PROCALCITONIN SEBAGAI MARKER DAN
HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT KEPARAHAN SEPSIS
TESIS
Oleh
DONALD BOY P PURBA
NIM : 077101016
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PROCALCITONIN SEBAGAI MARKER DAN
HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT KEPARAHAN SEPSIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Penyakit
Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DONALD BOY P PURBA
NIM:
077101016
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBARAN PERSETUJUAN
Judul Tesis : PROCALCITONIN SEBAGAI MARKER DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT
KEPARAHAN SEPSIS Nama Mahasiswa : DONALD BOY P PURBA Nomor Induk : 077101016
Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam
Menyetujui
Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II
(dr. Yosia Ginting SpPD-KPTI) (dr. Franciscus Ginting SpPD)
Disyahkan Oleh :
Ketua Program Studi, Ketua Departemen,
(dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH) (dr. Sally Roseffi Nasution SpPD-KGH)
Tanggal Lulus :
Tanggal : November 2012
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Prof.dr.Sutomo Kasiman, SpPD-KKV
Anggota :
1. Dr. Abdur Rahim Rasyd Lubis, SpPD-KGH …….………….……....
2. Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH ……….…..
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar
Nama : Donald Boy P Purba
NIM : 077101016
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
Di bawah ini :
Nama : Donald Boy P Purba
Nomor Induk : 077101016
Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive
Royalti Free Right) atas tesis saya yang berjudul :
KADAR PROCALCITONIN SEBAGAI MARKER DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT KEPARAHAN SEPSIS
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk data base, merawat dan
mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada tanggal :
Yang menyatakan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan kasih dan berkatNya serta telah memberikan kesempatan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : Kadar Procalcitonin sebagai marker dan hubungannya dengan derajat keparahan sepsis.
Tesis ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter
ahli di bidang llmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima
kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH., selaku Ketua Departemen llmu
Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan bimbingan dan kemudahan buat penulis dalam menyelesaikan
pendidikan.
2. dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH., dan dr. Zainal Safri SpPD, SpJP., selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi llmu Penyakit Dalam yang dengan
sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli
penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk
mengabdi bagi nusa dan bangsa.
3. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., selaku Ketua TKP-PPDS ketika
penulis diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis llmu
Penyakit Dalam yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis llmu Penyakit
Dalam
4. dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI., sebagai Kepala divisi Penyakit Tropis dan
Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam sebagai Pembimbing I dan
dr.Franciscus Ginting, SpPD., sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan banyak bimbingan, dorongan dan bantuan dalam
menyelesaikan pendidikan.
5. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD-KKV, SpJP (K)., selaku Ketua Komisi Etik
6. Seluruh staf Departemen llmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD dr Pirngadi/
RSUP H. Adam Malik Medan : Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH.,
Prof. dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM., Prof. dr. Habibah Hanum
Nasution, SpPD-Kpsi., Prof. dr. Sutomo Kasiman SpPD-KKV., Prof. dr.
Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAl, SpMK., Prof. dr. Pengarapen Tarigan,
SpPD-KGEH., Prof. dr. OK Moehad Sjah SpPD-KR., Prof. dr. Lukman
Hakim Zain, SpPD-KGEH., Prof. dr. M Yusuf Nasution, SpPD-KGH., Prof.
dr. Azmi S Kar, SpPD-KHOM., Prof. dr. Gontar A Siregar, SpPD-KGEH.,
Prof. dr. Harris Hasan SpPD, SpJP(K)., Dr. A Adin St Bagindo
SpPD-KKV., dr. Lufti Latief, SpPD-SpPD-KKV., dr. Syafii Piliang, SpPD-KEMD
(Alm)., dr. Betthin Marpaung, KGEH., dr. Sri M Sutadi
SpPD-KGEH., dr. Mabel Sihombing, SpPD-SpPD-KGEH., Dr. dr. Juwita Sembiring,
SpPD-KGEH., dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP., dr. Abdurrahim Rasyid
Lubis, SpPD-KGH., dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD., Dr.dr. Umar Zein
SpPD-KPTI-DTM&H-MHA., dr. Refli Hasan SpPD,SpJP (K)., dr.Pirma
Siburian SpPD-KGER., dr. EN Keliat SpPD-KP., dr. Blondina Marpaung
KR., dr. Leonardo Dairy KGEH., dr. Rustam Efendi
SpPD-KGEH., dr. Dairion Gatot SpPD-KHOM., dr. Soegiarto Gani SpPD., dr.
Savita Handayani SpPD., yang merupakan guru-guru saya yang telah
banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti
pendidikan.
7. dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI., dr. R Tunggul Ch Sukendar, SpPD-KGH
(Alm)., dr. Daud Ginting SpPD., dr. Saut Marpaung SpPD., dr. Mardianto,
SpPD-KEMD., dr. Zuhrial SpPD-KAI., dr. Dasril Efendi SpPD-KGEH., dr.
llhamd SpPD., dr. Calvin Damanik SpPD., dr. Rahmat Isnanta, SpPD., dr.
Santi Safril SpPD-KEMD., dr. Jerahim Tarigan SpPD., dr. Endang
Sembiring SpPD., dr. T. Abraham SpPD., dr. Hariani Adin SpPD., dr.
Syafrizal Nasution SpPD., dr. Ida Nensi Gultom SpPD., dr. Meutia Sayuti
SpPD., dr. Anita Rosari SpPD., dr. Wika Hanida SpPD., dr. Riri Andri
Muzasti SpPD., dr. Radar R Tarigan SpPD., dr. Imelda Rey SpPD., dr.
Taufik Sungkar SpPD., dr Heny Syahrini SpPD., dr. Leni Sihotang SpPD.,
8. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang
telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan
fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.
9. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga
dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.
10. dr. M. Gusti Syahfredi, dr. Abida, dr. Immanual Tarigan, dr. Rini Miharti,
dr. Ira Ramadani, dr. M. Aron Pase, dr. Sari, dr. Fuad, dan dr. Chacha, yang
telah bersama mengalami suka dan duka selama mengikuti pendidikan.
14. Para sejawat peserta PPDS llmu Penyakit Dalam, perawat dan paramedis
SMF/Bagian llmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan/ RSUD Dr
Pirngadi Medan serta Bapak Syarifuddin, Kak Leli, Yanti, Wanti, Deni,
Fitri, dan Ita terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama ini.
15. Para pasien rawat inap dan rawat jalan di SMF/Bagian llmu Penyakit Dalam
RSUP H Adam Malik Medan/RSUD Dr. Pirngadi Medan, karena tanpa
adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.
16. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes., yang telah memberikan bantuan dan
bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.
Rasa hormat dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis tujukan
kepada Almarhum ayahanda Maripin Purba, dan ibunda Tonggo br Siburian BA, yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang paling tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa – jasa
ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan.
Kepada Almarhum Ayah mertua Pdt. Saur Pasaribu Sth dan Ibu mertua
Masnur br Siahaan yang telah memberikan dorongan semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih yang setulusnya,
kiranya Bapa yang di surga selalu memberikan kesehatan dan kebijaksaaan
kepada kalian orangtua yang sangat saya cintai dan sayangi.
Teristimewa kepada istriku tercinta dr. Nathaly Grace Christiana br Pasaribu, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini dapat
memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan senantiasa diberkati
pelipur lara dikala senang dan susah semoga apa yang kita jalani bersama selama
ini menjadi pendorong untuk mencapai cita – cita yang lebih baik lagi.
Terima kasihku yang tak terhingga untuk Abang/kakak: Ir.Sabar Surya Antariksa Purba, Ir. Victor Ari Krismas Purba/Olophon Rimery br Simatupang Amd. Ito/lae: drg. Martha Hasianna br Purba/ Haratua Marpaung, Shelly Prima Sari br Purba/ Anggiat Gultom Amd, dan seluruh anggota keluarga yang telah banyak membantu, memberi semangat dan dorongan
selama pendidikan.
