• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Kesejahteraan Hewan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dalam Atraksi Topeng Monyet di Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Kesejahteraan Hewan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dalam Atraksi Topeng Monyet di Bogor"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN KESEJAHTERAAN HEWAN PADA MONYET

EKOR PANJANG (

Macaca fascicularis

) DALAM ATRAKSI

TOPENG MONYET DI BOGOR

HELMAYENI CHANDRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian kesejahteraan hewan pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dalam atraksi topeng monyet di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

HELMAYENI CHANDRA. Penilaian kesejahteraan hewan pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dalam atraksi topeng monyet di Bogor. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan HADRI LATIF.

Atraksi topeng monyet adalah kesenian tradisional Indonesia dimana seekor monyet meniru tingkah laku manusia dengan dipandu pawang dan diiringi alat musik tradisional. Atraksi ini diprotes oleh beberapa lembaga sumberdaya manusia (LSM) di Indonesia karena dianggap melanggar kesejahteraan hewan. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui karakteristik pawang topeng monyet; (2) mengetahui manajemen pakan, pemeliharaan, dan kesehatan monyet yang berperan dalam atraksi; (3) menilai praktek penerapan kesejahteraan hewan dalam atraksi; (4) mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi tingkat penerapan kesejahteraan hewan monyet ekor panjang dalam atraksi.

Penelitian ini dilakukan di Bogor mulai Desember 2013 sampai dengan April 2014 dengan jumlah responden 8 orang. Hewan yang digunakan adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, indepth interview, dan observasi terhadap atraksi menggunakan perangkat checklist. Pembobotan checklist dilakukan dengan memberikan nilai 0 pada jawaban “tidak” dan nilai 1 pada jawaban “ya”. Kesejahteraan dinilai baik jika nilai total indikator kesejahteraan hewan mencapai >34.5, sedang <23-34.5, dan buruk ≤23. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Asosiasi karakteristik pawang yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan monyet diuji dengan menggunakan uji chi-square (χ2).

Berdasarkan hasil penelitian, 75% pawang berdomisili di Kabupaten Bogor, sisanya di Kota Bogor. Sebagian besar (62.5%) pawang berpendidikan rendah (lulus SD), sisanya berpendidikan sedang (lulus SMP). Pengalaman bekerja 87.5% pawang ≤10 tahun, sisanya >10 tahun. Sebagian besar pawang (75%) menjadikan pawang sebagai profesi utama, sisanya sebagai sampingan. Jika dibandingkan dengan gaji PNS golongan IB dengan masa kerja 9 tahun, rata-rata penghasilan harian pawang lebih besar.

Lokasi atraksi 50% pawang di pinggir jalan raya, 50% lainnya di perkampungan. Setiap harinya, 87.5% pawang memulai atraksi di pagi hari dengan durasi <10 jam, sisanya memulai atraksi sore hari dengan total durasi ≥10 jam. Persentase pawang yang mengikuti organisasi khusus pawang adalah 62.5%. Tidak satu pun pawang pernah mendengar istilah kesejahteraan hewan dan setelah dijelaskan, 87.5% pawang berpendapat bahwa kesejahteraan hewan penting, sisanya menjawab tidak penting.

(4)

seadanya. Vaksinasi terhadap tuberkulosis (TBC) pernah dilakukan oleh 87.5% pawang, pemberian suplemen makanan hanya diberikan oleh 12.5% pawang.

Penilaian kesejahteraan hewan dibagi menjadi 5 aspek yang berhubungan dengan five freedoms of animal welfare. Aspek pertama adalah bebas dari rasa lapar dan haus yang terdiri dari 8 dasar penilaian. Dari 8 dasar penilaian, hanya 2 saja yang dipenuhi oleh seluruh pawang. Aspek kedua adalah bebas dari rasa tidak nyaman. Dari 9 dasar penilaian, hanya 4 dasar saja yang dapat dipenuhi oleh 87.5% pawang, lainnya hanya dipenuhi oleh ≤50% pawang. Aspek ketiga adalah bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit yang terdiri dari 15 dasar penilaian. Sepuluh dasar penilaian sudah dipenuhi oleh 100% pawang, sisanya hanya dipenuhi oleh ≤50% pawang. Aspek keempat adalah kebebasan mengeskpresikan tingkah laku alami. Dari 7 dasar penilaian, 5 dasar penilaian sudah dipenuhi oleh ≥75% pawang, lainnya tidak satupun pawang dapat memenuhinya. Aspek kelima adalah bebas dari rasa takut dan tertekan. Dari 7 dasar penilaian yang ditetapkan, hanya 2 saja yang dapat dipenuhi oleh ≥87.5% pawang, lainnya tidak dapat dipenuhi oleh satu orang pawang pun.

Persentase penerapan kesejahteraan hewan dengan nilai tertinggi adalah aspek bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit sebesar 70%, yang terendah adalah aspek bebas dari rasa lapar dan haus sebesar 25%. Persentase penerapan aspek bebas dari rasa takut dan tertekan adalah 26.8%; aspek bebas dari rasa tidak nyaman 51.4%; dan aspek bebas mengekspresikan tingkah laku alami 59%. Jika persentase lima indikator ini dirata-rata, maka persentase penerapan kesejahteraan hewan keseluruhan sebesar 50%.

Penilaian tingkat penerapan kesejahteraan hewan yang dilakukan pawang diperoleh dengan cara mengategorikan nilai observasi yang diperoleh menjadi tiga kategori. Penerapan aspek bebas dari rasa lapar dan haus serta aspek bebas dari rasa takut dan tertekan oleh 100% pawang berada di kategori buruk. Aspek bebas dari rasa tidak nyaman diterapkan dengan buruk oleh 50% pawang, sedang 25% pawang, dan baik 25% pawang. Aspek bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit diterapkan dengan tingkat sedang oleh 50% pawang, sisanya menerapkan dengan tingkat baik (37.5%) dan buruk (12.5%). Aspek bebas mengekspresikan tingkah laku alami diterapkan dengan tingkat sedang oleh 75% pawang, sisanya menerapkan dengan tingkat buruk. Jika dilihat secara keseluruhan, maka kategori penerapan kesejahteraan hewan oleh pawang adalah sedang (62.5% pawang) dan buruk (37.5% pawang). Karakteristik pawang yang diduga mempengaruhi tingkat penerapan kesejahteraan hewan pada penelitian ini tidak dapat dibuktikan karena terbatasnya jumlah responden.

Dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan monyet dalam atraksi topeng monyet di Bogor belum diterapkan sepenuhnya. Hal ini ditunjukkan dengan persentase penerapan indikator kesejahteraan hewan keseluruhan yang hanya mencapai 50% dan tidak adanya pawang yang menerapkan kesejahteraan hewan dengan kategori baik. Indikator kesejahteraan hewan yang paling buruk penerapan dan membutuhkan perhatian utama adalah aspek bebas dari rasa lapar dan haus serta aspek bebas dari rasa takut dan tertekan.

(5)

HELMAYENI CHANDRA. Assesment of long-tailed monkeys (Macaca fascicularis) welfare on monkey mask attraction in Bogor. Supervised by ETIH SUDARNIKA and HADRI LATIF.

Monkey mask attraction is an Indonesian traditional art where a monkey comfort oneself like a human, handling by human, and accompanied by traditional musical instruments. This attraction opposed by human resource agencies because infringed animal welfare. The purposed of this study was to (1) know the characteristics of handler; (2) know management of diet, maintenance, and health; (3) assess the application of animal welfare in attraction; (4) know risk factor that influence the level of animal welfare in attraction.

This research be located in Bogor from December 2013 to April 2014 where the number of respondents is 8 people. Long-tailed monkey (Macaca fascicularis) was species that used in monkey mask attraction. Data were obtained by interviewed the respondents using the structured questionnaire, in-depth interview and observation on practicing of animal welfare in location of attraction using the checklist. Assessment of the checklist is done by giving the value 0 on the answer “no” and 1 on the answer “yes”. Animal welfare considered good if the total value of animal welfare indicators reaches the value >34.5, middle <23-34.5, and poor ≤23. Data were analyzed descriptively. Association handler’s characteristics that affect the level of welfare of monkeys were tested using the chi-square test (χ2).

Based on the results of the study, 75% of handler lived in the District of Bogor and 25% in the City of Bogor. Most of the handler (62.5%) elementary school graduated, 37.5% junior hight school graduated. Work experience of 87.5% handler were ≤10 year and 12.5% >10 year. Most of the handler (75%) made the handler as a main profession and 25% as a side profession. In comparison, the average of daily income of handler greater than the salary of civil servants in IB classes with terms of service 9 years.

