• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar – dasar Proses Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan - Pengaruh Pengawasan Dan Kepatuhan Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Sakit Umum Daerah Kisaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar – dasar Proses Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan - Pengaruh Pengawasan Dan Kepatuhan Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Sakit Umum Daerah Kisaran"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar – dasar Proses Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan

Pengawasan dapat di definisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Hal ini berkaitan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan (Muninjaya, 2004).

Pengawasan adalah memantau atau memonitor pelaksanaan rencana apakah telah dikerjakan dengan benar atau tidak atau seuatu proses yang menjamin bahwa tindakan telah sesuai dengan rencana.

(2)

2.1.2. Tipe – Tipe Pengawasan

Ada tiga tipe dasar pengawasan, yaitu :

1. Pengawasan pendahuluan (feedforward control) atau sering disebut steering controls, dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau

penyimpangan-penyimpangan dan standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap kegiatan tertentu diselesaikan. Pendekatan pengawasan ini lebih aktif dan agresif, dengan mendeteksi masalah-masalah dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum suatu masalah terjadi. 2. Pengawasan yang dilakukan bersamaaan dengan pelaksanaan kegiatan

(concurrent control), sering disebut pengawasan ”Ya-Tidak”, screening control berhenti-terus” dilakukan selama kegiatan berlangsung, tipe

pengawasan ini merupakan proses di mana aspek tertentu dari suatu prosedur harus disetujui dulu, atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan ”double-check” yang lebih menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan.

(3)

2.1.3. Tahap - tahap dalam Proses Pengawasan

Proses pengawasan biasanya terdiri paling sedikit 5 tahap (langkah), seperti pada gambar 2.1.3. Tahap-tahap pengawasan sebagai berikut :

1. Penetapan Standar Pelaksanaan (Perencanaan)

Tahap pertama dalam pengawasan adalah penetapan standar pelaksanaan. Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan. Untuk penilaian hasil-hasil. Tujuan, sasaran kuota dan target pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar.

Tiga bentuk standar yang umum adalah :

a) Standar-standar fisik, meliputi kuantitas barang atau jasa, jumlah langganan, atau kualitas produk.

b) Standar-standar moneter, yang ditujukan dalam rupiah dan mencakup biaya tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor, pendapatan penjualan, dan sejenisnya.

c) Standar-standar waktu, meliputi kecepatan produksi atau batas waktu suatu pekerjaan harus diselesaikan.

(4)

Standar-standar yang tidak dapat dihitung juga memainkan peranan penting dalam proses pengawasan. Pengawasan dengan standar kualitatif lebih sulit dicapai tetapi hal ini tetap penting untuk mencoba mengawasinya. Misal, standar kesehatan personalia, promosi karyawan yang terbaik, sikap kerjasama, berpakaian yang pantas dalam bekerja dan sebagainya.

2. Penentuan Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan

Penetapan stsandar adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat. 3. Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan

Setelah frekuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan, pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang - ulang dan terus-menerus. Ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu:

a. Pengamatan (observasi)

b. Laporan-laporan, baik lisan dan tertulis, c. Metode-metode otomatis dan,

(5)

4. Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisis Penyimpangan Tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan. Walaupun tahap ini paling mudah dilakukan, tetapi kompleksitas dapat terjadi pada saat menginterpretasikan adanya penyimpangan (deviasi). Penyimpangan-penyimpangan harus dianalisis untuk menentukan standar tidak dapat dicapai.

5. Pengambilan Tindakan Koreksi Bila Diperlukan

Bila hasil analisis menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan bersamaan.

Tindakan koreksi berupa :

1. Mengubah standar mula-mula (barangkali terlalu tinggi atau terlalu rendah). 2. Mengubah pengukuran pelaksanaan (inspeksi terlalu sering frekuensinya atau

kurang atau bahkan mengganti sistem pengukuran itu sendiri).

