PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 32
TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
YUSUF RIDHA NIM: 100200057
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 32
TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
YUSUF RIDHA NIM: 100200057
Mengetahui:
Ketua Departemen Hukum Tata Negara
NIP :195909211987031002 Dr Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum
Dosen pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum
NIP :195909211987031002 NIP:197506122002121002
Yusrin Nazief, SH.,M. Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat iman, Islam, kesehatan, kekuatan dan juga semangat sehingga penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik
Penulisan skripsi ini diajukan guna melengkapi syarat memeperoleh gelar
Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini Penulis
menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati Penulis akan menerima kritikan dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini.
Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada dalam penulisan skripsi ini,
penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH. M.Hum sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. DR. Alvi Syahrin, SH. MS sebagai pembimbing akademik
selama Penulis menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara
3. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH. M.Hum sebagai pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH. M.Hum. DFM., sebagai pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak DR. O.K. Saidin, SH. M.Hum sebagai pembantu Dekan III Fakultas
6. Bapak DR. Faisal Akbar Nasution, SH. M.Hum sebagai Ketua Jurusan
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta
sebagai Dosen pembimbing I skripsi Penulis.
7. Bapak Yusrin SH. M.Hum sebagai Dosen pembimbing II skripsi Penulis.
8. Bapak Prof. DR. Alvi Syahrin, SH. MS sebagai pembimbing akademik
selama Penulis menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara
9. Kepada seluruh Dosen-dosen Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara.
10.Kepada kedua orang tua penulis yang sangat dibanggakan Mas Duki Zen
dan Boirah karena selalu memberikan doa dan dukungan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi
11.Kepada adik kandung penulis yaitu Dylan Dawamul Fauzi yang selalu
ABSTRAKSI
Dr Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum*
Yusrin Nazief, SH.,M,Hum**
Yusuf Ridha ***
Pengelolaan keuangan daerah sangat erat kaitannya dengan kesejahtaeraan rakyat, dengan pengelolaan keuangan yang baik maka dapat terwujud pemerintah yang baik, karena pemerintahan daerah merupakan garda utama sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan Pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh badan pengawasan intern yaitu Inspektorat Provinsi Kabupaten/kota dan pengawasan ekstern yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). kedua badan ini sama-sama melakukan pengawasan terhadap keuangan daerah sehingga Pemerintah daerah yang dalam hal ini memberikan kewenangannya kepada pejabat pengelolaan keuangan daaerah dapat bertanggung jawab sepenuhnya dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas yang telah diberikan otoritas untuk mengawasinya, bagaimana tindak lanjut pengawasan oleh badan intern dan ekstern tersebut dan implikasi pengawasan keuangan daerah terhadap penguatan otonomi daerah.metode penelitian yang digunakan dalam membuat skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan juga berbagai literartur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini (Law in book).
Hasil penelitian ini menjelaskan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh pengawas intern dan ekstern tersebut apakah telah efektif, tindak lanjut pengawasan intern dan ekstern dan dampak pengawasan keuangan daerah terhadap penguatan otonomi daerah, ketika terjadi kerugian negara disebabkan tata cara pengelolaan keuangan daerah yang kurang baik maka pemerintah daerah bertanggung jawab secara penuh terhadap kerugian negara tersebut sesuai dengan sesuai dengan Undang-Undang No 1 tahun 2003 tentang Keuangan negara. Sehingga pemerintah daerah dapat lebih bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan negara tersebut. sehingga dapat menjadi acuan badan pengawas intern dan ekstern inspektorat dan BPK bagi perkembangan dalam kinerja badan pengawas intern dan ekstern yang sifatnya independen dan bebas dari pengaruh mana pun.
Kata kunci : keuangan daerah, pengawasan intern dan ekstern, Undang-undang *) Dosen Pembimbing I
**) Dosen Pembimbing II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAKSI ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG ... 1
B.RUMUSAN MASALAH ... 6
C.TUJUAN PENULISAN ... 6
D.MANFAAT PENULISAN ... 6
E.KEASLIAN PENULISAN ... 7
F.TINJAUAN KEPUSTAKAN ... 8
G.METODE PENELITIAN ... 22
H.SISTEMATIKA PENULISAN ... 23
BAB II PENGERTIAN , RUANG LINGKUP DAN TUJUAN KEUANGAN DAERAH A.PENGERTIAN KEUANGAN DAERAH ... 25
B.RUANG LINGKUP KEUANGAN DAERAH ... 26
C.TUJUAN KEUANGAN DAERAH ... 49
BAB III TINJAUAN UMUM PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH A.PENGERTIAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH ... 50
B.JENIS –JENIS PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH ... 51
C.RUANG LINGKUP PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH ... 53
PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSAAN OTONOMI DAERAH
A.MEKANISME PENGAWASAN INTERN DAN EKSTERN ... 57
B.TINDAK LANJUT ATAS PENGAWASAN INTERN DAN EKSTERN …. 70
C.IMPLIKASI PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP
PENGUATAN OTONOMI DAERAH ... 7
BAB V
PENUTUP
A.KESIMPULAN ... 79
B.SARAN ... 82
ABSTRAKSI
Dr Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum*
Yusrin Nazief, SH.,M,Hum**
Yusuf Ridha ***
Pengelolaan keuangan daerah sangat erat kaitannya dengan kesejahtaeraan rakyat, dengan pengelolaan keuangan yang baik maka dapat terwujud pemerintah yang baik, karena pemerintahan daerah merupakan garda utama sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan Pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh badan pengawasan intern yaitu Inspektorat Provinsi Kabupaten/kota dan pengawasan ekstern yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). kedua badan ini sama-sama melakukan pengawasan terhadap keuangan daerah sehingga Pemerintah daerah yang dalam hal ini memberikan kewenangannya kepada pejabat pengelolaan keuangan daaerah dapat bertanggung jawab sepenuhnya dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas yang telah diberikan otoritas untuk mengawasinya, bagaimana tindak lanjut pengawasan oleh badan intern dan ekstern tersebut dan implikasi pengawasan keuangan daerah terhadap penguatan otonomi daerah.metode penelitian yang digunakan dalam membuat skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan juga berbagai literartur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini (Law in book).
