• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN

(Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)

MERINA JAYANTIKA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Merina Jayantika

(4)

MERINA JAYANTIKA. Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak tahun 1982/1983. Setiap tahunnya areal yang terbakar semakin meluas, hal ini salah satunya disebabkan oleh semakin banyaknya hutan yang dikonversi menjadi perkebunan, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya. Indikator yang umum digunakan sebagai deteksi dini kebakaran hutan dan lahan adalah titik panas (hot spot), yang diperoleh dari satelit pengindraan jauh meteorologi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola sebaran titik panas di Kabupaten Kapuas, menganalisis perubahan penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Kapuas, menganalisis hubungan antara titik panas dengan perubahan penutupan/ penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas, dan menganalisis hubungan antara titik panas dengan anomali curah hujan di Kabupaten Kapuas. Sebaran titik panas selama tahun 2005 sampai 2011 terindikasi maksimum pada tahun 2006 dan 2009, hal ini diduga karena adanya pengaruh kekeringan panjang (El-Nino), sehingga intensitas kebakaran meningkat. Selama tahun 2005 sampai 2011, titik panas banyak teridentifikasi pada belukar rawa, belukar, perkebunan, hutan rawa sekunder, dan hutan lahan kering sekunder. Titik panas yang teridentifikasi pada lokasi tersebut, kemungkinan karena adanya kebakaran akibat persiapan lahan pertanian atau perkebunan. Hal itu ditandai dengan adanya peningkatan perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan sekitar 49.5%, sedangkan luas hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering sekunder menurun masing-masing sebanyak 19.02% dan 7.83%. Anomali curah hujan juga diduga dapat mempengaruhi jumlah titik panas. Ketika curah hujan dalam kondisi di bawah normal, maka titik panas yang teridentifikasi akan lebih banyak dibandingkan saat curah hujan berada di atas normal.

(5)

MERINA JAYANTIKA. Relationship between Hotspot and Land Cover/Use Change (A Case Study: Kapuas District, Central Kalimantan Province).

Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA

GANDASASMITA.

Land and forest fires in Indonesia have become a serious problem since 1982/1983. Annually the area that was burned widespread, which is caused by the increasing number of forest converted to plantations, agriculture, settlements, and so forth. Indicator commonly used for early detection of forest and land is hotspots, obtained from a meteorology satellite remote sensing. The objectives of this research are to analyze the distribution pattern of hotspots in Kapuas District, analyzed land cover/use change in Kapuas District, analyzed the relationship between hotspots and land cover/use change in Kapuas District, and analyzed the relationship hotspots and rainfall anomaly in Kapuas District. The maximum distribution of hotspots during 2005 to 2011 was indicated in 2006 and 2009; it was expected because of the effect of long term dryness (El-Nino), so the intensity of the fire increased. During 2005 to 2011, many hotspots identified in shrub swamps, shrub, plantations, secondary swamp forest, and secondary upland forest. Hotspots are identified on the site, possibly due to a fire caused by the preparation of agriculture or plantation. It is marked by an increase in land cover change to plantation up to 49.5%, while the secondary swamp forest and secondary upland forest decreased up to 19.2% and 7.83%. The rainfall anomaly is also expected to be able to affect the number of hotspots. When rainfall in the condition of subnormal, then hotspot identified more than when rainfall was above normal.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penilisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN

(Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)

MERINA JAYANTIKA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

(8)
(9)

Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)

Nama : Merina Jayantika

NIM : A14080064

Disetujui oleh

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc.

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(10)

Alhamdulillah. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Desember 2012 ini ialah pola titik panas, dengan judul Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah).

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. M. Ardiansyah selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi utama serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc selaku pembimbing dua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran, arahan, dan bimbingannya kepada penulis.

2. Dr. Khursatul Munibah, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran.

3. Keluarga tercinta bapak, ibu, dan dede Arif Wahyu Suhada atas doa, kasih sayang, motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung berhenti kepada penulis.

4. Proyek Columbia University and Institut Pertanian Bogor Partnership to Build Capacity for Adaptation to Climate Risk in Indonesia yang telah memberikan dukungan data dan dana dalam penelitian ini.

5. Bang Ikhsan Aditya yang telah membantu selama pengumpulan data dan dengan sabar membimbing penulis dalam pengolahan data.

6. Kak Hanna Aditya Januarisky dan Chaida Chairunnisa yang selalu direpotkan dan menjadi teman diskusi penulis.

7. M. Khairi Fuad A. Jambak, saudara-saudara SOIL 45 terutama teman seperjuangan Bagian Pengindraan Jauh dan Informasi Spasial, sahabat Pink House Perwira (Rani, Risty, Fitri, dan Nimas), serta sahabat panjen yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih atas canda tawa, masukan, dukungan, dan kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari kalian.

8. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juni 2013

(11)

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan 2

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Titik Panas 3

2.1.1 NOAA-AVHRR 3

2.1.2 MODIS 4

2.1.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas 6

2.2 Kebakaran Hutan 10

2.2.1 Bahan Bakar 10

2.2.2 Cuaca 11

2.2.3 Waktu 11

2.2.4 Topografi 12

2.3 Interpretasi Citra 12

2.4 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan 14

2.5 Citra Satelit Landsat 7 ETM+ 15

III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 16

3.2 Alat dan Bahan 16

3.3 Metode Penelitian 16

3.3.1 Tahap Persiapan 17

3.3.2 Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Data 17

3.3.3 Tahap Analisis Data Spasial 18

IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis 20

4.2 Topografi 20

4.3 Iklim 21

4.4 Jumlah Penduduk 21

(12)

5.1 Kepadatan Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005 - 2011 23 5.2 Perubahan Penutupan/Pengggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas

Tahun 2005 – 2011 24

5.3 Sebaran Titik Panas pada Penutupan/Penggunaan Lahan 31 5.4 Analisis Hubungan antara Sebaran Titik Panas dengan Perubahan

Penutupan/Penggunaan Lahan 38

5.5 Analisis Hubungan antara Sebaran Titik Panas dengan Curah Hujan 41 VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan 44

6.2 Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 47

(13)

1 Karakteristik panjang gelombang satelit NOAA-AVHRR 4

2 Karakteristik panjang gelombang satelit MODIS 5

3 Karakteristik panjang gelombang satelit Landsat 7 ETM+ 15

4 Bahan yang digunakan dalam penelitian 16

5 Akuisisi citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Kapuas 17

6 Luas penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2011 25

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 19

2 Peta lokasi studi 20

3 Jumlah titik panas tahun 2005-2011 23

4 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2006 26 5 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2006-2007 27 6 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2007-2008 27 7 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2008-2009 28 8 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2009-2010 29 9 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2010-2011 29 10 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan selama rentang waktu

tahun 2005 sampai tahun 2011 30

11 Sebaran titik panas masing-masing penutupan/penggunaan lahan

pada satelit NOAA-AVHRR dan MODIS 31

(14)

perkebunan 39 23 Pertanian lahan kering tetap menjadi pertanian lahan kering dan sawah

tetap menjadi sawah 40

24 Sebaran titik panas bulanan satelit MODIS dan NOAA-AVHRR tahun

2005 – 2011 41

25 Hubungan titik panas satelit MODIS dan NOAA-AVHRR dengan

anomali curah hujan tahun 2005- 2009 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sistem klasifikasi penggunaan lahan menurut Badan Planologi

Kementerian Kehutanan 47

2 Peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009,

2010, dan tahun 2011 52

3 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2006 54 4 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2006-2007 55 5 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2007-2008 56 6 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2008-2009 57 7 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2009-2010 58 8 Data perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2010-2011 59

9 Data titik panas dan curah hujan 60

(15)

1.1 Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan, ekonomi, sosial dan politik, karena dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini belum juga dapat ditangani secara tuntas. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak tahun 1982/1983, berawal di Kalimantan Timur mencapai luas 3.6 juta ha, yang terjadi karena adanya musim kering panjang yang disebabkan oleh El-Nino (Suratmo 2003). Sejak tahun 1991 peristiwa El-Nino lebih sering terulang dan makin panjang, yaitu setiap tiga tahun sehingga menimbulkan kebakaran yang makin meluas. Beberapa pakar berpendapat bahwa makin meluasnya areal yang terbakar sejak tahun 1991 disebabkan oleh makin banyaknya hutan alam yang diubah menjadi hutan produksi (HPH dan HTI), perkebunan, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya. Perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akibat peningkatan jumlah penduduk (Suratmo 2003).