Location of attraction of 50% handler on the roadside and the others around the village. Every day, 87.5% started the attraction in the morning and the others in the afternoon. Total of duration of attraction was ≥10 hours each day. The persentage of handler that followed organization of handler was 62.5%. None of the handler know about animal welfare. After described, 87.5% handler agreed that animal welfare is important and the others not.

Diets were prepared by 87.5% handler derived from the shop and the orhers brought from home. Kinds of diet that given to monkeys were cooked rice, instant noodles, crackers, mineral water, tea water, milk, and others. Most of handler (87.5%) did not carry the cage to the location of the attraction. If the monkey did not follow the instruction, the handler will scolded, hit, and leave it alone. If anyone hurting monkeys, 75% of the handler will admonished and keep the monkeys from the actors, the others will admonished only. When the monkey sick, the handler will gived the treatment by itself. Vaccinations for tuberculosis (TB) ever given by 87.5% of handler and giving of food supplements just done by 12.5% of the handler.

(6)

which consisted of 8 basic of assessment. Of the 8 basic, only 2 basic are fulfilled by all handlers. The second aspect was freedom from discomfort. Of the 9 basic of assessment, only 4 are fulfilled by 87.5% pawang, the other basic only fulfilled by ≤50% of handler. The third aspect was freedom from pain, injury, and disease which consisted of 15 basic of assessment. Ten basic have fullfilled by 100% of handler, and the others only fulfilled by ≤50% of handler. The fourth aspect was freedom to express natural behavior. Of the 7 basic of assessment, only 5 basic have fulfilled by ≥75% of handler and the others no one can fulfilled. The fifth aspect was freedom from fear and distress. Of the 7 basic of assessment, only 2 basic have fulfilled by ≥87.5% of handler and the others no one can fulfilled.

The result of this study showed that the average percentage of implementation of animal welfare indicator based on the five freedoms of animal welfare in monkey mask attracttion was 50%. The value of each indicator were 25% in freedom from hunger and thirst; 51.4% in freedom from discomfort; 70% in freedom from pain, injury, and disease; 59% in freedom to express natural behavior; and 26.8% in freedom from fear and distress.

Assesment of the level of animal welfare that implemented by handlers obtained by categorized the observation value in 3 category. Implementation of freedom from hunger and thirst aspect and freedom from fear and distress aspect of 100% handler were in poor level. Implementation of freedom from discomfort aspect were in poor level by 50% of handler, middle level by 25% of handler, and good level by 25% of handler. Freedom from pain, injury, and disease aspect implemented in middle level by 50% of handler, good level by 37.5% of handler, and poor level by 12.5% of hanlder. Aspect of freedom to express natural behavior implemented in middle level by 75% of handler and in poor level by 25% of handler. Overall, the implementation of animal welfare that implemented by handlers of monkey mask attraction were 62.5% in middle level, 37.5% in poor level. Characteristics of handler were supposed influence the level of implementation of animal welfare in this study can not be proven because of the limited of number of respondents.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

PENILAIAN KESEJAHTERAAN HEWAN PADA MONYET

EKOR PANJANG (

Macaca fascicularis

) DALAM ATRAKSI

TOPENG MONYET DI BOGOR

HELMAYENI CHANDRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Penilaian Kesejahteraan Hewan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dalam Atraksi Topeng Monyet di Bogor Nama : Helmayeni Chandra

NIM : B251110041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Etih Sudarnika, MSi Ketua

Dr med vet drh Hadri Latif, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 18 Juli 2014 Tanggal Lulus :

(tanggal pelaksanaan ujian tesis) (tanggal penandatangan tesis oleh

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul tesis ini adalah Penilaian Tingkat Kesejahteraan Hewan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dalam Atraksi Topeng Monyet di Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi dan Bapak Dr med vet drh Hadri Latif, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi atas masukan dan arahannya yang sangat bermanfaat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta, ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayang, serta untuk staf di Bagian Kesmavet dan Epidemiologi FKH-IPB yang telah banyak membantu penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 3

Kesejahteraan Hewan 5

Atraksi Topeng Monyet 7

3 METODE PENELITIAN 9

Kerangka Konsep Penelitian 9

Desain Penelitian 9

Tempat dan Waktu Penelitian 11

Pengumpulan Data 11

Responden 12

Penskoran Checklist 12

Analisis Data 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Karakteristik Pawang 13

Manajemen Pemberian Pakan Monyet 16

Manajemen Pemeliharaan dan Kesehatan Monyet 17

Penerapan Lima Aspek Kebebasan dalam Kesejahteraan Hewan 19 Persentase Penerapan Indikator Kesejahteraan Hewan 24 Penilaian Penerapan Kesejahteraan Hewan yang Diterapkan Pawang 25 Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Kesejahteraan Hewan 27

5 SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

(13)

1 Definisi operasional dari variabel yang diamati 10 2 Penskoran untuk checklist terhadap indikator kesejahteraan hewan 12 3 Jumlah dan persentase pawang topeng monyet di Bogor berdasarkan

karakteristik pribadi 13

4 Jumlah dan persentase pawang topeng monyet di Bogor berdasarkan

karakteristik kegiatan atraksi 14

5 Jumlah dan persentase pawang berdasarkan pengetahuan dan pendapat tentang kesejahteraan hewan serta keikutsertaan dalam organisasi khusus

pawang 15

6 Jumlah dan persentase pawang berdasarkan perilaku pemberian pakan dan

minum untuk monyet di lokasi atraksi 16

7 Jenis pakan dan minum yang disediakan pawang di lokasi atraksi 16 8 Jumlah dan persentase pawang berdasarkan perilaku pemeliharaan monyet

di lokasi atraksi 17

9 Jenis tempat berlindung dan beristirahat yang disediakan pawang untuk

monyet di lokasi atraksi 18

10 Jumlah dan persentase pawang berdasarkan perilaku pemeliharaan

kesehatan monyet 18

11 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian

kebebasan monyet dari rasa lapar dan haus di lokasi atraksi 19 12 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian

kebebasan monyet dari rasa tidak nyaman di lokasi atraksi 21 13 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian

kebebasan monyet dari rasa sakit luka dan penyakit di lokasi atraksi 22 14 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian

kebebasan monyet dalam mengeskpresikan tingkah laku alami

di lokasi atraksi 23

15 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian

kebebasan monyet dari rasa takut dan tertekan di lokasi atraksi 24 16 Rataan dan persentase skor penerapan kesejahteraan hewan pada atraksi

topeng monyet di Bogor 25

17 Jumlah dan persentase pawang yang menerapkan tingkat kesejahteraan

hewan di lokasi atraksi 26

18 Penerapan kesejahteraan hewan secara keseluruhan yang diaplikasikan

oleh pawang topeng monyet di Bogor 26

19 Faktor yang diduga mempengaruhi tingkat penerapan kesejahteraan

hewan monyet berdasarkan analisis uji chi-square (χ2) 27

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka konsep penelitian 9

2 Tingkat kesejahteraan hewan monyet ekor panjang secara keseluruhan

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Atraksi topeng monyet adalah salah satu kesenian tradisional yang mulai dikenal secara umum di Indonesia pada awal tahun 1980-an (Didit 2013; Taufik 2013). Atraksi ini melibatkan seekor monyet yang meniru berbagai aktivitas manusia dengan dipandu oleh seorang pawang dan diiringi alat musik tradisional. Aktivitas manusia yang ditirukan monyet dalam atraksi topeng monyet adalah berbelanja ke pasar, mengendarai sepeda, berperang, balapan, dan aktifitas manusia lainnya. Spesies yang biasa digunakan adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Jenis ini dipilih karena lebih mudah dilatih untuk melakukan atraksi.

Atraksi topeng monyet biasanya dilakukan di keramaian seperti pasar, stasiun, terminal, jalan raya, dan tempat lain yang dianggap berpotensi menghasilkan uang bagi pawang. Atraksi topeng monyet di Indonesia banyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Atraksi topeng monyet juga dapat dijumpai di negara Asia lain seperti India, Pakistan, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea (Risma 2013).

Keberadaan topeng monyet bisa dinilai positif atau negatif. Atraksi topeng monyet bagi sebagian orang dianggap positif karena disamping menghasilkan uang, kegiatan ini juga dianggap sebagai hiburan dan melestarikan budaya. Keberadaan topeng monyet juga mendapat dukungan karena bagi segelintir orang atraksi topeng monyet merupakan kenangan masa kecil yang tidak pernah dilupakan. Penilaian negatif pada umumnya datang dari kalangan yang peduli akan kebebasan hewan. Negatifnya penilaian yang diberikan kalangan yang peduli tersebut disebabkan karena proses latihan dan atraksi yang dilakukan oleh monyet tidak sesuai dengan sifat alamiah dan menyiksa monyet.

