• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber sumber pertumbuhan sektor transportasi dan disparitas ekonomi wilayah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sumber sumber pertumbuhan sektor transportasi dan disparitas ekonomi wilayah di Indonesia"

Copied!
444
0
0

Teks penuh

(1)

i

DI INDONESIA

DISERTASI

BUDI HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya yang berjudul :

SUMBER SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR

TRANSPORTASI DAN DISPARITAS

EKONOMI WILAYAH

DI INDONESIA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri, dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis

di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2012

(3)

ii

BUDI HIDAYAT. Sources of Growth of Transportation Sector and Regional Economic Disparities in Indonesia (ARIEF DARYANTO, as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and HERRY SUHERMANTO, as a Members of the Advisory Committee).

Indonesia consists of many islands and has an advantage of being located in a strategic region. However, this advantage will not increase balanced regional economic growth by itself. Due to increasing world trade liberalisation there is significant competition to Indonesian products in the global market. Therefore, the role of transportation to encourage connectivity between regions in Indonesia is important and requires identification of the sources of growth within the transport sector. The objective of this study is to analyze the role transportation plays in creating regional economic disparities and structural change by using interregional input-output analysis. Regions to be analysed include five regions namely Sumatra, Java-Bali, Kalimantan, Sulawesi, and the remaining areas which make up Indonesia (ROI). Data used in this analysis was from table IRIO 2000 and 2005, which was then aggregated into 9 sectors, while the transport data was disaggregated into 3 sectors. From the research conducted, it can be shown that: growth in the transport sector in Indonesia is still influenced by the magnitude of Final Domestic Demand (DFD), where the largest contribution to DFD is from domestic consumption. Impacts of exports (EE) showed an increase and so does import substitution (IS). However, the influence of technology shows that a variety of transportation sector as shown by the coefficient of technology (TC). But in general, in the Java-Bali, Sulawesi and ROI areas, technology for air transport coefficients show that the value of intermediate inputs was less. This indicates the efficiency of the sector. On the other hand, disparities tend to converge for land transportation or, in other words, more evenly. This study suggests that in order to enhance the role of transport, then the support of private investment should be increased. Also, the technology level should continue to support connectivity between regions in Indonesia. In addition, it should also proceed more detailed study of the sources of growth in transport sector

(4)

iii

Disparitas Ekonomi Wilayah di Indonesia (ARIEF DARYANTO, sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan HERRY SUHERMANTO, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan letak geografisnya yang sangat strategis, maka dalam menghadapi semakin liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global. Namun keunggulan tersebut tidak akan terwujud dengan sendirinya.

Satu hal yang harus diperhatikan adalah peran transportasi dalam menghubungkan pulau pulau tersebut yang mendorong konektivitas antar wilayah di Indonesia dan perlu dipahami dan dirumuskan sumber-sumber pertumbuhan dari sektor transportasi tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran transportasi terhadap disparitas ekonomi wilayah di Indonesia dan perubahan strukturnya dengan menggunakan analisis interregional input-output sedangkan untuk mengetahui

sumber sumber pertumbuhannya digunakan extended decomposition analysis.

Wilayah yang dianalisa terdiri dari lima wilayah yaitu Sumatera, Jawa-Bali,

Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur lainnya atau Rest of Indonesia (ROI).

Pada penelitian ini transportasi dibagi menjadi tiga sektor yaitu transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara. Data yang digunakan digunakan merupakan data tabel IRIO tahun 2000 dan tahun 2005, yang kemudian diagregasikan menjadi 9 sektor, sedangkan data transportasi didisagregasikan menjadi 3sektor, sehingga sektor yang digunakan sebanyak 12 sektor.

Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa: (1) pertumbuhan

sektor transportasi di Indonesia masih dipengaruhi oleh besarnya Domestic Final

Demand (DFD), dimana kontribusi terbesar dari DFD tersebut merupakan

konsumsi rumah tangga. Dampak ekspor (EE) menunjukkan peningkatan dan demikian juga impor substitusi (IS). Namun demikian pengaruh teknologi menunjukkan hal yang beragam terhadap sektor transportasi seperti yang ditunjukkan oleh koefisien teknologi (TC). Secara umum di wilayah Jawa-Bali, Sulawesi dan ROI, koefisien teknologi untuk transportasi udara menunjukkan penurunan, yang berarti bahwa nilai intermediate input mengecil. Hal ini mengindikasikan adanya efisiensi disektor tersebut. Di sisi lain, disparitas cenderung konvergen untuk transportasi darat atau dengan kata lain semakin merata.

Penelitian ini menyarankan bahwa untuk meningkatkan peran tranportasi maka dukungan, infrastruktur, investasi, institusi dan sumber daya manusia ditingkatkan. Inovasi teknologi transportasi diperlukan untuk menunjang konektivitas antar wilayah di Indonesia. Selain itu perlu juga dilanjutkan penelitian yang lebih detil terhadap sumber sumber pertumbuhan sektor transportasi.

Kata kunci: Transportasi, Sumber Pertumbuhan, Disparitas, Decomposition

(5)

iv

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(6)

v

DI INDONESIA

BUDI HIDAYAT

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

vi

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf pengajar Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut

Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS

Staf pengajar Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut

Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka :

1. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, MSc

Direktur Pengembangan Wilayah, Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional.

2. Dr. Max Antameng, MA

Perencana Utama Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan

(8)

vii

Nama Mahasiswa : Budi Hidayat

Nomor Pokok : A161040184

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Ketua

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MS Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP, MA Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(9)

viii

Penulis dilahirkan pada tanggal 9 September 1959 di Bengkulu. Penulis

merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Soekarno dan Ibu

Chaerani Elias.

Pada tahun 1971, penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Santa Maria

II Malang, kemudian melanjutkan pada SMP Santa Maria II Malang dan lulus

pada tahun 1974. Selanjutnya pada tahun 1977 lulus dari SMA Negeri III Malang.

Pada tahun 1979, penulis diterima untuk meneruskan studi ke jenjang S1 di

Institut Teknologi Bandung dan mendalami Jurusan Teknik Sipil, dan dinyatakan

lulus Sarjana Teknik Sipil pada tahun 1985. Pada tahun 1988, penulis melanjutkan

studi S2 di University of New South Wales, Australia, dan lulus mendapat gelar

Master of Engineering Science di bidang transport engineering tahun 1991. Pada

tahun 2004, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi program S3

pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai Direktorat Bina Program Jalan,

Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum. Pada tahun, 1993,

penulis dialih tugaskan di Biro Perhubungan dan Transportasi, Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada awal tahun 2007 menjadi Direktur

Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta, kemudian akhir tahun 2007,

menjadi Direktur Pemukiman dan Perumahan, dan tahun 2010 dipercayakan

menjadi Kepala Biro Sumber Daya Manusia di institusi yang sama.

Tahun 1988, penulis menikah dengan Dra. Apt. Dyah Herawati dan

dikarunia dua orang anak yaitu Chika Anindyah Hidayat (lahir tahun 1989), dan

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas

berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Sumber Sumber

Pertumbuhan Sektor Transportasi dan Disparitas Ekonomi Wilayah di

Indonesia. Topik yang diangkat dalam disertasi ini merupakan isu penting dalam

pembangunan antar wilayah di Indonesia, khususnya terkait dengan permasalahan

konektivitas domestik Indonesia dan khususnya keterkaitan dengan transportasi.

Penyusunan disertasi ini bisa terlaksana baik karena adanya arahan dan

bimbingan dari komisi pembimbing, dan bantuan dari pihak-pihak lainnya.

Karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan bimbingan pada pengembangan rencana penelitian

serta penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing

yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan

disertasi ini.

3. Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing

yang telah banyak memberikan bimbingan dan koreksi dalam penyusunan

disertasi ini.

4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB yang telah berkenan

(11)

x

6. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS

sebagai penguji sidang tertutup.

7. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, MSc (Bappenas) dan Dr. Max Antameng, MA

(Ditjen Bina Marga) sebagai penguji sidang terbuka.

