SEBARAN LAHAN SAWAH DAN TEBU MENGGUNAKAN
DATA LANDSAT ETM+ MULTI TEMPORAL
BUKHARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM+ Multi Temporal adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
Bukhari
BUKHARI. Comparison of Back Propagation Neural Network and Maximum Likelihood Classification Method in Mapping Paddy Field and Sugarcane Using Multitemporal Data of Landsat ETM+. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA.
Abstract
The main objectives of this research are to map the paddy field dan sugarcane area with Maximum Likelihood Classification (MLC) and Back Propagation Neural Network (BPNN) methods, and to compare the classification result generated from both classification methods. This research compared parametric method (MLC) and non parametric method (BPNN) by using the same images of Landsat ETM+ and the same training area. Seven bands (multispectral band 1,2,3,4,5,7 and Pancromatic Band 8) from multi temporal Landsat images used as input data for both classification methods. Before Landsat ETM+ used for classification process, it was corrected geometrically and radiometrically. Classification process of both methods (MLC and BPNN) used multistage approach. Landuse classified into 4 classes paddy field, sugarcane, possible paddy field/sugarcane and not paddy field/sugarcane. The target of training area was done based field data. The result show that BPNN classification method has overall accuracy 84,30 % and kappa accuracy 0,64, which is paddy field area 38.040 ha and sugarcane area 5.525 ha. Meanwhile MLC method show overall accuracy 83,26 % and kappa accuracy 0.60 with paddy field area 38.416 ha and sugarcane 6.593 ha. This research is also showed that BPNN get a better accuracy compare to MLC, but the paddy field area generating from both methods is not significantly different.
RINGKASAN
BUKHARI, Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan
Maximum Likelihood dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu
Menggunakan Data Landsat ETM+ Multi Temporal, dibawah bimbingan
MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA.
Perolehan informasi tematik dari citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan proses klasifikasi, yang secara umum dibedakan dalam klasifikasi terawasi (supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification). Klasifikasi terawasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu klasifikasi parametrik dan klasifikasi non parametrik. Perbedaan antara klasifikasi parametrik dan non parametrik adalah persyaratan statistik distribusi normal, dimana klasifikasi parametrik memerlukan informasi parameter statistik dari daerah sampel pelatihan yang terdistribusi normal, sedang klasifikasi non parametrik tidak mensyaratkan distribusi normal. Metode klasifikasi citra digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah maximum likelihoodclassification/MLC (parametrik) danmetode back propagation neural network/BPNN (non parametrik).
Pemilihan metode klasifikasi citra yang akan digunakan sangat menentukan hasil klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan. Penggunaan metode BPNN diharapkan dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra digital Landsat ETM+ untuk pemetaan tanaman padi sawah dan tebu. Namun demikian pada kenyataannya bahwa pemetaan penutup/penggunaan lahan mengunakan data penginderaan jauh mono temporal masih mengalami kesulitan dalam pemisahan kelas, dimana pada fase-fase pertumbuhan tertentu antara kelas lahan sawah dan tebu secara visual atau spektral memiliki kemiripan yang sama. Untuk meningkatkan kemampuan identifikasi dan pemetaan lahan sawah dan tebu digunakan citra satelit multi temporal denganmelakukan klasifikasi secara berjenjang.
Penelitian bertujuan untuk : 1) Memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode BPNN, 2) Memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode MLC, 3) Melakukan perbandingan hasil klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN dan MLC untuk penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu.
Lokasi utama penelitian ini dilakukan di lahan milik PT. Sang Hyang Seri Sukamandi dan sekitarnya dengan penutup/pengunaan lahan padi sawah, sedangkan untuk lokasi tanaman tebu dilakukan di areal perkebunan PT. Rajawali Nusantara Unit Pasir Bungur Kecamatan Purwadadi dan sekitarnya. Kedua Lokasi ini terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Citra satelit Landsat ETM+ multitemporal yang digunakan adalah liputan tanggal 3 Desember 2000, 15 Juli 2001, 29 April 2002, 18 Juli 2002 dan 31 Maret 2003.
Penelitian diawali dengan pengolahan awal citra, dilanjutkan tahap interpretasi secara visual dan klasifikasi secara digital menggunakan metode BPNN dan MLC. Proses klasifikasi secara digital dilakukan secara berjenjang pada semua citra multitemporal dengan menggunakan 5 skema tahapan proses klasifikasi.
BPNN menghasilkan akurasi lebih baik dengan nilai overall accuracy sebesar 84,30 % dan kappa accuracy 0,64, sedangkan metode MLC menghasilkan overall accuracy sebesar 83,26 % dan kappa accuracy sebesar 0,60. Interpretasi berjenjang secara visual menghasilkan lahan sawah 33.980 ha dan tebu 4.474 ha. klasifikasi BPNN menghasilkan luas lahan sawah 38.040 dan tebu 5.525 ha, sedangkan dengan MLC menghasilkan luas lahan sawah 38.416 ha dan tebu 6.593 ha. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara MLC dan BPNN dalam memetakan luas lahan sawah, namun terdapat perbedaan yang signifikan pada kelas lahan tebu.
Kata kunci : Penginderaan jauh, parametrik dan non parametrik, back
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
SEBARAN LAHAN SAWAH DAN TEBU MENGGUNAKAN
DATA LANDSAT ETM MULTI TEMPORAL
BUKHARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Temporal
Nama : Bukhari
NRP : A225010021
Program Studi : Ilmu Tanah
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M. S.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah Tesis dengan judul Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dan dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM Multi Temporal.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah. dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan motivasi dalam pelaksanaan dan penyelesaian penulisan tesis ini.
2. Almarhum Prof. Dr. Ir. Uup Safei Wiradisastra, M.Sc selaku mantan anggota komisi pembimbing dan mohon maaf sebesar-besarnya karena belum sempat menyelesaikan penulisan tesis, semoga beliau mendapatkan kemuliaan di sisi Yang Maha Kuasa.
3. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Tanah beserta staf pengajar pada Program Studi Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4. Dr. Dra. Khursatul Munibah, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.
5. Ayahanda Tercinta Muhammad Amin, Ibunda Aminah, kakak dan adikku
tercinta, serta seluruh keluarga atas do’a, dukungan, kesabaran dan kasih
sayangnya selama ini.
6. Dukungan moral yang sangat besar dari istri tercinta Siska Oktavia, S.Psi, Psi yang tak henti-hentinya dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan penulis untuk segera dan jangan menunda-nunda menyelesaikan tanggung jawab penyelesaian tesis dan Ananda Muhammad Khairan Akbari “motivator” buat
Penulis dalam menyelesaikan Studi Sekolah Pascasaarjana.
Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga karya kecil ini bermanfaat bagi banyak pihak. Amin
Bogor, September 2010
Penulis dilahirkan di Lam Ujong, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, pada
Tanggal 03 Maret 1977. Penulis merupakan putra ketiga dari sembilan bersaudara.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri Kota Bakti dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala Banda Aceh melalui jalur Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Ilmu
Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun
2001. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
Program Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 4
Hipotesis ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Penginderaan Jauh ... 5
Karakteristik Landsat ETM+ ... 7
Klasifikasi Digital ... 9
Metode Klasifikasi Backpropagation Neural Network (BPNN) .. 10
Metode Klasifikasi Maximum Likelihood (MLC) ... 19
Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi ... 21
Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan ... 23
METODOLOGI PENELITIAN ... 26
Waktu dan Lokasi ... 26
Bahan dan Alat ... 26
Bahan... 26
Alat ... 28
Metode Penelitian ... 28
Tahapan Penelitian ... 28
Persiapan dan Pengumpulan Data Awal ... 28
Pra Pengolahan Citra ... 28
Pengolahan Citra ... 29
Klasifikasi Citra ... 30
Kegiatan Groundcek Lapangan ... 35
Analisis dan Perbandingan Hasil Klasifikasi ... 36
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
Koreksi Geometrik ... 39
Interpretasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Visual ... 40
Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Digital ... 44
Pengambilan Training Area ... 44
Klasifikasi Citra Multispektral ... 45
Maximum Likelihood Classification ... 46
Back Propagation Neural network ... 56
Pengujian Hasil Klasifikasi ... 68
Perbandingan Akurasi Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN ... 69
KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
xi
1. Karakteristik Landsat ETM+ dan Kegunaan Masing-masing Band ... 9
2. Matrik Kesalahan (Confusion Matrix) ... 23
3. Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut FAO ... 25
4. Contoh Matrik Konfusi ... 36
5. Ketelitian Geometri (RMS Error) dari Koreksi Geometri Citra ... 39
6. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Visual ... 42
7. Jumlah Piksel dan Luas Training Area ... 44
8. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan MLC ... 48
9. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (multistage) dengan Metode MLC ... 54
10.Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan BPNN ... 60
11.Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (multistage) dengan MetodeBPNN ... 66
12.Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Metode MLC untuk Masing-masing Citra Landsat ... 68
13.Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Menggunakan Metode BPNN untuk Masing-masing Citra Landsat ... 69
xii
1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Objek Tanah, Air dan Vegetasi ... 7
2. Struktur Internal Node Pemeroses Neural Network ... 12
3. Model Generik Multi Layer Perceptron ... 12
4. Fungsi Sigmoid ... 13
5. Model Backpropagation Neural Network (BPNN) ... 14
6. Neural Network dengan Fungsi Aktivasi ... 14
7. Peta Orientasi Lokasi Penelitian ... 27
8. Skema Klasifikasi Lahan Sawah dan Tebu secara Bertahap menggunakan Citra Landsat Multitemporal ... 32
9. Struktur Neural Network (Backpropagation Neural Network) yang Digunakan Dalam Penelitian ... 33
10. Model Klasifikasi BPNN ... 34
11. Model Klasifikasi MLC ... 35
12. Diagram Alir Metodologi Penelitian ... 38
13. Lokasi Pengambilan Titik Kontrol (GCP) ... 40
14. Kenampakan Fase Pertumbuhan Lahan Sawah dan Tebu pada Citra Landsat 542 Berbeda Waktu Perekaman ... 41
15. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Interpretasi Visual ... 43
16. Area Contoh Lokasi Training Area pada Citra 3 Desember 2000 ... 45
17. Hasil Klasifikasi Citra Menggunakan Metode Maximum Likelihood ... 47
18. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 3 Desember 2000 ... 49
19. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 15 Juli 2000 ... 50
20. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 29 April 2002 ... 51
21. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 18 Juli 2002 ... 52
22. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 31 Maret 2003 ... 53
23. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi MLC ... 55
24. Tahap Creating Data Neural Network ... 56
25. Konfigurasi Training Data untuk Klasifikasi Neural Network ... 57
26. Proses Klasifikasi Back Propagation Neural Network ... 58
27. Hasil Klasifikasi Citra menggunakan BPNN ... 58
28. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 3 Desember 2000 ... 61
xiii 32. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 31 Maret 2003 ... 65
33. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi BPNN ... 67
xiv
1. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 3 Desember 2000 ... 74
2. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 15 Juli 2001 ... 75
3. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 29 April 2002 ... 76
4. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 18 Juli 2002 ... 77
5. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 31 Maret 2003 .. 78
6. Ground Control Point untuk Koreksi Geometri ... 79
7. Matrik Konfusi Akurasi Klasifikasi dengan Metode Maximum Likelihood ... 80
Latar Belakang
Peta penggunaan lahan adalah upaya untuk menyajikan informasi tentang
pola penggunaan lahan di suatu wilayah secara spasial. Penggunaan lahan
sifatnya dinamis dan relatif cepat berubah menurut waktu dan ruang, maka peta
pengunaan lahan ini harus selalu diperbaharui secara periodik. Pemetaan
penggunaan lahan pada beberapa waktu lampau sangat menekankan pada survei
terestrial yang memiliki hasil yang detil tetapi berimplikasi pada biaya yang besar
dan waktu yang lama. Berkembangnya teknologi penginderaan jauh, kendala
biaya survei dan waktu dapat dikurangi dengan nyata. Pada saat ini, citra
penginderaan jauh telah digunakan pada berbagai bidang aplikasi seperti
pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan dan bidang lainnya.
Dinamika pengunaan lahan yang akan terus terjadi karena sifatnya yang
mengikuti dinamika aktivitas manusia, sehingga perlu mendapat perhatian serius
terutama dalam usaha-usaha pengelolaan lahan pertanian. Untuk itu diperlukan
suatu metode pemantauan atau monitoring yang berkelanjutan dengan hasil-hasil
yang akurat, yang secara periodik dapat memberikan informasi-informasi tentang
histori penggunaan lahan suatu wilayah. Teknologi Penginderaan jauh merupakan
salah satu alternatif yang dapat dipakai untuk keperluan tersebut.
Menurut Lillesand and Kiefer (1990) penginderaan jauh merupakan ilmu
dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak
langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Pada berbagai hal
penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan
menggunakan berbagai sensor, data dapat dikumpulkan dari jarak jauh dan dapat
dianalisis, sehingga didapatkan informasi tentang obyek, daerah atau fenomena
yang diteliti.
Informasi obyek, daerah atau fenomena diperoleh dengan mengolah data
penginderaan jauh baik secara manual maupun digital. Saat ini pengolahan data
daya alam karena mampu memberikan hasil yang lebih akurat dan tepat
dibandingkan secara manual.
Tahapan penting untuk mengekstraksi informasi dari data penginderaan jauh
adalah klasifikasi. Klasifikasi citra penginderaan jauh adalah suatu proses dimana
semua pixel dari suatu citra yang mempunyai penampakan spektral yang sama
akan diidentifikasi dan akan menghasilkan suatu peta tematik. Menurut Dewanti
et al. (1998) pada prinsipnya teknik klasifikasi adalah menggunakan informasi
spektral atau informasi spasial dari suatu citra dalam rangka membagi citra
menjadi beberapa kelas yang berbeda dan mempunyai arti terhadap obyeknya.
Dasar klasifikasi data penginderaan jauh adalah perhitungan statistik
terhadap nilai-nilai spektral (digital number). Menurut Schowengerdt (2007)
algoritma klasifikasi citra dapat dibedakan menjadi non parametrik dan
parametrik. Perbedaan antara klasifikasi parametrik dan non parametrik terletak
pada asumsi statistik yang digunakan, dimana algoritma parametrik berasumsikan
bahwa kelas terdistribusi normal dan memerlukan perkiraan distribusi parameter
seperti mean vector dan kovarian matrik untuk klasifikasi sedangkan non
parametrik menggunakan asumsi distribusi bebas sehingga akan lebih baik
digunakan pada suatu distribusi kelas yang variabilitasnya lebar.
