• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah kegagalan Revolusi 1848 menjadi tekakan kepada gerakan pekerja di Eropa, namun di lain sisi tidak menyurutkan untuk memperjuangkan kebebasan, demokrasi dan kesetaraan. Gerakan persatuan di Italia, dan kebijakan Liberalisasi di Rusia yang singkat adalah rangsangan dari gelombang politisasi. Ini memberikan sebuah tekanan yang kuat bukan hanya kepada hasrat persatuan nasional tetapi juga pembentukan aspirasi yang emansipatoris dari kelas pekerja yang memiliki pengaruh dalam system politik. Dalam situasi ini, kaum borjuis-liberal di Jerman sekali lagi menunjukan kefasihan nya dalam advokasi parlementarism dan hak demokrasi, kebebasan dan kesatuan nasional. Pergeseran arah politik menjadi ke sudut pandang Liberalisme, karena muncul seorang tokoh Ferdinand Lassalle seorang democrat borjuis.6

6

Lassalle berupaya memasukan Program Liberal dalam perjuangan Marxisme, dimana dalam pandangan nya Iklim sosialisme tidak akan tumbuh subur tanpa liberalisme. Meskipun konsekuensi gagasan nya banyak menghilangkan pretensi Marxisme terhadap konsep perjuangan kelas.

Lassalle memulai kritik nya pada Manifesto Communist, kemudian dia meyakinkan bahwa Liberal dan seluruh bojuis tidak benar-benar berjuangan untuk demokrasi. Dia secara pahit menulis surat ini kepada pengusaha (Gustav Lewy) di Dusseldorf : “Percaya saya, saya telah mempelajari Partai Progresif (Partai Liberal) secara cermat, dengan prinsip; apapun revolusi dari bawah, bukan despotism dari atas”. Pandangan ini seolah menghianati idealisme revolusi 1848, sehingga perseteruan ditujukan

kepada kaum borjuis liberal. Kebangkitan gerakan buruh akan terus dimotori oleh kepemimpinan liberal-borjuis dengan slogan kebebasan dan persatuan. Dalam “surat jawaban terbuka” (1 Maret 1863) Lassalle menyerukan kepada pekerja bahwa harus membuat organisasi politik yang mandiri. Yang kemudian berdiri di Leipzig pada 23 May 1863, dengan nama Allgeimeiner Deutcher Arbeiterverein (Perhimpunan Umum Buruh Jerman). Kemudian Lassalle membangun Partai Buruh Independen dengan program pokok; Kesamaan Hak Pilih dan Kebebasan Berasosiasi dan persatuan pekerja (FES, - 28-30).

Pandangan Lassalle bukan tanpa pendukung, ide nya kemudian diusung oleh Eduard Bernstein untuk mulai merevisi Marxisme. Ini dengan jelas terbukiti dalam “Ferdinand Lassalle as a Social Reformer” yang ditulis pada 1893, dimana Bernstein mengagumi pola kepemipinanan Lassalle dalam membangun organisasi politik yang mapan dan pandangan nya soal reformasi sosial. Selama pengasingan nya di Inggris, Bernstein juga dipengaruhi oleh pandangan Engels yang lantas mendorongnya untuk menuliskan persoalan sosialisme dengan judul “Evolutionary Socialism” pada 1899. Bernstein ingin merevisi bagian-bagian yang dianggap “ideologis dogmatik” dalam Marxisme sehingga berupaya mengurai lebih “ilmiah” dengan mengacu kepada fakta-fakta yang terjadi pada masa itu. Dia memiliki harapan agar Marxisme terus berjalan sesuai tantangan zaman, pertama tuntutan hak politik dan ekonomi individual (individual liberty) dalam kapitalisme yang termaktub dalam Program Erfurt dan kedua,,sejalan dengan praktik yang tersirat dalam SPD untuk memperjuangkan demokrasi. Dalam pandangan nya dia ingin melakukan secara koherensi antara praktek dan teori Marxisme sebagai alat perjuangan dalam pertarungan politik. Sehingga strategi dalam pelbagai reformasi yang di gagas oleh aliansi buruh dan kelas menengah progresif dapat secara terang-terangan bertarung secara politik, maka Marxisme harus lebih pragmatis dan liberal (Townshend, 2000:27).

Bernstein menitik beratkan kritik Marx pada tujuan akhir –telos, yang di tuangkan dalam “Evolutionary Socialism” dan Program Erfurt. Yaitu “Revolusi” proletariat sebagai jalan menuju masyarakat komunis, ini tidak bermakna apapun ketimbang “reformasi” yang sepotong-potong. Karena revolusi sebagai sebuah telos, hanya menyandarkan kepada keniscayaan sejarah. Padahal sejarah adalah akibat beragam perubahan komulatif, dan bersifat imanen (Townshend, 2003: 28).

