keterangan Selesai Penelitian ...

92

(18)

BAB  1 

PENDAHULUAN 

 

1.1.Latar Belakang 

Derajat kesehatan merupakan salah satu indikator kemajuan suatu masyarakat. 

Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi, 

pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan sosial budaya (Depkes RI, 2006) 

TB paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan 

keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi 

yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara 

yaitu percikan ludah, bersin dan batuk. Penyakit TB paru biasanya menyerang paru akan 

tetapi dapat pula menyerang organ tubuh lain (Aditama, 2002). 

TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit TB paru 

banyak menyerang kelompok usia produktif. Kebanyakan berasal dari kelompok sosial 

ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah (Aditama, 1994). 

WHO (World Health Organization) tahun 1995, memperkirakan insiden TB paru 

setiap tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka mortality sekitar 140.000 kasus. TB paru 

merupakan  penyebab  kematian  ketiga  terbesar  setelah  penyakit  kardiovaskuler  dan 

penyakit saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian 

(19)

19 

 

TB  paru  adalah  penyakit  yang  erat  kaitannya  dengan  ekonomi  lemah  dan 

diperkirakan 95% dari jumlah kasus TB paru terjadi di negara berkembang yang relatif 

miskin. Menurut WHO tahun 1999, Indonesia merupakan penyumbang penyakit TB paru 

terbesar nomor tiga di dunia sebanyak 583.000 kasus setelah India sebanyak 2 juta kasus 

dan Cina sebanyak 1,5 juta kasus (Depkes RI, 2002). 

Survei prevalensi TB paru yang dilaksanakan di beberapa negara seperti Ethiopia 

189 per 100.000 penduduk BTA (+) pada kelompok umur di atas 14 tahun (2001), Cina 122 

per 100.000 penduduk dengan BTA (+) (2000), Philipina 3,1 BTA(+) dan 8,1 kultur (+) per 

1.000 penduduk, dan Korea 70 BTA (+) per 100.000 penduduk (1995) (Gotama, 2002). 

Penyakit TB paru juga merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diperkirakan 

setiap tahun 450.000 kasus  baru TB paru,  dimana sekitar 1/3 penderita  terdapat di 

puskesmas, 1/3 di pelayanan rumah sakit, klinik pemerintah maupun swasta dan 1/3 

ditemukan  di  unit  pelayanan  kesehatan  yang  tidak  terjangkau  seperti  pengobatan 

tradisional. Penderita TB paru di Indonesia sebagian besar terjadi pada kelompok usia 

produktif dan sosial ekonomi rendah (Depkes RI,2004). 

Upaya penurunan TB paru di Indonesia telah di mulai sejak diadakan simposium 

pemberantasan TB paru di Ciloto tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangan 

penanggulangan TB paru belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat 

(20)

Profil kesehatan Indonesia tahun 2004, cakupan penemuan kasus TB paru dengan 

BTA (+) sebanyak 128.901 kasus. Propinsi dengan Case Detection Rate (CDR) terbesar adalah 

Sulawesi Utara dengan ditemukan 3.056 kasus BTA (+), Gorontalo ditemukan 1.088 kasus 

BTA (+), Sulawesi Selatan diperkirakan BTA (+) 9793 kasus (Depkes RI, 2004). 

Insiden dan prevalensi dari hasil survei TB paru tahun 2004, tampak ada perbedaan 

insiden  dan  prevalensi  antara  wilayah  di  Indonesia.  Insiden  BTA  (+)  bervariasi  yaitu 

64/100.000 penduduk untuk wilayah DI Yogyakarta dan Bali, 107/100.000 penduduk untuk 

propinsi di Pulau Jawa (kecuali DI Yogyakarta) 160/100.000 penduduk untuk Sumatera dan 

210/100.000 penduduk untuk propinsi propinsi di Wilayah Indonesia Timur (Depkes RI, 

2004). 

Kasus TB paru di Propinsi Sumatera Utara berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 

tahun 2004 diperkirakan BTA (+)  14.310  kasus dan ditemukan  12.145 kasus BTA (+) 

(84,87%). Berdasarkan profil kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2004, kasus TB paru 

sebanyak 12.145 orang dengan angka kesembuhan 67,07%, (8145 orang) tahun 2005 

penderita TB paru sebanyak 14.548 orang dengan angka kesembuhan sebesar 53,98% (7853 

orang). 

Profil kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2005, penyakit TB paru terbanyak 

berada  di  Kabupaten  Tapanuli  Selatan  dengan  jumlah  kasus  sebanyak  5.303  orang, 

Kabupaten Deli Serdang dengan jumlah kasus sebanyak 816 orang, Kabupaten Labuhan Batu 

(21)

21 

 

Profil Kesehatan Kab. Tapanuli Utara tahun 2005, dilaporkan jumlah penderita TB 

paru sebanyak 182 orang, tahun 2006 sebanyak 216 orang, tahun 2007 sebanyak 434 orang. 

Sedangkan  tahun  2008  dilaporkan  jumlah  penderita  TB  paru  sebanyak  534  orang. 

Peningkatan TB paru di Tapanuli Utara yang signifikan terjadi pada tahun 2007 sebesar 

101,8%. Peningkatan kasus TB paru tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor 

seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah. 