Atraksi topeng monyet diprotes secara terang-terangan oleh lembaga sumberdaya masyarakat (LSM) Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Aksi protes ini disebabkan karena atraksi topeng monyet dinilai tidak sesuai dengan kesejahteraan hewan yang dikenal dengan istilah animal welfare. Monyet dipisahkan dengan habitat aslinya, dieksploitasi, dan dipaksa menirukan aktivitas manusia oleh pawangnya. Atraksi ini juga dilakukan di tempat terbuka dengan kondisi panas, polusi, dan dirantai sehingga membuat penderitaan monyet semakin bertambah. Monyet hasil penyitaan dari pawang di DKI Jakarta memperlihatkan kondisi tanpa gigi dan mengalami trauma psikologis yang cukup tinggi. Menurut Femke Den Haas (penggiat JAAN) hal ini terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima oleh monyet dari pemilik sebelumnya (BBC 2013).

(15)

topeng monyet tidak menggangu ketertiban umum dan pembersihan topeng monyet tidak akan memberikan manfaat apapun kepada masyarakat (JPPN 2013). Beberapa ahli di bidang medis mengeluarkan pendapat tentang kebijakan penghapusan topeng monyet dilakukan. Pertama, mengeksploitasi hewan merupakan tindakan yang melanggar kesejahteraan hewan itu sendiri; kedua, atraksi topeng monyet berpotensi membahayakan kesehatan manusia (Kinanti 2013). Kontroversi inilah yang menarik minat peneliti untuk mengkaji topeng monyet lebih dalam dari segi kesejahteraan hewannya.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik pawang topeng monyet yang ada di Bogor.

2. Mengetahui manajemen pakan, pemeliharaan, dan kesehatan monyet ekor panjang yang berperan dalam topeng monyet di Bogor.

3. Melihat dan menilai penerapan kesejahteraan hewan monyet ekor panjang pada atraksi topeng monyet di Bogor.

4. Melihat faktor resiko (karakteristik pawang) yang mempengaruhi tingkat penerapan kesejahteraan monyet ekor panjang dalam atraksi topeng monyet di Bogor.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi pada masyarakat tentang penerapan kesejahteraan hewan monyet ekor panjang yang berperan dalam atraksi topeng monyet serta dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya dan pembuat kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan primata.

Hipotesis Penelitian

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Sebaran Geografis dan Habitat Alami

Macaca fascicularis umumnya dikenal sebagai monyet pemakan kepiting (crab-eating macaque) atau monyet ekor panjang yang menyebar secara luas di daratan tropis dan kepulauan Asia Tenggara. Spesies ini menyebar luas hingga ke selatan yaitu Timur India, Banglades Selatan, dan Myanmar. Sebaran monyet ekor panjang juga sampai ke bagian selatan Semenanjung Indocina (Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam), Semenanjung Melayu (Malaysia dan Singapura), Sumatera, Kalimantan, Jawa, Jakarta, Bali, Timor Leste, dan Filipina (Eudey 2008).

Spesies monyet ekor panjang sangat adaptif terhadap lingkungan baru (ISSG 2013). Habitat alami spesies ini adalah tepi pantai, hutan mangrove, tepi sungai, hutan rawa dan lereng gunung (Don et al. 1984; Downes 2013). Kemampuan adaptif yang tinggi membuat spesies ini dapat berinteraksi dengan mudah terhadap manusia, sehingga mereka juga dapat dijumpai di wilayah pinggiran kota (ISSG 2013).

Spesies ini kebanyakan sangat rentan terhadap pemanasan global. Berdasarkan laporan terakhir United Nations Environment Programme PBB (UNEP), 98% dari habitat hutan di Sumatera dan Borneo akan habis pada tahun 2022 karena pengalihan wajah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, praktik ilegal penjarahan kayu, dan pembukaan lahan untuk pertanian (Nelleman et al. 2007). Hal ini tentu saja berbahaya bagi kelangsungan hidup spesies ini. Selain hilangnya hutan dan peningkatan urbanisasi di habitat asli monyet ekor panjang, perdagangan liar, penangkapan untuk konsumsi manusia, penggunaan untuk kepentingan penelitian, pengembangan dan pengujian oleh dunia farmasi industri memiliki dampak negatif pada eksistensi populasi monyet ekor panjang (Twigg 2008).

Klasifikasi dan Deskripsi Fisik

Monyet ekor panjang memiliki berbagai nama seperti, monyet cynomolgus, Macaca irus, monyet jawa, dan monyet pemakan kepiting (crab-eating monkey). Menurut Whitney (1995); Ong dan Richardson (2008) taksonomi monyet ekor panjang adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Subordo : Antrophoidea Infraordo : Catarrhini Super family : Cercopithecidae Famili : Cercopithecidae Genus : Macaca

(17)

Monyet ekor panjang bertubuh ramping dengan ekor yang panjang sering digunakan untuk memancing kepiting. Panjang badan adalah 40-47 cm (tidak termasuk ekor) dan panjang ekor 40-65 cm. Monyet ekor panjang jantan memiliki berat badan antara 5-7 kg serta memiliki jambang dan kumis, sedangkan betina memiliki berat 3-4 kg dan hanya memiliki jenggot. Wajah monyet ekor panjang berwarna coklat keabu-abuan dan memiliki kantung pipi. Monyet ekor panjang dewasa memiliki rambut yang secara umum berwarna abu-abu hingga coklat kemerah-merahan dengan bagian ventral tubuh berwarna lebih pucat. Hal tersebut agak berbeda pada bayi monyet. Bayi monyet ekor panjang memiliki rambut berwarna hitam yang berubah menjadi coklat dan menjadi keabu-abuan ketika memasuki usia pubertas (Bonadio 2000). Monyet ekor panjang memiliki hidung yang datar dan lubang hidung yang sempit (Fooden 1995). Formula gigi dari monyet ini adalah I 2/2, C 1/1, PM 2/2, dan M 3/3 (Bonadio 2000).

Monyet ekor panjang merupakan salah satu kekayaan sumber daya yang potensial dan memiliki nilai ekonomis dan ilmiah yang tinggi. Monyet ini merupakan salah satu primata yang sering digunakan sebagai hewan model untuk penelitian biomedis, karena secara anatomi dan fisiologis memiliki kemiripan dengan manusia (Supratikno 2008).

Tingkah Laku Alami dan Pola Makan

Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok yang didominasi oleh jantan yang terdiri dari sekitar tiga puluh anggota. Jumlah jantan lebih sedikit dibanding yang betina (Don et al. 1984; Noordwijk et al. 1999). Jantan akan meninggalkan kelompok kelahirannya dan mencari kelompok baru saat dewasa kelamin. Hal ini lah yang menyebabkan tingkat cedera pada jantan lebih sering terjadi. Setelah menemukan kelompok baru, pejantan akan bertarung dengan pemimpin kelompok tersebut. Jika pertarungan dimenangkan oleh pejantan yang baru datang, maka ia akan menggantikan posisi pemimpin sebelumnya (Don et al. 1984).

Monyet ekor panjang betina pada umumnya memiliki kehidupan yang lebih stabil karena sifatnya yang pasif. Anak-anak monyet ekor panjang akan lebih dekat dengan induknya. Selama mencari makan, anak-anak tersebut bergelantungan di bagian ventral tubuh induk. Dalam kelompok sosial, ada dominasi yang jelas antar betina. Dominasi ini akan tetap stabil sepanjang hidup betina yang dituakan tersebut (Don et al. 1984).

(18)

Monyet ekor panjang dengan habitat yang sudah punah biasanya akan masuk ke ladang dan memakan tanaman seperti daun singkong, talas, kelapa, mangga, dan tanaman lainnya sehingga sering menyebabkan kerugian yang signifikan bagi petani setempat. Jenis makanan mereka semakin bervariasi ketika memasuki kota. Monyet ekor panjang sering mengambil makanan dari tempat sampah. Kebutuhan pakan membuatnya menjadi tidak takut terhadap manusia sehingga tidak jarang ditemukan monyet ekor panjang langsung mengambil makanan dari manusia baik secara pasif maupun agresif (Long 2003).

Kesejahteraan Hewan

Definisi Kesejahteraan Hewan

Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia (Deptan RI 2009). Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 juga menjelaskan bahwa pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan.

Kajian lanjutan mendefinisikan kesejahteraan hewan dalam tiga konsep yaitu status fisik, status mental, dan perilaku alami (WSPA 2010). Tiga konsep kajian tersebut juga dijelaskan oleh Eccleston (2008). Menurut Eccleston (2008) ada beberapa ukuran untuk mengevaluasi kualitas hidup hewan. Ukuran yang pertama adalah menganalisa perasaan hewan, yang kedua memeriksa status kesehatan hewan, dan yang ketiga adalah mengevaluasi perilaku alamiah hewan.