Perolehan informasi tematik dari citra penginderaan jauh dapat dilakukan
dengan proses klasifikasi, yang secara umum dibedakan dalam klasifikasi terawasi
(supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification) (Jensen
1996). Klasifikasi terawasi sendiri dapat dibedakan lagi menjadi 2, yaitu
klasifikasi parametrik (parametric classifier) dan klasifikasi non parametrik (
non-parametric classifier). Klasifikasi parametrik memerlukan informasi parameter
statistik dari daerah sampel pelatihan yang terdistribusi secara normal, sedang
klasifikasi non parametrik tidak. Metode klasifikasi citra digital yang sering
digunakan untuk penginderaan jauh adalah maximum likelihood (MLC). MLC
termasuk kedalam metode parametrik yang menggunakan asumsi dan persyaratan
bahwa masing-masing kelas terdistribusi secara normal. Kenyataannya pada
kondisi tertentu untuk menemukan distribusi secara normal sulit, sehingga dalam
pengambilan training area untuk memisahkan piksel-piksel dari kelas yang
menyebabkan tingkat akurasi akan menurun dan standar deviasinya akan menjadi
lebih tinggi.
Salah satu metode non parametrik adalah metode neural network dimana
asumsi yang digunakan untuk training area tidak mensyaratkan distribusi normal.
Klasifikasi neural network juga lebih mudah melakukan pengolahan informasi
yang berupa co-occurance matrix dari multi band yang memiliki dimensi besar
sebagai masukan dan neural network sebagai pengklasifikasi sedangkan maximum
likelihood tidak dapat dipergunakan untuk mengklasifikasi dengan masukan
matrik. Kelebihan lain neural network mampu melakukan pengkelasan tidak
hanya berdasarkan informasi warna tetapi juga bisa berdasarkan informasi bentuk,
tekstural. Klasifikasi neural network menunjukkan akurasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan metode statistik konvensional (parametrik) seperti metode
MLC (Bischof 1992, Chang 1994, Yoshida, 1994 dalam Sadly 1998;
Koeshardono, 1999).
Jenis metode klasifikasi citra yang akan digunakan sangat menentukan hasil
klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data
penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan
digunakan. Penggunaan metode Neural Network (Back Propagation Neural
Network/BPNN) diharapkan dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra
digital Landsat ETM+ untuk pemetaan tanaman padi sawah dan tebu. Namun
demikian pada kenyataannya bahwa pemetaan penutup/penggunaan lahan
mengunakan data penginderaan jauh mono temporal masih mengalami kesulitan
dalam pemisahan kelas, dimana pada fase-fase pertumbuhan tertentu antara kelas
lahan sawah dan tebu secara visual atau spektral memiliki kemiripan yang sangat
mirip. Untuk membantu identifikasi lahan sawah dan tebu dapat digunakan citra
satelit multi temporal dan melakukan proses klasifikasi secara berjenjang
(multistage). Ini bisa dilakukan karena lahan sawah atau tebu mempunyai
karakteristik yang spesifik selama masa pertumbuhannya, sehingga dapat
dijadikan sebagai dasar untuk membedakan dari jenis penggunaan lain.
Beberapa peneliti yang sudah melakukan penelitian menggunakan neural
network untuk klasifikasi penutup lahan menggunakan data penginderaan jauh
Widyastuti (2000) menggunakan BPNN untuk pemetaan mangrove menunjukan
bahwa metode klasifikasi BPNN mempunyai akurasi yang tinggi.
Dalam penelitian ini akan menggunakan metode klasifikasi BPNN untuk
pemetaan sebaran lahan sawah dan tebu dan hasilnya akan dilakukan
perbandingan dengan metode MLC. Lokasi penelitian dipilih pada lahan sawah
dan tebu yang lokasi berada dalam hamparan yang berdekatan, untuk lahan sawah
dipilih pada areal lahan sawah Perum Sang Hyang Seri sedangkan lahan tanaman
tebu di Perkebunan milik PG. Rajawali III unit Pasir Bungur. Pertimbangan
lainnya lokasi ini memiliki dokumentasi data jadwal tanam dan pola tanam yang
lengkap dan teratur sehingga memudahkan dalam melakukan verifikasi dan
perbandingan hasil klasifikasi lahan sawah dan tebu secara bertahap dengan
menggunakan data Landsat multitemporal.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode BPNN
2. Untuk memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode MLC.
3. Melakukan perbandingan hasil klasifikasi dengan menggunakan metode
BPNN dan MLC untuk penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu.
Hipotesis
Hipotesis untuk penelitian ini adalah :
1. Terdapat perbedaan akurasi klasifikasi citra metode parametrik dan non
parametrik.
2. Klasifikasi BPNN akan menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh
dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau
gejala yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Menurut Hornby (1974 dalam
Sutanto 1986) mengemukakan bahwa citra merupakan gambaran yang terekam
oleh kamera atau oleh sensor penginderaan jauh. Data penginderaan jauh
memiliki keunggulan dalam hal waktu pengamatan dibandingkan dengan cara
konvensional. Data penginderaan jauh khususnya data satelit mempunyai peran
yang sangat penting karena memberikan informasi menggenai penggunaan lahan
yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Data yang didapatkan dari satelit
biasanya sudah merupakan data bersifat digital.
Pengolahan data penginderaan jauh atau pengolahan citra digital meliputi
beberapa tahapan, yaitu memasukkan data (input data), pengolahan awal untuk
memperbaiki kualitas citra secara radiomerik dan geometrik, pengolahan citra
menjadi suatu output yang memberikan informasi kepada pengguna.
Data yang mungkin dianalisis untuk memperoleh informasi tentang objek,
area, kejadian yang diteliti dikumpulkan menggunakan berbagai sistem sensor
yang dioperasikan dari suatu wahana (platform). Pada penginderaan jauh sumber
daya alam, data pada umumnya dikumpulkan dalam bentuk sebaran energi
elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek di permukaan
bumi (Lillesand & Kiefer 1990)
Selanjutnya menurut Lillesand & Kiefer (1990) terdapat dua proses dasar
dalam penginderaan jauh sumber daya alam yaitu : pengumpulan data dan analisis
data. Unsur-unsur proses pengumpulan data adalah sumber energi, perambatan
energi melalui atmosfer, interaksi energi dengan kenampakan permukaan bumi
dan data yang diperoleh dalam bentuk gambar. Proses analisis data menyangkut
penilaian data dengan menggunakan berbagai peralatan pengamatan dan
interpretasi untuk menganalisis data dalam bentuk gambar atau komputer untuk
sumber daya alam dipelajari untuk membantu dalam analisis data. Dengan
bantuan data referensi, analisis ekstraksi informasi tentang luas, macam, lokasi
dan kondisi berbagai sumber alam yang diindera oleh sensor. Informasi ini
kemudian disajikan, umumnya dalam bentuk peta, tabel-tabel dan laporan.
Akhirnya informasi digunakan oleh pemakai dalam proses pengambilan
keputusan.
Pada dasamya objek di permukaan bumi ini dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu tanah, air dan vegetasi. Ketiga objek tersebut secara alami
mempunyai bentuk dan sifat berbeda, sehingga apabila dipotret dengan
mengunakan panjang gelombang tertentu akan menghasilkan karakteristik
reflektan yang berbeda-beda. Karakteristik reflektan dari objek permukaan bumi
(tanah, air dan vegetasi) dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra
penginderaan jauh yang digunakan dan dasar dalam interpretasi objek. Kurva
karakteristik reflektan dari objek tanah, air dan vegetasi secara umum dapat
diketahui dari Gambar 1.