(6)

Gambar 2.1. Tahap-Tahap Pengawasan 2.1.4. Karakteristik – karakteristik Pengawasan yang Efektif

Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria – kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya :

1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, 2. Tepat waktu,

3. Dengan biaya yang efektif, 4. Tepat-akurat, dan

5. Dapat diterima oleh yang bersangkutan.

Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif sistem pengawasan. Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif dan lebih diperinci sebagai berikut :

(7)

tindakan koreksi yang keliru atau bahkan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada.

b. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera.

c. Objektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah dipahami dan bersifat objektif serta lengkap.

d. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik. Sistem pengawasan harus memusatkan perhatian pada bidang-bidang dimana penyimpangan dari standar paling sering terjadi atau yang mengakibatkan kerusakan paling fatal. e. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan sistem pengawasan harus lebih

rendah, atau sama dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut.

f. Realistik secara organisasional. Sistem pengawasan harus cocok atau harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi.

g. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan harus terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, karena (1) setiap tahap dari proses pekerjaan dapat memengaruhi sukses atau kegagalan keseluruhan operasi, dan (2) informasi pengawasan harus sampai pada seluruh personalia yang memerlukannya.

(8)

i. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan efektif harus menunjukkan, baik deteksi atau deviasi dari standar, tindakan koreksi apa yang seharusnya diambil.

j. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota dengan mendorong perasaan otonomi, tanggung jawab dan berprestasi (Imam dan Siswandi, 2007).

2.2. Proses Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) 1. Proses Pengawasan

Langkah umum yang diikuti dalam proses pengawasan yang dikutip dan dikemukakan oleh Harahap (2001) adalah :

a. Penyusunan tujuan. b. Penetapan standar. c. Pengukuran hasil kerja.

d. Perbandingan fakta dengan standar. e. Perbaikan tindakan.

Kelima tahap ini bisa juga diringkas dalam bentuk 5P. Dari sudut lain pengawasan dapat dirumuskan sebagai ERMC yaitu: Expectation (tujuan atau standar), Recording (pencatatan kinerja), Monitoring (perbandingan antara expectation dan catatan), dan correction (tindakan koreksi) terhadap penyimpanan

yang ada.

(9)

Standar bisa bermacam-macam. Misalnya tujuan, budget perusahaan dapat dijadikan sebagai standar atau indikator yang akan dituju dicapai oleh manajemen. Untuk dapat melaksanakan pengawasan maka harus ada standar atau yardstick yang akan dibandingkan dengan hasil kerja. Standar ini memang sebaiknya dapat dikuantitatifkan agar mudah mengukurnya dan menghitung “varience” nya secara objektif.

3. Tujuan Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)

Tujuan dan manfaat pengawasan dan pengendalian menurut Usman, (2006) antara lain :

a. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan.

b. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan.

c. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik.

d. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas organisasi.

e. Meningkatkan kelancaran operasi organisasi. f. Meningkatkan kinerja organisasi.

g. Memberikan opini atas kinerja organisasi.

h. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada.

(10)

4. Pelaksanaan Pengawasan dan Kegunaan

Mulanya dan bahkan sementara pihak saat ini menganggap bahwa fungsi pengawasan itu tidak perlu, dilupakan, dan disalah artikan. Namun, dalam organisasi modern dan dalam perusahaan besar dan kompleks semakin disadari pentingnya fungsi kontrol ini yang sebenarnya bermaksud baik yaitu sebagai fungsi manajemen untuk menjamin bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan organisasi dapat dicapai dengan semestinya.

Perkembangan organisasi modern dan karena semakin kompleksnya dimensi yang berkaitan dengan kontrol ini menyebabkan fungsi kontrol juga berkmbang dari segi teori maupun penerapannya.

Mulanya kontrol ini dianggap sebagai kegiatan yang sifatnya pemaksaan kekuasaan sampai akhirnya merupakan fungsi yang difokuskan pada sikap perilaku individu yang mempunyai multidimensi dan berbagai sifat. Teknik kontrol semakin diperjelas dan di sederhanakan.

