KARYA TULIS ILMIAH
Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011
dan 2012
Oleh:
RUTH DARATRI HASIANA 100100089
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal Penelitian dengan Judul:
Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara pada Angkatan 2010, 2011 dan 2012
Yang dipersiapkan oleh:
RUTH DARATRI HASIANA
100100089
Karya Tulis Ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui
Medan, Desember 2013
Disetujui,
Dosen Pembimbing
(
Abstrak
Kelebihan berat badan dan kegemukan merupakan faktor resiko penyebab kematian ke-5 di dunia. Kuantitas dan kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh. Pada penelitian ini ingin dicari apakah ada hubungan antara pola tidur dengan IMT pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011 dan 2012.
Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode stratified random sampling dimana jumlah sampel sebanyak 86, usia 17-22 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan IMT dilakukan dengan penilaian berat badan dan tinggi badan, kemudian dikategorikan sesuai hasilnya. Penilaian pola tidur dibagi menjadi dua, yaitu kualitas dan kuantitas tidur. Penilaian kualitas tidur dilakukan dengan kuesioner Pittsburgh Sleep Index Quality (PSQI) dan kuantitas tidur dinilai dari durasi tidur. Dari kuesioner yang dibagikan, dihitung jumlah skor.
Hasil penelitian didapati kualitas tidur baik sebanyak 44 orang (51,2%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 42 orang (48,8%) dari seluruh jumlah sampel. Rata-rata durasi tidur sampel adalah 6,5 jam. Rata-rata IMT sampel adalah 24,28 kg/m2. Hasil analisis statistik dengan uji chi square didapati nilai p value = 0,944 pada kuantitas tidur dan p value = 0,156 pada kualitas tidur, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna.
Tidak ada hubungan yang bermakna antara pola tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011 dan 2012.
Abstract
Overweight and obesity are the fifth leading risk for global death. Poor quality and quantity of sleep are related to elevated body mass index. This research was carried out to find any association between sleep pattern and body mass index in Medical School undergraduates of North Sumatera University, class of 2010, 2011 and 2012.
In this research, we use analytic with cross sectional research. The method of sampling is Stratified Random Sampling with the total sample of 86 people between 17-22 years old who qualified the inclusion criteria. The assessment of body mass index includes body weight and height. The outcome then classified based on their respective category. The quality of sleep obtained from the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) questionnaires. The good sleep quality requires the score of ≤5 and the score of >5 qualified as poor sleep quality. Quantity of sleep was measured in hours.
Among 86 collegians, 44 students had good sleep quality (51,2%) while 42 students had poor sleep quality (48,8%). The mean hours of sleep per night were 6,5 hours. The mean body mass index was 24,28 kg/m2. The result of statistic analyze with chi-square shows that there is no significant relation between sleep pattern and body mass index (p value = 0,944 for sleep quantity and p value = 0,156 for sleep quality).
The conclusion isthere is no association between sleep pattern and body mass index in Medical School students of North Sumatera University, class of 2010, 2011 and 2012.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
hasil penelitian ini, yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan
Program Pendidikan S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya proposal penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing penulisan karya tulis
ilmiah ini, dr. Dwi Rita Anggraini, M. Kes, Sp.PA, yang dengan sepenuh hati telah
mendukung, membimbing, dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan
penulisan sampai selesainya laporan hasil penelitian ini. Tak lupa penulis
mengucapkan terima kasih atas kritik, saran, dan waktu yang telah dicurahkan para
dosen pembimbing yakni Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp.A (K) dan dr. H. Guntur
Bumi Nasution, Sp.F. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua
dan saudara penulis, yang telah mendukung dari awal hingga akhir penelitian.
Terimakasih kepada teman-teman yang telah membantu penelitian ini, Juliana Sari
Harahap, Rima Christa Uli dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan.
Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa
di kemudian hari.
Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan laporan hasil penelitian
ini.
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Persetujuan ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... v
Daftar Tabel ... ix
Daftar Gambar ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2 . Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Index Massa Tubuh (IMT) ... 5
2.1.1. Definisi dan Pengukuruan Index Massa Tubuh ... 5
2.1.2. Klasifikasi Index Massa Tubuh ... 6
2.2 Fisiologi Pengaturan Asupan Makanan ... 7
2.2.1. Peran Hipothalamus ... 7
2.2.2. Peran Neuron dan Neurotransmitter di Hipothalamus .. 10
2.3. Obesitas ... 10
2.3.1. Definisi Obesitas ... 10
2.3.2. Etiologi Obesitas... 10
2.4. Tidur ... 14
2.4.1. Definisi dan Klasifikasi Tidur ... 14
2.4.2. Tidur Gelombang Lambat ... 15
2.4.3. Tidur REM ... 15
2.4.4. Penyebab Kondisi Tidur... 17
2.5. Hubungan Pola Tidur dengan Index Massa Tubuh ... 18
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 21
3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 21
3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 21
3.2.1. Variabel ... 21
3.2.2. Definisi Operasional ... 21
3.3. Hipotesa ... 22
BAB IV METODE PENELITIAN ... 23
4.1. Jenis Penelitian... 23
4.3. Populasi dan Sampel ... 23
4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 25
4.5 Pengolahan dan Analisa Data ... 26
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28
5.1 Hasil Penelitian ... 28
5.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 28
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 28
5.1.3. Distribusi Indeks Massa Tubuh Mahasiswa Berdasarkan Angkatan ... 30
5.1.4. Distribusi Pola Tidur Mahasiswa Berdasarkan Angkatan ... 30
5.1.5. Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh ... 31
5.2 Pembahasan ... 31
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 34
6.1 Kesimpulan ... 34
6.2 Saran ... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh 9
2.2. Neurotransmitter dan Hormon yang Mempengaruhi Pusat
Makan dan Pusat Kenyang di Hipotalamus
6
3.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh 22
5.1. Karakteristik Sampel 29
5.2. Distribusi Indeks Massa Tubuh Berdasarkan Angkatan 30
5.3 Distribusi Pola Tidur Mahasiswa Berdasarkan Angkatan 30
5.4. Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh 31
Daftar Gambar
Nomor Judul Halaman
3.1 Kerangka konsep penelitian 21
Abstrak
Kelebihan berat badan dan kegemukan merupakan faktor resiko penyebab kematian ke-5 di dunia. Kuantitas dan kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh. Pada penelitian ini ingin dicari apakah ada hubungan antara pola tidur dengan IMT pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011 dan 2012.
Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode stratified random sampling dimana jumlah sampel sebanyak 86, usia 17-22 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan IMT dilakukan dengan penilaian berat badan dan tinggi badan, kemudian dikategorikan sesuai hasilnya. Penilaian pola tidur dibagi menjadi dua, yaitu kualitas dan kuantitas tidur. Penilaian kualitas tidur dilakukan dengan kuesioner Pittsburgh Sleep Index Quality (PSQI) dan kuantitas tidur dinilai dari durasi tidur. Dari kuesioner yang dibagikan, dihitung jumlah skor.
Hasil penelitian didapati kualitas tidur baik sebanyak 44 orang (51,2%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 42 orang (48,8%) dari seluruh jumlah sampel. Rata-rata durasi tidur sampel adalah 6,5 jam. Rata-rata IMT sampel adalah 24,28 kg/m2. Hasil analisis statistik dengan uji chi square didapati nilai p value = 0,944 pada kuantitas tidur dan p value = 0,156 pada kualitas tidur, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna.
Tidak ada hubungan yang bermakna antara pola tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011 dan 2012.
Abstract
Overweight and obesity are the fifth leading risk for global death. Poor quality and quantity of sleep are related to elevated body mass index. This research was carried out to find any association between sleep pattern and body mass index in Medical School undergraduates of North Sumatera University, class of 2010, 2011 and 2012.
In this research, we use analytic with cross sectional research. The method of sampling is Stratified Random Sampling with the total sample of 86 people between 17-22 years old who qualified the inclusion criteria. The assessment of body mass index includes body weight and height. The outcome then classified based on their respective category. The quality of sleep obtained from the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) questionnaires. The good sleep quality requires the score of ≤5 and the score of >5 qualified as poor sleep quality. Quantity of sleep was measured in hours.
Among 86 collegians, 44 students had good sleep quality (51,2%) while 42 students had poor sleep quality (48,8%). The mean hours of sleep per night were 6,5 hours. The mean body mass index was 24,28 kg/m2. The result of statistic analyze with chi-square shows that there is no significant relation between sleep pattern and body mass index (p value = 0,944 for sleep quantity and p value = 0,156 for sleep quality).