Pengamatan yang dilakukan terhadap perilaku masyarakat di Kabupaten Tapanuli 

Utara yang tidak patuh dalam pengobatan TB paru membuat bakteri TB paru menjadi 

resisten pada tubuh. Pengawasan selama proses pengobatan yang berlangsung tidak dapat 

terlaksana  dengan  baik  oleh  keluarga  maupun  penderita  sendiri.  Penderita  merasa 

pengobatan  yang  dijalani  tidak  memberikan  dampak  yang  signifikan  sebagai  upaya 

penyembuhan penyakit TB paru yang di derita dalam waktu yang relatif singkat. 

Perilaku sebahagian masyarakat di Tapanuli Utara juga menganggap bahwa penyakit 

TB  paru  merupakan  penyakit  memalukan  sehingga  tidak  mau  segera  mengunjungi 

pelayanan kesehatan untuk segera mendapatkan pengobatan. Masyarakat di Tapanuli Utara 

yang masih memiliki adat istiadat yang kental dan terkadang masih ada yang percaya 

terhadap kekuatan gaib, menganggap bahwa penyakit TB paru merupakan penyakit yang 

disebabkan oleh kekuatan gaib sehingga penderita TB paru melakukan pengobatan secara 

(22)

baru yang tercatat. Selain perilaku, lingkungan terutama kondisi rumah juga memiliki 

peranan dalam penyebaran bakteri TB paru ke orang yang sehat. Bakteri TB paru yang 

terdapat di udara saat penderita TB paru bersin akan dapat bertahan hidup lebih lama jika 

keadaan udara lembab dan kurang cahaya. Penyebaran bakteri TB paru akan lebih cepat 

menyerang orang sehat jika berada dalam rumah yang lembab, kurang cahaya dan padat 

hunian. 

Sikap masyarakat di Tapanuli Utara yang beranggapan bahwa TB paru merupakan 

penyakit batuk biasa yang dapat sembuh dengan sendirinya dengan mengkonsumsi obat 

batuk  biasa  yang  dijual  secara  bebas  juga  menghambat  upaya  penanggulangan  dan 

penyembuhan TB paru. Penderita TB paru yang  merasa batuknya merupakan batuk biasa 

datang ke puskesmas setelah bakteri TB paru menyebar ke paru paru dan penderita 

semakin lemah. 

Menurut observasi lapangan yang dilakukan pada bulan April 2008 kondisi rumah 

masyarakat  di  Tapanuli  Utara  yang  kebanyakan  kurang  cahaya  baik cahaya matahari 

langsung maupun cahaya buatan menyebabkan bakteri TB paru dapat bertahan hidup 

selama 3 bulan. Dengan kondisi bakteri TB paru yang bertahan hidup selama 3 bulan dan 

rumah yang padat hunian mempunyai peluang besar untuk menimbulkan kasus baru dalam 

satu rumah. 

Berdasarkan survei awal tahun 2008 dan pengamatan yang dilakukan peneliti 

terhadap jumlah kasus TB paru, perilaku masyarakat dan kondisi rumah di Tapanuli Utara 

(23)

23 

 

penyakit TB paru dengan memperhatikan perilaku penderita TB paru dan keluarga serta 

kondisi rumah penderita sekaligus sebagai upaya penurunan dan penanggulangan kasus TB 

paru di Kabupaten Tapanuli Utara. 

1.2  Permasalahan 

Upaya  penanggulangan  TB  paru  telah  menjadi  program  nasional  dengan 

memberikan pengobatan gratis kepada penderita TB paru. Tetapi program tersebut belum 

dapat terlaksana secara optimal dengan adanya insiden baru setiap tahunnya. Di Kabupaten 

Tapanuli Utara penderita TB paru baru selalu muncul setiap tahunnya meskipun program 

pemerintah telah dijalankan secara optimal. Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul 

suatu permasalahan yaitu bagaimana pengaruh perilaku dan kondisi rumah dalam upaya 

pencegahan penularan TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara. 

1.3.  Tujuan Penelitian 

Penelitian  ini  bertujuan  untuk  menganalisa  pengaruh  perilaku  penderita  dan 

keluarga serta kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kabupaten 

Tapanuli Utara. 

 

 

 

(24)

1.4  Hipotesis 

Ada pengaruh perilaku penderita dan keluarga serta kondisi rumah masyarakat 

dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara. 

1.5.  Manfaat Penelitian 

1. Sebagai  bahan  masukan  dan  evaluasi  dalam  menetapkan  serta  menentukan 

kebijakan kesehatan dalam upaya pencegahan penularan dan penurunan angka 

penyakit TB paru. 

(25)

xxv 

 

BAB  2 

TINJAUAN PUSTAKA 

 

2.1. Etiologi 

  Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk 

basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua 

golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang 

mengandung basil tuberkulosis paru. 

  Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai 

Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada 

tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama 

baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum 

(KP). 

Penyakit  TBC biasanya  menular  melalui udara  yang  tercemar dengan  bakteri 

Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak

anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering 

masuk dan terkumpul di dalam paru paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama 

pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh 

darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir 

(26)

getah bening, dan lain lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu 

paru paru.   

 

2.2. Epidemologi TB Paru 

  Survei prevalensi TB paru tahun 2004 di Indonesia dengan jumlah sampel 86.000 

rumah tangga menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang berada di pedesaan lebih 

rendah  di  banding  masyarakat  perkotaan  mengenai  gejala gejala  penyakit  TB  paru, 

penularan TB paru. Hasil survei juga menemukan bahwa sikap masyarakat pedesaan dalam 

pencarian pengobatan TB paru lebih rendah dibanding masyarkat di perkotaan (Depkes RI, 

2004). 