Kebakaran disebabkan oleh faktor alami dan faktor buatan. Aktivitas vulkanis seperti adanya aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi dan sambaran petir saat musim kemarau adalah faktor alami. Faktor buatan dibedakan menjadi isengaja dan tidak disengaja. Faktor buatan yang disengaja misalnya adalah aktivitas manusia dalam mempermudah perburuan, pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan industri. Sementara, faktor buatan yang tidak disengaja seperti kecerobohan membuang puntung rokok secara sembarangan atau lupa mematikan api di perkemahan. WWF-Indonesia menyebutkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah faktor aktivitas manusia, antara lain adalah pembukaan dan konversi lahan untuk perladangan dan perkebunan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan perusahaan dengan cara dibakar (Pamungkas 2012).

Dampak dari kebakaran hutan antara lain adalah kerusakan lingkungan hidup flora dan fauna; pencemaran udara; gangguan kesehatan manusia yang disebabkan oleh asap; gangguan terhadap kegiatan transportasi, pendidikan, dan ekonomi; serta menimbulkan banyak keluhan dari negara tetangga akibat asap kiriman. Mengingat dampak buruk yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan, perlu dilakukan deteksi dini sebagai upaya pengendalian agar kebakaran dapat dicegah atau tidak semakin meluas. Salah satu upaya pengendalian tersebut dengan pemantauan titik panas.

(16)

kebakaran hutan/lahan, prediksi kebakaran hutan/lahan berdasarkan pola penyebaran titik panas.

Bulan Agustus 2009 titik panas di Kabupaten Kapuas, Kalimantan tengah meningkat tiga kali lipat yaitu sebanyak 108 titik dari bulan sebelumnya yang berjumlah 48 titik. Data tersebut diperoleh dari pantauan satelit NOAA 19. Peningkatan titik panas tersebut diduga karena adanya pembakaran lahan terlantar, perkebunan maupun lahan pertanian yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab (Titik Api di Kapuas Meningkat 3 Kali Lipat 2009).

Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Data titik panas bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi seperti jaringan jalan, jaringan sungai, penggunaan dan penutupan lahan, jenis tanah, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi apakah sebaran titik panas berhubungan erat dengan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan dan hutan, dan bagaimana pula hubungannya dengan kondisi iklim saat itu.

1.2 Tujuan

1. Menganalisis pola sebaran titik panas di Kabupaten Kapuas tahun 2005 sampai 2011.

2. Menganalisis perubahan penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Kapuas tahun 2005 sampai 2011.

3. Menganalisis hubungan antara titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas.

(17)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Titik Panas

Titik panas adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009 pasal 1 angka 9). Istilah untuk menunjukan titik yang memiliki suhu lebih tinggi dari nilai ambang batas. Data titik panas dapat diperoleh dari satelit penginderaan jauh yaitu sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) dan Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Titik panas yang ditangkap oleh satelit akan diproyeksikan menjadi suatu pixel yang juga akan menunjukkan koordinat geografisnya. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, Aqua, dan Terra setara dengan ±1 km2. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 km2. Jika terjadi

kebakaran pada koordinat tertentu, koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah pixel, meskipun kebakaran yang terjadi berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 km2 dari lokasi koordinat titik panas tersebut (Purwanto 2012). Oleh sebab itu, titik panas dari lokasi kebakaran di lapang dapat bergeser hingga radius ±1 km di sekeliling

koordinat titik panas tersebut.

2.1.1 NOAA-AVHRR

NOAA adalah satelit cuaca dengan orbit polar, yang didesain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan, dan studi iklim untuk kepentingan meteologi. Satelit ini milik Amerika Serikat, yang diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan dioperasikan oleh NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration). Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit 833±18.5 km, inklinasi sekitar 98.7°–98.9°, dan

mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah yang sama setiap 12 jam, serta data direkam dengan resolusi radiometrik 10 bit (Geoscience Australia 2013).

NOAA merupakan satelit yang dapat diandalkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik lautan/samudera dan atmosfer. Satelit ini dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu : AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), HIRS (High Resolution Infrared Sounder) bagian dari TOVS, DCS (Data Collection System), SEM (Space Environment Monitor), dan SARSAT (Search And Rescue Sattelite System). Sensor yang relevan untuk pemantauan bumi adalah sensor AVHRR, sensor ini mampu mendeteksi adanya anomali panas permukaan bumi untuk mendapatkan titik panas. AVHRR memiliki lima saluran (band) yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran inframerah jauh (Tabel 1).

(18)

Kementerian Kehutanan nilai ambang batas yang ditangkap oleh satelit NOAA-AVHRR yaitu 315 K (42 oC) untuk siang hari dan 310 K (37 oC) untuk malam hari.

Tabel 1 Karakteristik panjang gelombang satelit NOAA-AVHRR

Band Panjang

Gelombang (µm) Kegunaan

1 0.58-0.68 Pemetaan awan siang dan permukaan bumi

2 0.725-1.00 Batas daratan dan perairan 3A 1.58-1.64 Deteksi Salju dan es

3B 3.55-3.93 Pemetaan awan malam hari dan suhu permukaan laut

4 10.30-11.30 Pemetaan awan malam hari dan suhu permukaan laut

5 11.50-12.50 Suhu permukaan laut

Sensor AVHRR-NOAA mampu mendeteksi permukaan bumi dengan resolusi spasial sebesar 1,1 km x 1,1 km atau sekitar 100 ha. Meskipun demikian, untuk kondisi suhu yang sangat tinggi, misalnya pembukaan lahan dengan pembakaran atau kebakaran hutan akan terdeteksi meskipun luasannya belum mencapai 100 ha, kerana sensor AVHRR sangat peka (sensitif) terhadap panas. Pada kebakaran hutan, ada yang disebut fase bara dan fase api. Menurut Jaya (2003), pada fase bara luas minimal yang dapat terdeteksi oleh satelit adalah sekitar 35 x 35 m2, sementara pada fase api luas minimal yang bisa terdeteksi adalah 11 x 11 m2, sehingga jika kebakaran yang terjadi seluas 4 sampai 5 ha, dapat dideteksi oleh satelit ini.

2.1.2 MODIS

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sensor yang dibuat untuk menyediakan data darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002. Satelit ini merupakan satelit dengan orbit selaras dengan matahari, dengan tinggi orbit 705 km, lebar sapuan 2330 km. Lintasan orbit Satelit Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada jam 10.30 dan 22.30 setiap hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada jam 13.30 dan 01.30, sehingga dapat menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Sensor MODIS memiliki 36 band (36 panjang gelombang). Satelit ini memiliki resolusi radiometrik 12 bit coding dan memiliki resolusi spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), dan 1000 m (band 8-36). Secara lengkap karakteristik panjang gelombang sensor MODIS dapat dilihat pada Tabel 2.

Sama halnya dengan NOAA-AVHRR, MODIS juga dapat mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memilki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Nilai ambang batas untuk menentukan sebuah hotspot

(19)

suhu 320K (47 oC) untuk malam hari (Kaufman et al. 1998 dalam Giglio et al. 2003). Titik panas MODIS terdeteksi pada ukuran 1 km x 1 km atau 1 km2 sehingga setiap titik panas atau kebakaran yang terdeteksi diwakili oleh 1 pixel. Jika kondisi pengamatan optimal (dekat nadir, asap sedikit/tidak ada, permukaan bumi yang homogen) kebakaran hutan/lahan dengan kondisi 100 m2 akan dapat dideteksi, bahkan dalam kondisi bebas awan/asap/polusi (jarang sekali terjadi) kebakaran seluas 50 m2 juga dapat terdeteksi (FIRMS 2012 dalam Purwanto 2012).

