• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi pembesaran cacing Nereis Dendronereis pinnaticirris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknologi pembesaran cacing Nereis Dendronereis pinnaticirris"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

AHMAD GHUFRON MUSTOFA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Teknologi Pembesaran Cacing Nereis Dendronereis pinnaticirris (Grube 1864) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Ahmad Ghufron Mustofa

(4)
(5)

AHMAD GHUFRON MUSTOFA. Growing Technology of Nereis Worm Dendronereis pinnaticirris (Grube 1864). Supervised by ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, and DEDI JUSADI.

Minimum requirement of polychaetes, including the nereis Dendronereis pinnaticirris, as feed for shrimp broodstocks in Indonesian hatcheries on 2011 was 6,947 tons. In the next years it is forecasted that the need will increase. Nereis culture aims to meet the demand for shrimp hatchery, and for preserving the broodstocks and the environment indirectly. Level of salinity, substrate type, density, and type of feed affect the productivity of polychaetes. Data of optimum salinity, optimum substrate, optimum density, and the best feed for nereis D. pinnaticirris were not exist. Klekap powder was chosen as a test feed because of reason that the stomach content of nereis was similar to klekap. Klekap was the best feed for milk fish fry compare to plankton. This study included four consecutive trials on the topic: salinity, substrate, density, and feed. D. pinnaticirris with weight closed to 150 200 mg adapted to 15 or 20 ppt salinity and sterilized natural substrate for 30 days were used as test animals. Test animals kept in an aquarium measuring 40x40x30 cm with a substrate according to treatment with a depth of 10 cm and aerated water in 8.5 cm depth for 35 days trial. Experiment I showed that the daily growth rate, the feed efficiency, the protein retention, and the productivity reached the highest at 20 ppt salinity of media. It was found an equation as y = 0.00005778x2- 0.032x + 1.643; y = 1, so x = 20 ppt; where y = osmotic actiity rate and x = salinity. Experiment II showed that test animals were constantly move if they could not find the hole or had no ability to make the hole. Substrates with grains of 63250 m in diameter in salinity of 20 ppt significantly (P <0.05) produced better daily growth rate, better protein retention, better survival rate, better production, and better productivity. Experiment III showed that the highest absolute biomass growth was in density of 1,000 individuals/m2in the amount of 4,064.0 g. Stress occured in first day which was indicated by an increase of glucose content and a decrease of glycogen content. Glucose content in the density of (250; 500; 1,000; 2,000: 4,000) individuals/m2 were (18.0; 20.0; 19.0; 29.0; 48.0) mg/dL respectively; the glycogen content were (103.307; 102.722; 81.562; 65.781; 77.804) mg/g respectively. In the 18th day and the 35th day, they returned to normal in all treatments. Experiment IV suggested that klekap powder contained ARA. ARA produces prostaglandin PGF2alpha that has ability to promote muscle growth. The use of 20 ppt salinity, soil substrate with 63 250 m in diameter grain, density of 1,000 individu/m2, and feed with a combination of 75% commercial feed and 25% klekap powder were significantly (P <0.05) produced the daily growth rate of 0.58%/day , the feed efficiency of 48.63%, the protein retention of 26.09%, the lipid retention of 5.28%, and the productivity of 27 g/m2/30 days.

(6)
(7)

AHMAD GHUFRON MUSTOFA. Teknologi Pembesaran Cacing Nereis Dendronereis pinnaticirris (Grube 1864). Dibimbing oleh ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, dan DEDI JUSADI.

Kebutuhan minimum cacing poliket, termasuk cacing nereis Dendronereis pinnaticirris, sebagai pakan induk udang di semua hatchery di Indonesia tahun 2011 sebesar 6.947 ton. Pada tahun berikutnya kebutuhannya diprakirakan meningkat lagi karena permintaan udang meningkat karena jumlah penduduk yang meningkat. Kultur cacing nereis bertujuan untuk memenuhi permintaan panti benih udang, menjaga kelestarian induk cacing, dan menjaga kelestarian alam secara tidak langsung.

Tingkat salinitas, jenis substrat, densitas, dan jenis pakan mempengaruhi produktivitas cacing nereis. Data salinitas optimum, substrat optimum, densitas optimum, dan jenis pakan terbaik untuk kultur D. pinnaticirris belum ada. Tepung klekap dipilih sebagai pakan uji dengan alasan isi lambung cacing nereis serupa dengan klekap. Klekap merupakan pakan terbaik benih ikan bandeng dibandingkan dengan plankton. Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap percobaan berurutan dengan urutan topik: (I) salinitas, (II) substrat, (III) densitas, dan (IV) pakan. D. pinnaticirris dengan bobot rata-rata 150 200 mg yang telah diadaptasikan pada salinitas 15 ppt atau 20 ppt dan substrat alami selama 30 hari digunakan sebagai hewan uji. Hewan uji dipelihara dalam akuarium berukuran 40x40x30 cm dengan substrat sesuai perlakuan berkedalaman 10 cm dan air beraerasi berkedalaman 8,5 cm selama 35 hari.

Percobaan I dilakukan untuk mengevaluasi zona nyaman D. pinnaticirris dengan cara menentukan salinitas media yang optimum yang memberikan kinerja pertumbuhan terbaik pada tingkat kerja osmotik yang mendekati 1,0. Percobaan ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: tahap (1) uji toleransi cacing pada beberapa salinitas (0 70 ppt dengan interval 5 ppt). Tingkat salinitas yang menghasilkan sintasan tinggi pada tahap (1) digunakan pada tahap (2) sebagai penentuan salinitas media yang menghasilkan tingkat kerja osmotik yang mendekati kondisi isoosmotik. Tiga tingkat salinitas ditemukan dalam tahap (2) digunakan dalam tahap (3) sebagai evaluasi terhadap salinitas yang optimum terhadap kinerja pertumbuhan cacing uji. Dari uji toleransi salinitas diperoleh sintasan tertinggi sebesar 93,3 100% pada salinitas 5 35 ppt, diikuti 46,6% pada salinitas 40 ppt, dan 40% di 45 ppt. Sedangkan pada salinitas 0 ppt dan 50 70 ppt, hewan uji mati. Berdasarkan analisis tingkat kerja osmotik ditemukan bahwa salinitas media 15 ppt, 20 ppt, dan 25 ppt mendekati kondisi isoosmotik antara cairan plasma cacing dan cairan media. Evaluasi terhadap kinerja pertumbuhan hewan uji diperoleh kesimpulan bahwa laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein, dan produktivitas bernilai tertinggi pada salinitas media 20 ppt. Dari tahap III diperoleh nilai salinitas 20 ppt yang merupakan salinitas isoosmotik.

(8)

uji pada perlakuan tanpa substrat sebesar -120,99%. Hal berarti bahwa terjadi pertumbuhan negatif, atau terjadi penggunaan energi jaringan tubuh untuk aktivitas, karena energi pakan yang dikonsumsi hewan uji tidak dapat mencukupi untuk pemeliharaan tubuh. Retensi protein pada perlakuan penggunaan substrat halus yakni 17,87% berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan substrat kasar bernilai 5,23% dan dengan perlakuan tanpa substrat. Simpulan:(1) hewan uji bersifat selalu bergerak jika tidak ada substrat; (2) substrat halus pada salinitas 20 ppt signifikan menghasilkan nilai kinerja pertumbuhan terbaik yakni: laju pertumbuhan harian 65%/hari, retensi protein 17,87%, efisiensi pakan 60,67%, sintasan 100%, dan produksi1.356,0 (mg/1.600 cm2/35 hari).

Percobaan III dilakukan untuk mengevaluasi zona nyaman D. pinnaticirris dengan cara menentukan densitas yang tidak mengakibatkan stres dicirikan oleh kandungan glikogen dan kandungan glukosa cairan plasma, sintasan dan produksi D. pinnaticirris yang dipelihara pada salinitas optimum dan substrat terbaik. Perlakuannya berupa penggunaan densitas 250 individu/m2 (kontrol), 500, 1.000, 2.000, dan 4.000 individu/m2. Perbedaan adanya perlakuan densitas nyata mempengaruhi laju pertumbuhan harian. Laju pertumbuhan harian tertinggi dan tidak berbeda nyata pada perlakuan 250 individu/m2dan perlakuan 500 individu/m2 yakni 0,66%/hari, berbeda nyata dengan yang 1.000 individu/m2, 2.000 individu/m2, 4.000 individu/m2 yang menghasilkan laju pertumbuhan harian berturut-turut 0,47%/hari, 0,40%/hari, dan 0,35%/hari. Perlakuan densitas 250, 500, 1.000, 2.000, dan 4.000 individu/m2 berturut-turut menghasilkan retensi protein 18,10% dan 18,10% (tidak berbeda nyata), 12,83% dan 10,91% (tidak berbeda nyata), dan 9,55%. Hal ini menunjukkan bahwa densitas telah mempengaruhi retensi protein. Rendahnya retensi protein pada densitas yang lebih besar disebabkan oleh lebih tingginya tingkat stres. Hal ini ditunjukkan oleh kandungan glukosa yang meningkat dan kandungan glikogen yang menurun pada perlakuan dengan densitas yang semakin besar. Terjadi peningkatan stres pada hari ke-1 yang ditunjukkan oleh peningkatan kandungan glukosa pada perlakuan 2.000 individu/m2 dan 4.000 individu/m2 berturut-turut 29,0 mg/dL dan 48,0 mg/dL, sedangkan pada perlakuan 250 individu/m2, 500 individu/m2, dan 1.000 individu/m2berturut-turut hanya 18,0 mg/dL , 20,0 mg/dL, dan 19,0 mg/dL. Pada hari ke-18 dan ke-35, kandungan glukosa kembali normal pada semua perlakuan. Gejala yang berbeda terjadi pada kandungan glikogen. Pada hari ke-1, kandungan glikogen menurun pada perlakuan 1.000 individu/m2, 2.000 individu/m2 dan 4.000 individu/m2 berturut-turut 81,562 mg/g, 65,781 mg/g, dan 77,804 mg/g, sedangkan sedangkan pada perlakuan 250 individu/m2 dan 500 individu/m2berturut-turut bernilai 103,307 mg/g dan 102,722 mg/g. Pertumbuhan biomassa mutlak tertinggi terdapat pada perlakuan densitas 1.000 individu/m2 sebesar 4.064,0 mg.