Hasil penelitian ini menjelaskan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh pengawas intern dan ekstern tersebut apakah telah efektif, tindak lanjut pengawasan intern dan ekstern dan dampak pengawasan keuangan daerah terhadap penguatan otonomi daerah, ketika terjadi kerugian negara disebabkan tata cara pengelolaan keuangan daerah yang kurang baik maka pemerintah daerah bertanggung jawab secara penuh terhadap kerugian negara tersebut sesuai dengan sesuai dengan Undang-Undang No 1 tahun 2003 tentang Keuangan negara. Sehingga pemerintah daerah dapat lebih bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan negara tersebut. sehingga dapat menjadi acuan badan pengawas intern dan ekstern inspektorat dan BPK bagi perkembangan dalam kinerja badan pengawas intern dan ekstern yang sifatnya independen dan bebas dari pengaruh mana pun.
Kata kunci : keuangan daerah, pengawasan intern dan ekstern, Undang-undang *) Dosen Pembimbing I
**) Dosen Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sesuai dengan semangat dan jiwa konstitusi Undang-Undang Dasar Negara
Republik indonesia (UUD 1945), Khususnya dalam pasal 18, dimana pemerintrah
daerah diberi wewenang untuk mengatur dan mengurusi pemerintahannya
masing-masing sesuai dengan azas-azas otonomi daerah. Dalam berbagai peraturan
perundang-undangan azas-azas otonomi daerah yang mengatur pemerintahan daerah
yaitu azas sentralisasi, azas desentralisasi, azas dekonsentrasi, dan azas medebewind
atau tugas pembantuan menjadi salah satu indikator kewenangan dari pemerintahan
daerah artinya semakin besar penerapan azas-azas tersebut maka semakin besar pula
kewenangan pemerintahan daerah namun semakin kecil penerpan azas-azas tersebut
maka semakin kecil pula kewenangan dari pemerintahan daerah tersebut.
Indonesia sedang berada ditengah masa transformasi dalam hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh karena itu banyak sekali
peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah untuk menjamin proses desentralisasi yang
berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya inti dari pelaksanaan otonomi
daerah adalah upaya memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari
kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksaan otonomi daerah.
Berdasarkan rumusan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab
akan memberikan kepercayaan yang lebih mendalam bagi masing-masing daerah
otonomi untuk mengelola wewenang yang lebih besar dan lebih luas1
1 Soehino,
Asas-asas Hukum Tata Negara, liberty, Yogyakarta, 2002, hlm 30
, keluasan
pemerintah daerah untuk mengatur (to legislate), mengurus (to execute) dan
mengembangkan (to develop) daerah sesuai dengan kepentingan dan potensi derahnya
berdasarkan aspirasi masyarakat daerah tersebut. Selain itu dengan wewenang yang
ada pada pemerintah daerah dapat menjadi mediator dan mampu membangkitkan
partisipasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan publik. Sejalan dengan dinamika
dan perkembangan politik yang demikian cepat, maka setelah reformasi bergulir, UU
No. 22 tahun 1999 dirasakan sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan
ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.
Maka lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah yang
diundangkan tanggal 15 Oktober 2004 dan dimuat dalam lembaran Negara RI tahun
2004 No. 125. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ini asas penyelenggaraan otonomi
daerah berubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman menjadi asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip negara kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI Tahun
1945. Dasar pemikirannya sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Umum adalah
bahwa pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan
pemberdayaan dan peran masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan Republik indonesia. 2
Berdasarkan kebebasan yang dimiliki untuk menyusun rencana pembangunan
sendiri, daerah dapat mendayagunakan potensinya untuk mensejahterakan masyarakat
sehingga pada masa yang akan datang diharapkan akan muncul berbagai pusat
pertumbuhan baru diberbagai derah yang potensial sehingga mengurangi aktifitas yang
hanya di pusat. Disamping itu pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi
dan efektifitas penyelenggaran otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antar
susunan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman derah,
aspek keungan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan
sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Berdasarkan otonomi luas
akan dicapai ketahanan fiskal dan perekonomian suatu daerah yang pada gilirannya
juga akan meningkatkan ketahanan fiskal dan ekonomi nasional. 3
Namun dengan adanya otonomi yang seluas-luasnya bukan berarti tidak muncul
suatu permasalahan diantaranya adanya kecenderungan pergeseran pusat kekuasaan
didaerah dari eksekutif ke tangan legislatif, diikuti pula dengan maraknya kasus-kasus
korupsi didaerah bahkan karena wewenang yang lebih besar dan luas dalam mengelola
anggaran didaerah menyebabkan pula terjadi gejala penyelewengan dan
penyalahgunaan anggaran didaerah, baik secara langsung atau tidak langsung dalam
bentuk penyalahgunaan peruntukan, baik dilakukan masing-masing pihak eksekutif
ataupun kerjasama curang diantara keduanya. Adanya laporan sejumlah media massa
makin menguatkan dugaan tersebut. Kompas online yang terbit pada Minggu, 2
Februari 2014 22:41 WIB Sepanjang tahun 2013, sebanyak 35 kepala daerah terjerat
kasus korupsi. Data tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun 2012, dimana 34
kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Peneliti Divisi Investigasi Indonesia
Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun mengatakan, korupsi berdasarkan pelaku
tak banyak perubahan dan menunjukkan kecenderungan yang sama. "35 kepala daerah
3
menjadi tersangka sepanjang tahun 2013. Anggota DPR atau DPRD yang terjerat
sebanyak 62 orang," kata Tama di kantor ICW, Jakarta, seperti dikutip dari Antara,
minggu (2/2/2014), dari data ICW sepanjang tahun 2013, direktur atau pegawai swasta
menempati urutan kedua pelaku korupsi, yakni sebanyak 274 tersangka. Sedangkan
dibawahnya ada Kepala Dinas sebanyak 108 tersangka, Direktur/pejabat/pegawai
BUMN/BUMD sebanyak 85 tersangka. "Sekurangnya 39,03 persen merupakan pihak
penyelengga pengadaan barang dan jasa seperti panitia lelang, PPK, PPTK," katanya.4
Pengawasan bukan tahap tersendiri dari daur anggaran walaupun pengawasan
sebagian besar berkaitan dengan pengawasan anggaran, namun pengawasan
sesungguhnya merupakan bagian yang penting dari pengurusan keuangan negara dan Hal diatas inilah yang membuat penyelenggaran pemerintahan daerah
terhambat sehingga diperlukan suatu bentuk pengawasan terhadap pengelolaan
keuangan daerah agar pihak yang menjalankan kekuasaan pemerintahan daerah
terhadap keuangan daerah lebih berhati-hati dan tidak hanya menguntungkan diri
sendiri tetapi juga lebih berpihak kepada masyarakat.