The conclusion isthere is no association between sleep pattern and body mass index in Medical School students of North Sumatera University, class of 2010, 2011 and 2012.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut WHO (2010), kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesity) merupakan faktor resiko penyebab kematian ke-5 di dunia. Setidaknya, ada 2,8 juta penduduk di dunia meninggal akibat komplikasi obesitas, dimana 44%
menderita diabetes, 23% menderita penyakit jantung iskemik, dan 7% sampai 41%
memiliki resiko terkena kanker pada organ tertentu. Prevalensi obesitas menurut data
nasional adalah 19,1%, dengan 10,3 % mengalami obese dan 8,8% mengalami
kelebihan berat badan. Prevalensi obesitas di Sumatera Utara 10,2% dan kelebihan
berat badan sebanyak 10,7% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007).
Penentuan kadar lemak tubuh dapat dilakukan dengan berbagai cara: indeks
massa tubuh, antropometri (skin-fold thickness), densitometri (underwater weighing),
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan
electrical impedance (Flier & Maratos, 2011). Pengukuran yang paling mudah dan paling sering dilakukan adalah indeks massa tubuh, yaitu menghitung berat badan
dalam kilogram (kg) dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (m2).
Penggolongan kurus (underweight), normal, berat badan berlebih (overweight), dan kegemukan (obesity) dapat ditentukan lewat indeks massa tubuh. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan perubahan gaya hidup serta faktor lain, peneliti
mulai mencari nilai standardisasi dalam menentukan batas-batas tersebut sesuai
dengan daerahnya. Misalnya, menurut National Heart, Lung, and Blood Institute
(2012), secara global, seseorang dikatakan obesitas jika memiliki indeks massa tubuh
antara 30,0-39,9. Sedangkan menurut Yajnik & Yudkin (2004), pada wilayah Asia
25-29,9. Departemen Kesehatan di Indonesia menggunakan batas obese ≥ 27 kg/m 2 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007).
Beberapa faktor penyebab kelebihan berat badan antara lain: peningkatan
pemasukan energi, penurunan pengeluaran energi, pengaruh lingkungan dan
adat-istiadat, dan turunan (Kopelman & O’Rahilly,2003). Konsumsi makanan yang tinggi
lemak dan teknologi yang semakin canggih mempengaruhi aktivitas hidup manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Taheri, Lin, Austin, Young & Mignot (2004) didapati
bahwa durasi tidur yang pendek (rata-rata tidur 6,8 jam per hari) menyebabkan
penurunan hormon leptin, peningkatan hormon ghrelin, dan peningkatan indeks
massa tubuh. Peningkatan hormon ghrelin merangsang keinginan untuk makan,
sedangkan leptin mengisyaratkan hipotalamus bahwa simpanan energi sudah cukup.
Tetapi pada obesitas, peningkatan kadar leptin tidak mengurangi nafsu makan karena
terjadi resistensi leptin (Ganong & Hall, 2007).
Jika dikaji dari durasi tidur, maka didapatkan bahwa jumlah waktu tidur pada
anak menurun sekitar 2 jam dari yang seharusnya 9 jam menjadi 7.9 jam (Narang et
al., 2012). Sedangkan pada orang dewasa, penelitian CDC (2013) didapati bahwa
sebanyak 37.9% penduduk di Amerika memiliki rata-rata durasi tidur dibawah 7 jam,
yang seharusnya adalah 7-9 jam (National Sleep Foundation, 2011). Adapun
golongan umur 20-39 tahun (37.1%) dan 40-59 tahun (40.7%) merupakan golongan
yang paling banyak melaporkan kekurangan tidur (CDC, 2013).
Peningkatan indeks massa tubuh yang dikaitkan dengan jumlah tidur tidak
hanya terjadi pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Landhuis, Poulton,
Welch & Hancox (2008) menyebutkan bahwa anak-anak yang kurang tidur akan
meningkatkan resiko obesitas jangka-panjang. Hal ini juga tidak lepas kaitannya
dengan indeks massa tubuh orang-tua, aktivitas fisik, indeks massa tubuh pada awal
pertumbuhan, dan kebiasaan menonton televisi. Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa anak-anak dengan jumlah jam tidur yang sedikit akan memiliki indeks massa
tubuh berlebih dalam jangka panjang, dengan nilai lemak tubuh yang tinggi (Carter,
indeks massa tubuh berkaitan dengan kekurangan tidur. Semakin sedikit jumlah jam
tidur anak, semakin tinggi indeks massa tubuh (Seegers et al., 2011).
Penelitian pada kelompok dewasa juga membuktikan hal yang sama. Pada
wanita yang tidur kurang dari 5 jam mengalami peningkatan berat badan sebanyak
1,14 kg, sedangkan wanita yang tidur kurang dari 6 jam mengalami peningkatan berat
badan sebanyak 0,71 kg (Patel, Malhotra, White, Gottlieb & Hu, 2006). Penelitian
yang dilakukan pada kelompok lansia, yaitu pada umur 70-99 tahun, mengungkapkan
bahwa orang tua yang tidur kurang dari 5 jam memiliki indeks massa tubuh 1,8 kg/m2 (pada wanita) dan 2,5 kg/m2 (pada pria) lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua yang memiliki waktu tidur cukup (Patel et al., 2008).
Dalam penelitian Bawazeer et al. (2009), didapati bahwa anak-anak dengan
obesitas memiliki hubungan yang signifikan terhadap gangguan pola tidur. Peneliti
tergerak untuk meneliti apakah dengan berat badan normal dan dibawah normal pada
umur dewasa juga mengalami gangguan pola tidur. Berdasarkan latar belakang diatas,
maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan pola tidur dengan indeks massa
tubuh pada umur dewasa.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana hubungan antara pola tidur dengan indeks massa tubuh pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011
dan 2012?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara pola tidur dengan indeks massa tubuh
pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010,
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pola tidur mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012
2. Mengetahui indeks massa tubuh pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, dan 2012
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Bagi institusi kesehatan, data atau informasi hasil penelitian ini dapat
menjadi masukan dalam merencanakan upaya pencegahan dan
pengendalian resiko terjadinya kelebihan berat badan dikemudian hari.
2. Bagi mahasiswa, data atau informasi hasil penelitian ini dapat membangun
kesadaran untuk hidup sehat dan menghindari terjadinya kelebihan berat
badan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran atau
sebagai referensi.
3. Bagi pelayan kesehatan, data atau informasi hasil penelitian ini dapat
menjadi masukan dalam merencanakan pencegahan dalam menangani
kasus obesitas dan kelebihan berat badan pada usia muda.
4. Bagi peneliti, penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Massa Tubuh (IMT)
2.1.1. Definisi dan Pengukuran Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh adalah indeks berat-dibagi-tinggi yang mudah dan sering
digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat badan lebih, atau obesitas
(WHO,2013)
Cara yang paling sering digunakan dan mudah dalam pelaksanaannya adalah
pengukuran indeks massa tubuh. Metode ini dapat digunakan sebagai penentu
obesitas dan non obesitas yang tidak menimbulkan sakit, tidak memiliki efek
samping, dan dapat digunakan untuk memantau jangka-panjang diet seseorang. Selain
itu, penentuan obesitas dapat menggunakan metode yang lain, yaitu dengan
antropometri (skin-fold thickness), densitometri (underwater weighing), computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI), dan electrical impedance
(Flier & Maratos. 2011).
Distribusi dari jaringan adiposa pada berbagai tempat penyimpanan dapat
menjadi implikasi penting terhadap morbiditas. Secara spesifik, jaringan lemak
subkutan pada intraabdominal dan abdominal lebih signifikan daripada di daerah
bokong dan anggota gerak bawah (Flier & Maratos, 2011). Dampak pada penggunaan
metode skin-fold thickness yang menggunakan alat khusus (skin calipers) sangat bergantung dengan cara peneliti dalam pengukurannya, sehingga metode ini memiliki
tingkat error yang tinggi.
Penggunaan densimoteri atau underwater weighing dilakukan dengan cara
menimbang dibawah air (r=79%) dengan kemudian melakukan koreksi terhadap
dual x-ray absorptiometry (DEXA), computer tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) (Hirsch, Salans & Aronne, 2003)
2.1.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia telah melakukan penelitian di setiap provinsi di Indonesia dengan
menggolongkan indeks massa tubuh menjadi 4 kategori.