(9)

K tidak mengandung ARA, sementara pakan perlakuan A memiliki ARA sebesar 20,7 mg asam lemak/100 g bobot kering bahan. ARA merupakan bahan pembangun utama tubuh dan penghasil prostaglandin PGF2alpha memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan otot. Penggunaan pakan komersial 75% + tepung klekap 25% tampaknya mampu memenuhi kebutuhan nutrisi hewan uji untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan kombinasi pakan lainnya. Hal ini juga terlihat pada efisiensi pakan yang tertinggi pada perlakuan pakan A. Komposisi nutrisi pakan yang seimbang akan meningkatkan efisiensi pakan dan laju pertumbuhan hewan akuatik. Retensi protein yang tertinggi pada perlakuan pakan A (26,09%) merupakan indikator bahwa protein yang dikonsumsi oleh hewan uji yang diberi pakan A lebih banyak yang dideposit dalam daging dibandingkan pada hewan uji yang diberi kombinasi pakan lainnya. Meskipun pakan K mengandung protein yang lebih tinggi daripada pakan A, namun retensi proteinnya lebih rendah (14,06%), yang menunjukkan bahwa kemungkinan kadar protein pakan tersebut (37,35%) sudah tidak optimum (melebihi kebutuhan hewan uji), sehingga banyak protein yang mengalami deaminasi. Sementara hewan uji yang diberi perlakuan pakan B, C dan D (memiliki kandungan protein 31,72% dan energi 2.998 kal/g) kemungkinan kekurangan konsumsi protein, sehingga protein tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan maksimum hewan uji. Selain itu, juga dapat diakibatkan pengaruh kandungan asam lemak esensial yang rendah dan serat kasar yang tinggi pada pakan tersebut.

Kajian dari segi teknis menunjukkan bahwa produktivitas hewan uji tertinggi terjadi pada perlakuan pakan A. Hal ini terjadi karena laju pertumbuhan hewan uji tertinggi pada perlakuan A. Aktivitas enzim protease, lipase dan -amilase yang tinggi pada hewan uji yang diberi pakan A, memberikan peluang tingkat kecernaan protein, lemak, dan karbohidrat pakan A lebih besar dibandingkan perlakuan pakan lainnya. Hal ini akan berlanjut pada pemanfaatan pakan A yang lebih efisien dan laju pertumbuhan hewan uji yang lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya, seperti yang telah disebutkan di atas. Penggunaan salinitas 20 ppt, substrat tanah berdiameter 63 250 µm, densitas 1.000 individu/m2, dan pakan dengan kombinasi 75% pakan komersial dan 25% tepung klekap signifikan (P<0,05) menghasilkan laju pertumbuhan harian 0,58%/hari, efisiensi pakan 48,63%, retensi protein 26,09%, retensi lemak 5,28%, dan produktivitas 27 g/m2/30 hari. Jadi bila hanya dilihat dari segi teknis maka pakan A merupakan pakan yang terbaik. Namun bila dikaji secara ekonomis pakan A kemungkinan tidak layak diterapkan untuk skala komersial karena harga pakan A (Tetramin 75% + tepung klekap 25%) lebih dari 10 kali lipat harga cacing, sementara konversi pakan A lebih dari satu.

(10)
(11)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipannya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(12)
(13)

AHMAD GHUFRON MUSTOFA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si., M.Si. Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Azam Bachur Zaidy, M.S.

Staf Pengajar Jurusan Penyuluhan Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan di Bogor

2. Dr. Ir. Sukenda, M.Sc.

Staf Pengajar Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

(15)

Nama : Ahmad Ghufron Mustofa

NIM : C161070021

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Enang Harris Ketua

Dr. Eddy Supriyono Dr. Dedi Jusadi

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris Dr. Dahrul Syah

(16)
(17)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil disusun. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Nopember

2009 ini ialah produksi dengan judul Teknologi Pembesaran Cacing Nereis Dendronereis pinnaticirris(Grube 1864).

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

(1) Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S., Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc., dan Bapak Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc., dosen komisi pembimbing disertasi yang telah memberi inspirasi dalam hal keluasan pengetahuan, kerangka pikir sistematis, ketelitian, kehati-hatian, ketekunan, kesabaran, kepraktisan, kecepatan berpikir, kecepatan bertindak, dan humanisme yang tinggi;

(2)

(3)

Bapak Prof. Dr. Shunsuke Koshio dan BapakAssociate Prof. Dr. Manabu Ishikawa dari Kagoshima University atas bimbingan dan bantuan fasilitas penelitian;

Bapak Dr. Ir. Jayadi, M.P., Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep periode 2006 2010;

(4) Kementerian Pendidikan Nasional RI, yang telah memberi Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan memberi kesempatan untuk mengikuti Program Sandwich-Like (Research and Literature Study) di Kagoshima University selama tiga bulan pada tahun 2009 2010 serta kepada Yayasan Supersemar yang telah membantu biaya penelitian; dan

(5) Teman-teman mahasiswa program doktor Institut Pertanian Bogor, khususnya dari Program Studi Ilmu Akuakultur angkatan 2007, atas kebersamaan dan dukungan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012

(18)
(19)

Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 18 Juli 1959 sebagai putra dari Bapak Rahmat (almarhum) dan Ibu Siti Fatimah (almarhumah). Bersama istri Dra. Siti Khatijah dianugerahi dua buah hati yakni: Brilianty Wijaya dan Galuh Sri Kartika.

Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Ilmu Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1986. Pada tahun yang sama diterima sebagai calon pegawai negeri sipil, sebagai dosen di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Jurusan Perikanan Budidaya. Pada tahun 1987 1988 selama dua tahun penulis mengikuti program Pendidikan Instruktur Politeknik Pertanian dari Polytechnic Education Development Centre for Agriculture (PEDCA); tahun 1993 selama enam bulan mengikuti pendidikan Bahasa Inggris di The British Councildengan biaya dari OTO BAPPENAS. Pada tahun 1998 2001 penulis mengikuti pendidikan program magister di Program Studi Ilmu Perairan, Institut Pertanian Bogor, dengan biaya dari BPPS. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun 2007 dengan biaya dari BPPS dan Yayasan Supersemar. Pada tahun 2009 2010 selama tiga bulan penulis mengikuti Program Sandwich-Like (Research and Literature Study) di Kagoshima University.

(20)
(21)

DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR ... ... DAFTAR LAMPIRAN...

Tujuan dan Manfaat Percobaan ... 5

Hipotesis Percobaan... 6

Kebaruan (Novelty)... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Klasifikasi dan Morfologi... 7

Daerah Penyebaran dan Habitat ... 7

Siklus Hidup ... 11

Sistem Pencernaan ... 13

Coelom... 13

Sistem Peredaran ... 14

Sistem Pernafasan ... 15

Sistem Pembuangan ... 15

Sistem Saraf ... 15

Sistem Reproduksi ... 16

Pakan dan Kebiasaan Makan ... 16

Osmoregulasi ... 16

Pertumbuhan Biomassa Mutlak... 18

TINGKAT KERJA OSMOTIK DAN KINERJA PERTUMBUHAN CACING NEREIS Dendronereis pinnaticirris (GRUBE 1864) PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS... 21

Abstrak... 21

Abstract... 22

Pendahuluan... 22

Metode Penelitian... 23

Hasil dan Pembahasan... 27

Simpulan... 35

OPTIMASI SUBSTRAT UNTUK PRODUKSI CACING NEREIS Dendronereis pinnaticirris (GRUBE 1864)... 37

Abstrak... 37

(22)

Metode Penelitian... 39 Hasil dan Pembahasan... 40 Simpulan... 44 OPTIMASI DENSITAS UNTUK PRODUKSI CACING NEREIS

Dendronereis pinnaticirris (GRUBE 1864)... 45 Abstrak... 46 Abstract... 46 Pendahuluan... 46 Metode Penelitian... 47 Hasil dan Pembahasan... 48 Simpulan... 54 KAJIAN TEPUNG KLEKAP SEBAGAI PAKAN CACING NEREIS

(23)

Halaman 1 Contoh perhitungan produksi ikan... 19 2 Rata-rata sintasan D. pinnaticirris pada salinitas 0 70 ppt setelah

pemeliharaan enam jam... 28 3 Rata-rata sintasan D. pinnaticirris pada salinitas 5 60 ppt yang

dipindah ke salinitas 15 ppt selama 48 jam... 28 4 Rata-rata tingkat kerja osmotik (TKO), osmolaritas cairan plasma

(OP), dan osmolaritas cairan media (OM) dari D. pinnaticirrispada berbagai salinitas (S) pada Uji Tingkat Salinitas yang Menghasilkan Tingkat Kerja Osmotik Isoosmotik... 30 5 Tingkat kerja osmotik dan kinerja pertumbuhan hewan uji D.

pinnaticirris pada setiap perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan... 32 6 Kinerja pertumbuhan hewan uji D. pinnaticirris pada setiap

perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan... 43 7 Rata-rata jumlah lubang substrat per akuarium (1.600 cm2)

D. pinnaticirris pada dua perlakuan (subtrat halus dan

substrat kasar) selama 35 hari pemeliharaan ... 43 8 Rata-rata tingkat mortalitas (%) D. pinnaticirris pada setiap

perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan... 49 9 Rata-rata kandungan glukosa (mg/dL) cairan plasma D.

pinnaticirris pada setiap perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan... 50 10 Rata-rata kandungan glikogen (mg/g) cairan plasma D.

pinnaticirris pada setiap perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan... 50 11 Kinerja pertumbuhan hewan uji D. pinnaticirris pada setiap

perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan... 52 12 Komposisi proksimat pakan uji (g/100 g pakan)... 59 13 Komposisi asam lemak pakan uji (mg asam lemak/100 g bobot

(24)

15 Rata-rata nilai komposisi asam lemak pakan dan tubuh D.

perlakuan pakan... 66 16 Rata-rata nilai aktivitas enzim pencernaan (U/g tubuh/menit) dari

D. pinnaticirris pada setiap perlakuan pakan... 68 perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan ... 65

(25)

Halaman 1 Ciri-ciri morfologis utama genus Nereis dari dorsal, dorsal

internal, dan irisan melintang ( Wallace dan Taylor 1987)... 8 2 Ciri-ciri morfologis utama genus Nereis dari parapodia dan bagian

anterior lateral ( Wallace dan Taylor 1987)... 9 3 Siklus hidup cacing P. nuntia (Shokitaet al.1991; Yuwonoet al.

