PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT
DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN
TESIS
Oleh JONI SIAGIAN
107032125/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT
DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh JONI SIAGIAN 107032125/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH PENGAWASAN DAN
KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI
NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN
Nama Mahasiswa : Joni Siagian Nomor Induk Mahasiswa : 107032125
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes) Ketua
(Drs. Eddy Syahrial, M.S) Anggota
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 14 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes Anggota : 1.Drs. Eddy Sahrial, M.S
PERNYATAAN
PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT
DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak teradapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2012
ABSTRAK
Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Risiko infeksi nosokomial selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dapat juga terjadi pada petugas di rumah sakit. Permasalahan adalah apakah ada pengaruh pengawasan dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan APD dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran. Tujuan Penelitian untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap penggunaan APD pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial. Hipotesis, ada pengaruh antara pengawasan maupun kepatuhan terhadap penggunaan APD.
Jenis penelitian survei deskriptif analitik dengan teknik cross sectional. Jumlah populasi tenaga perawat sebanyak 247 orang dan sampelnya sebanyak 97 orang. Tahap analisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik ganda.
Hasil penelitian bahwa 88,7% dinyatakan pengawasan rumah sakit kurang baik dan 11,3% dinyatakan pengawasannya baik dan mengenai kepatuhan perawat sebanyak 76,3% dinyatakan patuh, dan 23,7% perawat tidak patuh, hasil observasi penggunaan APD sebanyak 71,1% perawat menggunakan APD dan 28,9% perawat tidak menggunakan APD. Melalui uji chisquare bahwa variabel independen mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap penggunaan APD, pada variabel pengawasan ditemukan hasil p=0,460, dan kepatuhan p=0,000. Berdasarkan uji regresi logistik ganda diketahui variabel pengawasan p=0,103 dan kepatuhan p=0,000. Kesimpulan bahwa variabel pengawasan merupakan variabel yang berkontribusi terbesar dalam memengaruhi perawat dalam menggunakan APD pada pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Kisaran
Disarankan pada pihak rumah sakit untuk wajib memfasilitasi, melengkapi sarana APD sesuai dengan peraturan dan Undang-Undang kesehatan dan keselamatan kerja dan diharapkan kepada pihak rumah sakit khususnya pimpinan atau petugas terkait harus melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan, inspeksi, pengendalian dan berbagai tindakan dalam pengawasan pada penggunaan APD. Dan diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk memberikan sanksi yang tegas dan penghargaan kepada perawat agar termotivasi memakai APD.
ABSTRACT
APD (Self Protection Device) is a device which is used to protect the body from the danger of job accident. The risk of nosocomial infection does not only affect patients in a hospital, but can also affect nurses. The problem is whether there is the influence of supervision and obedience of the nurses on the use of APD in preventing nosocomial infection at RSUD (Regional General Hospital) Kisaran. The aim of the research was to know the influence of supervision and obedience on the nurses’ use of APD in preventing nosocomial infection. The hypothesis showed that there was the influence of supervision and obedience on the use of APD.
The type of the research was descriptive analytic with cross sectional technique. The population was 247 nurses; 97 of them were used as the samples. The data were analyzed by conducting univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by multiple logistic regression tests.
The result of the research showed that the supervision in the hospital was bad (88.7%), the supervision was good (11.3%), the nurses’ obedience was good (76.3%), and the nurses’ obedience was bad (23.7%). The result of the observation about using APD showed that 71.1% of the nurses used APD, and 28.9% of them did not use APD. The result of chi square test showed that the independent variable had significant influence on the use of APD; in the variable of supervision, the result was p=0.460, and in the variable of obedience, the result was p=0.000. The result of the multiple logistic regression tests showed that the variable of supervision was p=0.103 and the variable of obedience was p=0.000. The conclusion was that the variable of supervision had the biggest contribution in influencing the nurses to use APD in preventing nosocomial infection at RSUD Kisaran.
It is recommended that the management of the hospital should facilitate, improve, and prepare APD device, according to the health law and job safety, the management or the supervisors on duty should examine, inspect, control, and be active in supervising the use of APD. The management of the hospital should give sanction imposed on the nurses who are not obedient in using APD and give reward to those who are obedient in using APD so that they will have motivation in increasing the prevention from nosocomial infection.
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang
dan puji syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Allah SWT serta atas
rahmat, karunia dan izinNya jualah penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul “PENGARUH PENGAWASAN dan KEPATUHAN TERHADAP
PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM
PENCEGAHAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN
TAHUN 2012” dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
dengan peminatan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP) pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan
dan bantuan baik moral maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu izinkan
penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr.dr Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
4. Dr.Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes, selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.
6. Drs. Eddy Syahrial, M.S, Sebagai Anggota Komisi Pembimbing tesis yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.
7. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K, selaku Ketua penguji yang telah banyak
memberikan masukan dan saran guna untuk penyempurnaan tesis ini.
8. Drs. Tukiman, M.K.M, selaku anggota penguji yang telah memberikan
masukan dan saran guna untuk penyempurnaan tesis ini.
9. dr. Nilwan Arif, selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran yang
memberikan izin bahwa RSUD Kisaran dijadikan sebagai objek penelitian.
10.Ayah M. Siagian dan Ibunda N.Manurung, selaku orang tua yang telah banyak
memberikan bantuan, motivasi dan do’a selama penulis menyelesaikan
pendidikan Program S2 Pasca Sarjana IKM – FKM USU.
11.Istriku tercinta Rosmaliza Sinaga, AM.Keb dan putraku tersayang Hafiz
Aldwin Siagian, Anggi Al-Kahfi Siagian, Mora Alhady Ahsyar Siagian serta
Hatta Rafli Al-Azhar Siagian, yang telah banyak berkorban baik moril, materil
selama penulis menyelesaikan pendidikan.
12.H. Sofyan As dan Hj. Hajizah Hasibuan, selaku Pengurus Yayasan Perguruan
13.Seluruh Staf dan Dosen pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
14.Staf dan Dosen serta mahasiswa/i Akademi Perawatan Yayasan Perguruan
Gita Matura Abadi Kisaran.
15.Rekan-rekan mahasiswa/i Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU khususnya
Peminatan Promosi Kesehatan Ilmu Perilaku (PKIP) Tahun Akademi
2010/2011 yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan serta
saling berbagi suka dan duka selama mengikuti pendidikan.
16.Adinda Yulia Rizki, SKM, dan seluruh keluarga yang telah banyak
memberikan bantuan, semangat selama mengikuti pendidikan.
Akhir kata penulis menyampaikan “ Tak ada gading yang tak retak “
artinya bahwa penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang.