Tabel 2.1. Klasifikasi indeks massa tubuh (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2007)
Penelitian selanjutnya yang dilakukan WHO (2004) menunjukkan bahwa
indeks massa tubuh di China, Hong Kong, dan Indonesia memiliki rata-rata 1,3 kg/m2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada wanita dan 1,4 kg/m2 dibawah rata-rata indeks massa tubuh kulit putih pada pria. Meta-analisis beberapa kelompok
etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama,
menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 1,3 kt/m2 dan etnik Polinesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia dan Thaildan
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Kategori kurus <18,5
Kategori normal ≥18,5 - <24,9
Kategori BB lebih ≥25,0 - <27,0
adalah 1,9, 4,6, 3,2, dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia (Sugondo, 2006).
2.1.3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh
Berat badan yang telah diukur terlebih dahulu dengan timbangan dan tinggi
badan diukur dengan alat pengukur tinggi badan, kemudian hasil pengukuran
dimasukkan ke dalam rumus
IMT= Berat badan (kilogram)
Tinggi badan2 (meter2)
2.2. Fisiologi Pengaturan Asupan Makanan
2.2.1. Peran Hipotalamus
Sensasi rasa lapar disebabkan oleh keinginan akan makanan dan beberapa
pengaruh fisiologis lainnya, seperti kontraksi ritmis lambung dan kegelisahan, yang
menyebabkan seseorang mencari suplai makanan yang adekuat. Nafsu makan
seseorang adalah keinginan untuk mendapatkan makanan, sering kali untuk jenis
makanan tertentu dan berguna untuk membantu memilih kuaitas makanan yang akan
dimakan. Jika proses pencarian makanan berhasil, rasa kenyang akan timbul. Setiap
sensasi tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya, serta oleh
pengaturan fisiologis yang mempengaruhi pusat-pusat speifik di otak terutama
hipotalamus.
Beberapa pusat saraf di hipotalamus ikut serta dalam pengaturan asupan
makanan. Nukleus lateral hipotalamus berfungsi sebagai pusat makan, dan
perangsangan area ini menyebabkan seekor hewan makan dengan rakus (hiperfagia).
Sebaliknya, pengrusakan hipotalamus lateral menyebabkan hilangnya nafsu makan,
pengurusan dan pelemahan tubuh (inanisi) yang progresif, suatu keadaan yang
badan yang nyata, kelemahan otot, dan penurunan metabolisme. Pusat makan di
hipotalamus lateral beroperasi dengan membangkitkan dorongan motorik untuk
mencari sumber makanan.
Nukleus ventromedial hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang. Pusat ini
dipercaya memberikan suatu sensasi kepuasan makanan yang menghambat pusat
makanan. Rangsangan listrik di daerah ini dapat menimbulkan rasa kenyang yang
penuh, dan bahkan dengan adanya makanan yang sangat menggiurkan, binatang
menolak untuk makan (afagia). Sebaliknya, destruksi nukleus ventromedial
menyebabkan hewan makan dengan rakus dan terus menerus sampai hewan tersebut
menjadi sangat gemuk, kadang-kadang sebesar empat kali normal.
Nukleus paraventriuklar, dorsomedial dan arkuata di hipotalamus juga
berperan penting dalam pengaturan asupan makanan. Contohnya, lesi nukleus
paraventrikular sering kali menimbulkan proses makan yang berlebihan, sedangkan
lesi nukleus dorsomedial biasanya menekan perilaku makan. Seperti yang akan
dibahas kemudian, nukleus arkuata merupakan bagian hipotalamus tempat berbagai
hormon yang dilepaskan dari saluran pencernaan dan jaringan adiposa berkumpul
untuk mengatur asupan makanan dan pengeluaran energi. Terdapat banyak interaksi
kimiawi antar neuron di hipotalamus dan pusat-pusat tersebut, secara bersama-sama
mengoordinasi berbagai proses yang mengatur perilaku makan dan persepsi rasa
kenyang. Nukleus-nukleus hipotalamus tersebut juga mempengaruhi sekresi beberapa
hormon yang penting dalam mengatur keseimbangan energi dan metabolisme,
meliputi sekresi yang berasal dari kelenjar tiroid dan adrenal, serta sel-sel pulau
pankreas.
Hipotalamus menerima sinyal saraf dari saluran pencernaan yang memberikan
informasi sensorik mengenai isi lambung, sinyal kimia dari zat nutrisi dalam darah
(glukosa, asam amino, dan asam lemak) yang menandakan rasa kenyang, sinyal dari
sinyal dari korteks serebri (penglihatan, penciuman, dan pengecepan) yang
memengaruhi perilaku makan.
Pusat makan dan kenyang di hipotalamus memiliki kepadatan reseptor yang
tinggi untuk neurotransmitter dan hormon yang memengaruhi perilaku makan.
Sebagian dari banyak zat yang telah terbukti mampu mempengaruhi perilaku makan.
Sebagian dari banyak zat yang telah terbukti mampu mengubah perilaku nafsu makan
dan rasa lapar pada beberapa percobaan dicantumkan pada table dibawah dan secara
garis besar dibagi atas (1) zat oreksigenik yang menstimulasi rasa lapar, atau (2) zat
anoreksigenik yang menghambat rasa lapar.
Tabel 2.2. Neurotransmitter dan Hormon yang Mempengaruhi Pusat Makan dan
Pusat Kenyang di Hipotalamus (Guyton, 2008)
Menurunkan Nafsu Makan (Anoreksigenik) Meningkatkan Nafsu Makan (Oreksigenik)
α-Melanocyte-stimulating hormon (α-MSH) Neuropeptida Y (NPY)
Leptin Agouti related protein (AGRP)
Serotonin Hormon pemekat-melanin (MCH)
Norepinefrin Oreksin A dan B
Hormon pelepas-kortikotropin Endorfin
Insulin Galanin (GAL)
Kolesistokinin (CCK) Asam amino (asam glutamate dan γ
-aminobutirat)
Peptida mirip-glukagon (GLP) Kortisol
Cocaine- and amphetamine- regulated
transcript (CART)
Ghrelin
2.2.2. Peran Neuron dan Neurotransmiter di Hipotalamus
Terdapat dua jenis neuron di nukleus arkuatus yang sangat penting sebagai
pengatur nafsu makan dan pengeluaran energi: (1) neuron proopiomelanokortin
(POMC) yang memproduksi α-melanocyte-stimulating hormone (α-MCH) bersama dengan cocaine and amphetamnine-related transcript (CART), dan (2) neuron yang memproduksi zat oreksigenik neuropeptida Y (NPY) dan agouti-related protein
(AGRP). Aktivasi neuron POMC akan mengurangi asupan makanan dan
meningkatkan pengeluaran energi, sedangkan aktivasi neuron NYP-AGRP akan
meningkatkan asupan makanan dan mengurangi pengeluaran energi. Neuron-neuron
tersebut agaknya menjadi target utama bagi kerja beberapa hormon yang mengatur
nafsu makan, meliputi leptin, insulin, kolesistokinin (CCK), dan ghrelin. Bahkan,
neuron-neuron nukleus arkuatus menjadi tempat berkumpulnya sejumlah besar sinyal
dari perifer dan saraf yang mengatur penyimpanan energi.
2.3. Obesitas
2.3.1. Definisi Obesitas
Obesitas diartikan sebagai keadaan jaringan adiposa yang berlebihan (Flier &
Maratos, 2011). Obesitas juga merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi
akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan
(Sugondo, 2006).
2.3.2. Etiologi Obesitas
Secara definisi, etiologi obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan antara
energi yang masuk dengan yang keluar. Pada setiap individu, kelebihan pemasukan
obesitas. Faktor ketiga, yang disebut dengan ‘nutrition partitioning’, yaitu kemampuan seorang individu untuk menyimpan kelebihan energi sebagai lemak
ketimbang sebagai jaringan otot, dapat menjadi penyebab obesitas (Warrell, 2003).
Penjelasan yang lebih detail adalah sebagai berikut:
a. Pemasukan energi yang berlebihan
Bila energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke
dalam tubuh melebihi jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan bertambah,
dan sebagian besar kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak.