1997)... 12 4 Hubungan antara laju pertumbuhan harian (LPH) dan tingkat kerja

osmotik (TKO) D. pinnaticirris yang dipelihara selama 35 hari... 32 5 Hubungan antara retensi protein (RP) dan tingkat kerja osmotik

(TKO) D. pinnaticirris yang dipelihara selama 35 hari ... 33 6 Hubungan antara tingkat kerja osmotik (TKO) D. pinnaticirris dan

(26)
(27)

Halaman 1 Rata-rata sintasan D. pinnaticirris pada salinitas 0 70 ppt setelah

pemeliharaan enam jam ... 91 2 Rata-rata sintasan D. pinnaticirris pada salinitas 5 60 ppt yang

dipindah ke salinitas 15 ppt selama 48 jam... 92 3 Hasil analisis sidik ragam sintasan D. pinnaticirris (%) pada

Percobaan Tahap I: Uji Toleransi Salinitas pada akhir

Percobaan... 93 4 Prosedur penggunaan osmometer... 94 5 Rata-rata tingkat kerja osmotik (TKO), osmolaritas cairan plasma

(OP), dan osmolaritas cairan media (OM) dari D. pinnaticirris pada berbagai salinitas (S) pada Uji Tingkat Salinitas yang Menghasilkan Tingkat Kerja Osmotik Iosmotik... 95 6 Prosedur analisis kadar protein metode Kjedhal (Watanabe

1988)... 98 7 Metode Pengukuran C-organik metode Walkley and Black... 99 8 Sintasan, biomassa awal (Bo), biomassa mati (Bd), dan

biomassa akhir (Bt) D. pinnaticirris pada setiap perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan ... 100 9 Tingkat kerja osmotik D. pinnaticirris pada berbagai perlakuan

salinitas selama 35 hari pemeliharaan... 101 10 Hasil analisis sidik ragam tingkat kerja osmotik D.

pinnaticirris pada berbagai perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan pada akhir percobaan ... 102 11 Laju pertumbuhan harian D. pinnaticirris pada berbagai perlakuan

salinitas selama 35 hari pemeliharaan... 103 12 Hasil analisis sidik ragam laju pertumbuhan harian D. pinnaticirris

pada berbagai perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 104 13 Produksi, produktivitas, dan efisiensi pakanD. pinnaticirrispada

(28)

berbagai perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan... 106 15 Hasil analisis sidik ragam produktivitas D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan... 107 16 Hasil analisis sidik ragam bobot pakan yang dikonsumsi D.

pinnaticirris pada berbagai perlakuan salinitas selama 35 hari

pemeliharaan di akhir percobaan... 108 17 Hasil analisis protein tubuhD. pinnaticirris (% bobot basah) pada

berbagai perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan ... 109 18 Retensi protein D. pinnaticirris pada berbagai perlakuan

salinitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 110 19 Hasil analisis sidik ragam retensi proteinD. pinnaticirris

pada berbagai perlakuan salinitas selama 35 hari pemeliharaan di

akhir percobaan... 111 20 Sintasan, biomassa awal (Bo), biomassa mati (Bd), dan biomassa

akhir (Bt) D. pinnaticirris pada setiap perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan ... 112 21 Hasil analisis sidik ragam bobot tubuh awal D. pinnaticirrispada

berbagai perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 113 22 Hasil analisis sidik ragam bobot tubuh akhir D. pinnaticirris

pada berbagai perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 114 23 Hasil analisis sidik ragam laju pertumbuhan harian D. pinnaticirris

pada berbagai perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan ... 115 24 Produksi, produktivitas, dan efisiensi pakan D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan ... 116 25 Hasil analisis sidik ragam bobot pakan yang dikonsumsi D.

pinnaticirris pada berbagai perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 117 26 Hasil analisis sidik ragam efisiensi pakan D. pinnaticirris pada

(29)

perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir

percobaan ... 119 28 Hasil analisis sidik ragam produktivitas D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di

akhir percobaan ... 120 29 Hasil analisis kandungan protein tubuhD. pinnaticirris (% bobot basah)

pada berbagai perlakuan substrat selama 35 hari

pemeliharaan pada awal dan akhir percobaan... 121 30 Retensi protein D. pinnaticirris pada pada berbagai perlakuan

substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 122 31 Hasil analisis sidik ragam retensi protein D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di

akhir percobaan... 123 32 Persentase hewan uji yang berenang dan merayap dari berbagai

perlakuan substrat di hari percobaan ke-1, ke-18, dan

ke-35... 124 33 Jumlah lubang pada berbagai perlakuan substrat di hari percobaan

ke-1, ke-18, dan ke-35... 125 34 Hasil analisis sidik ragam jumlah lubang D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan substrat pada hari percobaan ke-1... 126 35 Hasil analisis sidik ragam jumlah lubang D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan substrat pada hari percobaan ke-18... 127 36 Hasil analisis sidik ragam jumlah lubang D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan substrat pada hari percobaan ke-35... 128 37 Hasil analisis sidik ragam sintasan D. pinnaticirris pada berbagai

perlakuan substrat selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 129 38 Sintasan, biomassa awal (Bo), biomassa mati (Bd), dan

biomassa akhir (Bt) D. pinnaticirris pada setiap perlakuan

densitas selama 35 hari pemeliharaan ... 130 39 Rata-rata mortalitas (%) D. pinnaticirris pada setiap perlakuan

densitas selama 35 hari pemeliharaan ... 131 40 Hasil analisis sidik ragam bobot tubuh awal D. pinnaticirris pada

(30)

berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan ... 138 42 Hasil sidik ragam laju pertumbuhan harian D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 139 43 Hasil analisis sidik ragam sintasan D. pinnaticirris pada setiap

perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan ... 140 44 Produksi, pertumbuhan biomassa mutlak, dan efisiensi pakan D.

pinnaticirris pada berbagai perlakuan densitas selama

35 hari pemeliharaan ... 141 45 Hasil analisis sidik ragam bobot pakan yang dikonsumsi D.

pinnaticirrispada berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 142 46 Hasil analisis sidik ragam efisiensi pakan D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 143 47 Hasil analisis sidik ragam produksi D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 144 48 Hasil analisis sidik ragam produktivitas D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan ... 145 49 Hasil analisis protein tubuh D. pinnaticirris (% bobot basah) pada

berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 146 50 Retensi protein D. pinnaticirris pada setiap perlakuan densitas

selama 35 hari pemeliharaan ... 147 51 Hasil analisis sidik ragam retensi protein D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 148 52 Prosedur analisis kandungan glukosa metode GOD-PAP dari

(31)

setiap perlakuan densitas selama 35 hari

pemeliharaan... 152 55 Hasil analisis sidik ragam kandungan glukosa (mg/dL) D.

pinnaticirris pada berbagai perlakuan densitas selama 35 hari

pemeliharaan... 153 56 Rata-rata kandungan glikogen (mg/g) cairan plasma D. pinnaticirris

pada setiap perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan... 154 57 Hasil analisis sidik ragam kandungan glikogen (mg/g)D. pinnaticirris

pada berbagai perlakuan densitas selama 35 hari pemeliharaan

di akhir percobaan... 155 58 Sintasan, biomassa awal (Bo), biomassa mati (Bd), dan biomassa

akhir (Bt) D. pinnaticirris pada setiap perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan... 156 59 Prosedur analisis kadar lemak dengan ekstraksi Soxhlet (Watanabe

1988)... 157 60 Prosedur analisis kadar serat kasar (Watanabe 1988)... 158

61 Prosedur analisis kadar abu (Watanabe 1988)... 159 62 Prosedur analisis kadar air (Watanabe 1988)... 160

63 Prosedur analisis kadar asam lemak Metode GC-MS 991-39

(Watanabe 1988) ... 161 64 Prosedur analisis aktivitas enzim protease (Bergmeyer dan

Grassi 1983)... 162 65 Prosedur analisis aktivitas enzim lipase menurut Tietz dan

Friedreck dalam Borlongan (1990)... 164 66 Prosedur analisis aktivitas enzim -amilase menurut Bernfield

dalam Knauret al. (1996)... 165 67 Hasil analisis sidik ragam bobot tubuh awal D. pinnaticirris

pada berbagai perlakuan pakan selama 35 hari peliharaan di

akhir percobaan... 166 68 Hasil analisis sidik ragam bobot tubuh akhir D. pinnaticirris