Eccleston (2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan hewan adalah teori yang paling berpengaruh dan penting untuk mengatasi penganiayaan terhadap hewan. Kajian kesejahteraan hewan memiliki ajaran tentang kepedulian manusia terhadap hewan sehingga manusia dapat meningkatkan kualitas hidup hewan tersebut. Hal ini berdasarkan pada prinsip kesejahteraan hewan dimana manusia didorong untuk bersikap menghargai dan memiliki empati terhadap hewan.

Kajian kesejahteraan hewan meliputi tiga teori yaitu ilmu, etika, dan hukum kesejahteraan hewan. Ilmu kesejahteraan hewan adalah mengukur efek terhadap hewan atas adanya situasi dan lingkungan yang berbeda dari sudut pandang hewan. Etika kesejahteraan hewan adalah tentang bagaimana manusia seyogyanya memperlakukan hewan, sedangkan hukum kesejahteraan hewan adalah tentang bagaimana manusia harus memperlakukan hewan. Berdasarkan tiga kajian tersebut dapat disimpulkan fokus konsentrasi dalam kesejahteraan hewan yaitu indikator fisiologis hewan (ilmiah), pengenalan tata cara terhadap hewan (etika) dan aturan perlindungan hewan (hukum) (PBPDHI 2009). Metode yang digunakan untuk mengevaluasi kesejahteraan hewan dikenal dengan istilah five freedoms of animal welfare.

(19)

penelitian tersebut menunjukkan bahwa hanya 20% saja masyarakat umum yang setuju dengan konsep menghargai hewan, sisanya 40% tidak setuju, dan 40% nya lagi ragu-ragu. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 56% masyarakat tidak setuju satwa liar seperti ular, monyet, dan burung langka dipelihara oleh manusia, sisanya 44% setuju (Eclestoon 2008).

Five Freedoms of Animal Welfare

Kebebasan (fredoom) adalah ketetapan yang ideal bagi kesejahteraan hewan karena memiliki kerangka yang logis dan komprehensif (Hewson 2003). Menurut OIE (2011), five freedoms dalam kesejahteraan hewan terdiri dari bebas dari rasa lapar dan haus (freedom from hunger and thirst); bebas dari rasa tidak nyaman (freedom from discomfort); bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit (freedom from pain injury and disease); bebas mengekspesikan tingkah laku alami (freedom to express natural behavior); dan bebas dari rasa takut dan tertekan (freedom from fear and distress).

Bebas dari rasa lapar dan haus Makanan dan minuman adalah kebutuhan pertama dalam hidup, sehingga dalam konsep five freedoms diurutkan menjadi aspek pertama. Aspek ini dapat diterapkan dengan memberikan akses terhadap makanan dan air untuk menjaga kesehatan dan kekuatan mentalnya (WSPA 2010; OIE 2011). Makanan yang diberikan tidak hanya dapat diakses, akan tetapi juga harus layak konsumsi dan mencukupi kebutuhan tubuh. Menurut RSPCA (2009) makanan yang layak, bergizi, dan memadai akan mengurangi adanya kompetisi antar hewan.

Bebas dari rasa tidak nyaman Ketidaknyamanan hewan biasanya disebabkan karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi hewan. Kondisi lingkungan ekstrim dari perlakuan yang membuat stres akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hewan. Bebas dari rasa tidak nyaman dapat diwujudkan dengan menyediakan lingkungan yang sesuai termasuk tempat berlindung dan area istirahat yang nyaman (RSPCA 2009). Komponen dalam aspek ini seperti ventilasi yang memadai, suhu dan kelembapan yang cukup, dan adanya tempat untuk tidur. Hewan akan merasa nyaman jika berada pada lingkungan yang tepat. Lingkungan yang tepat biasanya sesuai dengan habitat alaminya (RSPCA 2009; OIE 2011).

(20)

Bebas mengekspresikan tingkah laku alami Setiap hewan mempunyai kebiasaan atau perilaku yang khas untuk masing-masing hewan. Hewan yang dipelihara oleh manusia cenderung memiliki sedikit kesempatan untuk mengekspresikan perilaku normalnya, sehingga hewan menunjukkan perilaku menyimpang. Aspek ini dapat diterapkan dengan memberikan ruang gerak yang cukup serta memberikan fasilitas yang sesuai dengan kehidupan alaminya dan mengelompokkan hewan sesuai dengan jenisnya (RSPCA 2009).

Bebas dari rasa takut dan tertekan Bebas dari rasa takut dan tertekan dapat dilakukan dengan memastikan kondisi yang menghindari penderitaan mental hewan (RSPCA 2009). Tingkat stres dapat dinilai dengan mengukur detak jantung dan kadar konsentrasi katekolamin dan kortikosteron dalam plasma darah. Pemilik hewan harus memastikan bahwa hewannya terbebas dari penderitaan mental akibat kondisi sekitar, perlakuan, dan manajemen pemeliharaan.

Menurut Cock et al. (2002) hewan akan menyesuaikan diri terhadap tantangan alam. Respon hewan terhadap tantangan alam biasanya melahirkan stres, dan hal ini adalah alami bagi setiap hewan. Stres akan selalu hadir pada kehidupan alami hewan, karena tanpa stres berarti hewan tersebut telah mati. Akan tetapi stres tidaklah sama dengan distress. Distress adalah stres yang buruk dan berlebihan (Wolfe 2000).

Takut merupakan emosi primer yang dimiliki hewan yang mengatur respon mereka terhadap lingkungan fisik dan sosialnya. Rasa takut dianggap sebagai sesuatu yang merusak hewan. Rasa takut hewan akan berimbas terhadap kesejahteraannya. Pemilik yang sering memperlakukan hewannya dengan tidak baik akan mengakibatkan trauma terhadap hewan tersebut dan biasanya hewan akan menjauhinya (Wolfe 2002).

Lima aspek five freedoms di atas adalah daftar kontrol yang harus diperhatikan untuk dapat mewujudkan kesejahteraan hewan. Aspek yang satu mungkin berpengaruh terhadap aspek lainnya sehingga sulit untuk dibedakan (Cheeke 2004).

Atraksi Topeng Monyet

Topeng monyet adalah kesenian tradisional yang sudah sejak dahulu dikenal di Indonesia, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pertunjukan topeng monyet juga dapat dijumpai di negara Asia lainnya seperti India, Pakistan, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea. Jenis kesenian ini melibatkan seorang pawang yang telah memberikan pelatihan pada monyetnya untuk melakukan berbagai aktivitas meniru tingkah laku manusia. Monyet yang digunakan biasanya adalah monyet ekor panjang. Jenis ini dipilih karena lebih mudah untuk dilatih dalam melakukan atraksi (Nuryati 2005).

Monyet yang menjadi pemeran utama dalam atraksi topeng monyet telah dilatih sebelum melakukan atraksi. Pelatihan ini bisa memakan waktu 6 hingga 8 bulan tergantung tingkat kecerdasan monyet. Setiap atraksinya selalu diiringi gamelan dan gendang dari pawangnya dan tidak jarang hewan lain pun ikut melengkapi atraksi ini seperti ular dan anjing (Media Indonesia 2011).

(21)

Istilah topeng monyet berasal dari perilaku monyet yang apabila sedang beratraksi menggunakan topeng, helm, dan reog mungil sesuai peran yang akan dimainkan. Pelaku kesenian topeng monyet pada umumnya berjalan keliling berhari-hari dari tempat yang satu ketempat yang lain di daerah kawasan permukiman padat penduduk. Atraksi topeng monyet saat ini tidak hanya dilakukan di pemukiman penduduk, akan tetapi juga sampai ke jalan raya, persimpangan lampu merah, pasar, stasiun, dan tempat keramaian lainnya. Alat musik diperdendangkan untuk menarik perhatian masyarakat terutama anak-anak agar hadir menyaksikan dan memberikan uang (Nuryati 2005).

Menurut Cohen, seorang professor budaya teater Indonesia dari Royal Holoway University of London, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing pertama kali ditemukan di Indonesia. Miniatur sirkus ini merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Cohen juga menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing mulai komersial di Indonesia pada akhir abad ke-19 (Historia 2013).

Dibalik pertunjukan topeng monyet yang menghibur, ada penyiksaan yang dilakukan sang pawang atau pemilik monyet. Monyet untuk atraksi biasanya berusia muda sekitar delapan atau sembilan bulan. Monyet muda ini dilatih dengan cara disiksa oleh pemilik dalam waktu yang lama (Detik News 2013). Tangan monyet diikat ke belakang, digantung, dan dipaksa duduk berjam-jam di jalan agar bisa berdiri tegak. Pemilik sengaja tidak memberikan makan monyetnya agar mau berlatih terus menerus. Salah seorang pelatih monyet mengaku bahwa separuh monyet yang dilatihnya mati karena tidak kuat. Monyet yang telah pintar kemudian akan dijual atau disewakan oleh pemilik kepada pelaku topeng monyet (Mailonline 2013).