Oleh karena itu, kelebihan adipositas (obesitas) disebabkan masukan energi
yang melebihi pengeluaran energi. Untuk setiap kelebihan energi sebanyak
9,3 kalori yang masuk ke dalam tubuh, kira-kira 1 gram lemak akan
disimpan. Lemak disimpan terutama di adiposit pada jaringan subkutan dan
pada rongga intraperitoneal, walaupun hati dan jaringan tubuh lainnya sering
menimbun cukup lemak pada orang obese. Seseorang dengan obesitas yang
ekstrem dapat memiliki adiposit sebanyak empat kali normal, dan setiap
adiposit memiliki lipid dua kali lebih banyak dari orang yang kurus.
b. Gaya hidup tidak aktif
Aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot
dan mengurangi massa lemak tubuh, sedangkan aktivitas fisik yang tidak
adekuat dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan
adipositas. Sekitar 25 sampai 30 persen energi yang digunakan setiap hari
oleh rata-rata orang ditujukan untuk aktivitas otot, dan pada seorang pekerja
kasar, sebanyak 60 sampai 70 persen digunakan untuk tujuan tersebut. Pada
orang obese, peningkatan aktivitas fisik biasanya akan meningkatkan
pengeluaran energi melebihi asupan makanan, yang berakibat penurunan
meningkatkan pengeluaran energi basal selama beberapa jam setelah
aktivitas tersebut dihentikan. Karena aktivitas otot adalah cara terpenting
untuk mengeluarkan energi dari tubuh, peningkatan aktivitas fisik seringkali
menjadi cara yang efektif untuk mengurangi simpanan lemak.
c. Perilaku makan yang tidak baik akibat faktor lingkungan, sosial dan
psikologis
Pengaruh faktor lingkungan sangat nyata, dengan adanya peningkatan
prevalensi obesitas yang cepat di sebagian besar negara maju, yang
dibarengi dengan berlimpahnya makanan berenergi tinggi (terutama
makanan berlemak) dan gaya hidup tidak aktif. Faktor psikologis juga dapat
menyebabkan obesitas pada beberapa individu. Misalnya, berat badan orang
sering kali meningkat selama atau setelah orang tersebut mengalami stress,
seperti kematian orang tua, penyakit yang parah, atau bahkan depresi.
Perilaku makan agaknya dapat menjadi sarana penyaluran stress.
d. Nutrisi berlebihan pada masa kanak-kanak
Salah satu faktor yang menjadi penyebab obesitas adalah adanya suatu
kepercayaan bahwa perilaku makan yang sehat harus dilakukan tiga kali
sehari dan setiap makanan yang dimakan harus mengeyangkan. Kecepatan
pembentukan sel-sel lemak yang baru terutama meningkat pada tahun-tahun
pertama kehidupan, dan makin besar kecepatan penyimpanan lemak, makin
besar pula jumlah sel lemak. Jumlah sel lemak pada anak obese tiga kali
lebih banyak dari jumlah sel lemak pada anak dengan berat badan normal.
Oleh karena itu, dianggap bahwa nutrisi yang berlebih pada anak – terutama
pada bayi dan yang lebih jarang pada masa kanak-kanak berikutnya – dapat
menimbulkan obesitas di kemudian hari.
Lesi di nukleus ventromedial hipotalamus dapat menyebabkan seekor
binatang makan secara berlebihan dan menjadi obese. Orang dengan tumor
hipofisis yang menginvasi hipotalamus seringkali mengalami obesitas yang
progesif, yang memperlihatkan bahwa obesitas pada manusia, juga dapat
timbul akibat kerusakan pada hipotalamus. Walaupun kerusakan
hipotalamus hampir tak pernah dijumpai pada orang obese, susunan
fungsional hipotalamus atau pusat makan neurogenik lainnya pada orang
obese dapat berbeda dengan susunan yang terdapat pada orang normal.
Abnormalitas neurotransmitter atau mekanisme reseptor lain juga dapat
dijumpai di jaras saraf hipotalamus yang mengatur perilaku makan. Untuk
mendukung teori ini, seseorang dengan obesitas yang berat badannya
menjadi normal karena diet ketat biasanya mengalami rasa lapar yang lebih
hebat daripada orang normal. Hal tersebut berarti bahwa “set-point” sistem pengaturan perilaku makan pada orang obese diatur pada tingkat
penyimpanan zat nutrisi yang lebih tinggi daripada tingkat “set-point” pada orang non-obese.
Beberapa penelitian pada hewan percobaan juga menunjukkan bahwa bila
asupan makan dibatasi pada hewan yang obese, terjadi perubahan yang nyata
pada neurotransmitter di hipotalamus yang akan menimbulkan rasa lapar
yang hebat dan penurunan berat badan yang drastis. Sebagian dari perubahan
ini meliputi peningkatan produksi neurotransmitter oreksigenik seperti NYP
dan penurunan pembentukan zat anoreksigenik seperti leptin dan α-MSH.
f. Faktor genetik
Obesitas jelas menurun dalam keluarga. Namun peran genetik yang pasti
untuk menimbulkan obesitas masih sulit ditentukan, karena anggota keluarga
umumnya memiliki kebiasaan makan dan pola aktivitas fisik yang sama.
Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa 20 sampai 25 persen pada
obesitas dengan menyebabkan kelainan (1) satu atau lebih jaras yang
mengatur pusat makan dan (2) pengeluaran energi dan penyimpanan lemak.
Ketiga penyebab monogenic (gen tunggal) dari obesitas adalah (1) mutasi
MCR-4; yaitu penyebab monogenik tersering untuk obesitas yang ditemukan
sejauh ini; (2) defisiensi leptin kongenital yang diakibatkan mutasi gen, yang sangat jarang dijumpai; dan (3) mutasi reseptor leptin, yang juga jarang ditemui. Semua bentuk penyebab monogenik tersebut hanya terjadi pada
sejumlah kecil persentase dari seluruh kasus obesitas. Banyak variasi gen
sepertinya berinteraksi dengan faktor lingkungan untuk memenuhi jumlah
dan distribusi lemak (Guyton, 2008).
2.4. Tidur
2.4.1. Definisi dan Klasifikasi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan rangsang
lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah sadar
saat orang tersebut tidak dapat dibangunkan.
Setiap malam, seseorang mengalami dua tipe tidur yang saling bergantian satu
sama lain. Tipe ini disebut (1) tidur gelombang lambat, karena pada tipe ini
gelombang otak sangat kuat dan frekuensinya sangat rendah, dan (2) tidur dengan
pergerakan mata yang cepat (REM sleep), karena pada tipe tidur ini mata bergerak
dengan cepat meskipun orang tetap tidur.
Setiap malamnya, sebagian besar masa tidur terdiri atas gelombang lambat
yang bervariasi; yakni tidur yang nyenyak dalam dan tenang yang dialami seseorang
pada jam-jam pertama tidur sesudah terjaga selama beberapa jam sebelumnya. Di
pihak lain, tidur REM timbul dalam episode-episode dan meliputi sekitar 25 persen
setiap 90 menit. Tipe tidur ini tak begitu tenang, dan biasanya berhubungan dengan
mimpi yang hidup.
2.4.2. Tidur Gelombang Lambat
Kebanyakan dari kita dapat mengerti sifat-sifat tidur gelombang lambat yang
dalam dengan mengingat saat-saat terakhir kita tetap terjaga selama lebih dari 24 jam,
dan kemudian tidur nyenyak yang terjadi dalam satu jam pertama setelah mulai tidur.
Tahap tidur ini bgitu tenang dan dapat dihubungkan dengan penurunan tonus
pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetative tubuh lain. Contohnya, tekanan
darah, frekuensi pernafasan, da kecepatan metabolism basal akan berkurang 10
sampai 30 persen.
Walaupun tidur gelombang lambat sering disebut “tidur tanpa mimpi”, namun
sebenarnya pada tahap tidur ini sering timbul mimpi dan kadang-kadang bahkan
mimpi buruk terjadi selama tidur gelombang lambat. Perbedaan antara mimpi-mimpi
yang timbul sewaktu tahap tidur gelombang lambat dan mimpi pada tidur REM
adalah bahwa mimpi yang timbul pada tahap tidur REM lebih sering melibatkan
aktivitas otot tubuh, dan mimpi pada tahap tidur gelombang lambat biasanya tak
dapat diingat. Jadi, selama tidur gelombang lambat, tidak terjadi konsolidasi mimpi
dalam ingatan.