8. Dr. Ardi, MSi , Dr. Muftia Anang, Ir. Budi Lystiawan, Dr. Ir. Ibnu Syabri

(dosen Planologi ITB), serta rekan rekan EPN Khusus 2, Ruby dan Yani

dari kesekretariatan EPN IPB dan juga rekan rekan Biro SDM Bappenas

yang telah banyak memberikan dukungan dalam penyusunan dan perbaikan

disertasi ini.

Penulis juga berterima kasih atas pengorbanan, dorongan semangat dan dukungan

dari orangtua, istri dan anak-anak tercinta.

Semoga disertasi ini memberi manfaat bagi kemajuan negara, khususnya

industri agro Indonesia.

Bogor, Januari 2012

(12)

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.1.1. Fenomena Kesenjangan ... 1

1.1.2. Fungsi dan Peran Transportasi ... 6

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Tinjauan Teoritis Kinerja Ekonomi Wilayah ... 13

2.1.1. Peran Transportasi Dalam Pengembangan Wilayah ... 13

2.1.2. Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 17

2.2. Transportasi dan Perdagangan Antar Wilayah ... 25

2.3. Transportasi dan Disparitas Wilayah ... 29

2.4. Perkembangan Pemikiran Transportasi dan Ekonomi Wilayah ... 33

2.5. Tinjauan Metode Analisis Dampak ... 37

2.4.1. Beberapa Pendekatan dalam Analisis Ekonomi Sektor Transportasi ... 37

2.4.2. Model Keseimbangan Umum ... 41

2.4.3. Pentingnya Memahami Ekonomi Spasial ... 42

2.4.4. Pentingnya Menerapkan IRIO dalam Analisis Ekonomi Sektoral dan Spasial ... 45

2.4.5. Pentingnya Analisis Dampak dari Model IRIO ... 48

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN HIPOTESIS ... 51

3.1. Kerangka Pikir Penelitian ... 51

(13)

xii

3.4.1. Dampak Pengganda Total ... 56

3.4.2. Dampak Pengganda Sektoral ... 56

3.4.3. Dampak Pengganda Spasial ... 57

3.4.4. Dampak Pengganda Bersih ... 57

3.4.5. Dampak Balik dan Luberan ... 58

3.5. Perubahan Struktur Ekonomi ... 60

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 63

4.1. Metoda Analisis ... 63

4.1.1. Analisis Pengganda ... 63

4.1.2. Konstruksi Tabel I-O antar Wilayah di Indonesia... 64

4.2. Model Input-Output Daerah ... 66

4.2.1. Kerangka Dasar ... 66

4.2.2. Koefisien Input dan Pengganda Output ... 70

4.2.3. Pengganda Pendapatan dan Kesempatan Kerja... 74

4.3. Model Input-Output Antardaerah (IRIO) ... 76

4.3.1. Kerangka Dasar ... 76

4.3.2. Koefisien Teknis dan Perdagangan dalam Model IRIO ... 80

4.4. Dampak Pengganda Output, Pendapatan dan Kesempatan Kerja ... 81

4.4.1. Dampak Pengganda Total atau Dampak secara Nasional ... 83

4.4.2. Dampak Pengganda Intraregional ... 83

4.4.3. Dampak Pengganda Interregional ... 84

4.4.4. Dampak Pengganda Sektoral ... 84

4.4.5. Dampak Balik ... 85

4.4.6. Dampak Bersih ... 85

4.4.7. Dampak Pengganda Pendapatan ... 87

4.4.8. Dampak Pengganda Pendapatan Total atau Secara Nasional ... 88

4.4.9. Dampak Pengganda Kesempatan Kerja ... 91

4.5. Efisiensi Sektoral ... 96

4.6. Perubahan Struktural Ekonomi ... 96

(14)

xiii

4.8. Konsep dan Definisi Variabel ... 105

4.9. Pengukuran Disparitas dan Pengaruh ... 107

V. KONDISI PEREKONOMIAN REGIONAL INDONESIA ... 111

5.1. Gambaran UmumPerekonomian Regional ... 111

5.2. Analisis Pengganda Regional ... 115

5.2.1. Pengganda Output ... 115

5.2.2. Pengganda Nilai Tambah Bruto ... 120

5.2.3. Pengganda Kesempatan Kerja ... 126

5.3. Analisis Perubahan Struktur Ekonomi ... 130

5.3.1. Dekomposisi Perubahan Struktur Di Wilayah Sumatera ... 131

5.3.2. Dekomposisi Perubahan Struktur Di Wilayah Jawa-Bali ... 133

5.3.3. Dekomposisi Perubahan Struktur Di Wilayah Kalimantan ... 135

5.3.4. Dekomposisi Perubahan Struktur Di Wilayah Sulawesi ... 138

5.3.5. Dekomposisi Perubahan Struktur Di Wilayah Indonesia Lainnya /ROI (Rest of Indonesia) ... 141

VI. KONTRIBUSI TRANSPORTASI TERHADAP DISPARITAS EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA ... 145

6.1. Peranan Sektor Transportasi Terhadap Perekonomian ... 145

6.2. Keterkaitan Ekonomi Antarsektor Transportasi Regional ... 149

6.3. Peran Sektor Transportasi Terhadap Disparitas Ekonomi ... 154

6.4. Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Transportasi Ekonomi Di Wilayah Indonesia ... 162

6.4.1. Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Transportasi Wilayah Sumatera ... 163

6.4.2. Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Transportasi Wilayah Jawa-Bali ... 166

6.4.3. Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Transportasi Wilayah Kalimantan ... 169

6.4.4. Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Transportasi Wilayah Sulawesi ... 172

(15)

xiv

7.2. Saran ... 182

DAFTAR PUSTAKA ... 185

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Matrix Gain from Tradedari Teori H-O ... 28

2. Kerangka Model Input-Output Daerah (Nasional) ... 68

3. Kerangka Dasar Model IRIO untuk Dua Daerah ... 78

4. Total Distribusi Output Regional Tahun 2000 dan 2005 ... 111

5. Sektor dengan Output Tertinggi Regional ... 112

6. Sepuluh Sektor Penghasil Nilai Tambah Tertinggi Regional ... 113

7. Sepuluh Sektor dengan Nilai Ekspor ke Luar Negeri Terbesar ... 114

8. Sepuluh Sektor dengan Angka Pengganda Output tertinggi ... 116

9. Multiplier Output Sektor Transportasi Tahun 2000-2005 ... 117

10. Sepuluh Sektor dengan Angka Pengganda Pendapatan Rumah Tangga tertinggi Berdasarkan Tabel IRIO tahun 2000 dan tahun 2005 ... 121

11. Pengganda Pendapatan Sektor Transportasi Tahun 2000-2005 ... 122

12. Data pengganda tenaga kerja regional terbesar 2000 dan 2005 ... 126

13. Sepuluh Sektor dengan Angka Pengganda Tenaga Kerja tertinggi ... 127

14. Multiplier Tenaga Kerja Sektor Transportasi Tahun 2000 – 2005 ... 127

15. Sumber-sumber Pertumbuhan Wilayah Sumatera ... 132

16. Sumber-sumber Pertumbuhan Wilayah Jawa-Bali ... 134

17. Sumber-sumber Pertumbuhan Wilayah Kalimantan ... 137

18. Sumber-sumber Pertumbuhan Wilayah Sulawesi ... 140

19. Sumber sumber Pertumbuhan Wilayah RIO ... 142

(17)

xvi

22. Pengganda Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang Sektor

Transportasi berdasarkan Wilayah Tahun 2000 dan 2005 . ... 154

24. Perubahan Disparitas Multiplier Output Antar Wilayah Menurut Sektor (Koefisien Variasi) ... 158

25. Perubahan Disparitas Multiplier Income Antar Wilayah Menurut

Sektor transportasi (Koefisien Variasi) ... 158

26. Perubahan Disparitas Multiplier Tenaga Kerja Antar Wilayah

Menurut Sektor (Koefisien Variasi) ... 159

27. Sumber sumber pertumbuhan sektor transportasi dalam Wilayah

Sumatera ... 165

28. Sumber sumber pertumbuhan sektor transportasi dalam Wilayah

Jawa-Bali ... 168

29. Sumber sumber pertumbuhan sektor transportasi terhadap Wilayah

Kalimantan ... 171

30. Sumber sumber pertumbuhan sektor transportasi terhadap wilayah

Sulawesi ... 174

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Distribusi PDRB atas harga berlaku ... 3