Dalam penerapan teknik penginderaan jauh, detail dan ketelitian yang
diinginkan, luas wilayah terliput, ditentukan oleh jenis dan skala citra yang
digunakan, karena setiap jenis citra tertentu dengan skala tertentu menggambarkan
dan bahkan menonjolkan objek-objek tertentu sesuai dengan panjang gelombang
yang digunakan untuk merekam data lapangan. Suatu hal yang perlu dipakai
sebagai dasar pemikiran dalam setiap penerapan teknik penginderaan jauh bahwa
pada prinsipnya kamera/sensor penginderaan jauh hanya merekam objek-objek di
permukaan bumi, sehingga objek-objek di bawah permukaan bumi atau yang
tertutup oleh tumbuh-tumbuhan, dinterpretasi berdasarkan objek-objek yang
tampak pada permukaan bumi (Estes et al 1983; Sutanto 1987; Lillesand & Kiefer
Gambar 1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Obyek Tanah, Air dan Vegetasi Citra Landsat (Sumber: Gao Yan 2003)
Karakteristik Landsat ETM+
Karakteristik penginderaan jauh satelit dapat dibedakan menurut misinya
seperti satelit cuaca dan satelit sumber daya alam. Data satelit cuaca memiliki
cakupan luas dan resolusi temporal tinggi, sedangkan data satelit sumber daya
alam memiliki resolusi spasial tinggi dan masing-masing band memiliki
kesesuaian untuk analisis obyek tertentu, sehingga memudahkan penafsir untuk
melakukan analisis spasial terhadap fenomena yang terjadi pada permukaan bumi
(Asriningrum 2002).
Di Indonesia data citra satelit sumber daya alam seperti Landsat, SPOT,
IKONOS, JERS dan ERS sudah digunakan. Landsat dari seri satelit bumi
merupakan sistem penginderaan jauh yang menyelidiki sumber daya bumi sebagai
obyek operasi utamanya. Sistem Landsat mengidentifikasikan sejumlah
band-band yang khusus direkam pemindai (Scanner). Landsat 4 dan 5 memuat sensor
multi spectral scanner (MSS) dan sensor thematic mapper (TM). Saat ini citra
satelit Landsat sudah mencapai seri Landsat 7 ETM+.
Landsat ETM+ merupakan seri Landsat ke-7 atau terakhir dari Landsat
yang memiliki beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan dengan seri
sebelumnya yaitu Landsat 5. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999
Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Sensor tersebut merupakan duplikasi
dari sensor TM pada Landsat TM 4, 5 yang mendapat tambahan satu saluran
pankromatik dengan resolusi spasial 15 m, sedangkan pada infra merah thermal
resolusinya spasialnya meningkat dari 120 meter pada Landsat TM menjadi 60
meter (Landsat 2000). Karakteristik Landsat ETM+ dan fungsi masing-masing
saluran disajikan pada Tabel 1.
Keunggulan citra Landsat ETM+ dibanding Landsat TM adalah
ditambahnya band pankromatik (band 8) dengan resolusi 15 meter dan pada band
6 terdapat perekaman dengan sistem low gain dan high gain untuk analisis laut
dan darat. Adapun keterbatasan citra ini adalah adanya liputan awan (akibat
sistem perekaman optik), dan resolusi spasial 15 meter masih termasuk kasar
untuk tujuan pemetaan skala besar (Asriningrum 2002).
Tabel 1. Karakteristik Landsat ETM+ dan Kegunaan Masing-masing Band
No Band
Sistem resolusi Kegunaan utama Spektral (µm) Spasial (m) Tempor al (hari)
1 Biru 0.450-0.515 30 x 30 16 Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, pembedaan vegetasi dan tanah
2 Hijau 0.525-0.605 30 x 30 16 Pengamatan puncak pantulan vegetasi, untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan antara tanaman sehat dan tidak sehat.
3 Merah 0.630-0.690 30 x 30 16 Untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan jenis tanaman, memudahkan perbedaan antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi.
4 Infra merah dekat 0.750-0.900 30 x 30 16 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifiaksi jenis tanaman, memudahkan perbedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air 5 Inframerah
gelombang pendek (menengah I)
1.550-1.750 30 x 30 16 Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air tanaman, kelembaban tanah. 6 Inframerah thermal 10.40-12.50 60 x 60 16 Untuk membedakan formasi batuan
dan untuk pemetaan hidrotermal 7 Inframerah
gelombang pendek (menengah II)
2.090-2.350 30 x 30 16 Berfungsi untuk memisahkan formasi batuan dan dapat digunakn untuk pemetaan hidrotermal 8 Pankromatik 0.520-0.900 15 x 15 16 Klasifikasi vegetasi, analisis
ganguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal
Klasifikasi Digital
Klasifikasi merupakan suatu proses dimana semua piksel dari citra yang
memiliki ciri spektral yang sama dikelompokkan. Secara umum terdapat dua
metode klasifikasi : klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan
klasifikasi tak terbimbing (unsupervisedclassification).
Klasifikasi terbimbing (supervised classification) merupakan metode
klasifikasi yang menggunakan training area yang telah dikenal dengan baik oleh
analis. Training area yang refresentatif untuk masing-masing kelas harus
ditentukan oleh pengguna. Hal yang penting diperhatikan dalam pengambilan
training area adalah pencarian area yang homogen. Namun demikian kisaran
variabilitas juga perlu diperhatikan untuk menghindari ketidakmampuan algoritma
dalam mengklasifikasi. Informasi yang diperlukan sebagai referensi dalam
penetapan training area dapat diperoleh dari survei lapangan, foto udara, peta dan
data lainnya. Hanggono (1998) mengemukan bahwa asumsi terpenting dalam
metode ini adalah bahwa setiap kelas spektral dapat dideskripsikan oleh suatu
distribusi probabilitas dalam suatu ruang multispektral. Distribusi multivariabel
ini dengan beberapa variabel sebagai dimensi ruang sehingga mampu
mendeskripsikan peluang ditemukannya sebuah piksel pada sebuah kelas dilokasi
manapun dalam ruang multispektral.
Pendekatan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) pada
umumnya tidak mensyaratkan data yang berlebihan atau kelas tidak dikenal secara
apriori. Oleh karena itu metode ini pada umumnya diterapkan pada citra yang
kurang didukung oleh data kondisi penutupan lahan. Algoritma kemudian akan
mengelompokkan piksel-piksel yang memiliki kesamaan ciri spektral kedalam
gerombol yang unik melalui kriteria statistika yang ditentukan melalui training
area dan selanjutnya mengkombinasikan dan atau mengubah label gerombol
kedalam kelas yang sesungguhnya (Manalu 2002).
Berdasarkan asumsi statistik yang digunakan Schowengerdt (2007)
membedakan algoritma klasifikasi citra dalam dua kelompok yaitu non
parametrik dan parametrik. Algoritma klasifikasi citra non parametrik
berasumsikan bahwa distribusi kelas tersebar secara bebas, yang termasuk
Sementara parametrik menggunakan asumsi bahwa kelas terdistribusi secara
normal dan memerlukan perkiraan distribusi parameter seperti mean vektor dan
kovarian matrik untuk klasifikasi, yang termasuk kedalam parametrik antara lain
maximum likelihood (MLC),nearest mean.
Ditinjau dari aspek statistik sampel yang ditentukan harus mencukupi.
Swain dan Davis (1998) menganjurkan 10 sampai 100 piksel perkelas untuk
mendapatkan statistik kelas yang sesuai. Algoritma akan menghitung
variabel-variabel statistika dasar yang diperlukan yaitu rataan, standar deviasi, matrik
kovarian, matrik korelasi untuk setiap area yang dijadikan training area.
Selanjutnya, algoritma yang digunakan akan mengevaluasi dan memetakannya
kedalam kelas yang memiliki peluang/kemiripan yang paling dekat.
Fungsi utama klasifikasi adalah untuk melakukan pemisahan dari suatu
populasi yang kompleks kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas, yang di
anggap sebagai unit-unit homogen untuk tujuan tertentu (Malingreu 1978).