Tabel 2 Karakteristik panjang gelombang satelit MODIS

Band

20 3.660-3.840 0.45(300K) Permukaan/suhu

awan

29 8.400-8.700 9.58(300K) Karakteristik awan

30 9.580-9.880 3.69(250K) Ozon

31 10.780-11.280 9.55(300K) Lapisan/suhu awan

32 11.770-12.270 8.94(300K)

33 13.185-13.485 4.52(260K) Ketinggian awan

34 13.485-13.785 3.76(250K)

35 13.785-14.085 3.11(240K)

36 14.085-14.385 2.08(220K)

a

Band 1-19 (nm), Band 20-36 (µm)

(20)

2.1.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas

Mendeteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan cara melakukan pengamatan terhadap jumlah dan sebaran titik panas. Jumlah dan sebaran titik panas dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan terhadap data citra satelit. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan metode deteksi titik panas, dimana untuk mendapatkan sebaran titik panas pada suatu citra berbeda-beda sesuai dengan karakteristik dari sensor yang digunakan.

Menurut Hiroki dan Prabowo (2003), metode deteksi titik panas ada tiga, yaitu (1) perolehan data dan prapemrosesan, (2) metode sederhana, dan (3) metode algoritma kontekstual.

1. Perolehan data dan prapemrosesan

Metode ini merupakan metode yang membuat perencanaan perolehan data (planning) terlebih dahulu. Tahap planning meliputi, pemilihan daerah yang akan diambil datanya, dan menentukan cakupan liputannya. Ketika saat perekaman tiba, dilakukan proses penangkapan (capturing). Setelah data diterima, selanjutnya dilakukan proses kalibrasi, navigasi, dan overlay citra tersebut untuk memberikan referensi geografisnya.

2. Metode sederhana

Metode ini dilakukan dengan menetapkan batas nilai ambang suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra. Titik panas akan terdeteksi jika nilai suhu kecerahan suatu pixel pada citra lebih besar atau sama dengan nilai ambang batas, begitu pula sebaliknya, jika nilai suhu kecerahan pada pixel tersebut lebih kecil dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik panas. Menurut bentuk Logika Boolean pernyataan diatas dinyatakan dengan :

IF nilai citra > α

THEN nilai citra = titik panas, ELSE nilai citra = bukan titik panas

dimana nilai citra adalah suhu kecerahan saluran yang digunakan dan α nilai ambang.

Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan metode ini adalah pada kesederhanaan proses perhitungannya, yaitu waktu pemrosesannya lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak dapat mengeliminasi efek kilau surya (sunglint), karena pada kondisi-kondisi tertentu dapat terjadi efek kilau surya. Misalnya jika sudut perekaman terlalu rendah dan mengenai objek air atau atap rumah pemukiman yang terbuat dari seng, ataupun pada lahan gundul yang berpasir.

3. Metode algoritme kontekstual

Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode sederhana. Jika pada metode sederhana digunakan hanya satu saluran saja, maka pada metode ini digunakan lebih dari satu saluran untuk memproses data titik panas yang ditangkap oleh citra agar data yang diperoleh lebih akurat.

(21)

dari fluxs radiance yang diterima oleh sensor satelit didasarkan formulasi dari Planck dengan persamaan mempertimbangkan nilai radiance saluran ke j. Karena data yang dipancarkan satelit dalam bentuk digital yang disebut radiometer count, maka konversi radiance dari radiometer count dapat dilakukan melalui persamaan linier sebagai berikut :

��= �����+��

Menurut Singh (1984) dalam Musawijaya et al. (2001) konversi temperatur kecerahan dari radiasi dikembangkan dengan persamaan sebagai berikut :

Tbj = β

ln (Lj)− α

dimana: Tbj = suhu kecerahan saluran j α dan β= suatu konstanta

Pada keadaan normal brightness temperatur dari pixel citra NOAA-AVHRR saluran 3 (Tb3) selalu lebih kecil dari pada brightness temperatur dari pixel citra NOAA-AVHRR saluran 4 (Tb4). Apabila Tb3 > Tb4 maka terjadi anomali yang disebabkan karena adanya sumber panas (seperti kebakaran hutan) atau dapat juga karena efek sunglint.

Untuk mengetahui adanya efek sunglint perlu digunakan data saluran 4 dengan membandingkan pixel anomali dengan pixel yang berada disekitarnya. Apabila Tb3 – Tb4 > konstanta, maka pixel tersebut adalah hotspot.

Sensor MODIS menerapkan algoritma yang berbeda untuk mendapatkan sebaran titik panas. Giglio et al. (2003) menyebutkan, algoritma titik panas sensor MODIS berasal dari suhu kecerahan pada saluran 4 µm dan 11 µm, yang masing-masing dilambangkan dengan T4 dan T11. Instrumen MODIS memiliki dua

saluran 4-µm, yaitu saluran 21 dan 22 yang keduanya digunakan dalam penerapan algoritma. Saturasi saluran 21 hampir 500K, sementara saluran 22 pada 331 K. Saluran saturasi rendah (saluran 22) memiliki noisy sedikit dan kesalahan kuantitasinya lebih kecil, sehingga T4 berasal dari saluran ini. Namun, ketika

saluran tersebut datanya hilang atau tidak ada, maka diganti dengan saluran saturasi tinggi (saluran 21). Sementara T11 dihitung dari saluran 31, yang

saturasinya sekitar 400 K untuk Terra MODIS, dan 340 K untuk Aqua MODIS. Terdapat dua cara mengidentifikasi piksel titik panas, yang pertama adalah simple absolute threshold test. Ambang batas ini harus diatur cukup tinggi agar hanya piksel titik panas yang teridentifikasi, sehingga mengurangi kesempatan untuk menjadi piksel titik panas palsu. Nilai ambang batas titik panas pada siang hari:

(22)

Cara kedua terdiri dari serangkaian pengujian yang dirancang kontekstual (contextual algorithm) untuk mengidentifikasi piksel titik panas yang kurang jelas, dan untuk memperkecil piksel titik panas palsu. Persamaannya adalah:

∆T > ∆Ť + 3.5δ∆T (2)

Ť4 = Mean suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm, yaitu suhu kecerahan dari pixel-pixel sekitarnya (21 x 21 pixel)

Ť11 = Mean suhu kecerahan latar belakang saluran 11 µm, yaitu suhu kecerahan dari pixel-pixel sekitarnya (21 x 21 pixel)

δ4 = Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm

δ11 = Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 11 µm

δ∆T = Standard deviasi ∆T

δ′4 = Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm yang dieliminasi

Faktor 3.5 dalam persamaan (2) lebih sesuai dari faktor 3 di persamaan (4) untuk membantu menyesuaikan korelasi parsial antara 4 µm dan 11 µm. Persamaan (5) dibatasi untuk piksel siang hari, terutama digunakan untuk menolak piksel awan panas yang dapat muncul hangat di saluran 4 µm (karena pantulan sinar matahari) namun dingin di saluran saluran termal 11µm. Selanjutnya, pixel titik panas sementara ini pada siang hari akan diklasifikasikan sebagai pixel titik panas jika:

{tes (1) is true } Or

{tests (2) – (4) are true and [test (5) or tes (6) is true]}, otherwise = non-hotspot

Pada malam hari pixel api akan diklasifikasikan sebagai kebakaran jika:

{tes (1) is true} Or

{tests (2) – (4) are true}, otherwise = non-hotspot

(23)

T = �2⁄λ

λ = Median panjang gelombang dari saluran (m) h = Konstanta Plank (Joule second)

c = Kecepatan cahaya (m/s)

k = Konstanta Boltzman (Joule/Kelvin)

Perhitungan nilai radiasi spektral dilakukuan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Bi = αi x (DNi - βi)

Hasil pengolahan data citra satelit yang diperoleh masih memiliki ketidakakuratan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kelemahan satelit. Kelemahan dari satelit NOAA-AVHRR salah satunya yaitu sensor tidak mampu menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan pada satelit MODIS yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan kanopi tajuk, sehingga akan sangat merugikan apabila kebakaran besar terjadi karena wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian ini sering terjadi pada musim kebakaran, sehingga jumlah titik panas yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Kedua satelit tersebut juga memiliki kelemahan dalam keakuratan posisi (sudut) saat melintas dengan stasiun penerima.