” Modern society is much richer than earlier societies in ideologics which are not determined by economics and by nature working as an economic force…“The Iron Necessity of History” receives in this way a limitation, which, let me say at once, signifies in regard to the practice of social democracy, no lessening but an increasing and qualifying of its social political tasks…we see the materialist conception of history to-day in another form than it was presented at first by its founders. It has gone through a development already, it has suffered limitations in absolutist interpretation…To the words “materialist conception of history” still adhere all the misunderstandings which are closely joined with the conception of materialism” (Bernstein, 1899: Cpt. I-b).

Dalam tulisan nya kita bisa memahami bagaimana Bernstein merevisi ajaran Marx, baginya bentuk masyarakat telah mengalami perubahan seiring waktu dan ‘lokomotif’ revolusi tidak kunjung datang.7

7

Secara terbuka Bernstein menolak hokum besi sejarah Marxisme, dengan apa yang dikatakan nya “lokomotif sejarah”. Posisi ini menjadi tolakan untuk menggeser lokus ‘revolusi’ kepada praktek yang lebih realistis ‘reformasi’

Sehingga dia punya alasan kuat untuk meredusir gagasan Marx yang bersifat “ideologistik” dan menolak konsep ‘deterministik Marxisme’ yang berangkat dari filsafat Materialisme-Historis. Dengan itu secara konsekuensi dia juga menolak ekonomi yang bersifat

deterministic, karena itu sebuah impian yang tidak masuk akal. Manusia dengan penghetauan nya melakukan sebuah penetrasi yang significant dalam kehidupan social, sehingga “hukum besi sejarah” menjadi terbatas. Sehingga perjuangan kelas hanya mengsegregasi pencapaian tatanan sosialisme, karena sosialisme harus di pahami secara universal dan aliansi antar kelas. Sehingga perjuangan sosialisme adalah buruh bersama kelas menengah progresif.

Untuk memperkuat argumentasi nya soal “aliansi progresif” Bernstein merubah cara pandang ekonomi nya dengan kritik terhadap ‘teori nilai kerja’. Baginya teori itu tidak lebih dari sebuah abstraksi sebuah atom yang berjiwa. Jawaban atas eksploitasi bisa diatasi dengan sebuah reformasi, dan reformasi tidak akan berjalan secara konsisten apabila tidak di topang dengan bangunan organisasi yang mapan. ‘Dalam literature sosialisme, kita akan melalui penjelasan yang beragam tentang sebuah konsep yang ditujukan sebagaimana mereka runtuh dalam satu atau beberapa kategori, untuk mempraksiskan apa yang di turunkan dari konsep kesetaraan dan keadilan atau sebuah ringkasan karakterisasi penghetauan social, juga identifikasi melalui perjuangan kelas kepada pekerja dalam masyarakat modern dan menjelaskan bahwa sosialisme berarti ekonomi ko-operatif’ (Bernstein, 1899: Cpt. III-a). Ini artinya sebuah organisasi pekerja (bukan saja buruh, tapi pekerja professional) akan kooperatif dengan system ekonomi yang ada, sehingga proses distibusi dari kapitalisasi ekonomi bisa terjadi. Tekanan gagasan yang dilakukan Bernstein bukan semata-mata tendensi nya terhadap komunist, tetapi ada beberapa hal penting.

Pertama, dia menolak ‘Diktator Proletariat’ karena itu akan merusak iklim demokrasi, dan cukup naïf hanya beralasan untuk memperkuat solidaritas. Kedua, dia meyakini lembaga-lembaga liberal yang akan bersifat lentur dalam mengakomodir kelas pekerja kedalam ruang demokrasi.

Pandangan Bernstein berjalan bukan tanpa kritik, seorang Marxist lain nya yang cukup bertahan pada pedoman Marxisme klasik adalah Karl Kautsky. Meskipun mereka sama-sama memimpin SPD pada 1890’an yang dilatari dengan Program Erfut, namun pandangan nya cukup memiliki diksi dalam perdebatan Marxisme. Program Erfurt 1891 melakukan upaya konsolidasikan kembali dengan acuan Program Gotha 1875 yang pada saat itu terganjal undang-undang anti- sosialis oleh Bismarck selama 12 tahun (1878-1890). Esensi utama dalam Program Erfurt beberapa mengacu pada revisi terhadap praktik perjuangan Marxisme, karena disini arah perjuangan sudah mengarah dalam perjuangan parlementarian dan menuntut hak-hak kewarganegaraan. Dalam Program Erfurt dan intepretasi Kautsky terhadap Marx, sosial- demokrasi diadopsi dari ajaran Marx dan Engels, yang meyakini perkembangan social harus melalui sebuah hukum alam yang ketat, itu akan berujung pada penghapusan aturan kelas (FES, 52). Pasca kongres di Erfut 1891, Kautsky secara teoritis dan ilmiah menuliskan tujuan dan arah gerak sosialisme dalam “Class Struggle” pada 1892. Dia juga sedikit mengecam pandangan Bernstein yang selalu mengasosiasikan praktek revolusi akan menggunakan kekerasan, padahal dalam pandangan Kautsky “Social Demokrasi, sudah melahirkan parai yang revolusioner tetapi tidak ada seorang pun yang bisa melahirkan nya”, karena partai politik harus menang dengan kekuatan kelas pekerja, dan penataan kembali struktur ekonomi secara radikal. Perjuangan reformasi social bisa apabila digabungkan dengan baik secara konsep dari tujuan revolusi (FES, 64). Kautsky masih meyakini beberapa ajaran Marx tentang revolusi yang menjadi sebuah jawaban karena adanya system pemilikan. Dalam system evolusi ekonomi tidak akan menghapuskan eksploitasi kelas, kondisi ini akan mendorong sebuah kesadaran kolektiv buruh dan kepemilikan bersama. Karena system eksploitasi terus semakin terjadi dan semakin kuat, untuk mengurangi praktek dari eksploitasi itu, massa populasi yang merasakan itu tidak punya pilihan lain selain meruntuhkan system kepemilikan pribadi. Disini Kautsky tidak serta merta yakin pada reformasi social, karena itu hanya akan bersifat temporer (Kautsky, 1888: Cpt. IV-1).

Pada dasarnya dalam “Class Struggle” Kautsky masih cukup terpengaruh dengan pandangan Marx, sehingga dia bisa dikatakan kaum Marxis ortodoks. Hal ini terlihat dalam pandangan nya yang masih mengklasifikasikan perjuangan kelas (Proletariat). Namun yang menjadi soal bagaimana kelas proletariat bisa dikukuhkan menjadi warganegara, yang mana hak-hak kemanusiaan nya melekat dalam diri nya dan dilindungi Negara. Karena kelas proletariat adalah kelas yang termiskinkan oleh sebuah struktur ekonomi, dan akan berdampak linear terhadap kehipun social mereka dikala mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Tapi disisi lain dia meyakini sebuah sosialisme bisa tercapai apabila ada “kepemilikan bersama”, dalam proses produksi sehingga proletariat dapat menjalankan basis ekonomi nya secara otonom. Selain itu, level pendidikan kepada proletariat juga harus ada, guna menopang masa depan kualitas kehidupan kelas itu sendiri (Kautsky, 1888: Cpt. I).

Berbeda dengan Marx yang filsafat nya dipengaruhi oleh Proudhon sehingga gagasan nya terlihat anarchy. Secara tersirat Marx tidak begitu yakin terhadap masa depan negara, maka dari itu dia berupaya melakukan propaganda besar untuk membangun persatuan buruh Internationale. Kautsky meyakini perubahan dengan partai politik, meskipun dalam definisi nya “partai Proletar”, akan tetapi kita melihat kemajuan perspektif dalam politik nya.

“The Socialist Party, accordingly, struggles, not for any class privilege, but for the abolition of classes and class-rule, for equal right and equal duties for all, without distinction of sex or race. In conformity with these principles it opposes in present day society, not only the exploitation and oppression of wages-workers, but also every form of exploitation and oppression, be it direct against a class, a party, a sex, or race” (Kautsky, 1888: Cpt. V).

Kautsky memiliki kepercayaan bahwa partai politik adalah senjata utama untuk melakukan perlawan, dan menuntut hak-hak. Dia mulai menampakan aspek demokrasi nya, meskipun dia percaya bahwa partai memikul tanggung jawab terhadap kelas, namun ada hal kesetaraan dan pruralisme yang menurut nya juga adalah tuntutan dari sosialisme dengan mensesuaikan pada kondisi masyarakat modern. Dalam pandangan nya organisasi asli dari bentukan proletariat sudah menjadi model untuk melawan penindasan, karena dengan organisasi yang modern gerakan buruh bisa dengan inherent melakukan tuntutan aksi atau boykot pabrik. Organisasi yang baik, juga tidak bisa tanpa dukungan media. Media massa bisa sebagai alat komunikasi modern sekaligus propaganda politik, sehingga gerakan-gerakan buruh bisa terkonsolidasi dan menjadi kukuh meskipun berbeda wilayah. Akumulasi positif dari gerakan buruh, akan terjawab dengan Partai Sosialis untuk menyambungkan antara tuntutan di serikat-serikat buruh dengan kebijakan di parlemen. Dimana selama ini gerakan proletariat terlihat beroposisi dengan Sosialisme (Kautsky, 1888: Cpt. V).

Meskipun Kautsky tetap berthan pada konsep proletariat nya, tetapi dia juga melakukan kritik keras pada Revolusi Oktoberis di Rusia. Dia kembali mempertanyakan apakah revolusi Bolshevik adalah revolusi Marxist? Kritik itu juga disambang oleh Rosa Luxemburg dalam “The Russian Revolution” karena ada ketakutan dictator proletariat akan menjadi boomerang terhadap kaum proletar itu sendiri. Kritik terhadap revolusi Oktoberis ditujukan kepada Lenin dengan konsep “Diktator Proletariat”, pada 1918 “The Dictatorship Proletariat”. Kautsky secara jelas mempertanyakan kembali posisi Marxisme dalam revolusi itu, sekaligus mengkritik konsep revolusi itu. Dalam pandangan nya Sosialisme dan Demokrasi bagaikan logam mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Karena demokrasi mengandung unsur kesetaraan antar warga negara,

bukan berarti sosialisme tidak akan melakukan itu, namun bentuk kebebasan dalam masyarakat dapat terjaga dengan iklim demokrasi (Kautsky, 1918: Cpt. II).8

Dalam masyarakat modern konsep demokrasi adalah yang bisa diterima, dimana negara akan di atur dalam parlemen melalui mekanisme demokrasi. ‘Pemerintahan dengan partai dalam demokrsi melakukan perubahan lebih cepat dari pada aturan kelas. Dalam keadaan ini, tidak ada partai yang menahan kekuatan (berpeluang dictator), dan akan selalu menghitung peluang minoritas, tetapi degngan negara tanpa partai akan meninggalkan minoritas selamanya’ (Kautsky, 1918: Cpt. IV). Hal ini sangat jelas bagaimana Kautsky menolak bentuk dari dictator yang dijalankan kaum Bolshevik di Rusia, karena itu tidak demokratis dan manusia tidak memiliki posisi tawar dalam kekuasaan. Seperti dalam awal gagasan nya dia memiliki keyakinan kepada kaum Borjuis yang progresif untuk berjuang bersama Proletar dalam partai yang Revolusiner (SPD). Ketakutan Kautsky terhadap “mayoritasrisme” di Rusia, terbukti pada masa Stalin dimana terjadi pemusnahan atas nama negara. Bagi nya prilaku negara yang intoleransi adalah konsekuensi atas pilihan dari anti-Demokrasi. Namun prdebatan ini adalah soal pilihan strategis dalam konteks sosiologis-historis.

Laclau dan Mouffe lebih lanjut menuliskan, dalam The Class Struggle, Kautsky menyederhanakan makna dari setiap antagonisme atau elemen social dengan mereduksinya sebagai lokasi structural yang spesifik, yang telah terfiksasi posisinya oleh logika modus produksi kapitalis. Kemudian Kautsky menuliskan sejarah kapitalis yang dibentangkan dengan relasi – relasi yang sepenuhnya bersifat interior (pure relation of interiority). Kita bisa melangkah dari 8

Kautsky memiliki kegelisahan terhadap Fasisme, dimana sebuah diktatoriat adalah akar nya. Sehingga Kautsky mempertanykan kembali tujuan dari Revolusi itu sendiri, sehingga Sosialisme tidak membusuk menjadi Fasisme.

dari kelas buruh ke kaum kapitalis, dari ranah ekonomi ke ranah politik, dari kapitalisme manufaktur ke kapitlisme monopoli, tanpa pernah sesaat pun bisa lepas dari rasionalitas dan intelegbilitas internal dari suatu paradigm yang bersifat tertutup. Kapitalisme dianggap bertindak terhadap realitas eksternal social, namun realitas social tidak larut begitu saja ketika berkontak dengan kapitalisme. Kapitalisme memang berubah, namun perubahan itu tidak lebih dari berkembang nya tendensi-tendensi, dan kondisi-kondisi yang bersifat endogen. Disinilah logika keniscayaan tak terbatasi oleh apapun: inilah titik awal teks pra-kritis dari The Class Struggle

(Laclau&Mouffe, 2008: 16-17).

KELOMPOK

SPARTAKUS DAN WANITA YANG MEMPERTAHANKAN

PANDANGAN

Garis besar

Dokumen terkait