• Tidak ada hasil yang ditemukan

ACUAN SISTEM DEMOKRASI DAN MENJAGA IKLIM PRURALISME: MENGHINDARKAN PENGARUH MAYORITARIAN DENGAN KEMAMPUAN DEBAT INTELEKTUAL DAN

BASIS MORALITAS KEPEMIMPINAN

Lebih dalam Hatta menekankan sebuah integritas intelektual dan moral dalam politik, kerena sebuah pencapaian demokrasi bukan sebatas procedural dan institusional. Basis moral yang dijadikan acuan berdemokrasi ada pada jiwa para pemimpin rakyat yang juga harus bertransformasi pada tataran rakyat. Karena pemimpin adalah tokoh yang dijadikan orietasi rakyat berdemokrasi, dikala pemahaman rakyat soal praktek demokrasi masih cukup minim. Meskipun Hatta berpedapat bahwa budaya lokal memiliki potensi untuk menjalankan demokrasi atau bahkan dengan tersirat masyarakat adat secara inhern telah mengandung prinsip demokrasi, tetapi baginya latar belakang budaya saja tidak cukup, harus ada sumber hukum dan kebijakan- kebijakan yang mengatur ketika terjadi interaksi antara budaya yang berbeda. Dengan alasan seperti ini, Hatta mendorong dengan segera asas perwakilan dalam fundamental demokrasi Indonesia, orang yang dipilih menjadi wakil rakyat adalah pemimpin sekaligus tokoh dari konstituen yang memilihnya.

Hatta pernah menyoal pertikaian antara praktek dan teori, dimana dalam pemahaman khalayak umum saat itu sebuah teori adalah mimpi yang mengawang-awang didunia khayangan. Namun Hatta menekankan bahwa teori dalam posisi kerja yang mengevaluasi praktek keseharian, sehingga ada satu fase dimana pikiran merefleksikan atas segala prilaku yang pernah terjadi. Dalam tulisannya yang bertajuk “Teori dan Praktek” Hatta menyampaikan pandangannya;

“…Dalam praktek yang dikerjakannya belum terbayang yang salah: buat apa didengarkan nasihat orang ‘Weltfremd’, yang tak kenal penghidupan yang lahir? Sebab itu, selama praktek berjalan sebagaimana biasa tanpa diganggu oleh kejadian-kejadian yang luar biasa, orang tidak

begitu mementingkan teori dan mempelajarinya. Hal ini diserahkan saja kepada ahli-ahli teori yang bersemayam ditembok academia, yang jumlahnya tidak seberapa. Tetapi apabila pada suatu ketika roda raktek itu kandas pada kejadian yng luar biasa, disananlah orang baru menjerit meminta ertolongan terhadap teori. Barulah orang insaf dengan harga teori. (Ilmu dan Masyarakat, No.2 th. 1936). Disinilah Hatta menekankan penting nya sebuah teori, karena dalam gerakan perjuangan teori sebagai peta menuju kemerdekaan atau kemenangan. Sehingga tulisan Hatta yang membela posisi teori adalah sebuah klarifikasi perjuangannya lewat dunia akademis. Hatta juga menepis pandangan umum kalaulah teori itu hanya berpihak kepada kekuasaan. Secara tersurat Hatta juga ingin menyelaraskan perjuangan yang berdampingan antara teori dan praktek, dan tidak saling menegasikan satu sama lain.

Moral bagi Hatta adalah sebuah landasan interpersonal yang harus terus didorong untuk menjadi lebih baik dan semakin mendasar. Meskipun Hatta bukanlah seornag filosof yang menjelaskan secara terperinci dan gamblang persoalan moralitas manusia, namun bagi Hatta untuk melahirkan sebuah sistem masyarakat yang ajeg dan dinamis perlu mempertimbangkan aspek moral. Suatu ketidak sepakatan terhadap sebuah ide tidak bisa berdiri karena sebuah pernyataan yang tendensius. Melainkan harus mengacu pada kritik yang bertanggung jawab, sebagai contoh fenomena ketika banyak orang tidak sepakat terhadap Marxisme seharusnya tidak berlandaskan sentiment agama (karena Marxisme dianggap Atheis). Apabila ketidak sepahaman terhadap sebuah nilai atau pandangan harus berangkat dari argument, dimana posisi penggugat juga harus memahami isi atau ajaran yang tidak di sepakatinya.