Kepada semua pihak, baik perorangan maupun yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, kami mengucapkan terima
kasih.
Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas
kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala
bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti
pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Kita Yesus
Kristus.
Medan, November 2012
Penulis
(dr. Donald Boy P Purba)
DAFTAR ISI
2.1. Biosintesis dan patofisiologi ... 5
2.2. Hal-hal yang mempengaruhi kadar Procalcitonin ... 7
2.3. Sepsis ... 8
3.5.2. Kriteria yang dikeluarkan ... 16
3.6. Persetujuan setelah penjelasan ... 16
3.7. Etika penelitian ... 16
3.8. Kerangka Operasional ... 17
3.9. Cara kerja ... 17
3.9.1. Bahan dan prosedur penelitian ... 17
3.9.1.1. Pemeriksaan Procalcitonin ... 17
3.9.1.2. C-Reactive Protein ... 19
3.9.1.3. Kultur darah BACTEC ... 21
3.10. Defenisi operasional ... 22
3.10.1. Procalcitonin ... 22
3.10.2. Sepsis ... 22
3.11. Analisa statistik ... 22
BAB 4 Hasil Penelitian ... 24
4.1. Karakteristik subjek penelitian ... 24
BAB 5 Pembahasan ... 38
BAB 6 Kesimpulan dan saran ... 42
6.1. Kesimpulan ... 42
6.2. Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1.1.Karakteristik dasar penelitian ... 26
Tabel 4.1.2.Data laboratorium pasien secara keseluruhan ... 27
Tabel 4.1.3.Tanda vital dan status mental pasien ... 28
Tabel 4.1.4.Perbandingan rerata variabel antara infeksi non sepsis dan
sepsis secara keseluruhan ... 29
Tabel 4.1.5.Korelasi antara PCT dan CRP pada kelompok sepsis dan
non sepsis ... 30
Tabel 4.1.6.Perbandingan rerata PCT dan CRP berdasarkan derajat
keparahan sepsis ... 31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1.1.Skema asam amino dari procalcitonin ... 6
Gambar 4.1.1.Rerata kadar Procalcitonin pada infeksi non sepsis, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis ... 32
Gambar 4.1.2.Korelasi kadar PCT dengan derajat keparahan sepsis ... 33
Gambar 4.1.3.Etiologi sepsis sesuai dengan hasil kultur darah... . 35
Gambar 4.1.4.Distribusi pasien berdasarkan diagnosa sepsis... .... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.Master Tabel. ... 48
Lampiran 2.Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian.. ... 50
Lampiran 3.Lembar Persetujuan Subjek Penelitian ... 53
Lampiran 4.Persetujuan Komisi Etik ... 54
DAFTAR SINGKATAN
PCT : Procalcitonin
CRP : C-Reactive Protein
BACTEC : Best Patient Care Drug Neutralization Capabilities
HR : Heart Rate
RR : Respiratory Rate
SIRS : Sistemic Inflamatory Response Syndrome
HB : Haemoglobin
USU : Universitas Sumatera Utara
ICU : Intensive Care Unit
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
WBC : White Blood Cel
AA : Asam amino
BM : Berat Molekul
CGRP : Calcitonin Gene- Related Peptide
mRNA : Messenger Ribo Nucleic Acid
LPS : Lipopolisakarida
ng/ml : nano gram per milliliter
MRSA : Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
LBP : Lipopolysacharide Binding Protein
kDA : kilo Dalton
NFkB : Nuclear Factor kappa B
TK : Tyrosin Kinase
PKC : Protein Kinase C
TLR2 : Toll Like receptor-2
LTA : Lipotheichoic Acid
Abstract
Background : The mortality on sepsis is still high. It’s because of delayed ofthe treatment resulted from the diagnosis of sepsis estabilished more frequently imprecise. The inflammatory makers as c reactive protein and leucocyte apparently have high sensitivity and specifity where do contemn whereas blood culture examination required so long time and the result of culture often negatively. Research on Procalcitonin (PCT) formering have important of the role for the establishment diagnosis of sepsis because it’s utilized as sepsis marker and in reference to severity sepsis’degree .
Objective: To determine whether procalcitonin can be used as sepsis marker and severity of sepsis.
Method : Patients were assigned as 2 groups, sepsis and without sepsis with their consisting of 21 samples respectively. In the sepsis subgroup separated as sepsis only (8 samples), severe sepsis (6 samples) and sepsis shock (7 samples). All of them were examined by procalcitonin, C reactive protein, blood culture and white blood cell count.
Result : The fourty two of sample were examined (21 samples for sepsis and 21 samples for without sepsis). In the sepsis group were found rate of average PCT'S and CRP rate 18,44±27,60 ng/ml and 64942,80±41199,36 mg/l, respectively. In without sepsis were found average PCT'S and CRP rate 1,33±1,50 ng/ml and 49214,28±38193,31 mg/l,respectively. The subgroup of sepsis separated as sepsis only ( 8 samples), severe sepsis ( 6 samples) and sepsis shock (7 samples) were found rate of average PCT’S 4,5±1,65, 6,34±0,74 and 44,72±36,41 ng/ml, respectively.
A p value <0,05 is considered statistically significant.
Conclusion : The inflammatory marker of procalcitonin can be used as sepsis marker and determined severity of sepsis. This findings showed that PCT́́́́´S rate have positively correlation with severity of sepsis.
Abstrak:
Kadar Procalcitonin sebagai marker dan hubungannya dengan derajat keparahan sepsis
Donald B P Purba, Franciscus Ginting , Yosia Ginting
Latar belakang : Angka kematian pada sepsis masih tinggi. Hal ini dikarenakan kerterlambatan dalam penatalaksanaan oleh karena penegakan diagnose sepsis sering tidak tepat. Marker inflamasi seperti C-reactive protein dan leukosit ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sedangkan pemeriksaan kultur membutuhkan waktu yang lama dan hasil yang didapatkan sering negative. Procalcitonin (PCT) pada penelitian-penelitian terdahulu memiliki peran yang penting dalam penegakan diagnose sepsis oleh karena dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Tujuan : Untuk mengetahui apakah Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Metode : Pasien yang memenuhi kriteria dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu sepsis dan non sepsis dengan masing-masing terdiri dari 21 orang sampel. Khusus untuk kelompok sepsis dibagi lagi menjadi sepsis (8 sampel), sepsis berat (6 sampel) dan syok sepsis (7 sampel). Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar Procalcitonin, C-reactive protein, kultur dan darah lengkap.
Hasil : Terdapat 42 sampel yang diperiksa (21 sepsis dan 21 non sepsis). Dari kelompok sepsis secara keseluruhan didapatkan rerata kadar PCT dan CRP masing-masing 18,44±27,60 ng/ml dan 64942,80±41199,36 mg/l. Kelompok non sepsis didapatkan rerata kadar PCT dan CRP 1,33±1,50 ng/ml dan 49214,28±38193,31 mg/l secara berurutan. Pasien sepsis yang terbagi atas sepsis ( 8 orang), sepsis berat ( 6 orang) dan syok sepsis (7 orang) didapatkan rata-rata PCT 4,5±1,65 , 6,34±0,74 dan 44,72±36,41 ng/ml secara berurutan. Hal ini bermakna secara statistik, p<0,05.
Kesimpulan : Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berkorelasi positif dengan derajat keparahan sepsis.
Abstract
Background : The mortality on sepsis is still high. It’s because of delayed ofthe treatment resulted from the diagnosis of sepsis estabilished more frequently imprecise. The inflammatory makers as c reactive protein and leucocyte apparently have high sensitivity and specifity where do contemn whereas blood culture examination required so long time and the result of culture often negatively. Research on Procalcitonin (PCT) formering have important of the role for the establishment diagnosis of sepsis because it’s utilized as sepsis marker and in reference to severity sepsis’degree .
Objective: To determine whether procalcitonin can be used as sepsis marker and severity of sepsis.