  Penelitian follow up yang dilakukan Gotama (2002), di Tangerang menyimpulkan 

bahwa sanitasi perumahan yang jelek, pemakaian sumber air minum, dan air bersih yang 

tidak terlindungi menyebabkan peningkatan kasus TB paru sebesar 0,5%. 

  Penelitian yang dilakukan Firdous (2005) di poli paru Rumah Sakit Persahabatan 

jakarta menemukan bahwa faktor faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan 

kesembuhan /ketidaksembuhan orang yang sedang berobat TB paru adalah merokok (OR = 

7,78), penghasilan (OR = 7,56), pengetahuan tentang TB paru (OR = 5,51), sikap terhadap 

proses poengobatan Tb paru (OR = 6,27), perilaku (OR  

= 6,83), keadaan rumah di pandang dari segi kesehatan (OR = 6,68), program OAT gratis drai 

pemerintah (OR = 4,15), PMO (OR = 4,52), keadaan gizi (OR = 9,95). 

(27)

xxvii 

 

  Penelitian yang dilakukan Sukana (1998), di Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang, 

diperoleh angka ketaatan minum obat penderita dengan memberdayakan tenaga anggota 

keluarga lebih baik/berbeda makna dibandingkan dengan tanpa pemanfaatan anggota 

keluarga tenaga PMO. Angka konversi BTA (+) setelah terapi intensif (2 bulan) adalah 81,8% 

dan 62,5% untuk kasus dengan PMO dari anggota keluarga tanpa PMO, sedangkan angka 

konversi BTA ( ) akhir terapi adalah masing masing 100%. Angka konversi dahak poenderita 

setelah terapi intensif pada akhir terapi antara dua kelompok tidak berbeda makna (P>0,05). 

2.3.  Penularan TB paru 

  Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA (+). Penularan terjadi pada 

waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman bakteri ke udara 

dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan 

di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet 

tersebut terhirup ke dalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh 

lainnya  melalui  sistem  peredaran  darah,  sistem  saluran  limfe,  saluran  nafas,  atau 

penyebaran langsung ke bagian bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002). 

  Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang 

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin 

menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat 

kuman) maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB 

paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara 

(28)

  Perlu diketahui bahwa basil tuberkulosis dalam paru tidak hanya keluar ketika 

penderita TB paru batuk. Basil tuberkulosis juga dapat keluar bila penderita bernyanyi, 

bersin atau bersiul. Di Jepang dan Inggris telah ada beberapa kali laporan menunjukkan 

penularan tuberkulosis pada murid sekolah, terutama yang duduk di barisan depan yang  

tertular dari guru yang mengajar di depan kelas (Aditama, 1994). 

  Hal penting yang perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang terhirup basil 

tuberkulosis akan mejadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil tuberkulosis. Risiko 

orang terinfeksi TB paru untuk menderita TB Paru pada ARTI (Annual Risik of Tuberculosis 

Infenction) sebesar 1%. Hal ini berarti diantara 100.000 penduduk rata rata terjadi 100 

penderita TB paru baru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif (Depkes RI, 

2002). 

2.3.1  Gejala Penyakit TB Paru 

  Gejala penyakit pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru 

dan gejala pada seluruh tubuh secara umum. Gejala di paru tergantung pada banyaknya 

jaringan paru yang sudah rusak karena gejala penyakit TB paru ini berkaitan bagaimana 

bentuk kerusakan paru yang ada (Aditama, 1994). 

  Gejala paru seseorang yang dicurigai menderita TB paru dapat berupa: 

1. Batuk lebih dari 3 minggu 

2. Batuk berdarah 

3. Sakit di dada selama lebih dari 3 minggu 

(29)

xxix 

 

4. Demam selama lebih dari 3 minggu 

  Semua gejala tersebut diatas mungkin disebabkan penyakit lain, tetapi bila terdapat 

tanda tanda yang manapun diatas, dahak perlu dilakukan pemeriksaan (Crofton, 2002) 

Gejala tubuh penderita tuberkulosis secara umum dapat berupa; 

1. Keadaan umum, kadang kadang keadaan penderita TB paru sangat kurus, berat 

badan menurun, tampak pucat atau tampak kemerahan 

2. Demam, penderita TB paru pada malam hari kemungkinan mengalami kenaikan 

suhu badan secara tidak teratur 

3. Nadi, pada umumnya penderita TB paru meningkat seiring dengan demam 

4. Dada, seringkali menunjukkan tanda tanda abnormal. Hal paling umum adalah 

krepitasi halus di bagian atas pada satu atau kedua paru. Adanya suara pernapasan 

bronkial pada bagian atas kedua paru yang menimbulkan Wheezing terlokalisasi 

disebabkan oleh tuberkulosis (Crofton, 2002). 

2.3.2.  Diagnosis TB Paru 

  Diagnosis  TB  paru  ditegakkan  berdasarkan  gejala  klinik,  pemeriksan  jasmani 

radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberkulin tidak 

mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian 

besar masyarakat Indonesia sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis karena tingginya 

prevalensi  TB  paru.  Uji  tuberkulin  positif  hanya  menunjukkan  bahwa  orang  yang 

bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2004). 