2. PDRB sektor transportasi terhadap PDRB Nasional (tanpa migas, harga konstan tahun 2000) ... 7

3. Variasi sewa tanah dan tata guna lahan, von Thunen ... 15

4. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang mendekati sumber material ... 16

5. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang mendekati pasar ... 17

6. Keterkaitan biaya transportasi dan produksi ... 19

7. Perbedaan harga menurut Heckser-Ohlin ... 27

8. Alur Penghitungan Analisis Dampak dan Pola Perubahan Struktural Ekonomi ... 52

9. Kontribusi Output Regional yang di Ekspor ke Luar Negeri Tahun 2000 dan 2005 ... 114

10. Pengganda Output Region Sumatera Tahun 2000 dan 2005 ... 118

11. Pengganda Output Region Jawa-Bali Tahun 2000 dan 2005 ... 118

12. Pengganda Output Region Kalimantan Tahun 2000 dan 2005 ... 119

13. Pengganda Output Region Sulawesi Tahun 2000 dan 2005 ... 119

14. Pengganda Output Region ROI Tahun 2000 dan 2005 ... 120

15. Pengganda Pendapatan Region Sumatera 2000 dan 2005 ... 123

16. Pengganda Pendapatan Region Jawa-Bali 2000 dan 2005 ... 124

17. Pengganda Pendapatan Region Kalimantan 2000 dan 2005 ... 122

18. Pengganda Pendapatan Region Sulawesi 2000 dan 2005 ... 125

19. Pengganda Pendapatan Region ROI 2000 dan 2005 ... 125

(19)

xviii

23. Pengganda Tenaga kerja Region Sulawesi 2000 dan 2005 ... 127

24. Pengganda Tenaga Kerja Region ROI 2000 dan 2005 ... 130

25. Perubahan Kontribusi Sektor transportasi Terhadap Perekonomian Indonesia dari Tahun 2000-2005 ... 146

26. Kontribusi Output Sektor Transportasi Region Sumatera Terhadap Total Output Indonesia ... 146

27. Kontribusi Output Sektor Transportasi Region Jawa Bali Terhadap Total Output Indonesia ... 147

28. Kontribusi Output Sektor Transportasi Region Kalimantan Terhadap Total Output Indonesia ... 147

29. Kontribusi Output Sektor Transportasi Region Sulawesi Terhadap Total Output Indonesia ... 148

30. Kontribusi Output Sektor Transportasi Region ROI Terhadap Total Output Indonesia ... 148

31. Sektor Kunci IRIO Indonesia Tahun 2000 ... 150

32. Sektor Kunci IRIO Indonesia Tahun 2005 ... 151

33. Efek Output Intrawilayah, IRIO 2000 ... 155

34. Efek Output Intradaerah Regional, IRIO 2005 ... 156

35 . Peta Perdagangan berdasarkan nilai Antarwilayah di Indonesia, IRIO 2000 ... 156

36. Efek output intra dan antar wilayah di ROI 2000 dan 2005 ... 157

37. Peta Perdagangan berdasarkan nilai Antarregion di Indonesia, IRIO 2005 ... 157

38. Koefisien Variasi Shock Output Regional Sektor Transportasi IRIO Indonesia Tahun 2000 dan 2005 ... 160

39. Koefesien Variasi Shock Income Regional Sektor Transportasi IRIO Indonesia Tahun 2000 dan 2005 ... 161

(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel Interregional Input Output Antar Pulau Indonesia Tahun 2000

Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen ... 194

2. Tabel Interregional Input Output Antar Pulau Indonesia Tahun 2005 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen ... 200

3. Matrik Pengganda Tabel Interregional Input Output Antar Pulau Indonesia Tahun 2000 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen ... 204

4. Matrik Pengganda Tabel Interregional Input Output Antar Pulau Indonesia Tahun 2005 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen ... 209

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Fenomena Kesenjangan

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di

dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

menjadi faktor yang mendorong tidak optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan

potensi sumberdaya alam dan manusia yang ada. Optimalisasi pemanfaatan

sumberdaya bagi peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan memerlukan

strategi pembangunan lintas pulau (lintas wilayah), dan lintas sektor. Strategi ini

diperlukan agar optimalisasi pemanfaatan sumberdaya berlangsung secara

harmonis dengan pendekatan komprehensif yang memperhatikan keseimbangan

fisik, ekonomi, sosial dan budaya.

Kebijakan pembangunan di Indonesia hingga sekarang dianggap hampir

identik dengan pemusatan perhatian kepada kebijakan pertumbuhan ekonomi baik

pada tingkat regional maupun nasional dan cenderung bersifat parsial. Kebijakan

pembangunan di Indonesia selama ini tampaknya terfokus pada kebijakan yang

memacu pertumbuhan ekonomi. Disparitas sumberdaya baik antarpulau maupun

antarwilayah di satu pulau menyebabkan dampak pertumbuhan yang tidak merata.

Sementara itu, keterkaitan antarpulau dan antarwilayah kurang mendapat

perhatian, yang mana mempertajam ketidakmerataan dalam pembangunan

nasional. Strategi pembangunan yang selama ini menekankan kepada akumulasi

dari kapital fisik (man-made capital) kiranya perlu dibenahi dengan mulai

(22)

(natural capital), kapital manusia (human capital) dan kapital sosial (social

capital).

Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi selama ini

tidak dikembangkan untuk memaksimalkan peningkatan nilai tambah pengelolaan

sumber daya yang ada, sehingga cenderung menguras sumberdaya alam.

Kurangnya kesadaran lingkungan dan tidak diimbanginya pengelolaan

sumberdaya alam dengan investasi untuk pemeliharaannya, berdampak pada

rusaknya kelestarian (sustainability) dari sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Akibatnya terjadi ketidakmerataan pendapatan antar pulau, antar wilayah, dan

antarkelompok dalam masyarakat, bahkan ketidakmerataan ini mengarah kepada

kemiskinan. Seperti halnya siklus kemiskinan, pendapatan yang rendah di suatu

daerah, menyebabkan rendahnya produktifitas daerah, yang mendorong terjadinya

daya saing daerah yang rendah, yang dapat menyebabkan keterkaitan ekonomi

antar daerah yang juga rendah.

Kegiatan ekonomi cenderung terkonsentrasi hanya pada beberapa daerah

tertentu saja dan belum termanfaatkan secara optimal. Seperti Gambar 1,

konstribusi wilayah Jawa dan Bali terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto

(PDB) Indonesia sekitar 60 persen. Sulit untuk dikenali ikatan-ikatan fungsional

perekonomian yang mana yang dapat dikembangkan untuk mendorong

keterkaitan perekonomian daerah, khususnya antara daerah kaya dan daerah

miskin. Salah satu implikasi terpenting dari kecenderungan ini, adalah apa yang

dikenal dengan integritas pembangunan dimana pembangunan ekonomi

hendaknya dilihat sebagai satu kesatuan ekonomi dalam kluster kawasan ataupun

(23)

jasa serta investasi antarwilayah, antarpulau, bahkan antarnegara akan semakin

meluas, intensif, dan dinamis.

Potensi sumber daya wilayah; produktivitas wilayah yang rendah; masih

banyaknya wilayah-wilayah miskin seperti perbatasan, pesisir, dan kepulauan

yang tertinggal; konversi lahan pertanian yang tinggi ke non pertanian; dan belum

kondusifnya iklim untuk investasi di daerah menyebabkan beberapa sasaran atau

target group tidak terlayani. Hal ini dapat terjadi karena adanya pembangunan

yang bersifat parsial seperti pendekatan dengan pembangunan sektoral yang

belum memanfaatkan hasil pembangunan tersebut.

