• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENITI JEMBATAN EMAS BERSAMA RAKYAT MARHAEN: MENCARI ARTI KEBEBASAN DALAM BENTUK KEMERDEKAAN NASIONAL

Meskipun secara fisik sosok seorang Soekarno sudah musnah dimakan zaman, namun ide dan pikirannya tetap hadir dalam pandangan politik manusia Indonesia, terlebih para pengikut fanatic yang menjadi golongan ‘Soekarnoisme’. Dalam konteks ini kita lebih banyak bicara soal ide-ide besar yang ditumpahkan Soekarno menjadi sebuah ajaran politik Marhaenisme. Sebelum membahas lebih dalam ada dua diksi yang mebingungkan antara ‘Soekarnoisme’ dan ‘Marhaenisme’, saya melihat ini adalah dua term isme yang memiliki perbedaan makna. Soekarno adalah sosok penting dalam bangsa ini, secara literature sejarah politik dia dengan terbuka mengemukakan bahwa ajaran nya adalah Marhaenisme, yang diambil dari nama seorang petani yaitu Marhaen. Kemudian term Soekarnoisme muncul kemudian hari, setelah Soekarno meninggal dunia. Dalam term ini, saya memiliki dua persepsi atas definisinya; pertama, term ini disuarkan oleh Orba untuk mendeskritkan kelompok PNI dalam posisi politik yang tidak menguntungkan sehingga term ini mengandung makna negative dan tendensi. Kedua, term ini lahir dari kelompok pengikut setia Soekarno sendiri untuk mengkaegorikan diantara mereka sendiri yang mengikuti ajaran Marhaenisme beserta prilaku-prilaku Soekarno, semisal bergaya flamboyant, parlente dan kharismatik. Namun apapun itu dalam penulisan bagian ini dan seterusnya, term Marhaenisme yang akan digunakan untuk mewakilkan pikiran-pikiran Soekarno. Karena akan banyak bersinggungan dengan ide-ide yang ditulis Soekarno.

Kembali kepada pembahasan Marhaenisme, dalam buku Cindy Adams istilah itu diambil dari perbincangan Soekarno dengan seorang petani Marhaen. Kemudian setelah itu Soekarno mengatakan rakyatnya dengan sebutan si Marhaen. Marhaen adalah korban dari system feudal dan Imperialisme perdagangan Belanda, sehingga derita itu terus menular hingga anak cucunya.

Marhaen tidak memiliki lahan dan modal besar, mereka hanya memiliki alat penggarap dan tenaga saja. Dengan kondisi seperti ini proses pemelaratan Marhaen terus terjadi, sehingga Marhaen harus bersatu dan melawan system penindasan untuk hidup bebas ditanah nya sendiri. Karena bagi Soekarno Marhaen adalah karakter baru Indonesia, Marhaen adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek (Adams, 2007: 50-51).

Jauh kebelakang ketika Soekarno muda mulai mendirikan PNI (Perserekatan Nasional Indonesia) yang kemudian menjadi partai di Bandung sekitar tahun 1926’an tertera tulisan nya yang cukup popular pada masa itu ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’. Tulisan ini adalah sebuah upaya Soekarno untuk mendamaikan pertikaian ideology yang sedang berlangsung antara ketiga golongan itu. Karena baginya apabila sebuah gerakan dilakukan secara parsial makan cita-cita

pembebasan nasional tidak akan pernah tercapai. Hal senada dinyatakan oleh Bob Hering dalam pameran 100 tahun Bung Karno di Amsterdam, “Suatu wawasan dianggap Soekarno menghambat, bila berlebihan cekcok urusan teori ideology dan bersifat kerdil dalam rivalitas yang kadang-kadang hanya memikirkan diri sendiri. Karena itulah, dalam tulisan dan pidato yang diucapkan pada tahun-tahun itu (1920-1930’an) Soekarno mulai berusaha mengajak para pesertanya untuk lebih memperhatikan suaatu ideology sintesa yang dia sendiri nilai sebagai sumber daya semangat revolusioner besar yang masih samar terselubung didalam apa yang dia sebut marhaen Indonesia” (dalam Liber Amicorum Soekarno, Hasta Mitra, 2001: 59).