(32)

pada berbagai perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan di

akhir percobaan... 168 70 Produksi, produktivitas, dan efisiensi pakan D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan... 169 71 Hasil analisis sidik ragam bobot pakan yang dikonsumsi D.

pinnaticirris pada berbagai perlakuan pakan selama 35 hari

pemeliharaan di akhir percobaan... 170 72 Hasil analisis sidik ragam efisiensi pakanD. pinnaticirrispada

berbagai perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan di akhir

percobaan... 171 73 Hasil analisis sidik ragam produktivitas D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan... 172 74 Hasil analisis protein dan lemak tubuh D. pinnaticirris (% bobot

basah) pada berbagai perlakuan pakan selama 35 hari

pemeliharaan di akhir percobaan... 173 75 Retensi protein D. pinnaticirris pada berbagai perlakuan pakan

selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 174 76 Hasil analisis sidik ragam retensi protein D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan di akhir

percobaan... 175 77 Retensi lemak D. pinnaticirrispada berbagai perlakuan pakan

selama 35 hari pemeliharaan di akhir percobaan... 176 78 Hasil analisis sidik ragam retensi lemak D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan selama 35 hari pemeliharaan... 177 79 Aktivitas enzim protease, lipase, dan -amilase (U/g tubuh/menit)

dari D. pinnaticirris pada setiap perlakuan pada hari ke-0 dan

hari ke-35 percobaan... 178 80 Hasil analisis sidik ragam enzim protease D. pinnaticirris

pada berbagai perlakuan pakan pada hari ke-0... 179 81 Hasil analisis sidik ragam enzim protease D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan pada hari ke-35 ... 180 82 Hasil analisis sidik ragam enzim lipase D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan pada hari ke-0...

(33)

berbagai perlakuan pakan pada hari ke-35... 84 Hasil analisis sidik ragam enzim -amilase D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan pada hari ke-0...

183

85 Hasil analisis sidik ragam enzim -amilase D. pinnaticirris pada

berbagai perlakuan pakan pada hari ke-35... 184 86 Perincian biaya produksi tepung klekap... 185 87 Estimasi perbandingan harga pakan dan nilai jual cacing nereis

(34)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cacing nereis Dendronereis pinnaticirris (Grube 1864) termasuk cacing poliket (polychaete) dari famili Nereididae atau Nereidae atau nereis atau ragworm atau clamworm. Cacing poliket, termasuk cacing nereis, memiliki manfaat sebagai pakan induk krustasea, pakan ikan dan kerang-kerangan, umpan pancing ikan, makanan, penyerap limbah organik dalam sistem akuakultur, pemeran di jaring makanan di habitat pelagis dan habitat bentis, indikator pencemaran, dan organisme uji toksikologis (Fauchald dan Jumars 1979; Murugesan dan Khan 2005). Cacing poliket merupakan ±70% pakan alami udang penaeid (UNSOED 2008). Cacing nereis digunakan sebagai pakan penting untuk induk udang penaeid dan kebanyakan organisme laut karena mengandung asam lemak esensial, terutama polyunsaturated fatty acids (PUFA) yang merupakan nutrien penting untuk perkembangbiakannya (Pinon 2000; Safarik 2005). Induk udang windu yang diberi pakan berupa cacing nereis menghasilkan perkembangan telur yang lebih baik, kematangan gonad yang tinggi, dan larva dengan ketahanan hidup yang tinggi (Yuwono et al.2002). Jika induk udang tidak diberi pakan dengan cacing nereis, produksi benur menurun sampai 40% (UNSOED 2008). Cacing nereis memiliki tubuh lunak dengan kulit luar yang sangat tipis sehingga sangat mudah dimakan udang (Pinon 2000) dan merupakan cacing poliket yang paling sering ditemukan pada setiap lokasi dan kedalaman laut (Cognetti dan Maltagliati 2000).

Kebutuhan minimum cacing poliket, termasuk cacing nereis, sebagai pakan induk udang di panti benih di Indonesia tahun 2011 diprakirakan sebesar 6.947.249,4 kg (Sakti 2012) atau 6.947.249.400 individu cacing nereis D. pinnaticirris dewasa. Di alam cacing nereis dewasa ini banyak diambil atau dieksploitasi untuk diperdagangkan ke panti-panti benih udang sehingga jumlahnya semakin jarang. Sebagai gambaran pada penelitian pendahuluan cacing D. pinnaticirris yang dilakukan di salah satu pantai Selat Makassar, Kabupaten Pangkajene-Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan, selebar 500 750 m sepanjang 1.000 m, bulan Agustus 2011, dengan enam kali

(35)

berukuran 1,5 2,5 cm sebanyak 19,51% populasi; 2,5 3,5 cm sebanyak 21,95%; 3,5 4,5 cm sebanyak 23,78%; 4,5 5,5 cm sebanyak 25,00%; 5,5 6,5 cm sebanyak 6,72%; 7,5 8,5 cm sebanyak 3,04%. Atas dasar hal tersebut teknologi pembesaran cacing nereis ini sampai berukuran dewasa untuk memenuhi permintaan panti benih udang, menjaga kelestarian induk cacing, dan menjaga kelestarian alam secara tidak langsung, sangat diperlukan.

Kultur pembesaran pada prinsipnya adalah menyediakan kondisi lingkungan berada pada zona nyaman bagi organisme kultur. Di luar zona nyaman, di alam organisme akan fight or flight artinya akan lari keluar dari zona tersebut atau melawan keadaan atau beradaptasi, tetapi untuk itu diperlukan energi tambahan. Selain mengupayakan dalam zona nyaman, organisme kultur perlu diberi pakan yang baik agar dapat hidup dan tumbuh. Untuk cacing nereis sama dengan untuk organisme kultur lainnya, faktor-faktor lingkungan yang menentukan zona nyaman antara lain: suhu, oksigen terlarut, salinitas, dan jenis substrat. Karena kultur cacing nereis ini dilakukan di daerah pantai, maka faktor suhu relatif sama dengan habitat aslinya, jadi bukan merupakan faktor utama. Kebutuhan oksigen cacing sangat sedikit. Hourdez et al. (2002) menyatakan bahwa poliket dalam jumlah besar sering ditemukan hidup berasosiasi dengan kerang Bathymodiolus childressi, dalam mikrohabitat yang sangat hipoksia, oksigen sering tidak terdeteksi dengan alat karena hanya 160 µg/L. Menurut Wells dan Jarvis (1980), kebutuhan oksigen cacing poliket 0,2 g/individu adalah 0,134 mL oksigen/jam atau 0,100 mg/jam. Karena kebutuhan oksigen cacing ini sangat kecil, maka faktor oksigen inipun tidak dilakukan penelitian, oksigen dipasok secara khusus ke dalam media sehingga kandungannya di atas 3 mg/L.

(36)

osmoregulasi (Smith 1982). Salinitas air kultur yang digunakan untuk pembuahan buatan cacing nereis D. pinnaticirris adalah 15 ppt (Yuwonoet al. 2002).

Menurut Dean dan Mazurkiewicz (1975) dalam e Costa (1999), beberapa spesies cacing poliket dewasa dapat berkembang tanpa substrat sedangkan spesies lain membutuhkan substrat. Pengurasan energi dan akibatnya pada hewan ini juga dapat terjadi pada aspek substrat. Jika terdapat substrat yang cocok, maka larva setiger-3 cacing nereis Laeonereis culveri segera masuk ke dalam substrat dan menghentikan aktivitas berenang dan merayap. Tidak semua substrat merangsang respons penggalian. Larva ini melanjutkan merayap dan berenang pada substrat pasir medium sampai sampai sangat kasar (diameter butir 250 1.000 µm), dan segera masuk lubang substrat yang berpartikel lebih halus dari 250 µm (Mazurkiewicz 1975).

Kenaikan densitas terkait dengan penurunan reproduksi dan produksi juvenil cacing nereis Ceratonereis pseudoerythraeensis (Kent dan Day 1983 dalam Safarik et al. 2006) dan Polydora ligni (Zajac 1986 dalam Safarik et al. 2006). Densitas merupakan penyebab stres yang selanjutnya menentukan laju pertumbuhan ikan kultur (Schmittou 1991). Cadangan glikogen dapat cepat turun selama stres akut, menghasilkan suatu kelemahan dalam homeostasis (pemeliharaan kondisi stabil organisme dengan proses fisiologis terkoordinir), sedangkan penurunan cadangan energi selama stres kronis akan menghasilkan penurunan laju pertumbuhan dan reproduksi (Carr dan Neff 1981). Sebelum terjadi penurunan cadangan glikogen, terjadi respons peningkatan kandungan glukosa cairan plasma coelom cacing Neanthes virens (Carr dan Neff 1982). Pada umur pemeliharan 200 hari dengan perlakuan sama, Perinereis nuntia dengan densitas 40.000 ekor per m2 mencapai bobot rata-rata per ekor 0,06 g, sedangkan dengan densitas 6.000 ekor per m2 diperoleh bobot rata-rata per ekor 0,5 g (Shokitaet al. 1991). Penurunan laju pertumbuhan dan sintasan terjadi pada juvenil nereis Hediste diversicolor pada densitas 3.000 ekor/m2, bahkan pada kondisi pakan berlebihan (Scapset al.1993 dalam Safarik et al.2006).

