• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEFINISI KESETARAN GENDER BAGI SOEKARNO: SEBUAH PARADOX DALAM MITOLOGI PEREMPUAN

. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah dengan Negara gotong-royong! (Pidato Pancasila Bung Karno, 1 Juni 1945). Ini adalah sebuah rangkuman Soekarno yang ditetapkan menjadi dasar negara, meskipun dalam penyampaian pidatonya masih tetap menonjolkan gelora revolusioner dan terjadi pengulangan sehingga dikemudia hari lawan politik Soekarno menyatakan bahwa Pancasila itu adalah sebatas jargon politik saja. Terlepas dari pendapat tendesi terhadap Soekarno, kemampuannya dalam menggalang nasionalisme Indonesia perlu diapresiasi dengan kelapangan hati.

Disaat usia kemerdekaan Indonesia masih sangat muda, militer Belanda kembali melakukan agresi dan pusat pemerintahan harus dipindahkan ke Yogyakarta. Dalam masa agresi Soekarno memberikan kursus-kursus keterampilan pada wanita, bukan saja itu dia juga memberikan pendidikan politik pada kaum perempuan. Pikirannya dalam “Sarinah” adalah representasi kepedullian nya terhadap kesetaraan wanita pada masa itu, gagasan ini adalah salah satu yang penting untuk dicacah kembali. Meskipun dalam praktek nya pandangan Soekarno terhadap isu- isu feminis menjadi paradox dikemudian hari. Bicara soal wanita dan Soekarno seolah melihat sisi romantic dan flamboyant sang orator yang penuh dengan teka-teki misteri. Namun pembahasan ini tidak mau terjebak pada sisi roman picisan seorang Soekarno. Kita mencoba memahami sensitivitas politik Soekarno terhadap kaum perempuan dan mengkontekstualisasi terhadap prilaku politik dan personalitasnya pada masa itu.

Pada bab-bab awal dalam Sarinah, Soekarno berupaya memaparkan sebuah kontradiksi gender yang terjadi dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia yang cenderung memeluk budaya Patriakat terkadang sering terjadi hal-hal yang tidak adil ketika dilihat dalam kacamata feminis. Namun semua itu adalah fakta budaya yang cukum menginternalisasi dalam personalitas mental laki-laki dalam suku-suku di Indonesia. Perempuan hanya dinilai seperti barang, yang ketika menjadi ‘milik’ secara sah maka barang itu sepenuhnya adalah hak dari pemilik atau laki- laki. Begitupun lemahnya posisi perempuan dalam masyarakat patriakat, seolah secara perlaha mengeleminir hak perempuan yang juga seorang manusia sama seperti laki-laki.24

24

Baca Sarinah, pada bab II Laki-laki dan Perempuan

Namun fenomena ini memang sudah dimulai ratusan tahun lamanya dalam sisitem masyarakat dimanapun. Kemudian timbul pertanyaan kritis, apakah situasi ini baik bagi perempuan?

Pada dasarnya Soekarno memiliki pandangan untuk mendorong partisipasi wanita dalam politik, sehingga dia memiliki dorongan untuk mempromosikan kesetraan antara perempuan dan laki- laki. Pandangannya tentang feminism tidak banyak berbeda dengan perkembangan gerakan perempuan di Eropa. Menurutnya seorang perempuan, ketika ingin meningkatkan kualitas diri bukan sekedar pandai besolek atau menggunakan pakaian yang bagus namun juga harus memilki aktivitas organisasi. Sehingga pencapaian kualitas yang lebih baik harus diraih dengan kerja-kerja organisasi; “..dulu mereka (perempuan) mengira, bahwa keburukan nasib mereka itu melulu hanya karena akibat daripada kekurangan-kekurangan pada diri mereka sendiri saja, kini mereka (perempuan) berganti pada anggapan , bahwa sebagian besar dari keburukan nasib itu ialah akibat daripada ketiadaaan hak-hak perempuan didalam masyarakat yang sekarang (Sarinah, 1963: 149). Sehingga bagi Soekarno, ketimpangan posisi perempuan dalam system masyarakat saat itu adalah karena hilangnya hak perempuan yang secara kodrat memiliki hak yang sama dengan laki-laki dan sederajat sebagai manusia.

Memang tidak mudah untuk membangun sebuah gerakan perempuan dalam tatanan negara yang baru merdeka, ditambah lagi masih minimnya penghetauan massa perempuan akan kesadaran hak-hak mereka. Selain itu dalam stratifikasi kaum perempuan juga dipengaruhi oleh latar belakang social-budaya dan ekonomi. Soekarno memahami ada jurang pembatas antara perempuan kelas bawah dan menengah keatas, namun dia tetap memiliki keyakinan bahwa kesadaran politik mereka bisa didorong dengan memberikan hak-hak mereka dalam ruang demokratis. Keyakinannya banyak ditopang oleh pendapat feminis Barat, hal itu tercermin dalam pandangannya yang mengutip Abigail Smith Adams seorang feminis Amerika; “…mereka menuntut supaya perempuan dibolehkan ikut memilih anggota parlemen dan ikut menjadi angota parlemen; supaya perempuan dibolehkan memasuki segala macam sekolahan; supaya undang-