Medan, September 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sidomulyo pada tanggal 1 Januari 1966 dan saat ini berdomisili di Jalan Rebung Siumbut-Umbut Kecamatan Kisarann Timur dan putra pertama dari Bapak H.Mahadi Siagian dan Hj. Nursia Manurung. Pendidikan sekolah dasar di SD Taman Siswa Sidomulyo tahun 1972 dan lulus tahun 1978, Sekolah Menengah Pertama di SMP Sepakat Sei Balai tahun 1978 dan lulus tahun 1981, Sekolah Menengah Atas di SMA Pattimura Tanjung Balai tahun 1981 dan lulus tahun 1984. Tahun 1984 melanjutkan pendidikan di Akademi Perawatan (D-III) Universitas Darma Agung tahun 1984 dan lulus tahun 1988.
Tahun 1989 memulai karier sebagai staf pengajar di SPK Pemda Kabupaten Asahan sampai tahun 2006 dan selanjutnya kerja di Akper Yagma Kisaran sebagai dosen tetap sejak tahun 1994 sampai sekarang, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan S1 di FKM USU Medan tahun 2000 dan lulus tahun 2002.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan... 6
1.3.Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Hipotesis ... 6
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Dasar-dasar Proses Pengawasan ... 8
2.1.1. Pengertian Pengawasan ... 8
2.1.2. Tipe-tipe Pengawasan ... 9
2.1.3. Tahap-tahap dalam Proses Pengawasan ... 10
2.1.4. Karakteristik-karakteristik Pengawasan ... 13
2.2. Proses Pengawasan dan Pengendalian ... 15
2.3. Konsep Kepatuhan ... 19
2.4. Determinan Perilaku ... 21
2.5. Alat Pelindung Diri ... 22
2.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 24
2.7. Kerangka Konsep ... 36
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 37
3.1. Jenis Penelitian ... 37
3.2. Lokasi danWaktu Penelitian ... 37
3.3. Populasi dan Sampel ... 38
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 39
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 40
3.6. Metode Pengukuran ... 41
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 45
4.1. Gambaran Umum RSUD Kisaran ... 45
4.2. Karakteristik Responden ... 49
4.3. Analisis Univariat... 50
4.4. Gambaran Kepatuhan terhadap Penggunaan APD ... 54
4.5. Gambaran Observasi Sarana APD ... 59
4.6. Gambaran Observasi Penggunaan APD... 60
4.7. Hasil Analisis Observasi Penggunaan APD ... 61
4.8. Hasil Analisis Bivariat ... 62
4.9. Hasil Analisis Multivariat ... 63
BAB 5. PEMBAHASAN ... 65
5.1. Karakteristik Responden ... 65
5.2. Gambaran Pengawasan di RSU Daerah Kisaran ... 68
5.3. Gambaran Kepatuhan di RSU Daerah Kisaran ... 69
5.4. Gambaran Observasi Sarana dan Prasarana ... 74
5.5. Gambaran Observasi Penggunaan APD... 75
5.6. Pengaruh Pengawasan terhadap Penggunaan APD... 80
5.7. Pengaruh Kepatuhan terhadap Penggunaan APD ... 81
BAB 6. KESIMPULAN dan SARAN ... 84
6.1. Kesimpulan ... 84
6.2. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA... 86
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
4.1. ` Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 49
4.2. Distribusi Frekuensi Pengawasan Penggunaan APD ... 50
4.3. Distribusi Frekuensi pada Kegiatan Pengawasan ... 51
4.4. Distribusi Frekuensi Bentuk Standar Operasional Prosedur ... 51
4.5. Distribusi Frekuensi Cara Pengukuran Pengawasan ... 52
4.6. Distribusi Frekuensi Analisis Penyimpangan atau Kesalahan ... 52
4.7. Distribusi Frekuensi Pengawasan yang Dilakukan ... 53
4.8. Distribusi Hasil Analisis Frekuensi Pengawasan ... 53
4.9. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Intruksi... 54
4.10. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Interaksi ... 55
4.11. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Isolasi ... 56
4.12. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Motivasi ... 57
4.13. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat pada Penggunaan APD . 58
4.14. Distribusi Frekuensi Observasi Sarana dan Prasarana APD ... 59
4.15. Distribusi Frekuensi Observasi Penggunaan APD ... 60
4.16. Distribusi Frekuensi Hasil Observasi Penggunaan APD ... 61
4.17. Hasil Analisis Pengaruh Pengawasan Observasi APD ... 62
4.18. Hasil Analisis Pengaruh Kepatuhan pada Penggunaan APD ... 63
4.19. Tingkat Kemaknaan Hasil Analisis Bivariat ... 63
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Kuisioner Penelitian ... 94
2. Master Data ... 100
3. Tabel Hasil Pengolahan Data SPSS ... 104
4. Surat Izin Survei Studi Pendahuluan ... 135
5. Surat Izin Penelitian dari Program S2 Pasca Sarjana FKM USU ... 136
ABSTRAK
Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Risiko infeksi nosokomial selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dapat juga terjadi pada petugas di rumah sakit. Permasalahan adalah apakah ada pengaruh pengawasan dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan APD dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran. Tujuan Penelitian untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap penggunaan APD pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial. Hipotesis, ada pengaruh antara pengawasan maupun kepatuhan terhadap penggunaan APD.
Jenis penelitian survei deskriptif analitik dengan teknik cross sectional. Jumlah populasi tenaga perawat sebanyak 247 orang dan sampelnya sebanyak 97 orang. Tahap analisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik ganda.
Hasil penelitian bahwa 88,7% dinyatakan pengawasan rumah sakit kurang baik dan 11,3% dinyatakan pengawasannya baik dan mengenai kepatuhan perawat sebanyak 76,3% dinyatakan patuh, dan 23,7% perawat tidak patuh, hasil observasi penggunaan APD sebanyak 71,1% perawat menggunakan APD dan 28,9% perawat tidak menggunakan APD. Melalui uji chisquare bahwa variabel independen mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap penggunaan APD, pada variabel pengawasan ditemukan hasil p=0,460, dan kepatuhan p=0,000. Berdasarkan uji regresi logistik ganda diketahui variabel pengawasan p=0,103 dan kepatuhan p=0,000. Kesimpulan bahwa variabel pengawasan merupakan variabel yang berkontribusi terbesar dalam memengaruhi perawat dalam menggunakan APD pada pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Kisaran
Disarankan pada pihak rumah sakit untuk wajib memfasilitasi, melengkapi sarana APD sesuai dengan peraturan dan Undang-Undang kesehatan dan keselamatan kerja dan diharapkan kepada pihak rumah sakit khususnya pimpinan atau petugas terkait harus melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan, inspeksi, pengendalian dan berbagai tindakan dalam pengawasan pada penggunaan APD. Dan diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk memberikan sanksi yang tegas dan penghargaan kepada perawat agar termotivasi memakai APD.
ABSTRACT
APD (Self Protection Device) is a device which is used to protect the body from the danger of job accident. The risk of nosocomial infection does not only affect patients in a hospital, but can also affect nurses. The problem is whether there is the influence of supervision and obedience of the nurses on the use of APD in preventing nosocomial infection at RSUD (Regional General Hospital) Kisaran. The aim of the research was to know the influence of supervision and obedience on the nurses’ use of APD in preventing nosocomial infection. The hypothesis showed that there was the influence of supervision and obedience on the use of APD.