Konsep Pengawasan keuangan daerah tidak bisa kita pisahkan dengan konsep
pengawasan keuangan negara. Pengawasan keuangan negara dan daerah merupakan
bagian integral dari pengelolaan keuangan negara dan daerah. Pengawasan keuangan
negara dan daerah pada dasarnya mencakup segala tindakan untuk menjamin agar
pengelolaan keuangan negara dan daerah berjalan sesuai dengan rencana, ketentuan dan
undang-undang yang berlaku.
4 Kompas,
2013, 35 Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi Minggu, 2 Februari 2014 | 22:41 WIB diakses dari
daerah secara keseluruhan. Oleh karena itu bila dikaitkan dengan daur anggaran, maka
pengawasan keuangan meliputi tahap penyusunannya, tahap pelaksanaannya, maupun
tahap pertanggung jawabannya, dengan kata lain pengawasan anggaran sudah harus
dimulai sejak tahap penyusunannya dan baru berakhir pada tahap pertanggung jawaban.5
B. Perumusan Masalah
Maka segala kegiatan dan tindakan yang dilakukan untuk menjamin agar pengaturan dan
pengelolaan segala hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dalam
bentuk APBD, dapat dilakukan tidak menyimpang dari rencana yang digariskan untuk
mencapai tujuan. Artinya pengawasan keuangan daerah dapat menjamin kesesuaian
pengelolaan anggaran pendapatan daerah (APBD) dengan rencana dan tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan pengawasan yang baik maka alokasi anggaran publik yang tercermin
dalam anggaran pendapatan daerah (APBD) dapat diperuntukkan untuk kepentingan
publik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dirumuskan beberapa
permasalahan yakni sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme pengawasan keuangan daerah jika dilihat dari sudut
pandang pengawasan intern dan ekstern ?
2. Bagaimanakah hasil tindak lanjut atas pengawasan keuangan daerah yang telah
dilakukan oleh pengawasan intern dan ekstern ?
3. Bagaimanakah implikasi pengawasan keuangan daerah terhadap penguatan
otonomi daerah?
5
Nanang budi anas,pengertian dan jenis pengawasan keuangan daerah, diakses dari
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan keuangan daerah yang diliat dari
sudut pandang pengawasan keuangan derah ditinjau dari pengawasan intern dan
ekstern.
2. Untuk mengetahui hasil tindak lanjut atas pengawasan keuangan daerah yang
telah dilakukan oleh pengawasan intern dan ekstern.
3. Untuk mengetahui implikasi pengawasan keuangan daerah terhadap penguatan
otonomi daerah
D. Manfaat Penulisan a. Secara teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah
serta memberikan kontribusi pemikiran terhadap persoalan pengawasan keuangan
daerah
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama peminat
perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbangan pemikiran hukum positif.
Penelitian ini juga bermanfaat terhadap segenap masyarakat yang ingin
mengetahui bagaimana bentuk pengawasan keuangan daerah dan juga pada
pejabat-pejabat pemerintahan daerah agar dapat menjalankan keuangan daerah
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar
sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul
“Pengawasan keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah ditinjau dari
undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah” belum pernah dibahas oleh
mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta
bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Kemudian, permasalahan yang
dirumuskan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Semua
ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada
skripsi yang sama, maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya oleh penulis.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Otonomi daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsasendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.6
Selain pengertian otonomi daerah diatas para ahli juga banyak berpendapat
tentang arti dari otonomi daerah :7
a. Otonomi Daerah menurut Ateng Syarifuddin, adalah:“Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian Kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan”
b. Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah:“Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat”
c. otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein, adalah:“Pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal Berada di luar pemerintah pusat”.
d. otonomi daerah menurut Philip Mahwood, adalah:“Suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda
e. otonomi daerah menurut Mariun, adalah:“Kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang memungkinkan meeka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri.
Dari pendapat para ahli dan juga peraturan perundang-undangan dapat kita ketahui
bahwa kebebasan ataupun kewenangan untuk mengurus pemerintahan sendiri yang telah
diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adapun azas-azas dalam
otonomi daerah .
a. Sentralisasi yaitu sistem pemerintahan di mana segala kekuasaan dipusatkan di
pemerintah pusat.
b. Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
77
Lintas tulisan, pengertian otonomi daerah menurut para ahli, diakses da
c. Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
d. Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa, dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa.
Adapun prinsip-prinsip dari otonomi daerah adalah :8
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga teteap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, sehingga dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi, demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak-pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri, kawasan kehutanan, kawasan pertambangan, kawasan pedesaan, kawasan kota, kawasasan wisata, dan semacam itu berlaku ketentuan daerah otonom.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah
g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
8
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
2. Keuangan negara
Keuangan negara sangat erat hubungannya dengan keuangan daerah oleh sebab
itu ketika kita akan membahas keuanagan daerah kita terlebih dahulu memahami
keuangan negara.
Pemahaman terhadap keuangan negara, harus terlebih dahulu dipahami. Namun
juga terdapat banyak variasi dalam pengertian keuangan negara tergantung dari
aksentuasi terhadap suatu pokok persoalan dalam pemberian definisi dari para ahli dalam
bidang keuangan negara:9
a. Menurut M. Ichwan
Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kauntitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.
b. Menurut Geodhart
Keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut.
Unsur-unsur keuangan keuangan negara menurut Geodhart meliputi 1) Periodik
2) Pemerintah sebagai pelaksana anggaran
3) Pelaksanan anggaran mencakup dua wewenang yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkuta, dan
4) Bentuk anggaran negara adalah berupa suatu undang-undnag c. Menurut Glenn A. Welsch
Budget adalah suatu bentuk statment dari rencana dan kebijaksanaan manajemen yang dipakai dalam suatu periode tertentu sebagai petunjuk atau blue print dalam periode itu.
Adapun penegertian keuangan negara menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara yaitu” keuangan negara adalah semua hak
9 Riawan tjandra,
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
Pejabat yang ditugasi melakukan pengelolaan keuangan negara seharusnya harus
juga memperhatikan asas-asas keuangan daerah adapun asas-asas dari keuangan negara
sebelum berlakunya undang-undang keuangan negara adalah:10
a. Asas kesatuan, yaitu menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara disajikan dalam satu dokumen anggaran.
b. Asas univesalitas yaitu mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
c. Asas tambahan membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu, dan
d. Asas spesialitas, yaitu mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
Kemudian, dengan berlakunya undang-undang keuangan negara, terdapat lagi asas-asas bersifat baru dalam pengelolaan keuangan negara. Asas-asas pengelolaan keuangan negara yang terdapat dalam Undang-undang No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, antara lain sebagai berikut:11
a. Asas akuntabilitas yang berorintasi kepada hasil adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban pengelola keuangan negara
c. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyrakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
e. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri adalah asas yang memberikan kebebasan bagi badan pemeriksa keuangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dengan tidak boleh mempengaruhi oleh siapa pun.