(37)

chironomidae, insekta, dsb.) (2,79%), dan lumpur (0,08%) (e Costa et al. 2006). Isi lambung ini merupakan gambaran dari klekap. Klekap atau lablab (istilah di Filipina) adalah kumpulan tumbuhan dan hewan renik yang membentuk lapisan di dasar tambak yang terdiri dari algae biru, algae hijau berfilamen, diatom, protozoa, entomostraca (cladocera, copepoda), cacing, larva berbagai hewan (seperti mollusca, crustacea), detritus, dan partikel mineral (Schuster 1952; Jumalon 1978; Santos 1978). Klekap mengandung protein 3,38 28,48%, lemak 0,74 2,42%, dan karbohidrat 5,49 13,76% (Jumalon 1978). Menurut Tamaruet al. (2011), juvenil nereis Sabellastarte spectabilis yang diberi pakan Isochrysis sp.(T. ISO) hidup ataupun tepungnya menghasilkan sintasan tertinggi dan relatif sama yakni berturut-turut 86,7±6,2% dan 78,3±16,5%.

Tepung klekap yang sumbernya tersedia di lapangan, bergizi, mudah dicerna, dan mirip dengan jenis pakan alami cacing nereis, dapatlah kiranya diharapkan sebagai pakan alternatif lain dari pakan komersial Tetramin, pakan yang baik pada kultur cacing nereis Neanthes succinea (Shain 2009) dan untuk uji cacing nereis di laboratorium (e Costaet al. 2000 dalam Batista et al. 2003) namun kurang tersedia di pasaran.

Upaya kultur cacing nereis Dendronereis spp. masih sangat terbatas dilakukan di Indonesia, hal ini karena minimnya informasi yang diperlukan untuk menunjang usaha kulturnya (Siregar 2008). Informasi aspek salinitas, jenis substrat, densitas, jenis pakan, komposisi pakan, dan proses pengaruhnya terhadap sintasan, laju pertumbuhan, dan produksi D. pinnaticirris untuk mencapai ukuran dewasa belum tersedia, oleh karenanya perlu dilakukan pengkajian.

Perumusan Masalah

(38)

terlaksana oleh aktivitas enzim-enzim pencernaan yang optimum. Aktivitas enzim ini dapat optimum oleh dukungan metabolisme optimum karena cukup tersedianya energi termetabolisir yang salah satunya berupa produksi panas (metabolisme basal, aktivitas, dan suhu). Jika produksi panas dapat dihemat dengan rekayasa maka energi terbarui berupa jaringan tubuh dan produk seksual dapat bertambah. Penghematan produksi panas dapat dilakukan dengan aplikasi salinitas media optimum yang ditandai nilai tingkat kerja osmotik mendekati nilai satu, substrat terbaik yang ditandai oleh rendahnya persentase berenang dan merayap dan persentase menggali substrat, dan densitas optimum yang ditandai kandungan glikogen dan kandungan glukosa cairan plasma normal. Resultan dari penyediaan dan penghematan produksi panas, kandungan nutrisi yang lengkap dan optimum, dan aktivitas enzim pencernaan optimum menghasilkan tingginya efisiensi pakan, retensi protein, dan retensi lemak, serta peningkatan kandungan asam lemak pada tubuh organisme peliharaan, selanjutnya menghasilkan sintasan, laju pertumbuhan, dan produksi tinggi.

Tujuan dan Manfaat Percobaan

Tujuan percobaan ini ialah untuk:

1. mengevaluasi zona nyamanD. pinnaticirris dengan cara:

a. menentukan salinitas media yang optimum yang memberikan kinerja pertumbuhan terbaik pada tingkat kerja osmotik yang mendekati 1,0;

b. menentukan substrat yang terbaik, yang memberikan respons tingkah laku yang nyaman ditandai oleh pergerakan, jumlah lubang, sintasan dan produksiD. pinnaticirris yang dipelihara dalam salinitas optimum; c. menentukan densitas yang tidak mengakibatkan stres dicirikan oleh

kandungan glikogen dan kandungan glukosa cairan plasma, sintasan dan produksiD. pinnaticirris yang dipelihara pada salinitas optimum dan substrat terbaik;dan

2. mengevaluasi efektivitas tepung klekap sebagai pakan pengganti dari pakan komersial untukD. pinnaticirris.

(39)

Hipotesis Percobaan

1. Jika faktor abiotik (salinitas dan substrat) dan biotik (densitas) dapat diusahakan pada zona nyaman maka energi pakan akan dimanfaatkan secara efisien untuk pertumbuhanD. pinnaticirris.

2. Jika kualitas tepung klekap terutama komposisi asam lemaknya baik maka kualitas D. pinnaticirris yang memakannya, terutama komposisi asam lemaknya, baik juga.

Kebaruan (Novelty)

(40)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi

Klasifikasi cacing nereis Dendronereis pinnaticirris (Grube 1864) (UNSOED 2008; ZipcodeZoo.com 2012):

Domain : Eukaryota (Whittaker dan Margulis 1978) Kingdom : Animalia (C. Linnaeus 1758)

Subkingdom : Bilateria (Cavalier-Smith 1983) Cabang : Protostomia (Grobben 1908) Infrakingdom : Lophotrochozoa

Superfilum : Eutrochozoa

Filum : Annelida (Lamarck 1809)

Klas : Polychaeta (Grube 1850)

Ordo : Phyllodocida Subordo : Nereidiformia

Famili : Nereididae (Johnston 1865) Subfamili : Gymnonereidinae

Genus : Dendronereis (Peters 1854) Spesies : Dendronereis pinnaticirris (Grube 1864)

Ciri-ciri morfologis utama genus Nereis,sebagai contoh Nereididae, dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Daerah Penyebaran dan Habitat

Cacing nereis Dendronereis spp. tersebar di perairan daerah Indo Pasifik Barat, seperti daerah estuarin Sungai Gangga di India, daerah estuarin Luzon dan Manila di Filipina, daerah estuarin Pulau Madura, dan daerah estuarin Sanya di Pulau Hainan (Wuet al. 1985).

(41)

IRISAN MELINTANG

DORSAL DORSAL INTERNAL

(42)

PARAPODIA

BAGIAN ANTERIOR LATERAL

Keterangan: (A): Faring (pharynx) ditarik ke dalam; (B): Faring dijulurkan ke luar

(43)

Menurut Shokita et al. (1991), habitat Nereididae P. nuntia merupakan pantai pasang surut dengan endapan dasar halus yang tertutup batu-batu berdiameter 10 15 cm setebal 3 10 cm yang di bawahnya berupa pasir berlumpur hitam atau kerikil berpasir atau kerikil dengan bau hidrogen sulfida yang berasal dari akumulasi algae dan tumbuhan lain yang mati. Cacing N. virens hidup di liang sampai kedalamanan dua kaki (60,96 cm) di pasir atau lumpur pantai di daerah pasang surut. Pada siang hari cacing ini istirahat dalam liangnya, tapi pada malam hari menjulurkan tubuhnya atau meninggalkan liangnya untuk mencari pakan (IPTEK-net 2009). Nereis biasa dijumpai pada substrat lunak dan berpasir (Almeida dan Ruta 1998).

Menurut Nielsen et al. (1995) dalam e Costa et al. (2000), laju pertumbuhan cacing N. diversicolor terbesar jika berada pada salinitas 15 ppt. Menurut IPTEK-net (2009), salinitas optimum untuk pertumbuhan dan ketahanan hidup juvenil cacingNereis adalah 10 ppt.

Oksigen merupakan unsur utama pada proses metabolisme organisme air terutama untuk respirasi (Odum 1971). Bila kadar oksigen terlarut dalam suatu tambak rendah, maka akan mengganggu kehidupan yang ada di dalamnya. Pada suhu yang tinggi, kebutuhan oksigen akan meningkat menyesuaikan dengan laju metabolisme tubuh yang tinggi (Spotte dalam Wardoyo 1995). Cacing nereis (Dendronereis spp.) cenderung mampu hidup pada kadar oksigen yang rendah. Kadar oksigen yang masih baik untuk organisme air di tambak minimal tiga ppm

(Soetomo 1990). P. nuntia makan pada kisaran suhu antara 5 35oC (Shokita et al. 1991). Kisaran nilai pH ideal untuk kehidupan biota laut adalah 6,5 8,5 (EPA 1986).

Amonia merupakan parameter yang bersifat toksik bagi organisme air. Hal ini karena amonia dapat menurunkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Baku mutu nilai amonia total untuk biota laut adalah 0,3 ppm (Kepmen KLH No. 51 tahun 2004). N. diversicolor mampu hidup dan bertahan pada lingkungan substrat dengan kandungan H2S 0,054 ppm selama tiga minggu

(Vismann 1990). Kandungan H2S untuk keperluan perikanan dan kehidupan

(44)

Siklus Hidup

Panjang tubuh D. pinnaticirris dewasa di habitat alami antara 8 18 cm dengan jumlah ruas 120 150 (Wu et al. 1985; Sugiharto 2008). Cacing D. pinnaticirris fase muda yang belum matang gonad (immature) belum dapat dibedakan jenis kelaminnya secara kasat mata karena warna tubuhnya sama yakni merah kecoklatan. Pengamatan isi ronggacoelom dengan bantuan kapiler mikro dan mikroskop dapat membedakan jantan dan betina. Pada tahap menjelang matang gonad (submature) dapat dibedakan antara jantan dan betina yakni: jenis jantan berwarna keputihan karena rongga coelom mulai dipenuhi spermatozoa sedangkan jenis betina hijau hingga kehitaman karena rongga coelom mulai dipenuhi ovum (Sugiharto 2008). Selama masa pemeliharaan ova atau spermatozoa tumbuh pada dinding coelom pada masing-masing ruas kecuali dekat ujung anterior (IPTEK-net 2009). Di pantai utara Pulau Jawa, cacing nereis D. pinnaticirris dewasa siap bereproduksi setelah mencapai umur 1 2 tahun (Yuwonoet al.1997).