Method : Patients were assigned as 2 groups, sepsis and without sepsis with their consisting of 21 samples respectively. In the sepsis subgroup separated as sepsis only (8 samples), severe sepsis (6 samples) and sepsis shock (7 samples). All of them were examined by procalcitonin, C reactive protein, blood culture and white blood cell count.
Result : The fourty two of sample were examined (21 samples for sepsis and 21 samples for without sepsis). In the sepsis group were found rate of average PCT'S and CRP rate 18,44±27,60 ng/ml and 64942,80±41199,36 mg/l, respectively. In without sepsis were found average PCT'S and CRP rate 1,33±1,50 ng/ml and 49214,28±38193,31 mg/l,respectively. The subgroup of sepsis separated as sepsis only ( 8 samples), severe sepsis ( 6 samples) and sepsis shock (7 samples) were found rate of average PCT’S 4,5±1,65, 6,34±0,74 and 44,72±36,41 ng/ml, respectively.
A p value <0,05 is considered statistically significant.
Conclusion : The inflammatory marker of procalcitonin can be used as sepsis marker and determined severity of sepsis. This findings showed that PCT́́́́´S rate have positively correlation with severity of sepsis.
Abstrak:
Kadar Procalcitonin sebagai marker dan hubungannya dengan derajat keparahan sepsis
Donald B P Purba, Franciscus Ginting , Yosia Ginting
Latar belakang : Angka kematian pada sepsis masih tinggi. Hal ini dikarenakan kerterlambatan dalam penatalaksanaan oleh karena penegakan diagnose sepsis sering tidak tepat. Marker inflamasi seperti C-reactive protein dan leukosit ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sedangkan pemeriksaan kultur membutuhkan waktu yang lama dan hasil yang didapatkan sering negative. Procalcitonin (PCT) pada penelitian-penelitian terdahulu memiliki peran yang penting dalam penegakan diagnose sepsis oleh karena dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Tujuan : Untuk mengetahui apakah Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Metode : Pasien yang memenuhi kriteria dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu sepsis dan non sepsis dengan masing-masing terdiri dari 21 orang sampel. Khusus untuk kelompok sepsis dibagi lagi menjadi sepsis (8 sampel), sepsis berat (6 sampel) dan syok sepsis (7 sampel). Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar Procalcitonin, C-reactive protein, kultur dan darah lengkap.
Hasil : Terdapat 42 sampel yang diperiksa (21 sepsis dan 21 non sepsis). Dari kelompok sepsis secara keseluruhan didapatkan rerata kadar PCT dan CRP masing-masing 18,44±27,60 ng/ml dan 64942,80±41199,36 mg/l. Kelompok non sepsis didapatkan rerata kadar PCT dan CRP 1,33±1,50 ng/ml dan 49214,28±38193,31 mg/l secara berurutan. Pasien sepsis yang terbagi atas sepsis ( 8 orang), sepsis berat ( 6 orang) dan syok sepsis (7 orang) didapatkan rata-rata PCT 4,5±1,65 , 6,34±0,74 dan 44,72±36,41 ng/ml secara berurutan. Hal ini bermakna secara statistik, p<0,05.
Kesimpulan : Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berkorelasi positif dengan derajat keparahan sepsis.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui dan
ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut.
Meskipun SIRS, sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi
bakteri, tidak harus terdapat bakteremia. Bakteremia adalah keberadaan bakteri
hidup dalam komponen cairan darah. Bakteremia bersifat sepintas, seperti
biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer ( tanpa fokus
infeksi teridentifikasi ) atau seringkali sekunder terhadap fokus infeksi
intravaskuler atau ekstravaskuler.
Telah lama diketahui bahwa beberapa tes laboratorium yang dapat
digunakan untuk mengetahui adanya proses-proses inflamasi seperti jumlah
leukosit, laju endap darah, C-reaktif protein (CRP), Tumor Necrosis Factor dan
Interleukin 1 dan 6. Namun berbagai tes tersebut tidaklah terlalu spesifik, karena
itu sulit sekali membedakan diagnose antara Systemic Inflammatory Respons
Syndrome (SIRS) dan sepsis dalam waktu yang cepat , karena harus menunggu
hasil kultur darah selama beberapa hari, sementara pasien harus mendapat
pengobatan yang cepat dan tepat dalam waktu segera dan hasil kultur darah
positif bisa juga karena faktor kontaminasi dan hasil kultur negatif belum tentu
menyingkirkan sepsis.
1
Pengukuran secara klinis dan laboratorium adalah kurang sensitif dan
spesifik sehingga diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi karena
baru untuk mendeteksi inflamasi karena infeksi yaitu PCT. Tes ini banyak
digunakan untuk membedakan antara SIRS dan sepsis.5,6
PCT dikenal sebagai protein yang dirangsang oleh inflamasi sejak tahun
1993. Sejak saat itu banyak penelitian yang menunjukkan peningkatan protein ini
pada plasma yang berhubungan dengan infeksi berat, sepsis dan syok sepsis. PCT
juga dapat membantu dalam differensial diagnosis penyakit infeksi atau bukan,
menilai keparahan sepsis dan juga respon dari pengobatan.
PCT adalah prohormon calcitonin, kadarnya meningkat saat sepsis dan
sudah dikenali sebagai petanda penyakit infeksi. Kepekatan procalcitonin dapat
mencapai 1000 ng/ml saat sepsis berat dan syok sepsis. 6,7
Pengukuran PCT secara berkala dapat digunakan untuk memonitor
perjalanan penyakit dan sebagai tindak lanjut (monitoring) dari terapi pada semua
infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Peningkatan nilai PCT atau nilai yang tetap
konsisten tinggi menunjukkan aktifitas penyakit yang berkelanjutan. Penurunan
nilai PCT menunjukkan menurunnya reaksi inflamasi dan terjadi penyembuhan
infeksi.
8
Kenaikan serum PCT adalah berhubungan erat dengan infeksi bakterial
sistemik yang dapat secara akurat membedakan antara infeksi bakteri sistemik
dan keadaan inflamasi akut yang bukan disebabkan infeksi. 9,10
Canan Balci dkk, pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang penggunaan PCT untuk diagnosa sepsis yang dilakukan pada ruang intensif.
Mereka mendapatkan bahwa PCT merupakan parameter diagnostik yang paling
akurat untuk membedakan antara SIRS dan sepsis, dan PCT dapat membantu
dalam monitoring pasien yang sakit berat.
11
Penelitian oleh FM Brunkhorst dkk pada tahun 2000 mendapatkan bahwa
kadar PCT berhubungan dengan derajat keparahan sepsis. Kadar PCT berbeda
cukup signifikan pada masing-masing tingkatan sepsis, demikian juga hasil yang
sama diperoleh pada penelitian oleh Gholamali Ghorbani dkk pada tahun 2008
dan Gian Paolo Castelli pada tahun 2000.
Penelitian oleh Cut Murzalina dkk pada tahun 2008 mendapatkan bahwa
peningkatan kadar PCT dapat digunakan untuk menegakkan sepsis secara dini.
Namun penelitian ini hanya dilakukan pada pasien-pasien sepsis di ICU dan tidak
ada membandingkan pasien sepsis dan infeksi non sepsis sehingga tidak dapat
diketahui perbandingan kadar PCT pasien sepsis dengan infeksi non sepsis dan
hubungan antara kadar PCT dengan derajat keparahan sepsis. 12,13,14
Di Bangsal penyakit dalam Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, angka
kematian oleh karena sepsis ternyata cukup tinggi yaitu 520 per tahun. Namun
apakah kematian tersebut benar disebabkan oleh sepsis atau oleh sebab-sebab lain
harus dibuktikan dengan pemeriksaan kultur yang ternyata hasilnya tidak selalu
positif, sehingga sangat diperlukan pemeriksaan lain seperti PCT untuk dapat
digunakan sebagai marker sepsis dan mengetahui hubungannya dengan derajat
keparahan sepsis sehingga diagnosa dan penatalaksanaan sepsis dapat lebih cepat
dan tepat yang menyebabkan penurunan angka mortalitas. Hal-hal inilah yang
menjadi latar belakang timbul keinginan untuk meneliti tentang PCT pada sepsis. 15
1.2. Perumusan masalah
1. Apakah Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis?
2. Apakah ada hubungan kadar Procalcitonin dengan derajat keparah-
1.3. Hipotesa
1. Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis.