The type of the research was descriptive analytic with cross sectional technique. The population was 247 nurses; 97 of them were used as the samples. The data were analyzed by conducting univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by multiple logistic regression tests.
The result of the research showed that the supervision in the hospital was bad (88.7%), the supervision was good (11.3%), the nurses’ obedience was good (76.3%), and the nurses’ obedience was bad (23.7%). The result of the observation about using APD showed that 71.1% of the nurses used APD, and 28.9% of them did not use APD. The result of chi square test showed that the independent variable had significant influence on the use of APD; in the variable of supervision, the result was p=0.460, and in the variable of obedience, the result was p=0.000. The result of the multiple logistic regression tests showed that the variable of supervision was p=0.103 and the variable of obedience was p=0.000. The conclusion was that the variable of supervision had the biggest contribution in influencing the nurses to use APD in preventing nosocomial infection at RSUD Kisaran.
It is recommended that the management of the hospital should facilitate, improve, and prepare APD device, according to the health law and job safety, the management or the supervisors on duty should examine, inspect, control, and be active in supervising the use of APD. The management of the hospital should give sanction imposed on the nurses who are not obedient in using APD and give reward to those who are obedient in using APD so that they will have motivation in increasing the prevention from nosocomial infection.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk
melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana
secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan kerja yang
terjadi. Peralatan pelindung diri tidak menghilangkan atau pun mengurangi
bahaya yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dengan bahaya
dengan cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya
(Suma’mur, 2009).
Melihat tingginya risiko terhadap gangguan kesehatan di rumah sakit,
maka perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kejadian penyakit atau
traumatic akibat lingkungan kerja dan faktor manusianya. Salah satu diantaranya adalah penggunaan APD.
Kemampuan perawat untuk mencegah transmisi infeksi di rumah sakit dan
upaya pencegahan adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan bemutu.
Perawat berperan dalam pencegahan infeksi nosokomial, hal ini disebabkan
perawat merupakan salah satu anggota tim kesehatan yang berhubungan langsung
dengan klien dan bahan infeksius di ruang rawat (Habni, 2009). Perawat juga
bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di rumah sakit melalui pencegahan
perawatan intensif aktifitas perawat tinggi dan cepat, hal ini sering menyebabkan
perawat kurang memperhatikan teknik aseptik dalam melakukan tindakan
keperawatan (Potter, 2005).
Risiko infeksi nosokomial selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat di
rumah sakit, dapat juga terjadi pada para petugas rumah sakit. Berbagai prosedur
penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal
dari pasien.
Infeksi nosokomial merupakan salah satu risiko kerja yang dihadapi oleh
tenaga kesehatan di rumah sakit. Darah dan cairan tubuh merupakan media
penularan penyakit dari pasien kepada tenaga kesehatan. Human
Immunodeficiency Virus (HIV), Hepatitis B dan Virus Hepatitis C merupakan
ancaman terbesar pada tenaga kesehatan. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan
terjadi 16.000 kasus penularan virus hepatitis C, 66.000 kasus penularan hepatitis
B dan 1.000 kasus penularan HIV pada tenaga kesehatan di seluruh dunia dan
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di
negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit
infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang dilakukan oleh
WHO menunjukkan bahwa sekitar 8.7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara di
Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara dan Pasifik terdapat infeksi nosokomial
dengan Asia Tenggara sebanyak 10% (Anggraini, 2000).
Di Amerika Serikat ada 20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi
Smeltzer, (2001). Sedangkan di Asia Tenggara infeksi nosokomial sebanyak 10
%. Data kejadian Infeksi nosokomial di Malaysia sebesar 12,7%, Taiwan 13,8%
(Marwoto dkk, 2007).
Di Indonesia penelitian yang dilakukan Utji, (2004) yang dikutip Habni
(2009) bahwa di sebelas rumah sakit di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 9,8%
pasien dirawat inap mendapat infeksi baru selama dirawat. Hasil penelitian
Simanjuntak (2001) yang berjudul upaya perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial pneumonia pada pasien yang melakukan menggunakan ventilator di
intensive care unit dalam tindakan mencuci tangan dan pelaksanaan prosedur
trakheal tube di rumah sakit St. Boroneus Bandung dengan hasil penelititan pada prosedur mencuci tangan secara aseptic sebelum melakukan tindakan perawatan
invasive hanya 25% kegiatan dilaksanakan baik, 12,5% cukup baik, dan 62,5% kurang baik dalam melakukan tindakan mencuci tangan secara aseptic, pada pelaksanaan prosedur trakheal tube hanya 28,6 kegiatan dilaksanakan dengan baik, 14,3% cukup baik, dan 57,1% kurang baik.
Laporan-laporan rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan terjadinya
infeksi nosokomial di beberapa rumah sakit adalah di RS Hasan Sadikin Bandung
9,9%, di RS Pirngadi Medan 13,92%, RS. Karyadi Semarang 7,3%, Dr. Soetomo
Surabaya 5,32 dan RSCM 5,4 % (Depkes, 2003).
Ada beberapa hal yang menyebabkan pengawasan semakin diperlukan
dalam setiap organisasi antara lain karena perubahan kondisi yang saat ini selalu
sakit swasta baru, adanya alat – alat canggih yang baru, peraturan baru dan
kemungkinan banyak ditemukan kesalahan dikalangan staf maupun manajer, oleh
karena itu semakin besar organisasi makin kompleks / rumit masalah yang
dihadapi sehingga membutuhkan pengendalian dan pengawasan yang baik
(Adikoesoemo, 2003).
Infeksi yang berasal dari petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan.
Semua kegiatan perawat, dokter dan tenaga profesi lainnya yang mengadakan
interaksi secara profesional dengan pasiennya, semakin patuh tenaga profesi
menjalankan standarts of good practice yang telah diterima dan diakui oleh masing-masing ikatan profesi akan semakin tinggi pula mutu asuhan terhadap
pasien (Nurmantono, 2005).
Untuk menilai kepatuhan perawat tentang penggunaan standar penggunaan
alat pelindung diri dibutuhkan adanya pengawasan dari pihak rumah sakit sesuai
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2010 tentang rumah sakit yang
tercantum pada pasal 54 mengenai pembinaan dan pengawasan.
Berdasarkan survei awal penulis dirumah sakit umum daerah Kisaran
(RS Tipe C) bahwa penggunaan fasilitas pelindung diri pada tenaga perawat
tergolong belum optimal dilaksanakan dan kurangnya kedisiplinan atau kepatuhan
perawat untuk menggunakan APD tersebut dalam upaya mencegah terjadinya
cross infection. Sesuai dengan wawancara awal yang dilakukan bahwa yang dihadapi perawat tidak menggunakan APD karena diduga tidak optimal dilakukan
yang kurang memadai dan hal lainnya perawat merasa malas, merasa tidak
nyaman dan merasa direpotkan saat menggunakan APD karena rutinitas kerja
yang selalu berhubungan dengan pasien setiap harinya. Dari berbagai alasan
tersebut tentu akan berdampak buruk pada perawat sehingga seperti yang terjadi
pada salah seorang perawat di ruang perawatan penyakit menular (ruang paru)
telah terjadi infeksi silang sehingga perawat tersebut mengalami penyakit
tuberkulosis (TBC).