Pertunjukan topeng monyet dapat menimbulkan bahaya akibat kontak fisik antara monyet dengan penonton. Sebuah penelitian dilakukan oleh Engel dan kawan-kawan dari Pusat Penelitian Primata University of Washington Amerika Serikat terhadap darah dari 20 monyet topeng monyet di Jakarta. Penelitian ini menemukan bahwa setengah dari monyet yang diperiksa positif terkena simian foamy virus (SFV), yaitu retrovirus pada primata yang diduga tidak menular pada manusia sedangkan 2 ekor lainnya positif Simian retrovirus (SRV), yang dapat menular ke manusia. Virus SRV maupun SFV adalah retrovirus yang secara tipikal bergerak perlahan dalam tubuh inangnya, sehingga memerlukan waktu tahunan sebelum dokter mengetahui dampak virus tersebut. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 1 ekor monyet positif terkena virus simian T-cell lymphotropic dan 1 ekor lainnya positif terkena virus herpes B. Virus simian T-cell lymphotropic diyakini sebagai virus HTLV, nenek moyang virus primata yang menular pada manusia. Virus tersebut kemudian diketahui sebagai penyebab leukemia sedangkan virus herpes B diketahui sebagai CHV-1 yang jarang menjangkiti manusia (Nuryati 2005).

(22)

Tingkat penerapan kesejahteraan hewan Macaca fascicularis dalam

atraksi topeng monyet

3 METODE PENELITIAN

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel yang akan diukur dalam penelitian adalah kebebasan monyet ekor panjang dari rasa lapar dan haus; kebebasan monyet ekor panjang dari rasa tidak nyaman; kebebasan monyet ekor panjang dari rasa sakit, luka dan penyakit; kebebasan monyet ekor panjang mengekspresikan tingkah laku alami; dan kebebasan monyet ekor panjang dari rasa takut dan tertekan. Kerangka konsep penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian

Desain Penelitian

Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan melakukan pengamatan terhadap seluruh atraksi topeng monyet yang ada di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap pawang topeng monyet serta observasi dengan menggunakan checklist terhadap aktivitas yang dilakukan oleh monyet dan perlakuan pawang terhadap monyet saat atraksi berlangsung.

Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner dan checklist terlebih dahulu diuji melalui uji coba kuesioner untuk mengevaluasi kecocokan kuesioner yang disusun dengan kondisi lapangan dan melihat tingkat kesulitan pertanyaan di dalam kuesioner. Setelah itu, dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner untuk menilai kelayakan kuesioner sebagai perangkat penelitian.

Wawancara terstruktur berisi pertanyaan yang berkaitan dengan data dan karakteristik pawang. Wawancara berupa indepth interview dan checklist observasi berisi pertanyaan yang berkaitan dengan penerapan indikator kesejahteraan hewan yaitu five freedoms of animal welfare. Terdapat definisi

Indikator kesejahteraan hewan (Five freedoms of animal welfare) :

1. Bebas dari rasa haus dan lapar 2. Bebas dari rasa tidak nyaman 3. Bebas dari rasa sakit, luka, dan

penyakit

4. Bebas mengeskpresikan perilaku alami

5. Bebas dari rasa takut dan penderitaan

Karakteristik pawang :  Umur

 Pendidikan formal

 Tujuan usaha

(23)

operasional yang dirancang untuk menjelaskan setiap variabel yang diamati dalam penelitian. Definisi operasional tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Definisi operasional dari variabel yang diamati

No Variabel Definisi operasional Alat Ukur Cara ukur Skala 1 Umur Usia pawang topeng monyet Kuesioner Wawancara Ordinal

1=remaja (<26 thn) 2=dewasa (≥26 thn) 2 Pendidikan Jenjang pendidikan terakhir

yang dimiliki pawang topeng monyet

Kuesioner Wawancara Ordinal

1=rendah (maksimal

Kuesioner Wawancara Ordinal 1= ≤10 thn 2= >10 thn 4 Lokasi atraksi Lokasi pawang saat

melakukan atraksi topeng monyet

Kuesioner Wawancara Nominal 1=pinggir jalan di suatu kota (minimal 1 bulan) dengan profesi utama sebagai pawang topeng monyet sebelum pindah ke Kota Bogor atau Kabupaten Bogor

Kuesioner Wawancara Ordinal 1=ya

Kuesioner Wawancara Ordinal 1=ya

Kuesioner Wawancara Ordinal 1=ya

Kuesioner Wawancara Nominal 1=pagi mulai dari pawang datang di lokasi atraksi hingga pawang

10 Tujuan usaha Penggolongan tujuan usaha pawang topeng monyet sebagai mata pencaharian

Kuesioner Wawancara Ordinal 1=pokok

Kuesioner Wawancara Nominal 1=1 ekor

Kuesioner Wawancara Ordinal 1=ya

Kuesioner Wawancara Rasio Ordinal 1=<Rp 49 980 2= ≥Rp 49 980 14 Pengetahuan Pengetahuan pawang tentang

istilah kesejahteraan hewan

(24)

Lanjutan

No Variabel Definisi operasional Alat Ukur Cara ukur Skala 15 Pendapat Pendapat pawang tentang

kesejahteraan hewan

Kuesioner Wawancara Ordinal 1= Penting 2= tidak penting 16 Pelatihan Riwayat pelatihan

kesejahteraan hewan yang pernah dilakukan oleh pawang topeng monyet

Kuesioner Wawancara Ordinal 1=ya 2=tidak

17 Tersedia pakan

Ketersediaan pakan setiap saat di lokasi atraksi, dan ketika diminta pawang akan langsung

Kondisi pakan dan minum baik secara fisik

Penelitian dilakukan di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Desember 2013 sampai dengan April 2014.

Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan langsung dari pawang topeng monyet dan observasi di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Data primer yang dibutuhkan dari pawang topeng monyet meliputi data pawang, karakteristik pawang, manajemen pakan dan minum, manajemen pemeliharaan kenyamanan dan kesehatan, serta manajemen stres dan pemenuhan perilaku alami monyet di lingkungan tempat monyet beraktivitas. Pengambilan data ini dilakukan dengan metode wawancara terstruktur dengan perangkat kuesioner dan indepth interview terhadap pawang topeng monyet dengan menggunakan perangkat alat tulis dan alat perekam. Selain wawancara, pengambilan data juga dilakukan dengan observasi langsung terhadap perilaku pawang topeng monyet dan aktivitas monyet ekor panjang dalam atraksi topeng monyet dengan menggunakan checklist.

(25)

Responden

Responden pada penelitian ini sebanyak 8 orang dengan pembagian 2 orang responden berdomisili di Kota Bogor dan 6 orang lainnya berdomisili di Kabupaten Bogor.

Penskoran Checklist

Total pertanyaan pada checklist observasi adalah 46 pertanyaan yang berkaitan dengan penerapan indikator five freedoms of animal welfare. Penilaian terhadap indikator tersebut dilakukan dengan pembobotan pertanyaan pada checklist. Pembobotan dilakukan dengan memberikan nilai 0 pada jawaban “tidak” dan nilai 1 pada jawaban “ya”. Penerapan kesejahteraan dinilai baik jika nilai total indikator kesejahteraan hewan mencapai nilai >34.5, dinilai sedang jika mencapai nilai 23-34.5, dan dinilai buruk jika nilai ≤23. Pembobotan dan penilaian checklist disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Penskoran untuk checklist terhadap indikator kesejahteraan hewan Indikator kesejahteraan

hewan Jumlah

pertanyaan

Nilai maksimum

Nilai minimum

Skor kesejahteraan

buruk sedang baik  Bebas dari rasa lapar

dan haus 8 8 0 ≤4 >4 – 6 >6

 Bebas dari rasa tidak

nyaman 9 9 0 ≤4.5 >4.5 – 6.75 >6.75

 Bebas dari sakit, luka,

dan penyakit 15 15 0 ≤7.5

>7.5 –

11.25 >11.25  Bebas

mengkespresikan perilaku alami

7 7 0 ≤3.5 >3.5 – 5.25 >5.25

 Bebas dari stres dan

tertekan 7 7 0 ≤3.5 >3.5 – 5.25 >5.25

Jumlah total 46 46 0 ≤23 >23 – 34.5 >34.5

Analisa Data

(26)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pawang

Beberapa karakteristik pawang yang diamati pada penelitian ini adalah tempat tinggal, jenis kelamin, umur, pendidikan, lama bekerja, pengalaman atraksi di kota lain, perpindahan atraksi antar kota, perpindahan atraksi dalam kota, waktu mulai atraksi, total durasi atraksi dalam 1 hari, tujuan usaha, jumlah monyet yang dipelihara, rata-rata penghasilan setiap hari, pengetahuan tentang kesejahteraan hewan, pendapat tentang kesejahteraan hewan, dan keikutsertaan dalam organisasi khusus pawang topeng monyet. Karakteristik ini akan dihubungkan dengan nilai kesejahteraan hewan yang dimiliki oleh masing-masing responden. Gambaran karakteristik pribadi pawang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah dan persentase pawang topeng monyet di Bogor berdasarkan karakteristik pribadi

Karakteristik pribadi responden Jumlah pawang (orang) Persentase (%) Tempat tinggal

 Rendah (maksimal tamat SD)

 Sedang (minimal tamat SMP)

(27)

Tingkat pendidikan pawang dan pengalaman bekerja dibedakan menjadi 2 kategori. Dua kategori pendidikan pawang adalah rendah (maksimal menamatkan SD) dan sedang (minimal menamatkan SMP). Sebagian besar pawang (62.5%) memiliki pendidikan rendah sedangkan sisanya berada pada kategori sedang. Data ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pawang didominasi oleh orang dengan pendidikan rendah dimana pendidikan rendah menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan sehingga memilih profesi pawang sebagai mata pencaharian utama.