Sumber : BPS(2009)

Gambar 1. Distribusi PDRB atas harga berlaku

Blair (1991) menyebutkan tentang pentingnya tujuh aspek yang perlu

diperhitungkan dalam pengembangan wilayah, yakni yang meliputi:

1. keterkaitan wilayah secara fisik (physical linkages) baik kondisi infrastruktur

yang ada seperti jalan, kereta api, pelabuhan, dan bandara maupun jaringan

(24)

2. keterkaitan wilayah secara ekonomi (economic linkages) terutama

ketersediaan sumberdaya, pola aliran barang dan jasa, keterkaitan produksi,

komoditas unggulan maupun aliran modal dan pendapatan.

3. pergerakan dan perpindahan penduduk (population movement linkages) baik

migrasi tetap maupun migrasi musiman terkait dengan kegiatan ekonomi.

4. keterkaitan teknologi (technological linkages) baik teknologi produksi,

teknologi informasi, teknologi telekomunikasi.

5. keterkaitan sosial (social interaction linkages) dalam kehidupan budaya,

agama dan kekerabatan.

6. keterkaitan layanan jasa (service delivery linkages) termasuk jaringan layanan

energi, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan dan perdagangan.

7. keterkaitan administrasi, politik, pengorganisasian (political, administrative,

and organizational linkages). Selain itu, keseimbangan dan keterkaitan lintas

wilayah dan lintas sektor perlu dilakukan melalui penataan ruang sebagai

salah satu instrumen utama dalam pengarusutamaan (mainstreaming)

kebijakan pembangunan berbasis wilayah.

Berdasarkan uraian Blair, pada dasarnya terdapat 2 dimensi spasial yang

perlu dipahami yaitu:

1. local specificity, dimana setiap lokasi dalam suatu ruang dapat

diindikasikan pasti mempunyai kekhasan. Kekhasan ini bisa diartikan

sebagai kekhasan alamiah seperti kandungan sumberdaya alam, dan bisa

(25)

yang mampu mengembangkan wilayah-wilayah seperti: sentra produksi

kerajinan, sentra bisnis dan sentra budaya; dan

2. spatial interaction, dimana interaksi antara wilayah-wilayah dengan local

specificity harus dibangkitkan agar bisa ditingkatkan efisiensi dan

keberlanjutan pembangunan dari masing-masing wilayah yang terlibat.

Selain itu, melalui pendekatan spasial ini juga dapat dilakukan

pengembangan jaringan (networks), penguatan kolaborasi antar pelaku,

dan pengembangan klaster. Pendekatan ini mengutamakan pada sikap,

perilaku dan hubungan kerja para pemangku kepentingan yang saling

melengkapi dalam pengembangan wilayah (Healey dan Liberry, 1990)

Pemerintah sebagai pendorong pembangunan, juga mempunyai

keterbatasan dalam penyediaan dan pengelolaan sumberdaya untuk pembangunan.

Penyusunan skala prioritas, seperti pemilihan prioritas wilayah, prioritas

pengembangan industri atau sektor usaha, dan prioritas kegiatan yang memiliki

dampak pengganda paling besar baik secara sektoral (forward and backward

linkages) maupun spasial (interregional linkages). Bagi pemerintah pendekatan

pembangunan berbasis wilayah merupakan salah satu jawaban untuk menggalang

kekuatan dan potensi lokal secara lebih efektif, guna mendorong keserasian dan

keseimbangan pembangunan wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan

nasional. Dalam konteks pemikiran tersebut, penyusunan model keterkaitan

regional menjadi suatu keniscayaan guna melakukan antisipasi terhadap

perubahan di masa depan, dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional

(26)

1.1.2. Fungsi dan Peran Transportasi

Dengan latar belakang demografi, geografi, infrastruktur dan ekonomi

yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, maka salah satu

konsekuensi adalah pentingnya dikembangkan sarana penghubung antarpulau dari

simpul-simpul pertumbuhan yang paling strategis. Kepulauan di Indonesia

menuntut disediakannya sarana dan prasarana transportasi yang memadai

sehingga berperan dalam menggerakkan perekonomian di Indonesia. Transportasi,

baik transportasi udara, laut maupun darat, pada akhirnya dapat berfungsi sebagai

katalisator dalam pembangunan di Indonesia.

Transportasi dalam perkembangannya menjadi salah satu sektor ekonomi

yang turut memberikan andil dalam penciptaan nilai tambah (value added).

Penciptaan nilai tambah tersebut dapat terjadi karena sektor–sektor ekonomi

mempunyai keterkaitan transaksi antar sektor, sehingga pembangunan suatu

sektor akan mempengaruhi perkembangan sektor ekonomi lainnya. Oleh karena

itu kaitan dalam pembangunan sektor transportasi perlu untuk memperhatikan

pula keberadaan sektor–sektor ekonomi lainnya sehingga pembangunan

perekonomian suatu wilayah termasuk pembangunan masing–masing sektor

ekonomi dan keterkaitannya dengan sektor transportasi dapat diantisipasi.

Peranan sektor transportasi terhadap PDB Nasional beberapa tahun

belakangan ini sekitar 4.50 – 4.71 persen dari total PDB Nasional, kontribusi

sektor transportasi terbesar berada di wilayah Jawa dan Bali, kemudian di wilayah

Sumatera (lihat Gambar 2). Hal ini searah dengan peranan regional dalam

pembentukan PDB serta sebaran penduduk regional Indonesia yang sebagian

(27)

Sumber: BPS (2007)

Gambar 2: PDRB sektor transportasi terhadap PDRB Nasional (tanpa migas, harga konstan tahun 2000)

Pada tahun 2000, PDRB sektor transportasi yang terbesar di Indonesia

adalah propinsi JawaTimur, yaitu 8 179 489.46 juta rupiah (0.59 persen PDRB

Nasional), dan dikuti oleh DKI Jakarta, yaitu 7 813 894.12 juta rupiah (0.56

persen PDB Nasional). Pada tahun 2006, PDRB sektor transportasi yang terbesar

adalah DKI Jakarta yaitu sebesar 12 040 337.56 juta rupiah (0.65 persen PDRB

nasional) dan dikuti oleh Jawa Timur sebesar 11 008 316.38 juta rupiah (0.60

persen PDRB Nasional). Sedangkan Kalimantan Timur, dari sisi PDRB lebih

kecil dari kedua propinsi tersebut, namun justru Kalimantan Timur merupakan

propinsi yang terbesar PDRB per kapita di Indonesia yaitu 985 644.09 juta rupiah

pada tahun 2000, dan menjadi 1 366 485.35 juta rupiah pada tahun 2006 (BPS,

2007). Walaupun, PDRB Kalimantan Timur lebih besar dari DKI Jakarta, namun

jumlah sumber daya manusia DKI yang lebih besar, tentunya mengindikasikan

aktifitas yang besar juga. Bappenas (2007), menyebutkan bahwa perkembangan

(28)

Dimana DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai investasi tertinggi atau

setara dengan 27.9 persen dari total investasi di Indonesia.

Kebutuhan akan transportasi dalam menjembatani pelayanan

pembangunan ekonomi juga menjadi perhatian pemerintah Indonesia dengan

dikeluarkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi

Indonesia atau MP3EI. Dalam MP3EI tersebut, dinyatakan bahwa “ Penyediaan

infrastruktur yang mendorong konektivitas akan menurunkan biaya transportasi

dan biaya logistik sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, mempercepat

gerak ekonomi. Termasuk dalam infrastruktur konektivitas ini adalah

pembangunan jalur transportasi......” (Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian dan Bappenas, 2011, hal. 19). Selain itu terdapat tiga pilar utama

dalam MP3EI tersebut yaitu strategi peningkatan potensi wilayah melalui pusat

pusat pertumbuhan didalam koridor ekonomi, strategi memperkuat konektivitas

nasional, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan IPTEK.

Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi

yang nyata antara sektor transportasi dengan pertumbuhan ekonomi suatu

wilayah, seperti yang dapat digambarkan berikut :

1. Sektor transportasi akan berpengaruh pada kinerja pergerakan dan

mobilitas orang dan barang. Jika kondisi sektor transportasi buruk maka

kinerja transportasi juga cenderung akan menurun. Hal ini akan

menyebabkan daerah-daerah yang telah berkembang aktifitas ekonominya

menjadi berkurang tingkat aksesibilitasnya, yang pada gilirannya akan

menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang berstransportasi

(29)

kondisi ini akan menyebabkan daerah-daerah tersebut terisolasi yang pada

akhirnya menjadi daerah yang tidak mampu berkembang.

2. Suatu wilayah yang mempunyai potensi ekonomi yang tinggi untuk

berkembang, misalnya karena memiliki potensi sumber daya alam yang

menjanjikan, tidak akan mampu berkembang seperti yang diharapkan jika

sektor transportasinya terbatas. Sektor transportasi yang terbatas secara

langsung akan berpengaruh pada tingkat aksesibilitas suatu wilayah, yang

pada gilirannya akan menyebabkan tingginya biaya angkut. Biaya angkut

yang tinggi menyebabkan sumber daya alam suatu wilayah menjadi tidak

ekonomis ataupun tidak kompetitif untuk dieksploitasi. Hal ini pada

gilirannya akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi pada

wilayah dimaksud.

Namun demikian korelasi di atas masih memerlukan analisa, terutama

untuk kasus Indonesia. Pemahaman yang lebih rinci dan jelas mengenai hubungan

antara kondisi sektor transportasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan

pemerataan sangatlah dibutuhkan.

1.2. Perumusan Masalah

Sektor transportasi memiliki kontribusi yang sangat penting dan

berdimensi stratejik bagi pembangunan nasional, mengingat sifatnya sebagai

penggerak dan pendorong kegiatan pembangunan serta sebagai jembatan perekat

kesenjangan yang membuat semakin penting perannya sebagai bagian integral

dari infrastruktur pembangunan nasional (Departemen Perhubungan, 2005).

(30)

karakteristik yang berkaitan dengan kondisi fisik meliputi kondisi topografi,

sebaran penduduk, kondisi potensi sumber daya alam. Dengan demikian maka

ketergantungan atau keterkaitan ekonomi antardaerah dipastikan akan terjadi.

Karena keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lain, maka dalam proses

pertumbuhannya dapat saja terjadi perubahan struktur. Berdasarkan hal hal di atas

maka terdapat permaslahan sebagai berikut:

1. Karakteristik wilayah yang berbeda, menyebabkan perubahan struktural

dalam waktu yang berbeda. Oleh sebab itu seberapa besar perubahan struktur

ekonomi pada sektor transportasi pada suatu wilayah?

2. Perubahan dalam struktur ekonomi terkait dengan komposisi permintaan dan

penawaran produksi (produk antara) tidak terpolakan dengan baik. Dengan

demikian, bagaimana keterkaitan ekonomi antar sektor transportasi antar

wilayah?

3. Sektor transportasi merupakan faktor pendorong dalam intrawilayah maupun

interwilayah dalam usaha menghubungkan simpul simpul strategis. Oleh

sebab itu seberapa besar peran sektor transportasi terhadap disparitas

ekonomi?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada permasalahan studi yang telah diuraikan

sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perubahan struktur ekonomi pada sektor transportasi terhadap

wilayah di Indonesia.

2. Menganalisis keterkaitan antar wilayah pada sector transportasi.

(31)

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Kata kunci dalam penelitian ini adalah keterkaitan antar regional yang

dalam hal ini diwakili oleh :

1. Lima wilayah besar di Indonesia yaitu

1. Jawa-Bali,

2. Sumatera,

3. Kalimantan,

4. Sulawesi dan

5. Indonesia lainnya atau ROI (Rest of Indonesia).

2. Sektor transportasi dibatasi hanya pada sektor

1. transportasi darat,

2. sektor transportasi laut dan

3. transportasi udara.

3. Sumber sumber pertumbuhan fokus pada Domestic Final Demand (DFD),

Export Expansion (EE), Import Substitution (IS) dan Koefisien Teknologi

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada dasarnya transportasi hanya salah satu dari faktor penting dalam

pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Walaupun sudah banyak yang mengkaji

pentingnya peran transportasi dalam konteks pembangunan wilayah, namun

demikian penelitian terhadap peran transportasi masih tetap berlanjut (Button,

1993), karena persoalan transportasi dan pembangunan ekonomi suatu wilayah

merupakan hal yang rumit. Bagian ini akan mengkaji teori ekonomi wilayah

dalam konteks keterkaitannya dengan transportasi dan melihat seberapa jauh

berdasarkan teori tersebut dan perkembangan peran transportasi pada suatu

wilayah dan keterkaitan antar wilayah.

2.1. Tinjauan Teoritis Kinerja Ekonomi Wilayah

Perbedaan potensi suatu wilayah dengan wilayah lainnya merupakan hal

yang dibahas dalam ekonomi wilayah (regional economics). Selain itu ilmu

ekonomi regional tidak membahas kegiatan ekonomi secara individu melainkan

melihat suatu wilayah secara keseluruhan (Tarigan, 2005). Ilmu ekonomi regional

pada dasarnya adalah cabang dari ilmu ekonomi, baik mikro maupun makro

dengan karakteristik khusus yang memasukkan unsur lokasi dan ruang. Oleh

sebab itu salah satu unsur yang sering dimasukkan dalam ilmu ekonomi regional

adalah transportasi.

2.1.1. Peran Transportasi Dalam Pengembangan Wilayah

Transportasi merupakan akar dari teori ekonomi (neo)-klasik yang

dilakukan melalui pertumbuhan, permintaan/penawaran (demand/supply) dan

(33)

Sedangkan, pembangunan wilayah, lebih merupakan fungsi dari potensi

sumber daya alam, tenaga kerja, prasarana dan sarana pembangunan, teknologi

dan perdagangan antar wilayah (Adisasmita, 2005).

Hubungan antara transportasi dan studi pembangunan pada awalnya

merujuk pada buku ”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of

Nation”, pada tahun 1776 oleh Adam Smith. Smith menekankan pentingnya

jejaring transportasi yang dikenal sebagai ’as greatest of all improvement’ dalam

mengembangkan pasar dari perkotaan (urban) ke perdesaan (rural area) dan

selanjutnya memfasilitasi adanya tenaga kerja. Dalam jangka panjang, proses

tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan suatu wilayah.

Akan tetapi, Smith tidak banyak memberikan penjelasan dengan cara bagaimana

(proses) peningkatan transportasi dengan peningkatan produksi dan pembangunan

ekonomi. Namun demikian pandangan dari Smith tersebut secara luas diterima

oleh para peneliti sebagai dasar (foundation) dari studi yang terkait dengan

permasalahan (isu) mengenai transportasi dan teori pembangunan hingga saat ini.

Pandangan Smith tersebut, kemudian banyak diikuti oleh para peneliti

dalam memberikan kontribusinya terhadap permasalahan transportasi, yang mana

semakin memperluas makna (pengertian) mengenai jaringan transportasi sebagai

hal yang sangat penting dalam menentukan besarnya ruang (wilayah) dari suatu

produksi maupun jangkauannya terhadap pasar. Von Thunen, 1826

mengembangkan teori yang membandingkan tingkat aksesibilitas transportasi

dengan tata guna lahan pertanian (Webber, 1984, Chapman dan Walker, 1987).

(34)

tingkat aksesibilitas ke lahan tersebut. Model dari Von Thunen adalah sebagai

berikut:

R Y p c Yfm

di mana R = Sewa per unit lahan; Y = Hasil produksi per unit lahan; p = harga

(pasar) per unit lahan; c = Rata rata biaya produksi per unit lahan; m = jarak ke

pasar (km) dan f = ongkos angkut per unit lahan dan jarak.

Seluruh lahan pertanian diusahakan agar memaksimalkan produktifitas (R), yang

mana dalam hal ini tergantung pada lokasi dan jarak dari pusat penjualan (pasar).

Peranan petani adalah memaksimalkan laba yaitu harga di pasar ( Y(p-c) )

dikurangi biaya transportasi (Yfm). Gambar 3 menunjukan keterkaitan antar jarak

dan sewa lahan dari model von Thunen.