(30)

  Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala respiratorik dan 

gejala sistemik. 

a. Gejala respiratorik dapat berupa 

1) Batuk lebih atau sama dengan 3 minggu 

2) Batuk darah 

3) Sesak napas 

4) Nyeri dada 

b. Gejala sistemik 

1)  Demam 

2)  Gejala  sistemik  lain:  malaise,  keringat  malam,  anoreksia,  berat  badan 

menurun. 

2. Pemeriksaan Jasmani 

  Pemeriksaan jasmani akan dijumpai sangat tergantung luas dan kelainan struktural 

paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya atau sulit sekali menemukan kelainan. 

Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan 

segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat 

ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas lemah, ronkhi basa, tanda

tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Aditama, 2002). 

3. Pemeriksaan Radiologik 

   Pemeriksaan radiologi standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. 

Pemeriksaan lain atas indikasi:L foto apiko lordotik, oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto 

(31)

xxxi 

 

toraks tuberkulosis dapat memberi  gambaran  bermacam macam bentuk  (multiforom). 

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: 

a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan 

segmen superior lobus bawah. 

b. Kapitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan atau nodular. 

c. Bayangan bercak milier. 

d. Efusi pleura unilateral. 

Gambaran radiologist yang dicurigai lesi TB inaktif: 

a. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas 

b. Kalsifikasi atau fibrotik 

c. Fibrothorax dan atau penebalan pleura 

4. Pemeriksaan laboratorium 

  Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan bakteriologi,   pemeriksaan 

darah dan uji tuberkulin. 

a. Pemeriksaan bakteriologik 

  Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti 

yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahkan untuk pemeriksaan bakteriologi 

ini dapat berasal dari sputum, bilasan bronkhitis, jaringan paru, cairan pleura 

b. Pemeriksaan darah 

  Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk 

(32)

dipakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologi penderita, 

sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta 

kemungkinan sebaga predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar 

limfosit dapat menggambarkan biologik/daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan 

supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal 

tidak menyingkirkan tuberkulosis. 

 

c. Uji Tuberkulin 

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB paru di darah 

dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang 

tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti apalagi pada 

orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang 

dilakukan sebelumnya atau apabila ada kepositifan uji yang di dapat besar sekali atau timbul 

bulae. 

2.3.3.  Tipe Penderita TB Paru 

  Tipe  penderita  ditetntukan  berdasarkan  riwayat  pengobatan sebelumnya. Ada 

beberapa tipe penderita, yaitu: 

1. Kasus baru 

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah 

menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 

(33)

xxxiii 

 

2. Kambuh (Relaps) 

Adalah  penderita  TB  paru  yang  sebelumnya  pernah  mendapat  pengobatan 

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil 

pemeriksaan dahak BTA positif. 

3. Pindahan (Transfer In) 

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten/kota lain 

dan kemudian pindah berobat ke kabupaten/kota lain. Penderita pindahan tersebut harus 

membawa surat rujukan/pindah. 

4. Lalai 

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan 

atau lebih, kemudian  datang  kembali berobat. Umumnya penderita  tersebut kembali 

dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 

5. Lain lain 

a. Gagal 

  Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif 

pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih). 

b. Kronis 

  Adalah  penderita  dengan  hasil  pemeriksaan  basil  BTA  positif  setelah  selesai 

pengobatan ulang kategori 2 (depkes RI, 2002). 

(34)

Strategi : 

1. Paradigma Sehat 

a.  Meningkatkan  penyuluhan  untuk  menemukan  kontak  sedini    mungkin,  serta 

meningkatkan cakupan program. 

b.  Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat. 

c.  Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu. 

2. Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO 

a.  Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 

b.  Diagnosa TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. 

c.  Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan 

pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). 

d.  Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. 

e.  Pencatatan  dan  pelaporan  secara  baku  untuk  memudahkan  pemantauan  dan 

evaluasi program penanggulangan TBC. 

3. Peningkatan mutu pelayanan. 

a.  Pelatihan seluruh tenaga pelaksana. 

b.  Ketetapan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. 

c.  Kualitas labolatorim diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check). 

(35)

xxxv 

 

d.  Untuk menjaga kualitas pemeriksaan labolatorium, dibentuklah KPP (Kelompok 

Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopik) 

dan beberapa PS (Puskesmas Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat 

dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana mandiri). 

e.  Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan. 

f.  Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus. 

g.  Keteraturan menelan obat sehari – hari diawasi oleh pengawas oleh Pengawas 

Menelan Obat (PMO). Keteraturan pengobatan  tetap merupakan tanggung jawab 

petugas kesehatan. 

h.  Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar. 

2.4.  Pendidikan dan Perilaku Kesehatan 

2.4.1.  Prinsip Prinsip Pendidikan Kesehatan 

Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu penting 

untuk menunjang program program kesehatan lain, tetapi pada kenyataannya pengakuan 

ini  tidak  didukung  oleh  kenyataan.  Program program  pelayanan  kesehatan  kurang 

melibatkan pendidikan kesehatan, meskipun ada tetapi kurang efektif. Argumentasi yang 

dikemukakan untuk hal ini adalah karena pendidikan kesehatan itu tidak segera dan tidak 

jelas memperlihatkan hasilnya. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan itu tidak segera 

(36)

pendidikan  adalah  behavior  investment  jangka  panjang.  Hasil  investment  pendidikan 

kesehatan  baru  dapat  dilihat  beberapa  tahun  kemudian.  Dalam waktu  yang pendek 

(immediate  impact)  pendidikan  kesehatan  hanya  menghasilkan  perubahan  atau 

peningkatan pengetahuan masyarakat, sedangkan peningkatan pengetahuan saja, belum 

berpengaruh langsung terhadap indikator kesehatan. 

Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku, sebagai hasil jangka 

menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan 

akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran 

(outcome) pendidikan kesehatan. Hal ini berbeda dengan program kesehatan yang lain, 

terutama program pengobatan yang dapat langsung memberikan hasil (immediate impact) 

terhadap penurunan kesakitan. 

Menurut H.L. Blum di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang sudah maju.  

Belum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap 

status kesehatan, dan berturut turut disusul oleh perilaku, memberikan andil nomor dua,  

dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil 

terhadap suatu kesehatan (Notoatmodjo,2002). 

Bagaimana proporsi pengaruh faktor faktor tersebut terhadap status kesehatan 

dinegara negara  berkembang  terutama  di  Indonesia,  belum  ada  penelitiannya.  Bila 

dilakukan penelitian, mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar. Meskipun 

variabel ekonomi di sini belum mewakili seluruh variabel lingkungan, tetapi paling tidak 

pengaruh perilaku lebih besar daripada variabel lain. 

(37)

xxxvii 

 

Selanjutnya  Green  dan  Marshall  (2005)  menjelaskan  bahwa  perilaku  itu 

dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : faktor faktor predisposisi 

(predisposing factors), faktor faktor yang mendukung (enabling factor) dan faktor faktor 

yang  memperkuat  atau  mendorong  (reinforcing  factor).  Oleh  sebab  itu,  pendidikan 

kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor 

pokok tersebut. 

Faktor  predisposisi  adalah  faktor  yang  dapat  mempermudah  atau 

mempredisposisikan terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat. Beberapa 

komponen yang termasuk faktor predisposisi yang berhubungan langsung dengan perilaku, 

antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai nilai, dan menyadari kemampuan dan 

keperluan seseorang atau masyarakat terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini berkaitan 

dengan motivasi dari individu atau kelompok untuk melakukan sesuatu tindakan ,    (Green 

dan Marshall, 2005).  

Sebagai contoh perilaku masyarakat  untuk memeriksakan kesehatannya akan lebih 

baik, jika masyarakat tahu apa manfaat periksa kesehatan tahu siapa dan dimana periksa 

kesehatan tersebut dilakukan. Demikian pula, perilaku tersebut akan dipermudah jika 

masyarakat yang bersangkutan mempunyai sikap yang positif terhadap periksa kesehatan. 

Kepercayaan, tradisi, sistem, nilai di masyarakat  setempat  juga dapat mempermudah 

(positif) atau mempersulit (negatit) perilaku seseorang, (Notoatmodjo, 2005). 

Pada  umumnya,  faktor  enabling  memudahkan  penampilan  seseorang  atau 

(38)

pelayanan kesehatan dan masyarakat yaitu ketersediaan, kemudahan, dan kesanggupan. 

Termasuk juga keadaan fasilitas orang untuk bertindak seperti ketersediaan transportasi 

atau ketersediaan program kesehatan. Faktor enabling juga meliputi keterampilan orang, 

organisasi, atau masyarakat untuk melaksanakan perubahan perilaku, (Green dan. Marshall, 

2005). 

Faktor  enabling  menjadi  target  langsung  dari  organisasi  masyarakat  atau 

perkembangan organisasi dan intervensi training dalam suatu   program dan terdiri dari 

somber daya dan keahlian baru yang diperlukan untuk melakukan tindakan  kesehatan dan 

tindakan kemasyarakatan yang diperlukan   untuk mengubah lingkungan. Sumber daya 

meliputi organisasi, individu dan kemudahan dari fasilitas 

pelayanan kesehatan, sekolah dan klinik. Keahlian kesehatan perorangan seperti pendidikan 

kesehatan sekolah, merupakan tindakan kesehatan khusus. Keahlian dalam rnempengaruhi 

masyarakat, digunakan untuk tindakan sosial dan perubahan masyarakat dalam melakukan 

tindakan kesehatan, (Green dan Marshall, 2005). 

Menurut  Notoatmodjo  (2005),  faktor  enabling  adalah  faktor  pemungkin  atau 

pendukung  seperti  fasilitas,  sarana,  atau  prasarana  yang  mendukung  atau  yang 

memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.  

Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dengan adanya 

umpan balik (feedback) dan dukungan sosial. Faktor reinforcing meliputi dukungan sosial, 

pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga kesehatan. Dalam pengembangan 

program kesehatan, sumber daya yang mendukung sangat tergantung pada tujuan dan jenis 

(39)

xxxix 

 

program. Dalam program kesehatan kerja, sumber daya manusia adalah pekerja, supervisor, 

pemimpin; dan anggota keluarganya dapat 

menjadi  penguat    program.  Dalam  perencanaan  perawatan  pasien,  sebagai  penguat 

(reinforcement) adalah perawat pasien, dan anggota keluarganya, (Green dan Marshall 

2005). 

Reinforcing dapat positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku orang di 

dalam lingkungannya (Green dan Marshall, 2005).  