Wiradisastra (1982) juga menjelaskan bahwa klasifikasi penutup lahan merupakan
pembagian wilayah kedalam satuan-satuan yang lebih kecil dan homogen agar
deskripsinya lebih sederhana.
Metode Klasifikasi Back Propagation Neural Network (BPNN)
Gagasan neural network berasal dari fungsi struktur dasar otak manusia.
Neural network merupakan simulasi perangkat lunak yang mengambarkan sistem
kerja jaringan saraf (neuron) dalam arti biologi. Dalam ilmu pengetahuan modern
dan rancang bangun neural network telah memperkuat pentingnya aplikasi
numerik yang berkisar pada pola pengenalan, klasifikasi dan lain-lain. Menurut
Basuki (2003) metode ini berisi proses stimulasi-stimulasi yang berlangsung
dalam otak yang diterjemahkan dalam simbol, nilai dan bobot. Metode ini
mempunyai keunggulan dalam hal proses pembelajaran, terdapat
bermacam-macam jenis neural network tergantung pada penggunaan. BPNN atau back
propagating perceptron paling dikenal dan digunakan secara luas pada sistem
neural network. Istilah BPNN mengacu pada metode training yang
menghubungkan pembobot network yang disesuaikan. BPNN mempunyai tipe
Klasifikasi neural network adalah metode klasifikasi non parametrik.
Neural network perlu dilakukan training untuk membuat analisis diskriminan.
Tujuan dari training adalah untuk menyesuaikan kekuatan asosiasi (atau koefisien
dari pembobot) antar neuron. Kriteria dari training untuk membuat error antar
keluaran (output) perhitungan vektor dependent dan vektor independent dari pola
traning yang diketahui. Proses dari training adalah untuk meneruskan error
terbelakang (transmit backward error) ke network. Penyesuaian pembobot antar
unit antar output layer, hidden layer dan input layer oleh karena itu bentuk neural
network ini dikenal dengan back propagation neural network (Zhou et al 1997)
Penggunaan neural network untuk klasifikasi citra multispektral terbagi
atas dua tahap, yaitu tahap pelatihan dan tahap klasifikasi. Adapun data untuk
pelatihan sama dengan yang digunakan oleh algoritma klasifikasi terawasi
parametrik. Pertama-tama jaringan tersebut dilatih dengan algoritma rambat-balik
sampai dicapai target kesalahan minimal yang dipersyaratkan. Target kesalahan
minimal tersebut merupakan perbedaan antara nilai target yang diinginkan dan
nilai output yang dihasilkan. Jika proses pelatihan telah selesai, maka jaringan
digunakan sebagai struktur umpan maju (feed forward structure) untuk
menghasilkan klasifikasi tutupan lahan seluruh citra (Paola and Schowengerdt
1997).
Elemen dasar neural network adalah node pemroses (Gambar 2).
Mula-mula setiap nilai input (X) dikalikan dengan nilai bobot sinapsis (W), yang
berfungsi menentukan kuat lemahnya aliran sinyal input, kemudian seluruh hasil
perkalian tersebut dijumlahkan untuk menghasilkan nilai jaringan (net). Nilai
jaringan ini dilewatkan melalui suatu fungsi aktivasi yang dibatasi oleh suatu nilai
ambang. Jika nilai jaringan melampaui tingkat ambang tersebut maka jaringan
menjadi aktif. Sebaliknya, jika tidak maka jaringan tetap pasif. Oleh karena input
tersebut melewati suatu model untuk menghasilkan output, sistem ini disebut
Gambar 2. Struktur Internal Node Pemeroses Neural Network (Siang 2005)
dimana :
x1, x2, ..xn : data masukan
w1,w2, ..wn : pembobot berfungsi untuk menyimpan informasi
b : bias
Σ : elemen pemroses yang berfungsi mengatur daerah nilai ambang f (net) : fungsi aktivasi untuk pemroses informasi
Oleh karena kemampuan perhitungan atau pengolahan sistem syaraf
ditentukan oleh hubungan antar neuron dalam bentuk jaringan, maka node-node
pemroses tunggal tersebut diorganisasi ke dalam beberapa layer, yang setiap layer
saling terhubung dengan layer berikutnya dalam bentuk jaringan. Tetapi, di dalam
satu layer sendiri tidak terjadi hubungan antar node. Hubungan antar node
memiliki bobot yang bersesuaian. Jika suatu nilai dilewatkan dalam hubungan
tersebut akan dikalikan dengan bobot tersebut. Pemodelan ini disebut multi layer
perceptron atau disebut juga multi layer feed forward. Model multi layer
perceptron umumnya terdiri dari tiga jenis layer dengan topologi jaringan seperti
pada Gambar 3, yaitu: layer input, layer tersembunyi, dan layer output.
Fungsi aktivasi menyatakan perlakuan suatu node terhadap input secara
tidak linier. Setiap fungsi diferensial dapat digunakan sebagai fungsi aktivasi f,
namun yang paling banyak digunakan adalah fungsi sigmoid. Fungsi sigmoid
merupakan fungsi yang bersifat kontinyu, monoton, output-nya terbatas, dan dapat
dideferensialkan. Fungsi ini dibedakan atas fungsi logsigmoid dan transigmoid
(Gambar 4).
a. Fungsi Logsigmoid (binary sigmoid) yang didefinisikan sebagai :
net e net f 1 1 )
( ... (1)
b. Fungsi Tansigmoid (bipolar sigmoid) yang didefinisikan sebagai :
1 1 2 ) ( net
e net
f ... (2)
dimana :
f (net) = fungsi aktivasi untuk pemroses informasi e = bilangan natural
net = Nilai Jaringan (network)
Gambar 4. Fungsi Sigmoid (Ozkan and Erbek 2003)
Neural network yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPNN yang
dikembangkan oleh Rumelhard et al. tahun 1986 dan merupakan metode neural
network yang paling banyak digunakan (Rumelhard et al 1990 dalam Kushardono
2001). Model BPNN dan model sebuah neuron j dalam neural network disajikan
Gambar 5 : Model Back Propagation Neural Network (BPNN)
Gambar 6. Neural Network dengan Fungsi Aktivasi
BPNN merupakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification)
yang terdiri atas banyak neuron layer seperti input layer, hidden layer
(kemungkinan lebih satu layer) dan output layer (Gambar 5). Proses neuron
dalam setiap layer dikenal dengan unit proses atau secara sederhana dikenal
sebagai unit dan neuron. Unit dari input layer, hidden layer dan output layer
dapat juga disebut input unit, hidden unit dan output unit. Tiap layer terdiri dari
beberapa neuron yang modelnya seperti terlihat pada Gambar 6. Proses dari
setiap neuron p dalam tiap-tiap layer menghasilkan sinyal output Op yang dihitung
dari persamaan 3, dimana output ditentukan berdasarkan fungsi F dari jumlah
penganda nilai sinyal oleh faktor pengali dan ditambahkan ke faktor penambah.
Persamaan ditunjukkan dibawah ini (Koeshardono 2001):
p i
i ip
P F W xO L
O ( )
1
1
dimana :
Op = Output sinyal pada setiap neuron p pada setiap layer
Lp = faktor penambah untuk setiap neuron p (p = 1, 2, 3,…, p)
Wip = faktor pengali untuk neuron p terhadap neuron i ( i= 1, 2, 3,…, l)
yang merupakan lapisan neuron pada layer sebelumnya
Oi = nilai sinyal dari neuron i yang masuk.