Profesi perawat di rumah sakit merupakan salah satu tenaga kesehatan
yang diposisikan sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan asuhan
keperawatan kepada pasien yang setiap saat selalu kontak langsung dengan pasien
sehingga berpotensi akan terjadi infeksi nosokomial. Dengan demikian bila tidak
dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pelindung diri dan kepatuhan perawat untuk
menggunakan APD maka sangat dikhawatirkan akan terjadi resiko infeksi
nosokomial dan sangat diharapkan peran pihak rumah sakit untuk tetap
melakukan pengawasan yang melekat pada perawat dalam penggunaan APD
setiap melakukan tindakan keperawatan. Pihak rumah sakit juga berupaya
meningkatkan cara untuk menghindari terjadinya infeksi silang dengan cara
melakukan pendidikan dan pelatihan pada tenaga perawat dan petugas kesehatan
lainnya dalam pemakaian APD.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti tentang
penggunaan APD sehingga diharapkan perawat dapat dilindungi dan dicegah dari
bahaya dan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
1.2. Permasalahan
Untuk itu peneliti dapat memuat rumusan permasalahan yaitu sejauh mana
pengaruh pengawasan dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan APD dalam
pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap
penggunaan alat pelindung diri pada perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial.
1.4. Hipotesis
1. Ada pengaruh antara pengawasan terhadap penggunaan APD pada perawat
dalam pencegahan infeksi nosokomial.
2. Ada pengaruh antara kepatuhan terhadap penggunaan APD pada perawat
dalam pencegahan infeksi nosokomial.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi pihak manajemen rumah sakit untuk meningkatkan
pengawasan dan kepatuhan APD dalam tindakan pencegahan infeksi
nosokomial.
2. Sebagai masukan bagi perawat untuk mengetahui potensi bahaya penyakit
3. Sebagai masukan bagi tim tenaga kesehatan untuk mengenal dan mengetahui
potensi bahaya penyakit infeksi nosokomial dalam pentingnya penggunaan
APD serta mampu mengurangi terjadinya cross infektion.
4. Sebagai masukan bagi peneliti lebih lanjut dalam penggunaan APD dan upaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar – dasar Proses Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan
Pengawasan dapat di definisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa
tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Hal ini berkaitan dengan
cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan (Muninjaya, 2004).
Pengawasan adalah memantau atau memonitor pelaksanaan rencana
apakah telah dikerjakan dengan benar atau tidak atau seuatu proses yang
menjamin bahwa tindakan telah sesuai dengan rencana.
Menurut Robert J, yang dikutip oleh Imam, (2007), menyatakan bahwa
Pengawasan manajemen adalah suatu usaha untuk menerapkan standar
pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi
umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah
ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur
penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk
menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara
2.1.2. Tipe – Tipe Pengawasan
Ada tiga tipe dasar pengawasan, yaitu :
1. Pengawasan pendahuluan (feedforward control) atau sering disebut steering controls, dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dan standar atau tujuan dan memungkinkan
koreksi dibuat sebelum suatu tahap kegiatan tertentu diselesaikan. Pendekatan
pengawasan ini lebih aktif dan agresif, dengan mendeteksi masalah-masalah
dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum suatu masalah terjadi.
2. Pengawasan yang dilakukan bersamaaan dengan pelaksanaan kegiatan
(concurrent control), sering disebut pengawasan ”Ya-Tidak”, screening control berhenti-terus” dilakukan selama kegiatan berlangsung, tipe pengawasan ini merupakan proses di mana aspek tertentu dari suatu prosedur
harus disetujui dulu, atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum
kegiatan-kegiatan bisa dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan ” double-check” yang lebih menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan.
3. Pengawasan umpan balik (feedback control). Pengawasan umpan balik juga dikenal sebagai past-action controls, mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar
ditentukan dan penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-kegiatan
serupa di masa yang akan datang. Pengawasan ini bersifat historis,
2.1.3. Tahap - tahap dalam Proses Pengawasan
Proses pengawasan biasanya terdiri paling sedikit 5 tahap (langkah),
seperti pada gambar 2.1.3. Tahap-tahap pengawasan sebagai berikut :
1. Penetapan Standar Pelaksanaan (Perencanaan)
Tahap pertama dalam pengawasan adalah penetapan standar pelaksanaan.
Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan
sebagai patokan. Untuk penilaian hasil-hasil. Tujuan, sasaran kuota dan target
pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar.
Tiga bentuk standar yang umum adalah :
a) Standar-standar fisik, meliputi kuantitas barang atau jasa, jumlah langganan,
atau kualitas produk.
b) Standar-standar moneter, yang ditujukan dalam rupiah dan mencakup biaya
tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor, pendapatan penjualan, dan
sejenisnya.
c) Standar-standar waktu, meliputi kecepatan produksi atau batas waktu suatu
pekerjaan harus diselesaikan.
Setiap tipe standar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk-bentuk hasil
yang dapat dihitung. Ini memungkinkan manajer untuk mengkomunikasikan
pelaksanaan kerja yang diharapkan kepada para bawahan secara lebih jelas dan
tahapan-tahapan lain dalam proses perencanaan dapat ditangani dengan lebih
efektif. Standar harus ditetapkan secara akurat dan diterima mereka yang
Standar-standar yang tidak dapat dihitung juga memainkan peranan
penting dalam proses pengawasan. Pengawasan dengan standar kualitatif lebih
sulit dicapai tetapi hal ini tetap penting untuk mencoba mengawasinya. Misal,
standar kesehatan personalia, promosi karyawan yang terbaik, sikap kerjasama,
berpakaian yang pantas dalam bekerja dan sebagainya.
2. Penentuan Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan
Penetapan stsandar adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk
mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam
pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat.
3. Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan
Setelah frekuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan,
pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang - ulang dan
terus-menerus. Ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan
yaitu:
a. Pengamatan (observasi)
b. Laporan-laporan, baik lisan dan tertulis,
c. Metode-metode otomatis dan,
4. Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisis Penyimpangan
Tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan
nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah
ditetapkan. Walaupun tahap ini paling mudah dilakukan, tetapi kompleksitas
dapat terjadi pada saat menginterpretasikan adanya penyimpangan (deviasi).
Penyimpangan-penyimpangan harus dianalisis untuk menentukan standar
tidak dapat dicapai.
5. Pengambilan Tindakan Koreksi Bila Diperlukan
Bila hasil analisis menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini
harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar
mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan bersamaan.