Pendapat Blum dan Green dapat dimodifikasi sebagai berikut : 

Keturunan 

 

Pelayanan             Status 

Lingkungan 

Kesehatan         Kesehatan 

       

      Perilaku 

 

 

 

Predisposing Factors 

(pengetahuan, sikap,  kepercayaan, tradisi, 

Enabling Factors 

(ketersediaan sumber sumber/fasilitas)

Reinforcing Factors 

(sikap dan perilaku 

(40)

 

Pemeberdayaan Pada  Masyarakat Pemasaran  Sosial Pengembangan  Organisasi

 

Komunikasi 

Dinamika 

Training  Pengembangan  organisasi 

 

 

 

Pendidikan Kesehatan 

 

 

      Sumber : Notoadmodio (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. 

Gambar 2.1.: Skema Modifikasi Teori Blum dan Green 

 

 

Dari skema tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, peranan pendidikan 

kesehatan  adalah  melakukan  intervensi  faktor  perilaku,  sehingga  perilaku  individu, 

kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai nilai kesehatan. Dengan perkataan lain 

pendidikan kesehatan adalah suatau usaha untuk menyediakan kondisi  

psikologis  dari  sasaran,  agar  mereka  berperilaku  sesuai  dengan  tuntutan  nilai nilai 

kesehatan (Notoatmodjo. S, 2003). 

2.4.2. Perilaku Kesehatan 

Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang 

bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia 

[image:40.612.117.504.119.424.2]
(41)

xli 

 

itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, 

mencakup : berbicara, berjalan, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan 

internal seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk 

kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dibedakan 

oleh  organisme  tesebut  baik  dapat  diamati  secara  langsung  atau  tidak  langsung 

(Notoatmodjo. S, 2003). 

Perilaku  dan  gejala  perilaku  yang  tampak  pada  kegiatan  organisme  tersebut 

dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan 

bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup, 

termasuk perilaku manusia. Heriditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsep 

dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk itu untuk selanjutnya. Di sisi lain, 

lingkungan adalah merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. 

Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya 

perilaku disebut proses belajar. 

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang 

berkaitan  dengan  sakit  dan  penyakit,  sistem  pelayanan  kesehatan,  makanan,  serta 

lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respon dan stimulus atau. 

perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan 

sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata). Sedangkan stimulus atau rangsangan di 

sini terdiri 4 (empat) unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan 

(42)

2.5.   Lingkungan Perumahan 

  Faktor  lingkungan  memegang  peranan  penting  dalam  menentukan  terjadinya 

proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. 

Secara garis besar lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. 

  Lingkungan fisik perumahan berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung 

maupun tidak terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik meliputi 

udara,  kelembaban,  air,  pencemaran  udara,  pencahayaan,  ventilasi  rumah,  dan  lain 

sebagainya. 

2.5.1.  Ventilasi 

  Ventilasi  adalah  suatu  usaha  untuk  memelihara  kondisi  atmosphere  yang 

menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia di dalam rumah. Atmosphere yang ideal 

adalah bila udaranya kering tapi sejuk dan sirkulasi gerakan angin yang terus menerus. Inilah 

sebenarnya fungsi ventilasi, menyediakan udara segar dan melenyapkan udara yang jenuh 

dan tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi khemis. 

  Mc.  Nall  dalam  buku  perumahan  sehat  karangan  Pandapotan  Lubis,  bahwa 

temperatur optimal di dalam rumah adalah 73 – 770F (23 – 250C), kelembaban antara 20 – 

60%. Josef Lubart menganjurkan batas antara 680F dengan kelembaban relatif 50% sampai 

dengan 760F. 

  Udara yang bersih merupakan  komponen utama  di dalam rumah  dan sangat 

diperlukan oleh  manusia  untuk hidup  secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan 

(43)

xliii 

 

masalah ventilasi. Untuk itu luas ventilasi alamiah yang permanen seharusnya dirancang 

10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999). 

  Penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara mendapatkan 

bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai OR = 6,176, p = 

0,003.  

2.5.2. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian 

  Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan 

bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. 

Sebab rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, kamar tamu, ruang 

makan, dapur, kamar mandi dan kakus. 

  Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni 

bakteri dan kepadatan hunianper meter persegi sehingga efek sinergis yang diciptakan 

sumber  pencemar  mempunyai  potensi  menekan  reaksi  kekebalan  bersama  dengan 

terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan hunian pada setiap keluarga. 

Dengan demikian bakteri TBC dirumah penderita TB paru semakin banyak, bila jumlah 

penghuni  semakin  banyak  jumlahnya.  Jadi  ukuran  rumah  yang  kecil  dengan  jumlah 

penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan 

penularan TB paru melalui droplet dan kontak langsung. 

  Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Teknik 

(44)

dalam 5 kategori yaitu   3,9m2/orang, 4 5 m2/orang, 5 6,9m2/orang, 7 8m2/orang dan 

9m2/orang. Depkes RI (1999) menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 meter, dan 

tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur. 

  Penelitian  Daryatno tahun 2000 di Semarang  mendapatkan  bahwa kepadatan 

hunian ada kaitan dengan kejadian tersangka TB paru. Penelitian yang dilakukan Sugiharto 

tahun 2004 juga menemukan bahwa ada hubungan kepadatan hunian ruang tidur dengan 

kejadian TB paru dengan nilai OR = 3,161, 0 = 0,001. 

2.5.3. Lantai Rumah 

  Kualitas tanah pada perumahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) timah 

hitam (Pb) maksimal 300 mg/kg, b) arsenik total maksimal 100 mg/kg, c) cadmium (Cd) 

maksimal 20 mg/kg dan Benzo pyrene maksimal 1 mg/kg (Depkes RI, 1999). 