(24)

2.2 Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009 pasal 1 angka 2).

Peningkatan kebakaran hutan dan lahan sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia dalam mengelola hutan dan lahan. Teknik tebang bakar (slash and burn) merupakan metode yang telah umum digunakan dalam pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, karena dianggap sebagai metode yang murah, cepat, dan praktis dibanding dengan teknik tanpa bakar. Masyarakat juga masih menilai bahwa abu sisa pembakaran dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun di sisi lain, hal tersebut beresiko tinggi karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang meluas. Selain itu, faktor iklim berperan dalam menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan, meskipun bukan sebagai penyebab utama terjadinya kebakaran.

Menurut Purbawaseso (2004) faktor yang menimbulkan kebakaran hutan adalah bahan bakar, cuaca, waktu, dan topografi.

2.2.1 Bahan Bakar

a. Ukuran Bahan bakar

Ukuran bahan bakar berkaitan dengan kelakuan sifat kebakaran yang terjadi. Semakin halus bahan bakar, akan semakin mudah mengering, namun akan mudah pula dalam menyerap air. Api akan lebih cepat menjalar bila luas permukaan bahan bakar semakin besar. Oleh karena itu, bahan bakar yang lebih halus apabila terbakar akan lebih cepat meluas, tetapi akan cepat padam. Bahan bakar kasar, kadar air yang terkandung lebih stabil, tidak cepat mengering, sehingga sulit terbakar. Namun, apabila terbakar tidak mudah padam. Misalnya rumput kering, rumput kering akan lebih mudah terbakar namun akan lebih cepat mati dibandingkan dengan tunggak pohon.

b. Susunan Bahan Bakar

Bahan bakar yang terdapat di alam tersusun secara horizontal maupun vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran kebakaran, sementara susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan kemampuan menyalanya api. Susunan bahan bakar horisontal misalnya, bahan bakar yang letaknya terpisah jauh-jauh akanterbakar lebih lambat dan penjalaran apinya juga akan lebih lambat. Sementara susunan bahan bakar secara vertikal, yaitu bahan bakar yang tersusun bersambung mulai permukaan tanah sampai ujung tajuk pohon yang dapat menimbulkan gejala “mengobor”, yang artinya pohon itu dapat terbakar secara individual mulai dari pangkal batang sampai ke ujung tajuk pohon.

c. Volume Bahan Bakar

(25)

d. Jenis Bahan Bakar

Bahan bakar berasal dari berbagai macam komponen vegetasi, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Komponen tersebut dikelompokkan menjadi rumput, semak-belukar, pohon-pohon atau tegakan, dan sisa-sisa (sisa limbah eksploitasi kayu atau sisa limbah kayu dari hasil land clearing dalam rangka penyiapan lahan). Jenis bahan bakar bisa digunakan untuk memprediksi intensitas kebakaran yang terjadi. Tumbuhan yang berdaun jarum (misalnya: pinus) akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan tumbuhan berdaun lebar. e. Kandungan Air Bahan Bakar

Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala serta kecepatan menyebarnya api.

2.2.2 Cuaca

a. Angin

Angin akan menurunkan kelembapan udara, sehingga mempercepat pengeringan bahan bakar dan memperbesar ketersediaan oksigen, sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat. Angin juga dapat mengarahkan lidah api ke bahan bakar yang belum terbakar.

b. Suhu

Suhu yang tinggi akan menyebabkan bahan bakar lebih cepat mengering, sehingga lebih rawan kebakaran. Pada siang hari, suhu lebih tinggi karena adanya sinar matahari, sehingga kebakaran akan lebih mudah terjadi dibandingkan pada malam hari. Awal kebakaran hutan biasanya mulai siang hari terutama antara jam 10.00 – 15.00 dengan puncak pada pukul 14.00 - 15.00.

c. Curah Hujan

Curah hujan akan berpengaruh terhadap kelembaban udara dan kadar air bahan bakar. Curah hujan tinggi akan menyebabkan bahan bakar memiliki kandungan kadar air tinggi serta kelembaban udara tinggi, maka akan sulit terjadi kebakaran.

d. Keadaan Air Tanah

Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan permukaan air tanah juga menurun. Turunnya permukaan air tanah menyebabkan lapisan permukaan atas gambut menjadi kering, sehingga lebih rentan terjadi kebakaran.

e. Kelembapan Nisbi (Kelembaban Udara Relatif)

Kelembapan udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar.

2.2.3 Waktu

(26)

kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembapan udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih tenang.

2.2.4 Topografi

a. Kemiringan

Faktor ini merupakan faktor yang mempengaruhi tingkah laku api. Pada lereng curam api akan cepat ke arah puncak dan melambat ke arah bawah. Semakin curam kemiringannya akan semakin cepat pula api menjalar.

b. Arah Lereng

Arah lereng yang langsung menghadap matahari akan mengeringkan bahan bakar lebih cepat, sehingga menyebabkan kondisi yang rentan terhadap kebakaran dibandingkan dengan wilayah yang arah lerengnya tidak menghadap matahari. c. Medan

Medan merupakan kondisi lapang, yang bersifat khas. Kondisi medan berperan dalam sebagai penghalang yang mampu mengendalikan aliran angin.

2.3 Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Kegiatan interpretasi ini terdiri atas 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi, dan klasifikasi. Deteksi merupakan pengamatan atas keberadaan suatu objek pada citra. Identifikasi merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup yang dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi citra. Klasifikasi merupakan proses deleniasi untuk membatasi dan membagi kelas penutupan/penggunaan lahan.

Teknik penafsiran citra penginderaan jauh diciptakan agar penafsir dapat melakukan pekerjaan penafsiran citra secara mudah dengan mendapatkan hasil penafsiran pada tingkat keakuratan dan kelengkapan yang baik. Menurut Sutanto (1986), teknik penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran yang meliputi data acuan, kunci interpretasi citra, metode pengkajian, penerapan konsep multispektral.

1. Data Acuan

Data acuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kecermatan seorang penafsir, data ini bisa berupa laporan penelitian, monografi daerah, peta, dan yang terpenting di sini data di atas dapat meningkatkan local knowledge pemahaman mengenai lokasi penelitian.

2. Kunci Interpretasi Citra

Kunci interpretasi citra mempunyai sembilan unsur yaitu rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, asosiasi.

- Rona, menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih dengan berpedoman skala keabuan.

(27)

cetakan atau transparansi lebih mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara hitam putih.

- Ukuran, memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan sebuah streoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon anakan, dan semak.

- Bentuk, bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk menunjuk pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh.

- Tekstur, perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dengan resolusi spasial citra satelit yang semakin baik. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara.

- Bayangan, berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek.

- Pola, sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk mendeskripsikan tata ruang pada citra, termasuk didalamnya pengulangan kenampakan-kenampakan alami. Sering berasosiasi dengan geologi, topografi, tanah, iklim, dan komunitas tanaman.

- Situs, menjelaskan tentang posisi muka bumi dari objek yang diamati berkaitan dengan kenampakkan disekitarnya atau berkonotasi terhadap gabungan faktor lingkungan yang mempengaruhi karakteristik makro objek. - Asosiasi. menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman

tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat dimana masing-masing membentuk keberadaan yang lainnya.