2.4.3. Tidur REM
Sepanjang tidur malam yang normal, tidur REM yang berlangsung 5 sampai
30 menit biasanya muncul rata-rata setiap 90 menit. Bila seseorang sangat
mengantuk, setiap tidur REM berlangsung singkat dan bahkan mungkin tak ada.
Sebaliknya, sewaktu orang menjadi semakin lebih nyenyak sepanjang malamnya,
durasi tidur REM juga semakin lama.
a. Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh
yang aktif.
b. Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur
gelombang lambat, namun orang-orang terbangun secara spontan di pagi
hari sewaktu episode tidur REM.
c. Tonus otot di seluruh tubuh sangat berkurang, dan ini menunjukkan adanya
hambatan yang kuat pada area pengaturan otot di spinal.
d. Frekuensi denyut jantung dan pernapasan biasanya menjadi irregular, dan
ini merupakan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi.
e. Walaupun ada hambatan yang sangat kuat pada otot-otot perifer, masih
timbul pergerakan otot yang tidak teratur. Keadaan ini khususnya
mencakup pergerakan mata yang cepat.
f. Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif, dan metabolism di seluruh otak
meningkat sebanyak 20 persen. Pada elektroensefalogram (EEG) terlihat
pola gelombang otak yang serupa dengan yang terjadi selama keadaan
siaga. Tidur tipe ini disebut juga tidur paradoksikal karena hal ini bersifat
paradoks, yaitu seseorang dapat tetap tertidur walaupun aktivitas otaknya
meningkat.
Ringkasnya, tidur REM merupakan tipe tidur saat otak benar-benar dalam
keadaan aktif. Namun, aktivitas otak tidak disalurkan ke arah yang sesuai agar orang
itu siaga penuh terhadap keadaan sekelilingnya sehingga orang tersebut benar-benar
2.4.4. Penyebab Kondisi Tidur
Perangsangan pada beberapa daerah spesifik otak dapat menimbulkan keadaan
tidur dengan sifat-sifat yang mendekati keadaan tidur. Beberapa cara perangsangan
ini adalah sebagai berikut:
1. Daerah perangsangan yang paling mencolok yang dapat menimbulkan
keadaan tidur alami adalah nuklei rafe yang terletak di separuh bagian
bawah pons dan di medulla. Nuklei ini merupakan suatu lembaran tipis
neuron khusus yang terletak pada garis tengah. Serabut saraf dari nuklei ini
menyebar setempat di formasio retikularis batang otak dan juga ke atas
menuju thalamus, hypothalamus, sebagian besar daerah sistem limbik, dan
bahkan neokortek serebri. Selain itu, serbut-serabut ini juga menyebar ke
bawah menuju medulla spinalis, dan berakhir di radiks posterior tempat
serabut ini dapat menghambat sinyal-sinyal yang masuk termasuk nyeri.
Juga telah diketahui bahwa banyak ujung serabut dari neuron rafe ini
menyekeresikan serotonin. Bila seekor hewan diberi obat yang
menghambat pembentukan serotonin, hewan tersebut seringkali tidak dapat
tidur selama beberapa hari berikutnya. Oleh karena itu, dianggap bahwa
serotonin merupakan zat transmitter yang dihubungkan dengan timbulnya
keadaan tidur.
2. Perangsangan beberapa area di nucleus traktus solitaries juga dapat
menimbulkan tidur. Nukleus ini merupakan daerah terminal di medulla dan
pons yang dilewati oleh sinyal sensorik visceral yang masuk melalui
nervus vagus glossofaringeus.
3. Perangsangan beberapa region pada diensefalon juga dapat membantu
menimbulkan keadaan tidur, daerah itu meliputi (1) bagian rostral
hipotalamus, terutama area suprakiasma, dan (2) suatu area yang terkadang
menimbulkan keadaan siaga yang ekstrem. Keadaan ini juga timbul bila
ada lesi bilateral di area suprakiasma bagian medial dan rostral pada
hipotalamus anterior. Pada kedua contoh tersebut, nuklei atas tampaknya
terbebas dari hambatan, sehingga menimbulkan keadaan siaga penuh.
Bahkan, kadang-kadang lesi hipotalamus anterior dapat menyebabkan
timbulnya keadaan yang sangat siaga sehingga hewan dapat mati akibat
kelelahan (Guyton, 2008).
2.5. Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh
Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini sering mengaitkan peningkatan indeks
massa dengan penurunan jumlah tidur, baik pada anak-anak maupun dewasa (Carter
et al,2011; Landhuis et al, 2008; Seegers et al, 2010; Patel et al, 2006; Adámková et
al, 2009; Lopéz-García et al, 2008). Keterlibatan fungsi metabolisme dapat terlibat
dalam pengaturan hormon yang meregulasi nafsu makan dan pengeluaran energi
(Spiegel et al, 2009; Taheri et al, 2004). Taheri et al. (2004) mengungkapkan bahwa
durasi tidur yang sedikit berkaitan dengan peningkatan indeks massa tubuh dan juga
berpengaruh pada kadar hormon leptin dan ghrelin, yaitu hormon yang mengatur
nafsu makan. Kadar leptin akan meningkat, sedangkan ghrelin akan menurun. Cauter
(2010) juga mengungkapkan bahwa penurunan jumlah tidur menyebabkan kadar
leptin berada dalam level terendah sehingga memberikan sinyal kepada pusat
kenyang bahwa tubuh memerlukan asupan kalori tambahan, meskipun tidak
diperlukan.
Pada orang normal, peningkatan hormon ghrelin merangsang keinginan untuk
makan, sedangkan leptin mengisyaratkan hipotalamus bahwa simpanan energi sudah
cukup. Tetapi pada obesitas, peningkatan kadar leptin tidak mengurangi nafsu makan
karena peningkatan kadar leptin seimbang dengan penambahan jaringan adiposa,
Menurut Thompson et al. (1999) dalam Spiegel, Tasali, Leproult & Cauter
(2004) penurunan jumlah jam tidur selama 6 hari menunjukkan peningkatan
keseimbangan cardiac sympathovagal. Peningkatan ini mencerminkan penurunan aktivitas vagus. Seperti yang diketahui bahwa vagus dan ghrelin memiliki
perbandingan yang terbalik, yaitu penurunan vagus berarti peningkatan ghrelin.
Sedangkan leptin berkaitan dengan aktivitas simpatis, yang mana perangsangan
simpatis akan menurunkan pelepasan leptin. Penurunan jumlah jam tidur ini
mengakibatkan peningkatan cardiac sympathovagal, dimana selanjutnya akan menurunkan kadar leptin (Spiegel, Tasali, Leproult & Cauter, 2004).
Selain hormon leptin, kortisol dan GH (growth hormone – hormon pertumbuhan) juga dipengaruhi oleh ritme sirkadian. Perubahan ritme sirkadian akan
ditransmisikan ke hipotalamus, yang kemudian akan menyalurkan informasi ke
kelenjar hipofisis. Hormon pertumbuhan dengan kadar rendah pada malam hari dapat
menjaga kadar glukosa dengan cara menghambat pengambilan glukosa dari jaringan
otot. Jika terjadi pengurangan jumlah tidur, maka pelepasan hormon pertumbuhan
akan meningkat pada malam hari. Selanjutnya, pada orang normal, kadar kortisol
paling rendah terdapat pada sore hari. Hal ini menyebabkan sensitivitas insulin
menurun pada awal tidur, dan meningkat pada pertengahan tidur, sehingga
keseimbangan glukosa akan tetap terjaga. Pengurangan jumlah tidur dapat
mengakibatkan kadar kortisol tertinggi pada sore hari, sehingga tidak terjadi ritme
sensitivitas insulin. Peningkatan kadar hormon kortisol dan hormon pertumbuhan
inilah yang dapat mengakibatkan metabolisme glukosa terganggu (Cauter &
Leproult, 2010).