Dua kategori pengalaman bekerja pawang adalah ≤10 tahun dan >10 tahun. Persentase pawang yang bekerja ≤10 tahun adalah 87.5% sisanya bekerja >10 tahun. Rataan pengalaman dari pawang adalah 6 tahun dengan pengalaman terbaru 2 tahun dan terlama 18 tahun. Tujuan usaha pawang dibedakan menjadi 2 kategori yaitu usaha utama dan usaha sampingan. Sebagian besar pawang (75%) menjadikan profesi pawang sebagai usaha utama sedangkan sisanya sebagai usaha sampingan dengan profesi utamanya antara lain asisten rentenir dan tukang bangunan. Sekitar 62.5% pawang memelihara monyet lebih dari 1 ekor dan sisanya memelihara 1 ekor monyet saja. Pawang yang memiliki monyet lebih dari 1 ekor tidak melakukan penggiliran atraksi terhadap monyet yang dimilikinya dengan alasan monyet lainnya belum terlatih.

Penghasilan rata-rata pawang setiap hari dibedakan menjadi 2 kategori yaitu <49 980 rupiah dan ≥49 980 rupiah. Berdasarkan hasil penelitian, penghasilan rata-rata harian pawang adalah ≥49 980 rupiah. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan gaji PNS golongan IB dengan masa kerja 9 tahun. Perbandingan ini berdasarkan pada Peraturan Pemerintah RI No. 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempat Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Karakteristik kegiatan atraksi pawang topeng monyet di Bogor lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah dan persentase pawang topeng monyet di Bogor berdasarkan

karakteristik kegiatan atraksi

Karakteristik atraksi responden Jumlah pawang (orang) Persentase (%) Lokasi atraksi Pengalaman atraksi di kota lainnya

(28)

Sebesar 50% pawang beratraksi di pinggir jalan raya dan 50% lainnya beratraksi di perkampungan. Pengalaman beratraksi dan berdomisili di kota lain pernah dilakukan oleh 50% pawang sebelum pindah ke Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa separuh dari pawang yang ada di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor adalah pindahan dari kota lainnya. Kota pindahan tersebut adalah Magelang, Cirebon, Serang, dan Tangerang. Perpindahan atraksi antar kota hanya dilakukan oleh 1 orang saja (12.5%). Pawang ini bisa menetap di satu kota sampai berminggu-minggu sebelum kembali ke Kabupaten Bogor. Hampir seluruh pawang (87.5%) melakukan perpindahan atraksi dalam kota dan hanya 12.5% saja yang beratraksi ditempat yang sama beratraksi ≥10 jam. Sebagian besar pawang (87.5%) memperoleh monyet dengan cara membeli dari pelatih atau pawang lainnya dengan harga ± 1.5 juta rupiah. Pawang memperoleh 1 ekor monyet terlatih, alat peraga, dan alat musik tradisional (gendang/gamelan) dengan harga tersebut. Sisanya mendapatkan monyet dan perlengkapan atraksi secara gratis. Karakteristik pawang mengenai pengetahuan dan pendapatnya tentang kesejahteraan hewan serta keikutsertaan dalam organisasi khusus pawang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan persentase pawang berdasarkan pengetahuan dan pendapat tentang kesejahteraan hewan serta keikutsertaan dalam organisasi khusus pawang

Karakteristik pawang Jumlah pawang (orang) Persentase (%) Pengetahuan tentang kesejahteraan hewan

Seluruh pawang belum mengetahui tentang istilah kesejahteraan hewan, dan setelah dilakukan penjelasan oleh enumerator 7 orang pawang (87.5%) berpendapat bahwa kesejahteraan hewan adalah penting, sedangkan 1 orang (12.5%) menganggap tidak penting. Pawang yang mengikuti organisasi (perkumpulan) pawang adalah 62.5% yang berdomisili di lokasi yang sama yaitu Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Sisanya tidak mengikuti organisasi dengan alasan tidak akrab dan tempat tinggal yang cukup jauh. Organisasi pawang ini sudah berjalan selama 4 tahun dimana satu orang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai anggota. Kegiatan organisasi hanya terbatas pada silaturahmi saja. Jadwal dan lokasi atraski ditentukan sendiri oleh masing-masing pawang.

(29)

Manajemen Pemberian Pakan Monyet

Pawang menentukan jumlah pakan dan minum monyet dengan cara menyesuaikan dengan jumlah persediaan atau memperkirakan kebutuhan monyet. Sebagian besar pawang (6 orang) menentukan jumlah pakan dan minuman dengan perkiraan, sedangkan sisanya tergantung persediaan yang dimiliki. Tujuh orang pawang menyediakan pakan monyet dengan cara membeli dari warung sekitar lokasi atraksi dan sisanya membawa dari rumah. Perilaku pawang dalam pemberian pakan untuk monyet dan jenis pakan dan minum yang disediakan di lokasi atraksi dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6 Jumlah dan persentase pawang berdasarkan perilaku pemberian pakan dan minum untuk monyet di lokasi atraksi

Perilaku pawang Jumlah responden Presentase (orang) (%) Cara menentukan jumlah pakan/ minuman

 Tergantung persediaan

Tabel 7 Jenis pakan dan minum yang disediakan pawang di lokasi atraksi

Jenis pakan dan minum Presentase pawang yang menyediakan (%) berat yang disediakan bervariasi seperti nasi, mi instan, dan roti. Hampir seluruh pawang memberikan pakan ini untuk monyetnya. Selain pakan berat, pawang juga memberikan pakan ringan seperti kacang atom, kerupuk, kacang tanah yang telah direbus, dan serangga. Pakan ringan ini diberikan setelah pakan berat habis dan hanya sebagian pawang saja yang memberikan pakan ringan tersebut..

(30)

Manajemen Pemeliharaan dan Kesehatan Monyet

Pawang yang menyediakan kandang khusus untuk berlindung dan beristirahat monyet di lokasi atraksi hanya 1 orang dengan ukuran kandang 40 cm x 30 cm x 50 cm. Kandang ini selalu dibawa oleh pawang saat beratraksi. Perilaku pawang dalam pemeliharaan monyet dan jenis tempat berlindung dan beristirahat yang disediakan oleh pawang di lokasi atraksi disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8 Jumlah dan persentase pawang bedasarkan perilaku pemeliharaan monyet

di lokasi atraksi

Perilaku pawang Jumlah responden Presentase (orang) (%) Keberadaan kandang khusus di lokasi atraksi

 Ya Jika monyet tidak ikut perintah

 Dimarahi dan dipukul

 Dimarahi

 Dibiarkan

 Dibiarkan dan diberi perhatian

3

 Dibiarkan dan diberi perhatian

1 Jika monyet disakiti orang/hewan lain

 Menegur pelaku mengikuti perintah pawang. Pemicu perubahan emosi ini umumnya disebabkan oleh gangguan dari sekitar lokasi atraksi. Agar dapat mengatasi masalah ini, pawang memiliki cara tertentu sehingga emosi monyet stabil kembali.

(31)

dimarahi, dibiarkan saja, dan diberi perhatian lebih. Hal yang sama juga dilakukan oleh pawang jika monyet menyerang pawang.

