• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELOMPOK SPARTAKUS DAN WANITA YANG MEMPERTAHANKAN PANDANGAN KLASIK MARXISME

Seorang wanita bahkan berhadap-hadapan langsung dengan Berstein, Rosa Luxemberg merumuskan bantahan terhadap teori reformis Bernstein dengan tegas dan menyematkan ide-ide Marxisme yang revolusioner. Rosa adalah seorang pemimpin ‘sayap kiri’ yang masih memiliki keyakinan terhadap pemogakan masal bisa dijadikan alat menuju negara buruh. Karya Rosa “Social Reform or Revolution” pada 1899, adalah sebuah karya Marxisme ortodoks yang cukup dikenal untuk menyerang gagsan Bernstein.

Pandangan Rosa masih berposisi pada perspektif Marx bahwa, secara mendasar masih ada hubungan antara tujuan akhir pencapaian kekuasaan proletarian- dan tugas-tugas praktis reformasi social- yakni, demokratisasi negara kapitalis dan membetuk serikat buruh, membangun gerakan koperasi. Dengan kata lain ia ingin menunjukkan bagian pertama program Erfurt tidak harus ditinggalkan atau ditulis kembali, dalam ati perwujudan tergantung pada kemenangan tuntutan-tuntutan minimum pada bagian dua dan tiga. Dan dia juga masih

bersikukuh bahwa kontradiksi-kontradiksi secara inhern akan meruntuhkan kapitalis itu dengan sendirinya (Townshend, 2003: 30). Dalam satu hal kredit, bagi Rosa krisis yang diakibat oleh krisis kredit itu sendiri tidak akan bisa diselesaikan dengan capital. Sehingga kredit itu akan mempercepat overdeterminis yang meruntuhkan produksi dari capital (Rosa, 1899: Cpt II).

Dengan mengutip pernnyataan Bernstein soal “tujuan akhir Marxisme tidak akan berarti apapun, ketimbang reformasi yang sepotong-sepotong”. Bagi Rosa, apabila meyakini bahwa reformasi adalah dari tujuan itu sendiri, maka secara logis akan menggadaikan tujuan jangka panjang dan hanya akan melahirkan teori yang ‘oportunis’. Baginya kekuasaan proletar harus berjalan secara hegemonik, maka reformasi adalah alat dan revolusi adalah tujuan. Anasir-anasir ini akan menguatkan politik subjektif kelas buruh, yang meletak kan kelas sebagai sentris pembahasan bukan kondisi objektif kapitalisme. Untuk mencapai kondisi historis tersebut, buruh tidak hanya memerlukan teori, namun juga teori yang benar. Berbeda dengan Bernstein, upaya ini memerlukan dialektis terhadap kondisi social, politik, ekonomi, sedangkan Bernstein hanya berdialektis dengan kapitalisme. Dalam menjelaskan kapitalisme Rosa memiliki dua cirri, sebagai basis argumentasi nya. Pertama, kapitalisme sebagai sebuah system yang tercabik-cabik oleh kontradiksi-kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan oleh reformasi social, karena kontradiksi-kontradiksi itu bersifat sistemik. Produksi, perdagangan, kredit, investasi dan lain-lain adalah terikat satu sama lain. Sehingga apabila terjadi masalah dalam komoditas pasar, bukan terjadi denga sendirinya tetapi merupakan gejala krisis profitabilitas. Kedua, pemahaman terhadap kapitalisme memperliahatkan “dualisme masa depan sosialis dan kondisi dari kapitalis;

modal-kerja, borjuis-proletar”. Kontradiksi-kontradiksi inheren dalam kapitalis, meyakinkan Rosa keruntuhan kapitalis akan digantikan pada masyarakat sosialis (Townshend, 2003: 31).9

“the economic notion of “capitalist” no longer signifies an isolated individual. The industrial capitalist of today is a collective person composed of hundreds and even of thousands of individuals. The category “capitalist” has itself become a social category. It has become “socialised” – within the frame-work of capitalist society…

The Social-Democracy does not, however, expect to attain its aim either as a result of the victorious violence of a minority or through the numerical superiority of a majority. It sees socialism come as a result of economic necessity – and the comprehension of that necessity – leading to the suppression of capitalism by the working masses.” (Rosa, 1899: Cpt. VI).