Penelitian yang dilakukan Gangwisch et al., (2006), mengungkapkan bahwa
kurangnya durasi tidur dapat meningkatkan resiko hipertensi. Salah satu
kemungkinannya adalah adanya peningkatan aktivitas nukleus suprakiasma. Nukleus
suprakiasma bekerja berdasarkan rangsangan dari kegiatan fisiologis tubuh, baik dari
suprakiasma sebagai salah satu pencetus tidur. Nukleus suprakiasma, melalui saraf
otonom, telah menunjukkan adanya koneksi terhadap beberapa organ metabolik yang
dapat mencetus diabetes seperti pancreas, hati dan jaringan lemak. Gangguan pada
nukleus suprakiasma dapat menimbulkan gangguan pada pelepasan kortisol dan
glukosa serta tekanan darah (Gangwisch et al., 2006)
Kaitan jumlah jam tidur yang berhubungan dengan peningkatan indeks massa
tubuh, khusunya obesitas, adalah penurunan jumlah jam tidur yang berkisar antara
‘kurang dari 7 jam’ menurut Watson, Buchwald, Vitiello, Noonan & Goldberg (2010)
atau ‘kurang dari 4-5 jam’ menurut Schmid, Hallschmid, Kamila, Born & Schultes
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran tentang bagaimana
hubungan pola tidur dengan indeks massa tubuh.
Variabel independen Variabel Dependen
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
3.2. Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1. Variabel
- Variabel independen (bebas) = pola tidur
- Variabel dependen (tergantung) = indeks massa tubuh
3.2.2. Definisi operasional
Kualitas tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. PSQI terdiri atas total 18 pertanyaan dengan
4 pilihan jawaban. Setiap pilihan jawaban memiliki bobot nilai masing-masing dari
0 - 4. Bila total skor >5 dianggap mengalami gangguan tidur. Nilai spesifitas adalah
86,5 % dan sensitivitasnya 89,6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
kuesioner PSQI dapat memberikan gambaran terjadinya gangguan tidur. Kuantitas
tidur diukur dari jumlah waktu tidur. Menurut National Sleep Foundation (2011),
dikatakan cukup tidur apabila durasi ≥ 7 jam, dan kurang tidur apabila
durasi < 7 jam. Skala yang digunakan adalah skala nominal.
Indeks massa tubuh adalah pengukuran yang mudah dilakukan untuk
menentukan kekurangan berat badan atau kelebihan. Pengukuran dilakukan dengan
cara mengukur berat badan dengan timbangan merk Camry, tinggi badan diukur
dengan meteran merk One Med, kemudian dimasukkan ke dalam rumus sebagai
berikut:
IMT = Berat badan (kg)
Tinggi badan2 (m2)
Hasil yang didapat kemudian diinterpretasikan ke dalam tabel 3.1 yang telah
disesuaikan dengan ketentuan yang dipakai oleh Departemen Kesehatan.
Tabel 3.1 Klasifikasi indeks massa tubuh
Skala yang digunakan adalah skala ordinal.
3.3. Hipotesa
Hipotesa dari penelitian ini adalah “ada hubungan antara pola tidur dengan
indeks massa tubuh”.
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Kategori dibawah normal ≤ 18,5
Kategori normal ≥18,5 - <24,9
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan desain
cross-sectional. Pengamatan dilakukan satu kali dan diharapkan dapat menggambarkan bagaimana hubungan pola tidur dengan indeks massa tubuh.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013.
4.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
Fakultas ini dipilih karena memiliki tingkat aktivitas di dalam kampus yang cukup
padat dan aplikasi indeks massa tubuh orang dewasa dapat diwakili oleh mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi yang digunakan adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara tahun 2013.
4.3.2. Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
acak pada setiap strata. Strata yang digunakan adalah angkatan dengan memilih
beberapa sampel yang jumlahnya dihitung berdasarkan besar perkiraan total sampel
(Sostroasmoro, 2010). Perkiraan besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan rumus besar sampel penelitian uji hipotesis satu populasi:
n =
[
Z1-
α
/2
���
(1
− ��
)
+Z1-
β
���
(1
− ��
)
]
2
(Pa-Po)
n =
[
1,96�(0,1868 × 0,8132 + 1,645 √0,2368 × 0,7632]
2
(0,5)
2n = 85,64 ≈ 86
Keterangan:
n = besar sampel minimum
Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu
Z1-β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu
Po = proporsi di populasi
Pa = perkiraan proporsi di populasi
Pa-Po = perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi
Dalam penelitian ini menggunakan Zα = 1,96 ; Zβ = 1,645, Pa = 0,2368; Po = 0,1868;
Pa-Po = 0,05. Nilai Po sebesar 0,1868 diambil dari penelitian sebelumnya (Bawazeer
et al., 2009). Dengan demikian, jumlah sampel yang diperlukan adalah sebanyak 86
4.4. Teknik Pengumpulan Data
4.4.1. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel diambil dengan metode stratified random sampling dan dimasukkan ke dalam rumus. Sampel yang datang dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
kemudian dimasukkan ke dalam penelitian sampai memenuhi jumlah subjek yang
diperlukan.
Kriteria Inklusi:
1. Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara angkatan
2010, 2011, dan 2012.
2. Bersedia menjadi sampel.
Kriteria eksklusi:
1. Memakai obat-obatan (steroid, antidepresan, rokok, alkohol, kafein,
hormonal dan lain-lain)
2. Menderita penyakit kronis (asma, diabetes, penyakit jantung bawaan, hipo/
hipertiroid)
3. Tidak memiliki pekerjaan utama selain menjadi mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
4.4.2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan antara lain:
1. Meteran: untuk mengukur tinggi badan sampel
3. Kuesioner pola tidur yang diadaptasi dari PSQI dan telah diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia: untuk mengukur pola tidur sampel.
4.4.3. Metode Kerja
Pada awalnya, sampel diwawancara terlebih dahulu untuk memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi, kemudian diminta untuk mengisi informed consent. Setelah sampel menyutujui, maka sampel diminta untuk mengisi kuesioner yang telah
dibagikan. Setelah dikembalikan, dipersika kelengkapan dan ketepatan dalam
penulisan data. Setiap jawaban diberi nilai sesuai dengan bobotnya, dihitung, dan
dikelompokkan apakah pola tidurnya baik atau buruk berdasarkan standar nilai yang
telah ditetapkan. Kemudian sampel diminta kesediaannya untuk diukur berat badan
dengan melepas sepatu, jaket, tas, atau barang-barang lain yang dapat mengurangi
ketepatan berat badan, kemudian diminta untuk naik ke atas timbangan. Setelah berat
badan diukur dan dicatat, sampel diukur tinggi badannya dengan alat pengukur tinggi
badan dan dicatat. Hasil berat badan dan tinggi badan tersebut dimasukkan ke dalam
rumus indeks massa tubuh dan hasilnya digolongkan ke dalam klasifikasi indeks
massa tubuh.
4.5. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang telah diberi kode dimasukkan ke dalam komputer. Setiap pertanyaan
pada kuesioner kualitas tidur memiliki bobot nilai tersendiri dan dihitung serta
dicocokkan kembali. Keseluruhan data menggunakan program komputer untuk
statistika yang sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk menganalisis hasil data yang
didapatkan beserta hubungannya, digunakan uji chi square. Prinsip dari uji chi square
adalah membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan.
Jenis uji chi square yang digunakan adalah uji independensi, uji yang dipakai untuk
(Wahyuni, 2008). Dengan menggunakan uji chi square akan didapatkan hubungan
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara (USU), yang berlokasi di Jl. Dr. Mansyur No. 5, Medan. Fakultas Kedokteran
USU dibuka tanggal 20 Agustus 1952 oleh Yayasan Universitas Sumatera Utara,
yang berlokasi di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru.
Kampus ini memiliki luas sekitar 122 Ha dengan zona akademik seluas
sekitar 120 Ha berada di tengahnya. Fakultas ini memiliki berbagai ruang kelas,
ruang administrasi, ruang laboratorium, ruang tutorial, ruang skills lab, ruang
seminar, perpustakaan, kedai mahasiswa, ruang PEM, ruang POM, kantin, kamar
mandi dan mushola.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011 dan 2012. Usia berkisar antara
17-22 tahun. Sampel adalah mahasiswa yang telah menyetujui untuk menjadi
responden dan memenuhi kriteria inklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Sampel
telah mengerti dan menyetujui untuk ikut dalam penelitian ini.
Sampel yang diperoleh selama periode September – Oktober 2013 sebanyak
86 orang. Jumlah sampel per angkatan dibagi berdasarkan jumlah mahasiswanya dan
10 laki-laki dan 14 perempuan dari angkatan 2010, 11 laki-laki dan 19 perempuan
angkatan 2011, dan 11 laki-laki dan 21 perempuan angkatan 2012. Semua data yang
diperoleh adalah data primer.