Gangguan terhadap monyet biasanya berasal dari masyarakat dan hewan yang berada di sekitar lokasi atraksi. Sebagian besar pawang akan menegur dan menjauhkan dari pelaku jika monyetnya disakiti, sedangkan yang lainnya memilih untuk menegur pelaku saja dengan alasan tidak menyinggung perasaan penonton. Tabel 9 Jenis tempat berlindung dan beristirahat yang disediakan pawang untuk

monyet di lokasi atraksi

Jenis tempat berlindung dan beristirahat Persentase pawang yang melaksanakan (%)

Sebagian besar pawang menjadikan warung pinggir jalan dan pohon sebagai tempat berlindung dan beristirahat monyet. Selain itu, jembatan layang dan kandang pengangkut juga dijadikan sebagai tempat berlindung dan beristirahat. Selanjutnya akan dibahas tentang perilaku pawang terkait kesehatan monyet yang disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan persentase pawang berdasarkan perilaku pemeliharaan kesehatan monyet

Perilaku pawang Jumlah responden Presentase (orang) (%) Perlakuan pawang saat monyet sakit

 Membiarkan

(32)

Penerapan Lima Aspek Kebebasan dalam Kesejahteraan Hewan

Penilaian terhadap penerapan aspek kebebasan dalam kesejahteraan hewan monyet di lokasi atraksi dibagi menjadi 5 aspek yaitu bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari rasa tidak nyaman; bebas dari rasa sakit luka dan penyakit; bebas mengekspresikan tingkah laku alami; dan bebas dari rasa takut dan tertekan.

Bebas dari Rasa Lapar dan Haus

Terdapat beberapa hal yang menjadi dasar penilaian kebebasan dari rasa lapar dan haus yaitu jumlah pakan dan minuman yang disediakan, kondisi pakan dan minuman, akses terhadap pakan dan minuman, serta jenis pakan dan minuman (DEFRA 2010). Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian kebebasan monyet dari rasa lapar dan haus disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian

kebebasan monyet dari rasa lapar dan haus di lokasi atraksi

Pengamatan (Dasar penilaian)

Jumlah pawang Persentase (orang) (%)

 Jumlah pakan yang cukup 0 0

 Kondisi pakan yang baik 8 100

 Pakan bisa diakses langsung oleh monyet 0 0

 Jenis pakan sesuai untuk monyet 0 0

 Jumlah minuman yang cukup 0 0

 Kondisi minuman yang baik 8 100

 Minuman bisa diakses langsung oleh monyet 0 0

 Jenis minuman sesuai untuk monyet 0 0

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa dasar penilaian yang dipenuhi oleh oleh semua pawang adalah kondisi pakan dan minuman yang baik, sedangkan dasar penilaian lainnya tidak dapat dipenuhi oleh pawang. Hasil observasi lapangan yang diperoleh memperlihatkan bahwa jumlah pakan dan minum yang disediakan belum mencukupi kebutuhan monyet. Jumlah kebutuhan pakan dan minum monyet perhari tidak bisa disebutkan dengan angka pasti, akan tetapi beberapa sifat alamiah monyet dapat dijadikan indikator kecukupan jumlah ini. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) monyet ekor panjang memiliki kebiasaan mencari makan setiap saat (foraging) dan minum setiap saat (ad libitum). Putra et al. (2000) menjelaskan bahwa monyet ekor panjang memiliki sifat yang cenderung menguasai makanan sebanyak-banyaknya walaupun mereka tidak menghabiskannya. Merujuk pada kebiasaan monyet ini maka ketersediaan pakan dan minum setiap saat yang harusnya disediakan oleh pawang saat berada di lokasi atraksi menjadi dasar penilaian terhadap kecukupan jumlah pakan dan minum. Pawang yang menyediakan pakan dan minum setiap saat dinilai memenuhi dasar ini. Penetapan ini juga merujuk pada DEFRA (2010), yang menjelaskan bahwa non human primate yang sengaja dipelihara menghabiskan 70% dari waktu hariannya untuk makan sehingga ketika dikandangkan (dibatasi ruang geraknya) maka perawat harus memberikan pakan 2-3 kali sehari dengan porsi yang masih dapat disisakannya.

(33)

Jenis pakan untuk primata yang dipelihara harus mencerminkan pakan alami dari spesies tersebut. Menurut DEFRA (2000) ada beberapa hal yang menjadi dasar pemilihan pakan untuk primata yang dipelihara yaitu kesegaran, kealamian dan keseimbangan gizi pakan, tekstur pakan dimana memberikan kesempatan pada monyet untuk mengunyah dengan tujuan menjaga kesehatan gigi monyet, serta tidak mengandung racun. Pemilihan minuman pun juga didasarkan pada beberapa hal yaitu segar, bersih, tersedia setiap saat, terhindar dari kontaminasi kotoran, dan pemberian minuman suplemen harus didasarkan pada alasan yang jelas untuk menghindari gangguan pencernaan (DEFRA 2010).

Sebuah penelitian tentang aktivitas makan monyet ekor panjang di bumi perkemahan pramuka Cibubur menunjukkan bahwa jenis pakan yang banyak dikonsumsi oleh monyet terdiri dari 2 jenis yaitu 74.22% pakan alami (tunas daun awi tali, jukut pait, dan buah beringin) dan 25.78% pakan non alami (kacang-kacangan dan sisa pengunjung) (Hilda 2008). Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa jenis pakan yang dikonsumsi oleh monyet di lokasi atraksi adalah nasi, mi instan, roti, semut, kerupuk, dan kacang atom sedangkan minuman yang diberikan adalah air putih, susu kental manis, minuman penambah stamina, dan teh gelas. Jika dibandingkan dengan kondisi di alam, maka presentase pakan non alami monyet di lokasi atraksi jauh lebih besar dibanding pakan alami. Secara umum jenis pakan minuman tersebut sudah sesuai karena monyet termasuk dalam kategori omnivora oportunistik. Permasalahan terjadi jika dikaji lebih lanjut berdasarkan teori yang dipaparkan oleh DEFRA.

Jenis pakan yang dipilih oleh pawang jika dihubungkan dengan dasar pemilihan pakan untuk monyet yang dikemukakan DEFRA, maka yang benar terpenuhi adalah kesegaran pakan dan tidak terdapatnya racun pada pakan. Keseimbangan gizi monyet belum sepenuhnya disediakan pawang terutama pada vitamin, mineral dan serat makanan. Menurut DEFRA (2010) kekurangan vitamin D3, A, C, dan kalsium sangat banyak terjadi pada primata kecil. Jika pawang memberikan buah, sayuran, serangga, dan daun cenderung dapat mengatasi permasalahan ini. Kealamian pakan juga tidak dapat dipenuhi karena hampir seluruh pawang memberikan pakan yang dibuat oleh pabrik terutama mi instan, roti, kerupuk, dan kacang atom.

Jenis minuman yang diberikan seperti air putih yang diberikan oleh pawang sudah memenuhi dasar pemilihan minuman yang ditetapkan oleh DEFRA (2010). Permasalahan terdapat pada pemberian susu kental manis, minuman penambah stamina, dan air teh. Pemberian tiga jenis minuman ini tidak baik untuk kesehatan monyet jika tidak didasari dengan alasan jelas sehingga berpotensi menimbulkan gangguan pencernaan pada monyet.

Bebas dari Rasa Tidak Nyaman

Penilaian terhadap kebebasan monyet dari rasa tidak nyaman berdasarkan pada 9 pengamatan. Empat dasar penilaian sudah diterapkan dengan baik oleh 87.5% pawang sedangkan yang lainnya hanya diterapkan oleh ≤50% pawang. Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.

(34)

tidak nyamannya monyet adalah ukuran pakaian yang kecil dan cuaca yang panas. Pada mamalia, rambut berfungsi untuk mempertahankan suhu tubuh. Pemakaian baju akan membuat suhu tubuh monyet menjadi meningkat sehingga monyet menjadi tidak nyaman.

Tabel 12 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian kebebasan monyet dari rasa tidak nyaman di lokasi atraksi

Pengamatan (Dasar penilaian)

Jumlah pawang Persentase (orang) (%)

 Ketersediaan waktu istirahat 7 87.5

 Ketersediaan tempat istirahat 7 87.5

 Ventilasi tempat istirahat yang memadai 7 87.5

 Defekasi dan urinasi monyet dengan normal 7 87.5

 Kenyamanan pakaian monyet 4 50

 Ketersediaan tempat berlindung 3 37.5

 Kecukupan ukuran tempat berlindung 2 25

 Ketenangan monyet mengambil pakan 1 12.5

 Kenyamanan tempat istirahat 0 0

Kenyamanan monyet di tempat istirahat adalah dasar penilaian yang dilanggar oleh semua pawang. Ketersediaan tempat berlindung dan kecukupan ukuran tempat berlindung hanya dapat dipenuhi oleh 37.5% dan 25% pawang saja sedangkan ketenangan monyet dalam mengambil pakan hanya dapat dipenuhi oleh 12.5% pawang saja.