3. Metode Pengkajian

Penafsiran citra pengindraan jauh lebih mudah apabila dimulai dari pengkajian dengan pertimbangan umum ke pertimbangan khusus / lebih spesifik dengan metode konvergensi bukti.

4. Penerapan Konsep Multispectral

Konsep ini menganjurkan untuk menggunakan beberapa alternatif penggunaan beberapa band secara bersamaan, yang berguna dalam memudahkan interpretasi dengan mempertimbangkan kelebihan masing-masing penerapan komposit band tersebut.

(28)

2.4 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) adalah semua bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad, 2010). Penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu, sedangkan penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada dipermukaan bumi tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand and Kiefer 1997).

Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai peralihan fungsi lahan yang semula untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula (yang lain). Perubahan penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Martin 1993 dalam Wahyunto et al. 2001). Perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat balik), karena untuk mengembalikannya dibutuhkan modal yang sangat besar.

Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, yang pada akhirnya dapat berdampak positif maupun negatif. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati dan ketersediaan sumber daya air serta terjadinya erosi tanah (Basyar 2009). Pada umumnya perubahan-perubahan tersebut dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penutupan/penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data Penginderaan Jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat membantu dalam pengamatan perubahan penutupan/penggunaan lahan.

Pemetaan penutupan/penggunaan lahan sangat berkaitan dengan studi vegetasi, tanaman pertanian, dan tanah. Bagi seorang planner yang harus membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan, data penutupan/penggunaan lahan merupakan data yang paling penting, sehingga biasanya data dipresentasikan dalam bentuk peta dan bersifat ekonomi. Penggunaan citra pengindraan jauh sesuai untuk membuat peta-peta penutupan/penggunaan lahan. Menurut Lillesand and Kiefer (1997), ketersediaan data citra satelit dalam bentuk yang berbeda-beda (salinan kertas, volume data digital) menyebabkan melimpahnya aplikasi untuk pemetaan penggunaan/ penutupan lahan.

(29)

persentase areal diantara dua waktu dan matriks perubahan yang menunjukkan bagaimana perubahan yang terjadi untuk kelas tertentu dari satu tahun ke tahun berikutnya.

2.5 Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Satelit Landsat 7 sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) merupakan satelit observasi permukaan bumi yang masih digunakan hingga sekarang. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, dengan orbit pada ketinggian 705 ± 5 km, dengan siklus 16 hari. Sensor ETM memiliki pengamatan

spektral menggunakan 7 band dengan penembahan pankromatik band-8, dan resolusi radiometrik 8 bit. Karkteristik panjang gelomnbang sensor ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik panjang gelombang satelit Landsat 7 ETM+

Band Panjang Gelombang (µm)

Resolusi

Spasial (m) Spektral/radiasi 1 0.45-0.52 30 x 30 Visibel – biru 2 0.52-0.60 30 x 30 Visible – hijau 3 0.63-0.69 30 x 30 Visibel – merah 4 0.77-0.90 30 x 30 Infra merah dekat 5 1.55-1.75 30 x 30 Infra merah menengah 6 10.40-12.50 60 x 60 Thermal infra merah 7 2.09-2.35 30 x 30 Infra merah menengah 8 0.52-0.90 15 x 15 Visibel

(30)

III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai Desember 2012 dengan memilih Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokasi studi. Persiapan, pengolahan dan analisis data secara digital dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005 sampai 2011. Data sekunder terdiri atas peta administrasi, peta pengggunaan/penutupan lahan Kabupaten Kapuas tahun 2010, data titik panas, dan data curah hujan (TRMM). Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Data Sumber Data

1. Citra Landsat part/row : 118/60, 118/61, 118/62 yang diakuisisi tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011

Usgs.glovis.com

2. Peta Administrasi Kabupaten Kapuas Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

3. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Kapuas Tahun 2010

Columbia University and Institut Pertanian Bogor Partnership to Build Capacity for Adaptation to Climate Risks in Indonesia.

4. Data Titik Panas KLH tahun 2005 hingga tahun 2011

Badan Kementrian Lingkungan Hidup yang bersumber dari citra satelit NOAA-AVHRR

5. Data Titik Panas Modis tahun 2005 hingga tahun 2011

modis.gsfc.nasa.gov

6. Data Curah Hujan tahun 1990 hingga tahun 2009 Kab. Kapuas

TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat komputer dengan perangkat lunak berupa ArcGIS 9.3 dan Erdas Imagine 9.2.

3.3 Metode Penelitian

(31)

3.3.1 Tahap Persiapan

Tahapan ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data spasial yang meliputi data titik panas, citra Landsat, peta administrasi, serta data curah hujan.

3.3.2 Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Data

Tahap pengolahan data dari citra Landsat 7 ETM+ yaitu meliputi pengunduhan citra untuk wilayah penelitian, layer stacking (penggabungan band),

mozaic (penggabungan citra), interpretasi citra, dan penyajian hasil dalam bentuk penutupan lahan. Kemudian dilakukan verifikasi penutupan/penggunaan lahan dan pengolahan data titik panas.

a. Proses pengunduhan citra

Pengunduhan citra Landsat dilakukan di URL glovis.usgs.gov. Kabupaten Kapuas mencakup tiga scene citra yaitu dengan part/row: 118/60, 118/61, 118/62 dengan akuisisi seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 5 Akuisisi citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Kapuas

Tahun Part/row Tanggal Citra 2005 118/60 3 November

118/61 7 Agustus 118/62 7 Agustus 2006 118/60 18 Agustus

118/61 3 September 118/62 3 September 2007 118/60 15 April

118/61 10 Februari 118/62 10 Februari 2011 118/60 20 November

118/61 15 Juli 118/62 13 Juni

b. Layer stacking (penggabungan band)

(32)

c. Mozaic (penggabungan citra)

Proses menggabungkan sejumlah scene citra. Scene dapat di-mozaic jika memiliki jumlah band dan sistem proyeksi yang sama.

d. Interpretasi citra

Interpretasi citra merupakan proses untuk mengidentifikasi dan memberi makna objek. Tahap ini terdiri atas 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi, dan klasifikasi. Deteksi dilakukan untuk mengamati atas keberadaan suatu objek, yang selanjutnya diidentifikasi, sebagai upaya mencirikan objek yang telah di deteksi dan pada tahap analisis dikumpulkannya keterangan yang lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi. Tahap selanjutnya yaitu klasifikasi, proses deleniasi untuk membatasi dan membagi kelas penutupan/penggunaan lahan. Pada tahap ini mengacu berdasarkan Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang untuk Menghasilkan Data Penutupan Lahan Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Kehutanan dan mengacu pada hasil interpretasi penggunaan lahan tahun 2010.

Hasil pada tahap interpretasi citra adalah peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 dengan kelas penggunaan/ penutupan lahan sebanyak 20 kelas.

e. VerifikasiPenutupan/Penggunaan Lahan

Ketelitian interpretasi penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan

ground truth survey dan dengan membandingkan hasil interpretasi dengan data Google Earth. Kelemahan pada data Google Earth ini adalah tidak semua wilayah Kabupaten Kapuas memiliki citra resolusi tinggi.

f. Pengolahan data titik panas

Data titik panas berupa data tabular hasil pantauan satelit NOAA AVHRR dan satelit MODIS diubah kedalam bentuk vektor sehingga dapat ditampilkan dan dianalisis secara spasial. Transformasi data tabular menjadi data vektor tersebut dilakukan dengan memetakan data titik panas sesuai dengan koordinat geografisnya, sehingga diperoleh distribusi spasial sebaran titik panas.