Tabel 5.1. Karakteristik Sampel
Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Mean S.E. Mean
Umur (tahun) 19,84 tahun 0,126
Indeks Massa Tubuh 24,28kg/m2 0,486
Dibawah normal 5 5,8
Dari hasil yang didapat, golongan Indeks Massa Tubuh yang terbanyak adalah
Indeks Massa Tubuh normal (60,5%), diikuti dengan diatas normal (33,7%) dan
dibawah normal (5,8%). Rata-rata Indeks Massa Tubuh mahasiswa didapati
Didapati jumlah sampel yang memiliki kuantitas tidur cukup sebanyak 64 orang
(74,4%) dan kurang sebanyak 22 orang (25,6%). Rata-rata jumlah tidur mahasiswa
didapati 6,5 jam.
5.1.3 Distribusi Indeks Massa Tubuh Mahasiswa Berdasarkan Angkatan
Hasil penelitian ini didapati Indeks Massa Tubuh mahasiswa sebagai berikut:
Tabel 5.2. Distribusi Indeks Massa Tubuh Berdasarkan Angkatan
Angkatan Indeks Massa Tubuh (orang) Rata-rata IMT (kg/m2)
Dibawah normal Normal Diatas normal
2010 2 14 8 23,9
2011 0 19 11 24,6
2012 3 19 10 24,2
Total 5 52 29 -
Dari hasil yang didapat, golongan indeks massa tubuh terbanyak adalah
golongan normal untuk semua angkatan.
5.1.4. Distribusi Pola Tidur Mahasiswa Berdasarkan Angkatan
Tabel 5.3. Distribusi Pola Tidur Berdasarkan Angkatan
Angkatan Kuantitas Tidur Kualitas Tidur Total
Cukup Kurang Baik Buruk
N % N % N % N %
2010 5 20,8 19 79,2 9 37,5 15 62,5 24
2011 9 30 21 70 15 50 15 50 30
2012 8 25 24 75 20 62,5 12 37,5 32
Dari hasil penelitian, kuantitas tidur terbaik didapati pada angkatan 2011
(30%) dan terburuk pada angkatan 2010 (20,8%). Hampir setengah jumlah total
sebanyak 44 orang (51,2%) dan buruk sebanyak 42 orang (48,8%). Didapati angkatan
2012 dengan kualitas tidur terbaik (62,5%) dan angkatan 2010 dengan kualitas tidur
terburuk (37,5%)
5.1.5. Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh
Tabel 5.4. Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh p value N
Normal (orang) Diatas normal (orang)
Kuantitas Tidur 0,944
Cukup 20 12 32
Kurang 31 18 49
Kualitas Tidur 0,156
Baik 24 19 43
Buruk 27 11 38
Dari hasil analisis statistik didapati hubungan yang tidak bermakna antara
antara pola tidur dengan Indeks Massa Tubuh dimana p > 0,05.
5.2. Pembahasan
Hasil penelitian ini didapati bahwa usia sampel yang terbanyak adalah usia
21 tahun (31,4%). Indeks Massa Tubuh terbanyak adalah golongan normal dengan
60,5%. Hal ini berbeda dengan penelitian Wheaton et al (2011). Pada penelitian ini
didapati golongan Indeks Massa Tubuh terbanyak adalah golongan overweight
dengan persentase sebanyak 36,4%.
Rata-rata durasi tidur yang didapat pada penelitian ini adalah 6,5 jam. Hasil
(2002). Didapati bahwa rata-rata jumlah jam tidur adalah 6,9 jam pada hari kerja, dan
7,5 jam pada akhir minggu.
Dalam penelitian ini, kuantitas dan kualitas tidur terburuk didapati pada
angkatan 2010. Hal ini dapat diakibatkan oleh semakin banyaknya tugas pada
semester akhir dan aktivitas di luar kuliah yang tidak diseimbangi dengan istirahat
yang cukup. Dapat juga disebabkan oleh pemilihan waktu belajar efektif pada malam
hari mengakibatkan pola tidur yang tidak baik. Tingkat emosi yang kurang stabil dan
penggunaan bahan kafein dalam penyelesaian tugas akhir juga dapat mempengaruhi
kualitas dan kuantitas tidur.
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara pola
tidur dengan Indeks Massa Tubuh, yaitu p = 0,944 pada kuantitas dan p = 0,156 pada
kualitas tidur. Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Landhuis, Poulton,
Welch, Hancox (2008). Pada penelitian yang dilakukan pada sampel berusia
32 tahun, didapati hubungan yang tidak bermakna (p = 0,666). Di sisi lain, didapati
hubungan antara durasi tidur dengan peningkatan indeks massa tubuh yang dilakukan
pada anak-anak berumur 5-11 yang diikuti perkembangannya sampai sampel berusia
32 tahun (p = 0,034). Menurut penelitian kohort prospektif oleh Seegers et al (2011)
juga didapati adanya hubungan antara jumlah jam tidur yang kurang dengan
overweight (OR = 1,55) atau obesitas (OR = 3,26). Adapun anak-anak umur 10 tahun dengan jam tidur yang kurang 1 jam akan beresiko mengalami overweight (OR = 1,51) atau obesitas (2,07) pada saat berumur 13 tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan Taheri et al (2004) didapati bahwa adanya
penurunan jumlah jam tidur yang dikaitkan dengan peningkatan nilai indeks massa
tubuh. Hal ini dikarenakan adanya penurunan kadar leptin (p = 0,01) dan peningkatan
kadar ghrelin (p = 0,008). Peningkatan hormon ghrelin merangsang keinginan untuk
makan, sedangkan penurunan leptin mengakibatkan penyampaian informasi bahwa
Perubahan kadar metabolisme juga berpengaruh pada kualitas tidur. Pada
penelitian Jennings et al. (2006) didapati adanya hubungan antara kualitas tidur
dengan sindrom metabolism (p = 0,02). Penurunan nilai PSQI sebesar 2,61 memiliki
resiko overweight atau obesitas di kemudian hari (OR = 1,44). Dari berbagai
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, beberapa variable metabolisme berkaitan
dengan penurunan nilai kualitas tidur, antara lain: glukosa (p = 0,03), persentase
lemak tubuh (p = 0,001), insulin (p = 0,04), insulin resistance (diukur dengan menggunakan penilaian model homeostasis, sebuah pengukuran untuk insulin resistance) dengan nilai p = 0,01.
Penelitian kualitas tidur yang dilakukan Jaaveri et al (2008) terhadap remaja
didapati bahwa jumlah sampel dengan kualitas buruk sebanyak 61 orang (25,6%) dan
kualitas baik sebanyak 177 orang (74,4%). Bila dibandingkan dengan hasil dari
penelitian ini, sebanyak 42 orang (48,8%) memiliki kualitas tidur yang buruk dan
sebanyak 44 (51,2%) memiliki kualitas tidur yang baik. Artinya persentase responden
pada penelitian ini dengan kualitas tidur yang buruk lebih banyak dibandingkan
dengan penelitian Jahaveri.
Pada penelitian ini, didapati sampel yang memiliki kualitas tidur buruk dan
Indeks Massa Tubuh diatas normal sebanyak 11 orang (12,8%). Penelitian yang
dilakukan Narang et al (2012) pada remaja didapati bahwa peningkatan skor PSQI
yang lebih tinggi berkaitan dengan peningkatan lingkar pinggang pada remaja
(p = 0,02), peningkatan non-high density lipoprotein cholesterol (OR = 1,28,
p value = 0,05) dan hipertensi (OR = 1,44, p value < 0,001).
Tidak adanya hubungan antara kualitas tidur dengan indeks massa tubuh juga
didapati pada penelitian yang dilakukan Yuan et al (2011) pada sampel lansia dengan
nilai p value = 0,554. Tetapi hal ini disebabkan pada umur lanjut usia, terjadi
perubahan kompisis dan metabolisme tubuh akibat pertambahan usia. Pola tidur dan
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Tidak ada hubungan antara pola tidur dengan Indeks Massa Tubuh dengan
nilai p value > 0,05.
2. Pada penelitian ini, didapati kelompok indeks massa tubuh terbanyak pada
mahasiswa FK USU angkatan 2010, 2011 dan 2012 adalah normal
(≥18,5 - <24,9). Rerata Indeks Massa Tubuh 2010, 2011 dan 2012 adalah
23,89 kg/m2, 24,56 kg/m2 dan 24,22 kg/m2.