Di Pulau Penang, Malaysia, cacing Nereididae P. nuntia var. brevicirris mulai bermigrasi ke daerah pasang surut pada bulan Juni atau Juli untuk memijah pada bulan Oktober sampai Mei (Ong 1996). Menurut Yadav dan Tyagi (2006), di India telur-telur Nereis limbata biasanya banyak melimpah selama musim kemarau dari bulan penuh sampai bulan baru. Di pantai utara Pulau Jawa, pemijahan D. pinnaticirris terjadi sepanjang tahun, sedangkan periode intensifnya terjadi pada bulan Desember sampai dengan Februari (Yuwono 2008).

Cacing N. limbata matang kelamin memijah di permukaan air laut pada waktu malam hari antara pukul 21.00 22.00 (Yadav dan Tyagi 2006). Cacing P. nuntiajantan dan betina yang matang gonad keluar dari endapan berenang bentuk spiral dan memijah setelah bersentuhan satu dengan lainnya beberapa kali (Shokita et al. 1991). Rangsangan pemijahan ini lebih bersifat khemis dari pada fisis (Yadav dan Tyagi 2006). Contoh siklus hidup cacing Nereididae P. nuntiadapat dilihat pada Gambar 3.

(45)

Keterangan:

1. epitoke(dewasa yang reproduktif; struktur kepala, ruas, dan parapodia berubah) merayap keluar, a: jantan, b: betina

2. pemijahan 3. embrio dua sel 4. embrio empat sel

5. larvatrochopore sesaat sebelum penetasan, planktonis 6. larvanectochaeta, tiga setiger, bentik

7. juvenil

8. muda dan dewasa

(46)

Menurut Yuwono et al. (1997) dan Yuwono et al. (1999), di pantai utara Pulau Jawa, larva trochopore cacing nereis Dendronereis spp. berdiameter 140 m keluar dari telur 24 jam setelah pembuahan dan bersifat planktonis. Setelah 24 48 jam larva trochopore ini berubah menjadi larva bentik nectochaeta yang mempunyai tiga setiger (chaetiger) dengan ukuran panjang 140 150 m. Dalam waktu tiga minggu setelah mulai bentik, larva ini berubah menjadi cacing muda (juvenil) yang mempunyai ruas mulai 8 10 ruas dan telah mampu membuat liang dalam tanah sebagai tempat hidupnya. Setelah tujuh minggu juvenil menjadi cacing dewasa (jumlah setiger lebih dari 30) (Mazurkiewicz 1975; Yuwono et al. 1997). Setelah 12 minggu, jumlah ruasnya bertambah menjadi 60 ruas.

Sistem Pencernaan

Secara morfologis, organ saluran pencernaan makanan cacing Nereididae dapat dibagi menjadi delapan bagian yakni: mulut, rongga mulut, faring, esofagus, perut, usus halus, rektum, dan anus (Wu et al. 1985). Pada cacing Nereididae Neanthes virens (Sars), esofagus sebagai tempat utama produksi enzim proteolitik dan usus halus bagian depan sebagai tempat produksi enzim lipase dan karbohidrase (Kay 1974). Pada cacing nereis Arenicola marina (L.), usus halus sebagai tempat penyerapan air dan bahan terlarut ke dalam aliran darah, sedangkan rektum sebagai tempat feses dibentuk dan disimpan (Kermeck 1954). Secara histologis, dinding perut dan usus halus terbagi menjadi empat lapisan (dari luar ke dalam) yakni: lapisan luar dari visceral peritonium, lapisan otot (inner circular dan outer longitudinal), submucosa (lapisan jaringan sambung dengan jaringan yang kaya pembuluh darah) dan mukosa dari epiteliumintestinal columnar(Wuet al.1985).

Coelom

(47)

amoebocytes yang berfungsi sebagai sel pertahanan melawan parasit dan infeksi. Coelom tidak hanya mengangkut nutrien ke berbagai jaringan, namun juga mengumpulkan produk-produk aktvitas metabolisme dan mengeluarkannya tubuh melaluinephridiopore. Pada musim reproduksi coelom terisi dengan sel-sel genital dengan berbagai fase perkembangan. Setiap septa membentuk sandwich dengan jaringan sambung di tengah dan mesothelium (membran yang bertindak sebagai penutup bagian dalam) dari ruas di depan dan ruas belakang pada sisi lainnya. Setiap mesentery serupa kecuali mesothelium yang melapisi masing-masing dari sepasang coelom dan pembuluh darah.Mesothelium dapat juga membentuk otot radial dan otot sirkular pada septa; otot sirkular mengitari pembuluh darah dan lambung. Bagian dari mesothelium, terutama pada bagian luar lambung, dapat juga terbentuk sel-sel chloragogenyang berfungsi serupa dengan hati dari vertebrata: penghasil dan penyimpan glikogen dan lemak, penghasil hemoglobin pembawa oksigen, pemecah protein, dan pengolah bahan buangan nitrogen menjadi amonia dan urea (Wuet al.1985; Wikipedia 2011a).

Sistem Peredaran

(48)

Sistem Pernafasan

Pada nereis tidak terdapat sistem pernafasan khusus. Lapisan kulit dan parapodia penuh dengan jaringan pembuluh darah dan organ utama pertukaran gas (Wuet al. 1985).

Sistem Pembuangan

Air tidak dapat aktif menembus membran sel sebab tidak ada protein pembawa yang mengikat dan membawanya (Wilmer et al. 2005). Air dapat melewati langsung membran dalam responnya terhadap perubahan dalam konsentrasi ion. Gerakan air dikontrol secara tidak langsung oleh ion pemompa seperti kalium dan natrium menembus membran sel yang menimbulkan perbedaan konsentrasi yang menyebabkan air mengikuti secara osmosis. Jika natrium keluar dari tubuh, air cenderung mengikutinya. Laju hilangnya air dapat diatur oleh hormon yang mengontrol pengeluaran natrium atau permeabilitas air dari saluran pembuangan.

Osmoregulasi biasanya dilakukan oleh organ pengeluaran yang juga berfungsi untuk membuang limbah metabolisme (Wilmer et al. 2005). Pembuangan urin merupakan mekanisme pembuangan limbah dan osmoregulasi. Nephridia( organ ruas) merupakan organ yang berfungsi dalam osmoregulasi pada annelida. Kecuali beberapa ruas anterior dan ruas posterior, setiap ruas memiliki satu pasang nephridia, dengan dua bukaan (satu bagian dalam, satu keluar) (Wuet al. 1985). Nephridia berbentuk tabung yang menyaring cairan tubuh selain darah (Wilmer et al. 2005). Silia atau flagela cambuk mengarahkan cairan ke dalam sistem tabung, meninggalkan sel dan protein dalam jaringan. Tabung menyerap kembali bahan-bahan yang berguna seperti glukosa dan asam amino dari cairan dan mengembalikannya ke jaringan, saat mengeluarkan kelebihan ion ke dalam jaringan cairan. Akhirnya kelebihan air, ion, dan sisa-sisa metabolisme dikeluarkan dari tubuh melalui nephridiopore pada dinding tubuh.

Sistem Saraf

(49)

biasanya meliputi mata, organ pengecap (taste bud), tentakel, dan organ kesetimbangan (statocysts) (IPTEK-net 2009).

Sistem Reproduksi

Kebanyakan nereis bereproduksi secara seksual dan kelaminnya terpisah. Kebanyakan fertilisasi telur oleh sperma berlangsung secara eksternal dalam air laut. Beberapa errantia, termasuk clamworm, menjadi sangat berubah penampilannya dan menjadi aktif berenang saat sel kelaminnya matang; jantan dan betina muncul ke permukaan untuk memijah. Semua Nereididae bersifat semelparous (bereproduksi sekali pada akhir hidupnya) dan kebanyakan menjadiepitoke (dewasa yang reproduktif; struktur kepala, ruas, dan parapodia berubah). Banyak nereis berkemampuan untuk meregenerasi diri dari bagian tubuh yang hilang (IPTEK-net 2009).

Pakan dan Kebiasaan Makan

Dendronereis spp. merupakan pemakan endapan permukaan (surface deposit-feeder) (Fauchald dan Jumars 1979). Tidak terdapat perbedaan kandungan pencernaan makanan pada jenis kelamin berbeda. Menurut Mazurkiewicz (1975), di alam larva setiger-3, larva setiger-4, dan larva setiger-5 Laeonereis culveri hampir semata-mata makan diatom bentik, sedangkan fase berikutnya makan endapan dan detritus. Kebanyakan pakan utama Nereididae adalah alga (Fauchald dan Jumars 1979). Isi lambung N. diversicolor terdiri dari mukosa (bahan organik, bakteri, fungi, dan fitoplankton) (56,33%), pasir (17,56%), detritus tumbuhan (10,68%), cacing (7,92%), krustasea (4,64%), lainnya (foraminifera, hydrobidae, gastropoda, bivalvia, acari, chironomidae, insekta, dsb.) (2,79%), dan lumpur (0,08%) (e Costaet al.2006).

Osmoregulasi

(50)

yang tepat dari larutan dan jumlah air dalam cairan tubuhnya. Ini meliputi pembuangan sisa metabolisme dan bahan-bahan lainnya seperti hormon yang dapat beracun jika dibiarkan terakumulasi dalam darah melalui organ seperti kulit dan ginjal, pemeliharaan jumlah air dan bahan terlarut dalam keseimbangan.

Berdasarkan mekanisme osmoregulasinya, organisme terbagi menjadi empat golongan, yakni:

(1) Osmoconformer: organisme yang tidak memiliki kemampuan mengatur osmolaritas cairan tubuhnya sehingga laju pemasukan dan laju pengeluaran air sama. Contohnya: kebanyakan cacing nereis dan bintang laut. Jika hewan ini ditempatkan dalam lingkungan dengan osmolaritas lebih rendah maka jaringannya akan menggelembung, sebaliknya jika ditempatkan dalam lingkungan dengan osmolaritas lebih tinggi maka jaringannya akan mengkerut, organela dan membrannya sel rusak, lalu mati (Wilmeret al. 2005; Beesleyet al.2000).