3.3.3 Tahap Analisis Data Spasial

a. Analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan

Untuk mengetahui perubahan penutupan/penggunaan lahan, maka dilakukan proses tumpang tindih data vector penutupan/penggunaan lahan untuk 6 (enam) periode tahun, yaitu antara penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 dengan 2006, 2006 dengan 2007, 2007 dengan 2008, 2008 dengan 2009, 2009 dengan 2010, dan tahun 2010 dengan 2011. Analisis ini mendapatkan peta perubahan penggunaan/ penutupan lahan, yang kemudian dilakukan analisis pola sebaran titik panas pada penutup lahan tertentu dan lokasi perubahannya.

b. Analisis sebaran titik panas pada penutupan/penggunaan lahan tahun 2005 hingga 2011

(33)

c. Analisis hubungan antara sebaran titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan

Untuk mengetahui hubungan sebaran titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan dilakukan proses tumpang tindih antara peta sebaran titik panas dengan peta perubahan penutupan/penggunaan lahan pada periode tahun 2005-2006, 2006-2007, 2008-2009, 2009-2010, dan 2010-2011. Dari proses ini dapat diketahui distribusi spasial sebaran titik panas dan distribusi temporal yang mempengaruhi dalam perubahan penutupan/penggunaan lahan.

d. Analisis hubungan antara sebaran titik panas dengan anomali curah hujan. Tahap ini menghitung rata-rata dan anomali curah hujan bulanan di Kabupaten Kapuas selama 20 tahun (1990–2009). Anomali curah hujan bulan dihitung dengan membandingkan curah hujan bulanan dengan curah hujan rata-rata selama 20 tahun. Hasil tersebut dibandingkan dengan titik panas tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009. Jika curah hujan rata-rata bulanan lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan bulanan (misalnya Agustus tahun 2005), maka anomali curah hujannya adalah negatif (bulan kering), begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, dimungkinkan bahwa pada anomali curah hujan negatif jumlah titik panas yang teridentifikasi lebih banyak dibandingkan jika anomali curah hujan positif (basah).

Gambar 1 Diagram alir penelitian

Curah Hujan Bulanan

Menganalisis Pola Sebaran Titik Panas pada Penutupan/Penggunaan Lahan (Tahun 2005- 2011)

Menganalisis Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan PerubahanPenutupan/Penggunaan

Lahan Tahun 2005-2011 Tumpang Tindih Peta Penggunaan Lahan Tahun:

(34)

IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis

Kabupaten Kapuas adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota kabupaten ini terletak di Kuala Kapuas. Secara geografis Kabupaten Kapuas terletak di antara 0o8'48" sampai dengan 3o27'00" Lintang Selatan dan 113o2'36" sampai 114o44'00" Bujur Timur. Batas administrasi wilayah Kabupaten Kapuas berbatasan dengan kebupaten-kabupaten: sebelah utara dengan Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan, sebelah barat dengan Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangkaraya, dan Gunung Mas, dan sebelah timur dengan Kabupaten Barito Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Secara Administrasi Kabupaten Kapuas terbagi menjadi 17 kecamatan yaitu Basarang, Bataguh, Dadahup, Kapuas Barat, Kapuas Hilir, Kapuas Hulu, Kapuas Kuala, Kapuas Murung, Kapuas Tengah, Kapuas Timur, Mandau Talawang, Mantangai, Pasak Talawang, Pulau Petak, Selat, Tamban Catur, dan Timpah.

Gambar 2 Peta lokasi studi

4.2 Topografi

(35)

merupakan daerah pesisir, dataran rendah, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0 - 50 meter dari permukaan air laut dan kemiringan lereng 0 - 8%. Sementara bagian utara merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dengan ketinggian antara 50 - 500 meter dari permukaan air laut dan memiliki kemiringan lereng 8 - 15%.

Selain itu daerah Kabupaten Kapuas memiliki daerah/wilayah perairan yang meliputi danau, rawa dan beberapa sungai besar, yaitu:

1. Sungai Kapuas Murung dengan panjang ± 66.38 km 2. Sungai Kapuas dengan panjang ± 600 km

3. Daerah Pantai/Pesisir Laut Jawa dengan panjang ± 189.85 km

4.3 Iklim

Kabupaten Kapuas umumnya termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur pada tahun 2010 berkisar antara 21-23 oC dan maksimal mencapai 36 oC. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup banyak, sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan April berkisar 491 – 586 mm, sedangkan bulan kering/kemarau jatuh pada bulan Juli sampai September.

4.4 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Kapuas sekitar 329 440 jiwa dengan klasifikasi 167 937 laki-laki dan 161 503 perempuan (Kapuas dalam Angka tahun 2010). Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Kapuas rata-rata sebanyak 21.96 orang per km2. Komposisi penduduk serta penyebaran yang belum merata dan keberadaan penduduk masih banyak yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kabupaten dan kecamatan. Tingkat pendidikan di kabupaten ini yaitu, kemampuan baca tulis masyarakat Kapuas cukup tinggi. Lebih dari 95% penduduknya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, namun kurang dari 50% yang berlanjut sampai ke jenjang Sekolah Lanjut Tingkat Atas. Penduduk laki-laki memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dan penduduk yang tinggal didaerah perkotaan memiliki kemampuan baca tulis yang lebih baik dibandingkan penduduk perdesaan.

(36)

4.5 Perekonomian

Sektor pertanian tanaman pangan dengan komoditi utama padi merupakan salah satu andalan kabupaten yang merupakan lumbung pangan Kalimantan Tengah, yang dapat menjadi penopang perekonomian masyarakat Kapuas. Tak kurang dari 52% produksi beras Kalimantan Tengah dipasok oleh Kabupaten Kapuas. Kabupaten ini memang didukung lahan pertanian seluas 76.80 ribu ha dari potensi lahan 277 ribu ha. Prospek perluasan areal persawahan di daerah ini masih terbuka lebar. Misalnya di Kecamatan Selat, Kapuas Hilir, Kapuas Murung, Pulau Petak, Basarang, Kapuas Barat, dan Kecamatan Mantangai. Inilah kawasan yang termasuk dalam program Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar tempo dulu yang kini tengah dibangkitkan lagi.

Selain padi, komoditi pertanian lainnya yang cukup potensial adalah ubi kayu, usaha perikanan laut, plywood, karet (crumb rubber), sabut kelapa dan anyaman rotan, industri meubeler, hasil kerajinan purun, perahu kayu, karet sirap ulin dan balok ulin.

(37)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kepadatan Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005 - 2011

Satelit NOAA-AVHRR dan MODIS pada periode 2005 sampai 2011 (7 tahun) dapat merekam kemunculan titik panas di Kabupaten Kapuas dengan kepadatan yang berbeda setiap tahunnya seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Jumlah titik panas tahun 2005-2011

Jumlah titik panas tahunan yang dapat diidentifikasi oleh satelit NOAA-AVHRR pada tahun 2005 sebanyak 200 titik, tahun 2006 meningkat cukup drastis menjadi 835 titik. Tahun 2007 mulai mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 kembali menunjukan adanya peningkatan, turun kembali tahun 2010 dan tahun 2011 sedikit meningkat. Sementara titik panas yang teridentifikasi oleh satelit MODIS jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan NOAA-AVHRR, namun masih menunjukan pola yang tidak jauh berbeda. Tahun 2005 tercatat 748 titik, meningkat drastis di tahun 2006 dan tahun 2007 mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 titik panas meningkat drastis kembali, tahun 2010 menurun kembali, dan tahun 2011 menunjukan adanya peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebanyak tahun 2006 dan 2009.

Pada kedua satelit terlihat bahwa kemunculan titik panas maksimum terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari fenomena anomali iklim, yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan panjang, sehingga intensitas dan frekuensi kebakaran meningkat seperti pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et al. 2010).

Titik panas di Kabupaten Kapuas banyak ditemukan di bagian selatan, dimana daerah tersebut merupakan dataran rendah, daerah pesisir, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut. Berdasarkan kemiringan lereng bagian selatan memiliki lereng 0-8%. Wilayah ini merupakan kawasan budidaya dengan penggunaan lahan utama perkebunan dan pertanian termasuk Ex Proyek Lahan Gambut 1 juta Ha tempo dulu yang sekarang mulai dimanfaatkan kembali. Sebagian masyarakat Kapuas juga masih melakukan sistem pertanian lokal, dimana penyiapan lahan untuk pertanian atau perkebunan cenderung dilakukan dengan pembakaran lahan karena dianggap lebih mudah, murah, dan cepat, sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas.