10
M.Djafar Saidi,hukum keuangan negara,jakarta, Rajawali pers, 2008 hal 16
11
Ketika dilakukan penggabungan terhadap asas-asas pengelolaan keuangan
negara, baik sebelum berlakunya undang-undang keuangan negara maupun pada saat
berlakunya undang-undang keuangan negara, ternyata cukup untuk membimbing
pihak-pihak terkait dalam pengelolaan keunagan negara. Asas asas pengelolaan
keuangan negara bukan merupakan kaidah hukum/norma hukum sehingga tidak
mempunyai kekuatan yang mengikat, kecuali kekuatan moral yang yang dapat
dijadikan pedoman dalam pengelolaan keuangan negara. Sekalipun demikian,
pengelolan keuangan negara tidak boleh terlepas dari asas-asas pengelolaan keuangan
negara agar dapat menghasilkan pekerjaan terbaik sehingga tidak menimbulkan
kerugian keuangan negara.
Adapun ruang lingkup dari keuangan negara menurut pasal 2 undang-undang no
17 tahun 2003 tentang keuangan negara adalah :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan peminjaman.
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
c. Penerimaan negara. d. Pengeluaran negara. e. Penerimaan daerah. f. Pengeluaran daerah.
g. Kekayaan negara/ daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah.
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang
diperiksa oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan saat ini telah berkembang,
termasuk juga kekayaan pihak lain yang diperoleh oleh pihak yang bersangkutan
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Bahkan, kekayaan
pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah
dan/atau kepentingan umum dikategorikan pula sebagai kekayaan pemerintah yang
harus diperiksa oleh badan tersebut.12
3. Keuangan daerah
Pada saat ini para ahli serta penulis sangatlah sedikit mengemukakan pengertian
akan Keuangan Daerah, padahal Keuangan Daerah menjadi elemen yang pokok terhadap
aktivitas penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan Pasal 156
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah
sebagai berikut, Keuangan daerah adalah “semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan
milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam ketentuan umum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, adalah sebagai berikut Keuangan Daerah adalah “semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai
dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut”.
Sedangkan pengertian keuangan daerah menurut Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 29 Tahun 2002 (yang sekarang berubah menjadi Permendagri Nomor 13
12 Riawan tjandra
Tahun 2006) tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) adalah “Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termaksud didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka
anggaran pendapatan dan belanja daerah”.
Kemudian asas-asas dalam keuangan daerah juga termuat didalam Pasal 4
Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keungan daerah yaitu:
a. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
b. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.
Adapun ruang lingkup keuangan daerah terdapat dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan keuangan daerah yaitu:
a. hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman.
b. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.
c. penerimaan daerah. d. pengeluaran daerah.
e. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah. f. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
4. Teori Pengawasan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengawasan berasal dari kata “awas”
yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan
sebenarnya dari apa yang di awasi. Pengawasan bisa didefinisikan sebagai suatu
usaha sistematis oleh manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar,
rencana, atau tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah
kinerja sejalan dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan
yang diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan
seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan.
Pengertian ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara
perencanaan dan pengawasan. Seperti yang terlihat dalam kenyataan, langkah awal
proses pengawasan adalah sebenarnya langkah perencanaan, penetapan tujuan, standar
atau sasaran pelaksaan suatu kegiatan. Pengawasan membantu penilaian apakah
perencanaan pengorganisasian, penyusunan personalia, dan pengarahan telah
dilaksanakan secara efektif.13
a. Tujuan Pengawasan
Setiap kegiatan pasti memiliki tujuan begitu pula dengan pengawasan. Adapun
dari tujuan pengawasan adalah :14
1) Mengetahui lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan yang telah direncanakan.
2) Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat dengan melihat kelemahan- kelemahan, kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalan dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan-kesalahan baru.
3) Mengetahui apakah penggunaan fasilitas pendukung kegiatan telah sesuai dengan rencana atau terarah pada pasaran.
4) Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam perencanaan semula.
5) Mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan dapatkah diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut sehingga mendapatkan efisiensi yang besar .
13 Indra iman dan Siswandi,
aplikasi manajemen perusahaan,jakarta, mitra wacana media, 2007 hal 173
14
Bayu asr dan ilmu pengetahuan,pengawasan (controlling), diakses dari
b. Tipe tipe pengawasan
Ada tiga tipe pengawasan, yaitu pengawasan pendahuluan, pengawasan
“concurent”, pengawasan umpan balik. Pengawasan pendahuluan (feedforward control)
pengawasan pendahuluan, atau sering disebut steering control dirancang untuk
mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dari standart atau
tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum satu tahap kegiatan tertentu
diselesaikan jadi pendekatan pengawasan ini lebih aktif dan agresif dengan mendeteksi
masalah-masalah dan mengambil tindakan yang perlu sebelum suatu masalah terjadi.
Pengawasan yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan (concurrent
control) pengawasan ini sering disebut pengawasan “ya-tidak” , sreening control
berhenti – terus dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung. Tipe pengawasan ini
merupakan proses dimana aspek tertentu dari suatu prosedur harus disetujui dulu, atau
syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan-keguatan bisa dilanjutkan, atau
menjadi semacam peralatan “double check” yang lebih menjamin ketepatan pelaksanaan
suatu kegiatan. Pengawasan umpan balik (feedback control). Pengawasan umpan balik,
juga dikenal sebagai past-action controls. Mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang
telah diselesaikan, sebab- sebab penyimpangan dari rencana atau standar ditentukan, dan
penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-kegiatan serupa dimasa yang akan
datang. Pengawasan ini bersifat historis, pengukuran dilakukan setelah kegiatan terjadi.15
c. Asas-asas pengawasan
15 Indra iman dan Siswandi
Dalam mencapai pelaksanaan pengawasan, terdapat beberapa asas-asas yang harus
diperhatikan antara lain : 16
1) Asas tercapainya tujuan, ditujukan ke arah tercapainya tujuan yaitu dengan mengadakan perbaikan untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan atau deviasi perencanaan.