Tindakan koreksi berupa :
1. Mengubah standar mula-mula (barangkali terlalu tinggi atau terlalu rendah).
2. Mengubah pengukuran pelaksanaan (inspeksi terlalu sering frekuensinya atau
kurang atau bahkan mengganti sistem pengukuran itu sendiri).
3. Mungubah cara dalam menganalisis dan menginterpretasikan
Gambar 2.1. Tahap-Tahap Pengawasan 2.1.4. Karakteristik – karakteristik Pengawasan yang Efektif
Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria
tertentu. Kriteria – kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya :
1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar,
2. Tepat waktu,
3. Dengan biaya yang efektif,
4. Tepat-akurat, dan
5. Dapat diterima oleh yang bersangkutan.
Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif sistem
pengawasan. Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif dan lebih
diperinci sebagai berikut :
a. Akurat. Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data yang tidak
akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil Penetapan
standar pelaksanaan
Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
Pengukuran pelaksanaan
kegiatan
Perbandingan dengan standar evaluasi
Pengambilan tindakan koreksi bila
tindakan koreksi yang keliru atau bahkan menciptakan masalah yang
sebenarnya tidak ada.
b. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasi
secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera.
c. Objektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah dipahami dan bersifat
objektif serta lengkap.
d. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik. Sistem pengawasan harus
memusatkan perhatian pada bidang-bidang dimana penyimpangan dari
standar paling sering terjadi atau yang mengakibatkan kerusakan paling fatal.
e. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan sistem pengawasan harus lebih
rendah, atau sama dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut.
f. Realistik secara organisasional. Sistem pengawasan harus cocok atau
harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi.
g. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan harus
terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, karena (1) setiap tahap dari
proses pekerjaan dapat memengaruhi sukses atau kegagalan keseluruhan
operasi, dan (2) informasi pengawasan harus sampai pada seluruh personalia
yang memerlukannya.
h. Fleksibel. Pengawasan harus mempunyai fleksibilitas untuk memberikan
tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun kesempatan dari
i. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan efektif harus
menunjukkan, baik deteksi atau deviasi dari standar, tindakan koreksi apa
yang seharusnya diambil.
j. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus mampu
mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota dengan mendorong perasaan
otonomi, tanggung jawab dan berprestasi (Imam dan Siswandi, 2007).
2.2. Proses Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)
1. Proses Pengawasan
Langkah umum yang diikuti dalam proses pengawasan yang dikutip dan
dikemukakan oleh Harahap (2001) adalah :
a. Penyusunan tujuan.
b. Penetapan standar.
c. Pengukuran hasil kerja.
d. Perbandingan fakta dengan standar.
e. Perbaikan tindakan.
Kelima tahap ini bisa juga diringkas dalam bentuk 5P. Dari sudut lain
pengawasan dapat dirumuskan sebagai ERMC yaitu: Expectation (tujuan atau standar), Recording (pencatatan kinerja), Monitoring (perbandingan antara
expectation dan catatan), dan correction (tindakan koreksi) terhadap penyimpanan yang ada.
Standar bisa bermacam-macam. Misalnya tujuan, budget perusahaan dapat dijadikan sebagai standar atau indikator yang akan dituju dicapai oleh manajemen.
Untuk dapat melaksanakan pengawasan maka harus ada standar atau yardstick
yang akan dibandingkan dengan hasil kerja. Standar ini memang sebaiknya dapat
dikuantitatifkan agar mudah mengukurnya dan menghitung “varience” nya secara objektif.
3. Tujuan Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)
Tujuan dan manfaat pengawasan dan pengendalian menurut Usman,
(2006) antara lain :
a. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan.
b. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan penyelewengan,
pemborosan, hambatan dan ketidakadilan.
c. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik.
d. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas
organisasi.
e. Meningkatkan kelancaran operasi organisasi.
f. Meningkatkan kinerja organisasi.
g. Memberikan opini atas kinerja organisasi.
h. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah
pencapaian kinerja yang ada.
4. Pelaksanaan Pengawasan dan Kegunaan
Mulanya dan bahkan sementara pihak saat ini menganggap bahwa fungsi
pengawasan itu tidak perlu, dilupakan, dan disalah artikan. Namun, dalam
organisasi modern dan dalam perusahaan besar dan kompleks semakin disadari
pentingnya fungsi kontrol ini yang sebenarnya bermaksud baik yaitu sebagai
fungsi manajemen untuk menjamin bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan
organisasi dapat dicapai dengan semestinya.
Perkembangan organisasi modern dan karena semakin kompleksnya
dimensi yang berkaitan dengan kontrol ini menyebabkan fungsi kontrol juga
berkmbang dari segi teori maupun penerapannya.
Mulanya kontrol ini dianggap sebagai kegiatan yang sifatnya pemaksaan
kekuasaan sampai akhirnya merupakan fungsi yang difokuskan pada sikap
perilaku individu yang mempunyai multidimensi dan berbagai sifat. Teknik
kontrol semakin diperjelas dan di sederhanakan.
5. Keuntungan Pelaksanaan Kontrol yang Baik
Apabila sistem pengawasan berjalan baik maka akan diperoleh bebagai
keuntungan sebagai berikut:
a. Tujuan akan diwujudkan lebih cepat, murah dan mudah dicapai.
b. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran.
c. Menimbulkan saling percaya dan menghilangkan rasa curiga dalam organisasi.
d. Menumbuhkan perasaan aman dihati setiap orang dalam organisasi sehingga
e. Menumpuk perasaan memiliki atas perusahaan/organisasi
f. Meningkatkan rasa tanggung jawab personil.
g. Meningkatkan iklim persaingan yang sehat sehingga mereka yang beprestasi
akan lebih dihargai.
h. Meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan produktivitas yang
akhirnya meningkatkan laba perusahaan.
i. Top pimpinan dapat lebih mudah memfokuskan perhatian kepada masalah lain yang lebih besar untuk kepentingan jangka panjang perusahaan karena operasi
kegiatan perusahaan diasumsikan sudah dalam pngawasan yang baik.
j. Akan memperlancar operasi, komunikasi dan kegiatan perusahaan karena
semua serba terbuka, jelas, lurus dan tidak ada yang disembunyikan
(transparan).
k. Merupakan persyaratan dalam “good corporate governance”.
2.3. Konsep Kepatuhan 2.3.1. Definisi Kepatuhan
Kepatuhan adalah ketaatan seseorang pada tujuan yang telah ditentukan.
Kepatuhan merupakan suatu permasalahan bagi semua disiplin kesehatan, salah
satunya pelayanan perawatan di rumah sakit.
Menurut Ali Mukti dalam Ley, (1999). Patuh adalah suka menurut
Patuh adalah suatu sifat yang berfungsi untuk mendorong seseorang taat terhadap
suatu ketentuan atau aturan.
2.3.2. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Ketidak Patuhan
Faktor – faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan
Niven (2008) antara lain :
1. Pemahaman tentang Intruksi
Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang
intruksi yang diberikan kepadanya.