Sumber: Button (1993)

Gambar 3. Variasi sewa tanah dan tata guna lahan, von Thunen

S

ewa

laha

n

P

m l

k j

W B

O Jarak dari pasar

Ja

ra

k da

ri

pa

sa

r

Prod.susu Bisnis

(35)

Tahun 1929, Alfred Weber menjelaskan keterkaitan antara biaya

transportasi dengan lokasi industri di mana biaya transportasi dari material awal

(raw material) dan produk akhir adalah minimum. Pada Gambar 4a menunjukkan

letak pabrik yang berlokasi di antara sumber material dan pasar. Pada Gambar 4b,

letak pabrik mendekati sumber material, dan berakibat pada menurunnya biaya

transportasi, dan terus akan menurun apabila letak pabrik berada pada sumber

material.

Gambar 4. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang mendekati sumber material

Hal yang sama terjadi juga apabila pabrik bergerak kekanan seperti pada

gambar 5a, 5b, 5c, di mana pada lokasi pabrik mendekati pasar, biaya transport

akan terendah apabila lokasi pabrik terletak di dekat dengan pasar.

Apa yang dilakukan oleh Von Thunen dan Weber kemudian diteliti lebih

lanjut oleh oleh Isard (1956) dan Greenhunt (1956). Christaller (1933) menyusun

suatu sistem yang mana biaya transportasi mempengaruhi aktifitas perkotaan

(urban) dan perdesaan (rural). Losch (1954), selanjutnya menjelaskan bagaimana

biaya transportasi mempengaruhi distribusi spasial dari suatu produksi.

Pasar

( a )

Pasar Sumber

material Pabrik

Unit Cost (Transport)

( b )

- Sumber material

-Pabrik

Pasar

(c ) Unit Cost (Transport)

Sumber material

(36)

Gambar 5. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang mendekati pasar

Dengan demikian secara umum, dapat dikatakan bahwa para ekonom

klasik telah menyiapkan kerangka ekonomi, sebagai dasar teori, terutama

mengembangkan argumentasi bahwa jaringan transportasi yang sudah ada akan

mempengaruhi lokasi dari suatu aktifitas ekonomi. Artinya dapat diasumsikan

bahwa perubahan dalam sistem transportasi secara langsung menyebabkan

perubahan suatu aktifitas.

2.1.2. Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Munculnya paham baru yang kemudian dikenal sebagai ekonomi

neoklasik (neoclassical economy) memberikan peran dari kapital dan teknologi di

sebagai salah satu variabel di dalam pembangunan ekonomi (Kuznets,1995). Dari

perspektif transportasi, hampir tidak ada perubahan yang signifikan antara

ekonomi klasik dan neoklasik. Namun demikian, penggunaan teknologi menjadi

hal yang utama dari model neoklasik, sehingga peningkatan teknologi dalam

sistem transportasi memainkan peran dalam proses pertumbuhan ekonomi.

Pasar Sumber

material

( a ) Sumber

material

Pabrik Unit Cost (Transport)

Pasar Pabrik

Unit Cost (Transport)

( b )

Pasar

Pabrik Sumber

material

(37)

Penjelasan mengenai hubungan antara transportasi dan pertumbuhan

ekonomi dalam era modernisasi dikenal dalam teori tahap pertumbuhan (”the

stage of growth”) yang diperkenalkan oleh Walt Rostow, 1960. Dalam pandangan

Rostow, peningkatan di sektor transportasi (melalui pembangunan rel kereta api)

adalah hal yang utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjadikan

perubahan pada masayarakat yang berbasis pertanian ke pasca industri. Rostow

membagi tahapan pembangunan tersebut dalam 5 tahapan yaitu : (1) masyarakat

tradisional, (2) tahap prasyarat tinggal landas, (3) tahap tinggal landas, (4) tahap

menuju kedewasaan, (5) tahap konsumsi tinggi. Peran transportasi, menurut

Rostow muncul pada tahap prasyarat tinggal landas. Dalam tahap ini terdapat

syarat yang penting yaitu peningkatan investasi pada prasarana ekonomi terutama

transportasi (Hess dan Ross, 1997).

Dari penjelasan sebelumnya prinsip yang dikemukakan oleh Smith masih

relevan dalam pemikiran ekonomi neoklasik. Penjelasan mengenai apa yang

dikemukakan Smith terkait dengan permasalahan transportasi dapat dijelaskan

oleh Button (1993). Button memberikan ilustrasi sederhana mengenai model

permintaan/penawaran (demand/supply model), yaitu bagaimana peningkatan

transportasi akan memperbesar (memperluas) pasar suatu barang melalui

pengurangan biaya transportasi (lihat gambar 6). Dalam gambar 6 tersebut,

menunjukkan bahwa pengurangan biaya transportasi (∆P) mengubah biaya

penawaran (supply) dari Ps0 ke Ps1. Karena permintaan tetap, maka terjadi

keseimbangan baru dari yang semula di titik 0o ke titik 01. Hal ini berarti bahwa

(38)

produksinya. Peningkatan produksi ini berkaitan dengan perluasan pasar suatu

barang.

Ilmu ekonomi regional tidak terlepas dari induk ekonomi itu sendiri yaitu

makroekonomi dan ekonomi pembangunan. Dalam ekonomi regional, materi

materi ekonomi secara umum perlu disesuaikan dan dikembangkan berdasarkan

karakteristik ilmu ekonomi regional. Permasalahan seperti stabilitas harga (price

stability), tidak perlu dibahas apabila berkaitan dengan suatu wilayah dalam suatu

negara, karena instrumen ini merupakan kebijakan pemerintah pusat. Sedangkan

masih relevan untuk dibahas seperti full employment dan economic growth.

Sumber: Buton (1993)

Gambar 6. Keterkaitan biaya transportasi dan produksi

Modifikasi dari variabel-variabel ekonomi telah banyak dilakukan oleh

peneliti ekonomi regional. Analisis ekonomi regional dengan menggunakan

pendekatan makro ekonomi atau dengan menerapkan model-model pendapatan

nasional serta menggunakan model-model pertumbuhan nasional dapat dinamakan Q

P

Pd

P0

P1

Ps0

Ps1

O0

O1 ΔP

P : biaya transportasi

Ps: biaya thd supply

komoditas

Pd: biaya atas permintaan

thd komoditas

P0: biaya transportasi

sebelum adanya peningkatan transportasi

P1: biaya akibat adanya

peningkatan transportasi

(39)

sebagai makroekonomi antarwilayah (interregional macroeconomic). Penerapan

antarwilayah dengan demikian bermakna bahwa perekonomian adalah terbuka di

mana arus barang, arus modal dan arus tenaga kerja antara daerah satu dengan

lainnya mengalir tanpa hambatan.

Pertumbuhan regional (wilayah) pada dasarnya menggunakan konsep

konsep pertumbuhan ekonomi secara agregatif. Namun demikian, analisis

pertumbuhan regional lebih ditekankan pada perpindahan faktor (factor

movement). Arus modal dan tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke daerah

lain akan membuka peluang interaksi antar daerah dan pada akhirnya membuka

peluang pertumbuhan antar daerah (Richardson, 2001). Dalam kaitan factor

movement antar wilayah maka model pertumbuhan Harord-Domar dapat

digunakan untuk menganalisis pertumbuhan regional.

Model Harrod-Domar didasarkan asumsi asumsi bahwa: hasrat menabung

atau (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien–koefisien dalam

produksi adalah konstan. Pertumbuhan mantap (steady growth) akan dicapai

apabila kedua macam input tersebut harus memenuhi syarat-syarat keseimbangan

yaitu tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus

sama dengan tingkat pertumbuhan output (g) atau (g = k =n). Dalam kondisi

keseimbangan maka tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama

dengan investasi yang direncanakan.Terkait dengan pertumbuhan modal (k) dapat

dirumuskan sebagai berikut :

v s K Y Y S K S K

(40)

di mana: I= Investasi; S= Tabungan; K=Modal dan Y= Pendapatan, v adalah rasio

modal-output (capital output ratio). Pertumbuhan mantap tercapai apabila

terpenuhi syarat g=n= s/v. Karena s, v, n ditentukan secara independen maka

pertumbuhan mantap hanya dapat tercapai secara kebetulan.