2. Ada hubungan antara kadar Procalcitonin dengan derajat keparahan
Sepsis.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah kadar Procalcitonin dapat digunakan
sebagai marker sepsis.
2. Untuk mengetahui hubungan kadar Procalcitonin dengan derajat
keparahan sepsis.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Di bidang akademik/ ilmiah : meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang Penyakit Tropik dan Infeksi ( PTI ) , khususnya mengenai kadar
Procalcitonin sebagai marker sepsis dan hubungannya dengan derajat
keparahan sepsis.
1.5.2. Di bidang pelayanan kesehatan masyarakat : Dengan mengetahui bahwa kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker dan berhubungan
dengan derajat keparahan sepsis maka diagnosa dan penatalaksanaan
sepsis menjadi lebih cepat dan tepat.
1.5.3. Di bidang pengembangan penelitian : memberi data awal kepada Divisi PTI tentang kadar procalcitonin sebagai marker dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biosintesis dan patofisiologi Procalcitonin
PCT pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma. PCT
adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan BM ± 13 kDa, yang
dikode dengan gen Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada
sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari calcitonin 6,11,16,17
Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue-spesific
alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exon yang
merupakan kode untuk prePCT, adalah sebuah rantai peptide yang terdiri dari 141
asam amino dimana memiliki sebuah rantai peptide yang terdiri dari 25 asam
amino signal hidrophobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik
menghasilkan sebuah fragmen N-terminal (57 AA), calcitonin (32 AA) dan
katacalcin (21 AA). Kehadiran sinyal peptide membuat PCT disekresikan secara
intak setelah glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua di potong secara
terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin
Gene-Related Peptide (CGRP), dimana CGRP diekspresikan secara luas pada
saraf di otak, pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan
dalam immunomodulasi,neurotransmitter dan mengontrol vaskuler. .
Gambar 2.1.1. Skema asam amino dari procalcitonin.
3
Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa
tiroid C cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua
produk-produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenitas small
cell carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel monuklear
darah perifer manusia dan bermacam-macam sitokin proinflamatory dan
lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 dari limfosit dan monosit
manusia yang tidak di stimulasi mengandung protein PCT yang dapat
didemonstrasikan secara imunologi, keadaan ini dipicu oleh lipopolisakarida
bakteri, tetapi monosit dari pasien dengan syok sepsis memperlihatkan nilai basal
yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh
lipopolisakarida.
Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolisis spesifik gagal
sehingga terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein precursor, begitu juga
fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang
dirangsang oleh inflamasi belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel
pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap mampu menghasilkan PCT pada
keadaan sepsis.
Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi
lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah yang rendah. Peninggian konsentrasi PCT,
pertama kali terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6
hingga 8 jam kadar PCT akan meningkat dan mencapai plateu dalam waktu ± 12
jam. Setelah 2-3 hari, kadar PCT akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan
cepat oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari
PCT pada pasien dengan infeksi bakteri berat atau sepsis. Keadaan ini
memperlihatkan patofisiologi PCT pada respon imun akut. 17,18
Pada orang sehat PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran
darah, karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml). Tetapi selama infeksi
berat yang bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat hingga melebihi
100 ng/ml. Berbeda dengan waktu paruh calcitonin yang hanya 10 menit, PCT
memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 25-30 jam.
7,19
6,16
2.2. Hal-hal yang mempengaruhi kadar Procalcitonin.
Kadar PCT sangat stabil baik secara in vivo atau ex vivo walaupun pada
suhu ruangan. Juga terhadap pembekuan dan pencairan tidak mempengaruhi
konsentrasi PCT secara signifikan. Konsentrasi PCT pada sampel arteri dan vena
juga tidak berbeda. Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT dalam sampel serum
dan plasma dengan anti koagulan yang berbeda,perbedaan yang signifikan hanya
pada plasma lithium-heparin. Bagaimanapun, perbedaan ini sangat kecil dengan
rata-rata perbedaan <8%. Selain itu, kehilangan konsentrasi PCT sehubungan
penyimpanan pada suhu26 ruangan, hanya 12,4% (mean) dari konsentrasi
sebenarnya yang hilang dan sebanyak 6,3% (mean) yang hilang pada suhu 4C.
Penyimpanan pada suhu ruangan lebih disarankan. Persentase kerusakan
konsentrasi PCT pada suhu 25°C dan 4°C adalah sama untuk kadar yang tinggi
(PCT > 8 ng/ml) dan kadar yang rendah (PCT <8 ng/ml).
Konsentrasi PCT berhubungan dengan ringan atau beratnya infeksi, tetapi
tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. Namun demikian, kadar PCT tertinggi
dijumpai pada pasien infeksi jamur, khususnya infeksi aspergillus. Pada infeksi
jamur seperti kandidiasis mukosa mulut, kadar PCT berada dalam batas normal.
Rata-rata kadar PCT tidak dapat dibedakan secara signifikan pada pasien yang
diinfeksi oleh bakteri atau jamur yang berbeda. Kadar PCT menurun pada pasien
yang berhasil (membaik) diterapi dengan antibiotik atau anti jamur yang efektif. 20
21
2.3. SEPSIS
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana
lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi
aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh,
perubahan jumlah leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat
adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi
organ.
Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician
(ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus
Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu
keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsisdibawah ini:
- Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah positif.
- SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih keadaan berikut :
1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC
2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)
3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau neutrofil
batang > 10%
- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman. - Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi
atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan
kesadaran.
- Syok sepsis : sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.
- Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tekanan darah normal pasien.
- Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih, memerlukan Intervensi untuk mempertahankan homeostasis.1,22 Internasional
Sepsis Definitions Conference pada tahun 2001 menambahkan beberapa
kriteria diagnosis baru untuk sepsis. Rekomendasi yang utama adalah
implementasi dari PIRO yaitu penetapan predisposisi, insult infection (keadaan
2.3.1. Epidemiologi
Sepsis dalam 20 tahun terakhir meningkat di Amerika Serikat, di perkirakan
jumlah kasus sepsis 400.000 – 500.000 setiap tahunnya. Data di Amerika Serikat
menunjukkan pada tahun 1979 tercatat 164.000 kasus sepsis (82,7/100.000
populasi), sedangkan pada tahun 2000 tercatat 660.000 kasus (240,4/100.000
populasi) sehingga terjadi peningkatan insiden pertahun 8,7%. Sepsis merupakan
penyebab terbanyak kematian di ruang 33 rawat intensif pada seluruh dunia
dengan angka mortalitas 20% untuk sepsis, 40% sepsis berat dan > 60% syok
sepsis. Di Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab kematian utama pada
pasien jantung yang dirawat di Intensive care unit (ICU).
2.3.2. Etiologi
24
Infeksi pada sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negative atau gram
positif. Selama periode 1979 – 2000 di Amerika Serikat angka sepsis terus
meningkat sampai 13,7% per tahun. Dari 51% hasil biakan kuman yang tumbuh,
52,1% diantaranya adalah gram positif, 37,5% gram negatif, 4,7% polimikrobial,
4,6% jamur dan 1% bakteri anaerob. Infeksi bakteri gram positif terus meningkat
disebabkan oleh peningkatan infeksi nosokomial dari berbagai sumber seperti
kateterisasi atau terapi imunosupresif. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya
kasus MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus) dari 29% menjadi
45%. Infeksi terutama terjadi pada saluran nafas (40-44%), diikuti oleh infeksi
saluran genitourinarius (9-18%) dan infeksi intra abdominal (9-14%).