(2) Osmoregulator: organisme yang mampu mengatur osmolaritas cairan tubuhnya (Wilmeret al. 2005).

a. Osmoregulator hipertonik: organisme yang mampu mengatur osmolaritas cairan tubuhnya lebih tinggi daripada osmolaritas lingkungannya; biasanya stenohalin (tahan hidup pada salinitas kisaran sempit). Contohnya: ikan air tawar. Insang ikan air tawar dengan banyak sel yang mengandung mitokondria aktif mengambil garam dari lingkungannya (Wikipedia 2011b). Air akan berdifusi ke dalam tubuh ikan ini dan urin yang sangat hipotonik dikeluarkan untuk mengeluarkan kelebihan air.

b. Osmoregulator hipotonik: organisme yang mampu mengatur osmolaritas cairan tubuhnya lebih rendah daripada osmolaritas lingkungannya; biasanya stenohalin. Contohnya: ikan laut. Ikan laut ini cenderung kehilangan air dan memperoleh banyak garam. Ikan laut aktif mengeluarkan garam dari insang.

c. Osmoregulator isotonik: organisme yang mampu mengatur osmolaritas cairan tubuhnya sehingga sama dengan osmolaritas lingkungannya; biasanya eurihalin (tahan hidup pada salinitas kisaran luas). Contohnya: ikan daerah estuarin (Fujaya 2004).

(51)

cacing Nereididae N. succineatelah beradaptasi terhadap kenaikan salinitas tetapi tidak tahan jika salinitas melebihi batas osmoregulasi fisiologisnya (Detwileret al. 2002).

Satuan Osmolaritas

Osmolaritas adalah konsentrasi partikel aktif secara osmotik dalam larutan dengan satuannya sebagai osmol dari zat terlarut per liter larutan.

Cairan tubuh semua organisme merupakan larutan garam. Larutan dapat dinyatakan sebagai ppt, g/L, mol/L, mol/kg, Osm/kg, dan Osm/L. Sebagai contoh NaCl, 30 ppt = 30,6 g/L = 0,523 mol/L = 0,529 mol/kg = 0,962 Osm/kg. Satu molar larutan mengandung 1 mol zat terlarut per liter larutan. Satu molal larutan mengandung 1 mol zat terlarut dalam 1 kg zat pelarut. Satu mol suatu bahan adalah jumlah bahan (g) sebanyak berat molekulnya atau berat atomnya. Misal satu mol karbon adalah 12 g; berat atom karbon adalah 12. Sebagai standar ukuran osmolaritas adalah salinitas laut rata-rata yakni 34,5 ppt atau 1.000 Osm/kg (Rankin dan Davenport 1981).

Osmolaritas suatu zat dalam cairan diukur dari beberapa derajat Celcius zat itu dapat menurunkan titik beku cairan pelarutnya (Wheaton 1977). Satu mol

per liter zat larut sempurna menurunkan titik beku sebesar 1,86o C. Jumlah Osm/L zat atau elektrolit dalam larutan ialah penurunan titik beku dibagi dengan 1,86. Bila dinyatakan dalam mOsm/L, osmolaritas cairan dapat ditentukan dengan cara membagi nilai penurunan titik beku dengan 0,00186. Diketahui

bahwa nilai penurunan titik beku ( ToC) berhubungan erat dengan kadar Cl -(khlorinitas, Cl) larutan yang dapat dinyatakan dengan rumus Brahtz sebagai berikut:

ToC = -0,0966 (Cl) - 0,0000052 (Cl)3

Khlorinitas ditentukan dengan menggunakan rumus Fofonoff sebagai berikut: Cl = Salinitas/1,80655 (g/L)

Osmolaritas media (mOsm/L H2O) menggunakan rumus sebagai berikut:

mOsm/L H2O = ToC/0,00186

= [ -0,0966 (Cl) - 0,0000052 (Cl)3] / 0,00186

Pertumbuhan Biomassa Mutlak

(52)

C = Energi yang dikonsumsi

P = Energi potensial untuk pertumbuhan R = Energi metabolisme

F = Energi feses U = Energi urin

Energi osmoregulasi merupakan bagian dari energi metabolisme. Jika energi osmoregulasi besar maka energi potensial untuk pertumbuhan menjadi kecil.

Pertumbuhan biomassa mutlak hewan adalah jumlah penambahan biomassa hewan selama periode waktu tertentu (Effendie 1979). Biomassa dapat berupa bobot basah, bobot kering, kandungan nitrogen, atau kandungan energi. Hampir semua studi produksi pengukurannya biasanya menggunakan parameter bobot basah dan kandungan energi jika perlu (Ricker 1970). Produktivitas hewan adalah jumlah penambahan biomassa hewan dalam satuan lahan tertentu (luas atau volume) selama periode waktu. Gambaran perhitungan pertumbuhan biomassa mutlak ikan, sebagai contoh, dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa:

Biomassa pada tanggal 1 Mei = Bobot rata-rata x Jumlah populasi = 1,5 x 8000

= 12.000 g.

Laju pertumbuhan harian 1 Mei 1 Juni = (2,0 - 1,5)/1,5/31 = 1,07%. Biomassa rata-rata 1 Mei 1 Juni = (12.000 + 9.000)/2 = 10.500 g. Pertumbuhan biomassa mutlak 1 Mei 1 Juli

= 13.000 - 12.000 = 1.000 g.

Tabel 1. Contoh perhitungan produksi ikan

Tanggal Bobot

1 Mei 1,5 8.000 12.000

1 Mei

(53)
(54)

TINGKAT KERJA OSMOTIK DAN KINERJA PERTUMBUHAN

CACING NEREIS

Dendronereis pinnaticirris

(GRUBE 1864)

PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

ABSTRAK

AHMAD GHUFRON MUSTOFA. Tingkat Kerja Osmotik dan Kinerja Pertumbuhan Cacing Nereis Dendronereis pinnaticirris (Grube 1864) pada Berbagai Tingkat Salinitas. Dibimbing oleh ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, dan DEDI JUSADI.

Percobaan ini bertujuan untuk mengevaluasi zona nyamanD. pinnaticirris dengan cara menentukan salinitas media yang optimum yang memberikan kinerja pertumbuhan terbaik pada tingkat kerja osmotik yang mendekati 1,0. Cacing uji memiliki bobot tubuh awal per individu rata-rata 147,2±0,1 mg dan telah diadaptasi dalam air bersalinitas 15 ppt dan substrat tanah asli sebelum percobaan selama 30 hari. Penelitian dilakukan melalui tiga tahap yaitu: pertama (I) uji toleransi D. pinnaticirris terhadap salinitas (0 70 ppt dengan interval 5 ppt). Tingkat salinitas yang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tinggi pada tahap I digunakan pada tahap II sebagai tingkat salinitas yang menghasilkan tingkat kerja osmotik isoosmotik. Tiga tingkat salinitas ditemukan dalam tahap II digunakan dalam tahap III sebagai evaluasi nilai salinitas optimum terhadap kinerja pertumbuhan. Dari uji toleransi salinitas diperoleh tingkat kelangsungan hidup tertinggi sebesar 93,3 100% pada salinitas 5 35 ppt, diikuti 46,6% pada salinitas 40 ppt, dan 40% di 45 ppt. Sedangkan pada salinitas 0 ppt dan 50 70 ppt hewan uji mati. Berdasarkan analisis tingkat aktivitas osmotik ditemukan bahwa salinitas media 15 ppt, 20 ppt, dan 25 ppt mendekati kondisi isoosmotik. Evaluasi terhadap kinerja pertumbuhan hewan uji diperoleh kesimpulan bahwa laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein, dan produktivitas bernilai tertinggi pada salinitas media 20 ppt. Dari tahap III diperoleh persamaan y = 0,00005778x2 - 0,032x + 1,643, (R2=0,996); y = TKO = 1, maka x = 20 ppt.

(55)

ABSTRACT

AHMAD GHUFRON MUSTOFA. Osmotic Activity Rate and Growth Performances of a Nereis Worm Dendronereis pinnaticirris(Grube 1864) in Several Salinity Levels. Supervised by ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, andDEDI JUSADI.

This experiment was conducted to evaluate the comfort zone of D. pinnaticirris by determining the optimum salinity of media that delivered the best growth performances at a level closed to 1.0 of the osmotic activity rate. Test worms had average body weight of 147,2±0,1 mg were adapted in water 15 ppt and the native soil substrate before the experiment for 30 days. The experiment was conducted through three stages, namely: the first, (I) Tolerance test of D. pinnaticirris on salinity (0 70 ppt at interval of 5 ppt). Salinity levels generated high survival rate in stage I were used in stage II as salinity level generated the osmotic activity rate in isoosmotic. Three levels of salinity found in stage II were used in stage III as evaluation of the optimum salinity for the growth performances. From salinity tolerance test was obtained the highest survival rate as high as 93.3 100% in 5 35 ppt, followed 46.6% in 40 ppt, and 40% in 45 ppt. While in the salinity of 0 ppt and 50 70 ppt, the worms were dead. Based on the analysis of the osmotic activity rate, it was found that the media salinity of 15 ppt, 20 ppt, and 25 ppt were closed to the isoosmotic condition between body worm plasms and the media. Evaluation on the growth performances of worms was obtained that the daily growth rate, the feed efficiency, the protein retention, and the productivity were in the highest value in 20 ppt of media. From the stage III, it was found an equation as y = osmotic activity rate = y = 0.00005778x2 -0.032x + 1.643, (R2=0,996); y = 1, so x = 20 ppt.