Ketika hubungan antar wilayah terjadi, maka perekonomian tersebut dapat

dikatakan sebagai perekonomian terbuka. Dengan demikian impor dan tabungan

merupakan kebocoran, sedangkan ekspor dan investasi merupakan suatu suntikan

(injection) yang dapat menutupi kebocoran tersebut. Kelebihan tabungan dapat

disalurkan kedaerah lain, dalam bentuk surplus ekspor. Hal yang sama terjadi

apabila pertumbuhan penduduk suatu daerah mengalami pertumbuhan yang lebih

cepat dari penyerapan tenaga kerja pada pertumbuhan yang sedang berlangsung.

Hal ini akan berakibat terjadinya migrasi netto, yang dapat membantu

menyeimbangkan n dan g. Syarat yang diperlukan bagi perekonomian terbuka

adalah sebagai berikut :

S + M = I + X

kemudian dapat dirumuskan menjadi

(s + m)Y = I + X atau YI

(

s

m

)

YX

dimana, S= Tabungan; M= Impor; I=Investasi dan X= Ekspor

Dengan asumsi dua daerah yaitu i dan j, maka hubungan ekspor dan impor

antara 2 daerah , dapat digambarkan sebagai berikut:

1 1

j j

j ij ji

i

M

m

Y

(41)

dimana:

Xi = ekspor daerah i

Mji = impor daerah j dari daerah i

m = marginal propensity to import

Yj = pendapatan daerah j

Dengan demikian, persamaan pertumbuhan suatu daerah dapat dirumuskan

kembali menjadi :

Berdasarkan rumus di atas maka suatu daerah akan dapat tumbuh dengan

cepat apabila memiliki g (pertumbuhan ekonomi) yang tinggi dengan syarat

daerah tersebut harus memiliki tabungan (s) yang tinggi; impor (m) tinggi; ekspor

kecil; dan rasio modal output (capital output ratio= COR) kecil.

Walaupun tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi,

namun tingkat pertumbuhan modalnya dapat tetap sama dengan tingkat

pertumbuhan output, asalkan selisih tabungan - investasi tersebut diimbangi oleh

surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja juga diimbangi oleh migrasi keluar dan

kekurangan tenaga kerja dipenuhi melalui migrasi masuk. Syarat

keseimbangannya adalah :

i i

i n r

(42)

di mana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi keluar

dan migrasi-masuk (Ri) dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah

penduduk daerah yang berstransportasi (Pi). Secara keseluruhan, dari sudut

pandang sistem yang berstransportasi adalah :

i j

ij

i i i

P R

P R

r 1

Pada perekonomian terbuka, pertumbuhan mantap masih lebih pada

perkecualian daripada merupakan kelaziman. Pencapaian syarat syarat

keseimbangan disuatu wilayah dapat mengubah syarat syarat keseimbangan di

wilayah lainnya dan hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan pertumbuhan

wilayah itu sendiri. Ada atau tidaknya kecenderungan kearah pertumbuhan

mantap akan tergantung pada arus modal dan tenaga kerja antarwilayah

(interregional) bersifat menyeimbangkan atau tidak, dan hal ini tidaklah

ditentukan dalam model tersebut.

Selain Harrod-Domar, model model pertumbuhan neo-klasik yang juga

telah digunakan secara luas adalah Borts (1960), Bort dan Stein (1964), dan

Romans. Namun demikian untuk beberapa hal model pertumbuhan tersebut

mendapat kritikan terutama asumsi yang menyatakan full employment terjadi

secara terus menerus. Hal ini seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem

multiregional, karena persoalan regional timbul sebagai akibat dari adanya

perbedaan geografis dalam tingkat penggunaan sumber daya. Selain itu asumsi

persaingan sempurna tidak dapat diterapkan dalam perekonomian ruang (space

economy) di mana oligopoli, monopoli murni, atau persaingan monopolistik

(43)

neoklasik, kemudian menarik perhatian para ahli teori perekonomian regional

karena model tersebut mengandung teori tentang mobilitas faktor disamping teori

pertumbuhan. Implikasi dari model tersebut adalah bahwa dengan asumsi

persaingan sempurna maka modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas

jasa faktor tersebut berbeda-beda.

Syarat pertumbuhan mantap yang dalam model ekonomi neoklasik relatif

kurang restriktif apabila dibanding dengan model Harrod –Domar. Batasan yang

terdapat pada Harrod–Domar, kemudian mendapat kritikan karena adanya

kemungkinan substitusi antara modal dan tenaga kerja, yang berarti adanya

fleksibilitas dalam rasio modal-ouput. Tingkat pertumbuhan dapat bersumber dari

(Hayami, 2001; Johansson, 1993): (a) akumulasi modal, (b) pertumbuhan

penawaran tenaga kerja,dan (c) kemajuan teknologi, yang mencakup segala

sesuatu yang meningkatkan efisiensi dari sumber sumber yang stoknya sudah

tertentu.

Apabila diasumsikan bahwa tingkat kemajuan teknologi adalah fungsi dari

waktu, maka persamaan fungsi produksinya adalah :

) , , (K L t F

Yi i

di mana: K=Modal; L=Tenaga Kerja; t=Teknologi

Persamaan pertumbuhan di atas dapat di derivasi menjadi :

i i i i

i

i k n T

Y 1

di mana Y = tingkat pertumbuhan output, k = tingkat pertumbuhan modal,

n = tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan T = kemajuan teknologi. Sedangkan α

(44)

Y K K Y

dan dengan mengsumsikan skala pengembalian yang konstan (constant

return to scale) maka (1-α) = bagian pendapatan yang dihasilkan oleh tenaga kerja

yaitu

Y L L Y

.

Pertumbuhan kapasitas penuh merupakan suatu hal yang dikehendaki

dalam model neoklasik. Oleh sebab itu diperlukan suatu mekanisme untuk

menyamakan investasi dengan tabungan dalam kondisi full employment. Dengan

demikian syarat pertumbuhan mantap adalah :

m K Y MPK

i i

i ,

di mana MPK adalah marginal productivity of capital. Apabila m sudah tertentu

dan nilai α konstan, maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama.

Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah :

n

i

n

i i

i S

I

1 1

di mana: I=Investasi dan S=Tabungan

Namun demikian tabungan yang dihasilkan dalam suatu wilayah secara

individual tidak mesti sama dengan investasinya, karena suatu daerah akan

mengimpor modal apabila tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio

tabungan domestik terhadap modal.

2.2. Transportasi dan Perdagangan Antar Wilayah

Pembangunan wilayah tidak terlepas dari perdagangan antar wilayah.

(45)

Namun Weber tidak menjelaskan analisis yang dihasilkan bagi komoditi di mana

proses dari biaya transportasi terjadi. Proses tersebut dapat dijelaskan dalam teori

perdagangan.

Pada awalnnya Adam Smith meperkenalkan teori keuntungan absolut

(absolute advantage) (Carbaugh, 2005). Teori ini lebih mendasarkan pada

besaran/variabel riil, seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan

banyaknnya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk.

Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang

tersebut. Kelemahan teori ini adalah apabila hanya satu negara yang memiliki

keunggulan absolut, maka perdaganagn antar wilayah tidak akan terjadi karena

tidak ada keuntungan.

Teori Smith ini, kemudian di perbaiki oleh David Ricardo, yang kemudian

dikenal sebagai keunggulan komparatif (Comparative Advantage). Tidak seperti

Smith yang menekankan pada perbedaan biaya absolut antara dua wilayah,

Ricardo’s teori lebih menekankan pada perbedaan biaya komparatif (relatif).

Menurut keunggulan komparatif (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh

manfaat dari perdagangan antar wilayah jika melakukan spesialisasi produksi dan

mengekspor barang di mana negara tersebut lebih efisien dan mengimpor barang

yang mana negara tersebut akan memproduksi kurang/tidak efisien. Kelemahan

teori ini adalah mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara.