2.3.3. Patogenesis
25
Perbedaan stadium pada sepsis merupakan suatu kesinambungan, dimana
Sepsis umumnya dimulai dengan infeksi lokal, dimana bakteri masuk
kedalam aliran darah secara langsung menyebabkan bakteremia atau bisa juga
berproliferasi secara lokal dan melepaskan toksin kedalam aliran darah. Toksin ini
bisa muncul dari komponen struktur bakteri ( contohnya, endotoksin, teichoic acid
antigen) atau bisa juga sebagai eksotoksin dimana protein-protein disintesa dan
dilepaskan oleh bakteri. Endotoksin yang dimaksud adalah lipopolisakarida (LPS)
yang terdapat pada bakteri gram negatif. Baik bakteri gram positif maupun gram
negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif, dinding sel terdiri dari 3 lapisan yaitu membrane
luar, periplasma dan membran dalam. Lipopolisakarida terdapat pada membran
luar dinding sel, yang terdiri dari 3 bagian: antigen O, core dan lipid A. Antigen O
adalah polimer yang tersusun dari 4-5 monosakarida, salah satu ujung dari
rantainya terpapar pada permukaaan bakteri, ujung lainnya berikatan dengan core.
Core berikatan dengan lipid A. Lipid A merupakan fosfolipid dengan basis
glukosamin. Lipid A berikatan dengan membran luar dinding sel pada gugus asil
yang bersifat hidrofobik. Lipid A merupakan bagian LPS yang bersifat toksik,
dimana gugus fosfat pada posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Struktur
core pada LPS berbeda pada setiap spesies bakteri. Core LPS pada E.coli berbeda
dengan Pseudomonas aeruginosa ataupun dengan Klebsiella pneumonia.
26,27
Injeksi LPS pada hewan percobaan dan manusia menimbulkan tanda dan
gejala demam, hipotensi dan pelepasan mediator inflamasi. Monosit atau
makrofag, netrofil dan sel endotel berperan dalam respon terhadap infeksi dan
mempunyai reseptor terhadap endotoksin. Suatu protein di dalam plasma dikenal
dengan lipopolysacharide binding protein (LBP), dengan berat molekul 55 kDa
dan disintesis oleh hepatosit berperan penting dalam metabolism LPS. LBP
terdapat dalam 2 bentuk, bentuk terlarut dan dalam ikatan dengan reseptor LPS
yaitu CD14.
Bila LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor
inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan
dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat
ikatan dengan CD14 di permukaan sel maupun CD14 terlarut. Selanjutnya
kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuclear
factor kappa B (NFkB), tyrosin kinase (TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks
LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
resceptor-2(TLR2). 26
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang merupakan
induktor sitokin adalah lipotheichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG). LTA
merupakan polimer gliserol dan fosfat, berikatan dengan membrane sel monosit
pada gugus asil di reseptor LTA (reseptor scavenger tipe 1). Mekanisme
transduksi sinyal intrasel LTA masih belum jelas. Peptidoglikan terdiri dari
polimer ß1-4, glukosamin-N- asam asetilmuramat, dengan ikatan silang 30ntibio.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa PG dapat menginduksi produksi sitokin
pada monosit dengan ikatan pada CD14. Mekanisme transduksi sinyal intrasel PG
juga belum diketahui. 26
Pada infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dapat
terjadi sindrom renjatan toksik (toxic shock syndrome/TSS). Mekanisme yang
berperan adalah diproduksinya eksotoksin yang bersifat superantigen. Pada
dipresentasikan pada reseptor sel T (T cellresceptor /TCR). Superantigen akan
secara langsung membentuk kompleks dengan MHC dan TCR sehingga terjadi
proliferasi sel T dan produksi sitokin yang berlebih.
2.3.4. Peran mediator inflamasi pada sepsis
26,28
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan host terhadap infeksi
dan invasi mikroorganisme. Immunitas host bereaksi dengan melepaskan protein
endogen, aktivasi sel sehingga mikroorganisme dapat dibunuh, sel-sel yang rusak
dibersihkan dan terjadi perbaikan jaringan.
Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih.
Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik,
mengaktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya;
aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, sistem koagulasi dan
fibrinolisis; pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal.
Selain mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan pula mediator yang bersifat
anti inflamasi seperti sitokin anti inflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase
akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon. 28
28
2.4. C-Reactive protein (CRP).
CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh
hepatosit, merupakan suatu petanda inflamasi yang memberikan respon pada
keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa
respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan
jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan
protein-protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif dan negative,
dalam artian dapat naik ataupun turun sebanyak 25%.
Protein fase akut ini sebenarnya terdiri dari banyak jenis dari sistem
komplemen, sistem kagulasi dan fibrinolitik, anti protease, protein transport dan
lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi, baik berupa peningkatan
maupun penurunan sebesar 25% dan termasuk di dalamnya adalah CRP. 29
29
Pada orang sehat didapati bahwa nilai tengah kadar CRP di sirkulasi
adalah 0,8 mg/L, dimana bila terdapat stimulus yang bersifat akut, dapat terjadi
peningkatan hingga 10.000 kali dari nilai normalnya. Waktu paruh dari CRP ini
kira-kira 19 jam dan dari penelitian ternyata didapatkan hal ini konstan pada
seluruh keadaan baik pada orang sehat maupun pada orang sakit.29
2.5. Kerangka Konseptual.
PASIEN
INFEKSI
SEPSIS
NON SEPSIS
BAB 3 METODOLOGI
3.1. Desain penelitian
Desain penelitian adalah potong lintang dan bersifat deskriptif analitik.
3.2. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai Juni 2010 di Ruang
Rawat inap terpadu penyakit dalam dan Ruang ICU RSH.Adam Malik
Medan.
3.3 Populasi penelitian
Populasi adalah semua penderita sepsis .
Sampel adalah semua penderita sepsis yang dirawat Ruang rawat inap
terpadu penyakit dalam dan ruang ICU RSUP H. Adam malik Medan.
Sebagai kelompok kontrol adalah pasien infeksi yang tidak mengalami
sepsis yang diambil dari ruang rawat inap terpadu penyakit dalam dan
ruang ICU RSUP .H. Adam Malik Medan.
3.4 . Besar Sampel
Perkiraan besar sampel : N = ( Zα+ Zβ) Sd 2
d α = 0,05 Zα = 1,96 Keterangan :
= ( 1,96 + 1,036) 1,171 2 β = 0,15 Zβ = 1,036
= (4,385)
0,8 Sd = Standart deviasi PCT= 1,171 2
= 19,2 ≈ 19 pasang orang (jumlah minimal sampel 19 orang
kontrol dan 19 orang pasien sepsis).
3.5 Kriteria yang dimasukkan dan yang dikeluarkan 3.5.1. Kriteria yang dimasukkan
Pasien sepsis berusia diatas 17 tahun
3.5.2. Kriteria yang dikeluarkan
• Sepsis dengan pancreatitis
• Sepsis dengan Carcinoma tiroid
• Sepsis dengan HB<5 g/dl
• Sepsis dengan severe trauma
• Sepsis dengan post CABG
• Sepsis dengan Ca Paru
• Infeksi jamur
3.6. Persetujuan setelah penjelasan/Informed Consent
Seluruh subjek penelitian dimintakan persetujuan secara tertulis tentang
Kesediaan mengikuti penelitian ( Informed Consent).