5. Keuntungan Pelaksanaan Kontrol yang Baik

Apabila sistem pengawasan berjalan baik maka akan diperoleh bebagai keuntungan sebagai berikut:

a. Tujuan akan diwujudkan lebih cepat, murah dan mudah dicapai. b. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran.

c. Menimbulkan saling percaya dan menghilangkan rasa curiga dalam organisasi. d. Menumbuhkan perasaan aman dihati setiap orang dalam organisasi sehingga

(11)

e. Menumpuk perasaan memiliki atas perusahaan/organisasi f. Meningkatkan rasa tanggung jawab personil.

g. Meningkatkan iklim persaingan yang sehat sehingga mereka yang beprestasi akan lebih dihargai.

h. Meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan produktivitas yang akhirnya meningkatkan laba perusahaan.

i. Top pimpinan dapat lebih mudah memfokuskan perhatian kepada masalah lain

yang lebih besar untuk kepentingan jangka panjang perusahaan karena operasi kegiatan perusahaan diasumsikan sudah dalam pngawasan yang baik.

j. Akan memperlancar operasi, komunikasi dan kegiatan perusahaan karena semua serba terbuka, jelas, lurus dan tidak ada yang disembunyikan (transparan).

k. Merupakan persyaratan dalam “good corporate governance”.

2.3. Konsep Kepatuhan 2.3.1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan adalah ketaatan seseorang pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan merupakan suatu permasalahan bagi semua disiplin kesehatan, salah satunya pelayanan perawatan di rumah sakit.

(12)

Patuh adalah suatu sifat yang berfungsi untuk mendorong seseorang taat terhadap suatu ketentuan atau aturan.

2.3.2. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Ketidak Patuhan

Faktor – faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan Niven (2008) antara lain :

1. Pemahaman tentang Intruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan bersikap ramah dan memberikan informasi dengan singkat dan jelas.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

4. Motivasi

(13)

2.3.3. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994) dalam Niven (2008) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah:

1. Dukungan Profesional Kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidak patuhan dapat dikurangi.

3. Perilaku Sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.

4. Pemberian Informasi

(14)

2.4. Determinan Perilaku

Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respons (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan kata lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam maupun dari luar subjek.

Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan. Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green (1980) membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non-behavioral faktor atau non-perilaku. Selanjutnya Green (1980) menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu :

1) Faktor predisposisi (disposing factors), yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai, tradisi dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, rumah sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan bergizi, uang dan sebagainya.

(15)

tahu dan mampu untuk berperilaku sehat tetapi tidak melakukannya. (Notoatmodjo, 2005).

2.5. Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekrjaan dan fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya tempat kerja. Alat pelindung diri (APD) dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maksimum (Depnakertrans RI, 2004).

Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakan kerja.

Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki. Perlengkapan ini terdiri dari tutup kepala, masker sampai dengan alas kaki. Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/dipakai semuanya bersamaan, tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan. Tiga hal penting yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu :

(16)

b. Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan higiene lainnya.

c. Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan cara yang tepat.

Menurut Suardi (2005), pemakaian alat pelindung diri dibagi atas: 1. Sisi pekerja tidak mau memakai dengan alasan :

a) Tidak sadar/ tidak dimengerti. b) Panas

c) Sesak

d) Tidak enak dipakai dan tidak enak dipandang e) Berat

f) Mengganggu pekerjaan

g) Tidak sesuai dengan bahan yang ada

h) Tidak ada sanksi jika tidak menggunakannya i) Atasan juga tidak memakai

2. Sisi instansi

a. Ketidakmengertian dari instansi tentang alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis resiko yang ada.

(17)

2.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial

Menurut Tiedjen (2004) bahwa prosedur standar kewaspadaan universal bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari pasien kepada perawat, terdiri dari :

1. Mencuci Tangan

Sejalan dengan alat bantu untuk pengendalian infeksi perawat harus mengingat bahwa mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting dan mendasar dalam mencegah dan mengendalikan infeksi karena dapat melindungi perawat dan pasien dari mikroorganisme.

Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mencuci tangan yaitu menggunakan air mengalir / tersedianya wastafel melakukan proses membasuh, menggosok dan membilas tangan menggunakan sabun atau cairan antiseptik sekurang-kurangnya 10 detik, mengeringkan tangan dengan handuk yang bersih dengan tujuan agar terhindar dari infeksi silang antar pasien dengan perawat serta menjaga tangan yang sudah dicuci agar tidak terkontaminasi. Cuci tangan harus dilakukan pada saat melakukan tindakan dan setelah melakukan tindakan, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan. 2. Memakai Masker

(18)

dalam jarak 1 meter dari pasien, sehingga petugas dapat melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya seperti tindakan membersihkan luka, membalut luka, mengganti kateter serta dekomentasi alat bekas pakai (Tiedjen, 2004).