Besarnya faktor pengali (Wip) dan faktor penambah (Lp) pada BPNN ini
ditentukan berdasarkan metode pengajaran back propagation dengan nilai awal
ditentukan secara acak dan perubahan nilai setiap waktu t+1 proses pengajaran
sejumlah ∆Wip(t+1) dan ∆Lp (t+1) seperti persamaan yang ditunjukkan berikut ini :
))
(
)
(
)
1
(
))
(
(
)
(
)
1
(
t
L
E
x
t
L
t
W
x
O
x
E
x
t
W
p cp p ip cp cp ip
... (4) dimana :η dan α = tingkat pembelajaran (learning rate) dan momentum yang merupakan nilai konstan yang besarnya berkisar 0.0 sampai 1.0 Ecp = besar kesalahan (error) pengajaran pada neuron p sebelumnya,
dihitung dengan persamaan 5 dan persamaan 6 untuk training sample c (c = 1, 2, 3,…, cn)
Ocp = besar sinyal output dari neuron p tersebut untuk training sample c.
t = waktu
Besar error pengajaran pada neuron p sebesar Ecp pada persamaan 4 untuk output
layer (lapis terakhir) dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Ecp = (Tcp-Ocp) xOcp x1-Ocp) ... (5)
dimana :
Tcp = sinyal pengajaran (learning signal) yaitu suatu output jika benar untuk training data c pada neuron p,
Ocp = output sinyal neuron p pada output layer
Ecp untuk hidden layer (lapisan tengah) dihitung dengan persamaan berikut :
) ( ) 1 ( 1
K k pk ck cp cpcp O x O x E xW
dimana :
Ocp = output sinyal neuron p pada hidden layer (lapisan tengah)
Eck = besar kesalahan (error) untuk training data c pada neuron k (k = 1, 2, 3,..., k) dari layer samping atau lapisan belakangnya atau layer terakhir jika neural network terdiri tiga layer
Wpk = faktor pengali untuk hubungan antara neuron p pada hidden layer dengan neuron k pada layer belakangnya atau lapisan sebelumnya.
Fungsi F pada persamaan 3 pada BPNN yang umum digunakan adalah fungsi
sigmoid, yaitu sebagai berikut :
u e u F 1 1 )
( ... (7)
dimana :
f (u) = fungsi aktivasi untuk pemroses informasi e = bilangan natural
u = Nilai Jaringan (network)
Secara teknis, terdapat dua hal mendasar di dalam klasifikasi neural
netwok ialah daerah pelatihan dan pengaturan parameter jaringan. Daerah
pelatihan yang baik yaitu daerah pelatihan yang secara statistik mempunyai nilai
indeks keterpisahan antara 1,9-2 (Richard 1993) dan atau mempunyai tampilan
diagram pencar yang tidak saling tumpang tindih, sedangkan nilai indek
sepabilitas 0-1 mengindikasikan separabilitas tidak baik dan nilai 1-1,9 adalah
indek separabilitas cukup baik. Sementara Parameter jaringan ialah parameter
yang perlu diatur untuk memperoleh kinerja klasifikasi yang baik di dalam arti
efisien dan efektif. Parameter jaringan ini meliputi : (a) fungsi aktivasi, (b)
training threshold contribution, (c) training rate, (d) training momentum, (e)
training RMS exit criteria dan (f) jumlah iterasi pelatihan (PCI Help 2001).
Fungsi aktivasi.
Fungsi aktivasi di dalam jaringan syaraf tiruan digunakan untuk menentukan
keluaran sebuah neuron. Dua fungsi aktivasi yang sering dipergunakan adalah
logistic dan hyperbolic. Fungsi aktivasi logistic atau sering disebut fungsi
sigmoid biner memiliki kisaran nilai dari 0 sampai dengan 1, sedang fungsi
hyperbolic mempunyai kisaran nilai antara -1 sampai dengan +1. Di dalam
Training threshold contribution
Training threshold contribution merupakan nilai ambang yang perlu
ditentukan untuk meratakan perubahan bobot di dalam node. Hal ini
digunakan untuk mempercepat konvergensi karena perataan bobot akan dapat
meminimumkan kesalahan antara lapisan keluaran dan respon yang
diharapkan. Perataan bobot-bobot di dalam node dapat memberikan hasil
klasifikasi yang lebih baik. Nilai parameter ini berkisar antara 0 sampai
dengan 1. Masukan nilai 0 pada parameter ini tidak akan meratakan
bobot-bobot di dalam node.
Laju pelatihan (training rate)
Laju pelatihan akan mempengaruhi kecepatan proses iterasi. Nilai laju
pelatihan yang besar akan mempercepat perubahan bobot menuju bobot
stabil, tetapi menghadapi resiko terjadinya osilasi dan ketidakstabilan selama
proses iterasi. Sebaliknya, nilai laju pelatihan yang kecil akan menyebabkan
perubahan bobot yang relatif lambat yang juga akan memperlambat proses
konvergensi. Tidak ada kepastian tentang nilai laju pelatihan yang tepat pada
proses pelatihan.
Training momentum
Pada metode back propagation baku, komputasi didasarkan pada perubahan
bobot pada gradient yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu.
Modifikasi dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan arah gradient pola
terakhir dengan arah gradient pola sebelumnya yang disebut momentum.
Penambahan momentum dimaksudkan untuk menghindari perubahan bobot
yang drastis akibat adanya data yang sangat berbeda atau ekstrem. Jika data
terakhir yang diberikan ke jaringan memiliki pola yang serupa, maka
perubahan bobot dapat dilakukan secara cepat, demikian juga sebaliknya. Training RMS exit criteria
Training RMS exit criteria merupakan salah satu cara untuk menghentikan
proses pelatihan atau iterasi, selain menggunakan pembatasan jumlah iterasi
(number of iteration). Iterasi akan berhenti tepat pada nilai toleransi RMS
Jumlah iterasi pelatihan
Jumlah iterasi yang makin besar dapat menghasilkan klasifikasi
penutup/penggunaan lahan dengan ketelitian keseluruhan yang makin baik,
meskipun demikian penambahan jumlah iterasi pada batas tertentu juga akan
mengalami penurunan tingkat ketelitian keseluruhan dan jumlah iterasi yang
semakin besar juga akan menambah lama waktu pelatihan.
Selama dekade terakhir para peneliti telah melakukan atau menggunakan
neural network untuk klasifikasi penutupan lahan menggunakan data satelit
penginderaan jauh. Beberapa peneliti yang menggunakan neural network dalam
penelitian mereka (Sadly 1998):
1. Chang (1994) menggunakan dynamic learning neural network untuk aplikasi
penginderaan jauh dan mendapatkan hasil yang baik dengan menyimpulkan
bahwa neural network merupakan pengklasifikasi yang sesuai dan mudah
untuk volume citra yang luas.
2. Studi yang sama juga dilakukan Bischof (1992) dan menunjukkan bahwa
neural network hampir sama seperti MLC
3. Yoshida (1994) mengajukan klasifikasi neural network untuk analisis data
penginderaan jauh dan juga untuk memperbaiki hubungan tetangga antar
piksel dan mengurangi kemungkinan error untuk pola klasifikasi dan
mendapatkan hasil yang lebih realistik dan tanpa ingar dibandingkan metode
statistik konvensional.
Andayani (2008) menggunakan metode BPNN untul klasifikasi penutupan
lahan menggunakan data ALOS, dengan mengembangkan beberapa model
parameter input data dan membandingkan hasilnya. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa metode BPNN akan meningkat akurasi dengan menambah
input-input data lainnya seperti NDVI, SAVI dan RVI. Sedangkan Shafri et al.