3.7 Etika Penelitian
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas
3.8. Kerangka Operasional
3.9. Cara Kerja
3.9.1.Bahan dan prosedur penelitian 3.9.1.1. Pemeriksaan PCT
• Metode pemeriksaan : ELFA
• Persyaratan sampel : Serum, plasma (Li Heparin)
• Nilai rujukan : <0,05 ng/ml
• Reagen/ alat : Elecsys BRAHMS PCT /COBAS e 601
Pengambilan sampel darah
• Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan
dibiarkan kering. Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan
dengan menggunakan dispossible syringe 10 cc yang dibagi atas 2
bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah dengan antikoagulan
Pasien Sepsis
Kadar Procalcitonin Darah lengkap, CRP, kultur
Derajat Keparahan sepsis
Pasien Infeksi non sepsis
Hubungan ?
EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian kedua sebanyak 3
cc darah tanpa antikoagulan dan diambil serumnya untuk
pemeriksaan PCT Pengambilan sampel darah dilakukan tanpa
memperdulikan hari keberapa pasien dirawat, dimana apabila
ditemukan pasien sepsis maka diambil sampel darahnya dalam waktu
24 jam. Dan pada saat pengambilan sampel darah , pasien dalam
posisi berbaring.
Prinsip tes : Sandwich principle. Total durasi pemeriksaan : 18
menit.
• Inkubasi 1 : antigen dalam sampel (30uL), suatu antibody spesifik
PCT biotinylated monoclonal dan suatu antibody spesifik
monoklonal yang di label dengan kompleks ruthenium dan bereaksi
membentuk kompleks sandwich.
• Inkubasi 2 : Setelah penambahan mikropartikel yang dilapisi streptavidin, kompleks akan menjadi berikatan ke solid phase
melalui interaksi dari biotin dan streptavidin
• Campuran reaksi diaspirasi kedalam masuring cell dimana mikropartikel ditangkap secara magnetic ke permukaan elektroda.
Substansi yang tidak berikatan kemudian dipindahkan dengan
Procell. Aplikasi voltase terhadap elektroda akan menginduksi emisi
chemiluminescent yang diukur oleh photomultiplier.
• Hasil ditentukan melalui kurva kalibrasi yang merupakan instrument spesifik oleh 2-point calibration dan suatu kurva master yang
Nilai PCT (ng/ml)
• kategori I : < 0,05 ng/ml : Normal
• kategori II : 0,05 ng/ml - < 2 ng/ml : Infeksi non sepsis
• kategori III : 2 ng/ml - < 5 ng/ml : Sepsis
• Kategori III : 5 – 10 ng/ml : Sepsis berat
• kategori IV : > 10 ng/ml: Syok sepsis
Darah dengan antikoagulan EDTA segera dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan morfologi darah tepi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan dengan
alat Cell Dyne 3700 dan morfologi ® darah tepi diidentifikasi dari blood film
dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan Laju Endap Darah dilakukan dengan
cara Westergren.
3.9.1.2. C-Reactive Protein (CRP) Metode : Imunochemiluminescent
Sampel :
Jenis : Serum/ Plasma (EDTA/ Heparin)
Jumlah : 0,2 (0,1) ml
Stabilitas : 2-8 o
: -20
C : 3 hari
o
Catatan : Sampel lipemik harus dilakukan sentrifuge sebelum C : 2 bulan
diperiksa. Hindari Menggunakan sampel beku ulang
Persiapan Sampel: Sampel harus diencerkan 1:101 dengan CRP sample
diluent misal 10 ul serum/plasma + 1000 ul CRP sample diluent
Reagen
Jenis : Reagen C-Reactive Protein DCP
Prinsip Kerja : Immulite C-reactive Protein adalah pemeriksaan imunometrik berlabel enzim chemiluminescent yang didasarkan pada antibodi monoklonal
berlabel ligand dan pemisahan oleh fase padat yang dilapisi anti ligand. Sampel
yang telah diencerkan, ligand berlabel antibodi monoklonal anti CRP dimasukkan
ke dalam test unit yang mengandung anti ligand dan diinkubasi selama ±30 menit
pada suhu 37o
Interpretasi Hasil :
C dengan sekali pengocokan. Selama pengocokan, CRP dalam
sampel membentuk komplek sandwich antibodi yang berikatan dengan anti
ligand pada fase padat. Konjugat yang tidak berikatan dibuang pada pencucian
berputar, kemudian ditambahkan substrat dan test unit diinkubasi selama 10
menit. Substrat chemiluminescent, ester phosphate dari adamanthyl dioxetan
mengalami hidrolisis dengan adanya alkaline phosphatase menghasilkan emisi
cahaya yang terus menerus jadi memperbaiki presisi dengan menyediakan jendela
pembacaan multipel. Ikatan komplek dan photon yang dihasilkan, diukur dengan
luminometer sebanding dengan konsentrasi CRP dalam sampel
Secara otomatis hasil tampak dilayar komputer dan akan dicetak pada printer.
Hasil dalam satuan ng/ml
Nilai rujukan : < 11 ng/ml
3.9.1.3. KULTUR DARAH DAN GAL DENGAN BACTEC 9050
Prinsip Pemeriksaan: Membiakkan dan menginokulasikan bakteri yang terdapat pada sample darah pada media agar. Jika terdapat pertumbuhan koloni bakteri,
dilakukan identifikasi dan selanjutnya dilakukan uji kepekaan.
Sampel
• Jenis : Darah
• Volum : 8-10 ml (untuk pasien dewasa), 1-3 ml (untuk pasien anak)
• Stabilitas: 24 Jam pada suhu ruang pada media Bactec plus Aerobic
Langkah Kerja • Persiapan
• Prosedur Kerja
Penanganan Sampel
- Disinfeksi penutup botol dengan kapas alkohol 70%
- Dengan menggunakan spuilt, masukkan 8-10 ml (untuk pasien
dewasa) darah ke dalam botol Bactec Plus Aerobic atau 1-3 ml (untuk
pasien anak) darah ke dalam botol Bactec Peds Plus.
- Masukkan botol ke alat Bactec 9050
- Inkubasi botol fan aerobic selama 5 hari
- Keluarkan botol dari alat Bactec 9050
Inokulasi Sampel
- Dengan menggunakan spuit, ambil 1 ml sampel dari botol yang
menunjukan hasil positif kemudian ratakan dengan ose (dilakukan
secara aseptis) pada permukaan media agar.
- Inkubasi pada suhu 37o
- Lakukan pewarnaan Gram, identifikasi dan atau uji kepekaan terhadap
koloni tersangka
C selama 18-24 jam.
3.10. Definisi Operasional
3.10.1. Procalcitonin ( PCT) : adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan BM ± 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-I yang terletak pada
kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari
calcitonin. 3.10.2. Sepsis :
- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.
- Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan
penurunan kesadaran.
- Syoksepsis : sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusi- tasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi
organ.
3.11. Analisa Statistik
3.11.1. Untuk melihat gambaran karasteristik dan kadar PCT pada
kelompok sepsis dan infeksi non sepsis disajikan dalam bentuk tabulasi
dan dideskripsikan.
3.11.2. Untuk melihat perbedaan rata-rata variabel antara kelompok sepsis dan infeksi non sepsis digunakan uji T independen jika data
berdistribusi normal dan jika sebaliknya digunakan uji Mann-
Whitney.
kelompok berdistribusi normal, dan jika sebaliknya digunakan uji
korelasi Spearman.
3.11.4. Untuk melihat perbedaan rata-rata variabel dengan derajat keparahan sepsis digunakan uji Anova.
3.11.5. Hasil analisa bermakna secara statistik jika p<0,05.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan april 2010 hingga Juni 2010 pada
Ruang rawat inap terpadu penyakit dalam dan ruang ICU RSUP H. Adam
Malik Medan. Pada pelaksanaan penelitian didapatkan 42 orang sampel
penelitian, yaitu 21 orang penderita infeksi non Sepsis dan 21 orang penderita
sepsis. Dari 21 orang penderita sepsis dibagi menjadi 3 kelompok sesuai dengan
derajat keparahan sepsis, yaitu sepsis, sepsis berat dan syok sepsis sebanyak 8
orang,6 orang dan 7 orang secara berurutan.