3. Memakai Sarung Tangan

Sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung tubuh yang digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Apabila sarung tangan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, dan benda-benda yang terkontaminasi hendaknya perawat atau petugas kesehatan segera melepaskan sarung tangan dengan cepat setelah digunakan, sebelum menyentuh benda-benda yang tidak terkontaminasi dan permukaan lingkungan, dan sebelum ke pasien lainnya. Cuci tangan dengan segera bertujuan untuk

menghindari pemindahan mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain (Goul, 2003).

4. Memakai Celemek/ Gaun

(19)

yaitu saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan ataupun menangani pasien dengan pendarahan.

2.6.1. Prosedur Tetap Pencegahan Infeksi Nosokomial 1. Cuci Tangan

Cuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk menyentuh pasien, memegang alat, perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan pribadi seperti makan. Ada dua macam mikroorganisme yang ada pada tangan yaitu transien dan residen (Simajuntak, 2001).

1. Jenis transien berupa mikroorganisme yang ada pada tangan tetapi tidak terus-menerus, misalnya escheria coli. Bakteri transien penting diperhatikan karena mudah menular melalui tangan tetapi juga mudah dihilangkan dengan menggosok tangan dengan air dan sabun atau dengan antiseptik.

2. Jenis residen berupa mikroorganisme yang ada terus-menerus pada kulit, seperti species acinetobacter, dan tidak bisa dihilangkan hanya dengan friksi mekanik.

Bahan-bahan pencuci tangan, jenis bahan pencuci tangan ada dua, yaitu : 1. Sabun, cleanser dan deterjen

(20)

dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, tetapi hanya sampai titik tertentu karena hilangnya lemak dari kulit karena terlalu sering cuci tangan diduga meningkatkan daya tahan mikro organism tertentu. Kulit yang kering dan retak karena penggunaan sabun / deterjen yang terus menerus juga bias menyebabkan jumlah bakteri ditangan meningkat.

2. Larutan antiseptik

Jenis ini digunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat : a. Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko tinggi, seperti dalam unit

perawatan khusus dan ruang gawat darurat.

b. Sebelum tindakan/kontak dengan pasien yang mengenakan peralatan seperti kateter.

c. Sebelum memasang peralatan seperti kateter. d. Cuci tangan bedah.

e. Sebelum memegang bayi.

f. Personil ruang operasi sebelum merawat pasien.

g. Sebelum dan selama perawatan pasien yang immunocompromised.

(21)

Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit, luka dan membran mukosa. Antiseptik beragam dalam aktivitasnya, efektifitasnya, efek setelah pakai dan rasa pada kulit.

Dalam keadaan biasa, pemakaian sabun biasa dan air digabung dengan pembilasan dan ppengeringan secara bersama bias membersihkan tangan dari mikroorganisme tetapi untuk menghindari infeksi nosokomial, dibutuhkan antiseptik yang secara kimia berinteraksi dengan mikroba, sehingga membunuh serta menurunkan pertumbuhan dan aktivitasnya.

Antisieptik biasa digunakan untuk :

1. Larutan cuci tangan (ketika merawat pasien yang beresiko tinggi).

2. Larutan cuci tangan bedah yang digunakan untuk tim operasi pada tangan dan lengan.

3. Larutan skin prep untuk menyiapkan kulit pasien sebelum dimasukkan alat atau perlakuan lain.

4. Larutan antiseptik untuk perawatan luka dan untuk bagian tubuh lain.

Mikroorganisme yang paling rentan terhadap antiseptik antara lain bakteri gram positif dan negatif, fungi dan virus hidrofili seperti polivirus dan rhinovirus. Banyak antiseptik yang efektif terhadap virus hipofili seperti virus influenza, cytomegalovirus, HIV dan penyebab virus hepatitis A dan B.

(22)

Kulit manusia tidak bisa disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit terutama pada kuman transien.

Antiseptik berinteraksi dengan mikroorganisme dengan cara :

a. Masuk kedalam metabolisme sel sehingga kemampuan sel untuk bertahan dan memperbanyak diri terhambat.

b. Merubah struktur protein sel, biasanya dengan koagulasi protein dan penghancuran sel

c. Meningkatkan permeabilitas membran plasma sel dan tidak merusak komponen sel dengan cara lisis.