  Komposisi tanah tergantung kepada proses pembentukan, iklim, jenis tumbuhan 

yang ada, suhu, air yang ada. Tanah merupakan sumber daya alam yang mengandung bahan 

organik dan anorganik yang mampu mendukung hara dan air yang perlu ditambah untuk 

pengganti yang habis pakai (Modul Kuliah pasca sarjana, 2005). 

2.5.4.  Pencahayaan Ruangan 

  Bakteri TBC akan mati jika terpapar cahaya matahari secara langsung memerlukan 

waktu sekitar 6 8 jam dan cahaya ruangan yang kurang sekitar 2 – 7 hari. Sputum yang 

mengandung bakteri TBC di dalam ruangan yang gelap dapat hidup berminggu minggu atau 

berbulan bulan (Default dalam Crofton, 2002). 

(45)

xlv 

 

 

  Pencahayaan  alam  dan/atau  buatan  langsung  maupun  tidak  langsung  dapat 

menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Depkes RI, 

1999). 

2.6. Landasan Teori 

  MacMahon dan Pugh (1970) dalam Murti (2003) mengemukakan bahwa setiap efek 

atau penyakit tak pernah tergantung kepada sebuah faktor penyebab, tetapi tergantung 

kepada  sejumlah  faktor  dalam  rangkaian  kausalitas  sebelumnya.  Faktor faktor  yang 

memudahkan  terjadinya  efek  disebut  promotor  sedangkan  yang  menghambat 

terjadinya efek disebut inhibitor.   

  Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk 

basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua 

golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang 

mengandung basil tuberkulosis paru. 

  Penyebaran penyakit TB paru dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan 

sanitasi perumahan seperti pencahayaan, ventilasi, kepadatan hunian, lantai rumah, status 

gizi, daya tahan tubuh. 

 

(46)

 

2.7. Kerangka Konsep  

  Berdasarkan uraian latar belakang dan studi kepustakaan maka peneliti membuat 

suatu kerangka konsep penelitian seperti di bawah ini. 

 

 

 

 

   

Faktor Predisposisi 

1. Umur  2. Pendidikan    3. Pengetahuan 

Tingkat Pencegahan 

Potensi Penularan TB  Paru

Faktor Enabling 

1. Kepadatan Hunian  2. Ventilasi 

3. Pencahayaan ruangan 

i h

 

 

 

Faktor Reinforcing 

1. Dukungan Keluarga   

 

     

      Gambar 2.2. Kerangka Konsep 

 

[image:46.612.127.531.252.590.2]
(47)

xlvii 

 

AB  3 

METODE PENELITIAN 

 

3.1.  Jenis Penelitian 

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat analitik dengan rancangan penelitian 

yang  digunakan  adalah,  cross  sectional  yang  mempelajari  hubungan  antara  faktor 

independen dengan faktor dependen.  

3.2.   Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 

  Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara karena berdasarkan survei awal 

yang dilakukan jumlah kasus TB paru meningkat selama tahun 2008 sebanyak 534 orang 

dibandingkan pada tahun 2007 sebanyak 436 orang. Waktu penelitian dimulai bulan April 

2008 berlangsung selama 6 (enam) bulan. 

3.3.   Populasi dan sampel 

3.3.1.   Populasi  

  Populasi dalam penelitian adalah penderita TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara 

tahun 2008 sebanyak 534 orang. 

 

(48)

) 1 , 0 ( 534 1 534 2 + = n

3.3.2. Sampel 

Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria 

eksklusi yang dapat mewakili keberadaan dari suatu populasi yang benar. Besar sampel 

penelitian ini didapat melalui perhitungan dengan menggunakan rumus Toro Yamani, di 

dalam Notoadmodjo 2005, sebagai berikut: 

)

(

1

N

d

2

N

n

+

=

 

Keterangan :   n = besar sampel 

    N = besar populasi 

    d = tingkat kepercayaan dalam penelitian adalah 10%. 

 

    

   

Sampel  dalam  penelitian  ini  dengan  menggunakan  rumus  berdasarkan  besar  jumlah 

populasi, maka sampel yang akan digunakan sebanyak 100 kasus. Pengambilan sampel 

dilakukan dengan kriteria inklusi yaitu telah menderita batuk lebih dari 3 minggu, menderita 

demam lebih dari 3 minggu, dan bersedia untuk dilakukan wawancara, sedangkan kriteria 

eksklusi jika responden meninggal atau pindah dan tidak mau untuk dilakukan wawancara. 

 

 

(49)

xlix 

 

3.4.    Metode Pengumpulan Data 

1.   Data Primer 

  Pengumpulan  data  langsung  dari  hasil  wawancara terhadap  responden  yaitu: 

dengan  menggunakan  instrument  penelitian  berupa  kuesioner.  Data  primer  yang 

dikumpulkan  adalah  semua  data  yang  termasuk  variabel  independen  dan  variabel 

dependen. 

2.  Data Sekunder 

  Data sekunder diperoleh, catatan hasil pemeriksaan sputum dan formulir laporan 

puskesmas dan rumah  sakit serta data data yang ada di  dinas kesehatan  Kabupaten 

Tapanuli Utara. 

  Ancok (Singarimbun,1987) menyatakan bahwa alat ukur dilakukan sahih apabila alat 

ukur tersebut dapat mengukur konsep yang sebenarnya ingin diukur. 