Pada penelitian ini kelompok sepsis dijumpai pria sebanyak 5 orang,
wanita 3 orang. Sepsis berat pria sebanyak 3 orang dan wanita 3 orang,
sedangkan syok sepsis pria 6 orang dan wanita 1 orang. Kelompok infeksi non
Sepsis sebanyak 21 orang, pria sebanyak 11 orang dan wanita 10 orang.
Rerata umur kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah
62,88±12,48 , 44,83±18,01 dan 44,14±13,04 tahun secara berurutan. Sedangkan
pada kelompok infeksi non sepsis adalah 46,62 ± 16,68 tahun. Rerata temperatur
pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah 38,61±0,46 ,
39,21±0,49 dan 39,15±0,47°C secara berurutan, sedangkan pada kelompok
infeksi non sepsis adalah 37,22±0,58°C. Rerata frekuensi jantung pada kelompok
sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah 101,88±8,36 , 122,00±6,81 dan
119,14±4,59 x/menit secara berurutan, sedangkan pada kelompok infeksi non
x/menit secara berurutan sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis adalah
24,10±3,71 x/menit.
Rerata kadar Hb kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah
10,70±2,0 , 10,04±2,40 dan 8,13±0,60 mg/dl secara berurutan,. Sedangkan pada
kelompok infeksi non sepsis adalah 11,01±1,39 mg/dl. Rerata jumlah leukosit
pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah 17.863±6498 ,
13.516±12.950 dan 17.440±8353 /µl secara berurutan. Sedangkan pada kelompok
infeksi non sepsis adalah 15.928±7059 /µl.
Rerata kadar CRP pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis
adalah 63187,55±42009,86 , 55316,71±42825,73 dan 75199,74±43024,59 mg/L
secara berurutan, sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis adalah
49214,28±38193,31 mg/L. Rerata kadar PCT pada kelompok sepsis, sepsis berat
dan syok sepsis adalah 4,53±1,65 , 6,34±0,74 dan 44,72±36,41 ng/ml secara
berurutan, sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis adalah 1,33±1,50 ng/ml.
Pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis ternyata semua telah
mendapat terapi antibiotik sebelumnya. Sedangkan pada kelompok infeksi non
Tabel 4.1.1. Karakteristik dasar penelitian
Variabel Derajat keparahan penyakit
Infeksi non Sepsis Sepsis Sepsis berat Syok sepsis
Umur, thn 46,62 ± 16,68 62,88±12,48 44,83±18,01 44,14±13,04
Tanda Vital
Tabel 4.1.2 menggambarkan data laboratorium pasien secara keseluruhan.
Dapat kita lihat bahwa pasien dengan leukopenia dan leukositosis secara
berurutan adalah 2 orang (4,76%) dan 33 orang (78,57%). Pasien dengan anemia
dijumpai sebanyak 33 orang (78,57%). Pasien dengan trombositopenia dijumpai
sebanyak 8 orang (19,05%). Pasien dengan Laju Endap darah <30 mm/jam,
30-100 mm/jam dan >30-100 mm/jam secara berurutan adalah 16 orang (38,09%), 19
(45,24%) dan 7 orang (16,67%). Kultur darah positif dijumpai sebanyak 10 orang
(23,80%). Kultur sputum dan urin positif masing-masing dijumpai pada 4 orang
(21,05%) dan 3 orang (42,85%).
Tabel 4.1.2. Data Laboratorium pasien secara keseluruhan
Test Laboratorium
Variabel Analisis Frekuensi Persentase
Leukosit - Leukopenia - Normal
Haemoglobin - Normal - Anemia
- 9 - 33
- 21,43 - 78,57 Trombosit - Normal
- Trombositopenia
kita lihat bahwa secara keseluruhan bahwa pasien dengan demam, temperatur
normal dan hipotermia secara berurutan adalah 19 orang (45,23%), 23 orang
(54,77%) dan tidak ada yang hipotermi. Pasien dengan denyut nadi < 90 x/menit
dan > 90 x/menit secara berurutan adalah 18 orang (42,85%) dan 24 orang
(57,15%). Pasien dengan frekuensi nafas < 20 x/ menit dan > 20 x/menit secara
berurutan adalah 4 orang (9,52%) dan 38 orang (90,48%). Pasien dengan
Tabel 4.1.3. Tanda vital dan status mental pasien
Tanda Vital Variabel analisis Frekwensi Persentase
Temperatur - >38,2 - 36-38.2 Frekwensi nafas - <20
- >20
- 4 - 38
- 9,52 - 90,48 Tekanan darah - Hipotensi
- Normal Status mental - Penurunan kesadaran
- Normal
Sepsis dan sepsis secara keseluruhan . Dapat kita amati pada tabel ini bahwa
kedua kelompok ini ternyata berbeda signifikan dalam variabel temperatur, HR,
RR dan PCT Pada kelompok infeksi non Sepsis dengan 21 orang didapatkan
rerata PCT 1,33 ± 1,50 ng/ml sedangkan pada kelompok sepsis juga dengan 21
orang didapatkan rerata PCT 18,44 ± 27,60 ng/ml. Hal ini menunjukkan bahwa
kadar PCT kelompok sepsis adalah lebih tinggi secara bermakna dibanding
infeksi non sepsis.(p<0,05)
*) Signifikan
Kadar CRP ternyata berkorelasi positif dengan kadar PCT pada kelompok non sepsis dengan r (0,56). Hal ini bermakna secara statistik. (p<0,05).
Semakin meningkat kadar PCT maka kadar CRP juga akan semakin meningkat.
Namun tidak demikian hal nya pada kelompok sepsis .
( Tabel 4.1.5 )
Tabel 4.1.5. Korelasi antara PCT dan CRP pada kelompok sepsis dan non sepsis.
Variabel yang dihubungkan
dengan PCT n r P
CRP pada Non sepsisd) 21 0,56 0,008*
CRP pada sepsisc) 21 0,09 0,69
Keterangan : c) Uji Korelasi Pearson d) Uji Korelasi Spearman *) Signifikan
Pada penelitian ini dapat kita perhatikan bahwa rerata PCT berbeda secara
bermakna dengan derajat keparahan sepsis, semakin meningkat derajat keparahan
sepsis maka akan semakin meningkat pula rerata PCT. Hal ini bermakna secara
statistik. (p<0,05). Namun hal berbeda didapatkan pada pemeriksaan CRP,
semakin meningkat derajat keparahan sepsis ternyata tidak diikuti dengan
Tabel 4.1.6. Perbandingan rerata PCT dan CRP berdasarkan derajat
infeksi non sepsis, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis. Dapat kita lihat bahwa
semakin berat derajat keparahan sepsis maka rata-rata kadar PCT juga akan
Gambar 4.1.2 menggambarkan tentang korelasi kadar PCT dengan derajat
keparahan sepsis. Dapat kita lihat bahwa derajat keparahan sepsis berkorelasi
positif dengan kadar PCT. Semakin berat derajat keparahan sepsis maka kadar
PCT juga semakin meningkat. Koefisien korelasi (r) sebesar 0,61 (p<0,05).
Pada penelitian ini didapatkan sensitifitas dan spesifisitas PCT ternyata
cukup tinggi yaitu 80% dan 81,3%. (Tabel 4.1.7).Sedangkan Positif Predictive
Value (PPV) dan Negatif Predictive Value (NPV) masing-masing sebesar 57,14%
dan 92,85%.
Derajat kerparahan sepsis
4 3.5
3 2.5
2
PCT
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
R Sq Linear = 0.382
r = 0,61
Tabel 4.1.7. Sensitivitas dan Spesifisitas PCT
POSITIVE PREDICTIVE VALUE : 8/14 x 100% = 57,14%
NEGATIVE PREDICTIVE VALUE :26/28 x 100% = 92,85%
Gambar 4.1.3 menggambarkan etiologi sepsis sesuai dengan hasil kultur
darah. Dapat kita lihat bahwa etiologi terbanyak sepsis adalah pseudomonas
(30%), diikuti oleh Klebsiella pneumonia (20%), Enterobacter sp (20%).