Disini kita bisa melihat bahwa Rosa sedikit banyak masih berangkat dalam analisis Marx dalam Manifesto Communist, meskipun tujuan akhir nya masyarakat sosialis. Selain gagasan soal anti- capitalis dia juga yakin bahwa sebuah kekuasaan juga harus membangun kesetaraan yang egaliter. Dalam tataran teori dengan jelas Rosa mengkritisi pernyataan Bernstein yang menolak teori nilai kerja lantas dikatannya itu adalah sebuah ‘abstraksi’. Bagi Rosa teori nilai kerja memang benar- benar ada dalam ekonomi komoditas. Uang adalah bentuk paling berkembang dari “pekerjaan” manusia yang bersifat abstrak. Meskipun demikian Rosa tidak menjabarkan penentangan Bernstein dengan pembedaan Marx antara buruh produktif dan tidak produktif.

9

Rosa masih memiliki keyakinan terhadap perjuangan revolusi, sehingga dia menolak pandangan-

pandangan liberal yang di formulasi oleh Bernstein. Dia masih berpegang teguh pada filsafat Materialisme Historis, sehingga konsep revolusi harus dijawab dengan pengorganisasian buruh yang suatu saat dapat dijadikan senjata atas “Boykot atau pemogokan total” yang dilakukan oleh kelas pekerja.

Kemudian Laclau menambahkan, karya Rosa yang kemudian dianggap cukup baik dalam mengkonsep revolusi tanpa menghilangkan nilai Marxisme. Pada tahun 1906, Rosa menerbitkan

“The Mass Strike, the Political Party and the Trade Union”, dimana dia mencoba mengurai efektifitas dan peran penting pemogokan masal. Pemogokan masal menjadi efektif apabila gerakan buruh berorientas terhadap pemogokan yang bersifat politik, hal ini sudah dibuktikan dalam Revolusi Rusia dimana telah memperlihatkan interaksi timbal-balik sehingga semakin memeperkarya dimensi-dimensi politik dan ekonomi dari gerakan pemogokan masal. Dalam model negara Tsaris yang represif, tidak ada gerkan yang berjalan secara parsial dan sendiri- sendiri; secara tak terelakan gerakan akan muncul sebagai symbol resistensi, dan mendorong gerakan-gerakan dalam format yang lain. Gerakan ini muncul pada waktu yang tidak diduga dan kondisi yang tidak diramalkan. Sebab itu adalah perubahan diluar konsep para pemimpin serikat buruh. Konsep ini adalah gagasan ‘spontanisme’ Rosa, kesatuan antara perjuangan yang bersifat ekonomi politik –kesatuan kelas buruh--- merupakan sebuah konsekuensi dari gerak saling memperkaya dan interaksi. Sesungguhnya gerak ini pada giliran nya adalah revolusi itu sendiri (Laclau&Mouffe, 2008: 3-4).

“All the above great and partial mass strikes and general strikes were not demonstration strikes but fighting strikes, and as such they originated, for the most part, spontaneously, in every case from specific local accidental causes, without plan or design, and grew with elemental power into great movements, and then they did not begin an “orderly retreat,” but turned now into economic struggles, now into street fighting, and now collapsed of themselves” (Rosa, 1906: Cpt IV).

Logika spontanisme Rosa adalah hasil dari sebuah kemandirian buruh dalam mengatasi masalah- msalah nya sendiri. Maka dia menekankan sebuah organisasi buruh mandiri dan sadar akan tanggung jawab historis nya yang harus dimenangkan. Dalam pandangan ini menjadi berbeda dengan Lenin, yang befikir secara sendem (sentralis demokrasi) dengan adanya komite sentral pada struktur Komunis Rusia. Lebih lanjut, dalam pengalaman nya di SPD semakin kuat nya peranan komite sentral akan mempersempit ruang kreatifitas taktis kelas buruh (Townshend, 2003: 94). Juga karena kondisi overdeterminasi, yang memunculkan titik antagonism dan beragam perjuangan politik secara pengaruh eksternal akan melahirkan kesatuan kelas.

Kesimpulan maju yang dirumuskan Rosa dalam The Mass Strike adalah, proses overdeteministk memuculkan karekteristk khas dari symbol kesatuan kelas. Ini adalah gagasan yang maju dibandingkan teori yag muncul pada Internationale kedua ‘yang menganggap kesatuan kelas semata-mata ditentukan dengan hukum-hukum basis ekonomi’ (Laclau&Mouffe, 2008: 8-9).

Setelah kita coba menyimak pertikaian dalam kalangan Marxisme Eropa, ada banyak pelajaran yang bisa kita petik. Bahwa ternyata gagasan Marxisme mengalami sebuah evolusi baik dalam tataran teori maupun praksis gerakan. Memang seakan perdebatan ini simplistic, hanya untuk mengurai sebuah definisi revolusi sehingga pertikaian dalam kalangan Marxist pun terjadi. Namun ada aide-ide maju yang tersingkap dibalik makna teks-teks mereka, bukan semata-mata menolak maupun menerima secara dogmatis tetapi ada upaya teoritis yang dibangun diatas teks- teks itu. Paling tidak kita mencatat tokoh-tokoh revisionist yang cukup berpengaruh dalam perdebatan Marxisme, dalam arena itulah kita bisa memahami bagai mana teori itu bisa berkembang sampai hari ini.

Townshend melakukan studi terhadap Politik Marxisme tanpa melupakan kesejarahan Marxisme Eropa berserta actor-aktor nya. Sehingga kita mampu meneropong basis nilai yang diperjuangakan oleh kaum Marxist yang bertikai. Berdasarkan studi yang dilakukan Townshend, kita melihat bagai mana Bernstein berupaya menginfiltrasi tradisi Liberalisme dalam analisis politik dan orientasi gerkan. Misalnya, Bernstein menolak teori nilai kerja dan hokum besi sejarah yang cukup prinsip dalam analisis Marxisme dan mempercayai kepada lembaga Liberal yang bisa sangat fleksibel mengakomodir kelas buruh. Pandangan nya secara tegas dikritik oleh lawan politik nya Rosa dan Kautsky, yang masih berposisi pada Manifesto Communist.

Secara diskursus, Laclau dan Mouffe juga menuliskan bagaimana terjadi perdebatan dalam term- term Marxisme sehingga secara logis mempengaruhi dari konsep revolusi Marxisme. Mereka meletakan perdebatan itu untuk mencari format dari konsep hegemoni. Karena pada akhirnya perjuangan buruh memang harus melahirkan kekuasaan yang hegemonic, seperti pada masing- masing konsep yang sudah diurai diatas. Dalam bagian ini, kita tidak mencari sebuah pembenaran dari posisi masing-masing teori. Tetapi ini sebagai basis sejarah sebuah episode revisionist dimulai, dan pandangan-pandangan ini akan cukup memiliki pengaruh dalam pergolakan revolusi negara ketiga termasuk Indonesia.

Meskipun tokoh-tokoh itu bukan secara keseluruhan dari perdebatan Marxisme, tapi paling tidak mereka cukup mewakilkan di genrasi dan kelompok nya. Penguraian ini perlu untuk meletakakan kesejarahan Sosial-Demokrasi dalam konteks historis. Karena wacana ideology tidak bisa dipahami secara pasti (fixation). Konteks sejarah ini sebagai landasan dari Marxisme-revisionist,

yang kemudian cukup mempengaruhi para pendiri bangsa kita untuk melawan kolonialisme. Dengan meminjam konsep genealogy Foucalt, kita juga akan melacak kembali ide-ide revolusioner pendiri bangsa dengan kaitan nya terhadap gagasan revisionist Marxisme.

Dalam proses ini, kita juga bisa melihat sekaligus memahami ide dan pristiwa yang selalu berubah atau kontigensi terhadap situasi. Juga kita melakukan sebuah upaya rekonstruksi, bagaimana sebuah transformasi ideology dilakukan dalam konteks sejarah dan latar belakang budaya yang berbeda. Persoalan-persoalan ini akan coba dijawab secara serius dengan kembali pada teks-teks yang menyingkap makna.

BAB III

Garis besar

Dokumen terkait