 Apabila peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk pengumpulan data, 

maka kuesioner tersebut harus dapat mengukur konsep yang hendak diukur. Untuk menguji 

keterandalan instrumen, dilakukan uji ketepatan (validitas) dan uji ketelitian (reliabilitas). 

 

3.5.  Definisi Operasional 

Tabel 3.1. Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel 

 

Variabel  Independent 

Sub 

Variabel 

Defenisi  Alat Ukur  Hasil Ukur  Kriteria  Skala 

Faktor  Umur  Usia responden  penelitian di hitung 

Kuesioner  1. 17 – 20 thn  2. 21 – 30 thn 

[image:49.612.109.530.635.707.2]
(50)

dari tanggal lahir  sampai dengan  ulang tahun terakhir 

3. 31    40 thn  4. 40 – 50 thn  5. > 50 thn 

Jenis  Kelamin 

Identitas yang  menunjukkan  perbedaan  responden  

Kuesioner  0 = perempuan 

1 = laki laki 

  Nominal  Predisposisi 

Pendidikan  Pendidikan fomal  tertinggi yang  pernah dijalani oleh  responden dengan  mendapat ijazah 

Kuesioner  1. Tidak  Sekolah  2. SD  3. SLTP  4. SLTA  5. DIII/PT 

Rendah 

 

 

Tinggi 

Ordinal 

  Pengetahuan  Segala sesuatu yang  diketahui responden  tentang penyakit TB  paru 

Kuesioner  Jawaban benar  < 35%. 

Jawaban benar  35 % 

Kurang 

 

 

Baik 

Ordinal 

  Sikap  Suatu tindakan atau  perilaku reponden  dalam mengatasi  atau mampu  melaksanakan  pelanggulangan  penyakit TB Paru. 

Kuesioner  Jawaban benar  < 35%. 

Jawaban benar   35 % 

(51)

li 

 

Lanjutan Tabel 3.1. 

 

Kepadatan  Hunian 

Jumlah anggota  keluarga yang  tinggal dalam satu  rumah:  

1.  2 3 orang 

2.  4 5 orang 

3.  > 5 orang 

 

 

Kuesioner  1. Baik  2. Kurang     

  Nominal 

 

 

 

Ventilasi  Kondisi rumah yang  memiliki sirkulasi  udara keluar masuk  yang cukup dengan  luas ventilasi  minimal 10% dari  luas lantai. 

Kuesioner  1. Ya  2. Tidak       

  Nominal 

Pencahayaan  sinar  matahari 

Kondisi masuknya  cahaya matahari  yang dapat  menerangi  keseluruh ruangan 

Kuesioner  1. Ya  2. Tidak  

  Nominal 

      Faktor  Enabling      Lantai  Rumah 

Kondisi keadaan  ubin yang digunakan  responden sebagai  dasar rumah 

Kuesioner  1. Ya  2. Tidak 

  Nominal 

Faktor  Reinforcing 

Pembinaan  Petugas 

Ada tidaknya  bimbingan dan  penyuluhan yang  dilakukan petugas 

kesehatan terhadap  responden 

Kuesioner  1. Ada  2. Tidak Ada 

  Nominal 

  Dukungan  Ada tidaknya  Kuesioner  1. Ada  2. Tidak Ada 

(52)

Keluarga  dukungan keluarga  terhadap responden 

Variabel  Dependent 

Pencegahan  Potensi  penularan TB 

Paru 

Adalah suatu  kegiatan yang  dilakukan responden  dalam penanganan  pelanggulangan  penyakit TB Paru 

Kuesioner  Jawaban benar  < 35%. 

Jawaban benar  35 70% 

Jawaban benar  70 % 

Kurang    Sedang    Baik  Ordinal   

3.6.  Metode Pengukuran data 

  Untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan dengan mengunakan 

kuesioner dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan kategori : 

a.  Kurang 

b.  Cukup 

3.7.  Metode Analisa Data 

Gambar

Gambar 2.1.: Skema Modifikasi Teori Blum dan Green 
Gambar 2.2. Kerangka Konsep 
Tabel 3.1. Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel 
Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rekonsiliasi antara beban pajak penghasilan yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku sebesar 25% pada tahun 2010 dan 28% pada tahun 2009 atas laba

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W3, 2017 3D Virtual Reconstruction and Visualization of

saling hapus dan nilai netonya disajikan dalam laporan posisi keuangan jika, dan hanya jika, terdapat hak yang berkekuatan hukum untuk melakukan saling hapus atas

The static survey and the NRTK survey were performed using the data from the Italian Continuously Operating Reference Stations (CORS) NetGEO. The GNSS measurements

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W3, 2017 3D Virtual Reconstruction and Visualization of

PROFESSIONAL FIRMS &amp; BANKS ACKNOWLEDGEMENT.. Nippon Indosari Corpindo Tbk. mencatatkan kenaikan penjualan neto Tahun 2012 sebesar 46,41% dari periode yang sama tahun

Untuk membuat Modul ini penulis membuat struktur navigasi dan storyboard dengan menggunakan Macromedia Flash MX 2004 serta komponen-komponen lainnya yang mendukung proses

Hasil analisis morfologi daun dan batang menunjukkan bahwa tanaman teh di Pulau Bangka dapat dikelompokkan menjadi tiga cluster pada tingkat koefisien keragaman 15,63