Kriteria untuk memilih antiseptik :

1. Aksi yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram negatif, virus lipofili dan hidrofili, bachilus dan tuberkulosa, fungi, endospora).

2. Efektivitas.

3. Kecepatan aktifitas awal.

4. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan 5. Tidak mengakibatkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan alergi.

6. Efektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang. 7. Dapat diterima secara visual maupun estetik. A. Cuci Tangan Medis

(23)

1. Cuci tangan sosial ; untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme transien dari tangan, dilakukan dengan sabun atau deterjen paling tidak

selama 10 sampai 15 detik.

2. Cuci tangan prosedural ; untuk menghilangkan atau mematikan mikroorganisme transien, disebut juga antisepsi tangan, dilakukan dengan sabun antiseptik atau alkohol paling tidak selama 10 sampai 15 detik.

3. Cuci tangan bedah ; proses menghilangkan atau mematikan mikroorganisme transien dan mengurangi mikroorganisme residen, dilakukan dengan larutan

antiseptik dan diawali dengan menyikat paling tidak 120 detik. B. Hal–hal Pokok yang Perlu Diperhatikan Saat Mencuci Tangan Medis

a) Membersihkan jari, kuku, telapak tangan hingga pergelangan tangan ; untuk cuci tangan bedah harus dilakukan hingga siku.

b) Idealnya menggunakan air yang mengalir, hangat, air yang tidak tercemar, sabun yang bersih, kikir kuku (tidak harus) dan handuk / tissue tebal bersih dan kering.

c) Menghilangkan kotoran dan mikroorganisme dengan friksi, larutan antiseptik, dan pengeringan.

d) Menggunakan larutan antiseptik atau subsitusinya untuk membersihkan dan menghilangkan kontaminasi.

(24)

setelah itu biarkan kering di udara. Tetapi cara tersebut bukan substitusi dari cuci tangan, hanya berupa suplemen.

C. Masker dalam Pengendalian Infeksi

Menurut Darmadi (2008) menyatakan bahwa masker diapakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang dapat ditularkan melalui udara dan droplet, atau pada saat adanya kemungkinan terkena cipratan cairan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar, atau merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui udara atau droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang

penularannya melalui udara, terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin dan bayi.

Masker yang baik, menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali pakai jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam mencegah transmisi mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet.

Seharusnya masker diganti bila akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantungkan dileher dan kemudian dipakai kembali.

(25)

a. Pasang dulu masker sebelum memakai gaun atau sarung tangan, juga sebelum melakukan cuci tangan bedah.

b. Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu tertentu (misalnya tiap menangani satu pasien) kemudian dibuang dalam tempat pembuangan yang disediakan untuk itu.

1. Teknik Memakai Masker

a. Cuci tangan dan ambil masker dari kontainer, tekuk bagian logam yang akan mengenai hidung sesuai dengan bentuk hidung pemakai (hal ini penting untuk mencegah mengalirnya udara nafas lewat bagian samping hidung dan mencegah pengembunan kaca mata).

b. Hindarkan memegang-megang masker sebelum dipasang di wajah. c. Pasang masker sehingga menutupi wajah dan hidung.

d. Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala, dan pastikan bahwa tali lewat di atas telinga.

e. Ikat tali bawah dibelakang kepala sejajar dengan bagian atas leher / dagu. f. Begitu masker lembab harus segera diganti.

g. Jangan membuka masker dari hidung dan mulut dan membiarkan bergelantungan di leher.

2. Teknik Melepas Masker

(26)

b. Lepaskan tali bawah dahulu, baru kemudian yang atas. Tangan harus dalam keadaan sebersih mungkin bila menyentuh leher.

c. Lepas masker, gulung talinya mengelilingi masker dan buang ketempat yang telah disediakan.

d. Cuci tangan.

D. Gaun dalam Pengendalian Infeksi 1. Tipe Gaun

Pada prinsipnya ada dua macam gaun , yaitu yang steril dan non-steril. Gaun steril biasanya dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya di kamar bedah saat melakukan pembedahan, sedangkan gaun non-steril dipakai diberbagai unit beresiko tinggi, misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di kamar operasi, ICU, rawat darurat dan kamar rawat bayi (Schaffer dkk, 2000).

Gaun dapat dibuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang (kain), tetapi dapat juga dibuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat dipakai sekali saja (disposable). Gaun sekali pakai biasanya dipakai dalam kamar bedah, karena lebih banyak terpapar cairan tubuh yang dapat menyebarkan infeksi.

(27)

2. Prinsip Pemakain Gaun Pelindung

Pada prinsipnya, hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun adalah untuk melindungi pemakai dari infeksi. Khusus gaun bedah, hanya bagian depan atas (di atas pinggang) saja yang dianggap steril dan boleh bersinggungan dengan lapangan pembedahan.

3. Teknik Memakai Gaun Bedah

Dalam memakai gaun bedah, teknik yang digunakan adalah teknik tanpa singgung. Yaitu dengan mengusakan agar bagian luar gaun tidak bersinggungan langsung dengan kulit tubuh pemakai. Gaun bedah dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain.

E. Sarung Tangan dalam Pengendalian Infeksi

Ada dua jenis sarung tangan yaitu steril dan non-steril. Sarung steril lebih mahal dari sarung tangan non-steril (examination gloves), karena itu hanya dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang dianggap asepsis bedah. Sedangkan sarung tangan non-steril dipakai pada prosedur-prosedur lainnya (Darmadi, 2008). Pemakaian sarung tangan non-steril.

1. Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh lapisan mukosa atau kulit pasien yang luka, dan juga untuk memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh,

(28)

3. Sarung tangan harus diganti bila merawat pasien berbeda bila bersentuhan dengan ekskresi atau sekresi pasien (walaupun menyentuh pasien yang sama). 4. Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung

tangan bukan pengganti cuci tangan. Sarung tangan steril.

1. Sesuai prinsip – prinsip asepsis bedah, sarung tangan steril wajib dipakai dalam prosedur pembedahan baik besar maupun kecil.

2. Sarung tangan steril harus dikenakan sebelum melaksanakan prosedur seperti pemakaian kateter, intra vena dan kateter uretral, penggantian pembalut. 3. Sarung tangan steril juga harus dipakai dalam melakukan perawatan terhadap

pasien yang immune suppressed atau dirawat di ruang isolasi ketat.

2.7. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian PENGAWASAN :

- Tipe Pengawasan

- Tahap-tahap pengawasan - Karakteristik Pengawasan

(29)

Penggunaan APD yang seharusnya digunakan oleh perawat terkadang tidak terlaksana dengan baik, adapun penggunaan alat pelindung diri seperti : masker, sarung tangan, kemeja/gaun dan antiseptik dengan baik diharapkan dapat mengurangi dan mengantisipasi terjadinya infeksi nosokomial pada perawat, oleh karena itu diperlukan pengawasan dari pihak rumah sakit sehingga perlu dilihat tipe pengawasan, tahap-tahap pengawasan dan karakteristik pengawasan dalam penggunaan APD dan konsep ini disebut sebagai variabel independen.

Disisi lain perlu ada komitmen dari perawat untuk mematuhi prosedur yang ditetapkan (SOP) dalam penggunaan APD, konsep kepatuhan ini terdiri dari intruksi, interaksi, isolasi sosial dan motivasi, hal ini disebut sebagai variabel dependen.

Gambar

Gambar 2.1. Tahap-Tahap Pengawasan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

diketahui bahwa sebagian besar perawat memiliki sikap yang tidak sesuai dalam pencegahan infeksi nosokomial antara kurang setuju menggunakan sarung tangan ketika mencuci

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan kepala ruangan dapat mengoptimalkan supervisi kepada perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi nosokomial yang sesuai dengan

PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN KEPATUHAN MENGGUNAKAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO” yang merupakan salah satu syarat untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia, pengetahuan, sikap, ketersediaan APD, dan dukungan sosial dengan kepatuhan penggunaan APD pada perawat Rawat

Berkat rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Tingkat Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada

Oleh karena itu kepatuhan dari penggunaan APD dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu dari umur perawat,pendidikan terakhir dan juga lama bekerja yang

1) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan sarung tangan untuk prosedur pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan tubuhnya terganggu, prosedur invasif. 2) Sarung

Bila terdapat penyimpangan atau kesalahan dari suatu tindakan, maka pihak Rumah Sakit melakukan:c. Mengubah Pengukuran pelaksanaan