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini bisa
dilaksanakan dengan bersikap ramah dan memberikan informasi dengan
singkat dan jelas.
3. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan
tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
4. Motivasi
Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman, petugas
2.3.3. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Smet (1994) dalam Niven (2008) berbagai strategi telah dicoba
untuk meningkatkan kepatuhan adalah:
1. Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan
kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah
dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting
karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/
perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional
kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan
kesehatan pasien maka ketidak patuhan dapat dikurangi.
3. Perilaku Sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan
hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari
komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup
dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien
hipertensi.
4. Pemberian Informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai
2.4. Determinan Perilaku
Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal)
dengan respons (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku
tersebut. Dengan kata lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau
ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam maupun dari luar subjek.
Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan.
Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green (1980) membedakan
adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors
(faktor perilaku), dan non-behavioral faktor atau non-perilaku. Selanjutnya Green (1980) menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama
yaitu :
1) Faktor predisposisi (disposing factors), yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai, tradisi dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang
dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas
untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, rumah sakit, tempat
pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan
bergizi, uang dan sebagainya.
tahu dan mampu untuk berperilaku sehat tetapi tidak melakukannya.
(Notoatmodjo, 2005).
2.5. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekrjaan dan fungsinya mengisolasi tubuh tenaga
kerja dari bahaya tempat kerja. Alat pelindung diri (APD) dipakai setelah usaha
rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maksimum (Depnakertrans RI, 2004).
Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang
dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakan kerja.
Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi
bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki. Perlengkapan
ini terdiri dari tutup kepala, masker sampai dengan alas kaki.
Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/dipakai semuanya bersamaan, tergantung
dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan.
Tiga hal penting yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh petugas agar
tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur
dan tindakan medis serta perawatan, yaitu :
a. Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas
b. Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan,
petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan higiene
lainnya.
c. Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan
cara yang tepat.
Menurut Suardi (2005), pemakaian alat pelindung diri dibagi atas:
1. Sisi pekerja tidak mau memakai dengan alasan :
a) Tidak sadar/ tidak dimengerti.
b) Panas
c) Sesak
d) Tidak enak dipakai dan tidak enak dipandang
e) Berat
f) Mengganggu pekerjaan
g) Tidak sesuai dengan bahan yang ada
h) Tidak ada sanksi jika tidak menggunakannya
i) Atasan juga tidak memakai
2. Sisi instansi
a. Ketidakmengertian dari instansi tentang alat pelindung diri yang sesuai
dengan jenis resiko yang ada.
b. Sikap dari instansi yang mengabaikan alat pelindung diri.
c. Dianggap sia-sia (karena pekerja tidak mau memakai).
2.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial
Menurut Tiedjen (2004) bahwa prosedur standar kewaspadaan universal
bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari pasien kepada
perawat, terdiri dari :
1. Mencuci Tangan
Sejalan dengan alat bantu untuk pengendalian infeksi perawat harus
mengingat bahwa mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting dan
mendasar dalam mencegah dan mengendalikan infeksi karena dapat melindungi
perawat dan pasien dari mikroorganisme.
Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mencuci tangan yaitu
menggunakan air mengalir / tersedianya wastafel melakukan proses membasuh,
menggosok dan membilas tangan menggunakan sabun atau cairan antiseptik
sekurang-kurangnya 10 detik, mengeringkan tangan dengan handuk yang bersih
dengan tujuan agar terhindar dari infeksi silang antar pasien dengan perawat serta
menjaga tangan yang sudah dicuci agar tidak terkontaminasi. Cuci tangan harus
dilakukan pada saat melakukan tindakan dan setelah melakukan tindakan, hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan.
2. Memakai Masker
Masker digunakan untuk melindungi perawat dari penyakit infeksi saluran
pernapasan seperti tuberkolosis. Perawat harus memakai masker dengan menutup
area sekitar wajah dan hidung, hal ini di lakukan dengan efektif kalau tidak maka
dalam jarak 1 meter dari pasien, sehingga petugas dapat melaksanakan atau
membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan
cairan tubuh lainnya seperti tindakan membersihkan luka, membalut luka,
mengganti kateter serta dekomentasi alat bekas pakai (Tiedjen, 2004).
3. Memakai Sarung Tangan
Sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung tubuh yang digunakan
untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah,
semua jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien.
Apabila sarung tangan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, dan
benda-benda yang terkontaminasi hendaknya perawat atau petugas kesehatan
segera melepaskan sarung tangan dengan cepat setelah digunakan, sebelum
menyentuh benda-benda yang tidak terkontaminasi dan permukaan lingkungan,
dan sebelum ke pasien lainnya. Cuci tangan dengan segera bertujuan untuk
menghindari pemindahan mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain
(Goul, 2003).
4. Memakai Celemek/ Gaun
Pemakaian celemek / gaun pelindung bertujuan untuk melindungi kulit
dan mencegah pakaian basah selama tindakan perawat terhadap pasien seperti :
perawat terkena semburan atau percikan darah, cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi
yang menyebabkan pakaian menjadi basah. Secepat mungkin perawat dapat
melepaskan celemek dan cuci tangan sehingga dapat terhindar dari kontaminasi
yaitu saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan ataupun
menangani pasien dengan pendarahan.
2.6.1. Prosedur Tetap Pencegahan Infeksi Nosokomial
1. Cuci Tangan
Cuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam
mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk
menyentuh pasien, memegang alat, perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan
pribadi seperti makan. Ada dua macam mikroorganisme yang ada pada tangan
yaitu transien dan residen (Simajuntak, 2001).
1. Jenis transien berupa mikroorganisme yang ada pada tangan tetapi tidak terus-menerus, misalnya escheria coli. Bakteri transien penting diperhatikan karena mudah menular melalui tangan tetapi juga mudah dihilangkan dengan
menggosok tangan dengan air dan sabun atau dengan antiseptik.
2. Jenis residen berupa mikroorganisme yang ada terus-menerus pada kulit, seperti species acinetobacter, dan tidak bisa dihilangkan hanya dengan friksi mekanik.
Bahan-bahan pencuci tangan, jenis bahan pencuci tangan ada dua, yaitu :
1. Sabun, cleanser dan deterjen
Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat pertumbuhan
dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, tetapi hanya sampai titik tertentu
karena hilangnya lemak dari kulit karena terlalu sering cuci tangan diduga
meningkatkan daya tahan mikro organism tertentu. Kulit yang kering dan
retak karena penggunaan sabun / deterjen yang terus menerus juga bias
menyebabkan jumlah bakteri ditangan meningkat.
2. Larutan antiseptik
Jenis ini digunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat :
a. Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko tinggi, seperti dalam unit
perawatan khusus dan ruang gawat darurat.
b. Sebelum tindakan/kontak dengan pasien yang mengenakan peralatan seperti
kateter.
c. Sebelum memasang peralatan seperti kateter.
d. Cuci tangan bedah.
e. Sebelum memegang bayi.
f. Personil ruang operasi sebelum merawat pasien.
g. Sebelum dan selama perawatan pasien yang immunocompromised.