2) Asas efisiensi, yaitu sedapat mungkin menghindari deviasi dari perencanaan sehingga tidak menimbulkan hal-hal lain diluar dugaan. 3) Asas tanggung jawab, asas ini dapat dilaksanakan apabila pelaksana
bertanggung jawab penuh terhadap pelaksana perencanaan.
4) Asas pengawasan terhadap masa depan, maksud dari asas ini adalah
pencegahan penyimpangan perencanaan yang akan terjadi baik di waktu sekarang maupun di masa yang akan datang.
5) Asas langsung, adalah mengusahakan agar pelaksana juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan.
6) Asas refleksi perencanaan, bahwa harus mencerminkan karakter dan susunan perencanaan.
7) Asas penyesuaian dengan organisasi, bahwa pengawasan dilakukan sesuai dengan struktur organisasi dan kewenangan masing-masing.
8) Asas individual, bahwa pengawasan harus sesuai kebutuhan dan ditujukan sesuai dengan tingkat dan tugas pelaksana.
9) Asas standar, bahwa pengawasan yang efektif dan efisien memerlukan standar yang tepat, yang akan digunakan sebagai tolak ukur pelaksanaan dan tujuan.
10)Asas pengawasan terhadap strategis, bahwa pengawasan yang efektif dan efisien memerlukan adanya perhatian yang ditujukan terhadap faktor-faktor yang strategis.
11)Asas kekecualiaan, bahwa efisiensi dalam pengawasan membutuhkan perhatian yang di tujukan terhadap faktor kekecualian yang dapat terjadi dalam keadaan tertentu, ketika situasi berubah atau tidak sama.
12)Asas pengendalian fleksibel bahwa pengawasan harus untuk menghindarkan kegagalan pelaksanaan perencanaan.
13)Asas peninjauan kembali, bahwa pengawasan harus selalu ditinjau, agar sistim yang digunakan berguna untuk mencapai tujuan.
14)Asas tindakan, bahwa pengawasan dapat dilakukan apabila ada ukuran-ukuran untuk mengoreksi penyimpangan-penyimpangan rencana, organisasi dan pelaksanaan.
D. Prinsip-Prinsip Pengawasan
Pengawasan saat ini telah mencakup kegiatan pengendalian, pemeriksaan, dan
penilaian terhadap kegiatan. Oleh karena pengawasan tersebut mempunyai sifat
16 Bayu asr dan ilmu pengetahuan,pengawasan (
controlling), diakses dari
menyeluruh dan luas, maka dalam pelaksanaanya diperlukan prinsip-prinsip pengawasan
yang dapat dipatuhi dan dijalankan, adapun prinsip-prinsip pengawasan itu adalah
sebagai berikut :17
1. Objektif dan menghasilkan data, Artinya pengawasan harus bersifat objektif dan harus dapat menemukan fakta-fakta tentang pelaksanaan pekerjaan dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
2. Berpangkal tolak dari keputusan pimpinan, Artinya untuk dapat mengetahui dan menilai ada tidaknya kesalahan-kesalahan dan penyimpangan, pengawasan harus bertolak pangkal dari keputusan pimpinan yang tercermin dalam:
a. Tujuan yang ditetapkan
b. Rencana kerja yang telah ditentukan
c. Kebijaksanaan dan pedoman kerja yang telah digariskan d. Perintah yang telah diberikan
e. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
3. Preventif, Artinya bahwa pengawasan tersebut adalah untuk menjamin tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, yang harus efisien dan efektif, maka pengawasan harus bersifat mencegah jangan sampai terjadi kesalahan- kesalahan berkembangnya dan terulangnya kesalahan-kesalahan.
4. Bukan tujuan tetapi sarana, Artinya pengawasan tersebut hendaknya tidak dijadikan tujuan tetapi sarana untuk menjamin dan meningkatkan efisiensi dan efekt ifitas pencapaian tujuan organisasi.
5. Efisiensi, Artinya pengawasan haruslah dilakuan secara efisien, bukan justru menghambat efisiensi pelaksanaan kerja.
6. Apa yang salah, Artinya pengawasan haruslah dilakukan bukanlah semata- mata mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah, bagaimana timbulnya dan sifat kesalahan itu.
7. Membimbing dan mendidik, Artinya “pengawasan harus bersifat membimbing dan mendidik agar pelaksana dapat meningkatkan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang ditetapkan.
Dilihat dari segi subjek atau petugas control atau yang melakukan pengawasan,
maka pengawasan dapat dibedakan atas :18
1. Pengawasan internal, yakni pengawasan yang dilakukan oleh petugas-petugas dari organisasi atau perusahaan atau jawatan yang sedang melaksanakan kegiatan.
2. Pengawasan eksternal, adalah pengawasan yang dilancarkan oleh petugas-petugas dari luar organisasi ataupun perusahaan atau jawatan yang
17 Bayu asr dan ilmu pengetahuan,pengawasan (
controlling), diakses dari
20:02 Wib ibid
18
bersangkutan, baik merupakan pengawasan dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat umum.
3. Pengawasan formal, yakni pengawasan yang dilakukan oleh petugas-petugas resmi atau petugas-petugas yang sudah ditunjuk sebelumnya dan biasanya dilakukan sesuai dengan rencana, program maupun jadwal yang sudah ditetapkan semula.
4. Pengawasan informal, yakni pengawasan yang dilakukan petugas-petugas yang ditunjuk sewaktu-waktu, dilakukan oleh petugas tidak resmi dan sering kali pengawasan jenis ini dilakukan seketika jika terjadi hal-hal yang tidak dibenarkan menurut rencana serta sering dilakukan di luar program dan jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Pengawasan manajerial adalah pengawasan yang dilakukan oleh manajer atau pemimpin, biasanya menyangkut segala sesuatu yang berkenaan dengan proses manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian dan penggerakan orang-orang.
6. Pengawasan staf, yakni pengawasan yang dilakukan oleh staf yang memang diberi tugas untuk melakukan pengawasan dalam bidang-bidang kegiatan tertentu.
E. Pengawasan dan pemeriksaan
Pemeriksaan dalam bahasa inggris disebut sebagai audit. Istilah ini digunakan untuk
menghindari sulitnya mencari batasan dari kata pemeriksaan, didalam kegiatannya pun
kedua istilah tersebut memang sukar dilepaskan begitu saja dimana pengawasan itu
sendiri adalah proses pengamatan daripada seluruh kegiatan lembaga atau organisasi
untuk menjamin agar pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan sesuai rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya sehingga kedua istilah tersebut yaitu pengawasan dan
pemeriksaan sangatsusah dilepaskan karena pemeriksaan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pengawasan.19
Badan pengawasan keuangan daerah yaitu Inspektorat provinsi Kabupaten/kota dan
juga Badan Pemeriksan Keuangan, disini terdapat dua istilah yaitu inspektorat sebagai
badan pengawas Keuangan Pemerintah daerah dan juga Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sebagai badan yang melakukan pemeriksaan keuangan daerah sehingga dapat
19 Busroh Abu Daud,
dilihat bahwa Inspektorat provinsi kabupaten/kota dengan Badan Pemeriksa Keuangan
merupakan satu kesatuan dalam melakukan pengawasan keuangan daerah.