2.2. Saran
Untuk penelitian yang lebih jauh tentang penelitian ini, disarankan untuk:
1. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak
sehingga mencapai populasi yang lebih luas.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang penelitian seperti kadar glukosa,
persentase lemak tubuh, kadar insulin, kadar ghrelin dan leptin sehingga
dapat dijelaskan hubungan yang lebih pasti antara kuantitas dan kualitas
DAFTAR PUSTAKA
Adamkova, V., Hubacek, J.A., Lanska, V., Vrablick, M., Lesna, I.K., Suchanek, P., et al., 2009. Association between Duration of The Sleep and Body Weight.
Physiol, Res 58 (Suppl.1): S27-S31.
Badan Pengembangan dan Penelitian Kesehatan, 2008. Riset Kesehatan Dasar,
Laporan Nasional 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: 48-56.
Bawazeer, N.M., Al-Daghri, N.M., Valsamakis, G., Al-Rubeaan, K.A., Sabico,
S.L.B., Huang, T.T., Mastorakos, G.P., Kumar, S., 2009. Sleep Duration and
Quality Associated With Obesity Among Arab Children. Obesity 17 (12):2251-2253.
Carter, P.J., Taylor, B.J., Williams, S.M., Taylor, R.W., 2011. Longitudinal analysis
of sleep in relation to BMI and body fat in children: the FLAME study. BMJ
2011; 342: d2712.
Cauter, E.V., Leproult, R., 2010. Roles of Sleep and Sleep Loss in Hormonal Release
and Metabolism. Endocrine Dev. 17 : 11-21. Obesity 17 (12): 2251-2253.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2013. Insufficient Sleep Is a
Public Health Epidemic. Available from
[Accessed 2 May 2013].
Gangwisch, J.E., Heymsfield, S.B., Boden-Albala, B., Buijs, R.M., Kreier, F.,
Pickering, T.G., Rundle, A.G., Zammit, G.K., Malaspina, D., 2007. Sleep
Duration as a Risk Factor for Diabetes Incidence in a Large US Sample. SLEEP
30 (12): 1667-1673.
Guyton, A.C., Hall, J.A., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton & Hall. Edisi 11. Jakarta: EGC, 777-782, 911-918.
Hirsch, J., Salans, L.B., Aronne, L.J., 2003. Obesity. In: Becker, K.L., Khan, C.R., Rebar, R.W., ed. Principles and Practice of Endocrinology. Lippincot Williams & Wilkins:1037-1040.
Jennings, J.R., Muldoon, M.F., Hall, M., Buysee, D.J., Manuck, S.B., 2007.
Self-reported Sleep Quality is Associted With the Metabolic Syndrome. SLEEP
30(2): 219-223.
Kopelman, P.G., O’Rahilly, S., 2003. Obesity. In: Warrell, D.A., Cox, T.M., Firth, J.D., J.,E., Benz, M.D. ed. Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. USA: Oxford Press.
Landhuis, C.E., Poulton, R., Welch, D., Hancox, R.J, 2008. Childhood Sleep Time
and Long-Term Risk for Obesity: A 32-Year Prospective Birth Cohort Study.
American Academy of Pediatrics 122 (5): 955-960.
Lopez-Garcia, E., Faubel, R., Leon-Munoz, L., Zuluaga, M.C., Banegas, J.R.,
Rodriguez-Artalejo, F, 2008. Sleep Duration, General and Abdominal Obesity,
and Weight Change Among the Older Adult Population of Spain. Am J Clin
Narang, I., Manlhiot, C., Davies-Shaw, J., Gibson, D., Chahal, N., Stearne, K.,
Fisher, A., Dobbin, S., MacCrindle, B.W, 2012. Sleep Disturbance and
Cardiovascular Risk in Adolescents. Canadian Medicine Association Journal
184 (17): E913-E920.
National Heart, Lung and Blood Institute, 2012. How Are Overweight and Obesity
Diagnosed? Available from:
Patel, S.R., Malhotra, A., White, D.P., Gottlieb, D.J., Hu, F.B, 2006. Association
Between Reduced Sleep and Weight Gain Woman. Am J Epidemiol. 164 (10): 947-954.
Patel, S.R., Blackwell, T., Redline, S., Ancoli-Israel, S., Cauley, J.A., Hillier, T.A.,
Lewis, C.E., Orwoll, E.S., Stefanick, M.L., Taylor, B.C., Yaffe, K., Stone,
K.L., 2008. The Association Between Sleep Duration and Obesity in Older
Adults. Int J Obes (Lond) 32(12): 1825-1834.
Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 4.
Jakarta: Sagung Seto, 349-367.
Schmid, S.M., Hallschmid, M., Kamila, J.C., Born, J., Schultes, B., 2008. A Single
Night of Sleep Deprivation Increases Ghrelin Levels and Feelings Hunger in
Normal-Weight Healthy Men. J Sleep Res 17: 331-334.
Seegers, V., Petit, D., Fallisard, B., Vitaro, F., Tremblay, ER., Montplaisir, J.,
Touchette, E, 2011. Short Sleep Duration and Body Mass Index: A Prospective
Spiegel, K., Tasali, E., Leproult, R., and Cauter, E.V., 2004. Effects of Poor and
Short Sleep on Glucose Metabolism and Obesity Risk. Nat. Rev. Endocrinol. 5: 253-261.
Sugondo, S., 2009. Obesitas. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus Simadibrata., Setiati, S (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 1973--1983.
Taheri, S., Lin, L., Austin, D., Young, T., Mignot, E., 2004. Short Sleep Duration Is
Associated with Reduced Leptin, Elevated Ghrelin, and Increased Body Mass
Index. PLOS Medicine 62(1): 210-217.
Wahyuni, A.S., 2008. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi SPSS). Jakarta:
Bamboedoea Communication, 117-118.
Watson, N.F., Buchwald, D.,Vitiello, M.V., Noonan, C.,Goldberg, J., 2010. A Twin
Study of Sleep Duration and Body Mass Index. Journal of Clinical Sleep Medicine 2010;6(1):11-17.
Wheaton, A.G., Perry, G.S., Chapman, D.P., Mcknight-Eily, L.R., Presley-Cantrell,
L.R., Croft, J.B, 2011. Relationship Between Body Mass Index and Perceived
Insufficient Sleep Among U.S. Adults: an analysis of 2008 BRFSS Data. BMC Public Health 11:295.
World Health Organization, 2013. Obesity and Overweight. WHO Media centre.
Available from :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/index.html. [Accessed 25
Yajnik, C.S., Yudkin, J.S., 2004. Appropriate Body-Mass Index for Asian
Populations and Its Implications for Policy and Intervention Strategies. The
Lancet 363: 157-163.
Yuan, Z., Chang-Quan, H., Zhen-Chan, L., Bi-Rong, D., 2010. Association Between
Sleep Quality and Body Mass Index Among Chinese
INFORMED CONSENT
Penelitian ini berjudul “Hubungan Antara Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh
pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010,
2011 dan 2012”. Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas akhir mata
kuliah Community Research Program (CRP). Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dimana yang akan menjadi respondennya
adalah mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2010,
2011 dan 2012 dan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dalam penelitian
ini, responden akan diminta untuk mengisi kuesioner yang akan dibagikan oleh
peneliti. Selanjutnya responden akan diukur berat badan dan tinggi badan oleh
peneliti.
Setelah mendapatkan penjelasan atas tindakan yang akan dilakukan, maka saya
bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Bersedia untuk menjadi responden (sampel penelitian) dalam penelitian ini.
Persetujuan ini diambil dan disepakati dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan
dari pihak manapun.
Medan, ………
Crosstabs
Notes
Output Created 09-NOV-2013 10:03:51
Comments
Input
Data
D:\Ruth Daratri Hasiana\KTI
spss data mahasiswa normal
dan diatas normal.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 81
Missing Value Handling
Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each table are
based on all the cases with valid
data in the specified range(s) for
all variables in each table.
Syntax
CROSSTABS
/TABLES=KategoriIMT BY
klpktidur
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ
/CELLS=COUNT
/COUNT ROUND CELL.
Resources
Processor Time 00:00:00.00
Elapsed Time 00:00:00.02
Dimensions Requested 2