S.epidermidis, S.arizonae dan S.saprophyticus masing-masing adalah 10 %.
Etiologi Sepsis Sesuai Dengan Hasil Kultur Darah (n=10)
Gambar 4.1.4 menggambarkan distribusi pasien berdasarkan diagnosa
sepsis. Kita lihat bahwa sepsis peneumonia adalah diagnosa terbanyak (90,48%)
diikuti urosepsis dan sepsis ec gangren diabeticum sebanyak masing- masing
4,76%.
Gambar 4.1.5 menggambarkan jenis-jenis antibiotika yang diberikan
kepada pasien selama perawatan. Dapat kita lihat bahwa antibiotik yang
terbanyak diberikan adalah kombinasi ceftriaxon + Ciprofloxacin (42,87%),
diikuti ceftriaxon + eritromisin (28,57%), ceftazidime (9,52%), meropenem
(9,52%) , meropenem + Ciprofloxacin (4,76%) dan Cefotaxime + Ciprofloxacin
(4,76%).
Diagnosa Pasien Sepsis (n=21)
Sepsis ec Pneumonia
Urosepsis
Sepsis ec Gangren Diabetikum
90.48 %
4.76 %Jenis-jenis antibiotik yang diberikan pada kelompok
sepsis (n=21)
Ceftriaxon + Ciprofloxacin
Ceftriaxon + Eritromisin
Ceftazidime
Meropenem
Meropenem + Ciprofloxacin
Cefotaxime + Ciprofloxacin 42,87%
9,52%
28,57%% 4,76% 9,52%
4,76%
BAB 5 PEMBAHASAN
Kami melaporkan pemeriksaan kadar PCT pada pasien sepsis yang
dirawat di Ruang rawat inap terpadu penyakit dalam dan Ruang ICU RSUP H.
Adam Malik Medan. Hal yang sama juga dilakukan pada kelompok kontrol yaitu
pasien yang mengalami infeksi non sepsis. Kelompok sepsis diperiksa sebanyak
21 orang yang terdiri dari 8 orang sepsis, 6 orang sepsis berat dan 7 orang syok
sepsis, demikian juga kelompok infeksi non Sepsis sebanyak 21 orang. Terhadap
kedua kelompok juga dilakukan pemeriksaan kultur, darah lengkap dan CRP.
Pada penelitian ini dijumpai perbedaan rata-rata variabel antara kelompok
sepsis secara keseluruhan dan infeksi non Sepsis. Pada kelompok sepsis secara
keseluruhan didapatkan rata-rata kadar PCT 18,44 ± 27,60 ng/ml sedangkan pada
kelompok infeksi non Sepsis 1,33±1,50 ng/ml. Hasil ini bermakna secara
statistik. (p<0,05). Hasil yang sama didapatkan pada penelitian sebelumnya oleh
Assicot M, dkk (1993) yang mendapatkan bahwa pasien dengan infeksi lokal
bakteri tanpa adanya respon sistemik umum tampaknya tidak memiliki kadar
PCT yang tinggi dibanding pasien dengan infeksi sistemik dan bakteremia.
Demikian juga yang didapatkan pada penelitian oleh Eberhard OK, dkk (1998)
Demikian juga halnya pada pemeriksaan tanda vital yang meliputi
temperatur, denyut jantung, frekwensi nafas yang dihubungkan dengan kadar
PCT ternyata memiliki korelasi yang bermakna secara statistik.(p<0,05). Hasil
berbeda didapatkan pada penelitian sebelumnya oleh Ghorbani G (2009). Namun
pada pemeriksaan laboratorium meliputi kadar CRP, leukosit dan laju endap .
darah yang dihubungkan dengan kadar PCT ternyata tidak bermakna secara
statistik. (p>0,05). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan Ghorbani G
(2009).
Pemeriksaan kadar PCT yang dihubungkan dengan derajat keparahan
sepsis terdiri dari sepsis, sepsis berat dan syok sepsis didapatkan rata-rata secara
berurutan adalah 4,53±1,65 , 6,34±0,74 dan 44,72±36,41 ng/ml. Semakin
meningkat derajat keparahan sepsis maka kadar PCT juga akan semakin
meningkat. Hasil ini bermakna secara statistik.(p<0,05). Namun berbeda dengan
hasil penelitian sebelumnya oleh Ghorbani G (2008) dan juga Barati, dkk (2008)
yang mendapatkan bahwa Kadar PCT tidak dapat membedakan antara infeksi
non Sepsis, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis . Hal ini mungkin disebabkan
pasien telah mendapatkan antibiotik sebelum datang ke rumah sakit. 13
13,32 .
Demikian juga hasil yang sama didapatkan pada penelitian oleh Endo, dkk
(2008).
Kelompok pasien sepsis secara keseluruhan terdiri dari sepsis, sepsis
berat dan syok sepsis semuanya sebanyak 21 orang (100%) dan kelompok infeksi
non Sepsis sebanyak 9 orang (42,85%) ternyata telah mendapatkan terapi
antibiotik sebelum datang ke rumah sakit. Namun kadar PCT dalam penelitian ini
berbeda rata-rata antara kelompok sepsis dan infeksi non Sepsis dan berhubungan
dengan derajat keparahan sepsis. Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar
infeksi tersebut telah resisten terhadap antibiotik atau antibiotik yang diberikan
tidak sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitivitas. Penelitian oleh Buchori, dkk
(2006) mendapatkan bahwa pengaruh pemberian antibiotik terhadap kadar PCT
ternyata sangat rendah. 33
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian oleh Nobre, dkk (2008),
antibiotik yang diberikan sebelum pasien datang ke rumah sakit dapat
menghilangkan infeksi dan mengurangi keparahan infeksi dan menurunkan
kadar PCT. Untuk alasan ini, pemeriksaan kadar PCT setelah pemberian
antibiotik hanya dapat menentukan respons terhadap pengobatan, tetapi jika
infeksi tersebut resisten terhadap terapi antibiotik maka kadar PCT akan tetap
tinggi.
Kultur darah diperlukan untuk diagnosa penyakit infeksi dan membantu
untuk memilih terapi antibiotik yang spesifik. Pemeriksaan kultur darah pada
penelitian ini ternyata hanya positif pada 10 dari 42 sampel (23,80%). Hal ini
sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian oleh Muller B, dkk (2000) 34
34
. Pada penelitian ini, hasil kultur darah positif paling banyak dijumpai pada kelompok sepsis, yaitu 8 dari 10 sampel (80%). Hal ini sesuai dengan hasil yang
didapatkan pada penelitian Charles, dkk (2008) yang mendapatkan bahwa pasien
sepsis memiliki hasil kultur darah positif lebih banyak dibanding penyakit lain.
Sehingga kultur darah diperlukan untuk diagnosa bakteri spesifik saat datang ke
rumah sakit.
Dari hasil penelitian diperoleh senstivitas dan sensitivitas yang cukup
tinggi yaitu 80% dan 81,3%. Sedangkan Positif Predictive Value dan Negatif
Predictive Value didapatkan masing-masing 57,14% dan 92,85%. Penelitian oleh
Castelli , dkk (2004) mencatat sensitivitas dan spesifisitas sebesar 63% dan 87% ,
serta Positif Predictive Value dan Negatif Predictive Value sebesar 51% dan
92%.
35,36
15
. Sedangkan penelitian oleh Al Nawas, dkk (1996) melaporkan
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian yang kurang
banyak. Pasien umumnya datang ke rumah sakit setelah mendapatkan terapi
antibiotik sebelumnya dan evaluasi PCT sebelum dimulai pemberian antibiotik
adalah sulit. Pemeriksaan kadar PCT hanya dilakukan satu kali pemeriksaan saja,
tidak dilakukan folow up pemeriksaan PCT selanjutnya untuk memantau