F. Pengawasan beradasarkan obyeknya
Pengawasan berdasarkan obyeknya tidak hanya membahas dari segi pengeluaran,
tetapi juga dari segi penerimaan. Hal ini disebabkan karena banyak yang hanya
membahas pengawasan terhadap pengeluaran keuangan daerah sedangkan dibidang
penerimaan kurang mendapat perhatian. Pengawasan terhadap obyeknya dapat
dibedakan menjadi dua penerimaan dan pengeluaran negara maka dari itu penulis akan
menguraikan penerimaan dan pengawasan.
a) Pengawasan terhadap penerimaan pajak dan bea cukai
Pengawasan terhdapa penerimaan pajak dilakukan oleh fiscus (Kantor
Insfeksi Pajak) sedangkan penerimaan bea dan cukai dilakukan oleh
Inspek bea dan cukai. Pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh
inspeksi pajak ditujuakan kepada orang maupun badan hukum sedangkan
pengawasan dan pemeriksaan dari kepala inspeksi bea dan cukai ini
ditujukan kepada bendaharawan penyetor.20
b) Pengawasan terhadap penerimaan bukan pajak
Yang termasuk penerimaan bukan pajak seperti pengelolaan dana
pemerintah, pemanfaatan sumber daya alam, hasil-hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dilakukan pengawasan oleh Kantor
Perbendaharaan Negara (PKN) terhadap jumlah setoran yang akan
diterima dari bendaharawan setiap instansi. 21
c) Pengawasan terhadap pengeluaran negara
20
Bohari, Pengawasan Keuangan Negara, Rajawali Press, Jakarta,1992,hlm 17
21
Pengawasan terhdap pengeluaran negara lebih kompleks daripada
pengawasan terhadap penerimaan negara, karena pengawasannya tidak
hanya dilakukan dalam waktu sedang atau sesudah operasional
pengeluaran tetapi juga dilakukan pada waktu sebelum diadak pengeluaran
contohnya pengawasan yang dilakukan sebelum daiadakannya
pengeluaran yaitu berada dalam tahap perencanaan pengangganggran
terhadap Daftar Usulan Proyek (DUP) dan Daftar Usulan Kegiatan
(DUK), pengawasan ini dilakukan langsung oleh atasan.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode
penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu
suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is
written in the book), maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan
(law it is decided by the judge through judicial process).22
1. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer dalam tulisan ini
diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peraturan
perundang-undangan lain.
Data yang disajikan dalam skripsi ini diambil dari data sekunder, antara lain :
2. Bahan hukum sekunder, semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian
yang berkaitan dengan kementerian negara, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal
22 Amiruddin dan Zainal Asikin,
hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari
internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
3. Bahan hukum tersier, semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan
yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,
ensiklopedia dan lain-lain.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder. Adapun data
sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari
buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil
dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya diuraikan
secara sistematis dan diperlukan suatu sistematika penulisan yang teratur. Dimana
penulis membagi menjadi bab per bab dan masing-masing bab ini saling berkaitan
antara satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas
mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian keuangan daerah, ruang
Bab III: Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum pengawasan
keuangan daerah mengenai tentang pengertian pengawan keuangan daerah,
jenis-jenis pengawasan keuangan daerah dan ruang lingkup pengawasan
keuangan
Bab IV: Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengawasan keuangan daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah pembahasan mengenai mekanisme
pengawasan intern dan ekstern tindak lanjut atas pengawasan keuangan
daerah dan implikasi pengawasan keuangan daerah terhadap penguatan
otonomi daerah
Bab V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran mengenai
BAB II
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN KEUANGAN DAERAH A. Pengertian Keuangan Daerah
Pengelolan keuangan daerah merupakan bagian integral dari manajemen anggaran
publik yang mencerminkan rangkaian perhitungan anggaran dan pendapatan (belanja)
pemeritah negara yang meliputi proses: penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan
pengawasan (evaluasi) pendayahgunaan keuangan. Hal ini berarti bahwa segmen
pengelolaan keuangan daerah menjadi bagian inti komponen obyektif pembicaraan
kebijakan publik.
“Menurut Thomas R Dye, kebijakan publik pada hakikatnya menyangkut pilihan pemerintah untuk berbuat atau tidak berbuat (to do or not to do) maka keuangan daerah secara manajerial dalam lingkup kebijakan publik menyangkut suatu pilihan bagi pemerintah untuk melakukan aktivitas finansial. Langkah pemerintah melalui perangkat hukum menjadi sesuatu yang penting dalam penentuan arah kebijakan keuangan.”23
Berdasarkan beberapa penegertian keuangan daerah diatas dapat pahami tujuan
utama peraturan yang dibuat bukan hanya keinginan untuk melimpahkan wewenang
dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi hal yang lebih
penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan
kepada masyarakat agar terjadi pemerataan kesejahteraan dan juga untuk semangat Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut, Keuangan daerah adalah “semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai
dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik
daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
23 Soekarwo,
desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan
dalam mewarnai penyelenggaraan pemerintah pada umumnya dan proses pengelolaan
keuangan daerah pada khususnya.