Heckser dan Ohlin (H-O) kemudian berusaha menjelaskan bahwa

walaupun fungsi faktor produksi (tenaga kerja) di kedua negara sama,

perdagangan antar wilayah (internasional) tetap terjadi. H-O kemudian

(46)

produksi yang sama dan kurva isoquant yang menggambarkan total kuantitas yang

sama (Hady 1998, Halwani, 2005, Fentra dan Taylor, 2011). Teori ini

mendasarkan pada faktor pendukung (endownment) yang mengarisbawahi bahwa

resources endownment merupakan faktor penentu dalam keunggulan komparatif.

Dengan demikian harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh

jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing masing negara.

Kedua kurva tersebut akan bersinggungan pada suatu titik optimal.

Artinya, dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan

biaya yang minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. Sesuai dengan

konsep titik singgung antara Isocost dan Isoquant, maka masing masing negara

tentu akan memeproduksi barang barang tertentu dengan kombinasi faktor

produksi yang paling optimal sesuai proporsi/struktur faktor produksi yang

dimilikinya (lihat gambar 7).

Sumber: Hamdy (1998)

Gambar 7. Perbedaan harga menurut Heckser-Ohlin

B

C D A

Tenaga Kerja

Isoquant televisi Isoquant pakaian

Isocost $400 (Negara X) Isocost $600 (Negara X)

Isocost $400 (Negara Y)

Isocost $600C (Negara Y)

(47)

Teori Heckser-Ohlin menggunakan asumsi 2 x 2 x 2 yaitu :

1. Perdagangan terjadi antara dua negara

2. Masing masing negara memproduksi dua macam barang yang sama

3. Masing masing negara menggunakan dua macam faktor produksi, yaitu

tenaga kerja dan mesin, tetapi dengan jumlah/ proporsi yang berbeda

Asumsi di atas dapat dilihat melalui matrix manfaat perdagangan (Gain

From Trade) dengan contoh pada tabel 1.

Teori ini kemudian dipertanyakan, terutama apabila jumlah atau proporsi

faktor produksi yang dimiliki masing masing negara relatif sama, maka harga

barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan antar wilayah (negara)

tidak akan terjadi. Pada kenyataannya, walaupun jumlah/proporsi faktor produksi

yang dimiliki masing masing negara relatif sama, dan dengan demikian harga

barang yang sejenis pun sama, ternyata perdagangan anatar wilayah tetap terjadi.

Tabel 1: Matrix Gain from Trade dari Teori H-O

Asumsi

2 Negara Negara X Negara Y

2 Barang Pakaian Televisi Pakaian Televisi

2 F.Produksi T.Kerja Modal T. Kerja Modal

Proses.Prod P.Karya P.Modal P.Karya P.Modal

Proporsi faktor Produksi 60 unit 15 unit 30 unit 60 unit

Isoquant 100 unit 20 unit 100 unit 20 unit

Isocost $400 $600 $600 $400

Unit Cost $4 (murah) $30 (mahal) $6 (murah) $20 (mahal)

Wasily Leontief kemudian melakukan studi empiris di Amerika pada

(48)

yang berbeda dengan teori tersebut, sehingga disebut paradoks Leontief.

Berdasarkan teori H-O, maka ekspor AS akan terdiri atas barang barang yang

padat modal /kapital (capital intensive), sebaliknya impor AS akan terdiri dari

barang barang yang padat karya. Berdasarkan studi empiris Leontif, ternyata

ekspor AS justru terdiri atas barang barang yang padat karya (labor intensive).

Sebaliknya, impor terdiri atas barang barang yang padat modal. Leontief

berargumen bahwa pekerja di Amerika Serikat (AS) lebih efisien dari pada

pekerja negara lain, di mana dengan kemampuan yang lebih tinggi maka AS dapat

mengekspor tenaga kerja keluar wilayahnya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa

hal yaitu: intensitas faktor produksi yang berkebalikan (factors intensity

reversals); tarif dan non tarif barrier; perbedaan dalam skill dan human capital;

perbedaan dalam faktor sumber daya alam (natural resources). Dalam menguji

kebenaran teori H-O tersebut, Leontief menggunakan Input-Output, yang

kemudian menjadi salah satu alat dalam menguji kebijakan di suatu negara.

2.3. Transportasi dan Disparitas Wilayah.

Literatur mengenai perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya

dikenal sebagai hipotesis Kuznets, dimana peningkatan pendapatan rata rata

perkapita dan tingkat ketimpangan dalam pembagian pendapatan berbentuk kurva

U terbalik. Kuznets (1955), menggunakan data dari beberapa negara, dan

menemukan korelasi antara kesenjangan pendapatan perkapita yang berbentuk U

terbalik. Kemudian hal ini diintrepretasikan sebagai perubahan dari distribusi

pendapatan dalam proses transisi dari perekonomian tradisional (perdesaan) ke

(49)

Pada prinsipnya hipotesis tersebut menjelaskan bahwa pada awal proses

pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar karena adanya

urbanisasi dan industrialisasi. Kemudian dalam proses perjalanan waktu tejadinya

proses pembangunan akan mencapai puncaknya dan kemudian terjadi

ketimpangan menurun (mengecil), yaitu pada saat sektor industri sudah mampu

menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari sektor peredesaan

(sektor pertanian), atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil dari didalam

produksi dan penciptaan pendapatan (Tambunan, 2009)

Beberapa studi menguji hipotesis tersebut dengan menggunakan data

agregat dari sejumlah negara. Sebagian besar mendukung hipotesa tersebut,

seperti Anand dan Kanbur, 1993 dan Ahlulwalia, 1976. Namun ada juga yang

menolak atau tidak menemukan korelasi yang kuat seperti Ravallion dan Datt,

1996 dan Field dan Jakubson (Tambunan, 2001).

Selain itu beberapa pandangan terkait dengan hubungan antara pertumbuhan

dan disparitas, seperti Myrdal, 1957 (dalam Jhingan, 1983) yang menyatakan

bahwa teori teori yang ada lebih melihat pada dunia barat dan tidak dapat

diterapkan dinegara yang sedang berkembang. Myrdal berpendapat bahwa gejala

dan perkembangan ekonomi di negara negara yang sedang membangun

menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara wilayah maju dan tertinggal yang

semakin lama semakin besar. Hal ini sebagai akibat kekuatan pasar yang

memainkan peranan pertumbuhan sehingga tidak membantu yang tertinggal

namun justru sebaliknya membantu yang kuat. Makin melebarnya kesenjangan

tersebut dikenal sebagai backwash- effect (efek menguras) dan spread effect (efek

Gambar

Gambar 3. Variasi sewa tanah dan tata guna lahan, von Thunen
Gambar 4.  Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang
Gambar 5.  Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang
Gambar 7. Perbedaan harga menurut Heckser-Ohlin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sektor pertanian yang merupakan kontributor terbesar dalam PDRB Kalimantan Tengah, pada triwulan I-2011 mengalami kontraksi dengan pertumbuhan -0,28 persen dibanding triwulan yang

 PDRB Kalimantan Tengah Triwulan IV-2012 dibanding Triwulan yang sama tahun 2011 ( year on year ) mengalami pertumbuhan sebesar 6,62 persen, dengan pertumbuhan tertinggi pada

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “ANALISIS PERUBAHAN DISPARITAS PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI ANTAR WILAYAH DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN

Pertumbuhan tersebut terjadi pada semua sektor ekonomi yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 15,8 persen, sektor listrik, gas dan air

Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang menyumbang pertumbuhan ekonomi terbesar Kota Banjar di Tahun 2012 yaitu sebesar 34,90 persen dimana sumber

 Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memberikan andil terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara dengan sumbangan sebesar 2,56 persen, diikuti sektor jasa-jasa

Pada triwulan I/2011, sektor ekonomi yang memiliki peranan terbesar adalah masih sektor pertanian sebesar 41,31 persen, kemudian sektor jasa-jasa sebesar 16,19

; Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 menurut sisi penggunaan terjadi pada komponen ekspor sebesar 13,6 persen, diikuti pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 8,8 persen, pengeluaran