Berdiri berdasarkan satu sentiment yang tendensius, tidak akan mengajarkan apa-apa pada sebuah aspek moral sebagai pilar demokrasi, melainkan akan menggiring kearah moral personal yang

akan bersekutu dengan komunalisme.32

Integritas intelektual dan basis moral adalah sebuah mekanisme yang harus berjalan berdampingan dalam sistem demokrasi. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan social yang berasaskan kedaulatan rakyat, dibutuhkan sebuah sistem demokrasi yang berladaskan intelektualitas dan moralitas. Demokrasi tanpa intelektualitas hanya meberikan peluang terhadap

Meskipun Hatta tidak menjelaskan secara gamblang definisi sebuah moralitas, namun kita bisa mengacu pada tulisannya dimana menggugat persoalan moral. Tulisan balasan terhadap pengkritik Marxisme yang tidak mengakar, menjadi pertimbangan aspek moral dalam melontarkan kritik; “mengkritik teori seorang pujangga, sekalipun dengan kritik yang tajam tidak terlarang. Malahan sering dilakukan oleh pemuda- pemuda yang menganut dan memperdalam ilmu, dengan karang dalam majalah atau dengan mengarang desertasi untuk meraih gelar doctor. Tetapi sebelum mengkritik ketahuilah lebih dahulu teorinya sampai keakarnya. Kritik gunanya pengasah otak, sebab itu kritik mesti beralasan yang kukuh. Otak yang tidak berisi tidak boleh dipenuhi dengan lidah yang lancer dan mulut yang lancing (Kumpulan Karangan IV, 1954: 147). Hatta secara langsung menyatakan, bahwa asal berpendapat dan mengkritik tanpa landasan yang jelas tidaklah memiliki nilai apa-apa, dan tidak bisa dijadikan sebagai acuan berfikir. Masih dalam artikel yang sama, Hatta juga menkankan posisi media massa agar secara hati-hati mempublikasi tulisan. Apabila tulisan itu hanya berbicara semaunya tanpa arah, hendaklah redaktur mensensor dan tidak diterbitkan sebagai informasi public. Apabila sebuah media dengan giat mempublikasikan tulisan-tulisan yang semaunya, maka media itu tidak memberikan pembelajaran positif terhadap rakyat.

32

Term komunalisme bisa diartikan sebuah prinsip hidup yang mengacu pada satu kelompok yang secara otomatis bekerja secara sectarian dan ekslusif. Kelompok-kelompok yang dimaksud bisa saja berbasis agama, primordialisme, fanatisme, dan pengkultusan pada satu sosok. Apabila sistem moral tumbuh dalam situasi seperti ini, maka tumbuh kembang demokrasi akan dipertanyakan. Suatu saat demokrasi akan menjadi layu dan mati tanpa bekas, karena dibunuh secara perlahan dengan prilaku komunalisme.

mayoritarianism, sehingga kehidupan politik akan jauh dari kritik dan pruralisme. Selain itu demokrasi tanpa moralitas akan menghasilkan sistem pemerintahan totalitarian yang siap membunuh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sehingga demokrasi bukanlah sebuah sistem yang bekerja untuk menyelenggarakan negara dalam definisi prosuderulanya saja, lebih dalam secara esensial demokrasi menjadi keniscayaan untuk mendistribusi kemakmuran pada rakyat sekaligus menjadi ajang meningkatkan kualitas mental sebuah bangsa.

DIRI SJAHRIR DEMI CITA-CITA PERUBAHAN AGUNG: PERJUANGAN MANUSIA ATAS

Garis besar

Dokumen terkait