Ketidaknyamanan monyet di tempat istirahat disebabkan karena saat istirahat monyet sering diganggu oleh masyarakat sekitar. Gangguan yang terjadi berupa lemparan batu, pukulan ranting, dan bisingnya kendaraan. Tidak tersedianya tempat berlindung dan tidak cukupnya ukuran kandang disebabkan karena pawang tidak menyediakan tempat khusus untuk monyet berlindung dari panas ataupun hujan. Pawang menjadikan tempat dadakan seperti pinggir warung, gubug, bawah jembatan, dan bawah pohon jika terjadi hujan. Meskipun ada yang membawa kandang ke lokasi atraksi, akan tetapi ukurannya sangat kecil (40 cm x 30 cm x 50 cm). Menurut NSW Agriculture (2000) ukuran kandang untuk 2 ekor monyet pemakan kepiting adalah 10 m (panjang) x 6.5 m (lebar) x 3.5 m (tinggi). Jika dibandingkan maka kandang yang disediakan oleh pawang ukurannya jauh lebih kecil sehingga monyet tidak leluasa bergerak. Kondisi tidak nyaman yang berkepanjangan akan mengakibatkan stres pada monyet sehingga akan mempengaruhi perilaku, menurunkan kecernaan pakan, peningkatan konsumsi air dan penurunan bobot badan (Guyton dan Hall 2008).

Bebas dari Rasa Sakit, Luka, dan Penyakit

Penilaian terhadap kebebasan monyet dari rasa sakit, luka, dan penyakit berdasarkan pada 15 pengamatan. Sebagian besar dasar penilaian sudah diterapkan dengan baik oleh hampir seluruh pawang. Terdapat 5 dasar penilaian yang masih dilanggar oleh ≤50% pawang. Jumlah dan persentase pawang memenuhi dasar penilaian kebebasan ini dapat dilihat pada Tabel 13.

(35)

lain, dan terdapatnya bahan yang dapat mencederai monyet di tempat istirahat ditemukan pada lebih dari 50% pawang. Empat orang pawang yang berlokasi di pinggir jalan dan satu orang pawang yang berlokasi di perkampungan menyebabkan monyet langsung kena dengan sumber polusi. Sumber polusi tersebut berasal dari asap kendaraan dan asap rokok.

Menurut Depkes (2013) Timah hitam (Pb) dan nitrogen monoksida (NO) adalah pencemar udara yang paling banyak dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Keberadaan Pb di dalam tubuh akan mengakibatkan terhambat pembentukan haemoglobin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa tikus yang menghirup NO 2500 ppm selama 6-7 menit akan mengakibatkan kekejangan dan kelumpuhan syaraf, sedangkan pemberian selama 12 menit akan mengakibatkan kematian (Depkes 2013). Nikotin yang berasal dari asap rokok juga berpengaruh terhadap tubuh monyet. Menurut Zakariah (2010) intervensi nikotin pada monyet ekor panjang akan mengakibatkan peningkatan aktivitas monyet. Intervensi nikotin juga diteliti oleh Choliq et al. (2013). Choliq et al. (2013) menjelaskan bahwa pemberian nikotin cair pada tubuh monyet ekor panjang mengakibatkan penurunan bobot tubuh dan indeks masa tubuh.

Tabel 13 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian kebebasan monyet dari rasa sakit luka dan penyakit di lokasi atraksi

Pengamatan (Dasar penilaian)

Jumlah pawang Persentase (orang) (%)

 Monyet berjalan dengan 4 kaki 8 100

 Rantai tidak mencekik leher 8 100

 Atraksi tidak membuat monyet terluka/cedera 8 100

 Alat peraga tidak menyakiti monyet 8 100

 Pawang berusaha menghindarkan monyet dari risiko

kecelakaan 8 100

 Fisik monyet sehat 7 87.5

 Tidak ada bekas cekikan di leher 7 87.5

 Tidak ada bahan yang mencederai monyet di tempat atraksi 7 87.5

 Lemparan alat peraga tidak langsung ke tubuh monyet 7 87.5

 Pawang berusaha menjauhkan monyet dari disakiti oleh

orang/hewan lain 7 87.5

 Lokasi atraksi aman dari ancaman kecelakaan 4 50

 Monyet tidak langsung terekspos sumber polusi 3 37.5

 Monyet tidak berpotensi berkelahi dengan monyet/hewan

lain 2 25

 Tidak ada bahan yang mencederai monyet di tempat istirahat 1 12.5

 Bekas luka terlihat terawatt 0 0

(36)

Bebas Mengekspresikan Tingkah Laku Alami

Penilaian dari kebebasan mengekspresikan tingkah laku alami merujuk pada 7 pengamatan. Lima dasar penilaian sudah diterapkan dengan baik oleh ≥75% pawang sedangkan yang lainnya tidak dapat dipenuhi oleh satu orang pawang pun. Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian kebebasan monyet dalam mengekspresikan tingkah laku alami dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Jumlah dan persentase pawang yang memenuhi dasar penilaian kebebasan monyet dalam mengeskpresikan tingkah laku alami di lokasi atraksi

Pengamatan (Dasar penilaian)

Jumlah pawang Persentase (orang) (%)

 Bahan rantai tidak membebani monyet 8 100

 Monyet pernah beraktifitas sekehendaknya 7 87.5

 Terdapat aktivitas grooming oleh monyet 7 87.5

 Terdapat akitifitas foraging oleh monyet 6 75

 Monyet pernah memanjat pepohonan 6 75

 Panjang rantai cukup 0 0

 Monyet pernah berusaha monyet menarik sesuatu 0 0

Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa dasar penilaian yang dapat dipenuhi oleh seluruh pawang adalah bahan rantai yang tidak membebani monyet, sedangkan yang tidak dapat dipenuhi adalah panjang rantai yang cukup dan monyet pernah berusaha monyets mendapatkan sesuatu. Panjang rantai yang dipakaikan kepada monyet berkisar antara 1-2 meter. Hal ini mengakibatkan monyet sulit untuk leluasa bergerak. Keadaan lokasi atraksi yang dipinggir jalan dan kekhawatiran pawang jika monyetnya lari dan tertabrak menjadi alasan pembatasan ruang gerak. Menurut DEFRA (2010), jika ada suatu hal yang menarik perhatiannya, maka monyet akan berusaha untuk mendapatkannya. Tingkah laku ini tidak dilakukan monyet di lokasi atraksi karena memang tidak adanya kesempatan untuk monyet leluasa bergerak.

Monyet yang tidak pernah beraktivitas sekehendaknya serta tidak pernah melakukan aktivitas grooming dan foraging ditemukan pada pawang yang menempatkan monyet di dalam kandang ketika tidak beratraksi. Tidak adanya aktifitas grooming dan foraging ini disebabkan karena keterbatasan ruang gerak monyet. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cambu et al. (2013) yang menyatakan bahwa kandang yang disediakan untuk Macaca nigra dan Macaca nigrescens tidak mendukung tingkah laku sosial afiliatif (grooming), tingkah laku agonistik dan aktivitas makan. Waktu yang digunakan untuk aktivitas grooming oleh monyet adalah sekitar 6 jam (23.62%-27.54%) (Wirdadeti dan Dahruddin 2011), sedangkan waktu yang digunakan untuk foraging adalah 2.9-4.3 jam (12-18%) (Katili dan Saroyo 2011) setiap harinya. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu yang digunakan untuk grooming di lokasi atraksi adalah sekitar 2 jam sedangkan untuk foraging adalah sekitar 1.5 jam. Jika kedua hal ini dibandingkan maka persentase penggunaan waktu harian pada monyet untuk grooming dan foraging dalam atraksi topeng monyet masih kurang.

Gambar

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian
Tabel 1 Definisi operasional dari variabel yang diamati
Tabel 2 Penskoran untuk checklist terhadap indikator kesejahteraan hewan
Tabel 3 Jumlah dan persentase pawang topeng monyet di Bogor berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Antara lain, saya sering mengatakan, birokrasi yang masih bermasalah di banyak tempat, korupsi sendiri, masih terjadi juga konflik komunal, kekerasan-kekerasan horizontal, anarki

Jenis ikan buntal yang paling banyak ditemukan di Muara Perairan Bengkalis Kabupaten Bengkalis berada pada muara Sungai Pakning yaitu 7 spesies.. Hal ini

Bappeda Kota Salatiga merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dimana Bappeda adalah unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan yang

Untuk memahami masalah, subjek SKER membaca soal sebanyak dua kali. Kemudian subjek SKER menceritakan kembali soal yang diberikan dengan kata-katanya sendiri. Namun

Hasil jagung P 27 pada perlakuan pupuk kandang (T1) dan sludge (T2) secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5) disebabkan karena kandungan

Terna merupakan ide pusat dalam suatu cerita, atau merupakan pokok pikiran yang utama atau yang terpenting. Pokok pikiran utama dalam naskah Ma'rifatul Bayan ini,

PIHAK PERTAMA menjamin kepada PIHAK KEDUA, bahwa selama menjalankan Perjanjian ini PIHAK KEDUA tidak akan mendapat tuntutan atau gangguan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang