• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manifestasi Sosialisme-Demokrasi Di Indonesia: Sebuah Pencarian Jejak Ideologi Dan Konstruksi Demokrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Manifestasi Sosialisme-Demokrasi Di Indonesia: Sebuah Pencarian Jejak Ideologi Dan Konstruksi Demokrasi"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

SKRIPSI

MANIFESTASI SOSIALISME-DEMOKRASI DI INDONESIA

SEBUAH PENCARIAN JEJAK IDEOLOGI DAN KONSTRUKSI

DEMOKRASI

OLEH

Abi Rekso Panggalih

060906057

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam

memperoleh gelar

Sarjana Sosial dalam bidang Ilmu Politik

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

LEMBAR PERYATAAN KEASLIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Abi Rekso Panggalih

NIM : 060906057

Program Studi : Ilmu Politik Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

MANIFESTASI SOSIALISME-DEMOKRASI DI INDONESIA: SEBUAH PENCARIAN JEJAK IDEOLOGI DAN KONSTRUKSI DEMOKRASI

Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

12 Desember 2011

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

: Abi Rekso Panggalih

NIM

: 060906057

Program Studi

: Ilmu Politik

Judul tugas karya akhir

:

MANIFESTASI SOSIALISME-DEMOKRASI DI INDONESIA: SEBUAH

PENCARIAN JEJAK IDEOLOGI DAN KONSTRUKSI DEMOKRASI

Telah diperiksa oleh dosen pembimbing dan dosen pembaca serta dinyatakan layak untuk

diajukan ke sidang skripsi Program Sarjana Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Disetujui oleh

Ahmad Taufan Damanik, MA

Muhammad Ridwan

Rangkuty,

______________________

_________________________

(4)

Kata Pengantar

Skripsi ini di dedikasikan kepada sebuah kerja keras dan integritas para pendiri bangsa

atas keyakinan ideologis yang diperjuangkan. Pembahasannya banyak mengikut sertakan

teks yang dihargai sebagai gagasan orisinalistas para pendiri bangsa. Berbicara demokrasi

Indonesia tidak akan lekang dimakan zaman, meski memiliki keharusan untuk membuka

kembali teks-teks yang (mungkin) sudah lama ditinggalkan orang. Ada benarnya apabila

pembaca menduga tulisan ini akan banyak menggeluti dalam basis sejarah yang telah

lalu. Namun dalam teropong metodologis yang digunakan memberikan aturan ketat untuk

kembali memahami sebuah pristiwa dan ide di masa lalu sebagai referensi atas

keberlanjutan politik dimasa kini. Seolah memang tidak ada yang terputus antara dimasa

lalu dan kehidupan di masa kini. Meski sebuah kekuasaan politik mengupayakan untuk

mengubur sejarah masa lalu, namun selalu ada generasi-generasi muda yang melawan

kesewenang-wenangan kekuasaan politik atas rekayasa sejarah. Atas situasi itu maka

tulusian ini sebagai langkah awal untuk kembali memperbincangkan derajat “kekirian”

para gagasan pendiri Republik Indonesia.

Dengan begitu, menjadi penting untuk kembali mendudukan posisi ideologi secara

personal pendiri bangsa. Periode-periode 1920’an adalah sebuah momentum emas yang

menyatukan kaum intelektual untuk membahas habis persoalan nasionalisme. Lebih

lanjut pada episode-episode perjuangan kemerdekaan masing-masing pendiri bangsa

memiliki sikap politik atas pembacaan situasi. Meski secara keluar (ke pada pihak

(5)

saling bertikai gagasan untuk merumuskan sebuah Republik yang diinginkan. Sehingga

gagasan perjuangan Nasional bukan tanpa perdebatan mendasar diantara para pendiri

bangsa (Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka). Meskipun landasan argumentasi mereka

relatif sama dimana telah terwahyukan dalam horizon Marxisme. Episode pertikaian ini

sangat sulit dibatasi atas sebuah periode waktu, karena pertikaian ini bahkan memiliki

klimaksnya pada pasca proklamasi. Dimana kemudian satu sama lain menjadi saling

bersebrangan dan saling menabrakkan diri satu-sama lain dalam eskalasi konflik politik.

Apabila kita lebih cermat untuk menanta kembali konteks kesejarahan Indonesia,

rekonstruksi itu akan menemukan sebuah bentuk yang berbeda dengan yang ada

sebelumnya. Dimana selama ini pradigma ke-Indonesiaan telah dimaikan oleh sebuah

fase rezim berkuasa.

Kita bukanlah bagian atas konteks yang terjadi dimasa lampau, sehingga

kebencian-kebencian politik yang ter-ekses sampai akhir-akhir ini tidak akan memiliki guna banyak

atas nama perubahan yang lebih baik. Kadang kala permusuhan beberapa tokoh dimasa

lampau senantiasa dijadikan basis kecerugiaan serta sikap permusuhan dalam berpolemik

dimasa kini tanpa gagasan yang jelas. Tulisan ini (meski tidak berdaya) berharap kita

mulai berdamai dengan pertikaian masa lampau. Kita tidak lagi saling mendeskritkan

dengan bantuan ‘sentimen’ berdasarkan afiliasi kelompok dan sub-ideologis tertentu,

yang kita inginkan adalah peperangan ‘argumen’ bermutu. Masuk dalam cakrawala

politik pendiri bangsa adalah sebagai refleksi kita dimasa kini, atas cita-cita dimasa

lamapau yang mungkin saja belum sempat tercapai. Kita gugat kembali ke-diri-an kita

(6)

sebuah cita-cita para pendiri bangsa yang dirumuskan dalam sebuah Republik. Dengan

semangat itu kita sama-sama bekerja untuk mengobati diri kita masing-masing atas

‘alergi ke-kirian’ yang selalu menjadi momok menakutkan ditengah kehidupan sosial.

Skripsi yang berorientasi pada pendekatan sejarah dan teks ini, secara ketat di eksplorasi

dengan

Post-Marxist

yang dijabarkan oleh Laclau dan Mouffe, guna menagkap makna

‘terselubung’ dibalik kejadian pada masanya. Pendekatan ini bisa dikatakan relativ baru

dibanding pendekatan strukturalis yang cenderung lebih mapan. Analisa politiknya

mengunakan Teori wacana sebagai jalan untuk menjelaskan sebuah realitas. Dengan cara

seperti itu, tulisan ini bekerja untuk membongkar sisi sejarah yang mungkin tidak

terungkap atau tidak dianggap penting dalam sebuah pristiwa, namun selayaknya sebuah

penelitian tidak ada yang sempurna. Makan atas bantuan metodologis itu, skripsi ini

berupaya menyajikan sebuah pemahaman yang mungkin berbeda dengan kajian-kajian

yang serupa sebelumnya. Karena atas sebuah penelusuran teks dan konteks

kesejarahannya, kita akan merekonstrusi sebaik mungkin untuk menjawab

dugaan-dugaan yang tenggelam dan bahkan terdistorsi pada sebuah kekuasaan politik (baik

kekuasaan dimasanya, maupun setelahnya).

Tulisan ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan yang terus memotivasi untuk

menuntaskan dengan batas kemampuan maksimal, dimana tulisan ini juga menjadi syarat

utama untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Ilmu Politik –Universitas

Sumatera Utara. Saya ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya dan keluarga

yang mendukung secara moril. Untuk Yayik Novitriami yang terus mengingatkan serta

(7)

Naya yang selalu memberi nafas keceriaan ditengah tumpukan teks yang harus dibaca

setiap malam. Serta seluruh kawan-kawan Ilmu Politik 2006 yang tidak bisa saya

sebutkan satu-persatu, dimana selalu membantu disetiap kesulitan. Dan semua

kawan-kawan aktivis yang selalu siap menjadi partner berdiskusi.

Adapun beberapa nama yang harus secara personal saya ucapkan terimakasih, Bapak

Ahmad Taufan Damanik selaku dosen pembimbing yang memberikan bahan referensi

tambahan serta meluangkan waktu untuk membaca skrip ditengah kesibukan yang begitu

padat, juga orang yang menjadi motivasi dan inspirasi saya untuk menuliskan skripsi ini

dengan metodologi Post-Marxist serta sosok yang saya anggap sebagai orang tua dalam

dunia akademis. Juga tidak lupa kepada Bapak Muhammad Ridwan Rangkuty sebagai

dosen pembaca yang sudah member masukan atas skripsi ini. Kepada Mas Agus Isti yang

dengan sabar melawan kemacetan Jakarta dalam menemani untuk mendapatkan

narasumber dan bahan-bahan, guna melengkapi tulisan ini. Seluruh staff KKSP yang

telah menjadi saudara-saudara saya diluar rumah, untuk Bung Eko, Bang Alley, Bang

Jemie kawan-kawan yang selalu mendorong semangat dan menjadi media diskusi dalam

keseharian. Untuk Bung Rezani yang selalu memberikan kamar asrama untuk sekedar

istirahat. Mas Erwin yang selalu memberi tumpangan tempat tinggal dan kendaraan

setiap kali ke Jogja untuk mencari buku-buku, juga Mas Arie Sudjito dan teman-teman

Pergerakan Indonesia (PI) adalah manusia-manusia yang tetap membuat saya berideologi

(8)

Khusus kepada sahabat sejati Almarhum Yovega Ardiarista, sahabat yang mati muda

melawan rasa sakit. Berharap skripsi ini bisa membayar ketidak hadiran ku dalam proses

pemakaman mu!!

Medan, 15 Desember 2011

(9)

Abstraksi

Persoalan Idologi adalah hal primer yang harus kembali dibicarakan dalam sebuah

kerangka bernegara. Republik Indonesia didirikan dengan semangat sosialisme, dimana

segala pandangan Marxisme mengendap pada pikiran pokok bapak bangsa. Lantas kita

sebagai generasi muda tidak hanya bisa terdiam dengan pandangan kososng dalam

mengisi kerangaka bernegara. Tulisan ini memang sengaja diusung untuk kembali

mempromosikan sebuah ideologi yang sangat relevan atas konsis zaman dan benag merah

sejarah.

Mencari artefak ideologi tidak bisa dilakukan dengan serampangan. Penyelidikan ini haru

dilakukan dengan sangat hati-hati berdasar sebuah fakta tekstual yang menjadi pertinggal

pada masanya. Dengan kondisi seperti itu kita akan kembali dihadapkan pada sebuah

piliha ideologis. Pendekatan Post-Marxist adalah sebuah pilihan metodologis yang

memungkinkan untuk membongkar formasi waca yang pernah terjadi dimasa lampau.

Dengan cara ini maka peranan wacana yang hegemonik dan antagonisme wacana adalah

sebuah cara untuk memahami proses terbentuknya sebuah paradigma sosial. Hegemoni

wacana berjalan untuk menundukkan wacana yang tumbuh disekitarnya, sehinggga ada

sebuah kosensus yang berlaku secara sadar maupun tidak. Disisi lain antagonisme

wacana beroperasi atas dasar keterlemparan yang tidak lagi diakomodir pada situasi yang

sama. Kadang kala proses antagonisme akan menimbulkan sebuah potensi kekuatan baru

untuk mengkalahkan wacana yang sudah mapan.

Nasionalisme Indonesia berdiri diatas gagasan Marxisme yang menjadi lawan tandi dari

pemerintahan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia digagasa oleh para anak-anak muda

terdidik yang melakukan propaganda baik lewat media massa maupun proses

pengkaderan panjang untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Gerakan ini

kemudian terakumulasi menjadi sebuah perlawan ideologi atas segala penindasan

colonial yang terus-menerus menjadi basis situasi perlawanan. Soekarno, Hatta, Sjahrir,

dan Tan Malaka adalah manusia-manusia yang mengkorbankan waktu, tenaga dan

pikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Semangat kemerdekaan bukan saja sebatas

anti-kolonialisme dalam pertentnagan ras (warna kulit). Namun ada program sosialisme yang

ingin terus disematkan dalam fundamental bernegara. Sehingga kita tidak sebatas

menghargai mereka dalam batas kesosokan sebagai seorang tokoh bangsa. Namun ada

sebuah cicta-cita luhur sosialisme untuk membangun sebuah peradaban yang adil dan

sejahtera, meski segala pencapainan cita-cita itu terjadi pertikaian politik yang berujung

pada kesedihan mendalam. Pada akhir hayat mereka hanya dikenal sebagai seorang

manusia yang pernah memimpin Negara ini. Tapi kita enggan untuk kembali melirik

tulisannya.

(10)

Daftar Isi

BAB I

Latar Belakang ... 14

Metodologi dan Teori ... 22

Representasi Imagine Community dalam Bentuk Nasionalisme ... 22

Antagonisme, logika perbedaan dan persamaan ... 25

Genealogi, Imajinasi Sosial (mitos) dan Hegemoni ... 28

BAB II

Perdebatan Marxisme Eropa: Sebuah Titik Sejarah Sosial-Demokrasi ... 34

Kemunculan Tokoh Revisionis: Harapan Baru Sosialisme Eropa ... 41

(11)

BAB III

Perintisan Nasionalisme Indonesia: Tumbuh Diatas Intelektualitas dan Akar

Sosialisme-Marxist ... 56

Evolusi Politik: Kemunculan Organisasi Politik Dalam Perjuangan Kemerdekaan

... 63

Transformasi Ideologi: Sebuah Benang Merah Antara Eropa dan Nusantara dari

Pengaruh Wacana Politik Pers Media dan Aktivitas Kelompok Studi ... 66

BAB IV

Jejak Ideology Dan Konstruksi Demokrasi Indonesia “Baru” ... 82

Soekarno Menuju Pembebasan Nasional: Pandangan Negara Kesatuan dari

Sukamiskin Sampai Pegangsaan Timur ... 83

Meniti Jembatan Emas Bersama Rakyat Marhaen: Mencari Arti Kebebasan

Dalam Bentuk Kemerdekaan Nasional ... 87

(12)

Marhaenisme Vs Sosial-Demokrasi: Pertauatan Elektisme Soekarno Dengan

Gagasan Sosialisme Eropa ... 102

Hatta Melawan Dengan Tulisan: Konsep Kesejahteraan dan Keadilan Sosial Dari

Anak Minang Untuk Bangsa Indonesia ... 105

Membangun Pilar Ekonomi Sosialis: Kritik Terhadap Kapitalisme, Orientasi

Ekonomi-Kooperasi Yang Berdaulat Pada Rakyat ... 111

Praktek Demokorasi Dalam Kacamata Kebersamaan Hatta: Logika Politik

Distributif, Kearah Parlementariat dan Otonomi Daerah (Federalisme) ... 125

Acuan Sistem Demokrasi dan Menjaga Iklim Pruralisme: Menghindarkan

Pengaruh Mayoritarian Dengan Kemampuan Debat Intelektual dan Basis

Moralitas Kepemimpinan ... 137

Diri Sjahrir Demi Cita-Cita Perubahan Agung: Perjuangan Manusia Atas

Pertempuran Ideologis, Serta Harapan Membangun Tatanan Demokratis…140

De Socialist Untuk Indonesia: Pertaruhan Revisionist-Marxisme Untuk Merebut

Kemerdekaan Republik Bersama Sosial-Demokrasi ... 147

(13)

Partai Sosialis Progresiv: ‘Tidak Perlu Banyak, Yang Penting Paham Akan Arah

Perjuangan!’ ... 180

Pengembaraan Tan Malaka, Revolusioner Tangguh Dibalik Teralis Besi

Kekuasaan: Membangun Republik Diantara Radikalisme-Marxist dan

Religiusitas-Islam ... 185

Mimpi Suci Seorang Revolusioner Kiri: Pilihan Antara Parlemen dan Soviet,

Obor Republik Sebagai Dasar dan Anjuran Kemerdekaan Indonesia ... 194

Kredo Partai Perjuangan Masive Di Tengah Kesendirian: Perlawanan Massa

Sebuah Tinjauan Teori dan Praktek ... 212

Geriliya Vs Perundingan: Bambu Runcing Untuk Menuntut Kemerdekaan

Penuh (Merdeka 100%) ... 220

BAB V

(14)

Abstraksi

Persoalan Idologi adalah hal primer yang harus kembali dibicarakan dalam sebuah

kerangka bernegara. Republik Indonesia didirikan dengan semangat sosialisme, dimana

segala pandangan Marxisme mengendap pada pikiran pokok bapak bangsa. Lantas kita

sebagai generasi muda tidak hanya bisa terdiam dengan pandangan kososng dalam

mengisi kerangaka bernegara. Tulisan ini memang sengaja diusung untuk kembali

mempromosikan sebuah ideologi yang sangat relevan atas konsis zaman dan benag merah

sejarah.

Mencari artefak ideologi tidak bisa dilakukan dengan serampangan. Penyelidikan ini haru

dilakukan dengan sangat hati-hati berdasar sebuah fakta tekstual yang menjadi pertinggal

pada masanya. Dengan kondisi seperti itu kita akan kembali dihadapkan pada sebuah

piliha ideologis. Pendekatan Post-Marxist adalah sebuah pilihan metodologis yang

memungkinkan untuk membongkar formasi waca yang pernah terjadi dimasa lampau.

Dengan cara ini maka peranan wacana yang hegemonik dan antagonisme wacana adalah

sebuah cara untuk memahami proses terbentuknya sebuah paradigma sosial. Hegemoni

wacana berjalan untuk menundukkan wacana yang tumbuh disekitarnya, sehinggga ada

sebuah kosensus yang berlaku secara sadar maupun tidak. Disisi lain antagonisme

wacana beroperasi atas dasar keterlemparan yang tidak lagi diakomodir pada situasi yang

sama. Kadang kala proses antagonisme akan menimbulkan sebuah potensi kekuatan baru

untuk mengkalahkan wacana yang sudah mapan.

Nasionalisme Indonesia berdiri diatas gagasan Marxisme yang menjadi lawan tandi dari

pemerintahan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia digagasa oleh para anak-anak muda

terdidik yang melakukan propaganda baik lewat media massa maupun proses

pengkaderan panjang untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Gerakan ini

kemudian terakumulasi menjadi sebuah perlawan ideologi atas segala penindasan

colonial yang terus-menerus menjadi basis situasi perlawanan. Soekarno, Hatta, Sjahrir,

dan Tan Malaka adalah manusia-manusia yang mengkorbankan waktu, tenaga dan

pikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Semangat kemerdekaan bukan saja sebatas

anti-kolonialisme dalam pertentnagan ras (warna kulit). Namun ada program sosialisme yang

ingin terus disematkan dalam fundamental bernegara. Sehingga kita tidak sebatas

menghargai mereka dalam batas kesosokan sebagai seorang tokoh bangsa. Namun ada

sebuah cicta-cita luhur sosialisme untuk membangun sebuah peradaban yang adil dan

sejahtera, meski segala pencapainan cita-cita itu terjadi pertikaian politik yang berujung

pada kesedihan mendalam. Pada akhir hayat mereka hanya dikenal sebagai seorang

manusia yang pernah memimpin Negara ini. Tapi kita enggan untuk kembali melirik

tulisannya.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Peradaban manusia mencatat lebih dari satu abad, manusia banyak membicarakan sebuah konsep yang ideal dalam menjalani sebuah kehidupan bersama. Dimana selalu mempertimbangkan dari aspek moral manusia itu sendiri. Meskipun dalam catatan sejarah manusia, sebuah “peradaban” mengalami pasang surut yang tidak bisa di prediksi [pada masa sejarah nya] dan memang harus diterima alam realitas kehidupan manusia. Namun apa kekuatan besar dibalik itu yang mempengaruhi perubahan-perubahan significant ke dalam aspek moral manusia, yang diterjemahkan dalam prilaku manusia dari yang humanis sampai yang sadistis. Ini adalah sebuah pergulatan panjang manusia, yang boleh jadi adalah misteri dalam tanda tanya besar kehidupan. Tanda tanya besar akan terus menjadi teka-teki di masa depan, dan manusia belum tentu bisa menjelaskan apa yang tersipan dalam tanda tanya besar itu?? Seperti hal nya dalam sebuah tradisi filsafat semuanya berawal dari pertanyaan.

(16)

rakyat terdindas (kebanyakan). Karena selama sistem monarkhi berjalan, rakyat (marginal) hanya di minta upeti (pajak) tanpa menikmati hasil nya. Mac Iver menuliskan masa transisi menuju demokrasi penuh, adalah ketika raja difungsikan sebagai simbol keyakinan (Homerus) dan para bangsawan mengambil alih kekuasaan politik. Lantas jabatan sipil menjadi hal yang di perebutkan oleh bangsawan dan warga-kota jelata; dan pertarungan ini menghasilkan sebuah lembaga baru, dimana sudah terjadi suatu kompromi (Mac Iver, 1984: 72).1

Hal itu tercermin ketika terjadi perdebatan kembali dasar negara yang menjadi dua ekstrim, negara berlandaskan Islam dan Pancasila. Ini adaalh sebuah perdebatan panjang soal ide-ide yang harus di manefestasi dalam dasar negara. Namun hasil konsesi sepakat bahwa Indonesia berlandaskan Pancasila, dalam hal ini saya ingin menunjukan bahwa dibalik semangat persatuan yang multikultural juga terjadi perdebatan sengit antar ide-ide besar. Sebuah fakta historis bahwa prinsip universal demokrasi di terjemahkan dalam bentuk musyawarah yang menghasilkan mupakat bersama. Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah nya. Kita mengenal istilah bapak pendiri bangsa (founding fathers) yang Seperti hal nya perjalanan Indonesia, massa rakyat Indonesia berjuang untuk meraih kemerdekaan dimasa kolonialisme Belanda. Sampai terciptalah Negara Kesatuan Indonesia yang di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Itu adalah sebuah momentum sejarah yang melekat pada negara dalam melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Kemerdekaan adalah sebuah antitesis dari penindasan kolonialisme dan Indonesia sebagai sebuah negara hadir bukan semata-mata peerjuangan fisik namun ada sebuah semangat persatuan yang dilatar belakangi multi agama, etnis, dan keberagaman ide.

1

(17)

merintis perjuangan sampai pada gerbang kemerdekaan, yang di kemudian hari mereka menjadi aktor dari negara. Soekarno, Hatta, Sjahrir, bahkan Tan Malaka adalah seseorang yang perlu didedikasikan dalam perjalanan sebuah bangsa. Dalam pandangan saya bukan semata sosok yang diberikan penghargaan tinggi oleh bangsa, namun ada ide besar yang tetap harus diberikan ruang penghargaan oleh para penerus bangsa dan negara. Terkadang kita lupa bahwa mereka adalah orang yang memiliki pandangan revolusioner atau biasa kita menyebut kaum kiri.2

Kemunculan wacana kritis pada awal dekade 1900’an oleh para kaum intelektual yang terdidik dalam perspektif berfikir barat, adalah sebuah cikal bakal dari resistensi terhadap praktek-praktek kolonialisme di Hindia-Belanda. Gagasan ini tidak lahir serta-merta tanpa proses “intelektualisasi” yang cukup panjang. Frank Dhont seorang sejarawan yang menulis soal Nasionalisme era ’20-an mencatat, bahwa gagasan baru soal “Nasionalisme” mulai dilahirkan oleh para intelektual muda yang belajar di dalam negri (Hindia-Belanda) maupun di luar negri (Belanda) melalui studieclub sebagai alat perjuangan. Selain itu kelompok-kelompok ini lahir juga dipengaruhi oleh iklim politik internasional yang sedang berkecamuk dan gagasan-gagasan politik barat yang revolusioner dimana empat orang tokoh yang saya sebut terlibat aktiv dalam pembangunan wacana-wacana politik kebangsaan (Nasionalisme). Dalam rangakaian ini kita akan semakin kuat untuk berangkat dari pijakan barat dimana pada masa itu gagasan barat cukup

Rasanya ini seperti sebuah paradox demokrasi Indonesia, dimana sebuah pemikiran di kubur hidup-hidup dan di deskritkan dengan istilah subversif. Ini adalah sebuah fakta yang kita temukan dalam kehidupan demokrasi hari ini, tema soal “kaum kiri” akan menjadi perdiskusian kita dalam bab-bab selanjutnya.

2

(18)

mendominasi dalam perdiskusian kaum intelektual. Hal ini akan semakin diperkuat bahwa para tokoh bangsa kita juga cukup terinspirasi oleh sosok seperti; Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Edward Bernstain bahkan August Bebel dimana sosok ini dianggap pemikir yang visioner pasca PD-I. Dengan pernyataan ini, kita akan coba meneropong kembali perdebatan Marxisme Eropa yang secara sadar maupu tidak pendiri bangsa kita cukup terpengaruhi oleh gagasan itu. Seperti kita tahu Rosa adalah seorang yang cukup keras mengorganisir buruh pabrik lantas, Kausky dan Bernstain adalah seorang ideolog partai yang mamu melihat peluang kemenangan pada masa nya. Masing-masing dari mereka memiliki preferensi acuan dari pemikiran barat untuk menguliti bentuk krisis yang sedang berlangsung. Jadi, kita juga bisa mengakui pergolakan politik saat itu cukup terinspirasi dengan yang terjadi di Eropa.

(19)

bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para nasionalis yang paling mendekati sikap ’juru selamat’ pun tidak mendambakan datangnya hari agung dimana seluruh anggota spesies manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti, pada zaman-zaman tertentu, orang-orang kristen memimpikan seutuhnya planet yang Kristen. Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat (sovereign) lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu Pencerahan dan Revolusi emporak-porandakan keabsahan ranah dinasti (absolut) berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri. Konsep itu beranjak matang dimasa para pengikut paling setia pun dari agama universal mana pun tak ayal lagi dihadang kemajemukan

(20)

Konstitusi dasar negara UUD’ 45 adalah sebuah penterjemahan dari falsafah negara

(weltanschauungen), dimana ini lahir berdasarkan dari sebuah konsensus dan penggalian dari nilai-nilai di Indonesia. Bicara Indonesia dalam konteks negara tidak bisa dilepaskan dengan bentuk konstitusi nya. Maka menjadi penting kembali meletakan negara dalam formasi konstitusi nya ketika terjadi sebuah perdebatan panjang. Sebgai penerus bangsa terkadang kita mampu memperdebatkan persoalan politik jauh kedepan, namun terkadang kita lupa akar dari negara ini yaitu kontitusi. Ini adalaha sebuah tematik kontemporer, yang atinya perdebatan itu masih terbuka sampai sekarang. Yang saya maksud dalam hal ini bukan saja peerdebatan yang berakhir dalam sebuah amandemen (perubahan konstitusi) tetapi juga kembali mengintepretasikan baik pasal per pasal. Penting bagi kelanjutan demokrasi di Indonesia, untuk meletakan konstitusi sebagai supremasi sipil. Meskipun dalam perjalan Indonesia sebagai sebuah negara, terkadang ada upaya memanipulasi kontitusi demi kepentingan sebuah rezim.

(21)

ideologis ini saya memiliki sebuah pendapat, bahwa bukan saja ideologi negara setelah terbentuknya konstitusi namun jauh sebelum itu, ada gagasa-gagasan besar [yang pada akhirnya kita juga menyebut nya sebagai Ideologi] yang mewakilkan pemikiran para tokoh dan kepentingan suatu golongan. Salah satu hal, kita bisa pahami dari perdebatan antara Muh Yamin dan Prof. Soepomo dalam melihat bentuk negara. Muh Yamin meberikan 5 pandangan atas sebuah negara; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan Prof. Soepomo tentang 5 asas negara; Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir batin dan Keadilan Rakyat. Selain perdebatan dalam sidang BPUPKI untuk membentuk sebuah negara, pidato Soekarno 1 Juni 1945 juga tidak kalah penting. Bagaimana Soekarno mengartilulasikan dari dua gagasan besar dan ditungkan dalam 5 asas negara; Kebangsaan, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan (Ranadireksa, 2007: 14-15). Ini adalah sebuah fakta bahwa konstitusi berusaha mengakomodir ide-ide besar yang mengandung makna pandangan ideologis. Sebagai sebuah tesis awal kita boleh mengasumsikan bahwa terkandung nilai-nilai ideologis dibalik konstitusi Indonesia.

(22)

’artefak’ Sosial-Demokrasi dan melihat relasi nya dalam tatanan demokrasi di Indonesia.3

RUMUSAN MASALAH

Meskipun dalam hal ini saya menyadari bahwa Sosial-Demokrasi adalah sebuah diskursus ideologi politik, dimana masih mengalami perdebatan panjang sampai detik ini. Tetapi menjadi menarik ketika kita mencari benang merah nya terhadap proses penyelenggaraan pemerintah yang berazaskan konstitusi, dimana soal projek Negara Kesejahteraan sudah tersirat didalam nya. Memang kita harus kembali membuka Konstitusi Negara, setelah itu baru kita memberikan argumentasi politik atas pembelaan kepentingan massa rakyat Indonesia, ini menjadi tantangan demokrasi Indonesia ke depan. Dimana sebuah rezim demokrasi Internasional semakin terejawantahkan, terlepas dari sisi positif bahkan negatif nya, pembelaan terhadap kepentingan rakyat adalah yang prioritas.

Berangkat dari pemaparan latar belakang, mendiskusikan kembali konstitusi dalam ruang publik adalah sebuah pilihan tematik yang relevan sebagai azas membangun demokrasi sekarang ini. Maka dari itu penelitian ini akan menjadi penting apabila mampu menjadi sumbangan pokok pikiran terhadap bangsa dan negara. Penelitian ini ingin menjawab beberapa persoalan pokok yang berkaitan dengan gagasan-gagasan ’demokratik’ yang melekat pada diri Indonesia, secara garis besar dikategorikan kedalam beberapa rumusan masalah. Pertama, bagaimana sejarah Sosial-Demokrasi yang lahir di Eropa melalui perdebatan kaum Revisionist Marxist, dan bagaimana lahirnya sebuah nilai universal [yang kemudian kita menyebutnya nilai-nilai Demokrasi Sosial]? Kemudian, apakah ada jejak Sosial-Demokrasi baik dalam pandangan para

3

(23)

tokoh bangsa maupun konstitusi sebagai dasar negara? Pertanyaan ini penting untuk melihat apakah gagasan barat [dalam hal ini Western Marxist] relevan untuk melihat persoalan kebangsaan [pada masa kolonial] dan memandang Indonesia Baru [Indonesia yang Merdeka] yang dikaitkan dengan nilai-nilai lokal (Local Genius). Kedua, seiring dengan beberapa pertanyaan pertama, penelitian ini ingin melihat apakah ada pertentangan antara nilai demokrasi sosial dengan pandangan para pendiri bangsa melihat negara. Dan bagaimana melihat peluang untuk membangun negara yang demokrasi dan ber-keadilan sosial.

METODOLOGI DAN TEORI

Dalam hal ini pendekatan Imagine Community yang dituliskan oleh Ben Anderson, cukup menjadi pijakan kita untuk memahami sebuah ontology historis yang bersifat berkelanjutan dan akan coba di harmonisasi dengan teori diskursus Laclau dan Mouffe. Oleh karena itu perlu kita pahami bagaimana dalam kacamata Imagine Community sebuah Nasionalisme terkonstruksi dalam ide para founding fathers kita, di artikulasi atau bahkan memabangun sebuah demarkasi dalam konteks “the insider” dan “the outsider” dimana hal ini bisa dijelaskan dengan Logic of equivalence and different dimana transformasi antagoisme cukup menentukan. Lantas kemudian juga kita akan membedah lebih dalam sebuah wacana yang hegemonic dimana wacana itu cukup mempengaruhi diskursus politik pada masa itu yang boleh jadi di representasi dalam partai politik.

(24)

Dalam sebuah kajian teoritik penjabaran sebuah defenisi dari Nasionalisme itu sendiri memang tidak pernah tuntas (selesai). Akan tetapi dalam perkembangan zaman ide dari nasionalisme itu sendiri memiliki ruang untuk tetap eksis dalam sejarah kehidupan politik kontemporer. Memang tidak mudah untuk memahami bentuk dari Nasionalisme itu sendiri. Eric Hobsbawm menyatakan dengan tepat bahwa “gerakan-gerakan dan negara-negara Marxis yang cenderung untuk menjadi ‘nasional’ bukan hanya dalam bentuk nya melaikan juga dalam substansi nya, yakni menjadi

nasionalis. Tidak ada kecenderungan kapan akan berhenti (Anderson, 2008: 4). Bahkan Anderson berangkat dari pandangan bahwa bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan bakal kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan pernah saling bertemu, toh mereka akan tetap terikat dalam ikatan emosional yang membayangkan dalam kebersamaan mereka (Anderson, 2008: 9).

(25)

sudah dipaparkan Anderson bisa kita pahami bahwa sebuah Identitas “Nasionalisme” dimana didalam nya juga memiliki diskursus yang berbeda dapat dipahami secara relasional. Identitas adalah suatu yang bergerak terus, dinamis dan akan sangat bergantung konteks nya (Damanik, 2010: 20).

Terjadi sebuah asumsi bahwa nasionalisme akan gagal sebagai sebuah ide, ‘era berakhirnya nasionalisme’ namun wacana ini tak kunjung nanpak di batas cakrawala. Fakta nya justru nasionalisme semakin eksis dalam dalam sebuah identitas politik. Dalam pandangan Anderson, atefak dari nasionalisme yang samapai saat ini masih bisa kita buka kembali terjadi atas kekuatan sejarah (a historical being). Sekali terbentuk artefak nasionalisme itu kemudian menjadi satu modular yang dapat di transplantasikan, dengan derajat-derajat kesadaran diri berbeda, menyatukan dan disatukan dalam hubungan nya dengan berbagai konstelasi ideologi dan politik (Anderson, 2002: 6). Konstelasi ideologi politik itulah yang akan terus menerus mempengaruhi bentuk gagasan nasionalisme maupun prakteknya didalam kehidupan sosisal politik suatu masyarakat (Damanik, 2010: 20). Dimana dalam sebuah kerangka nasionalisme ternyata ada pertarungan ideologi politik yang berupaya menjadi representasi dari haluan politik nasional. Dengan ini kita bisa memahami bahwa identitas dari nasionalisme juga terkonstruksi dengan ideologi-ideologi yang cukup populer dalam ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bernegara, juga nasionalisme bukan dipahami sebagai sebuah yang fixed, bahwa sejarah akan menentukan masa depan nya dalam formasi yang berbeda.

(26)

mempengaruhi nya atau biasa disebut kontigensi), konstruksi sejarah, dimana cukup rentan (rapuh) terhadap kekuatan-keuatan politik yangdikeluarkan dari hasil produks mereka sebagaimana juga efek-efek dari ketercerabutan dari kejadian-keadian yang melampau kontrol mereka (Howarth, 2000: 9; Laclau, 1990: 31-36). Artinya sebuah kehadiran nasionalisme tidak tetap, bahkan dalam sebuah analogi tertentu nasionalisme itu bisa bersifat lentur apabila ditarik dalam sebuah kontekstualisasi sejarah.

Dengan kata lain, nasionalisme atau Imagined Communities merupakan sebuah konstruksi ideologis dan politik, atau sebuah ‘Floating signifier’ (penanda mengambang) dimana terdapat interkasi antara wacana yang universal dengan yang partikular, yang bisa bertransformasi dan berubah, sejalan dengan konteks sejarah. Sebagai sebuah proses kemenjadian, komunitas yang terbayangkan akan bergantung pada sistem khusus pembeda yang mendasari identitas nya (Damanik, 2010: 21).

A

NTAGONISME

,

LOGIKA PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
(27)

182). Dengan membangun sistem perbedaan, mereka memisahkan diri ‘dari rantai kesamaan didalam rantai popular dan mentransformasikan mereka kedalam perbedaan-perbedaan objektif di dalam sistm’ (Damanik, 2010: 21; Laclau dan Mouffe 2001:130)

Berangkat dari rantai persamaan, semua determinasi pembeda yang besrifat objek dari sebuah term akan dilenyapkan, maka suatu yang ‘identik’ akan dibentuk dengan suatu determinasi positif yang melandasinya..(Laclau dan Mouffe, 2008: 192). Artinya kemunculan ‘suatu hubungan penyamaan yang menampung semua determinasi positif..’ (Damanik, 2010: 21; Laclau dan Mouffe, 2001: 128). Secara gamblang mereka berpendapat, ‘masyarakat tak pernah mampu sepenuhnya membentuk dirinya menjadi masyarakat, karena segala sesuatu yang ada didalam nya di penetrasi keterbatasan-keterbatasannya sendiri, sehingga menggagalkan usaha mereka untuk mencapai keutuhan dalam dirinya sebagai suatu realitas yang objektif (Laclau dan Mouffe, 2008: 191).

(28)

Selanjutnya argument Laclau dan Mouffe, ‘antagonisme sosial terjadi disebabakan tidak mampu (unanable) untuk mencapai identitas mereka (dan karena itu tidak mampu untuk mendapatkan kepentingan mereka) dan karena nya mereka menyusun suatu musuh yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan ini’. Bagi Howarth, “halangan” atau “kegagalan” identitas ini, adalah pengalaman timbal-balik antara kekuatan menolak dan kekuatan ditolak’ (Taufan, 2010: 22; Howarth, 2000: 105).

Antgonisme tidak muncul begitu saja, namun karena pelaku sosial melakaukan sebuah konstruksi musuh (the other) dengan sistem pembeda, dan antagonisme tidak muncul dari satu titik saja melaikan dari berbagai posisi dalam sistem pembedaan (Taufan, 2010: 22). Howarth melengkapi, ‘antagonisme membongkar batasan politik (political frontier) dari formasi sosial (Howarth, 2000:106). Dalam titik ini, Laclau dan Mouffe memperkenalkan logika perbedaan (thelogic of difference) untuk menjelaskan perluasan medan diskursif dengan memutuskan rantai-rantai persamaan dan menyatukan elemen-elemen yang tidak terartikulasi kedalam perluasan formasi’ (Howarth, 2000: 107)

(29)

secara massiv atas perjuangan nasional dan mengambil sikap ‘oposisi riil’ kepada kolonialisme. Namun, setelah kemerdekaan nasional masing-masing tokoh mengambil posisi subjek dan terjadi kembali antagonisme diantara mereka. Perdebatan ide yang berujung kepada konflik politik, adalah semata-mata proses merepresentasikan ideologi-politik dalam sistem bernegara sesusai dengan derajat “ke-kirian” nya, sebagaimana Tan Malaka, Soekarno, Hatta dan, Sjahrir memiliki subjektivitas politiknya.

GENEALOGI, IMAJINASI SOSIAL (MITOS) DAN HEGEMONI

Bagi Laclau antagonisme bisa di temukan ketika sebuah perwacaan bertabrakan. Antagonisme mungkin bisa lenyap dengan intervensi yang hegemonic. Intervensi yang hegemonic adalah artikulasi dimana kekuatan untuk merekonstruksi tanpa ambigu. Yang juga hegemony memiliki kesamaan dengan diskursus, karena kedua term nya menunjukan fixsasi elemen kedalam momen (Philip dan Jorgensen, 2002: 48). Medan kemunculan hegemoni adalah medan bagi praktek-praktek artikulatoris, dengan kata lain ini adalah sebuah medan dimana ‘elemen-elemen’ tak terkristalisasi menjadi ‘momen-momen’. Dalam suatu sistem identitas relasional yang tertutup, dimana didalam nya makna dari setiap momen telah fixed secara absolut, tak ada ruang apapun untuk praktek hegemonik (Laclau dan Mouffe, 2008: 202).

(30)

objektifitas yang baru dengan mengartikulasikan elemen-elemen yang tercerabut (Taufan, 2010: 23; Laclau, 1990: 60-61). Artikulasi itu sendiri harus dijalankan lewatsuatu konfrontasi dengan praktek-praktek artikulatoris yang antagonistik – dengan kata lain, bahwa hegemoni akan muncul dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonisme-antagonisme dan karena itumengandaikan adanya fenomena equivalensi dan efek-efek garis perbatasan (Laclau dan Mouffe, 2008: 204).

Konsep hegemoni yang telah diurai diatas bisa menjadi relevan dengan pendekatan Anderson dalam Imagined Communities, apabila di kontektualisasi dengan kemenjadian Indonesia yang disertai perlawanan terhadap kolonialisme. Lalu terjadi artikulasi dari sebuah bentuk penindasan dari kolonialisme, dimana fenomena ini ditangkap oleh para pendiri bangsa dan kemudian diurai dengan tradisi Marxian. Sistem Politic etich juga dimaknai sebagai sistem pembeda antara penjajah dan yang terjajah, sudah memilik efek-efek pembatas dalam ruang politik. Gerakan-gerakan kiri dan basis fundamental agama berartikulasi untuk meruntuhkan dominasi kolonial dengan intervensi hegemony, pada titik ini Imajinasi Sosial yang lebih baik mulai muncul yang bisa saja di penetrasi dalam bentuk myth. Secara teoririts pastinya titik-titk perlawan tersebar dimana saja dan mulai merekonstrusi ‘lawan’ yang satu. Kemerdekaan, kesejahteraan dan keadilan sosial adalah myth yang terbangun pada situasi itu, sebagai imajinasi perlawanan politik.

(31)

ini adalah fase membangun cita-cita bersama (collective imagine), western Marxist yang kemudian di kontemplasi oleh ide pendiri bangsa untuk membangun Indonesia Baru terartikulasi kedalam bentuk pelawananan yang hegemonik. Namun setelah kemerdekaan itu mencapai sebuah titik dari kolektifitas, ternyata masing-masing tokoh mengambil jarak dan kemudian membangun hegemoy nya masing-masing dalam pertarungan internal. Sehingga penalaran dari ‘Western Marxsit’ itu pun memiliki ruang intepretasinya masing-masing dalam horison yang terlepas secara elementer.

Dengan fase perjalanan sebuah bangsa, kita bisa sepakat dengan apa yang dikatakan Laclau dengan contigency, dalam proses-proses ini bisa dibuktikan. Dimana sebuah format sosial yang memang tidak tetap, disisi yang lain subjek yang ‘terlepas’ dalam ranah sosial terus merekonstruksi identitas nya. Republik ini juga lahir dari sebuah perdebatan panjang, setelah meraih ‘kedaulatan’ perdebatan untuk perwujudan cita-cita bersama juga tidak dapat terhindarkan. Dalam kepemimpinan Soekarno yang daulat juga mengalami pasang surut, yang ‘terbentur’ dengan wacana ideologi-politik Hatta, Sjahrir maupun Tan Malaka. Yang bagi Laclau, ‘penerimaan re-artikulasi ini sepenuhnya tergantung kepada kredibilitas dari wacana mengenai tatanan baru yang ditawarkan sebagai jawaban terhadap krisis dan ketercerabutan dan diterima oleh para pendukung’ (Taufan, 2010: 24).

(32)

tergantung pada “penemuan ulang” dan penghetauan menghasilkan “penemuan ulang” diri kita sendiri dengan penuh empati. Dengan ini sejarah akan menumbangkan cara berfikir ‘tradisional’ dan penghetauan digunakan sebgai pembongkaran yang jelas (Foucault, 2002: 290-1). Dalam tradisi ini para alih mengkategorikan dalam proses genealogi, dimana Laclau dan Mouffe juga melakukan ini untuk menemukan konsep hegemoni yang digunakan,’dengan meminjam secara bebas ungkapan Foucault, kita bisa katakan bahwa tujuan kita ialah untuk membangun arkeologi dari sebuah kebisuan (archaeology of a silence)’ (Laclau dan Mouffe, 2008: 1).

(33)

Melalui konsep hegemoni, dalam penulisan ini juga berupaya memahami sebuah proses perlawaan terhadap kolonial dan pembentukan identitas Indonesia itu sendiri di satu fase. Lantas pada episode politik berikut nya, bagaimana Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka membangun imaginasi sosial (collective imagine) yang di kontekstualisasi dengan ideologi dan gagasan yang di perjuangan kan –dimana sebelum nya melekat dalam komunitas terbayang Indonesia- . Seperti yang dikatakan oleh Gramsci, terjadi pembentukan ‘blok sejarah’ (a new historical bloc) –membangun satu blok sejarah yang sama- dalam proyek hegemoni yang mengalami pertentangan dengan sosial imajinasi yang berbeda (Howarth, 2000: 109). Konjungtur tidak muncul dari satu titik, melaikan dibanyak posisi dari hasil overdeterminasi situasi-situasi, dimana konjungtur ini tak hanya melahirkan antagonisme-antagonisme baru, tetapi juga krisis umum pada identitas-identitas sosial (Laclau dan Mouffe, 2008: 205). Pemebentukan itu terjadi apabila prasyarat makna parsial bersifat tetap, karakter sosial juga tidak pernah tetap dan tdak penuh oleh karena itu bersifat terbuka. Dengan posisi seperti itu praktek pengartikulasian, ‘projek hegemonik dapat membentuk dan menstabilkan sistem-sistem pemaknaan atau pembentukan hegemonik’ (Damanik, 2010: 25; Howarth, 2000: 109-11).

PENDEKATAN METODOLOGIS

(34)
(35)

BAB II

(36)

Kita akan dengan jelas mengatakan bahwa Karl Marx adalah bapak “Revolusi” kaum proletariat, ketika kita membaca karya nya dan gerak filsafat nya yang berusaha mendobrak sebuah system kapitalis yang mapan. Refleksi Marx tentang sebuah revolusi memang tidak datang begitu saja, dialektika sejarah ini hadir di latar belakangi oleh dua aspek sejarah revolusi yang mempengaruhi dunia. Pertama “Revolusi Perancis” pada 1789 yang menaklukan sebuah system monarki dan budaya feudal di Eropa, dan yang kedua “Revolusi Industri” di Inggris pada akhir abad-18 secara konsekuensi logis mempengaruhi segala aspek dari tatanan social, politik, dan ekonomi khususnya masyarakat Eropa pada masa itu. Dalam rentang sejarah yang ada membuat Marx meyakini bahwa “revolusi adalah lokomotif sejarah”.

(37)

episode sejarah modern untuk memahami prinsip kebebasan, yang akan berpangkal pada sebuah tatanan masyarakat kapitalis. Dalam kerangka berfikir ini Marx menolak kepemilikan pribadi, yang cukup jelas kritik ini ditujukan kepada kaum liberalisme. Juga kepada kaum sosialis “utopia”, Marx mengkritik bahwa mereka tidak pernah sadar terhadap gerak “sejarah” dan masih mengakomodir kaum kapitalis yang status quo (Townshend, 2003: 1-2).

Karya Karl Marx yang cukup menggegerakan Eropa pada saat itu adalah The Communist Manifesto, yang disambut dengan perdebatan sengit antara pendukung dan penentang ide-ide Marx. Tulisan ini didorong dari pertemuan Brussels, yang menggabungkan dua organisasi buruh;

League of Just dan Correspondence Society. Disini adalah kumpulan buruh trampil pembangkang yang berusaha menyatukan gerakan buruh pada saat itu. Manifesto ditulis dalam sebuah situasi pergolakan ekonomi-politik di Eropa. Dampak dari Revolusi Industri di Eropa cukup menyengsarakan borjuis kecil di desa (daerah agraris) dan proletariat dikota (pusat industry). Ini adalaha sebuah fenomena dimana kemiskinan terus membayangi mayoritas masyarakat Eropa pada masa itu. Kegagalan perdagangan di tahun 1847 semakin memperparah kondisi krisis Eropa, dan kemudian dikenal dengan dasawarsa kelaparan (Hungry forties). Krisis ini terus melanda seluruh Eropa sehingga akumulasi tuntutan terhadap demokrasi semakin besar, dimana momentum ini dapat melahirkan sebuah Revolusi suatu saat.

Dengan pergulatan ide dalam The Communist Manifesto paling tidak kita bisa menggaris bawahi argumentasi Marx tentang krisis itu. Pertama, Marx menolak konsep Negara bahwa Negara tidak bisa mewujudkan kebebasan manusia, acuan nya berangkat dari thesis-thesis Hegel. Dalam

(38)

ditawrkan Hegel bahwa Negara tidak mampu mewujudkan kepentingan umum dari masyarakat.4

4

Meskipun dalam studi Marxisme yang lain, para alih-alih ada yang berpendapat bahwa Marx tidak seutuhnya menolak konsep negara, tapi dalam penulisan Manifesto nya Marx terlibat dalam sebuah suasana yang emosional dimana terjadi kemiskinan dimana-mana. Sehingga tulisan nya trlihat ada prestensi menolak system (*negara), dan celah ini lah kelompok Anarchist merasa ide nya terakomodir dalam pandangan Marx.

(39)

‘Komunisme’ berkembang dari “proses kehidupan material” kelas buruh (Townshend, 2003: 7). Kemudian Marx mengurai dalam teori nilai, dia berangkat dari upah subsistensi (nilai tenaga kerja) yang besaranya ditentukan oleh nilai dari sarana-sarana subsistensi (sarana kehidupan pokok) yang dibutuhkan pekerja untuk bertahan hidup. Besarnya upah subsistensi memang dipengaruhi oleh factor historis dan moral, namun tidak akan terjadi peningkatan pada upah subsistensi meskipun telah terjadi peningkatan laba, situasi ketenagakerjaan, dan akumulasi kapitalisme. Dalam penekannya bagi Marx, kapitalisme tidak akan meningkatkan nilai upah subsistensi karena kapitalisme akan terus mengeksploitasi potensi buruh dan mengambil surplus dari para buruh. Setelah kapitalis menikmati keuntungan ‘nilai surplus’ yang seharus nya kembali di distribusikan kepada buruh membuat para pemilik modal termotivasi untuk mengekspansi capital nya. Pola akumulasi dari capital mendorong para kapitalis untuk menekan dari ‘nilai subsistensi’ nya sehingga persamaan dari biaya produksi dapat di tekan dan output dari ‘nilai surplus’ akan meningkat. Namun hal ini akan membuat posisi buruh semakin lemah, karena kebutuhan material nya di hisap oleh pemodal (Caporaso dan Levine, 2008: 137-8). Pada akhinya Marx berusaha meramal kan sejarah bahwa peradaban kapitalisme itu akan runtuh dengan sendirinya, dikarenakan kapitalisme akan saling membunuh diantaranya untuk memenuhi hasrat dari kepemilikan itu.

(40)

dunia. Kedua, jenjang ‘konjungtural’ dimana mereka meyakini bahwa ada keberadaan ‘pengganggu’ dalam kehidupan social-politik yang otonom akibat dari interaksi dengan aktivitas ekonomi (seperti budaya feudal dan politisasi kekuasaan). Namun gerakan Marx justru berlaianan dengan apa yang diyakininya. Artinya kondisi obyektif yang ada tidak bisa menjadi basis materi dari pola perlawanan Marx dengan ‘perjuangan kelas’. Karena pada waktu yang bersamaan Marx juga mendukung revolusi bersama kaum bojuis di Jerman, dan revolusi agaria di Polandia, bukanlah revolusi proletar. Ternyata fakta bahwa dunia terus mengalami perubahan, terutama bntuk dari kapitalisme itu sendiri dan formasi dari perjuangan kelas juga mengalami transformasi bentuk. Analogi-analogi ini menunjukan kita bahwa penalaran Marx dan Engels memiliki sifat problematis- selalu membutuhkan revisi- hingga mereka wafat. Dalil ini diperkuat dalam

Manifesto, keduanya menyatakan bahwa ‘prinsip umum’ yang dijelaskan masih benar, meskipun dalam ‘penerapan praktisnya akan tergantung pada kondisi historis, dimana pun dan kapan pun’ (Townshend, 2003: 11-12).

(41)

kekuasaan proletariat. Disini kita mulai memahami bahwa Marx dan Engels tidak secara tegas menarik garis antara kaum borjuasi. Bahkan pada 1860’an Marx mulai mendukung pembebasan nasional di Polandia dan Irlandia dimana kelompok borjuis cukup memegang peranan penting. Gerakan pembebasan nasional dapat menghancurkan ideologis borjuis atas proletar melalui penanaman rasa superioritas nasional. Samapai pada sebuah titik Marx meyakini aliansi buruh-petani -yang pada awal nya pada Manifesto proletar sebagai basis material- dimana kaum proletar minoritas adalah jalan yang mungkin untuk melawan borjuasi kapitalis. Dan pada 1848 dalam “The Demands of Communist Party in Germany” secara jelas menyatakan empat tuntutan yang menguntungkan kaum petani. Di akhir-akhir hayat Marx memberi perhatian penuh terhadap petani di Rusia, dan secara sementara menyimpulkan bahwa kepemilikan tanah adalah kondisi objektif dari situasi kapitalisme, yang apabila “kepemilikan umum” dapat direalisasikan maka akan menjadi pemicu dari perkembangan komunisme di Barat, dan dimulai dari Rusia.

Revisi kedua, adalah persoalan transisi menuju komunisme dimana mereka juga meyakini ada nya pertarungan politik dalam pertempuran demokratisasi –yakni demokratisasi Negara- seperti yang terjadi Inggris (dimana kemenangan memlalui proses damai). Dalam pidato Marx pada konggres Internationale I, berpendapat bahwa cara-cara damai tidak dapat dilakukan pada Jerman, Perancis dan Rusia karena pada tataran kekuasaan Eropa continental Negara bersifat seperti mesin antara perpaduan militer dan birokrat yang mendominasi dimensi kehidupan social, politik dan ekonomi. Analis Marx masih menempatkan posisi kekuasaan dalam praktek feodalisme, sehingga kekuasaan itu harus direbut kaum borjuis untuk berkuasa, baru akan diteruskan dengan perjuangan kelas proletar menuju transisi komunisme.5

5

Revisi yang terjadi karena adanya sebuah ambiguitas konsep dari revolusi itu sendiri, sehingga batasan antara proletar dan borjuis menjadi kabur. Dalam pendapat Townshend terlihat Marx juga terjebak dalam segregasi antara perjuangan kelas dan persoalan bangsa.

(42)

diyakini Marx dalam bentuk revolusi, secara perlahan gugur dengan perkembangan zaman dan metafor kelenturan kapitalisme. Dan para buruh lebih memilih metode reformis ketimbang menumbangakannya. Dengan ini kita bisa menguliti tradisi problematis dari Marxisme itu, yang tidak dapat di pahami secara dogmatis. Karena dengan jalan reformis ekonom dan poliik buruh berkepentingan dengan kapitalisme.

KEMUNCULAN TOKOH REVISIONIS: HARAPAN BARU SOSIALISME EROPA

Setelah kegagalan Revolusi 1848 menjadi tekakan kepada gerakan pekerja di Eropa, namun di lain sisi tidak menyurutkan untuk memperjuangkan kebebasan, demokrasi dan kesetaraan. Gerakan persatuan di Italia, dan kebijakan Liberalisasi di Rusia yang singkat adalah rangsangan dari gelombang politisasi. Ini memberikan sebuah tekanan yang kuat bukan hanya kepada hasrat persatuan nasional tetapi juga pembentukan aspirasi yang emansipatoris dari kelas pekerja yang memiliki pengaruh dalam system politik. Dalam situasi ini, kaum borjuis-liberal di Jerman sekali lagi menunjukan kefasihan nya dalam advokasi parlementarism dan hak demokrasi, kebebasan dan kesatuan nasional. Pergeseran arah politik menjadi ke sudut pandang Liberalisme, karena muncul seorang tokoh Ferdinand Lassalle seorang democrat borjuis.6

6

Lassalle berupaya memasukan Program Liberal dalam perjuangan Marxisme, dimana dalam pandangan nya Iklim sosialisme tidak akan tumbuh subur tanpa liberalisme. Meskipun konsekuensi gagasan nya banyak menghilangkan pretensi Marxisme terhadap konsep perjuangan kelas.

(43)

kepada kaum borjuis liberal. Kebangkitan gerakan buruh akan terus dimotori oleh kepemimpinan liberal-borjuis dengan slogan kebebasan dan persatuan. Dalam “surat jawaban terbuka” (1 Maret 1863) Lassalle menyerukan kepada pekerja bahwa harus membuat organisasi politik yang mandiri. Yang kemudian berdiri di Leipzig pada 23 May 1863, dengan nama Allgeimeiner Deutcher Arbeiterverein (Perhimpunan Umum Buruh Jerman). Kemudian Lassalle membangun Partai Buruh Independen dengan program pokok; Kesamaan Hak Pilih dan Kebebasan Berasosiasi dan persatuan pekerja (FES, - 28-30).

(44)

Bernstein menitik beratkan kritik Marx pada tujuan akhir –telos, yang di tuangkan dalam “Evolutionary Socialism” dan Program Erfurt. Yaitu “Revolusi” proletariat sebagai jalan menuju masyarakat komunis, ini tidak bermakna apapun ketimbang “reformasi” yang sepotong-potong. Karena revolusi sebagai sebuah telos, hanya menyandarkan kepada keniscayaan sejarah. Padahal sejarah adalah akibat beragam perubahan komulatif, dan bersifat imanen (Townshend, 2003: 28).

” Modern society is much richer than earlier societies in ideologics which are not determined by economics and by nature working as an economic force…“The Iron Necessity of History” receives in this way a limitation, which, let me say at once, signifies in regard to the practice of social democracy, no lessening but an increasing and qualifying of its social political tasks…we see the materialist conception of history to-day in another form than it was presented at first by its founders. It has gone through a development already, it has suffered limitations in absolutist interpretation…To the words “materialist conception of history” still adhere all the misunderstandings which are closely joined with the conception of materialism” (Bernstein, 1899: Cpt. I-b).

Dalam tulisan nya kita bisa memahami bagaimana Bernstein merevisi ajaran Marx, baginya bentuk masyarakat telah mengalami perubahan seiring waktu dan ‘lokomotif’ revolusi tidak kunjung datang.7

7

Secara terbuka Bernstein menolak hokum besi sejarah Marxisme, dengan apa yang dikatakan nya “lokomotif sejarah”. Posisi ini menjadi tolakan untuk menggeser lokus ‘revolusi’ kepada praktek yang lebih realistis ‘reformasi’

(45)

deterministic, karena itu sebuah impian yang tidak masuk akal. Manusia dengan penghetauan nya melakukan sebuah penetrasi yang significant dalam kehidupan social, sehingga “hukum besi sejarah” menjadi terbatas. Sehingga perjuangan kelas hanya mengsegregasi pencapaian tatanan sosialisme, karena sosialisme harus di pahami secara universal dan aliansi antar kelas. Sehingga perjuangan sosialisme adalah buruh bersama kelas menengah progresif.

Untuk memperkuat argumentasi nya soal “aliansi progresif” Bernstein merubah cara pandang ekonomi nya dengan kritik terhadap ‘teori nilai kerja’. Baginya teori itu tidak lebih dari sebuah abstraksi sebuah atom yang berjiwa. Jawaban atas eksploitasi bisa diatasi dengan sebuah reformasi, dan reformasi tidak akan berjalan secara konsisten apabila tidak di topang dengan bangunan organisasi yang mapan. ‘Dalam literature sosialisme, kita akan melalui penjelasan yang beragam tentang sebuah konsep yang ditujukan sebagaimana mereka runtuh dalam satu atau beberapa kategori, untuk mempraksiskan apa yang di turunkan dari konsep kesetaraan dan keadilan atau sebuah ringkasan karakterisasi penghetauan social, juga identifikasi melalui perjuangan kelas kepada pekerja dalam masyarakat modern dan menjelaskan bahwa sosialisme berarti ekonomi ko-operatif’ (Bernstein, 1899: Cpt. III-a). Ini artinya sebuah organisasi pekerja (bukan saja buruh, tapi pekerja professional) akan kooperatif dengan system ekonomi yang ada, sehingga proses distibusi dari kapitalisasi ekonomi bisa terjadi. Tekanan gagasan yang dilakukan Bernstein bukan semata-mata tendensi nya terhadap komunist, tetapi ada beberapa hal penting.

(46)
(47)

Pada dasarnya dalam “Class Struggle” Kautsky masih cukup terpengaruh dengan pandangan Marx, sehingga dia bisa dikatakan kaum Marxis ortodoks. Hal ini terlihat dalam pandangan nya yang masih mengklasifikasikan perjuangan kelas (Proletariat). Namun yang menjadi soal bagaimana kelas proletariat bisa dikukuhkan menjadi warganegara, yang mana hak-hak kemanusiaan nya melekat dalam diri nya dan dilindungi Negara. Karena kelas proletariat adalah kelas yang termiskinkan oleh sebuah struktur ekonomi, dan akan berdampak linear terhadap kehipun social mereka dikala mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Tapi disisi lain dia meyakini sebuah sosialisme bisa tercapai apabila ada “kepemilikan bersama”, dalam proses produksi sehingga proletariat dapat menjalankan basis ekonomi nya secara otonom. Selain itu, level pendidikan kepada proletariat juga harus ada, guna menopang masa depan kualitas kehidupan kelas itu sendiri (Kautsky, 1888: Cpt. I).

Berbeda dengan Marx yang filsafat nya dipengaruhi oleh Proudhon sehingga gagasan nya terlihat anarchy. Secara tersirat Marx tidak begitu yakin terhadap masa depan negara, maka dari itu dia berupaya melakukan propaganda besar untuk membangun persatuan buruh Internationale. Kautsky meyakini perubahan dengan partai politik, meskipun dalam definisi nya “partai Proletar”, akan tetapi kita melihat kemajuan perspektif dalam politik nya.

(48)

Kautsky memiliki kepercayaan bahwa partai politik adalah senjata utama untuk melakukan perlawan, dan menuntut hak-hak. Dia mulai menampakan aspek demokrasi nya, meskipun dia percaya bahwa partai memikul tanggung jawab terhadap kelas, namun ada hal kesetaraan dan pruralisme yang menurut nya juga adalah tuntutan dari sosialisme dengan mensesuaikan pada kondisi masyarakat modern. Dalam pandangan nya organisasi asli dari bentukan proletariat sudah menjadi model untuk melawan penindasan, karena dengan organisasi yang modern gerakan buruh bisa dengan inherent melakukan tuntutan aksi atau boykot pabrik. Organisasi yang baik, juga tidak bisa tanpa dukungan media. Media massa bisa sebagai alat komunikasi modern sekaligus propaganda politik, sehingga gerakan-gerakan buruh bisa terkonsolidasi dan menjadi kukuh meskipun berbeda wilayah. Akumulasi positif dari gerakan buruh, akan terjawab dengan Partai Sosialis untuk menyambungkan antara tuntutan di serikat-serikat buruh dengan kebijakan di parlemen. Dimana selama ini gerakan proletariat terlihat beroposisi dengan Sosialisme (Kautsky, 1888: Cpt. V).

(49)

bukan berarti sosialisme tidak akan melakukan itu, namun bentuk kebebasan dalam masyarakat dapat terjaga dengan iklim demokrasi (Kautsky, 1918: Cpt. II).8

Dalam masyarakat modern konsep demokrasi adalah yang bisa diterima, dimana negara akan di atur dalam parlemen melalui mekanisme demokrasi. ‘Pemerintahan dengan partai dalam demokrsi melakukan perubahan lebih cepat dari pada aturan kelas. Dalam keadaan ini, tidak ada partai yang menahan kekuatan (berpeluang dictator), dan akan selalu menghitung peluang minoritas, tetapi degngan negara tanpa partai akan meninggalkan minoritas selamanya’ (Kautsky, 1918: Cpt. IV). Hal ini sangat jelas bagaimana Kautsky menolak bentuk dari dictator yang dijalankan kaum Bolshevik di Rusia, karena itu tidak demokratis dan manusia tidak memiliki posisi tawar dalam kekuasaan. Seperti dalam awal gagasan nya dia memiliki keyakinan kepada kaum Borjuis yang progresif untuk berjuang bersama Proletar dalam partai yang Revolusiner (SPD). Ketakutan Kautsky terhadap “mayoritasrisme” di Rusia, terbukti pada masa Stalin dimana terjadi pemusnahan atas nama negara. Bagi nya prilaku negara yang intoleransi adalah konsekuensi atas pilihan dari anti-Demokrasi. Namun prdebatan ini adalah soal pilihan strategis dalam konteks sosiologis-historis.

Laclau dan Mouffe lebih lanjut menuliskan, dalam The Class Struggle, Kautsky menyederhanakan makna dari setiap antagonisme atau elemen social dengan mereduksinya sebagai lokasi structural yang spesifik, yang telah terfiksasi posisinya oleh logika modus produksi kapitalis. Kemudian Kautsky menuliskan sejarah kapitalis yang dibentangkan dengan relasi – relasi yang sepenuhnya bersifat interior (pure relation of interiority). Kita bisa melangkah dari 8

(50)

dari kelas buruh ke kaum kapitalis, dari ranah ekonomi ke ranah politik, dari kapitalisme manufaktur ke kapitlisme monopoli, tanpa pernah sesaat pun bisa lepas dari rasionalitas dan intelegbilitas internal dari suatu paradigm yang bersifat tertutup. Kapitalisme dianggap bertindak terhadap realitas eksternal social, namun realitas social tidak larut begitu saja ketika berkontak dengan kapitalisme. Kapitalisme memang berubah, namun perubahan itu tidak lebih dari berkembang nya tendensi-tendensi, dan kondisi-kondisi yang bersifat endogen. Disinilah logika keniscayaan tak terbatasi oleh apapun: inilah titik awal teks pra-kritis dari The Class Struggle

(Laclau&Mouffe, 2008: 16-17).

KELOMPOK

SPARTAKUS DAN WANITA YANG MEMPERTAHANKAN

PANDANGAN

KLASIK MARXISME

Seorang wanita bahkan berhadap-hadapan langsung dengan Berstein, Rosa Luxemberg merumuskan bantahan terhadap teori reformis Bernstein dengan tegas dan menyematkan ide-ide Marxisme yang revolusioner. Rosa adalah seorang pemimpin ‘sayap kiri’ yang masih memiliki keyakinan terhadap pemogakan masal bisa dijadikan alat menuju negara buruh. Karya Rosa “Social Reform or Revolution” pada 1899, adalah sebuah karya Marxisme ortodoks yang cukup dikenal untuk menyerang gagsan Bernstein.

(51)

bersikukuh bahwa kontradiksi-kontradiksi secara inhern akan meruntuhkan kapitalis itu dengan sendirinya (Townshend, 2003: 30). Dalam satu hal kredit, bagi Rosa krisis yang diakibat oleh krisis kredit itu sendiri tidak akan bisa diselesaikan dengan capital. Sehingga kredit itu akan mempercepat overdeterminis yang meruntuhkan produksi dari capital (Rosa, 1899: Cpt II).

(52)

modal-kerja, borjuis-proletar”. Kontradiksi-kontradiksi inheren dalam kapitalis, meyakinkan Rosa keruntuhan kapitalis akan digantikan pada masyarakat sosialis (Townshend, 2003: 31).9

“the economic notion of “capitalist” no longer signifies an isolated individual. The industrial capitalist of today is a collective person composed of hundreds and even of thousands of individuals. The category “capitalist” has itself become a social category. It has become “socialised” – within the frame-work of capitalist society…

The Social-Democracy does not, however, expect to attain its aim either as a result of the victorious violence of a minority or through the numerical superiority of a majority. It sees socialism come as a result of economic necessity – and the comprehension of that necessity – leading to the suppression of capitalism by the working masses.” (Rosa, 1899: Cpt. VI).

Disini kita bisa melihat bahwa Rosa sedikit banyak masih berangkat dalam analisis Marx dalam Manifesto Communist, meskipun tujuan akhir nya masyarakat sosialis. Selain gagasan soal anti-capitalis dia juga yakin bahwa sebuah kekuasaan juga harus membangun kesetaraan yang egaliter. Dalam tataran teori dengan jelas Rosa mengkritisi pernyataan Bernstein yang menolak teori nilai kerja lantas dikatannya itu adalah sebuah ‘abstraksi’. Bagi Rosa teori nilai kerja memang benar-benar ada dalam ekonomi komoditas. Uang adalah bentuk paling berkembang dari “pekerjaan” manusia yang bersifat abstrak. Meskipun demikian Rosa tidak menjabarkan penentangan Bernstein dengan pembedaan Marx antara buruh produktif dan tidak produktif.

9

Rosa masih memiliki keyakinan terhadap perjuangan revolusi, sehingga dia menolak

(53)

Kemudian Laclau menambahkan, karya Rosa yang kemudian dianggap cukup baik dalam mengkonsep revolusi tanpa menghilangkan nilai Marxisme. Pada tahun 1906, Rosa menerbitkan

“The Mass Strike, the Political Party and the Trade Union”, dimana dia mencoba mengurai efektifitas dan peran penting pemogokan masal. Pemogokan masal menjadi efektif apabila gerakan buruh berorientas terhadap pemogokan yang bersifat politik, hal ini sudah dibuktikan dalam Revolusi Rusia dimana telah memperlihatkan interaksi timbal-balik sehingga semakin memeperkarya dimensi-dimensi politik dan ekonomi dari gerakan pemogokan masal. Dalam model negara Tsaris yang represif, tidak ada gerkan yang berjalan secara parsial dan sendiri-sendiri; secara tak terelakan gerakan akan muncul sebagai symbol resistensi, dan mendorong gerakan-gerakan dalam format yang lain. Gerakan ini muncul pada waktu yang tidak diduga dan kondisi yang tidak diramalkan. Sebab itu adalah perubahan diluar konsep para pemimpin serikat buruh. Konsep ini adalah gagasan ‘spontanisme’ Rosa, kesatuan antara perjuangan yang bersifat ekonomi politik –kesatuan kelas buruh--- merupakan sebuah konsekuensi dari gerak saling memperkaya dan interaksi. Sesungguhnya gerak ini pada giliran nya adalah revolusi itu sendiri (Laclau&Mouffe, 2008: 3-4).

(54)

Logika spontanisme Rosa adalah hasil dari sebuah kemandirian buruh dalam mengatasi masalah-msalah nya sendiri. Maka dia menekankan sebuah organisasi buruh mandiri dan sadar akan tanggung jawab historis nya yang harus dimenangkan. Dalam pandangan ini menjadi berbeda dengan Lenin, yang befikir secara sendem (sentralis demokrasi) dengan adanya komite sentral pada struktur Komunis Rusia. Lebih lanjut, dalam pengalaman nya di SPD semakin kuat nya peranan komite sentral akan mempersempit ruang kreatifitas taktis kelas buruh (Townshend, 2003: 94). Juga karena kondisi overdeterminasi, yang memunculkan titik antagonism dan beragam perjuangan politik secara pengaruh eksternal akan melahirkan kesatuan kelas.

Kesimpulan maju yang dirumuskan Rosa dalam The Mass Strike adalah, proses overdeteministk memuculkan karekteristk khas dari symbol kesatuan kelas. Ini adalah gagasan yang maju dibandingkan teori yag muncul pada Internationale kedua ‘yang menganggap kesatuan kelas semata-mata ditentukan dengan hukum-hukum basis ekonomi’ (Laclau&Mouffe, 2008: 8-9).

(55)

Townshend melakukan studi terhadap Politik Marxisme tanpa melupakan kesejarahan Marxisme Eropa berserta actor-aktor nya. Sehingga kita mampu meneropong basis nilai yang diperjuangakan oleh kaum Marxist yang bertikai. Berdasarkan studi yang dilakukan Townshend, kita melihat bagai mana Bernstein berupaya menginfiltrasi tradisi Liberalisme dalam analisis politik dan orientasi gerkan. Misalnya, Bernstein menolak teori nilai kerja dan hokum besi sejarah yang cukup prinsip dalam analisis Marxisme dan mempercayai kepada lembaga Liberal yang bisa sangat fleksibel mengakomodir kelas buruh. Pandangan nya secara tegas dikritik oleh lawan politik nya Rosa dan Kautsky, yang masih berposisi pada Manifesto Communist.

Secara diskursus, Laclau dan Mouffe juga menuliskan bagaimana terjadi perdebatan dalam term-term Marxisme sehingga secara logis mempengaruhi dari konsep revolusi Marxisme. Mereka meletakan perdebatan itu untuk mencari format dari konsep hegemoni. Karena pada akhirnya perjuangan buruh memang harus melahirkan kekuasaan yang hegemonic, seperti pada masing-masing konsep yang sudah diurai diatas. Dalam bagian ini, kita tidak mencari sebuah pembenaran dari posisi masing-masing teori. Tetapi ini sebagai basis sejarah sebuah episode revisionist dimulai, dan pandangan-pandangan ini akan cukup memiliki pengaruh dalam pergolakan revolusi negara ketiga termasuk Indonesia.

(56)

yang kemudian cukup mempengaruhi para pendiri bangsa kita untuk melawan kolonialisme. Dengan meminjam konsep genealogy Foucalt, kita juga akan melacak kembali ide-ide revolusioner pendiri bangsa dengan kaitan nya terhadap gagasan revisionist Marxisme.

(57)

BAB III

Perintisan Nasionalisme Indonesia:

Tumbuh Diatas Intelektualitas dan Akar

Sosialisme-Marxist

Memang cukup banyak kelompok yang mengusung gagasan Marxisme untuk masuk dalam perdebatan konsep kaum pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi paling tidak kita bisa dengan pasti mengatakan bahwa kaum pergerakan nasional cukup banyak dipengaruhi oleh Marxisme beserta derivart nya. Ide Marxisme bisa diidentifikasi sebagai sebuah modal gagasan yang cukup kaya dalam wacana berfikir kaum muda intelektual, yang kemudian di sinergiskan dengan konteks budaya nya pada masa itu. Sehingga mendorong kaum muda intelektual untuk melakukan pergerakan kemerdekaan nasional, terlebih ide itu melekat dalam aktivitas perjuangan kemerdekaan. Dalam kondisi ini pandangan kita akan mengarah pada sebuah situasi tertentu bahwa, peletatakan batu fondasi kemerdekaan juga diiringi dengan konsep-konsep perjuangan Marxisme. Jadi penting bagi kita untuk meneropong dan mencacah kembali proses rekonstruksi nasionalisme, dalam iklim apa wacana nasionalisme Indonesia tumbuh.

(58)

ditangkap oleh Bapak bangsa10 (Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka) sebagai gagasan perjuangan dan lantas di reintepretasi kedalam beberapa varian. Ide sosialisme yang kemudian dipahami sebagai jawaban atas isu ‘kesejahteraan’ yang melanda seluruh rakyat jajahan colonial, namun disisi lain ada persoalan kebangsaan yang harus di rekonstruksi menjadi gerakan kemerdekaan nasional.11

Pada awal-awal masuk gagasan sosialisme ke Indonesia sangat jelas dibawa oleh para aktivis Belanda yang kontra-Imperialisme dan dampak posistiv dari politik etis yang hanya bisa di nikmati anak muda kelas menengah ke atas. Namun dalam studi Mintz tentang akar sosialisme di Indonesia, menjelaskan bahwa Marxisme pertama kali dibawa oleh ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) atau Serikat Sosial Demokrasi Indonesia. Organisasi politik ini di didirikan (1914) sekaligus dipimpin oleh H.J.F.M Sneevliet, yang banyak bersinggungan dengan para intelektual pribumi dalam NIP (Nationale Indische Parij) dimana kedua nya sama-sama berafiliasi dengan poros perpolitikan SDAP (Sociaal Democratische Arbeider Parij) atau Partai Pekerja Sosial Demokrat di Belanda (Mintz, 2002: 29-31). Dan kemudian dalam perkembangan aktivitas nya partai ini banyak melahirkan organisasi maupun partai politik dikemudian hari. Dalam dimensi ideologi ini kita mulai melihat bahwa cita-cita kemerdekaan nasional, dibangun diatas kesadaran sebuah penindasan yang berpijak diatas karpet sosialisme. Hal ini yang kemudian memungkinkan terjadi sebuah epicentrum perjuangan yang hegemonic untuk mendirikan republic,dan atas keikutsertaan setiap kelompok pergerakan nasional (yang tidak terbatas pada keyakinan ideologis saja).

10

Dalam penulisan berikut nya ‘Bapak Bangsa’ dimaksudkan kepada Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka

11

Bukan berarti mengkonfrontasi dua diskursus ideology yang berbeda yaitu ‘sosialisme’ dan

(59)

Dengan fenomena ini kita tidak bisa menutup mata bahwa pergolakan pemikiran soal kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia cukup di tancapkan dalam jalan pikiran barat. Hal ini terbukti ketika SDAP dengan sadar mendirikan sebuah biro pers jajahan (Persindo) yang di pimpin oleh L.N Palar yang sebelumnya memang pernah memimpin SDAP (Mintz, 2003: 67).

Proses-proses ini bisa kita pahami sebagai sebuah sikap dukungan politik kaum social-democrat Belanda, yang memang secara sadar di konstruksi kembali oleh para kelompok intelektual dalam rangka mengambil jarak dan batasan-batasan terhadap politik colonial (political frontier).12

12

Demarkasi politik yang dilakuakn memang belum mencakup secara utuh konsep ‘bangsa’ (nation) dikarenakan proses ini masih di dorong oleh kaum Sosdem Belanda, namun posisi-posisi ini bisa dikategorikan sebagai titik-titik perlawan (antagonism) terhadap politik kolonialisme yang akan terakumulasi dalam politik identitas kebangsan.

Sehingga lembaga-lembaga yang dijadikan saluran untuk berjuang secara demokratis yaitu partai politik, organisasi serikat-serikat dan pers memiliki peranan yang cukup significan untuk terus melakukan pembentukan identitas politik secara intensive. Seiring dengan perjuangan y

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan diagram trayektori tersebut, dengan digunakannya sistem pengatur isyarat lalu-lintas terkoordinasi ini, diharapkan kendaraan dari sisi barat APILL

Identifikasi Dan Aplikasi Strain Azolla Asal Bondowoso Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah ( Oryza sativa L ) Fakultas Pertanian: Universitas Muhammadiyah

Pemupukan silika merupakan upaya yang ditujukan untuk menyediakan silika dalam bentuk yang dapat diserap tanaman. Bahan – bahan yang digunakan sebagai sumber silikat untuk

Tipe anomali yang teridentifikasi pada dua sektor, yaitu anomali pada sektor Ahu berhubungan dengan presipitasi hidrolisat uranium terlarut pada endapan sungai

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi kepada UPT-LPKD Jatim kaitannya dengan kekuran yang masih perlu diperbaiki untuk dapat terus

Alkohol dan Rokok. Tayangan yang bersifat supranatural dapat menimbulkan musyrik terhadap penontonnya. Maka menanggapi hal ini ada beberapa strategi yang telah

Penilaian kualitas semen segar baik secara makroskopis maupun mikroskopis yang dilakukan segera setelah penampungan sangat penting artinya sebelum melakukan proses lebih

Pandangan MUI NTB yang tidak menyalahkan intervensi Pemerintah provinsi NTB melalui SE Gubernur yang mengatur tentang batas usia minimal menjadi 21 tahun syarat usia menikah