Larutan antiseptik atau juga diesebut antimikroba topikal adalah produk
yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas
mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri
pada kulit. Sementara, desinfeksi adalah bahan kimia yang ditujukan untuk
membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati, seperti peralatan, instrumen,
Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan
pada kulit, luka dan membran mukosa. Antiseptik beragam dalam aktivitasnya,
efektifitasnya, efek setelah pakai dan rasa pada kulit.
Dalam keadaan biasa, pemakaian sabun biasa dan air digabung dengan
pembilasan dan ppengeringan secara bersama bias membersihkan tangan dari
mikroorganisme tetapi untuk menghindari infeksi nosokomial, dibutuhkan
antiseptik yang secara kimia berinteraksi dengan mikroba, sehingga membunuh
serta menurunkan pertumbuhan dan aktivitasnya.
Antisieptik biasa digunakan untuk :
1. Larutan cuci tangan (ketika merawat pasien yang beresiko tinggi).
2. Larutan cuci tangan bedah yang digunakan untuk tim operasi pada tangan dan
lengan.
3. Larutan skin prep untuk menyiapkan kulit pasien sebelum dimasukkan alat atau perlakuan lain.
4. Larutan antiseptik untuk perawatan luka dan untuk bagian tubuh lain.
Mikroorganisme yang paling rentan terhadap antiseptik antara lain bakteri
gram positif dan negatif, fungi dan virus hidrofili seperti polivirus dan rhinovirus. Banyak antiseptik yang efektif terhadap virus hipofili seperti virus influenza,
cytomegalovirus, HIV dan penyebab virus hepatitis A dan B.
Spora adalah yang paling resisten dari semua mikroorganisme dan kadang
tidak bisa dibunuh dengan antiseptik. Tetapi antiseptik cukup efektif dalam
Kulit manusia tidak bisa disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit terutama pada kuman transien.
Antiseptik berinteraksi dengan mikroorganisme dengan cara :
a. Masuk kedalam metabolisme sel sehingga kemampuan sel untuk bertahan dan
memperbanyak diri terhambat.
b. Merubah struktur protein sel, biasanya dengan koagulasi protein dan
penghancuran sel
c. Meningkatkan permeabilitas membran plasma sel dan tidak merusak
komponen sel dengan cara lisis.
Kriteria untuk memilih antiseptik :
1. Aksi yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara luas (gram
positif dan gram negatif, virus lipofili dan hidrofili, bachilus dan tuberkulosa,
fungi, endospora). 2. Efektivitas.
3. Kecepatan aktifitas awal.
4. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan
5. Tidak mengakibatkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan alergi.
6. Efektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang.
7. Dapat diterima secara visual maupun estetik.
A. Cuci Tangan Medis
1. Cuci tangan sosial ; untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme
transien dari tangan, dilakukan dengan sabun atau deterjen paling tidak selama 10 sampai 15 detik.
2. Cuci tangan prosedural ; untuk menghilangkan atau mematikan
mikroorganisme transien, disebut juga antisepsi tangan, dilakukan dengan sabun antiseptik atau alkohol paling tidak selama 10 sampai 15 detik.
3. Cuci tangan bedah ; proses menghilangkan atau mematikan mikroorganisme
transien dan mengurangi mikroorganisme residen, dilakukan dengan larutan antiseptik dan diawali dengan menyikat paling tidak 120 detik.
B. Hal–hal Pokok yang Perlu Diperhatikan Saat Mencuci Tangan Medis
a) Membersihkan jari, kuku, telapak tangan hingga pergelangan tangan ; untuk
cuci tangan bedah harus dilakukan hingga siku.
b) Idealnya menggunakan air yang mengalir, hangat, air yang tidak tercemar,
sabun yang bersih, kikir kuku (tidak harus) dan handuk / tissue tebal bersih
dan kering.
c) Menghilangkan kotoran dan mikroorganisme dengan friksi, larutan antiseptik,
dan pengeringan.
d) Menggunakan larutan antiseptik atau subsitusinya untuk membersihkan dan
menghilangkan kontaminasi.
Ditempat yang tidak tersedia fasilitas cuci tangan yang cukup boleh
setelah itu biarkan kering di udara. Tetapi cara tersebut bukan substitusi dari cuci
tangan, hanya berupa suplemen.
C. Masker dalam Pengendalian Infeksi
Menurut Darmadi (2008) menyatakan bahwa masker diapakai untuk
melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang dapat ditularkan melalui
udara dan droplet, atau pada saat adanya kemungkinan terkena cipratan cairan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang bekerja merawat
luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar, atau merawat pasien
yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui udara atau
droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang penularannya melalui udara, terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar
bersalin dan bayi.
Masker yang baik, menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali
pakai jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam mencegah
transmisi mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet.
Seharusnya masker diganti bila akan merawat pasien lain atau bila lembab
dan tidak boleh digantungkan dileher dan kemudian dipakai kembali.
Teknik yang tepat dalam memakai dan melepas masker merupakan bagian
penting dari pengendalian infeksi. Masker dipakai sebagai bagian dari usaha
kewaspadaan isolasi. Beberapa prinsip penting dalam pemakaian yang harus
a. Pasang dulu masker sebelum memakai gaun atau sarung tangan, juga sebelum
melakukan cuci tangan bedah.
b. Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu tertentu (misalnya tiap
menangani satu pasien) kemudian dibuang dalam tempat pembuangan yang
disediakan untuk itu.
1. Teknik Memakai Masker
a. Cuci tangan dan ambil masker dari kontainer, tekuk bagian logam yang akan
mengenai hidung sesuai dengan bentuk hidung pemakai (hal ini penting untuk
mencegah mengalirnya udara nafas lewat bagian samping hidung dan
mencegah pengembunan kaca mata).
b. Hindarkan memegang-megang masker sebelum dipasang di wajah.
c. Pasang masker sehingga menutupi wajah dan hidung.
d. Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala, dan pastikan bahwa tali lewat
di atas telinga.
e. Ikat tali bawah dibelakang kepala sejajar dengan bagian atas leher / dagu.
f. Begitu masker lembab harus segera diganti.
g. Jangan membuka masker dari hidung dan mulut dan membiarkan
bergelantungan di leher.
2. Teknik Melepas Masker
a. Ingat selalu untuk membuka sarung tangan lebih dahulu (jika memakai) dan
b. Lepaskan tali bawah dahulu, baru kemudian yang atas. Tangan harus dalam
keadaan sebersih mungkin bila menyentuh leher.
c. Lepas masker, gulung talinya mengelilingi masker dan buang ketempat yang
telah disediakan.
d. Cuci tangan.