Dalam literature memang banyak pendapat bahwa Soekarno membangun sendiri fondasi ideology nasional yang didapat dari pendidikan Eropa di Hindia Belanda. Dalam ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’ terlihat ada satu upaya besar untuk melebur garis demarkasi antara ketiganya dalam satu golongan Nasionalis. Dalam penalaran logisnya Islamisme tidak bisa terus menerus

memusuhi Marxisme yang dianggap tidak bertuhan (Atheis) itu terkutip dalam Dibawah Bendera Revolusi I;

“…Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaaarde sepanjang sepanjang faham Marxisme, dalam hakekatnya tidak lain lah daripada riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde adalah teori; memmakan pekerjaan lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu (…) Jangan lah makan riba berlipat ganda dan perhatikan kewajiban mu terhadap Allah, moga-moga kamu beruntung! Begitulah tertulis dalam Al-Quran, surah Al’Imran: 129” (DBR,1964: 12).

Pandangan itu menguatkan bahwa upaya Soekarno untuk melebur perjuangan dalam front- nasional semakin terarah secara wacana ideologis. Bahwa dengan persatuan, kemenangan yang dicapai akan semakin besar dan memunginkan, bahkan Soekarno juga menggunakan dalil Al Quran untuk menguatkan pandangan bahwa kapitalisme juga musuh Islam dalam perspektif riba. Dalam pandangan Islam saat itu adalah berjuang untuk mendirikan negara Islam dikemudian hari, karena wacana yang ada pada kelompok Islam konservatif adalah antagonism keyakinan. Bahwa kaum muslim melihat kolonialisme adalah kaum kafir yang menyebarkan ajaran Kristen (agama Eropa) kepada kaum pribumi. Sentiment agama yang ada pada kelompok Islam, dilihat sebagai peluang disatu sisi untuk semakin memperkuat atas rekonstruksi musuh bersama terhadap kolonialisme dan ancaman disisi lain bahwa kelompok Islam akan menghambat persatuan nasional karena memiliki keinginan negara teokrasi bukan sekuler. Atas situasi seperti ini maka

tidak mengherankan apabila Soekarno sering mengadopsi dalil-dalil agama (baik Islam, Kristen maupun Hindu, Budha) untuk mempersatukan keberagaman agama yang ada di Indonesia.

Meskipun dalam propaganda politik Soekarno sering menyematkan pikiran-pikiran Islam, yang juga sebagai langkah menararik kekuatan Islam dalam front-Nasional, sebenarnya corak pikiran Barat lebih menonjol terlebih gagasan Marxisme. Soekarno meminjam epistemology Marxisme untuk memposisikan Indonesia sebagai bangsa yang tertindas “bangsa kuli” dalam istilahnya. Sehingga Soekarno terlihat meninggalkan kontradiksi kelas sebagai ontology teori Marxisme, dia menggeser lokus proletariat pada kaum buruh kedomain bangsa (negara ketiga) yang terjajah oleh Imperialisme Barat.22

“…Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerkan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh.” (DBR, 1964: 17)

Dalam pandanganya bangsa Indonesia yang terjajah sama hal nya seperti kaum proletar di negri Eropa. Sehingga perlakuan Imperialisme Eropa terhadap negara jajahan, sama halnya seperti kapitalisme dinegrinya sendiri bahkan lebih-lebih lagi. Maka dia sering kali menyuarakan semangat persatuan baik secara nasional (Indonesia) maupun regional (Asia Tenggara) dan internasional (Asia-Afrika/Non-Blok).

“…Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kebangsaan dan anti- keagamaan, maka sekarang terutama di Asia, sudahlah begitu berobah, sehingga

22

Soekarno menggunakan kontradiksi kelas dalam teori Marxisme-klasik, untuk menjelaskan antagonisme negra terjajah versus negara penjajah

kesengitan ‘anti’ ini sudah berobah menjadi persahabatan dan penyokongan” (DBR, 1964: 19)

Semangat persatuan Soekarno cukup membakar pergolakan anti-kolonialisme di negara-negara terjajah, dan memang itulah yang ingin dicapai Soekarno. Kembali kepada pembahasan Marxisme, jelas dia tetap menggunakan teropong Marxisme untuk membangun wacana Ideologi persatuan. Juga dia masuk dalam perdebatan revisionis Marxist yang sudah mulai mempertimbangakan aspek “kebangsaan” dan “keagamaan” untuk melahirkan sebuah negara bangsa (Nation State). Secara teoritis untuk menopang pandangan kebangsaannya dia butuh dukungan revisionis Marxist yang juga bicara soal kebangsaan, dimana dalam pertikaian Marxisme kaum revisionis seperti Karl Kautsky banyak bicara soal Imperialisme dan Kebangsaan.23

“…Benarlah pendapat Sosial-Demokrat Emile Vandervelde, dimana dia mengatakan, “revisionis itu tidak dimulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya” (…) Perobahan teori dan perobahan taktik itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxist yang ‘muda’ baik ‘sabar’ maupun yang ‘keras’, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh- sungguh…bahwa pergerakan Marxist di Asia haruslah berlainan dengan di Eropah dan haruslah bekerja sama dengan partai-partai yang ‘Klein-Burgerlijk’, oleh

23

Hatta pernah mengomentari tentang gagasan persatuan Soekarno dan PPKI yang dipimpinnya; “Persatuan adalah prinsip yang paling utama dari seluruh kegiatan Soekarno. Kegandrungan untuk persatuan ini diperkuat dengan semangat kesenimannya yang hidup dalam sanubarinya. Minat artistic ini membuat Soekarno cenderung melihat segala dalam keindahannya, dalam harmoninya, dan dalam kesatuannya yang serba lengkap. Hatinya terluka saat menyaksikan perpecahan… (Hasta Mitra, 2001: 60)

karena disini yang yang pertama-tama perlu bukanlah kekuasaan ialah perlawanan terhadap pada feodalisme…Supaya kaum buruh dinegri-negri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negri-negri itu merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai Nationale Autonomie (otonomi nasional)” (DBR, 1964:19)

Dalam kutipan ini begitu terwakilkan pandangan Soekarno soal strategi melawan kolonialisme Barat, Soekarno memposisikan Marxisme pada pemahaman revisionist yang sudah mengakomodir aspek bangsa yang secara logis juga mengakomodir kelompok-kelompok borjuis progresif dan percaya pada peranan kelompok intelektual. Dengan mengacu pada pandangan revisionis dia melenturkan Marxisme untuk menguatkan argumen bahwa, negara-negara yang terjajah terutama Asia harus bersatu untuk melawan Kolonialisme Eropa. Disini semakin menguatkan kita bahwa Soekarno memposisikan negara jajahan sebagai proletar, namun nuansa persatuan sangat kuat ditonjolkan Soekarno karena baginya persatuan adalah segalanya.

Soekarno ketika diasuh dengan HOS Cokroaminoto digembleng dengan teologi Islam ini juga yang mempengaruhi cara berfikirnya dalam tulisan di era 26’an, selain itu dia juga kagum dengan teosofi dimana alam menjadi sentries dalam kajiannya. Alam dalam definisi Soekarno bukan semata sumber daya alam potensial yang bisa dikelola menjadi sebuah nilai ekonomis, namun juga ada keberagaman budaya yang menjadi latar belakan social manusia Indonesia. Sudut pandang ini jugalah yang mengatar Soekarno untuk melawan kolonialisme, karena dia melihat banyak tanah yang dirampas, banyak orang yang dipaksa membayar upeti, juga budaya local terkontaminasi karena hadirnya budaya barat atau Eropa. Pledoi pembelaan Soekarno ketika

dipenjara di Sukamiskin menjadi pemantik perlawan terhadap system politik colonial. Ketika inilah Soekarno menggugat arti keadilan dalam tatanan hukum kolonialisme Hindia-Belanda.

Dalam pledoinya, Soekarno mengatakan kalau UU colonial hanya mengkrangkeng kaum pribumi dalam ketidakadilan, colonial menggunakan UU untuk bertindak sewenang-wenang terhadap kaum pribumi. Hal ini adalah konsekuensi logis dari sebuah praktek imperialisme baginya;

“Tetapi apa arti perkataan Imperialiasme? (…) Ia adalah suatu nafsu, suatu system menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negri,- suatu system merajai atau mengendalikan ekonomi atau negri bangsa lain (..) Maka penghetauan ini (Imperialisme) buat maksud kita penting sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk menguasai (negri lain). Politik ini bergiat mencari lapangan untuk penanaman capital da pasar- pasar buat penjualan barang-barang (Indonesia Menggugat, 2010: 15-20). Karena adanya Imperialisme di negri sendiri (Indonesia) maka, sejatinya kebebasan dari pribumi dibatasi bahkan hak pribumi bawahan (miskin/papa) dirampas untuk dipekerjakan demi kepentingan colonial. Ketimpangan diantara pribumi pun terjadi, semisal para raja-raja atau bangsawan yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi disebuah daerah masih memiliki kebebasan dan hak-haknya meskipun terbatas sedangakan para petani di desa merasakan penindasan yang cukup runcing.

Dia memahami dalam cultuurstelsel, dimana terjadi ‘penghisapan’ yang begitu sistematis oleh colonial terhadap bangsa Indonesia. Itu dimulai dari mengkondisikan dan menguasai selururh wilayah kerjaan dan ekonomi bangsawan di Nusantara, kemudian mereka (raja dan bangsawan) membebankan kepada rakyat biasa. Pada akhirnya petani miskin adalah objek yang paling ditindas atas sistem penghisapan itu. Analisis ini menjadi logis bahwa marhaenisme

harus bisa mengorganisir para petani (rakyat kebanyakan) dan menularkan virus revolusioner kepada borjuis progresif sehingga melebur salam front-Nasional. Karena kebebasan dan keadilan hanya bisa dinikmati ketika negri Indonesia merdeka dari campur tangan kolonialisme, maka secara logis Kapitalis-Imperialisme harus ditaklukan dengan pembebasan Nasional. Inti sari dari definisi kebebasan bagi Soekarno adalah kemerdekaan penuh atas bangsa Indonesia, bukan kemerdekaan yang diberikan tetapi kemerdekaan direbut dengan keringat dan darah perjuangan.

Konsep perjuangan yang menjadi panutan tokoh-tokoh seperti Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka termasuk Soekarno adalah pola non-kooperatif. Ini adalah sebuah rumusan perjuangan yang menjadi keyakinan kaum pergerakan nasional menuju sebuah kemerdekaan sejati. Meskipun definisi non-kooperatif Soekarno berbeda dengan Hatta dan Sjahrir, yang sempat menjadi ketegangan diantara mereka. Pandangan Soekarno soal non-Ko adalah segala hal yang bersinggungan dengan Kolonialisme harus dilawan secara radikal. Pandangannya banyak terinspirasi oleh Nasionalist Asia seperti Gandhi dan Sun Yat Sen, bagaimana mencapai sebuah bangsa yang mandiri. Meskipun dia mengkritik non-Ko yang terjadi di Hindustan (Ahimsa) yang dipelopori oleh Gandhi adalah sebuah non-Ko yang pasif karena hanya menolak dan tidak melawan. Baginya hanya dengan cara radikal dapat meraih kemerdekaan; “Non-kooperation India adalah non-kooperation yang menurut faham saya, non-kooperation yang terlalu pasif (…) Non-kooperation kita tidak bersandar pada kepercayaan ahimsa, tidak bersandar pada ajaran “weersta den boze niet”…Non-kooperation kita adalah, berisi aktivitet dan radikalisme- radikalisme semangat, radikalisme fikiran, radikalisme sepakterjang, radikalisme dalam sikap lahir dan bathin (DBR, 1964: 194). Pandangan nya soal non-Kooperasi cukup kokoh menolak hal-hal yang reformis, dia hanya meyakini bahwa radikalisme gerakan tanpa menimbang- nimbang peluang adalah jalan yang harus dilakukan. Selain menggelorakan semangat non-Ko

dalam propaganda politik Soekarno, bersama PNI mengorganisir rakyat marhaen untuk pencapaian cita-cita persatuan bangsa. Pandangannya yang cukup berpengaruh pada kaum muda pribumi soal cara dan tujuan kemerdekaan Indonesia tertulis dalam artikel “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang dituliskan pada Maret 1933. Penjabaranya tentang kemerdekaan tidak terlalu banyak berubah dari pikiran politiknya era 20’an. Dalam praxis perjuangan, Soekarno lebih meyakini sebuah mobilisasi massa secara besar-besaran dan serentak, ketimbang perjuangan parlementer. “Dengan massa-aksi kaum marhaen dapat mengobar-kobarkan semangatnya sampai kepuncak angkasa, dengan massa-aksi mereka bisa menghebatkan semangatnya sehebat gelombang samudra, dengan massa-aksi mereka bisa mengolah mereka punya tenaga mejadi tenaga gempa” (DBR, 1964: 300). Jargon revolusi yang terus dikobarkan Soekarno adalah sebuah indikasi yang melegitimasi bahwa, dia adalah sosok yang ingin mempercepat revolusi untuk mencapai kemerdekaan dengan pengorganisiran massa secara politis. Karena begitu penting kemerdekaan sebuah bangsa baginya, maka definisi kemerdekaan adalah “Jembatan Emas” untuk bangsa Indonesia, yang disebrangnya ada kemakmuran bagi bangsa Indonesia dan setiap individu didalamnya. Setelah merdeka maka rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk mengatur bangsanya sendiri, dan mengelola sumber daya alam yang potensi untuk kelangsungan hidup dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Pegangsaan Timur menjadi tempat paling bersejarah untuk Indonesia, dimana Proklamasi kemerdekaan disuarkan oleh Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. Kemerdekaan Indonesia bukanlah satu barang yang jatuh dari langit, ini menjadi tahap awal membangun bangsa Indonesia diatas negara merdeka. Pastinya untuk menyongsong kemerdekaan para tokoh bangsa harus mempersiapkan dasar negara dan azas konstitusi sebagai landasan fundamental. Soekarno sebagai Presiden menyampaikan isi dari landasan negara pada 1 Juni 1945, yang kita kenal dengan

‘Pidato Pancasila Bung Karno’. Memang azas negara telah disepakiti dengan nama ‘Pancasila’ yaitu hasil dari rapat BPUPKI oleh segenap tokoh dan pemikir bangsa Indonesia. Dalam pidatonya Soekarno menjelaskan bahwa Pancasila adalah nilai-nilai yang digali dalam bumi Indonesia, sehingga ini begitu cocok untuk pandangan hidup ‘weltanschauung’ bangsa Indonesia. Karena Soekarno adalah sosok pemimpin yang cukup gandrung dengan persatuan maka, negara kesatuan atau ‘satu nastionale staat’ begitu Soekarno menyebutnya adalah bentuk negara yang akan memperkuat bangsa Indonesia ditengah keberagaman ras, agama, dan suku.

Tahun-tahun sebelum kemerdekaan, Soekarno dalam tulisannya lebih berfokus pada propaganda anti-kolonialisme dan mengelorakan semangat revolusi, sangat jarang tulisan yang merujuk pada konsep negara dimasa depan. Dalam pidato 1 Juni dia berhasil merangkum dari perdebatan BPUPKI dan membungkus dengan gagasanya soal negara Indonesia kedepan. Ada beberapa prinsip yang terkandung dalam Pancasila; Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri- Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan ke-Tuhanan. Dengan mengurai prinsip-prinsip dasar Pancasial dalam pidatonya, kita bisa memahami pengulangan fikiran Soekarno dari gagasan yang pernah ditulis pada tahun 30’an dalam ‘Mencapai Indonesia Merdeka’. Arti dari prinsip ‘Kebangsaan’, bukanlah terjebak dalam chauvinisme yang dapat melahirkan Fasisme seperti di Jeman, namun sebuah bangsa yang bergaul dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini terkait dengan prinsip berikutnya ‘Internasionalisme’, diamana negara Indonesia harus berinteraksi dalam pergaulan internasional antar bangsa dan negara. Prinsip ‘Demokrasi’ adalah sebuah keniscayaan dalam bernegara dimana tradisi mufakat sebenarnya juga sudah terkandung dalam budaya Indoensia. Kesejahteraan Sosial, ini menjadi tanggung jawab negara dimana memberihan sebuah kualitas kehidupan yang lebih baik dan menata kembali system social kearah yang lebih maju. Ke-Tuhanan adalah sebuah keyakinan spiritual yang inheren

dengan jiwa-jiwa manusia Indonesia yang religi untuk tetap menghormati keyakinan beragama satu sama lain.

Kelima prinsip dasar itu kemudian dirangkum kembali oleh Soekarno dan bukan hal yang baru dimana sebelum nya pernah dituliskan. “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan atas petunjuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya ialah Panca Sila. Sila artinya adalah azas atau dasar, diatas lima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi (…) Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme, Dan demokrasi yang bukan demorasi barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politiek democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain (…) tetapi barangkali tuan-tuan tidak senang dengan Tri Sila ini, dan minta satu maka saya akan kumpulkan menjadi satu (…) maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’

DEFINISI

KESETARAN

GENDER

BAGI

SOEKARNO:

SEBUAH

PARADOX

DALAM

Garis besar

Dokumen terkait