(2007) menggunakan beberapa model algoritma klasifikasi untuk pengenalan pola
dalam pemetaan tutupan hutan menggunakan data hyperspektral, menunjukkan
hasil bahwa MLC dan Artificial Neural Network tidak terdapat perbedaan
signifikan yaitu MLC 86% dan ANN 85%.
Fauzi (2001) menggunakan jaringan syaraf tiruan dan klasifikasi MLC
Berau. Metode yang digunakan adalah klasifikasi neural network multilayer
perceptron dengan fungsi aktivasi sigmoid. Hasil penelitiannya menunjukkan
terdapat pemisahan yang signifikan antar kelas didalam satu skema klasifikasi.
Akurasi klasifikasi dengan algoritma neural network terbukti lebih baik
dibandingkan dengan MLC.
Metode Klasifikasi Maximum Likelihood (MLC)
Metode klasifikasi kemungkinan maksimum merupakan metode klasifikasi
yang paling banyak digunakan dalam metode klasifikasi secara terbimbing untuk
data penginderaan jauh. Sebelum melakukan klasifikasi, perlu menentukan
training area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistik masing-masing
calon kelas. Metode ini dikembangkan mengikuti statistik yang dapat diterima
(Richard 1993).
Richard (1993) juga menambahkan bahwa teknik klasifikasi kemungkinan
maksimum didasarkan pada perkiraan densitas probabilitas untuk setiap tutupan
lahan. Perhitungan probabilitas disini memungkinkan untuk menemukan sebuah
piksel dari kelas i pada posisi X yang didefinisikan oleh teori Bayes :
P(i|X) = P(X|i)P(i)/P(X) ... (8)
Dimana :
P(i|X) = Probabilitas bersyarat dari kelas i, dihitung mengingat bahwa vektor X ditetapkan secara apriori (tanpa syarat), probabilitas ini juga disebut likelihood.
P(X|i) = Probabilitas bersyarat (conditional) dari vektor X, dihitung mengingat bahwa kelas ditetapkan secara apriori
P(i) = Probabilitas kelas i muncul didalam sebuah citra P(X) = Probabilitas dari vektor X
Pendekatan klasifikasi citra dengan metode MLC adalah dengan
memperhatikan probabilitas anggota kelas paling maksimum dari sejumlah piksel
pada citra input. Aturan keputusan dari MLC menetapkan tiap-tiap piksel
memiliki pola ukuran atau ciri-ciri X ketidakpastian kelas c yang unit-unitnya
paling mungkin atau mendekati pada kenaikan yang diberikan pada ciri-ciri vektor
klasifikasi ini berasumsi bahwa data statistik training untuk tiap-tiap kelas dalam
tiap-tiap band tersebar secara normal yaitu Gausian (Blaisdell 1993 dalam Jensen
1996).
Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa klasifikasi MLC
mengevaluasi secara kuantitatif variance dan co-variance pola tanggapan spektral
kategori ketika mengklasifikasi piksel yang tidak dikenal. Untuk melakukan ini,
dibuat asumsi bahwa distribusinya normal. Untuk alasan matematik Surlan
(2002) menyebutkan bahwa suatu distribusi normal multivariate dapat digunakan
sebagai fungsi densitas probabilitas. Dalam kasus distribusi normal, Lk dapat
diexpresikan sebagai berikut :
1 2 / 1 2 ) ( ) ( 2 1 exp / / ) 2 ( 1 k t k k kn X X
X
Lk
... (9)
dimana : n = banyaknya band
X = vektor penciri dari n band
Lk(X) = kemungkinan dari X masuk kedalam kelas k µk = vektor rataan dari kelas k
∑k = matrik varian kovarian dari kelas k
/∑k/ = determinan dari ∑k
Dalam kasus dimana matrik varian-kovarian simetris, Lk sama seperti
euclidian, sedangkan jika determinan sama satu dengan lainnya, Lk menjadi
mahalanobis. Persamaan Mahalanobis sebagai berikut :
) (P log ) k ( log ) 2 1 ( -(2TT) log ) 2 d ( -) -(X k ) -X ( 2 1 -(X) Gk t 1 k k k
.(10)Untuk meningkatkan ketelitian klasifikasi dengan metode klasifikasi MLC
Mueler (1983) dalam Surlan (2002) menekankan cara pengambilan training area
haruslah memenuhi 4 syarat:
1. Ukuran dari training area : harus memenuhi syarat utama yakni agar kovarian
matrik tidak singular, haruslah piksel-piksel suatu training area saling
independen linear. Jadi pada n kelas obyek minimal n+1 piksel pada tiap-tiap
kelasnya. Untuk mencapai hasil yang lebih baik disarankan 10 kali dari
jumlah piksel minimum diatas.
2. Kehomogenan training area : untuk hal ini diharapkan hanya piksel-piksel
sedapat mungkin berdistribusi normal. Dalam banyak hal adalah seringkali
sangat susah membuat training area untuk memisahkan piksel-piksel dari dua
kelas yang berbeda, seperti terjadi pada obyek jalan atau sungai. Seringkali
tercampur piksel-piksel dari dua kelas misal jalan dengan sungai. Dalam hal
ini adalah membantu jika sebelumnya dilakukan klasifikasi unsupervised.
3. Kelas representatif : suatu persyaratan penting untuk dapat menerapkan
metode MLC adalah masing-masing kelas berdistribusi normal. pada
kenyataannya persyaratan ini seringkali tidak terpenuhi, karena tidak
terpenuhinya simetrisasi dari kelas-kelas obyek pada ruang spektral. Pada
penentuan kelas dapat dilakukan dengan menandai training area, sedemikian
sehingga seluruh piksel dapat terkelompokan.
4. Keterpisahan kelas : untuk menajamkan keterpisahan kelas biasanya dilakukan
transformasi.
Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi
Pengujian ketelitian klasifikasi bertujuan untuk melihat kesalahan-kesalahan
klasifikasi sehingga dapat diketahui persentase ketepatannya (akurasi). Pengujian
akurasi menggunakan ground truth area yang didapat dari lapangan. Akurasi hasil
klasifikasi diuji dengan cara membuat matrik kontingensi yang sering disebut
dengan matrik kesalahan (error matrix) atau matrik konfusi (confusion matrix).
Metode ini adalah metode yang paling umum dilakukan untuk mengetahui tingkat
keakuratan hasil klasifikasi. Matrik kesalahan adalah matrik bujur sangkar yang
berfungsi untuk membandingkan antara data lapangan dengan korespondensinya
dengan hasil klasifikasi (Lillesand dan Kiefer, 1994).
Persentase ketepatan klasifikasi tersebut dapat dilihat dari nilai user’s
accuracy, producer’s accuracy, overall accuracy dan kappa accuracy. Menurut
Congalton dan Green (1999) producer’s dan user’s accuracy adalah dua penduga
dari ketelitian keseluruhan (overall accuracy). Producer’s accuracy adalah
peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel akan diklasifikasikan dengan
benar dalam kelas hasil klasifikasi, ukuran ini juga mencerminkan rata-rata dari
kesalahan omisi (omission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kekurangan
yang lain. Sedangkan user’s accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen)
bahwa suatu piksel dari citra yang terklasifikasi secara aktual mewakili
kelas-kelas tersebut di lapangan, ukuran ini mencerminkan rata-rata dari kesalahan
komisi (commission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kelebihan jumlah
piksel pada suatu kelas yang diakibatkan masuknya piksel dari kelas yang lain.
Sementara overall accuracy adalah suatu persentase dari piksel-piksel yang
terkelaskan dengan tepat yang dibagi dengan jumlah total piksel yang diuji. Nilai
akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi kappa (KHAT), karena nilai
ini memperhitungkan semua elemen (kolom) dari matrik. Congalton dan Green
(1999) menyatakan bahwa kappa accuracy merupakan perhitungan dari setiap
matrik kesalahan dan mencerminkan seberapa baik klasifikasi citra dengan data
referensi yang digunakan.