200

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(38)

5.2 Perubahan Penutupan/Pengggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2011

Pada penelitian ini dilakukan pemetaan penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Kapuas dalam rentang waktu 7 (tujuh) tahun (2005-2011) yang diperoleh dari interpretasi citra Landsat tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011. Berdasarkan hasil interpretasi, Kabupaten Kapuas memiliki 20 kelas penutupan/penggunaan lahan, yaitu air, belukar,belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi (Tabel 6).

Selama tahun 2005 sampai 2011, penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas didominasi oleh hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa, dan belukar. Hutan lahan kering sekunder selalu mengalami penurunan dari 34.81% (tahun 2005) menjadi 32.09% (tahun 2011). Disusul oleh hutan rawa sekunder yang juga selalu mengalami penurunan dari 18% (tahun 2005) menjadi 14.57% (tahun 2011). Sementara belukar rawa berubah secara fluktuatif dengan luasan tertinggi pada tahun 2008 (15.27%) dan terendah pada tahun 2005 (13.92%) yaitu mengalami peningkatan hingga tahun 2008, dan tahun 2009 mengalami penurunan hingga tahun 2011. Lahan belukar juga berubah secara fluktuatif dengan luasan tertinggi tahun 2011 (13.35%) dan terendah tahun 2005 (12.83%). Tahun 2006 luas belukar sedikit meningkat, namun tahun 2007 mengalami penurunan dan meningkat kembali tahun 2008 hingga tahun 2011. Penutupan/penggunaan lahan lainnya, seperti air, hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi luasanya kurang dari 10% dari total luas wilayah Kabupaten Kapuas.

Pola pemukiman pada kabupaten ini umumnya menyebar dan luasannya hanya 0.13% dan 0.18% masing-masing pada tahun 2005 dan 2011 atau hanya meningkat 807 ha (36.71%). Penggunaan lahan belukar, belukar rawa, dan lahan terbuka ditemukan secara menyebar, berbeda dengan hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan tambak yang hanya ditemukan di wilayah pesisir. Lahan air merupakan penutupan lahan dengan luasan yang tetap.

Peta penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas pada tahun 2005 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 2 dan luas masing-masing penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 6.

(39)

Tabel 6 Luas penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2011

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan:

A : Air HMP : Hutan Mangrove Primer LT : Lahan Terbuka PLKC : Pertanian Lahan Kering Campur

B : Belukar HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pk : Perkebunan Rw : Rawa

BR : Belukar Rawa HRP : Hutan Rawa Primer Pmk : Permukiman Sw : Sawah

HLKP : Hutan Lahan Kering Primer HRS : Hutan Rawa Sekunder Pt : Pertambangan Tm : Tambak

HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder HT : Hutan Tanaman PLK : Pertanian Lahan Kering Tr : Transmigrasi

Penutupan/ Penggunaan

Lahan

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %

A 22 211 1.32 22 211 1.32 22 241 1.32 22 241 1.32 22 217 1.32 22 256 1.32 22 256 1.32

B 216 318 12.83 216 919 12.87 216 534 12.85 217 885 12.93 220 070 13.06 223 373 13.25 225 018 13.35

BR 234 579 13.92 236 488 14.03 244 629 14.51 257 318 15.27 248 065 14.72 247 545 14.69 245 180 14.55

HLKP 12 945 0.77 12 945 0.77 12 945 0.77 12 945 0.77 12 945 0.77 12 945 0.77 12 945 0.77

HLKS 586 799 34.81 583 121 34.59 578 799 34.34 567 939 33.69 556 271 33.00 544 380 32.29 540 858 32.09

HMP 307 0.02 307 0.02 307 0.02 274 0.02 224 0.01 224 0.01 224 0.01

HMS 1 727 0.10 1 727 0.10 1 727 0.10 1 760 0.10 1 823 0.11 1 559 0.09 1 559 0.09

HRP 22 108 1.31 22 096 1.31 21 928 1.30 21 610 1.28 21 136 1.25 20 747 1.23 20 545 1.22

HRS 303 358 18.00 302 383 17.94 281 231 16.68 269 277 15.97 260 268 15.44 248 337 14.73 245 669 14.57

HT 9 169 0.54 9 183 0.54 9 183 0.54 9 183 0.54 14 888 0.88 17 101 1.01 17 162 1.02

LT 60 092 3.56 60 146 3.57 69 241 4.11 62 375 3.70 62 735 3.72 69 902 4.15 69 202 4.11

Pk 117 048 6.94 117 102 6.95 125 400 7.44 141 157 8.37 161 342 9.57 169 114 10.03 174 989 10.38

Pmk 2 198 0.13 2 241 0.13 2 241 0.13 2 383 0.14 2 511 0.15 2 593 0.15 3 005 0.18

Pt 5 699 0.34 5 911 0.35 6 212 0.37 7 219 0.43 8 826 0.52 9 759 0.58 10 519 0.62

PLK 24 750 1.47 24 750 1.47 24 750 1.47 24 750 1.47 24 751 1.47 24 751 1.47 5 400 1.51

PLKC 4 316 0.26 6 024 0.36 6 024 0.36 4 835 0.29 4 835 0.29 4 835 0.29 4 835 0.29

Rw 6 509 0.39 6 509 0.39 6 669 0.40 6 280 0.37 6 514 0.39 9 485 0.56 9 485 0.56

Sw 55 169 3.27 55 169 3.27 55 169 3.27 55 799 3.31 55 810 3.31 56 325 3.34 56 380 3.34

Tm - 0.00 71 0.00 71 0.00 71 0.00 71 0.00 71 0.00 71 0.00

Tr 362 0.02 362 0.02 362 0.02 362 0.02 362 0.02 362 0.02 362 0.02

Total 1 685 663 100 1 685 663 100 1 685 663 100 1 685 663 100 1 685 663 100 1 685 663 100 1 685 663 100

(40)

Hasil analisis menunjukan bahwa pada rentang waktu tahun 2005-2006 penutupan/penggunaan lahan yang dominan mengalami penambahan luas adalah belukar rawa sebanyak 1 909 ha (0.81%), dan diikuti oleh pertanian lahan kering campur sebanyak 1 708 ha (39.57%), sedangkan penutupan/penggunaan lahan yang paling banyak mengalami penurunan luas adalah hutan lahan kering sekunder sebanyak 3 679 ha (0.63%). Perubahan setiap masing-masing penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 4.

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan:

A : Air HRP : Hutan Rawa Primer PLK : Pertanian Lahan Kering

Gambar 4 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2006

Penutupan/penggunaan lahan lainnya yang luas lahannya bertambah adalah belukar sebanyak 601 ha (0.28%), pertambangan 212 ha (3.37%), lahan terbuka 54 ha (0.09%), perkebunan 53 ha (0.05%), permukiman 43 ha (1.94%), dan hutan tanaman 14 ha (0.16%). Selain itu, terdapat pembukaan lahan tambak sebesar 71 ha yang pada tahun 2005 belum ditemukan. Hutan rawa sekunder mengalami penurunan sebesar 975 ha (0.32%), begitu pula hutan rawa primer 12 ha (0.06%), sedangkan untuk penutupan/penggunaan lahan lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Periode tahun 2006-2007, luasan penutupan/penggunaan lahan yang dominan meningkat adalah lahan terbuka 9 095 ha (15.12%), disusul perkebunan sebesar 8 298 ha (7.09%), dan belukar rawa sebesar 8 141 ha (3.44%). Sementara, luasan penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan adalah hutan rawa sekunder 21 252 ha (7.00%). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

(41)

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pt : Pertambangan

Gambar 5 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2006-2007

Luas penutupan/penggunaan lahan pada periode tahun 2007-2008 yang dominan mengalami peningkatan adalah perkebunan 15 757 ha (12.57%) dan diikuti oleh belukar rawa 12 689 ha (5.19%). Sementara luas lahan yang dominan mengalami penurunan adalah hutan rawa sekunder 11 954 ha (4.25%) disusul oleh hutan lahan kering sekunder 10 861 ha (1.88%) dan lahan terbuka 6 866 ha (9.92%). Perubahan masing-masing penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 6.