undang yang disusun itu benar-benar undang-undang dasar yang demokratis antara laki-laki dan perempuan” (Sarinah, 1963: 150). Kutipan ini mengarahkan sebuah wacana berfikir bahwa, apabila kaum perempuan ingin menyetarakan derajatnya dengan laki-laki maka satu jalan yang penting adalah masuk dalam system politik yang ada. Straategi agar kaum perempuan bisa masuk dalam dunia politik, kaum perempuan harus cukup terlatih dan memiliki wawasan politik yang bisa diperoleh dengan mengorganisir gerakan secara ideologis. Langkah dan strategi itu cukup penting untuk mencapai tahapan dalam perjuangan kesetaraan gender. Karena Soekarno membagi fase perjuangan menjadi tiga tahapan; pertama, menyempurnakan keperempuaan dengan membekali keahlian menjahit, memasak, berhias, bergaul, dan mengasuh anak. Kedua,

perjuangan dalam kerangka feminism dimana perempuan memiliki kesamaan hak dalam undang- undang, memilih profesi atau pekerjaan dalam bidang apa saja. Ketiga, perjuangan dalam tujuan sosialisme dimana perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencapai hak kemerdekaan yang sosialistis (Sarinah, 1963: 157-8).

Penjelasannya dalam Sarinah adalah sebuah penilaian Soekarno terhadap kesetaraan kaum peremuan. Soekarno secara serius membangun organisasi perempuan yang cukup diapresiasi secara atausias oleh muda-mudi Indonesia. Dia memiliki kemampuan untuk mentransformasi imajinasi kebanggan terhadap bangsanya sendiri pada generasi muda. Itu terbukti dengan munculnya organisasi perempuan dari mulai tingkatan sekolah, universitas bahkan lingkungan tempat tinggal semasa agresi militer 1947-49. Meskipun fenomena itu tidak lepas dari sosok kepemimpinannya dan kekuasaan politiknya yang begitu besar. Ditengah kekuasaaan politik Soekarno, wacana kesetaraan gender seolah terlepas antara pikiran dan prilaku Soekarno sendiri. Apabila kita kembali melihat dalam kacamata kritis diskursus keasetaraan ini menjadi paradox dengan kenyataan yang ada.

Paradox Soekarno terhadap kesetaraan gender dimulai dari kegandrungannya atas kecantikan wanita. Seperti apa yang kita tahu Soekarno bukan saja sebagai orator diatas podium tapi dia juga menjadi penakhluk banyak wanita. Soekarno ingin tampil bukan sebatas pemimpin revolusi yang tangguh tetapi juga seorang pria perkasa dengan dikelilingi banyak bidadari. Dia bukan saja mencitrakan seorang pemimpin politik, beriringan juga dengan memitologi diri seorang raja-raja Jawa yang ketika muda begitu dibencinya. Seorang sejarawan S.I Poeradisasatra berpendapat soal paradox Soekarno; “dia bisa tampak seperkasa Herakles, tapi juga serapuh Hamlet yang tercabik-cabik dalam kebimbangan” (Tempo- edisi Soekarno,2010: 15). Begitu giatnya Soekarno mempersunting wanita untuk dijadikan Istri, mendapatkan respon negative dari gerakan wanita dengan isu Antipoligami. Reaksi ini semakin gencar ketika Soekarno melakukan perkawinan keempatnya bersama Hartini, Persatuan Wanita Republik Indonesia melakukan demonstrasi sebagai sikap antipoligami (Tempo-edisi Soekarno, 2010: 37). Pernikahan Soekarno dengan Yurike Sanger, menambah catatan miring prilaku Soekarno terhadap perempuan yang disuntingnya pada usia 18 tahun. Gejala psikologis sang pemimpin besar yang dipraktekan dengan prilaku poligami, seolah membantah beberapa gagasan-gagasan penting soal kesetaraan gender. Karena kemudian definisi adil itu menjadi semakin kabur, apakah dia ingin membagi keadilan kepada perempuan dengan cara poligami ataukah prilaku itu semata memuaskan libido seksualnya. Dua diksi ini menjadi situasi yang sulit untuk dijawab baik oleh Soekarno sendiri maupun orang terdekatnya.

Kemudian kita bisa memberikan penilaian kritis atas isi dari Sarinah yang memiliki tujuan untuk kesetaraan perempuan. Catatan kritis dalam Sarinah adalah tergambar satu upaya politis Soekarno untuk mendapat dukungan dari kaum perempuan. Harapanya ini bisa dikatakan praktek emansipasi wanita dalam alam demokrasi Indonesia, sekaligus menutupi prilaku poligaminya

(split personality) dimata penilaian kaum perempuan, namun motivasi manakah yang lebih dominan? Kecanduannya terhadap ‘wanita’ cantik dan pesolek terwakilkan dengan apresiasi seni dan filsafatnya. Soekarno adalah orang yang juga gandrung dengan sebuah ‘estetika’ bentuk dan kecenderungan dengan seni ‘realis’. Hal itu bisa dibuktikan dengan lukisan-lukisan seperti karya Basuki Abdullah yang realis dan karya impresionistis Antonio Blanco dimana benang merahnya dipertemukan oleh mengekspos sisi sensualitas wanita. Mungkin Sarinah tetaplah menjadi gagasan positif yang bisa terus diperjuangkan. Namun paradoxsial dari Soekarno juga tidak bisa kita bantah dengan beberapa fakta otentik. Ini bisa dijadikan penilaian kritis terhadap sosok pemimpin besar Soekarno yang berjalan diatas diorama sejarah bangsa Indonesia. Bahwa seorang pempin revolusi yang terlihat begitu kokoh sekalipun bukan tanpa kekurangan.

MARHAENISME

VS

SOSIAL-DEMOKRASI:

PERTAUATAN

ELEKTISME

SOEKARNO

Garis besar

Dokumen terkait