Nilai-nilai producer’s accuracy, user’s accuracy, dan overall accuracy dan
nilai Kappa dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Producer’s Accuracy 1 x100%
X X k r i ii
; ... (11)
User’s Accuracy 1 x100%
X X k r i ii
... (12)
Over All Accuracy 1 x100%
N X r i ii
... (13)
Dimana :
N = jumlah semua piksel yang digunakan dalam pengamatan r = jumlah baris atau lajur pada matrik kesalahan (= jumlah kelas) Xii = Jumlah pengamatan di baris i dan kolom i
X+k = jumlah semua kolom pada lajur ke- k Xk+ = jumlah semua kolom pada baris ke- k
Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi kappa (KHAT),
karena nilai ini memperhitungkan semua elemen (kolom) matriks. Secara
Kappa Accuracy =
r i i i r i i i i r i X X N X X X N 1 2 1 1 ... (14)Dimana : N = jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan
r = jumlah baris/ lajur pada matriks kesalahan (sama dengan jumlah kelas)
Xi+ = jumlah semua kolom pada lajur ke-i X+i = jumlah semua kolom pada baris ke-i
Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) telah mensyaratkan tingkat
akurasi/ ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan dan
penggunaan lahan yaitu tingkat akurasi klasifikasi terhadap data penginderaan
jauh harus tidak kurang dari 85 %, dan ketelitian klasifikasi harus lebih kurang
sama untuk beberapa katagori/ kelas (Lillesand & Kiefer 1990).
Akurasi dievaluasi dengan membuat matriks contingency, yang lebih
dikenal dengan matriks kesalahan (confusion matrix) seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Matrik Kesalahan (Confusion Matrix)
Data Training area
Diklasifikasi Ke- Kelas
Total Baris Producer’s
A B … D
A Xii Xk+ Xkk/Xk+
B
…
D Xkk
Total Kolom X+k N
User’s Xii/X+k
Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan
Lahan mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia
karena semua aktivitas kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan lahan. Definisi lahan adalah suatu lingkungan fisik
yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor
tersebut saling mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya
adalah akibat kegiatan manusia baik pada masa lampau maupun masa sekarang,
dan juga akibat-akibat lain yang menyebabkan kemunduran produktivitas lahan.
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) penggunaan lahan berhubungan dengan
kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan
perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan
kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut.
Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan
berbagai jenis penutup/penggunaan lahan kedalam suatu kesamaan sesuai dengan
sistem tertentu. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan digunakan sebagai
pedoman atau acuan dalam proses interpretasi atau penafsiran citra penginderaan
jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem
klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang
dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu. Salah satu
sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang sering digunakan dalam
mengklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan menggunakan data
penginderaan jauh adalah sistem klasifikasi FAO. Klasifikasi ini banyak dipakai
sebagai standar klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan menggunakan citra
Penginderaan Jauh, sedangkan di Indonesia sistem klasifikasi ini digunakan pada
TREES Project kerjasama IPB dan Uni Eropa. Sistem klasifikasi FAO 1994
disajikan pada Tabel 3. Pemilihan kelas penutup/penggunaan lahan dalam
penelitian ini adalah didasarkan pada kebutuhan dengan fokus pada lahan sawah
Tabel 3 Klasifikasi Penutup Lahan Menurut FAO Tahun 1994
Level 1 Level 2 Level 3 Level 4
1. Forest
1. Evergreen and Semi evergreen Forest
0. Unknow A. Closed
1.Evergreen - lowland forest > 70% forest cover 2.Evergreen-mountain forest > 70% canopy cover 3. Semi-evergreen forest
4. Heath forest / kerangas B. Open
5. Coniferous > 70% forest cover
9. Other 70-10% canopy cover
2. Deciduous Forest
0. Unknown
1. (Dry) – Mixed deciduous C. Fragmented 4. Dry Dipterocarp 40-70% forest cover
9. Other >10% canopy cover
3. Inundated Forest
0. Unknow
1. Periodically inundated D. Undefined 3.Swampforest(permanently
inundated
4. Swamp forest with palms 5. Peat swamp forest 9. Other
4. Gallery Forest 0
5. Plantation 0. Unknown 1. Teak 2. Pine 3. Eucalyptus 9. Other
6. Forest Regrowth 0.
7. Mangrove 0.
9. Other 0.
2. Mosaic 10% - 40% forest cover
1. Shifting cultivation
0. Undefined 1. 1/3 cropping 2. > 1/3 cropping 2. Cropland and Forest
3. Other vegetation and Forest 9. Other
3. Non Forest Vegetation< 10% canopy cover or < 10% forest cover Up to 10% of
Forest cover
1. Wood & shrubland 0. Unknown 4. Bamboo 5. Swamp savanna 6. Humid (evergreen) type 7. Dry (savanna) type 9. Other
2. Grassland 0. Unknown
1. Dry grassland 2. Swamp grassland 9. Other 3. Regrowth of vegetation
9. Other
4. Agriculture Up to 10% of Forest cover
< 10% canopy cover Or < 10% forest cover
1. Arable 0. unknown
1. Irigated 2. Rainfed
2. Plantations 0. Unknown
1. Rubber 2. Oil palm 3. Coffee, Cacao 9. Other 3. Ranching 9. Other 5. Non vegetated 1. Urban 2. Roads 3. Infra structure 4. Bare soil 9. Other 6. Water 1. River 2. Lake 7. Sea
8. Not visible 1. Clouds 2. Shadow 9. No data
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan mulai Agustus 2003 sampai selesai. Pengolahan
data citra Landsat ETM+ dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi
Spasial Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Tanah Institut Pertanian
Bogor. Lokasi utama penelitian ini dilakukan di lahan milik PT. Sang Hyang Seri
Sukamandi Kecamatan Ciasem dan sekitarnya dipilih sebagai lokasi yang
dominan penutupan/pengunaan lahan padi sawah sedangkan untuk lokasi yang
dominan tanaman tebu dilakukan di areal perkebunan PT. Rajawali Nusantara
Unit Pasir Bungur Kecamatan Purwadadi dan sekitarnya. Kedua Lokasi ini
terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Secara administratif lokasi penelitian
mencakup seluruh Kecamatan Ciasem, Patokbeusi dan sebagian Kecamatan
Blanakan, Purwadadi, Cikaum. Peta orientasi lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 7.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Citra satelit Landsat ETM+ multitemporal path/row 122/64 tanggal
3 Desember 2000, 15 Juli 2001, 29 April 2002, 18 Juli 2002 dan 31 Maret
2003. Citra Landsat ETM+ komposit 5,4,2 dapat dilihat pada Lampiran 1 - 5.
2. Peta administrasi Kabupaten Subang
3. Peta rupa bumi skala 1 : 25.000 lembar
1209-611,1209-612,1209-623,1209-614 dan 1209-621
4. Data jadwal dan realisasi tanam padi sawah dan tebu musim tanam 2002.
Data ini selanjutnya akan diilustrasikan dalam bentuk peta yang dijadikan
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Satu unit Komputer PC Pentium IV 2.40 Ghz 256 RAM, scanner dan printer.
2. Perangkat lunak PCI Geomatics (Geomatica 9.0, OrthoEngine SE 9.0),
ArcView 3.3, ArcGIS 9.3 dan perangkat lunak pendukung lainnya.
3. GPS (Global Positioning System)
4. Kamera dan,
5. Alat-alat tulis dan gambar