Dalam pengelolaan keuangan daerah yang baik akan bermuara pada peningkatan
hasil pendapatan daerah dan meningkatnya usaha-usaha pembangunan di daerah
tersebut. Kepala daerah yaitu Gubernur Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah. Dalam melaksanakan tugasnya kepala daerah dapat
melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasannya yang berupa perencanaan,
pelaksanaan, penataushaan, pelaporan dan pertanggung jawaban, serta pengawasan
keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah.24
B. Ruang Lingkup Keuangan Daerah
Ruang lingkup keuangan daerah beradarkan pasal 2 peraturan pemerintah nomor 58
tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah meliputi:
1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;
2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan daerah; 4. Pengeluaran daerah;
5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah;
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
Adapun penjabaran dari ruang lingkup keuangan daerah diatas adalah:
1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman
24
Pasal 23A UUD 1945 yaitu pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pasal 157 Undang-undang No. 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah menyatakan sumber pendapatan asli daerah salah
satunya adalah pajak daerah. Hak daerah merupakan kekuasaan daerah dalam memungut
pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman,
Pasal 1 ayat (10) Undang-undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah menjelaskan pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Pasal 2 Undang-undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah menjelaskan jenis-jenis pajak di provinsi kabupaten/kota ialah sebagai berikut :
a. Jenis Pajak provinsi terdiri atas: 1) Pajak Kendaraan Bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 4) Pajak Air Permukaan; dan
5) Pajak Rokok.
b. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: 1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran; 3) Pajak Hiburan; 4) Pajak Reklame;
5) Pajak Penerangan Jalan;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 7) Pajak Parkir;
8) Pajak Air Tanah;
9) Pajak Sarang Burung Walet;
10)Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan 11)Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Peluang untuk memperoleh pendapatan daerah dari pajak daerah terbuka
selebar-lebarnya, sekalipun Undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan
kota masih diberi kesempatan untuk menggali potensi sumber keuangan yang ada
diwilayahnya dengan menetapkan sebagai jenis pajak selain yang ditetapkan dengan
undang-undang asal saja memenuhi kriteria atau indikator yang ditentukan dan sesuai
dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat setempat. Dengan demikian harus
dipastikan bahwa potensi penerimaan tersebut memeang layak untuk ditetapkan sebgai
suatu pajak. Artinya potensinya selalu ada secara terus menerus, tidak bersifat insidentil.
Adanya peluang yang diberikan oleh Undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang
pajak dan retribusi daerah kepada daerah untuk menggali sumber keuangan daerah
sebagai jenis pajak sendiri telah ditanggapi keliru oleh sementara pemerintah daerah
sehubungan dengan euforia reformasi dan otonomi seluas-luasnya yang diberikan oleh
Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang diganti dengan Undang-undang No. 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah dalam bentuk menerbitkan berbagai peraturan daerah
tentang berbagai jenis pungutan yang menyebabkan timbulnya ekonomi biaya tinggi dan
menyesengsarakan sementara masyarakat. Sehingga telah jauh melenceng dari semangat
otonomi yang sesungguhnya. Itulah yang menyebabkan banyak peraturan daerah yang
harus dibatalkan oleh pemerintah pusat saat ini sebanyak 703 buah peraturan daerah
tentang pajak dan retribusi daerah bakal dibatalkan, karena diduga menghambat inventasi
didaerah. Data departemen dalam negeri menyebutkan dari tahun 2002 sampai 2007
pemerintah telah membatalkan sebnayak 700 perda tentang pajak, retribusi dan pungutan
lain. Dari jumlah itu sebagian besar adalah peraturan daerah tentang retribusi yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan menimbulkan ekonomi biaya
telah dibatalkan akan dikenakan sanksi penundaan dan pengurangan dana
perimbangan.25
Dengan demikian retribusi merupakan pemasukan yang berasal dari usaha
pemerintah daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang ditujukan untuk
memenuhi kepentingan masyarakat baik individu maupun badan korporasi dengan
kewajiban memberikan pengganti berupa uang sebagai pemasukan kas daerah. Retribusi Pasal 1 ayat (64) Undang-undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah menjelaskan. Retribusi Daerah adalah “pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan” .
Retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah hal ini terdapat
dalam pasal 157 huruf a angka 2 undang-undang no 32 tahun 2004. Pemungutan retribusi
harus diatur dengan undang-undang. Saat ini undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang
pajak dan retribusi daerah, dikaitkan dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, maka daerah dilarang
menetepkan peraturan daerah retribusi yang akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi,
dan menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan
kegiatan impor/ekspor. Ketentuan mengenai retribusi daerah diarahkan untuk
memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah dalam retribusi daerah melalui
perluasan basis retribusi dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif retribusi yang
bersangkutan, antara lain dengan menambah jenis retribusi baru dan diskresi penetapan
tarif yang dilakukan dengan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada daerah dengan
menetapkan tarif maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang.
25 Ujang bahar,
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu retribusi umum, retribusi jasa usaha dan retribusi
perizinan tertentu.
Pajak dengan retribusi memiliki persamaan yaitu sebagai iuran yang
dibayarkan kepada negara namun pajak dan retribusi ini juga memiliki perbedaan
yaitu pajak Masyarakat tidak menerima balas jasa secara langsung atas pungutan yang
dibayarnya, pemungutannya dapat dipaksakan dan bagi mereka yang tidak membayar
pajak dikenakan sanksi hukum yang berlaku, setiap warga negara sesuai ketetapan
peraturan merupakan objek pajak dan dipungut oleh pemerintah pusat. Sedangkan
Retribusi , Masyarakat menerima balas jasa secara langsung atas pungutan yang
dibayarnya, pemungutannya hanya dapat dipaksakan kepada mereka yang
menggunakan fasilitas negara,objek retribusi hanyamereka yang menggunakan
fasilitas negara,pemungutannya oleh pemerintah daerah.
Daerah dapat melakukan pinjaman kepada pihak lain untuk melakukan pembangunan
daerah atau pun hal penting mengenai pengelolaan keuangan. Dalam hal ini pinjaman
daerah merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan bagi keuangan daerah untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman tersebut seharusnya dikelola
secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta
stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.
Sebagaimana diketahui dengan adanya otonomi daerah yang seluas-luasnya kepada
Pemda, berdampak pada peningkatan kebutuhan daerah untuk pembiayaan
pembangunan. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan daerah diterima dari dana
perimbangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Beberapa daerah yang
dapat menggunakan dana bagi hasil untuk melakukan pembangunan daerahnya
sedangkan bagi daerah-daerah miskin yang tidak memiliki sumber daya alam masih
tergantung kepada dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang dianggarkan dalam
setiap tahunnya sehingga dengan terbitnya Undang-undang No 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah
memberikan peluang kepada Pemda untuk melakukan pinjaman daerah.26
a. Pemerintah;
Pasal 51 ayat (1) Undang-undang No. 33 tahun 2004 menentukan bahwa pinjaman
daerah dapat diterima dari beberapa sumber baik yang berasal dari dalam negeri maupun
pinjaman luar negeri sumber dimaksud adalah :
1) Pendapatan Dalam Negeri (Rekening Pembangunan Daerah);
2) Pinjaman Luar Negeri (Subsidiary Loan Agreement (SLA)/on-lending)
b. Pemerintah daerah lain;
c. Lembaga Keuangan Bank;
d. Lembaga Keuangan bukan Bank; dan
e. Masyarakat.