D. Gaun dalam Pengendalian Infeksi
1. Tipe Gaun
Pada prinsipnya ada dua macam gaun , yaitu yang steril dan non-steril. Gaun steril biasanya dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya di kamar bedah saat melakukan pembedahan, sedangkan gaun non-steril dipakai diberbagai unit beresiko tinggi, misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di kamar
operasi, ICU, rawat darurat dan kamar rawat bayi (Schaffer dkk, 2000).
Gaun dapat dibuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang
(kain), tetapi dapat juga dibuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat
dipakai sekali saja (disposable). Gaun sekali pakai biasanya dipakai dalam kamar bedah, karena lebih banyak terpapar cairan tubuh yang dapat menyebarkan
infeksi.
Ada beberapa bentuk gaun yang saat ini dipakai. Gaun konvensional
2. Prinsip Pemakain Gaun Pelindung
Pada prinsipnya, hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena
tujuan pemakaian gaun adalah untuk melindungi pemakai dari infeksi. Khusus
gaun bedah, hanya bagian depan atas (di atas pinggang) saja yang dianggap steril
dan boleh bersinggungan dengan lapangan pembedahan.
3. Teknik Memakai Gaun Bedah
Dalam memakai gaun bedah, teknik yang digunakan adalah teknik tanpa
singgung. Yaitu dengan mengusakan agar bagian luar gaun tidak bersinggungan
langsung dengan kulit tubuh pemakai. Gaun bedah dapat dipakai sendiri oleh
pemakai atau dipakaikan oleh orang lain.
E. Sarung Tangan dalam Pengendalian Infeksi
Ada dua jenis sarung tangan yaitu steril dan non-steril. Sarung steril lebih mahal dari sarung tangan non-steril (examination gloves), karena itu hanya dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang dianggap asepsis bedah. Sedangkan
sarung tangan non-steril dipakai pada prosedur-prosedur lainnya (Darmadi, 2008). Pemakaian sarung tangan non-steril.
1. Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak dengan
darah, cairan tubuh lapisan mukosa atau kulit pasien yang luka, dan juga
untuk memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan
darah atau cairan tubuh,
2. Sarung tangan juga harus dipakai bila seorang tenaga medis memiliki luka
3. Sarung tangan harus diganti bila merawat pasien berbeda bila bersentuhan
dengan ekskresi atau sekresi pasien (walaupun menyentuh pasien yang sama). 4. Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung
tangan bukan pengganti cuci tangan.
Sarung tangan steril.
1. Sesuai prinsip – prinsip asepsis bedah, sarung tangan steril wajib dipakai dalam prosedur pembedahan baik besar maupun kecil.
2. Sarung tangan steril harus dikenakan sebelum melaksanakan prosedur seperti pemakaian kateter, intra vena dan kateter uretral, penggantian pembalut. 3. Sarung tangan steril juga harus dipakai dalam melakukan perawatan terhadap
pasien yang immune suppressed atau dirawat di ruang isolasi ketat.
2.7. Kerangka Konsep
[image:53.595.107.510.449.669.2]Variabel independen Variabel dependen
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian PENGAWASAN :
- Tipe Pengawasan
- Tahap-tahap pengawasan
- Karakteristik Pengawasan
KEPATUHAN : - Intruksi
- Interaksi
- Isolasi Sosial
- Motivasi
PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG
DIRI PERAWAT
- Masker
- Sarung tangan
- Kemeja/gaun
Penggunaan APD yang seharusnya digunakan oleh perawat terkadang
tidak terlaksana dengan baik, adapun penggunaan alat pelindung diri seperti :
masker, sarung tangan, kemeja/gaun dan antiseptik dengan baik diharapkan dapat
mengurangi dan mengantisipasi terjadinya infeksi nosokomial pada perawat, oleh
karena itu diperlukan pengawasan dari pihak rumah sakit sehingga perlu dilihat
tipe pengawasan, tahap-tahap pengawasan dan karakteristik pengawasan dalam
penggunaan APD dan konsep ini disebut sebagai variabel independen.
Disisi lain perlu ada komitmen dari perawat untuk mematuhi prosedur
yang ditetapkan (SOP) dalam penggunaan APD, konsep kepatuhan ini terdiri dari
intruksi, interaksi, isolasi sosial dan motivasi, hal ini disebut sebagai variabel
dependen.
Dengan adanya pengawasan dan pengendalian (wasdal) pihak RSUD
Kisaran serta kepatuhan perawat dalam penggunaan APD, dapat terhindar
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif analitik
yang menggunakan studi cross sectional untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat
dalam pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Kisaran Kabupaten Asahan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran
Kabupaten Asahan dengan asumsi bahwa pengawasan pihak rumah sakit dan
kepatuhan perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri dalam pencegahan
infeksi nosokomial belum pernah diteliti dan hal lain lokasi ini dijadikan sebagai
lokasi penelitian karena diduga adanya kasus penularan pada salah seorang
perawat yang terinfeksi dari pasien sehingga yang bersangkutan mengalami
infeksi paru (Tuberkulosis).
3.2.2. Waktu Penelitian
Penulisan dan penyusunan penelitian ini dimulai sejak Februari sampai
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh perawat yang bekerja di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Kisaran yang berjumlah 247 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebahagian perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum
Kisaran, diambil berdasarkan rumus untuk sampel tunggal (satu populasi), dengan
pengambilan sampel secara sistematic random sampling (Lemeshow, 1997).
}
{
2 2
2 /
1
(
1
)
d
p
P
Z
n
=
−α×
−
Keterangan :
n = Besar sampel minimum
P = estimasi proporsi sampel pengguna APD
1-p = estimasi proporsi sampel yang tidak menggunakan APD
2 / 1−α
Z = deviasi normal standar, yang digunakan 1,96
d = posisi yang diukur dalam setengah dari interval kepercayaan yang diinginkan.
Karena perawat yang menggunakan APD dan tidak menggunakan APD
belum diketahui secara pasti, maka digunakan rumus : p=q = 50%, dasarnya
adalah dengan tingkat presisi yang diinginkan atau d =10% dan Z = 1,96.
}
{
2 2)
1
,
0
(
25
,
0
)
96
,
1
(
×
=
n
}
{
)
01
,
0
(
25
,
0
8416
,
3
×
=
n
)
01
,
0
(
9604
.
0
=
n
04
,
96
=
n
Didapatkan besar sampel minimal 96 orang dengan teknik pengambilan
sampel dilakukan secara sistematic random sampling. Pengambilan sampel menurut kelipatan angka/interval sampel. Maka anggota populasi yang dijadikan
sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 3, yakni 3,6,9,12
dan seterusnya sampai mencapai jumlah 96 sampel (Singarimbun dan Effendi,
1995). Untuk mengantisipasi responden yang tidak bersedia maka dilakukan
penambahan 10 % dari jumlah sampel yang sudah ditentukan.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu :
1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden melalui teknik
wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
2. Data sekunder yaitu data diperoleh melalui wawancara tentang objek dan
subjek yang di teliti serta mempelajari dokumentasi-dokumentasi terkait yang
<