Key words: salinity, osmotic activity rate, protein retention, growth, Dendronerreis pinnaticirris (Grube 1864)

Pendahuluan

(56)

perairan hingga 65 ppt dan tahan hidup pada salinitas 80 ppt dalam jangka waktu singkat (Kuhl dan Oglesby 1979). Di sisi lain terdapat informasi bahwa N. succinea padat melimpah di Teluk Chesapeake pada salinitas rendah sepanjang tahun (Holland 1985).

Salinitas media mempengaruhi energi osmoregulasi. Energi osmoregulasi paling rendah ditandai oleh nilai tingkat kerja osmotik mendekati nilai satu, yakni osmolaritas cairan plasma organisme mendekati sama dengan nilai osmolaritas cairan media lingkungannya. Energi osmoregulasi yang rendah selanjutnya akan menyebabkan jaringan tubuh bertambah relatif lebih banyak. Sebaliknya energi osmoregulasi yang tinggi dapat diperoleh dari jaringan tubuh, selain mempengaruhi aktivitas optimum metabolisme lainnya, sehingga menurunkan retensi protein dan laju pertumbuhan harian, hingga menyebabkan kematian.

Informasi aspek salinitas dan proses pengaruhnya terhadap osmolaritas, yang selanjutnya mempengaruhi retensi protein, laju pertumbuhan harian, dan produktivitas D. pinnaticirris untuk mencapai ukuran dewasa belum tersedia, oleh karenanya perlu dilakukan pengkajiannya.

Tujuan percobaan ini ialah mengevaluasi zona nyaman D. pinnaticirris dengan cara menentukan salinitas media yang optimum yang memberikan kinerja pertumbuhan terbaik pada tingkat kerja osmotik yang mendekati 1,0. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan tiga tahap penelitian yakni: Percobaan I: Uji Toleransi D. pinnaticirris terhadap Salinitas. Percobaan ini

bertujuan untuk mengetahui kisaran toleransi hewan uji terhadap salinitas.

Percobaan II: Tingkat Salinitas yang Menghasilkan Tingkat Kerja Osmotik Isososmotik. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui tiga salinitas yang menghasilkan tingkat kerja osmotik hewan uji mendekati nilai satu.

Percobaan III: Evaluasi Nilai Salinitas Optimum terhadap Kinerja Pertumbuhan. Percobaan ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai salinitas optimum terhadap kinerja pertumbuhan.

Tempat dan Waktu

Metode Penelitian

(57)

Pangkep, tempat percobaan, analisis proksimat, dan analisis kualitas air; (3) Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros, tempat analisis osmolaritas pada bulan Nopember 2009 November 2011.

Bahan dan Metode

Percobaan I: Uji ToleransiD. pinnaticirristerhadap Salinitas

Hewan uji, cacing D. pinnaticirris berbobot 146,2±0,1 mg per individu, telah diadaptasikan dalam wadah berkapasitas 3 m3 yang diisi air (salinitas 15 ppt) dan substrat tanah asal hewan uji selama 30 hari (Dice 1969). Hewan uji ini diperoleh dari pantai Selat Makassar, Kabupaten Pangkep, dengan cara menebar tepung ikan atau tepung terigu atau tepung dedak ke dasar substrat pantai saat mulai pasang atau mulai surut pada sore hari. Cacing nereis akan mengumpul pada sekitar pakan, lalu dipungut dengan tangan atau saringan, kemudian ditempatkan dalam ember angkat berisi air asal beraerasi. Selanjutnya cacing ditempatkan dalam wadah adaptasi. Wadah percobaan berupa gelas piala ukuran 300 mL sebanyak 45 unit. Wadah tersebut diisi air dengan salinitas berbeda sebagai perlakuan yaitu: 0 ppt, 5 ppt, 10 ppt, 15 ppt, 20 ppt, 25 ppt, 30 ppt, 35 ppt, 40 ppt, 45 ppt, 50 ppt, 55 ppt, 60 ppt, 65 ppt, dan 70 ppt, dan dilengkapi dengan aerasi, masing-masing tiga ulangan. Pada setiap wadah tersebut dimasukkan hewan uji sebanyak 10 individu. Pengamatan sintasan hewan uji dilakukan setelah enam jam masa uji (Lampiran 1). Peubah kualitas air yang diamati meliputi oksigen terlarut, suhu, dan pH air.

Salinitas yang menghasilkan sintasan tertinggi selanjutnya digunakan pada uji berikutnya. Pemeliharaan hewan uji dilakukan seperti tahap sebelumnya selama enam jam, lalu hewan uji diangkat dan ditempatkan kembali ke dalam cairan media bersalinitas 15 ppt selama 48 jam (2 hari), dan sintasan hewan uji dicatat (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Cairan media diganti setiap hari.

Percobaan II: Tingkat Salinitas yang Menghasilkan Tingkat Kerja Osmotik Isoosmotik

(58)

45 ppt, dilengkapi dengan aerasi, masing-masing tiga ulangan (Dice 1969; Syafei 2006). Pada setiap wadah tersebut dimasukkan hewan uji sebanyak 10 individu. Pada jam ke-0, 4, 24, dan 192 dilakukan pengamatan sintasan dan tingkat kerja osmotik (TKO) hewan uji. Pengukuran osmolaritas dengan menggunanakan metode cryoscopic (Aurora 2011). Hewan uji digerus dengan menggunakan tabung gelas dan tongkat pengaduk gelas. Cairan tubuh minimum 0,1 mL dicampur dengan antikoagulan (0,01 M tris-HCl + 0,25 M sukrosa + 0,1 M sodium sitrat; pH 7,6) sebanyak empat kali volume cairan tubuh, lalu disedot dengan menggunakan jarum spuit 1,0 mL, dan ditempatkan pada tabung

sentrifus, lalu disentrifus pada 3.500 rpm, 4oC, selama 10 menit, kemudian supernatannya sebagai cairan plasma diambil dengan jarum spuit dan ditempatkan dalam tabung mikro 1,5 mL, lalu disimpan dalamfreezerbersuhu -20 -4o C. Contoh cairan plasma sebanyak 0,1 mL diukur osmolaritasnya dengan osmometer. Contoh cairan media sebanyak 0,1 mL tanpa penambahan bahan diukur osmolaritasnya (Lampiran 4 dan Lampiran 5).

Percobaan III: Evaluasi Nilai Salinitas Optimum terhadap Kinerja Pertumbuhan

Hewan uji D. pinnaticirris yang telah diaklimatisasi selama 30 hari pada salinitas 15 ppt dengan bobot individu 148,2±0,1 mg. Hewan uji tersebut lalu dipelihara dalam akuarium berukuran 40x40x30 cm yang diisi substrat habitat asal setebal 10 cm dan dengan air (kedalaman 8,5 cm). Hewan uji ditebar

dengan densitas 40 ekor/akuarium atau 250 individu/m2 dan ditempatkan secara merata pada setiap wadah. Hewan uji diberi pakan komersial mulai 3% dari bobot tubuh hewan uji per hari pada pukul 16.00 (e Costa 1999). Pakan komersial berkadar protein 37,35%, lemak 6,50%, bahan ekstrak tanpa N 37,94%, serat kasar 3,21%, abu 8,40%, dan air 6,60%. Pakan ini disaring dengan menggunakan saringan mesh size 250 µm. Pemberian pakan selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan hewan uji. Pengamatan respons makan hewan uji dilakukan 24 jam setelah pemberian pakan sebelumnya. Jika pakan tersisa, maka jatah pakan hari berikutnya dikurangi 20%. Jika pakan habis, maka jatah pakan hari berikutnya ditambah 20%. Bobot pakan yang dikonsumsi oleh hewan uji di setiap ulangan dicatat.

Gambar

Gambar 1.Ciri-ciri morfologis utama genus Nereis dari dorsal, dorsal internal,
Gambar 2.Ciri-ciri morfologis utama genus Nereis dari parapodia dan bagian
Gambar 3.Siklus hidup cacing P. nuntia (Shokita et al. 1991; Yuwono et al.
Tabel  2. Rata-rata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tiga tahap penelitian telah dilakukan untuk menentukan pakan yang sesuai dengan perubahan enzim dalam saluran pencernaan ikan gurame dan konsekuensi perubahan pakan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan kelulushidupan ikan sidat dengan pakan alternatif berupa cacing tanah, dan menentukan proporsi pakan alternatif

Table 3 menunjukkan bahwa efisiensi usaha yang dihitung berdasarkan besarnya nilai per- bandingan pendapatan dan biaya pada perlakuan pakan ikan rucah dan pakan moluska

Salah satu alternatif penyediaan pakan ternak adalah memanfaatkan dan mengembangkan limbah hasil pertanian dan perkebunan yang diduga memiliki kandungan nutrisi setara dengan

Pemberian enzim yang diproduksi oleh bakteri Bacillus cereus pada pakan formulasi mampu meningkatkan laju pertumbuhan spesifik dan efisiensi pakan ikan nila, dan penambahan

Rata- rata pertum buhan, retensi protein, efisiensi pakan, dan rasio efisiensi protein ikan kerapu macan yang diberi pakan kontrol (A), tepung darah (B), tepung darah yang diberi enzim

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan merupakan unsur pelaksana kegiatan akademik yang melaksanakan program pendidikan sarjana dengan mayor Ilmu Nutrisi

Pada buku ini dibahas mulai dari berbagai bahan pakan untuk ruminansia, bagaimana pakan dicerna dalam saluran pencernaan, dan proses metabolisme pemanfaatan unsur-unsur nutrisi makanan