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima
sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga
Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan melalui Menteri
Keuangan, sedangkan pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat berupa Obligasi
Daerah diterbitkan melalui pasar modal.
26
Adapaun jenis dan jangka waktu pinjaman daerah adalah sebagai berikut:27
a. Pinjaman Jangka Pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu
kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran
kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) seluruhnya harus
dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
b. Pinjaman Jangka Menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka
waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) harus dilunasi dalam kurun
waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
c. Pinjaman Jangka Panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu
lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman
(pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) harus dilunasi pada tahun-tahun
anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang
bersangkutan.
2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga
Dengan terbitnya undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan undang-undang no 33
tahun 2004 telah menimbulkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan negara
dan daerah diindonesia sehubungan dengan paradigma tersebut beberapa hal perlu
dikemukakan adalah:28
a. Aspek perencanaan
b. Aspek penyusunan anggaran
c. Aspek pelaksanaan anggaran
27
Ibid hal 208
28 Ujang bahar,
d. Aspek pemeriksaan dan pertanggung jawaban keuangan negara
e. Kebijakan dana perimbangan
f. Transfer belanja daerah
Maka dari itu penulis akan mencoba menguraikan satu persatu
a. aspek perencanaan.
Sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik akan dimulai dari
perencanaan dengan mengkaitkan kebijakan, perencanaan dan penganggaran akan
tercipta output akan tercipta pengelolaan keuangan daerah yang jelas dan sinkron
dengan berbagai kebijakan pemerintah dan tidak menimbulkan tumpang tindih
program dan kegiatan.
b. Aspek penyusunan anggaran
Pihak yang berwenang dalam penyusunan anggaran daerah adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah. Pemerintah
mengajukam anggaran tahunan daerah kepada DPRD untuk disetujui atau
menolak anggaran yang diajukan oleh Pemerintah Daerah. Proses ini diawali
dengan penyampaian kebijakan umum anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD), sejalan dengan rencana kerja pemerintah daerah sebagai landasan
penyusunan Rancangan anggaran pendapatan dan belanda daerah (RAPBD)
kepada DPRD untuk dbahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD
berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD,
Pemeritah daerah dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran
sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap satuan kerja perangkat daerah
(SKPD).29
c. Aspek pelaksanaan anggaran
Beberapa hal yang berhubungan dengan perubahan aspek pelaksanaan
anggaran dalam Undang-undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah
mengenai peran dan tanggung jawab para pejabat pelaksana anggaran, sistem
pengawasan pengeluaran dan sistem pembayaran, manajemen kas dan
perencanaan keuangan, pengelola piutang dan utang, pengelolaan investasi,
pengelolaan barang milik daerah, larangan penyitaan barang milik negara/daerah,
penatausahaan dan pertanggung jawaban APBD, akuntansi dan pelaporan,
mengingat adanya perbedaan kaeahlian yang dibutuhhkan dalam pelaksaan
anggaran dan pelaksaan fungsi perbendaharaan, serta mengacu pada best practice
tentang pemisahan fungsi untuk mewujudkan pengawasan internal yang handal
dan fungsi perbendaharaan yang dipisahkan dengan fungsi anggaran.30
d. Aspek pemeriksaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
Berkaitan dengan pemeriksaan yang telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan
Negara. Didalamnya terdapat dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan intern dan
pemeriksaan ekstern. Sejalan dengan amandemen UUD 1945 pemeriksaan
pemeriksaan ini dilakukan oleh suatu badan pemeriksaan keuangan yang mandiri
dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK sebagai auditor independen
akan melakukan audit sesuai dengan standart audit yang berlaku dan akan
memberikan pendapat atas laporan keuangan. Kewajaran atas laporan keuangan
pemerintah ini diukur dari kesesuaiannya terhadap standart akuntansi pemerintah.
30 Ujang bahar,
BPK berfungsi sebagai aparat pengawasan ekstern pemerintah. Sementara aparat
pengawasan intern pemerintah terdapat banyak lembaga seperti Badan Pengawasan
Keuangan Dan Pembangunan (BPKP), inspektorat provinsi kabupaten/kota.31
e. Kebijakan dana perimbangan
Dalam konteks hubungan anatara pusat dan daerah dana perimbangan telah
memainkan peranan yang strategis dalam mengurangi ketimpangan fiskal anta pusat
dan daerah. Karenanya pemahaman dan penerapan konsep dana perimbangan harus
melibatkan berbagai disiplin ilmu dan memerlukan masukan dari banyak pihak.
Kesalahan dalam menerapkan konsep dana perimbangan baik dalam tataran
konsepsi, kebijakan dan implementasinya akan dapat mengusik rasa keadilan yang
ujung-ujungnya dapat menyeret disintegrasi bangsa. Karena itu masalah
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah harus selalu di perbarui dan ditinjau
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi serta nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan
berkembang dimasyarakat. Penijauan secara teratur perlu dilakukan untuk menjamin
kepekaan terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial,
politik, ketetanegraan, ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik
ekonomi dunia. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi dan kebutuhan fiskal daerah.32
f. Transfer belanja daerah
Sebagai salah satu fokus utama pembangunan nasional, negara memprioritaskan
APBN untuk meningkatkan belanja daerah melalui efisinsi anggaran belanja pusat
dengan mengalihkan dana tersebut untuk belanja modal daerah. Terkait hal ini
31
Ujang bahar, ibid hal 132
32 Ujang bahar,
kedepan diharapkan anggaran belanja barang dan belanja modal pemerintah pusat
dapat dialihkan untuk pembangunan sejumlah infrastruktur strategis seperti bidang
pertania, perairan, pendidikan, kesehatan dan trasnsportasi diseluruh daerah ditanah
air. Penambahan alokasi transfer kedaerah tersebut menuntut kesiapan daerah,
karena jika daerah tidak siap maka pengalihan dana tersebut tidak efisien dan
selanjutnya tidak akan berdampak pada pertumbuhan daerah. Disamping itu
instrumen dan mekanisme pengalokasiannya harus tetap diperhatikan. Karenanya
dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah, maka penyerahan pelimpahan dan
penugasan urusan pemerintah kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab,
juga diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional
secara proporsional, demokratis, adil dan transfaran, dengan memperhatikan potensi,
kondisi dan kebutuhan daerah.33
33 Ujang bahar,
ibid