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan:

A : Air HRP : Hutan Rawa Primer PLK : Pertanian Lahan Kering HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pt : Pertambangan

Gambar 6 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2007-2008

Luas penutupan/penggunaan lainnya yang bertambah adalah belukar 1 351 ha (0.62%), pertambangan 1 007 ha (16.22%), sawah 630 ha (1.14%), permukiman 143 ha (6.36%), dan hutan manggrove sekunder 33 ha (1.91%).

(42)

Penutupan/penggunaan lahan yang mengalami penurunan adalah pertanian lahan kering campur 1 189 ha (19,74%), 389 ha (5.83%), hutan rawa primer 318 ha (1.45%), hutan mangrove primer 33 ha (10.77%), rawa dan penutupan/ penggunaan lahan lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Luas penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2008-2009 yang dominan mengalami peningkatan adalah perkebunan 20 185 ha (14.30%) dan diikuti hutan tanaman 5 705 ha (62.12%), sedangkan luas lahan yang dominan menurun adalah hutan lahan kering sekunder 11 667 ha (2.50%), belukar rawa 9 253 ha (3.60%), dan hutan rawa sekunder 9 009 ha (3.35%). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan:

A : Air HRP : Hutan Rawa Primer PLK : Pertanian Lahan Kering HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pt : Pertambangan

Gambar 7 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2008-2009

Perubahan penutupan/penggunaan lahan lainnya pada periode 2008-2009 yang mengalami peningkatan luas adalah belukar sebesar 2 184 ha (1%), pertambangan 1 607 ha (22.26%), lahan terbuka 361 ha (0.58%), rawa 234 ha (3.37%), permukiman 127 ha (5.35%), hutan mangrove sekunder 63 ha (3.58%), dan sawah 11 ha (0.02%). Sementara, yang mengalami penurunan luas adalah hutan rawa primer 475 ha (2.20%), hutan mangrove primer 50 ha (18.10%), air 24 ha (0.11%), dan penutupan/penggunaan lahan lainnya tetap.

Tahun 2009-2010 luas perkebunan meningkat 7 772 ha (4.82%) dan diikuti lahan terbuka sebanyak 7 166 ha (11.42%), sementara hutan rawa sekunder menurun sebanyak 11 931 ha (4.58%) dan hutan lahan kering sekunder menurun sebanyak 11 891 ha (2.14%). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Penutupan/penggunaan lahan lainnya pada periode tahun 2009-2010 yang mengalami peningkatan luas adalah belukar 3 303 ha (1.50%), rawa 2 971 ha (45.60%), hutan tanaman 2 212 ha (14.86%), pertambangan 933 ha (10.57%), sawah 515 ha (0.92%), permukiman sebesar 83 ha (3.29%), dan air 39 ha (0.18%). Sementara penutupan/penggunaan lahan yang menurun adalah belukar rawa 520 ha (0.21%), hutan rawa primer 389 ha (1.84%), dan hutan mangrove sekunder 264 ha (14.47%). Penutupan/penggunaan lahan lainnya tidak mengalami perubahan pada periode tahun ini.

(43)

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan: HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pt : Pertambangan

Gambar 8 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2009-2010

Periode tahun 2010-2011, luas penutupan/penggunaan lahan yang dominan meningkat adalah perkebunan 5 875 ha (3.47%), sedangkan lahan yang dominan menurun adalah hutan lahan kering sekunder 3 522 ha (0.65%), hutan rawa sekunder 2 668 ha (1.07%), dan belukar rawa 2 365 ha (0.96%). Penutupan/ penggunaan lahan lain, yang mengalami peningkatan luas adalah belukar 1 645 ha (0.74%), pertambangan 760 ha (7.79%), pertanian lahan kering sebesar 649 ha (2.62%), permukiman 412 ha (15.87%), hutan tanaman 61 ha (0.36%), dan sawah 55 ha (0.10%). Penurunan luas juga terjadi pada lahan terbuka 699 ha (1%) dan hutan rawa primer 202 ha (0.97%). Sementara penutupan/penggunaan lahan lainnya pada periode ini tidak mengalami perubahan luas. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan:

A : Air HRP : Hutan Rawa Primer PLK : Pertanian Lahan Kering HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pt : Pertambangan

Gambar 9 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan tahun 2010-2011

(44)

Perubahan penutupan/penggunaan lahan jika dilihat hanya dengan rentang waktu satu tahun tidak terlihat secara signifikan. Perubahan penutupan/ penggunaan lahan dalam rentang waktu 2005 – 2011 disajikan pada Gambar 10. Luas perkebunan mengalami peningkatan sebanyak 57 941 ha (49.5%), sedangkan disisi lain hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering sekunder masing-masing menurun sebesar 57 689 ha (19.02%) dan 45 941 ha (7.83%). Peningkatan penggunaan lahan perkebunan dalam jumlah besar tersebut dapat terjadi, karena nilai ekonomi perkebunan lebih tinggi dibanding hutan lahan kering sekunder ataupun hutan rawa sekunder.

Keterangan kode penutupan/penggunaan lahan:

A : Air HRP : Hutan Rawa Primer PLK : Pertanian Lahan Kering

Gambar 10 Perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan selama rentang waktu tahun 2005 sampai tahun 2011

Peningkatan lahan pertambangan disebabkan karena sektor pertambangan di Kapuas cukup menjanjikan. Kabupaten ini kaya intan, emas, batubara, batu kapur, dan pasir kuarsa (Kalimantan Tengah Minning 2011). Belukar ataupun belukar rawa merupakan lahan yang tidak dikelola atau tidak diusahakan dalam waktu yang lama karena kendala muka air (rawa). Kemungkinan lain adalah lahan ini merupakan lahan transisi dari hutan sekunder yang dikonversi menjadi lahan pertanian dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat. Badan air pada penelitian ini meliputi sungai dan danau. Berdasarkan hasil interpretasi, penutupan/penggunaan lahan air sedikit mengalami perubahan luas dan dapat dikatakan konstan.

Gambar

Tabel 2  Karakteristik panjang gelombang satelit MODIS
Tabel 3  Karakteristik panjang gelombang satelit Landsat 7 ETM+
Tabel 5  Akuisisi citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Kapuas
Gambar 1  Diagram alir penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara kumulatif pada kecamatan Badiri perubahan lahan dari hutan menjadi non hutan pada periode tahun 2000 sampai tahun 2006 adalah sebesar 700,42 Ha dengan perincian hutan

Citra Landsat 1992, 2000 & Aster 2007 Peta Penutupan Lahan Tahun 1992,2000 dan 2007 Interpretasi dan Klasifikasi Penutupan Lahan Data Primer (Wawancara) Identifikasi Faktor

Model ini disusun oleh 5 faktor yaitu kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai,

Deteksi Perubahan Penutupan Hutan di Areal Eks Proyek Pengcmbangan Lahan Gambut Propinsi Kalimantan Tcngah Menggunah:an Landsat TM.. Dibawah bimbingan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi penutupan lahan pada Kawasan Hutan Lindung Gunung Naning yang berada di wilayah Kabupaten Sekadau Provinsi Kalimantan Barat

Model ini disusun oleh 5 faktor yaitu kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai,

Sama halnya dengan hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan terhadap jarak jalan, pembukaan lahan untuk perkebunan juga dilakukan pada area yang jaraknya masih dekat

PALSAR resolusi 50 meter secara visual dan digital terdiri atas 17 tutupan lahan, yaitu badan air, bandara, belukar rawa, hutan lahan kering, hutan